Realitas Ungkapan Bahasa Dalam Konteks Filsafat Bahasa: Sebuah Tafsiran

REALITAS UNGKAPAN BAHASA DALAM KONTEKS FILSAFAT BAHASA: SEBUAH TAFSIRAN
Swesana Mardia Lubis
Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract
This article provides an analysis of language expression in the view of philosophy. Whether or not, language is a very prominent aspect in implementing as well as understanding the essence of philosophy since language is an expression of social living. It gives more than what we expect such as what we need, what we want and who we are inherent in the communicative means of language. Thus this article tries to describe the interpretation of language reality in the face of language philosophy.

1. PENDAHULUAN Tulisan ini diberi judul “Realitas
ungkapan Bahasa dalam konteks filsafat Bahasa: sebuah tafsiran”. Adapun alasan yang membawa penulis mengajukan judul di atas dikarenakan bahasa merupakan cermin realitas dari aktifitas kehidupan manusia. Melalui bahasa kita dapat memahami substansi dari apa yang dikomunikasikan. Sebagai contoh: ketika seseorang mengatakan ‘saya lapar’ maka realitas dari ungkapan bahasa tersebut adalah bahwa dia lapar dan butuh makanan untuk tidak lapar. Interpretasi realitas ungkapan bahasa dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak selalu memuat kebenaran yang absolut. Hal ini dapat dimengerti karena bahasa dapat dijadikan sebagai manipulasi dari apa yang dimaksudkan. Namun tidak dapat disangkal bahwa realitas ungkapan bahasa tidak pernah salah, kalaupun salah ada proposisinya. Untuk menyederhanakan kalimat ini lebih baik diilustrasikan dengan contoh di bawah ini:
Monyet memiliki mata Manusia memiliki mata
Maka monyet dan manusia adalah sama karena masing-masing memiliki mata. Realitas ungkapan bahasa dari contoh di atas mutlak mengandung kebenaran, namun proposisi yang ditawarkan sebagai

kesimpulan adalah salah. Dengan demikian interpretasi realitas ungkapan bahasa dalan kaitannya dengan konteks filsafat bahasa harus didasarkan pada kerangka pemikiran logis.
2. BATASAN MASALAH Sebagaimana telah dituliskan dalam
tujuan penulisan bahwa ungkapan bahasa yang dimaksudkan dalam tulisan ini dibatasi dalam bentuk ungkapan sehari-hari baik itu merupakan pernyataan ataupun pepatah yang sering kita dengar. Maka dengan itu batasan dari permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana interpretasi terhadap ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa dapat memperjelas dan mempermudah makna dari konsep filsafat itu sendiri. Dan apakah ada keterkaitan ungkapan bahasa dalam menentukan pola pikir pemakainya dalam kultural melalui pikiran atau unsur filsafati dalam setiap ungkapan yang dituturkan oleh penutur bahasa tersebut.
3. SEKILAS PENGERTIAN FILSAFAT, BAHASA DAN FILSAFAT BAHASA
3.1 Filsafat Manusia tidak akan pernah lepas dari
kegiatan berfilsafat dalam kehidupannya. Secara umum orang sering menafsirkan

