Cerpen “Warung Pinggir Jalan”

159 dilihatnya Meri lelap tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya. Mbok Nah mengikat gulungannya yang terlepas. hal. 103. Dalam hal ini terlihat sikap penerimaan Mbok Nah terhadap perselingkuhan Marno atau dalam kultur Jawa disebut nrimo, yang berarti perempuan harus selalu pasrah dan menerima segala tindakan suami. Konsep ini tercermin dalam ungkapan “swarga nunut naraka katut”, artinya kebahagiaan dan penderitaan istri ada di tangan suami kultur Jawa, dan “awewe mah dulang tinande”, artinya perempuan hanya menerima kultur Sunda. Sikap Marno ini merupakan ideologi gender yang cenderung menyebabkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan ini bermacam-macam, salah satunya adalah penindasan secara psikis, dalam hal ini perselingkuhan Marno yang dapat dikategorikan “kekerasan dalam rumah tangga”. Kekerasan tersebut menyerang integritas emosional-psikologis yang menyebabkan pihak yang mengalaminya tertekan secara psikologis maupun fisik. Kekerasan ini menurut Adingsih Pikiran Rakyat, 8 Maret 2002 terjadi karena perempuan cenderung tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran itu. Terbukti dari 125 kasus yang dicatat Rifka Annisa Women’s Crisis Center 1998, 70 perempuan mengalami represi dari suaminya, pasrah menjalani perkawinan.

4.3 Cerpen “Warung Pinggir Jalan”

Judul : “Warung Pinggir Jalan” Pengarang : Lea Pamungkas Antologi : “Pistol Perdamaian” 160 Penerbit : Kompas, 1996 Ikhtisar Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di sebuah daerah yang terkena proyek pembangunan waduk, yang diperkirakan di daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini daerah pertanian, tentu saja mata pencaharian warganya adalah bertani. Namun ketika daerah itu dijadikan proyek pembuatan waduk, warganya jadi kehilangan mata pencaharian. Akibatnya warga merobah profesi jadi pedagang, dan berdirilah warung- warung di sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh pengarang cerpen ini disebut warung pinggir jalan. Pada perkembangannya warung pinggir jalan ini ternyata menjadi tempat prostitusi. Di antara warung pinggir jalan tersebut, ada sebuah warung yang sejak sebelum ada proyek pun sudah berdiri. Warung tersebut adalah warung milik tokoh Emak, yang menjual satai dan gulai. Emak tinggal dengan anaknya Idah yang masih berusia belasan tahun. Akhir-akhir ini perhatian Idah tertumpu pada seorang perempuan di seberang jalan yang bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari perempuan-perempuan lainnya di desa itu. Mira selalu cantik, gembira, dan gaya. Rumahnya pun lebih bagus. Sore menjelang malam Mira selalu dijemput oleh seorang lelaki dengan menggunakan sebuah mobil truk mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin sekali meniru apa yang dipakai dan apa yang dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira dari mulai kepergian sampai kepulangannya. Idah ingin menjadi seperti Mira. Dari percakapan orang-orang, diketahui bahwa Mira itu pelacur, tetapi Mira mempunyai langganan tetap. Perempuan-perempuan lainnya di warung pinggir jalan 161 ini banyak yang menjadi pelacur, bedanya langganan mereka berganti-ganti, kebanyakan sopir-sopir truk yang mengangkut bahan-bahan bangunan waduk dari kota. Selama pembangunan waduk, warung Emak Idah selalu ramai dikunjungi para sopir truk. Di antara supir truk itu, ada seorang yang disukai Idah, yaitu Emet. Setiap Emet makan di warung Emaknya, Idah memberikan pelayanan yang khusus misalnya khusus untuk Emet, ia memberi satai yang lebih besar. Lama-lama sikap Idah diketahui oleh Emak, Emet, dan langganan-langganan lainnya. Berhari-hari sumur Emak Idah yang juga digunakan penduduk lainnya kering, begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu. Kegiatan warung Emak Idah terhambat, sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah mengusulkan agar sumur itu digali lagi, tetapi Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah mengusulkan agar Emak menyuruh Emet menggalinya dan Idah berjanji akan mengatakannya kepada Emet. Emak sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena keadaan, akhirnya menyetujuinya. Emet ternyata bersedia karena ia punya maksud lain terhadap Idah. Kenyatannya benar, di lokasi pembangunan waduk itu, keperawanan Idah direnggut Emet. Lewat firasatnya Emak mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak bicara apa- apa, ia hanya bisa menangis. Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama ini mempengaruhi perasaannya. Pengalaman ini membuat Idah merasa bebas dan berhak melakukan apa saja yang ia inginkan. 162 Sementara itu terjadi perubahan lain di desa itu, pembangunan waduk itu terhenti. Warung-warung pinggir jalan banyak yang gulung tikar. Warga kampung banyak yang demo menuntut ganti rugi tanah yang digunakan proyek itu. Dengan kondisi situasi seperti itu, pengarang menceritakan bahwa Idah akhirnya menjadi pelacur yang berakibat pada Emak menjadi bisu.

