Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

(1)

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Disusun oleh

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki 1110013000020

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

Abstrak

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum.

Puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul menampilkan banyak potret kehidupasn sosial yang terjadi di Indonesia. Salah satu dari sekian banyak potret kehidupan sosial yang ditampilkan oleh Wiji Thukul adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru.

Penelitian yang menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk mengetahui sebuah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Berdasarkan penelitian, ditemukan 22 puisi yang menampilkan potret buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dari 169 puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh tersebut menampilkan berbagai potret buruh Indonesia seperti kehidupan ekonomi buruh yang sulit, permasalahan upah buruh yang rendah, permasalahan lembur paksa, jaminan kesehatan dan keselamatan buruh yang kuang mendapatkan perhatian oleh pihak perusahaan, serta tindakan represif dari pihak perusahaan kepada buruh.


(6)

Abstract

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , A Portrait of Indonesian

Labor in A Collection of Poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul: a

Review of Sociology of Literature and Its Implications on Indonesia Languages and Literature Learning in School. Indonesia Language and Literature Education Departement, Faculty of Tarbiya and teaching science, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Jamal D. Rahman, M.Hum.

The poems in a collection of poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji

Thukul shows many potrait of social life what happened in Indonesia. Among the various a portrait of social life displayed by wiji thukul is a portrait of Indonesian labor in Orde Baru era.

The research which sociology of literature review is conducted to

determine a portrait of Indonesian labor in a collection of poetry Nyanyian Akar

Rumput by Wiji Thukul and its implications on Indonesia language and literature learning in school .

Based on the results of research, found 22 poetry which showing a portrait of Indonesian labor in the Orde Baru era of 169 poetry that has colected in a

collection of poems Nyanyian Akar Rumput. 22 poetry about labor by Wiji Thukul

is showing a variety of Indonesian labor as a portrait of their economy life, the number of low labor wage that are not in accordance with the burden of work performed by labor, forced overtime issues, health care and safety in the work that is underappreciated by the company, and a repressive actions done by the officers of the companies to workers.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah memberikan petunjuk dan kekuatannya sehingga saya dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan kita sebagai pengikutnya sampai

akhir zaman. Aamiin!

Terselesaikannya skripsi yang berjudul Potret Buruh Indonesia dalam

Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ini merupakan hasil kerja saya yang tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik dukungan berupa doa, semangat, sumbangan pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan skripsi ini. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;

3. Bapak Jamal D. Rahman, dosen pembimbing skripsi saya yang dengan

penuh dedikasi tinggi telah bersedia membimbing saya dalam hal penulisan skripsi ini;

4. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A. selaku dosen penasihat akademik saya

yang telah memberikan pengarahan sampai terselesaikannya perkuliahan saya;

5. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK,

UIN Jakarta atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi yang begitu berguna dalam kehidupan saya;

6. Kedua orangtua saya, Basuki, S.Pd. dan Nurhayati Sulistiyo Rahayu

Ningsih, S.Pd. atas segala ketulusan dan pengorbanan yang senantiasa diberikan kepada saya;

7. Kedua adik saya Arbiyan Billah Dini Nurhakiki dan Siti Khairunnisa

Nurhakiki;

8. Sahabat-sahabat saya yang tercinta: Arul, Meizar, Puguh, Anam, Teguh,

Cecep, Ara, Habibah, Lintang, Papat, dan Rizka;

9. Ema Fitriani yang beberapa kali membantu saya dalam menemukan

sumber pustaka;


(8)

11. Sahabat-sahabat seperjuangan di Kemangilodi: Amal, Lina, dan Sri (saat kita tidak punya apa-apa, karyalah yang membawa kita ke mana-mana);

12. Sahabat-sahabat PBSI angkatan 2010;

13. Sahabat senasib, semimpi, dan seperjuangan di Kareina, Mbenk Haryadi

Kareina.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi.

Terakhir, saya berharap semoga skripsi ini dapat memberikan konstribusi wawasan bagi cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin!

Ciputat, 27 November 2014

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

BAB II: PUISI DAN BURUH A. Puisi ... 12

B. Pendekatan Sosiologi Sastra ... 24

C. Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru... 28

D. Pembelajaran Sastra ... 33


(10)

BAB III: WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS

A. Biografi Wiji Thukul ... 40 B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra ... 48

C. Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput ... 52

BAB IV: POTRET BURUH INDONESIA DALAM KUMPULAN PUISI NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL

A. Thukul dan Puisi tentang Buruh ... 54 B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh... 55

C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput .. 84

D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul tentang Buruh terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah ... 117

BAB V: PENUTUP

A. Simpulan ... 122 B. Saran... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125 LAMPIRAN-LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perburuhan di negeri mana pun, termasuk di Indonesia, dapat dikatakan tidak pernah menggembirakan. Kondisi dan nasib para buruh senantiasa menyedihkan. Mereka selalu saja terbelenggu dalam lingkungan industrial yang kerap menggerus mereka dalam keadaan tereksploitasi pikiran dan tenaganya.

Sejak masa kolonial hingga saat ini, kondisi dan nasib buruh di negeri ini tetap saja memperihatinkan, tak ada banyak perubahan berarti ke arah yang lebih baik dalam kehidupan mereka. Bahkan, lahirnya serikat-serikat buruh sejak era kemerdekaan, Orde Baru hingga era Reformasi yang diharapkan mampu menjadi wadah bagi buruh untuk bersatu dan memperjuangkan nasib mereka ternyata hasilnya masih jauh dari kata memuaskan.

Jika kita menyaksikan kondisi perburuhan di Indonesia, maka kita akan dapat menyadari betapa kompleks dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya dan hal itu tak kunjung ada penyelesaiannya. Buruh pun berada dalam sebuah dilema, di satu sisi, mereka membutuhkan pihak perusahaan untuk bekerja dan mendapatkan upah, namun di sisi lain, dalam pekerjaannya para buruh kerapkali dieksploitasi demi kepentingan pihak perusahaan tempat mereka bekerja.

Persoalan tentang buruh dapat dikatakan sebagai persoalan yang krusial. Persoalan ini bukan sekadar persoalan industrial, tetapi juga menyangkut persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sistem ekonomi-politik suatu negara akan menentukan corak sistem perburuhan yang diberlakukan.

Persoalan perburuhan sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dunia, khususnya kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, kaum buruh cenderung dieksploitasi. Bahkan, buruh kerap dikonotasikan sebagai mesin produksi, maka upah yang diberikan kepada kaum buruh harus disesuaikan dengan tingkat produktivitas mereka. Kondisi inilah yang membuat buruh terus-menerus terisap


(12)

dan termarjinalkan dalam dunia industrial. Maka, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila dari masa ke masa nasib buruh senantiasa memperihatinkan.