Universitas Sumatera Utara


filsafat sebagai pernyataan yang teramat sulit dipahami karena memuat tentang kebijakan maupun konsep-konsep pemikiran yang berkaitan dengan semesta alam. Bahkan ada sinyelamen bahwa filsafat sering membingungkan dan menyesatkan sementara yang membuatnya (baca: filsuf) tidak pernah merasa bingung bahkan tersesat oleh karenanya.
Dari sudut etimologisnya kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani “Philein” yang berarti mencintai dan “Sophia” yang berarti kebijaksanaan. Maka dengan itu penggabungan kedua kata Philein dan Sophia adalah mencintai kebijaksanaan. Zubair (1987: 7) memberikan beberapa defenisi tentang filsafat antara lain: a. Cinta kebijaksanaan, b. Ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan, c. Hasil fikiran yang kirtis dan dikemukakan dengan cara yang sistematis, d. Pendalaman lebih lanjut dari Ilmu pengetahuan, dan e. Pandangan hidup. Dari beberapa pengertian yang diberikan di atas dapat disederhanakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang hakekat semesta alam yang mana kajian tersebut tersusun secara sistematis buah pikiran manusia. Dalam Encyclopedia Americana volume 21 (1996: 925) dikemukakan bahwa: “Philosophy can be defined as rational critical thinking of a more or less systematic kind, about the conduct of life, the general nature of the world, and the justification of belief” Filsafat merupakan pemikiran kritis yang sistematis dan meliputi kajian mengenai prilaku manusia dalam kehidupan dan juga cirri-ciri semesta alam. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu refleksi yang merupakan akal budi, perenungan tentang esensi dari manusia dan alam semesta. Namun perlu dibatasi bahwa pengertian kebenaran yang ditawarkan oleh filsafat bukan kebenaran yang hakiki.

Pergeseran nilai kebenaran itu sendiri bisa terjadi karena perkembangan waktu dan kebudayaan yang dikelola oleh manusia. Apa yang menjadi hakikat kebenaran sejati adalah apa-apa yang diperoleh dari Tuhan sebagai pencipta manusia dan segala isinya dalam jagad raya ini.
3.2 Bahasa Setiap orang mempunyai dan
menggunakan bahasa. Berbahasa merupakan kegiatan rutin manusia yang alamiah sebagaimana layaknya manusia bernafas. Namun dapat dibayangkan apa yang terjadi bila manusia tidak memiliki bahasa naka bumi ini akan membisu seperti pepohonan yang tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya. Manusia pantas bersyukur dengan bahasa yang dimilikinya karena dapat mengidentifikasi tentang identitas dan eksistensi dirinya sebagai manusia.
Bahasa merupakan alat komunikasi bila ditinjau dari fungsinya. Dengan berkomunikasi dengan sesama maka bahasa mau tidak mau merupakan perekat sosial yang man manusia dapat saling mengenal, berbicara dan bersenda gurau atau bahkan saling mencerca satu sama lainnya. Dengan bahasa manusia membedakan dirinya dengan mahluk hidup lainnya yang ada di jagad raya ini.
Pengertian bahasa dapat dipandang dari dua sisi yakni secara internal dan eksternal. Secara internal bahasa dimaksudkan sebagai system bunyi yang bermakna. Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.H. Robins (1980: 9) bahwa bahasa secara internal adalah : ‘A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates’. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bahwa bahasa adalah sistem pelambangan bunyi yang arbitrer di mana kelompok masyarakat dapat saling bekerja sama.
Secara sederhana pengertain arbitrer adalah mana suka dalam arti bahasa dapat bebas menyatakan sesuatu berdasarkan konvensi dari masyarakat bahasa itu sendiri. Misalnya, kata ‘rumah’ dalam bahasa Indonesia sama dengan ‘house’ dan ‘ev’ dan

Universitas Sumatera Utara

‘jabu’ bagi orang Inggris, Turki dan Suku

Batak.

Bahasa secara eksternal lebih

dimaksudkan pada fungsi maupun


peranannya sebagai alat komunikasi. Hal ini

dapat dilihat sebagaimana yang

dikemukakan oleh Sri Utari Subyakto (1992:

1) bahwa berbahasa itu adalah komunikasi

dan tanpa berkomunikasi melalui bahasa,

maka barangkali identitas kita sebagai

‘genus manusia’ (homo sapiens) akan hilang.

Ternyata peranan bahasa dlam kehidupan

bahasa sangat dominan dan penting. Bahasa

dapat mempersatukan manusia dikarenakan


adanya saling pengertian dan pemahaman

melalui informasi yang dilakukan melalui

medium bahasa. Dan bahasa itu sendiri

merupakan cermin realitas kehidupan

manusia

untuk

mengidentifikasi

keberadaannya secara jelas dan pasti.