4.3.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Cerpen “Warung Pinggir Jalan” menceritakan kehidupan sebuah daerah yang terkena proyek pembangunan waduk. Latar tempat yang diceritakan cerpen ini adalah di sebuah daerah di Jawa Barat dilihat dari penyapaan dan nama para tokohnya. Latar sosial cerpen ini awalnya digambarkan sebagai daerah pertanian, mata pencaharian penduduknya bertani. Namun setelah daerah itu terkena proyek pembangunan waduk, penduduknya jadi kehilangan mata pencaharian, karena lahan pertaniannya dibuat proyek. Selama pembangunan waduk tersebut, di daerah itu banyak berdiri warung pinggir jalan, yang dibaliknya terjadi praktik prostitusi. Cerita mengenai kehidupan di daerah tersebut dikemukakan pengarang dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini pengarang hanya dapat menceritakan tokoh-tokohnya secara terbatas dari tindakan-tindakan yang tampak. Hanya tokoh utamalah yang bisa diceritakan perasaannya, pikirannya, dan tindakannya. Bahasa yang digunakan sederhana, baik ditinjau dari leksikal maupun gramatikal. Kosakata diambil dari bahasa sehari-hari yang lugas, yang pada 163 umumnya bermakna denotatif. Struktur kalimat yang digunakan juga kebanyakan kalimat tunggal. Profil-profil yang ditampilkan dalam cerpen ini ialah Idah, Emak ibunya Idah, Mira, para sopir, dan para tetangga. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah Idah dan profil gender lainnya sebagai profil tambahan. Dari pemerian cerpen ini digambarkan profil Idah sebagai tokoh utama yang masih berumur belasan tahun dan masih bersekolah, kegiatan sehari-hari membantu Emak di warung, memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli. Dalam pemerian cerpen terlihat bahwa Idah adalah gadis montok, berwatak polos, selalu ingin tahu, mudah terpengaruh, dan pasif diam, menunggu, dan jadi objek, menunjukkan profil stereotip gender. Profil Emak digambarkan sebagai perempuan yang berbibir sumbing dan berkulit kuning. Emak adalah seorang perempuan mandiri, tidak banyak bicara, dan penuh harga diri, tetapi tingkah lakunya selalu tergesa-gesa. Pekerjaan Emak sehari- hari berjualan nasi, gulai, satai, dan minuman. Sejak subuh dia sudah memasak dan membuat tusukan-tusukan satai. Pukul 06.00 mulai membuka warung dan melayani pembeli. Profil Emet digambarkan sebagai laki-laki yang tidak pantas disebut tampan. Perut Emet buncit, bajunya tak pernah bersih dari oli, baru keringat, dan matanya selalu merah, kalau duduk kakinya selalu diangkat, tetapi dia kuat, tangkas, nakal, dan agresif. Tingkah lakunya bebas, sama seperti sopir-sopir lainnya selalu tertawa lebar, berkata-kata terbuka dan keras, serta berperilaku seenaknya. Dia dipanggil 164 dengan panggilan “Si Jalu” oleh perempuan-perempuan warung yang berjualan sehari penuh, sama seperti mereka menyebut “ayam jantan yang selalu menang.” Profil Mira digambarkan sebagai perempuan seberang jalan, yang berarti rumahnya berseberangan dengan rumah Idah. Dia adalah seorang perempuan pelacur, tapi tidak melacurkan diri pada setiap laki-laki. Dia melacur hanya pada satu laki- laki. Dalam cerpen ini Mira digambarkan sebagai perempuan periang, cantik, bersih, bajunya banyak, sepatunya banyak, selalu harum, dan setiap sore dia dijemput oleh seorang laki-laki, waktu subuh baru diantar pulang. Jadi, dia diantar jemput dengan mobil semacam truk, tapi lebih kecil. Kehidupan Mira tak ada bedanya dengan dokter atau orang kaya di kampung itu. Profil tetangga Emak Idah disebutkan oleh pengarang dengan istilah “bocor mulut” dalam arti tetangga-tetangga ini senang bergunjing, suka membuka rahasia dan aib orang. Bocor mulut yang digambarkan pengarang di sini ialah bocornya cerita bapaknya Idah yang diusir oleh Emak karena nyeleweng. Padahal