Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi

25

C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi

Doktrin trias politica Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara harus tercermin pada tiga 3 jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan. Di sisi lain, perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya serta pengaruh globalisme, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap perubahan, serta efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. 35 Perkembangan tersebut berpengaruh pada struktur organisasi negara, termasuk bentuk dan fungsi lembaga negara. Bermunculan lembaga- lembaga negara independen yang dapat berupa dewan council, komisi commission, komite committee, badan board atau otoritas authority. Lembaga-lembaga baru tersebut bisa disebut sebagai state auxiliary organs sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. 36 Salah satu kecenderungan bentuk ketatanegaraan Indonesia di masa transisi dan setelah perubahan UUD 1945 adalah munculnya Komisi Negara Independen independen agencies maupun lembaga struktural lainnya. Komisi negara independen adalah organ negara state organs yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislaif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi dari 35 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66. 36 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 172. 26 ketiganya. Menurut Funk dan Seamon sebagaimana dikutip oleh Gunawan A. Tauda, sebuah komisi independen tidak jarang mempunyai kekuasaan quasi legislatif, quasi eksekutif dan quasi yudikatif. 37 Pada tatanan praktik ketatanegaraan Indonesia, keseluruhan lembaga-lembaga negara yang dikategorikan sebagai komisi negara independen adalah yang memiliki karakteristik sebagaimana disebutkan berikut ini: 38 1. Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari komisi negara independen terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 2. Independen,dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak maupun kontrol dari cabang kekuasaan lain. 3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-mata kehendak Presiden. 4. Kepemimpinan komisi bersifat kolektif, jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. 5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai oleh partai politik tertentu. 6. Masa jabatan pemimpin komisi bersifat definitif, habis secara bersamaan dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya. Komisi Yudisial sebagai komisi independen merupakan lembaga negara hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, tercantum dalam Pasal 24B UUD NRI 1945 di mana KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, 37 Ibid., h.173. 38 Ibid., h.175. 27 keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai implementasi putusan tersebut diperlukan ketentuan turunan yang memuat lebih detail tentang Komisi Yudisial. Maka, pada tanggal 13 Agustus 2004 disahkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di era pemerintahan presiden RI Megawati Soekarnoputri. 39 Merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat 4 UUD NRI 1945, maka keberadaan KY pada hakikatnya merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY melalui Pasal 2 menyatakan: “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya .” Membaca ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2011 menempatkan kedudukan KY sama dengan lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, MA dan MK. KY dikonstruksikan bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Tetapi lembaga ini dalam kewenangannya berkaitan erat dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam menjaga kredibilitas para hakim yaitu melalui 39 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial RI: Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012 h. 14. 28 pengusulan pengangkatan hakim dan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 40 Untuk mendorong reformasi peradilan maka perlu dilahirkan suatu lembaga mandiri yang mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim dan rekruitmen hakim. Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi yang bernama Komisi Yudisial. Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah sebagai auxiliary organ dimana Mahkamah Agung adalah sebagai main state organnya. 41 Sehingga dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa Komisi Yudisial dibentuk bukanlah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman melainkan sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa. Apabila kita perbandingkan dengan sistem hukum di Prancis, lembaga sejenis KY atau disebut Counseil Superiur de la Magistrature CSM memiliki kewenangan untuk pengangkatan hakim bahkan mereka juga mempunyai kewenangan hingga dalam memberikan pertimbangan terhadap promosi, mutasi terhadap para seluruh hakim di Prancis. Tujuan 40 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet. I, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007 h. 108. 41 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, cet.I, Bekasi: Kesaint Blanc, 2008, h. 122. 29 dari sistem ini adalah agar adanya keseimbangan dari pihak eksekutif dan yudikatif dalam melakukan pengangkatan hakim-hakim di Prancis. 42 Selain itu, tujuan dari dibentuk KY juga sebagai sarana agar masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Sehingga diharapkan kekuasaan kehakiman juga terjaga dari segi akuntabilitas dan independensi di hadapan masyarakat. Oleh karena itu diharapkan melalui KY, aspirasi masyarakat dapat dilibatkan di dalam proses pengangkatan Hakim Agung. Meskipun kewenangan pengusulan Calon Hakim Agung diberikan kepada KY, namun tetap saja KY tidak mempunyai kewenangan yang begitu absolut dalam menentukan Hakim Agung yang terpilih, karena hasil seleksi oleh KY nantinya akan diberikan kepada DPR untuk disetujui. Sehingga proses seleksi Calon Hakim Agung ini bukanlah sebagai bentuk monopoli dari KY saja, karena pada akhirnya KY tetap membutuhkan institusi-institusi lainnya termasuk peran masyarakat untuk memberikan masukan terkait calon-calon Hakim Agung yang akan diseleksi.

D. Teori Kewenangan