3.3 Filsafat Bahasa Secara umum orang akan berasumsi
bahwa filsafat bahasa memuat pengertian penggabungan dua kata ‘filsafat’ dan ‘bahasa’. Maka dengan demikian, asumsi tersebut akan mengacu pada filsafat tentang bahasa atau berfilsafat melalui bahasa. Asumsi tersebut tidak dapat dipersalahkan meskipun esensinya tidak sesempurna apa yang menjadi hakikat filsafat bahasa.
Filsafat bahasa yang juga dikenal dengan sebutan filsafat analitik tumbuh dan berkembang di Eropa terutama Inggris pada abad XX. Mengutip definisi yang ditawarkan A. Joko Wicoyo (1997: 1) bahwa filsafat adalah: “bidang filsafat khusus yaitu masalah yang dibahasa dengan bahasa. Namun berbeda dengan ilmu bahasa atau linguistik yang membahas mengenai ucapan, tata bahasa, dan kosa kata, filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafati tidak lagi dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika teknis, baik logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada penggunaan bahasa biasa.”

Bila disimak dan diteliti pernyataan di atas maka dapat disederhanakan bahwa

filsafat bahasa merupakan penyederhanaan konsep filsafat melalui alat bantu bahasa. Dengan kata lain penjabaran nuansa filsafat melalui medium bahasa dikenal dengan sebutan filsafat bahasa.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Wicoyo, Kaelan (1998: 576) mengutarakan bahwa filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat adalah: “pemecahan masalah-masalah dan konsepkonsep filsafat melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat misalnya melalui berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, ‘keadilan’, ‘kewajiban’, ‘kebaikan’ dan pernyataan-pernyataan fundamental filosofis lainnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui bahasa atau analisis penggunaan bahasa.”
Dari kedua kutipan di atas dapat disederhanakan bahwa filsafat bahasa merujuk pada pemahaman tentang konsep filsafati melalui analisis bahasa. Dengan kata lain, kebingungan yang sering ditawarkan dalam berfilsafat dapat dipermudah melalui analisis bahasa. Atau melalui medium bahasa kebermaknaan unsur berfilsafati akan lebih jelas dan mudah dipahami dengan bantuan medium bahasa dalam hal ini adalah analisis bahasa.

4. INTERPRETASI

REALITAS

UNGKAPAN BAHASA DALAM

KONTEKS FILSAFAT BAHASA

Berbahasa sepertinya didapatkan secara

alamiah

sehingga


tidak

perlu

mempelajarinya. Padahal pengertian ini

hanya bagi kaum awam yang tidak

memahami betapa kompleks dan kayanya

khasanah bahasa dalam aktifitas kehidupan

manusia sehari-hari. Sadar atau tidak sadar,

bahasa atau ungkapan bahasa seseorang

tetap memiliki makna atau realitas terhadap

sesuatu yang dirujuknya.


Dalam percakapan sehari-hari mungkin

kita sering mendengar dan tidak menyadari

betapa dalamnya makna yang dikandung

ungkapan tersebut. Sebagai contoh ketika A

menyadari bahwa B memakai baju baru,

maka A akan menyapa B dengan teguran

ramah:

Universitas Sumatera Utara

A: Kamu baju baru, ya? B: (menjawab) Ah! Tidak, tetapi tersenyum.
Bila kita perhatikan esensi dari ungkapan di atas maka kita memperoleh gambaran pemikiran sesuatu yang kontras. Kata ‘tidak’ bukan berarti menidakkan karena ‘senyum’ merujuk kepada pengakuan bahwa B memang memakai baju baru. Realitas ungkapan bahasa di atas dikaitkan pada filsafat bahasa dalam arti akal budi atau pemikiran dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur atau absurd. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah dan berkesan tertutup. Dengan kata lain, sikap keterus terangan maupun ketransparanan ditutupi oleh kenaifan yang amat lugu namun memiliki kesan tidak mempunyai sikap keberanian untuk terbuka.
Masih ada lagi ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah yang sangat mengandung nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pepatah tersebut sering dimaksudkan pada kondisi seseorang yang menghadapi pilihan yang teramat berat untuk membuat sesuatu keputusan. Pepatah tersebut adalah:
Bagaikan makan buah simalakama. Dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak.