Di Indonesia, pada masa Orde Baru, penguasa kala itu mencanangkan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Hal ini kemudian diikuti dengan diterapkannya Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang membuka peluang intervensi negara. Sialnya, penerapan politik pembangunan dan HIP oleh ini tidak mampu memperbaiki kehidupan buruh. Kondisi buruh tetap memperihatinkan. Sistem kapitalistik yang semakin berkembang terus menggerus kehidupan buruh. Kondisi ini diperparah dengan intervensi yang kerap dilakukan pemerintah. Dengan dalih menjaga stabilitas, pemerintah kala itu tidak segan menggunakan aksi represif terhadap buruh yang mangadakan aksi protes sebagai alat untuk memperjuangkan diri mereka. Sementara, dalam kehidupan pekerjaannya, pihak perusahaan terus-menerus mengekploitasi mereka.

Keadaan perburuhan di Indonesia yang seperti inilah yang kemudian menyadarkan para buruh untuk semakin bertekad memperjuangkan hak dan nasib mereka demi kehidupan yang lebih baik. Maka mulai lahirlah beberapa serikat buruh yang benar-benar berpihak pada buruh (bukan serikat buruh bentukan penguasa yang pada kenyataannya digunakan untuk kepentingan penguasa). Selain itu, para buruh pun mulai bersatu bersama pihak-pihak lain semisal para aktivis untuk sama-sama memperjuangkan keadilan bagi buruh. Kehadiran para aktivis dalam perjuangan buruh ini memiliki posisi yang penting sebagai motor penggerak bagi buruh untuk menyadari dan memperjuangkan hak mereka.

Di antara aktivis buruh yang menonjol pada masa era Orde Baru adalah Wiji Thukul. Akan tetapi, dia bukan sekadar aktivis, ia juga seorang penyair yang sebelumnya juga pernah bekerja sebagai buruh. Sebagai seorang penyair, Wiji Thukul kerap menggunakan puisinya sebagai media protes sosial terhadap penguasa. Di antara hal yang sangat sering ia sampaikan dalam protes sosialnya adalah nasib buruh. Seperti yang sudah penulis katakan, Wiji Thukul sendiri juga pernah menjadi buruh, begitu pun dengan istrinya, Sipon. Pergaulannya yang


(13)

dekat dengan dunia buruh membuat Thukul bisa merasakan bagaimana nasib buruh pada masa Orde Baru yang begitu memperihatinkan.

Di antara puisi Wiji Thukul yang menampilkan potret buruh adalah

puisinya yang berjudul “Suti”. Melalui puisi tersebut, Thukul menampilkan potret

seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya

yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya

sebagai buruh tidak mencukupi. Sementara itu, dalam puisi “Leuwigajah”, Wiji

Thukul menampilkan potret buruh (tenaga muda) yang terus diperah, diisap darahnya, seperti buah disedot vitaminnya.

Dalam puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, bahkan Wiji Thukul

dengan terang-terangan menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka: kaum buruh. Dengan keras Thukul mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh.

Nasib buruh pada masa Orde Baru memang sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak di antaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Buruh saat itu dituntut untuk bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak diimbangi dengan upah yang sepadan. Belum lagi tentang banyaknya kisah penganiayaan terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja (ambil contoh kasus Marsinah, buruh dan aktivis yang meninggal sebab dibunuh oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja). Hal inilah yang banyak menjadi bahan protes sosial Wiji Thukul melalui puisi-puisinya.

Pada tahun 2014, terbit kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul yang

berjudul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka

Utama. Dari sekian banyak puisi yang terdapat dalam kumpulan lengkap puisi tersebut, terdapat beberapa puisi yang mengangkat tema tentang nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di antara puisi-puisi itu adalah puisi yang

berjudul “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu


(14)

membacanya akan dapat menyaksikan bagaimana nasib buruh Indonesia ketika masa Orde Baru lengkap dengan kondisi batin mereka.

Potret nasib buruh pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya merupakan suatu hal yang menarik. Thukul bukan hanya sekedar menulis puisi, ia juga seorang mantan buruh dan setelah menjadi aktivis ia juga turut menggerakkan buruh untuk melakukan protes terhadap pemilik pabrik dan penguasa saat itu untuk memperjuangkan nasib mereka. Bahkan, aksinya dalam menggerakkan buruh itu pernah mengakibatkannya mendapatkan tindak kekerasan dari aparat. Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana Thukul telah berusaha memperjuangkan nasib buruh melalui puisi sekaligus aksi.

Sebagai penyair, Wiji Thukul telah berhasil menampilkan potret kenyataan sosial yang pernah terjadi di negerinya dalam hal ini adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Bukan itu saja, ia juga menjadikan puisi-puisinya sebagai alat protes sosial terhadap penguasa dan pihak perusahaan yang di sisi lain mampu menggerakkan para buruh untuk bersatu dan memperjuangkan hak dan nasib mereka. Apa yang dilakukan oleh Thukul melalui puisi-puisinya menegaskan bahwa puisi dapat dijadikan sebagai media yang mengabadikan sebuah potret kenyataan sosial yang di sisi lain dapat digunakan sebagai alat protes sosial.

Nama Wiji Thukul dalam sejarah sastra Indonesia seolah-olah terlupakan atau bahkan sengaja dilupakan yang mungkin saja akibat dari sosoknya sebagai penyair sekaligus aktivis pemberontak yang menjadi musuh penguasa. Begitulah, sejarah memang sering ditulis dan dilupakan demi kepentingan penguasa. Wiji Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup atau tidak, jika sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya setelah tragedi krisis 1998. Banyak yang mengatakan ia telah menjadi korban politik penguasa yang tak tahan oleh kritik dan aksinya sebagai penyair sekaligus aktivis.

Dapat dikatakan, Wiji Thukul, baik sebagai penyair, aktivis, maupun manusia biasa telah mengalami peristiwa hidup yang tragis. Ia memilih hidup


(15)

sebagai seorang penyair dan aktivis yang memperjuangkan hak buruh maupun rakyat kecil lainnya dari kesewenangan penguasa, tetapi justru karena pilihan hidupnya itulah ia dianggap sebagai musuh oleh penguasa. Berdasarkan hal-hal tersebut yang telah penulis jelaskan, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul. Ada pun judul dari

penelitian ini adalah “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam

Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Melalui penelitian ini, penulis berusaha

menguraikan bagaimana kumpulan puisi Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian

Akar Rumput mencerminkan nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru.

