Sistematika Penelitian Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengankatan Hakim Agung (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)

17 2 Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum yang berkenaan dengan KY dan DPR, buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum tata Negara, tesis hukum tata negara dan jurnal maupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD NRI 1945, peraturan perundang-undangan dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan.

F. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun berdasarkan b uku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terisi atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: 18 BAB I : PENDAHULUAN Penulis akan mengemukakan mengenai : latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, metode penelitian serta sistematika penulisan skripsi. BAB II : PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Penulis akan menguraikan tinjauan umum mengenai : Pemisahan Kekuasaan Negara Separation of Power, Mekanisme Checks and Balances, Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi, Teori Kewenangan, Tugas dan Wewenangan Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung, Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung serta Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam. BAB III : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27PUU-XI2013 TENTANG SELEKSI HAKIM AGUNG DI DPR Penulis akan menguraikan mengenai: Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27PUU-XI2013, Kewenangan DPR RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27PUU-XI2013 dan Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27PUU-XI2013. BAB IV : IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27PUU-XI2013 TENTANG 19 PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG Penulis akan menguraikan analisis terhadap pembahasan dari permasalahan yang ada, yaitu: Praktek-praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara serta Kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses seleksi hakim agung secara keseluruhan. Penulis akan menguraikan tentang hasil analisis yang merupakan perumusan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yang merupakan : Kesimpulan dan Saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian. 20 BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT A. Pemisahan Kekuasaan Negara Separation of Power Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya dan diterapkan pertama kali oleh The Framers of U.S. Constitution melalui proses penyaringan secara selektif dari teori Montesquieu dan dipadukan dengan visi dan pengalaman bernegara mereka yang berciri khas kebebasan politik dan supremasi hukum. 24 Menurut Montesquieu, dalam bukunya L ‟Espirit des Lois 1748, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu : 1 kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, 2 kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan 3 kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari kalsifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif the legislative function, eksekutif the executive or administrative function dan yudisial the yudicial function. 25 24 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, cet. I, Yogyakarta: Genta Press, 2012, h. 29. 25 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 283. 20 21 Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi: a Fungsi legislatif, b Fungsi eksekutif dan c Fungsi federatif. 26 Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif. Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi bahan rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing. Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa setiap cabang kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. 27 Doktrin yang murni pemisahan kekuasaan dirumuskan untuk menentukan dan menjaga kebebasan politik dengan membagi kekuasaan pemerintah ke dalam tiga cabang yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang pemerintah dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat yang bersamaan 26 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 117. 27 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. XXVIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h.117. 22 menjadi anggota lebih dari satu cabang, sehingga masing-masing cabang mengawasi check cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara. 28

B. Mekanisme Checks and Balances