bapaknya Idah itu adalah seorang penganggur. Dia kepergok oleh Emak nyeleweng dengan “perempuan seberang jalan,” tapi tak disebutkan siapa perempuan seberang jalan itu, dan Idah tak mau tahu. Minggu-minggu terakhir ini tidak banyak truk yang parkir di depan warung. Proyek pembangunan waduk itu dikurangi kegiatannya. Persoalannya karena uang ganti rugi tanah penduduk belum beres. Sebagian sopir diberhentikan sementara. Keadaan ini berpengaruh pada penduduk desa. Warung-warung tampak sepi, keadaan kampung jadi sunyi. Banyak warung yang tadinya buka 24 jam jadi tutup, yang 165 tampak masih buka adalah warung Emak dan Ceu Iyam. Dalam situasi warungnya sepi ini, Ceu Iyam bergumam, kalau tahu keadaan bakal begini, nggak bakalan saya panggil si Euis ke sini. Yang cantik dan bahenol, sudah nggak ada gunanya lagi, kalau sopir-sopir itu nggak lagi ke sini hal. 139. Pemunculan profil Euis sebagai profil tambahan menggambarkan bahwa di balik pendirian warung-warung di pinggir jalan itu ada usaha lain yaitu praktik prostitusi.

4.3.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini mengangkat cerita tentang sebuah desa yang terkena proyek pembangunan waduk. Daerah itu pada mulanya adalah daerah pertanian dan pencaharian penduduknya bertani. Saat ada proyek pembangunan waduk daerah itu berubah menjadi daerah yang sibuk, daerah itu penuh dengan alat- alat berat, truk-truk, sopir-sopir, dan tenaga-tenaga kerja yang banyak berdatangan dari daerah lain. Akibat proyek ini, banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan beralih profesi, yang tadinya bertani, karena lahan pertaniannya dibuat waduk, tak ada lagi lahan untuk bertani, akhirnya banyak laki-laki yang mencari pekerjaan ke kota, berdagang, atau bekerja di proyek pembangunan waduk tersebut. Perempuan- perempuan desa yang tadinya juga petani beralih pekerjaan dengan mendirikan warung-warung di pinggir jalan, yang kebanyakan berjualan nasi dan minuman. Selain berjualan ternyata warung-warung itu membuka praktik prostitusi. Cerpen ini jelas menonjolkan peran gender. Dari pemerian cerpen diketahui Emak Idah pekerjaannya dari dahulu sampai sekarang adalah membuka warung nasi. Walaupun sesudah ada proyek pembangunan 166 waduk ini bermunculan warung-warung pinggir jalan hingga berderet, warung Emak tidak terganggu, dari dulu sama tidak pernah sepi. Tak ada praktik prostitusi di warung Emak Idah ini, yang terkena pengaruh keadaan lingkungan adalah Idah anak Emak. Idah yang polos dan belia mengidolakan perempuan di seberang jalan yang bernama Mira. Idah ingin sekali berperan seperti Mira, cantik, bersih, harum, sepatunya selalu berganti-ganti, bajunya banyak, lipstiknya, dan selalu gembira. Perempuan itu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini, sore dijemput dan subuh diantar pulang. Pekerjaan Mira adalah pelacur. Idah ingin sekali jadi Mira. Kalau di sekolah dia ditanya guru, cita-citanya mau jadi apa, dia menjawab ingin menjadi dokter, tetapi dalam hati kecilnya ia ingin menjadi pelacur. Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter. Idah yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini pekerjaannya membantu Emak memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli, serta bersekolah. Secara esensial apa yang dilakukan Emak dan Idah adalah mencari nafkah, karena hidup tanpa suami dan tanpa bapak. Aktivitas mereka merepresentasikan ideologi gender, karena pekerjaan itu merupakan kepanjangan pekerjaan dari sektor domestik. Ibrahim dan Susanto 1998: 81 menggambarkan bahwa dalam pekerjaan perempuan sering kali dicadangkan pada urusan tradisional semata, baik karena keadaan maupun keterpaksaan. Namun kedua-duanya pada dasarnya karena dikondisikan oleh ideologi gender. Aktivitas