B. Identifikasi Masalah

Di dalam penelitian tentu terdapat banyak faktor atau unsur yang diteliti. Faktor atau unsur-unsur tersebut memerlukan pengidentifikasian masalah. Tujuan adanya identifikasi masalah adalah agar memudahkan peneliti dalam mengkaji bahasan penelitiannya. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam skripsi ini.

1. Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan dalam

puisi-puisi Wiji Thukul merupakan usaha penyair untuk menguak fakta tentang kondisi buruh pada zaman itu yang seringkali diperlakukan secara tidak adil, namun fakta tersebut ditutupi oleh penguasa saat itu.

2. Puisi-puisi Wiji Thukul yang bertemakan tentang buruh merupakan usaha Wiji

Thukul untuk memperjuangkan nasib buruh yang pada masa Orde Baru.

C. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka diperlukan batasan masalah. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi


(16)

Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul?

2. Bagaimana implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji

Thukul terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam

kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.

2. Untuk mengetahui implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput terhadap

pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Untuk menguji kualitas yang dilakukan oleh seorang peneliti, maka suatu penelitian harus memiliki manfaat baik secara teoretis, maupun praktis. Berikut merupakan manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian skripsi ini.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang kritik sosial, khususnya mengenai permasalahan buruh di Indonesia dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi para guru Bahasa dan Sastra Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang menaruh minat terhadap bahasa dan sastra Indonesia.


(17)

a) Mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta

relevansinya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.

b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia.

c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang berminat terhadap

pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut, serta sebagai inovasi baru bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

G. Metode Penelitian

Penelitian yang baik adalah penelitian yang menggunakan metode yang relevan. Fungsi dari penggunaan metode penelitian adalah agar penelitian yang

dilakukan mendapatkan hasil yang sistematis, valid, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Berikut ini merupakan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi

yang berjudul “Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Keterampilan Menyimak Sastra di Sekolah Menengah Atas”.

1) Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya, data penelitian dari hasil analisis, yaitu berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif adalah berupa teks. Sedangkan pendekatan teori menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra menurut Abrams adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan karya sastra sebagai imitasi dari realitas.1

1


(18)

Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.

2) Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena

yang ditanggap.2 Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan data

dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci untuk menggambarkan suatu hal, keadaan, dan fenomena yang meliputi analisis dan interpretasi terhadap objek yang diteliti.

Dengan desain tersebut, maka penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi pokok masalah dalam puisi yang dikaji,

yakni kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan

implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.

3) Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data langsung yang berkaitan dengan karya sastra yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan I: 2014, dengan tebal 248 halaman. Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.

2

Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,


(19)

4) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka merupakan teknik yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk meperoleh data penelitian. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat dan terarah terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya sastra yang diteliti.

Dalam penelitian ini, sumber-sumber tertulis yang digunakan sesuai dengan analisis struktur yang membangun serta potret buruh Indonesia yang terdapat

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Peneliti

melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data

primer, yaitu teks puisi “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”,

“Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada

Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”,

“Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton

Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin

Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”,

“Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” untuk

memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.

5) Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penlitian ini adalah teknik membaca heuristik. Menurut Riffatere dalam Sangidu, pembacaan heuristik


(20)

menginterpretasikan teks satra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik.3.

Langkah awal dalam menganalisis kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput

adalah dengan membaca secara heuristik. Membaca dengan heuristik bertujuan untuk mengetahui makna secara tersurat secara keseluruhan dari

kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Setelah itu, peneliti

mengklasifikasikan puisi Wiji Thukul mana saja yang mengandung potret buruh Indonesia hingga ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul yang

berbicara tentang buruh. Ada pun 22 puisi tersebut adalah “Suti”, “Ayolah

Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,

“Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan

Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”,

“Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang

Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”,

“Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di

Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”.

Kemudian, peneliti menganalisis unsur batin dan fisik 22 puisi tersebut. Lalu, peneliti menganalisis 22 puisi tersebut berdasarkan pendekatan mimetik untuk mengetahui segala potret buruh Indonesia yang terdapat dalam puisi-puisi Wiji Thukul tersebut.

Setelah puisi-puisi tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan mimetik, selanjutnya peneliti mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.

6) Validitas Data

Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Adapun tringulasi yang digunakan adalah tringulasi teori, yaitu penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda dalam menganalisis data.

3.

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), h.45.


(21)

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tringulasi sumber. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen untuk menguji data yang sejenis tentang kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh.


(22)

BAB II

PUISI DAN BURUH

A. Puisi

1. Pengertian Puisi

Sebagai karya kemanusiaan, puisi pada hakikatnya adalah ungkapan

kualitas kemanusiaan kita−yang disadari atau pun tidak, keberadaannya selalu

hadir dalam kehidupan kemanusiaan kita. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, misalnya, seringkali kita menjumpai berbagai ekspresi puitis yang terlontar dari lisan kita. Bahkan, sudah sejak lama jenis puisi seperti mantra digunakan oleh sebagian masyarakat dalam kegiatan ritual spiritual seperti pemujaan roh nenek moyang hingga ritual untuk menolak bala. Dengan kata lain, dalam menjalani dan menyikapi kehidupannya, secara sadar maupun tidak, manusia terbiasa menggunakan sekaligus memanfaatkan puisi. Hal ini menegaskan pula, bahwa pada kenyataannya puisi dengan kehidupan manusia adalah dua sisi koin yang memang tidak dapat dipisahkan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya pengertian dari puisi itu sendiri?

Puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam

sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan

bait4. Zainuddin menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah karya

sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan pengungkapannya tidak

terperinci, tidak mendetail atau tidak meluas5. Pendapat lain dikemukakan oleh

Waluyo yang mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasan penyair secara imajinatif dan disusun

dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.6

Sementara itu, Samuel Jhonson dalam Aswinarko mengatakan bahwa puisi adalah seni penyatuan kesenangan-kesenangan dengan kebenaran melalui

4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.1112.

2 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 100.


(23)

sentuhan imajinasi yang bernalar. Batasan tersebut berkaitan dengan bentuk

batinnya saja.7 Selanjutnya, Winarko dan Ahmad Bahtiar mengemukakan

pendapat tentang pengertian puisi bahwa puisi adalah ungkapan jiwa yang bersifat emosional dengan mepertimbangkan efek keindahan yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sanjak, dan kata-kata

kias yang penuh makna8.

Mengenai pengertian dari puisi, E. Kosasih berpendapat bahwa puisi

adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna9.