Dari sudut pandang filsafat, maka makna dari ungkapan bahasa di atas adalah terbenturnya suatu sikap mengambil kebijakan karena adanya dua pilihan yang beresiko. Dengan kata lain, tidak ada jalan keluar sebijak apapun kecuali penentuan sikap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun kenyataannya pepatah tersebut dewasa ini sering dipelesetkan dari esensi makna yang sebenarnya. Dikatakan bila seseorang dari suku Batak dihadapkan pada masalah tersebut, maka dia akan merasakan buahnya dulu tanpa menelannya. Artinya, bagi dia makan berbeda dengan mengkulum atau merasakan buah tersebut di dalam mulut. Berbeda dengan etnis Cina yang budayanya senang berdagang. Dia akan merasakan buah tersebut dengan

mengulumnya ke dalam mulut dan kemudian menjualnya kepada orang lain.
Tentu pelesetan seperti di atas tidak lagi identik dengan makna yang sebenarnya dari ungkapan bahasa tersebut. Dengan demikian peran filsafat bahasa yang menganalisis konsep filsafati melalui medium bahasa akan mempertegas makna yang sebenarnya yaitu pilihan yang teramat sulit untuk diputuskan. Pergeseran interpretasi ralitas ungkapan bahasa sering terjadi karena adanya perubahan tatanan nilai budaya di tengahtengah masyarakat. Sebagai contoh kita bisa membedakan persepsi generasi tua dengan generasi muda tentang ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah di bawah ini:

Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersenang-senang kemudian.

Generasi tua akan menginterpretasikan

konteks filsafati ungkapan tersebut pada

masanya yang memang serba sulit dan

butuh perjuangan ekstra keras. Dengan

demikian, kaum tua lebih

menyederhanakannya dengan keyakinan


bahwa hidup harus dihadapi dengan

semangat baja di mana seseorang harus siap

menderita untuk memperoleh keberhasilan.

Hal ini memang merupakan realita yang

dialami kaum generasi tua pada masanya

untuk meraih keberhasilan hidup.

Bagi kaum generasi muda yang

menumpang di keberhasilan orang tuanya

akan menginterpretasikan makna yang

berbeda.


Kaum

muda

lebih

menghubungkannya dengan situasi

sekarang yang serba cepat untuk meperoleh

kemenangan (siapa cepat dia menang).

Kaum muda bahkan memberikan respon

yang lebih radikal bahwa setelah sakit yang

lebih dekat adalah kematian bukan

kesenangan.


Merujuk pada realitas ungkapan bahasa

dalam konteks filsafat bahasa, ungkapan di

atas perlu dicermati pada nuansa

kulturalnya. Di dalam ungkapan tersebut

pada bait pertama dan kedua merujuk pada

usaha, sementara pada bait ketiga dan

keempat merupakan kemungkinan hasilnya:

Universitas Sumatera Utara

bisa susah bisa senang. Hal ini dimungkinkan karena tidak setiap usaha akan membuahkan hasil yang diidamkan. Interpretasi realitas ungkapan bahasa tidak terlepas dari pemahaman makna dari tiap unsur bahasa yang diajarkan. Oleh karena itu, analisis bahasa dalam arti filsafat bahasa membuat penegasan tentang keberadaan makna realitas dari bahasa itu sendiri.
idak dapat dipungkiri bahwa makna realitas ungkapan bahasa merupakan prediksi untuk ke depan. Meskipun dampaknya pada saat itu kurang dimengerti, namun pada waktu ke depannya, cukup mempunyai makna kultural yang sangat berharga. Misalnya pepatah bagi suku Batak Toba yang mengatakan:
Beranak empat belas Berputri tujuh belas ‘Maranak sampuluopat Marboru sampulupitu’
Pada mulanya pepatah ini lebih ditekankan pada pentingnya kuatitas manusianya yang mana pada saat itu etnis Batak mempercayai banyak anak akan memperoleh banyak berkat. Meskipun hal ini sedikit bertentangan dengan kebijakan pemerintah untuk program Keluarga Berencana.

