Labour dan ICFTU International Convenderation of Free Trade Unites yang menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan
buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.
93
Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian merumuskan Hubungan Industrial Pancasila HIP yang diharapkan dengan ini
hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila
dan UUD
1945.
94
Akan tetapi,
dalam perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang
optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh
seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak, peraturan- peraturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari
kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap
merugikan kaum buruh.
95
Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni Serikat Buruh Sejahtera Indonesia SBSI sebagai tandingan Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia SPSI. SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi
sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh. Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional
UMR, akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat
eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.
96
Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh
93
Ibid., h.44-45
94
Ibid., h.45
95
Ibid., h.46-47
96
Ibid., h.47
dianggap bisa membahayakan stabilitas nasional. Tak pelak, hubungan industrial pada masa Orde Baru sangat didominasi oleh pemerintah. Dengan
mengatasnamakan demi menjamin stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi, pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk menekan dan mengorbankan
kepentingan buruh.
97
Maka dari itu, tidaklah mengeherankan apabila nasib kaum buruh tetap saja memperihatinkan dan bahwa kesejahteraan mereka masih berada
di bawah standar. Mengamati kondisi buruh pada masa Orde Baru, Budiman Sudjatmiko,
aktivis yang pernah menjadi ketua PRD Partai Rakyat Demokratik mengatakan, persoalan perburuhan di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang
kompleks. Persoalan ini tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara termasuk di
dalamnya militer. Hal ini berkaitan dengan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Juga karena Hubungan
Industrial Pancasila HIP yang memang membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini adalah intervensi militer akibat politik
stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.
98
Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa dalam era kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah
mereka banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi dan politik mereka.
99
Rupanya, potensi yang dimaksud oleh Budiman Sudjatmiko inilah yang paling ditakuti oleh kaum borjuis. Dengan berbagai cara, seluruh mesin politik yang
menunjang kepentingan kaum borjuis dilakukan untuk merepresi buruh, baik secara ideologis maupun fisik.
Lebih lanjut, Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa di Indonesia, secara ideologis, represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era
Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
97
Ibid., h.47-48
98
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000, h. 8.
99
Budiman Sudjatmiko, ”Arti Penting Buruh”, Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor
18VJuli 2000, h. 2.
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh.
Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.
100
D. Pembelajaran Sastra
1. Pengertian Pembelajaran Sastra
Pendidikan, menurut Yudhi Munadi, pada hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya, dalam peristiwa pendidikan, pendidik
dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan
sumber norma di dalam pendidikan.
101
Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bertujuan
untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang terkandung dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang berbunyi: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
102
Kata pembelajaran sendiri dipakai sebagai padanan dari kata instruction bahasa Inggris. Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada
pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar-mengajar yang tidak dihadiri oleh
guru secara fisik.
103
Sebagai perbandingan, dapat pula ditinjau pendapat Moh. Uzer Usman mengenai pengertian proses belajar-mengajar. Menurutnya, proses
100
Ibid.
101
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012, h.3.
102
Rohinah M. Noor,op. cit., h. 108.
103
Ibid., h.4.
belajar-mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
104
Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak harus bisa memberikan manfaat.
105
Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran sastra hadir sebagai salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang
bermakna, berkarakter, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang baik untuk peserta didik. Pembelajaran sastra, menurut Rahmanto, dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupan meliputi empat manfaat, yaitu mambantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.
106
Pembelajaran sastra mencakup tiga genre sastra, yakni puisi, prosa, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan
menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas
produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.
107
2. Tujuan Pembelajaran Sastra
Joan Glazer dalam Rohinah M. Noor berpendapat bahwa sastra membantu perkembangan sosialisasi, yaitu 1 sastra memperlihatkan kepada anak-anak
bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar serta alamiah; 2 sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai
sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut; 3 perilaku para tokoh
memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi tersebut; 4 sastra turut memperjelas, bahwa seorang manusia mengalami berbagai
104
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997, h. 4.
105
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, Surabaya: JePe Press Media Utama, 2009, h.42.
106
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kaninus, 1988, h. 16
107
Rohinah M. Noor, op. cit., h.76
perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik.
108
Dalam dunia pendidikan, penanaman moral pada diri anak didik manusia merupakan suatu hal yang penting sebab ketika seorang manusia telah memiliki
moral yang baik, kepribadian yang menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.
109
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan
hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui karya sastra itulah diharapkan pembaca mampu mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang
disampaikan.
110
Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra, diharapkan para siswa mampu mengambil hikmah atau pelajaran untuk diterapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra tidak sekedar mengenalkan sastra kepada siswa.
Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang berguna untuk memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya
tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat mengembangkan pemikirannya serta talenta dalam menulis sehingga dapat memaknai hidup.
111
Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk
bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima
segala cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.
112
Jika ditelisik lebih jauh, pengajaran sastra tidak hanya membentuk watak dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dari
108
Ibid., h. 38-39
109
Ibid., h. 64
110
Ibid., h. 64-65
111
Ibid., h. 66
112
Ibid., h.11-12
semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk
membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur.
113
Selain itu, pembelajaran sastra juga dapat menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan di tengah kepenatan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang
“berat”. Pada saat itu, peran guru sangatlah penting. Melalui pendekatan yang dilakukan dengan proses yang sedikit demi sedikit, pembelajaran sastra dapat
mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat ekspresiungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama ini terendap.
114
Singkatnya pembelajaran sastra bisa menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memberikan manfaat bagi siswa.
Melalui pembelajaran sastra secara langsung maupun tidak langsung akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam
kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan
siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.
115
Melalui kegiatan apresiasi sastra yang memadai tentunya akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini,
sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya berperan dalam penanaman fondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan
karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, anak didik akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam
tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.
116
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul ini dapat ditinjau dari beberapa penelitian skripsi. Berikut ini adalah tinjauan penulis
pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul.
113
Ibid, h.12
114
Ibid.
115
Ibid., h. 82-83
116
Ibid, h.13-14