Sementara itu, Donald A. Stauffer berpendapat bahwa poetry is concrete. Its

significance is embodied in the symbols of all the senses; and moral statement, abstract speculations, convictions, hopes, and tenuous emotions, are all set forth to walk in images and actions.10

2. Struktur Puisi

Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna. E. Kosasih mengatakan bahwa puisi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Mengenai unsur fisik puisi, akan dijelaskan secara lebih rinci berikut ini.

A) Unsur Fisik

a) Diksi

Ketika menulis puisi, seorang penyair haruslah cermat dalam memilih kata-kata, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Diksi atau pilihan kata adalah hasil dari upaya memilih kata yang tepat untuk dipakai dalam suatu tuturan

bahasa.11Sementara itu, Gorys Keraf berpendapat bahwa diksi mencakup

7Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, Kajian Puisi: Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra Press, 2013), h.8.

8 Ibid., h. 9

9 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), h. 97.

10

Donald A. Stauffer, The Nature of Poetry, (United States of America: Holt, Rinehart, and Winston, 1960), h.471.

11

Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press, 2009), h. 65.


(24)

pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.12

Ada beberapa hal lain yang harus dipertimbangkan oleh penyair dalam memilih kata-kata dalam puisinya, yaitu perbendaharaan kata, ungkapan, urutan kata-kata, dan daya sugesti kata-kata. Berikut akan dijelaskan secara lebih detil.

1) Perbendaharaan kata

Perbendaharaan kata penyair di samping sangat penting untuk kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih kata-kata, di samping penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Maka penyair satu berbeda dalam memilih kata dari

penyair lainnya.13

2) Urutan kata

Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan kata itu tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Di samping itu, urutan kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang diinginkan penyair. Jika urutan katanya diubah,

maka perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula.14

3) Daya sugesti kata-kata

Daya sugesti kata-kata ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya itulah yang membuat kata-kata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut

sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.15

b) Pengimajian

12

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 24.

13

Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), h. 73 14

Ibid. 15 Ibid.


(25)

Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih

konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.16

Pengimajinasian atau imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami oleh penyair.17

Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam,

yakni imaji visual (penglihatan), imaji auditif (suara), dan imaji taktil (cita rasa).18

Imaji visual adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Imaji auditif adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Sementara itu, imaji taktil adalah imaji rasa kulit yang menyebabkan pembaca seolah-olah merasakan di bagian kulit terasa nyeri, perih,

panas, dingin, dan sebagainya.19

c) Kata Konkret

Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Kata konkret adalah syarat atau sebab terjadinya pengimajian. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan penyair.20

d) Bahasa Figuratif (Majas)

16 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 78 17 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 115 18 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 79 19 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 81 20 E. Kosasih, op. cit., h.103


(26)

Bahasa figuratif merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk

mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata lain.21

Penggunaan bahasa figuratif ini menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau

makna lambang22 Berikut akan dijelaskan mengenai makna kiasan dan

perlambangan.

1) Kiasan

Kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya baha kiasan karena mewakili apa yang secara tradisonal disebut gaya bahasa secara keseluruhan. Tujuan penggunaan kiasan ialah untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa

puisi.23 Berikut ini akan dijelaskan metafora (kiasan langsung), persamaan

(kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, euphemisme, sinekdoke, dan ironi.

a. Metafora

Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh: bunga sedap malam, melati di tapal batas, dan sebagainya.24

b. Perbandingan

Perbandingan atau yang disebut juga sebagai simile adalah kiasan yang tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai,

bak, dan sebagainya. Contoh: kau bagai pelita dalam kegelapan, bola

mata hitam bak malam yang dalam, dan sebagainya.25

c. Personifikasi

21Ibid., h. 104.

22 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 83 23Ibid.

, h. 84 24Ibid., h. 84 25Ibid., h. 85


(27)

Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal

ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona. Contoh: angin

bernyanyi, pepohon pun menari, dan sebagainya.26

d. Hiperbola

Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan

perhatian yang lebih saksama dari pembaca. Contoh: luka yang kau

goreskan adalah kepedihan seribu tahun bagiku.27

e. Sinekdoke

Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Terbagi atas parte pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro

parte (menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian). Contoh: aku

merindukan senyummu, „aku‟ merindukan diri seseorang yang dikasihinya, tetapi hanya menyebutkan senyum orang yang dikasihinya

saja (parte pro toto), rakyat pun termangu meratapi kemiskinannya,

untuk menggambarkan keadaan sebagian rakyat yang miskin, pada contoh ini disebutkan semua rakyat termangu meratapi kemiskinannya

seolah-olah semua rakyat miskin.28

f. Ironi

Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan

sindiran.29 Wiji Thukul dalam sebuah puisinya pernah memberi

sindiran kepada penyair yang terlalu mendewakan seni sastra yang tinggi melalui karyanya, namun tidak seolah-olah tuli dalam mendengar jeritan kehidupan dan kemiskinan serta kenyataan sosial yang terjadi sebenarnya

26Ibid. 27Ibid. 28Ibid.


(28)

2) Perlambangan

Perlambangan digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah pembaca. Perlambangan digunakan penyair sebab ia merasa bahwa kata-kata dari kehidupan sehari-hari belum cukup untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Perlambangan dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan lambang warna, lambang benda, lambang suasana, dan lambang bunyi. Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan penyair untuk mengganti

keadaan atau peristiwa itu.30

e) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)

1) Rima

Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi dalam puisi digunakan untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata 31.

a. Onomatope

Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada.32 Contoh:

pada tip-tap-tip-tap langkahnya (pada contoh ini digunakan tiruan

bunyi langkah orang yang berjalan, yaitu tip-tap-tip-tap).

b. Bentuk intern pola bunyi

Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa yang dimaksud bentuk intern pola bunyi ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan akhir persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi

bunyi, dan sebagainya.33 Aliterasi adalah persamaan bunyi pada suku

kata pertama sedangkan asonansi adalah ulangan bunyi vokal pada

kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan.34

30Ibid. 31Ibid., h. 90

32Ibid. 33Ibid., h.92


(29)

c. Pengulangan kata

Pengulangan tidak hanya berbatas pada bunyi, namum juga kata-kata atau ungkapan. Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek

magis yang murni.35Misalnya dalam puisi “Aku ingin”, Sapardi Djoko

Damono menggunakan dua kali larik aku ingin mencintaimu dengan

sederhana, yakni pada larik pertama bait pertama dan larik pertama bait kedua.