Emet dan para sopir adalah menjadi tenaga kerja pada proyek pembangunan waduk sebagai sopir. Aktivitas ini merupakan representasi peran 167 gender. Pekerjaan keras dan berat cenderung dilakukan laki-laki, karena secara fisik laki-laki dianggap lebih kuat daripada perempuan. Peran tokoh lain adalah peran Mira sebagai pelacur dan para tetangga Idah tokoh utama yang beraktivitas di warung-warung dan membuka kegiatan prostitusi atau pelacuran. Fakih 1991: 17-18 menyebutkan bahwa pelacuran prostitusi adalah suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan violence adalah serangan atau invasi assult terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap salah sau jenis kelamin dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni disebabkan oleh anggapan gender stereotip dan tidak setaranya kekuatan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan pelacuran. Pelacuran terjadi karena ada stereotip yang merendahkan perempuan. Perempuan cenderung dianggap sebagai sumber dosa dan penggoda pria agar jatuh ke dalam dosa. Hal ini seperti yang dinyatakan Baidhawy 1997: viii yang tercermin dalam kisah kejatuhan Adam dan Hawa legend of fall yang diyakini masyarakat. Dalam kisah ini Hawalah yang terbujuk setan untuk menggoda Adam melakukan pelanggaran. Stereotip lainnya merupakan relasi gender yang memosisikan perempuan semata-mata sebagai objek laki-laki. Dilihat dari segi pelaksanaan prostitusi, perempuanlah yang selalu mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat. Hal ini terjadi karena relasi gender yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan pelacurlah yang sering mendapat cemoohan dan pandangan rendah dari masyarakat. Namun hidung belang yang memanfaatkan pelacur bebas dari penilaian masyarakat dan bebas berkeliaran. 168

4.3.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dari uraian cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini tergambar terjadinya perubahan sosial di desa tempat proyek pembangunan waduk. Perubahan sosial yang terjadi akibat pembangunan ini melanda sikap, perilaku, cara pandang, dan cara hidup masyarakat. Pembangunan waduk itu telah merampas sumber kehidupan mereka satu- satunya, yaitu tanah pertanian. Ketika sumber kehidupan ini diambil untuk kepentingan pembangunan, tak ada lagi yang dapat mereka kerjakan, selain miskin, mereka tak punya potensi apa-apa. Sementara pelaksana pembangunan pemerintah tidak memberi solusi lain. Uang ganti rugi pun tidak diberikan, atau pun diberikan juga tidak memadai. Di sini terlihat bahwa pembangunan hanya mengejar pertumbuhan ekonomimateri, tanpa mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Hal inilah yang membuat perubahan cara hidup dan cara pandang masyarakat desa dan membuat masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah dari akibat pembangunan ini adalah perempuan, perempuan juga berada pada situasi dan kondisi yang merendahkan posisi mereka. Selanjutnya dalam uraian ideologi gender akan dibahas mengenai representasi posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang diungkap oleh cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan, termasuk menentukan struktur teks, interpretasi makna, dan eksplansi yang diberlakukan dalam teks tersebut secara keseluruhan. 169 Dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini, yang menjadi tokoh utama adalah Idah. Peran Idah direpresentasikan sebagai “objek” penceritaan dan yang didefinisikan oleh pengarang Lea Pamungkas yang feminis, serta bagaimana Lea Pamungkas mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

4.3.3.1 Ideologi Patriarki