Namun bila dicermati ungkapan pepatah di atas sangat relevan dengan kondisi tuntutan bangsa dewasa ini yakni ‘orang tua asuh’. Sadar atau tidak sadar bagi suku etnis Batak Toba dapat merefleksikan konsep filsafati ungkapan tersebut sebagai wujud nyata dari makna yang terkandung dalam pernyataan tersebut. Dengan demikian realitas ungkapan yang tersembunyi dalam ungkapan tersebut merupakan sesuatu yang unpredictable. Untuk ke depannya dalam arti waktu dulu dan waktu sekarang untuk memahami konsep pemikiran yang ada dalam pepatah batak tersebut.
Dari beberapa contoh ungkapan bahasa di atas baik berupa statement atau pernyataan dan berupa pepatah dapat ditelusuri bahwa filsafat benar-benar merujuk pada hal-hal yang bijaksana. Dengan kata lain konsep filsafati dalam

ungkapan bahasa selalu mengandung makna hakiki tentang pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada rasa keadilan manusia dan rasa kepeduliaan untuk mengerti tentang nilai hakiki dari kehidupan.
Realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa tidak lain dan tidak bukan untuk mempertegas dan memperjelas makna konsep-konsep atau masalah-masalah filsafat melalui analisis bahasa. Dengan kata lain melalui analisis bahasa kerangka pemikira logis yang sederhana dan mudah dipahami akan bisa menetralisir nuansa filsafat yang rada kompleks dan sukar.
5. PENUTUP Filsafat bahasa merupakan jembatan
(linkage) untuk memahami problemaproblema filsafat melalui analisis bahasa. Dengan kata lain, medium bahasa dijadikan alat untuk mempermudah kerangka pemikiran dari esensi filsafati dalam arti makna maupun arti dari pokok permasalahan filsafat itu sendiri.
Interpretasi realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa merujuk pada adanya kebenaran yang hakiki dari setiap ungkapan bahasa. Namun kadang kala ungkapan bahasa tersebut memiliki makna yang berganda sehingga perlu adanya interpretasi untuk mempermudah makna yang dimaksudkan. Singkat kata, interpretasi realitas ungkapan bahasa merupakan cermin dari tujuan atau maksud yang hendak disampaikan dalam ungkapan bahasa.
Kegiatan bahasa merupakan hal yang normal bagi manusia. Dalam aktifitasnya manusia menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan maksud dan tujuan yang bernuansa kebijakan dan kebajikan atau filsafat. Namun sering kebijakan dan kebajikan tersebut salah diinterpretasikan sehingga mengaburkan makna yang dimaksudkan. Dengan hadirnya realitas ungkapan bahasa maka setidaknya kekaburan makna tersebut dapat diperkecil sehingga maknanya akan lebih mudah dipahami.
Realitas ungkapan bahasa dalam tulisan ini lebih ditekankan pada ungkapan seharihari dalam bentuk pernyataan ataupun

Universitas Sumatera Utara

pepatah-pepatah Indonesia. Melalui interpretasi yang dimaksudkan untuk mendapatkan nuansa kejelasannya maka makna ungkapan yang dikaji akan lebih berterima. Sebagaimana filsafat bahasa merujuk pada pemahaman filsafat melalui analisis bahasa, maka interpretasi realitas bahasa setidaknya akan merefleksikan inti makna dari ungkapan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Kaelan, M.S., Drs. 1998. Filsafat Bahasa
Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pradigma Offset. Robins, R.H. 1980. General Linguistics and Introductory Survey. New York: Longman Inc. Subyakto, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Wicoyo, A. Joko. 1997. Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers.
Universitas Sumatera Utara