2) Ritma

Ritma sangatlah erat kaitannya dengan bunyi dan berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma berbeda dari metrum (matra). Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Slamet Muljana dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa ritma adalah pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Membahas metrum dalam puisi Indonesia sangatlah sulit, sebab dalam bahasa Indonesia, tekanan tidak membedakan arti dan belum dilakukan, namun dalam deklamasi puisi peranan metrum sangat

penting.36

f) Tipografi (Perwajahan)

Tipografi atau perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan

bait pada puisi.37Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan

prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan. Tepi kiri dan tepi kanan dari halaman yang memuat puisi

belum tentu terpenuhi tulisan.38

35Ibid. 36Ibid., h. 94.

37 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 113


(30)

Kata-kata yang disusun mewujudkan larik-larik yang panjang dan pendek, yang membentuk suatu kesatuan padu. Pergantian larik panjang dan pendek

sedemikian bervariasi secara harmonis sehingga menimbulkan ritma yang padu.39

B) Unsur Batin Puisi

Selain memunyai unsur fisik, puisi juga memunyai unsur batin. Berikut adalah penjelasan mengenai unsur batin dalam puisi.

a) Tema

Tema adalah gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.40

Tema juga berupa pengungkapan pokok pikiran dan persoalan manusia yang hakiki yang mengandung arti (cinta, benci, dendam, duka, keserakahan, keadilan, kesesangsaraan, penindasan, dan kebahagiaan). Secara umum, tema dapat dikatakan sebagai dasar untuk mengembangkan suatu puisi atau topik yang

menjadi pokok utama yang disebut juga sebagai gagasan pokok.41

b) Perasaan

Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau

pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau Sang Khalik.42 Puisi merupakan

karya yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau penyair hendak mengagungkan kekaguman

terhadap kekasih, alam atau Sang Pencipta.43

c) Nada dan Suasana

Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair

kepada pembaca ini disebut nada puisi.44 Sementara itu, suasana adalah keadaan

jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada dan suasana puisi sangat berhubungan. Nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada

39 Ibid.

40 E. Kosasih, op. cit., h.105.

41 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.53-54

42 E. Kosasih, op. cit., h. 105.

43 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 54 44 E. Kosasih, op. cit., h.109.


(31)

kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan

bagi pembaca.45

d) Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.46 Puisi mengandung amanat

atau pesan yang dismapaikan penyair kepada pembaca. Setiap pembaca dapat menafsirkan sebuah puisi secara individual. Pembaca yang satu dengan yang lain

mungkin akan berbeda dalam menafsirkan amanat yang terdapat dalam puisi.47

3. Jenis-jenis Puisi

Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan, puisi terbagi ke dalam jenis-jenis berikut.

a) Puisi Naratif

Puisi naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan

penyair.48 Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.

Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh

adalah kumpulan puisi Rendra yang berjudul Balada Orang-orang

Tercinta. Sementara, romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah

percintaan mereka lebih memesonakan.49

b) Puisi Lirik

Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan aku lirik atau gagasan

pribadi aku lirik.50 Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi

adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Sebagai contoh puisi

“Elegi Jakarta” karya Asrul Sani. Serenada adalah sajak percintaan yang dapat dinyanyikan. Sebagai contoh puisi “Serenada Biru” karya Rendra.

45Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 53-54

46 E. Kosasih, op. cit., h.109.

47Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 55

48 Ibid., h.14. 49

Herman J. Waluyo, op.cit., h.135-136 50 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.14


(32)

Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal atau

suatu keadaan. Sebagai contoh adalah puisi “Diponegoro” karya Chairil

Anwar.51

c) Puisi Deskriptif

Puisi deskriptif adalah puisi yang penyairnya bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang

menarik perhatian penyair.52 Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam

puisi deskriptif di antaranya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Puisi kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan dan ketidakberesan keadan/orang tersebut. Sedangkan puisi impresionistik adalah puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu hal.53

d) Puisi Kamar

Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendiri dengan satu atau dua

pendengar saja di dalam kamar.54

e) Puisi Audiotorium (Puisi Mimbar)

Puisi audiotorium, disebut juga puisi hukla, yaitu puisi yang cocok dibaca

di hadapan orang banyak (acara seremonial) atau dibaca di audiotorium.55

f) Puisi Pamflet

Puisi pamflet mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas terhadap keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes

51

Herman J. Waluyo, op.cit., h.136

52 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15 53

Herman J. Waluyo, op.cit., h.137

54 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15 55Ibid., h.14.


(33)

secara spontan tanpa proses pemikiran dan perenungan yang mendalam.

Salah satu dari tokoh puisi pamflet adalah Rendra.56

g) Puisi Epik

Puisi epik adalah puisi yang mengungkapkan tentang petualangan atau perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur

yang dilakukannya.57

4. Fungsi Puisi dalam Masyarakat

Seorang pemikir Yunani, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile,

dalam tulisannya berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra memunyai fungsi ganda,

yakni, menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya.58 Berdasarkan hal

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik bukan hanya sekadar indah dan menghibur, tetapi juga mengandung pesan atau amanat yang bermanfaat bagi pembacanya. Herman J. Waluyo dalam Endah Tri Priyatni berpendapat bahwa fungsi sastra adalah sebagai wahana katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap

keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.59

Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik selalu bernilai relijius, artinya, sastra akan selalu mengajak menuju

kehidupan yang lebih baik dan benar.60 Apabila pesan sastra yang baik tersebut

benar-benar diamalkan dan dipatrikan dalam sikap hidup, niscaya ia akan

serta-merta memantul lewat perilaku yang dekat dengan kebaikan.61

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan puisi, mantan Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy pernah mengatakan bahwa jika

56

Ibid., h.141-142 57Ibid., h.17.

58 Melani Budianta dan Kawan-kawan, op. cit., h.19.

59 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 22.

60 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), h.

16.

61 Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media), h. 3.


(34)

politik kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya.62 Apa yang dikemukakan oleh John F. Kennedy ini bukanlah sebuah bualan belaka, sebab dalam kenyataannya puisi memang tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosial politik dan keduanya saling memengaruhi.

Dilihat dari sisi yang lain, puisi dapat pula dijadikan sebagai alat kontrol sekaligus kritik sosial. Rohinah M. Noor bahkan mengatakan bahwa ketika kekerasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi dengan fitrahnya maju sebagai penggugat dan pembela. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan

darah, puisi juga turut merekamnya.63 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi puisi, yakni sebagai media perekam sejarah sekaligus alat protes sosial (penggugat).