Ideologi patriarki yang ditemukan dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” adalah dalam perwatakan dan aktivitas pekerjaan tokoh. Watak Idah sebagai objek penceritaan adalah polos dan sikapnya pasif diam, menunggu, mudah terpengaruh, dan selalu ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu Emak dalam kegiatan di warung dan bersekolah. Di tengah-tengah aktivitas rutin sehari-hari ini pengarang menggambarkan peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah. Selama ini Idah selalu mengintip dan memperhatikan tingkah laku seorang perempuan yang bernama Mira, tapi Emak memberi julukannya dengan perempuan seberang jalan. Idah mengintip Mira setiap menjelang kepergian yaitu setiap sore, dan setiap subuh pada saat kepulangannya. Mira selalu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini. Idah selalu ingin tahu apa yang dilakukan Mira, bagaimana sepatunya, bagaimana bajunya, dan bagaimana lipstiknya. Emak sering jengkel dengan kelakuan Idah tersebut, tetapi Idah tidak memperdulikannya. Di mata Idah. Mira itu lain dari perempuan-perempuan di desa itu. Mira lebih bersih dari semua perempuan yang ada di desa itu, lebih cantik, lebih wangi, pakaiannya banyak, sepatunya banyak, tetapi lebih dari segalanya, Mira selalu gembira hal. 138. 170 Dalam pemerian diceritakan bahwa Idah ingin menjadi seperti Mira. Bagi Idah Mira tak ada bedanya dengan dokter. Betapa ingin Idah seperti dia. Ia tak peduli setiap kali seseorang membicarakan Mira, maka mulut orang itu akan maju ke depan paling tidak dua centi. Mencibir. Hati Idah selalu menjawab, “Ingin jadi Mira,” seorang pelacur hal. 138. Kalau kita telaah cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini bertema bahwa: Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspek- aspek kemanusiaan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan menjadikan masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah adalah perempuan, karena selain mereka menerima dampak pembangunan tersebut, mereka pun berada dalam situasi masyarakat yang merendahkan posisi mereka. Dalam cerpen ini proyek pembuatan waduk membuat perempuan-perempuan terlempar ke sektor-sektor informal yang berupa prostitusi. Dalam cerpen ini pengarang Lea Pamungkas bertindak sebagai pengamat. Dalam cerpen ini digunakan bahasa-bahasa yang berideologi gender, yaitu pada diksi-diksi yang digunakan dalam narasi dan monolog. Misalnya dalam narasi. “Dan nanti elusan Emet pada pantatnya, akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti. Emak pura-pura tidak melihat, mata dan tangannya segera sibuk mengerjakan sesuatu” hal. 137. Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet ini sangat tidak menghargai perempuan apalagi perempuan itu adalah gadis belasan tahun yang polos, yang belum tahu apa-apa. Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena perbuatan Emet dianggap wajar menurut lingkungannya. Di sini jelas kaum 171 perempuan tersubordinasi. Laki-laki senang berbuat apa saja, walaupun tidak senonoh. Seperti pada penggalan teks berikut. Perempuan-perempuan warung yang berjualan selama sehari penuh itu menyebut Emet “Si Jalu.” Sama seperti mereka menyebut ayam-ayam jantan aduan yang paling sering menang hal. 137. Penonjolan budaya patriarki terlihat dari tingkah laku para sopir, yang seenaknya dan menganggap perempuan sebagai dagangan “Si Idah sudah jadi perawan montok ya Ceu, saya pesan duluan ya” hal. 137. Tapi gurauan para sopir itu tidak menjadikan Idah kesal dan Emak pun pura-pura tak memberikan reaksi. Kecenderungan laki-laki menggoda perempuan ini merupakan gambaran dari kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di antara dua kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin, yaitu kesenjangan berupa subordinasi laki-laki atas perempuan. Akibat kepincangan ini, timbul pandangan bahwa perilaku laki-laki menggoda perempuan itu merupakan sesuatu yang “sehat dan normal.” Malahan kalau laki-laki yang tak pernah melakukan godaan terhadap perempuan akan diejek dan diragukan kenormalannya. Jika demikian, penormalan terhadap perilaku seksual laki-laki sudah merupakan stereotip, hal ini dapat ditanyakan pada pemerian julukan “Si Jalu” pada Emet. Julukan tersebut adalah julukan untuk laki-laki dan untuk menegaskan sifat kelelakian yang diyakini masyarakat, yaitu perkasa, kuat, berani, jago, dan lain-lain.