Ada kalanya, puisi juga dapat menjadi sebuah media perubahan sosial dan penyair menjadi agen perubahannya. Di Irak, terdapat penyair bernama Nazik Malaikah. Melalui puisi-puisinya, ia menyerukan perubahan dengan nada yang bergelora juga bertema kekecewaan dan keputusasaan atas kegagalan suatu rezim. Rakyat Irak menganggap Nazik sebagai pahlawan revolusi yang puisi-puisinya diakui oleh banyak pengamat telah menjadi sumber revolusi besar Irak pada 14

Juli 1958 yang mengkudetakan rezim Rasyid al-Kilani.64

B. Pendekatan Sosiologi Sastra

1. Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan

karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.65 Dalam kaitan ini, sastra

dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap

diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.66

Sementara itu, Aswinarko mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertitik-tolak dari asumsi bahwa sastra (puisi) merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial meliputi

62Ibid., h. 29.

63 Ibid, h. 31-32. 64Ibid., h. 32-33.

65 Siswanto, op. cit., h.188.

66 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Centre for Academic Publising Service), h. 78.


(35)

peraturan kehidupan sosial, hubungan antarmasyarakat, interaksi antarkomunitas

dalam masyarakat.67 Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Atar

Semi yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi

bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.68

Pendekatan sosiologi sastra berasal dari dua bidang pengetahuan, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hubungan sosial antarmanusia dalam masyarakat dengan segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Vladimir Jdanov dalam Robert Escarpit bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus mengabaikan sudut pandang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang

independen dan berdiri sendiri.69

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya

karya sastra.70

Suwardi Endraswara mengatakan bahwa secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: (1) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif, (2) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, dan (3) studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat

mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidup.71

Mengutip apa yang dikatakan oleh Laurenson dan Swingewood, lebih lanjut Suwardi Endraswara mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan

67 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.92.

68 Atar Semi, Metodologi Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 2012), h. 92. 69 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h.8.

70Suwardi Endraswara, op. cit., h. 77


(36)

refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial

budaya.72

Sosiologi sastra juga dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif

biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan menjadi life

history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif

represif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.73

Ada kalanya, penelitian sastra juga menjurus ke masalah-masalah politik, karena politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks sastra. Bahkan, kondisi politik juga sering memengaruhi kehidupan sastra itu sendiri74

Dalam kaitan itu, sosiologi sastra memang merupakan penelitian manusia dalam kaitannya dengan masyarakat dan teks sastra, karena memang antara manusia, kehidupan sosial, dan sastra tidak bisa dilepaskan.

2. Hubungan Karya Sastra dan Masyarakat

Sastra, sebagaimana menurut Rohinah M. Noor, merupakan sebuah produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa sastra berada dalam tarik-menarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial yang di dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan ideologis, bahkan doktrin agama.75

Senada dengan Rohinah, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat yang mau tidak mau akan

72Ibid., h. 79

73Ibid., h. 80-81

74Ibid., h. 90


(37)

menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, pengarang berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara

pengarang dengan pembacanya.76

Pandangan yang amat populer adalah pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan cerminan sosial, dalam kata lain karya sastra merupakan cermin pada zaman ketika karya tersebut diciptakan. Konteks sastra sebagai cermin akan merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara sastra dengan kehidupan masyarakat. Konteks pandangan ini juga merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat. Perubahan dan cara individu dalam bersosialisasi biasanya akan

menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks (sastra).77

Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara sastra dengan masyarakat dan oleh karena masyarakat cenderung dinamis,

karya sastra juga cenderung mencerminkan hal yang sama.78

Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, setiap teks sastra mengandung resonansi sosial, historis, dan politik. Karya sastra sering berada

pada “ketaksadaran politik” yang mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga secara tak sadar mengungkapkan heterogenitas di luar teks. Di antara heterogenitas itu adalah

masalah-masalah sosial yang memperkaya teks sastra.79

Pada konteks sosiologi sastra, sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, fungsi sastra dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan.

76 Suwardi Endraswara, op. cit., h. 89.

77Ibid., h. 88

78Ibid., h. 89


(38)

Bahkan, mungkin juga sastra dianggap sebagai suatu hal yang mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi

pembacanya.80

C. Potret Buruh dalam Sejarah Industrial Indonesia

Kata „buruh‟ bisa dipahami sebagai pekerja di bidang apa saja selama ia

tidak berada pada posisi sebagai pengusaha atau pihak yang membela kepentingan

pengusaha.81 Istilah buruh pada dasarnya dapat dikatakan sama dengan pekerja,

tenaga kerja maupun karyawan. Akan tetapi, dalam kultur Indonesia, "buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam

melakukan kerja.82

Sejarah industrial di Indonesia dimulai dengan sistem perbudakan. Upah yang diterima oleh budak biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan.

Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang.83

Potret perbudakan yang begitu memilukan misalnya pernah terjadi pada 1877 ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai

cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.84 Ini adalah salah satu contoh peristiwa

tragis dalam dunia perbudakan yang pernah terjadi di wilayah yang sekarang ini bernama Indonesia (dulu Nusantara).

Imam Soepomo dalam Abdul Jalil mengatakan pada zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles yang merupakan seorang anti

perbudakan pada 1816 sempat mendirikan The Java Benevolent Institution,

semacam lembaga yang bertujuan menghapus perbudakan. Sayangnya ia terlanjur

80Ibid., h. 90-91

81 Anonim, “Sastra Buruh, Apa Itu”, (Tangerang: Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 1.

82Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10 April

2014 Pukul 20:07.

83

Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008), h.33

84 Ibid.,


(39)

harus meninggalkan Hindia Belanda sebelum sempat mewujudkan cita-citanya itu.85

Pada 1817 ketika Indonesia dikuasai oleh Belanda, pemerintah kolonial membuat beberapa peraturan tentang perbudakan di antaranya larangan memasukkan budak ke pulau Jawa. Pemerintah kolonial juga membuat peraturan yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain menjadi merdeka sepulangnya dari negeri tuannya. Budak yang menolong tuannya dari bahaya maut juga dinyatakan

merdeka.86

Pada masa penjajahan Belanda, masalah perbudakan tak kunjung jua terhapuskan, malah timbul sistem perbudakan baru: kerja rodi. Di Jawa, kerja rodi ini pada mulanya dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, dan para pegawai lainnya, serta untuk kepentingan bersama. Akan tetapi, tidak jarang para penguasa menggunakan kerja bersama ini untuk

kepentingannya sendiri.87 Salah satu kerja rodi terbesar yang pernah terjadi di

Indonesia adalah kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia atas paksaan pemerintah kolonial pimpinan Deandles.

Berdasarkan catatan koloni, Indonesia (yang dulu masih bernama Hindia Belanda) dikatakan bebas dari perbudakan pada tahun 1922 dan sistem kerja rodi

dihapus pada 1 Februari 1938.88 Sistem hubungan kerja industrial pada 1930-an

mulai bersifat kapitalistik. Hal itu dipicu adanya produksi komoditas internasional secara massal. Data statistik pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai buruh ada sekitar enam juta orang dan setengah jutanya adalah buruh yang sudah bersentuhan dengan teknologi seperti pertambangan, transportasi, dan perbengkelan. Sedangkan sisanya terdiri atas buruh industri kecil (2.003.200), dan buruh musiman yang

umumnya terdiri atas buruh tani dan tani miskin.89 Kondisi buruh pada masa ini

85Ibid

., h.34 86

Ibid. 87Ibid.

, h.39

88Ibid.

, h.38-39

89 Ibid.


(40)

tetap tidak dapat dikatakan membaik, pemerintah kolonial banyak membuat peraturan yang kerap merugikan pihak buruh yang cenderung membuat para buruh terus dieksploitasi.

Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial tampak diwarnai pergolakan politik, namun relatif berjalan baik. Serikat-serikat buruh memunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan politik praktis. Mereka pun berafiliasi dengan partai-partai politik dan aliran-aliran

ideologi tertentu dengan tujuan menjadikannya sebagai alat perjuangan.90 Tumbuh

suburnya serikat-serikat buruh pada awal kemerdekaan tak telepas dari diratifikasinya Kovensi ILO tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan berorganisasi. Pada 1956, pemerintah Indonesia kembali meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949. Implikasinya, pada periode 1960-an jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sulit dihitung. Meskipun

demikian, tingkat kesejahteraan buruh ternyata tidak berubah secara signifikan.91

Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru

Pada saat Orde Baru berkuasa di Indonesia, agenda industrialisasi mulai dijalankan secara serius. Arah umum kebijakan jangka panjang yang ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dengan industri manufaktur yang kuat dan maju

didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.92

Dalam tempo yang relatif cepat, perubahan dalam dunia industrial di Indonesia ini membuat mulai tergeserkannya sektor pertanian sebagai motor utama pertumbuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian membentuk MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) untuk membicarakan berbagai hal guna mengonsolidasi kehidupan para buruh yang kemudian diikuti dengan dileburkannya dua puluh satu serikat buruh pada 1972 menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Akan tetapi, dalam perjalanannya federasi ini dinilai

tidak demokratis. Tuduhan itu dilontarkan oleh WCL (World Convenderation of

90 Ibid

., h.41 91

Ibid., h.43 92


(41)

Labour) dan ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites) yang menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan

buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.93

Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian merumuskan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diharapkan dengan ini hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang

tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.94 Akan tetapi, dalam

perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak, peraturan-peraturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap

merugikan kaum buruh.95

Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh. Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional (UMR), akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat

eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.96

Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh

93

Ibid., h.44-45 94

Ibid., h.45 95

Ibid., h.46-47 96


(42)

dianggap bisa membahayakan stabilitas nasional. Tak pelak, hubungan industrial pada masa Orde Baru sangat didominasi oleh pemerintah. Dengan mengatasnamakan demi menjamin stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi, pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk menekan dan mengorbankan

kepentingan buruh.97 Maka dari itu, tidaklah mengeherankan apabila nasib kaum

buruh tetap saja memperihatinkan dan bahwa kesejahteraan mereka masih berada di bawah standar.

Mengamati kondisi buruh pada masa Orde Baru, Budiman Sudjatmiko, aktivis yang pernah menjadi ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengatakan, persoalan perburuhan di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang kompleks. Persoalan ini tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di dalamnya militer). Hal ini berkaitan dengan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Juga karena Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang memang membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini adalah intervensi militer akibat politik

stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.98

Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa dalam era kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah

mereka banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi dan politik mereka.99

Rupanya, potensi yang dimaksud oleh Budiman Sudjatmiko inilah yang paling ditakuti oleh kaum borjuis. Dengan berbagai cara, seluruh mesin politik yang menunjang kepentingan kaum borjuis dilakukan untuk merepresi buruh, baik secara ideologis maupun fisik.

Lebih lanjut, Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa di Indonesia, secara ideologis, represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap

97

Ibid., h.47-48

98 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000), h. 8.

99 Budiman Sudjatmiko,Arti Penting Buruh”, (Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor 18/V/Juli 2000), h. 2.


(43)

buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh. Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan

sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.100

D. Pembelajaran Sastra

1. Pengertian Pembelajaran Sastra

Pendidikan, menurut Yudhi Munadi, pada hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya, dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan

sumber norma di dalam pendidikan.101 Pembelajaran merupakan bagian dari

proses pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang terkandung dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.102

Kata pembelajaran sendiri dipakai sebagai padanan dari kata instruction

(bahasa Inggris). Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada

pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar-mengajar yang tidak dihadiri oleh

guru secara fisik.103 Sebagai perbandingan, dapat pula ditinjau pendapat Moh.

Uzer Usman mengenai pengertian proses belajar-mengajar. Menurutnya, proses

100Ibid.

101 Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012),

h.3.

102 Rohinah M. Noor,op. cit., h. 108. 103Ibid., h.4.


(44)

belajar-mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi

edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.104

Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak

harus bisa memberikan manfaat.105 Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran

sastra hadir sebagai salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna, berkarakter, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang baik untuk peserta didik. Pembelajaran sastra, menurut Rahmanto, dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupan meliputi empat manfaat, yaitu mambantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan

cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.106

Pembelajaran sastra mencakup tiga genre sastra, yakni puisi, prosa, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas

produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.107

2. Tujuan Pembelajaran Sastra

Joan Glazer dalam Rohinah M. Noor berpendapat bahwa sastra membantu perkembangan sosialisasi, yaitu (1) sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar serta alamiah; (2) sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut; (3) perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi tersebut; (4) sastra turut memperjelas, bahwa seorang manusia mengalami berbagai

104 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 4.

105 Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: JePe Press Media Utama, 2009), h.42.