4.3.3.2 Ideologi Familialisme

Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang menjadi korban terparah dari pembangunan adalah perempuan. Dalam hal ini pengarang Lea Pamungkas hendak 172 memberikan kritik terhadap para pelaksana pembangunan, agar tidak mengabaikan aspek kemanusiaan, juga tidak mengabaikan aspek gender. Pengarang pun melakukan kritik terhadap masyarakat yang selalu berpegang pada ideologi gender. Idelogi gender cenderung tidak adil terhadap salah satu jenis kelamin manusia, yaitu perempuan. Perempuan selalu banyak menderita kerugian dan kesengsaraan, dan hentikanlah praktik-praktik yang tidak adil tersebut dari perikemanusiaan manusia itu sendiri. Tokoh Idah gadis belia yang polos, yang seharusnya duduk di bangku sekolah bersama harapan-harapan masa depannya harus menjadi korban jadi pelacur dan tidak menyadari bahwa dia menjadi korban. Lea Pamungkas sebagai pengarang cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini memotret dan mencerminkan kenyataam sosial masyarakat Indonesia, khususnya masa pemerintahan Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan masalah pembangunan. Pada masa ini, seperti sering diberitakan media massa banyak permasalahan yang muncul akibat proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah. Contohnya masalah penggusuran, masalah ganti rugi tanah, akibat-akibat pembangunan itu sendiri yang banyak menimbulkan permasalahan sosial. Akibat pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru banyak dirasakan oleh kaum perempuan adalah “pemarginalan” kaum perempuan. Misalnya dalam cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan waduk itu membuat warga desa kehilangan pekerjaan dari bertani ke pekerjaan-pekerjaan di proyek. Tetapi perempuan yang tadinya juga bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya beralih mendirikan 173 warung-warung pinggir jalan dan menjalankan praktik prostitusi. Ester Boserup dalam bukunya “Women’s Role in Economic Development” Utaryo, 1992: 80 mengemukakan bahwa pengalaman banyak negara di dunia menunjukkan bahwa pembangunan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap kaum perempuan. Dampak tersebut di antaranya “marginalisasi.” Peristiwa yang merupakan kelanjutan dari akibat pembangunan waduk, yaitu Idah yang muda belia, yang normalnya menyukai teman laki-laki yang sebaya, lebih menyukai Emet yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi karena lingkungan yang membentuknya demikian. Hanya figur para sopirlah yang menarik Idah, karena dengan merekalah Idah banyak berhubungan. Warung satai-gulei milik Emak harus buka pukul enam pagi. Sebentar lagi sopir-sopir truk bermata merah burung hantu itu akan berdatangan. “Si Idah sudah jadi perawan montok ya, Ceu. Saya pesan duluan ya,” gurauan para sopir itu tidak selamanya mengesalkan Idah. Apalagi kalau Emet yang mengatakannya. Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar menunggu kopi selesai diseduh dan mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet pada pantatnya akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti hal. 138. Peristiwa keringnya sumur Emak sudah berjalan empat hari. Hal ini membuat Emak sedih karena warungnya harus tutup dan berdampak tak bisa mencari nafkah. Idah pun ikut sedih, karena kalau warung Emak tutup, berarti tak akan ada lagi Emet. Akibat sumur kering inilah yang menentukan jalan hidup tokoh utama Idah. Idah mengusulkan pada Emak agar meminta Emet untuk menggali sumurnya. Emaknya setuju. Permintaan Idah disetujui Emet karena Emet mempunyai maksud lain terhadap Idah. 174 Benar saja. Emet mengajak Idah ke waduk dengan alasan akan mengambil peralatan dan di waduk itulah terjadi apa yang dikehendaki Emet. Idah hilang keperawanannya. Ketika pulang sesudah kejadian itu, Emak dengan intuisinya sudah tahu apa yang terjadi, menatap Idah dalam-dalam. Idah gemetar. Akan tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sekilas sebelum masuk kamar, Idah sempat melihat air mata mengalir dari mata Emak. Idah tak peduli. Ia lebih suka menikmati pengalaman barunya hal. 145. Emak sangat sedih dan dia merasa “termarginalisasi” oleh tingkah laku Emet terhadap Idah.

4.3.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme menuntut perempuan menjadi “ibu yang baik”, dalam arti perempuan harus menjadi orang baik di dunianya, yaitu dunia domestik dan di masyarakat. Cerpen “Warung Pinggir Jalan”, memerikan peran tokoh utama Idah sebagai perempuan yang mencari nafkah dengan ibunya Emak sebagai pedagang satai-gulai di warungnya. Pekerjaan ini merupakan kepanjangan tangan dari dunia perempuan yaitu dunia domestik yang ditentukan melalui ideologi gender. Jadi, dengan keterampilan peran domestiknya Idah dan Emak mencari nafkah. Dalam cerpen ini Idah digambarkan sebagai perempuan yang polos, masih belasan tahun, juga masih bersekolah. Pekerjaan dia sehari-hari mencuci piring, memasak, membuat kopi, dan melayani langganan yang kebanyakan sopir-sopir yang makan di warungnya. Pengarang menceritakan kisah cerita ini dengan sudut pandang gadis belia Idah tokoh utama yaitu segala hal yang diihat, dikhayal, dirasa, dipikirkan, dan 175 dilakukan tokoh utama tersebut. Pengarang menggambarkan dampak pembangunan yang mengabaikan aspek-aspek humanisme dan keadilan gender terhadap masyarakat desa yang miskin secara material maupun spiritual. Dalam cerpen ini dilukiskan yang menjadi korban terparah adalah perempuan. Mereka banyak yang menjual diri dengan cara praktik prostitusi. Tokoh Idah yang polos dan lugu, yang tidak berdosa apa-apa, yang seharusnya mempunyai harapan untuk masa depannya, karena lingkungan masyarakatnya, akhirnya menjadi korban juga. Dia menjadi pelacur. Namun dia tak menyukai bahwa dirinya adalah korban, baik dari pembangunan, maupun dari lingkungan masyarakatnya yang menerapkan ideologi gender. Idah “Ingin jadi Mira” seorang pelacur. Memang dalam pembicaraan, kalau ditanya guru atau orang yang lebih tua darinya, Idah menjawab persis seperti teman sebangkunya, “Ingin jadi dokter.” Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter atau banyak orang kaya di kampungnya hal. 138. Idah mengidolakan Mira, karena Mira berbeda dengan perempuan-perempuan di desanya. Mira banyak bajunya, banyak sepatunya, selalu gembira, dan warna lipstiknya bermacam-macam, badannya selalu harum, dan menarik. Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba putih, kecuali rambut hitam sangat lurus dan masai ...... Lelaki-lelaki yang mengantarkannya pun tak bakal lama. Tetapi yang hanya sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam ketergesaan mereka saling berciuman merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh Idah punya waktu menikmati kegugupan dan kejutan-kejutan dirinya hal. 135. Kejadian-kejadian di lingkungan kehidupannya ini sangat mempengaruhi Idah yang masih polos dan belia, yang akhirnya terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir yang pantas jadi bapaknya. 176 Pemarginalisasian dan diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan terlihat dari pembangunan di pedesaan yang mengintrodusir mekanisme pembangunan waduk. Perempuan yang tadinya bekerja bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan kaum laki-laki banyak yang terserap menjadi pekerja proyek pembangunan. Akhirnya para perempuan desa membuka warung-warung di pinggir jalan, yang secara terselubung membuka praktik prostitusi. Merebaknya prostitusi sebagai akibat berubahnya cara pandang masyarakat warga desa yang terpengaruh konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi materi, yang cenderung mengukur segala sesuatu dari materi. Warga tidak lagi mengindahkan norma-norma kehidupan dan nilai-nilai spiritual.

4.3.3.4 Ideologi Umum

Idah dalam peristiwa ini selain merupakan representasi lain dari perempuan yang menjadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan gender juga merupakan korban dari ideologi gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai bentuk kekerasan represi yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan, karena perempuan terekspolitasi sebagai objek untuk kepentingan tertentu. Mereka tak menyadari hal itu karena telah termakan “hegemoni gender.” Peristiwa selanjutnya berhubungan dengan sopir-sopir yang sering makan di warung Emak. Di antara para sopir itu, Idah menyukai Emet, tapi tak pernah mengatakannya, ia hanya memperlihatkan lewat pelayanannya, yaitu memberi satai yang ukuran dagingnya lebih besar-besar. Idah pun selalu diam apabila Emet meraba- raba bagian tubuhnya. Di sini terlihat bahwa Emet merupakan representasi stereotip 177 laki-laki, yaitu cenderung melakukan tindakan-tindakan secara aktif dan agresif. Adapun Idah merepresentasikan stereotip perempuan, yaitu pasif dan sekedar menjadi objek. Sudah empat hari sumur Emak kering. Idah menyarankan Emak agar minta tolong Emet untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet datang dengan senyum di bibir dan matanya nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah menyampaikan pembicaraan dengan Emak malam kemarin. Emet menyambut gembira permintaan Idah. “Neng, jangankan masuk sumur, masuk lubang kubur Mang mau, kalau Neng yang minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya mencubit pipi Idah. Telapak tangan Idah tiba-tiba berkeringat. Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif dan percaya diri untuk melaksanakan kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah yang masih polos dan belia. “Duduk sini, Neng,” Emet menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Idah ragu- ragu sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum dan mendekati Emet. “Supaya cepat, antar Mang Emet ambil peralatan di waduk. Neng Idah mau kan?” Mata Emet berbinar, tiba-tiba saja Idah sudah ada di pangkuannya. Pipi Idah diciumnya sekilas. Idah terperangah, tanpa disadarinya kepalanya langsung mengangguk hal. 139. Kejadian pelecehan Emet terhadap Idah berlangsung lancar, tak ada penolakan dari Idah. Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai korban lingkungan, terutama fikirannya yang mengidolakan Mira, seorang pelacur. Idah “terepresi” oleh Emet dan oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. Saat Idah diperawani oleh Emet dia tidak merasa menyesal, malah dia gembira. Ia merasa memperoleh puncak dari sesuatu yang selama ini ingin diketahuinya, sekaligus terbebaskan dari ketidaktahuan hal. 145. 178 Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang pagi seperti yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya ingin seperti Mira. Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena pembangunan, tetapi berakibat juga terhadap Emak. Emak “terepresi” sampai menjadi bisu.

4.4 Cerpen “Ruang Belakang”