106 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kaninus, 1988), h. 16 107 Rohinah M. Noor, op. cit., h.76


(45)

perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik.108

Dalam dunia pendidikan, penanaman moral pada diri anak didik (manusia) merupakan suatu hal yang penting sebab ketika seorang manusia telah memiliki moral yang baik, kepribadian yang menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,

bangsa maupun negara.109

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui karya sastra itulah diharapkan pembaca mampu mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang

disampaikan.110 Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra, diharapkan para

siswa mampu mengambil hikmah atau pelajaran untuk diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran sastra tidak sekedar mengenalkan sastra kepada siswa. Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang berguna untuk memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat mengembangkan pemikirannya serta

talenta dalam menulis sehingga dapat memaknai hidup.111

Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima

segala cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.112

Jika ditelisik lebih jauh, pengajaran sastra tidak hanya membentuk watak dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dari

108 Ibid., h. 38-39

109Ibid., h. 64

110Ibid., h. 64-65

111Ibid., h. 66 112


(46)

semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk

membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur.113

Selain itu, pembelajaran sastra juga dapat menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan di tengah kepenatan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang

“berat”. Pada saat itu, peran guru sangatlah penting. Melalui pendekatan yang

dilakukan dengan proses yang sedikit demi sedikit, pembelajaran sastra dapat mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat

ekspresi/ungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama ini terendap.114

Singkatnya pembelajaran sastra bisa menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memberikan manfaat bagi siswa.

Melalui pembelajaran sastra secara langsung maupun tidak langsung akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan

siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.115

Melalui kegiatan apresiasi sastra yang memadai tentunya akan

menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini,

sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya berperan dalam penanaman fondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, anak didik akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika

dimensi hidup.116

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul ini dapat ditinjau dari beberapa penelitian skripsi. Berikut ini adalah tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul.

113

Ibid, h.12

114Ibid.

115Ibid., h. 82-83 116


(47)

Hantisa Oksinata dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul

“Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”. Penelitian saudara Hantisa Oksinata didasarkan atas hubungan antara karya sastra dan kenyataan sosial dan sejarah yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang dalam hal ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul terhadap situasi sosial yang tengah dialami oleh Indonesia pada suatu masa (masa Orde Baru). Penelitian saudara Hantisa Oksinata ini bertujuan untuk

mendeskripsikan: (1) unsur batin dan kritik sosial yang terdapat dalam puisi Aku

Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, dan (2) resepsi pembaca dalam puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Ada pun dalam penelitian itu, yang dikaji adalah sebelas dari

141 buah puisi yang mewakili tema kritik sosial.117

Kemudian, penelitian yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga dilakukan oleh Wahyu Widodo dari Universitas Negeri Malang dengan judul

“Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji

Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan unsur puisi dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya

Wiji Thukul, mendeskripsikan latar belakang sosiobudaya penyair yang

terefleksikan ke dalam puisi-puisi dalam Aku Ingin Jadi Peluru, dan

mendeskripsikan ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi

Peluru. Penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa pandangan penyair terhadap kondisi sosial budaya masyarakat adalah sebagai berikut: (1) masyarakat bawah yang menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah melalui kebijakannya harus berani untuk menyatakan keberadaan dirinya. Hal ini tercermin dari pokok persoalan yang diangkat oleh penyair dalam puisi-puisinya, (2) masyarakat bawah memunyai kekuatan dan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah dengan banyaknya ditemukan penggunaan tanda seru sebagai sebuah seruan dan ajakan serta penegasan keyakinan yang ditempuhnya, yakni jalan melawan pemerintah. Ciri-ciri realisme sosialis dalam

117Hantisa Oksinata, “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya

Wiji Thukul”, Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, http://digilib.fkip.uns.ac.id/contents/skripsi.php?id_skr=1053, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:49


(48)

kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, yakni memadukan

antara isi dan bentuk dalam artian isi mengangkat pokok persoalan (subject

matter) dalam masyarakat bawah dengan menggunakan piranti estetika kesusastraan seperti bahasa kiasan, gaya bahasa, dan pilihan kata yang sesuai serta terkondisikan dalam sosial budaya masyarakat bawah yang menderita pada kurun

waktu 1980 sampai 1997 di masa pemerintahan Orde Baru.118

Penelitian lain yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga

dilakukan oleh Moh. Anas Irfan dari Universitas Jember dengan judul “Kumpulan

Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan Semiotik”. Penelitian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur dan keterjalinan antarunsur struktur

yang membangun puisi-puisi Wiji Thukul dalam Aku Ingin Jadi Peluru dengan

menggunakan tinjauan semiotik.

Analisis struktural meliputi tema, diksi, dan bunyi menunjukkan adanya keterjalinan yang dapat membentuk makna yang utuh dalam kelima puisi yang dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis semiotik, ditemukan ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian arti, penyimpangan arti,

dan penciptaan arti. Penggantian arti pada puisi Nyanyian Akar Rumput

menggunakan personifikasi, metafora, dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian

arti pada puisi “Kuburan Purwoloyo” menggunakan sinekdoke pars pro toto,

metonimia, hiperbola, dan metafora. Penggantian arti pada puisi ”Ayolah

Warsini” menggunakan metafora dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti

pada puisi “Bunga dan Tembok” menggunakan sinekdoke totem pro parte.

Penggantian arti pada puisi ”Kemarau” menggunakan metafora, hiperbola, dan personifikasi. Penyimpangan arti pada kelima puisi tersebut menggunakan enjambement.

118Wahyu Widodo, “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru

Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”, skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/176, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:51


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

PROFIL PENULIS

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki lahir di Jakarta, 02 September 1992. Anak pertama dari tiga bersaudara ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri Lagoa 11 Pagi, SMP Negeri 30 Jakarta, dan SMA Negeri 75 Jakarta. Sejak kecil menggemari hal-hal yang berkaitan dengan seni dan mengikuti berbagai lomba kesenian seperti kasidah, marawis, nasyid, dan band. Sekarang masih aktif bergiat di beberapa organisasi, yakni Pojok Seni Tarbiyah UIN Jakarta; Karangtaruna RW 03 Kelurahan Lagoa, Jakarta Utara; Ormas Oi Zhamblank Priok; dan Ikatan Remaja Masjid Ash-Sholihin, Lagoa, Jakarta Utara. Sejak pertama kali jatuh cinta dengan kesusastraan saat kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia mulai tertarik dan mendalami dunia kepenulisan sastra. Beberapa buah puisinya pernah dimuat di harian INDOPOS dan antologi puisi Gemuruh Cinta untuk Dunia yang disusun oleh komunitas Tinta Perak dan diterbitkan secara indie oleh Pena Nusantara pada 2013. Sekarang masih aktif sebagai personel grup musikalisasi puisi Kemangilodi dan grup band Kareina. Bersama teman-temannya di grup musikalisasi puisi Kemangilodi, Dimas pernah menjadi juara Harapan I dalam lomba “Musikalisasi Puisi Helvy Tiana Rosa” dan juara I dalam “Lomba Cipta lagu Anti Narkoba” yang diadakan oleh Badan Narkotika Nasional Indonesia. Sementara itu, bersama grup band Kareina telah merilis album indie yang bertajuk Perjalanan Ini.


Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17