Analisis keterkaitan permasalahan tata ruang dengan kinerja perkembangan wilayah (Studi kasus kota Bandar Lampung)

(1)

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG

DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH

(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

ENDANG WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor , Oktober 2006 Endang Wahyuni Nrp A 253050064


(3)

ABSTRAK

ENDANG WAHYUNI. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). Dibimbing oleh H.R. Sunsun Saefulhakim da n Yayat Supriatna.

Berbagai permasalahan penataan ruang di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang disusun tahun 2004 belum memiliki kontribusi positif terhadap penyelesaian permasalahan tata ruang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang. Penelitian ini mencoba untuk melihat konsistensi penataan ruang serta kaitannya dengan kinerja perkembangan wilayah.

Metode yang digunakan untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman adalah analisis tabel pembandingan dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan map overlay dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui kinerja perkembangan wilayah dilakukan Principal Components Analysis (PCA) dilanjutkan dengan analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena -fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Selanjutnya untuk mengetahui keterkaitan konsistensi, permasalahan tata ruang dan kinerja perkembangan wilayah digunakan analisis logika verbal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan RTRW di Kota Bandar Lampung, sekitar 79% telah mengacu kepada pedoman yang berlaku. Dokumen tersebut mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. Berbagai permasalahan penataan ruang menunjukkan inkonsistensi yang relatif besar dalam pelaksanaa n dan pengendalian. Faktor eksternal relatif tetap. Menurut pedoman, dengan kondisi tersebut RTRW tidak perlu direvisi, tetapi perlu meningkatkan sosialisasi kepada seluruh stakeholder, melengkapi aspek-aspek yang belum diatur ke dalam rencana sektoral serta menjadikannya sebagai pedoman pembangunan.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa inkonsistensi dalam penataan ruang menyebabkan berbagai permasalahan yang berakibat pada menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Demikian juga penataan ruang yang tidak memperhatikan konstelasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menyebabkan kinerja perkembangan yang buruk. Kondisi ini berlaku secara umum, sehingga konsistensi dalam penataan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka optimalisasi pencapaian tujuan penataan ruang.

Model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis adalah variabel yang terkait dengan aspek lingkungan sekitar, baik berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu. Sedangkan faktor pendorong perkembangan wilayah adalah ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon) dan kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai da n air tanah produktifitas sedang. Kondisi ini berimplikasi pada mekanisme penganggaran bahwa untuk meningkatkan kinerja perkembangan wilayah harus memperhatikan faktor-faktor pendorong tersebut dan yang lebih utama adalah upaya peningkatan kerjasama dan koordina si dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Co operation).


(4)

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG

DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH

(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

ENDANG WAHYUNI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(5)

Judul Tesis : Analisis Keter kaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kiner ja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

Nama : Endang Wahyuni NIM : A 253050064

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Ir. Yayat Supriatna, MURP Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 29 September 2006 Ta nggal Lulus :


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas ridho-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2006 ini adalah penataan ruang, dengan judul Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (studi kasus Kota Bandar Lampung).

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Ir. Yayat Supriatna, MURP selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi. 4. KOMJEN Sjacroedin ZP selaku Gubernur Lampung dan Dr. Ir. Harris

Hasyim, MA selaku Kepala Bappeda Provinsi Lampung, atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas khusus maupun reguler angkatan 2005 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan pengertian dari suami, anak-anak dan orang tua tercinta.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2006 Endang Wahyuni


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Juni 1975 sebagai anak pertama dari pasangan Sadiman dan Supriati. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Xaverius Pringsewu (Lampung) dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 1998.

Tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan pada Bappeda Provinsi Lampung Bidang F isik dan P rasarana Wilayah sampai saat ini. Pada tahun 2005, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Ahmad Su’udi, ST, MT dan dikaruniai satu bidadari cantik bernama An-N isaa Ahmad dan satu jagoan manja yang bernama Deva Ahmad.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ………. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ……….

viii ix

x

PENDAHULUAN

Latar Belakang ……….………..…... 1

Perumusan Masalah ……….…..…... 3

Tujuan Penelitian ………... 9

TINJAUAN PUSTAKA Kota ……….………..…... 10

Penataan Ruang …..……….…..…... 11

Penataan Ruang Wilayah Kota ………... 12

Manajemen Kota di Negara Berkembang ..……….……. 17

Ketimpangan Pembangunan ………...………. 18

Analisa Spasial ………....………. 19

Sistem Informasi Geografis ……….………. 20

KERANGKA BERFIKIR METODE PENELITIAN Ruang Lingkup ………. 27

Pengumpulan Data ….……….………... 36

Analisis Proses Penyusunan RTRWK Bandar Lampung …... 37

Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context …... 38

Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah …...………... 39

Principal Components Analysis ..…...………... 43


(9)

Keadaan Umum Kota Bandar Lampung …..………... 47

Penataan Ruang Kota Bandar Lampung ………... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku .... 52

Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman ………... 52

Konsistensi inter-regional context ………....………... 53

Konsistensi proses pertumbuhan ekonomi ...….…..………… 57

Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota …...….………… 58

Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang ……….…………... 61

Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang …...…... 64

Analisis Perkembangan Wilayah ……….. 72

Indeks komposit perkembangan wilayah ………….…………..……... 72

Indeks komposit prasarana dasar kota ………..……... 75

Indeks komposit fisik wilayah ………..……... 76

Model perkembangan w ilayah ……….………... 78

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …. ……….………... 84

Saran ……….... ……….………... 86

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

1 Keterangan nomor dan nama desa ...……... 35

2 Rancangan tabel analisis proses penyusunan RTRW ...……... 32

3 Variabel infrastruktur dasar kota... 40

4 Variabel fisik wilayah ... 40

5 Variabel perkembangan wilayah ... 41

6 Rancangan tabel PCA …...…..……….... 43

7 Rancangan co ntiguity matrix W terhadap ketetanggaan ...………….... 46

8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung .…………... 48

9 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang Kota Bandar Lampung... 52

10 Kriteria peninjauan kembali (Keputusan Menteri Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002) …... 69


(11)

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG

DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH

(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

ENDANG WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor , Oktober 2006 Endang Wahyuni Nrp A 253050064


(13)

ABSTRAK

ENDANG WAHYUNI. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). Dibimbing oleh H.R. Sunsun Saefulhakim da n Yayat Supriatna.

Berbagai permasalahan penataan ruang di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang disusun tahun 2004 belum memiliki kontribusi positif terhadap penyelesaian permasalahan tata ruang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang. Penelitian ini mencoba untuk melihat konsistensi penataan ruang serta kaitannya dengan kinerja perkembangan wilayah.

Metode yang digunakan untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman adalah analisis tabel pembandingan dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan map overlay dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Untuk mengetahui kinerja perkembangan wilayah dilakukan Principal Components Analysis (PCA) dilanjutkan dengan analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan pengembangan dari model regresi sederhana yang telah mengakomodasikan fenomena -fenomena autokorelasi spasial, baik dalam variabel tujuan maupun dalam variabel penjelasnya. Selanjutnya untuk mengetahui keterkaitan konsistensi, permasalahan tata ruang dan kinerja perkembangan wilayah digunakan analisis logika verbal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyusunan RTRW di Kota Bandar Lampung, sekitar 79% telah mengacu kepada pedoman yang berlaku. Dokumen tersebut mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. Berbagai permasalahan penataan ruang menunjukkan inkonsistensi yang relatif besar dalam pelaksanaa n dan pengendalian. Faktor eksternal relatif tetap. Menurut pedoman, dengan kondisi tersebut RTRW tidak perlu direvisi, tetapi perlu meningkatkan sosialisasi kepada seluruh stakeholder, melengkapi aspek-aspek yang belum diatur ke dalam rencana sektoral serta menjadikannya sebagai pedoman pembangunan.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa inkonsistensi dalam penataan ruang menyebabkan berbagai permasalahan yang berakibat pada menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Demikian juga penataan ruang yang tidak memperhatikan konstelasi dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menyebabkan kinerja perkembangan yang buruk. Kondisi ini berlaku secara umum, sehingga konsistensi dalam penataan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka optimalisasi pencapaian tujuan penataan ruang.

Model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan (nyata) dan elastis adalah variabel yang terkait dengan aspek lingkungan sekitar, baik berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu. Sedangkan faktor pendorong perkembangan wilayah adalah ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon) dan kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai da n air tanah produktifitas sedang. Kondisi ini berimplikasi pada mekanisme penganggaran bahwa untuk meningkatkan kinerja perkembangan wilayah harus memperhatikan faktor-faktor pendorong tersebut dan yang lebih utama adalah upaya peningkatan kerjasama dan koordina si dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Co operation).


(14)

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG

DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH

(Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

ENDANG WAHYUNI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(15)

Judul Tesis : Analisis Keter kaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kiner ja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung)

Nama : Endang Wahyuni NIM : A 253050064

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Ir. Yayat Supriatna, MURP Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 29 September 2006 Ta nggal Lulus :


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas ridho-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2006 ini adalah penataan ruang, dengan judul Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (studi kasus Kota Bandar Lampung).

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Ir. Yayat Supriatna, MURP selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi. 4. KOMJEN Sjacroedin ZP selaku Gubernur Lampung dan Dr. Ir. Harris

Hasyim, MA selaku Kepala Bappeda Provinsi Lampung, atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas khusus maupun reguler angkatan 2005 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan pengertian dari suami, anak-anak dan orang tua tercinta.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2006 Endang Wahyuni


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Juni 1975 sebagai anak pertama dari pasangan Sadiman dan Supriati. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Xaverius Pringsewu (Lampung) dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 1998.

Tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan pada Bappeda Provinsi Lampung Bidang F isik dan P rasarana Wilayah sampai saat ini. Pada tahun 2005, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Ahmad Su’udi, ST, MT dan dikaruniai satu bidadari cantik bernama An-N isaa Ahmad dan satu jagoan manja yang bernama Deva Ahmad.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ………. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ……….

viii ix

x

PENDAHULUAN

Latar Belakang ……….………..…... 1

Perumusan Masalah ……….…..…... 3

Tujuan Penelitian ………... 9

TINJAUAN PUSTAKA Kota ……….………..…... 10

Penataan Ruang …..……….…..…... 11

Penataan Ruang Wilayah Kota ………... 12

Manajemen Kota di Negara Berkembang ..……….……. 17

Ketimpangan Pembangunan ………...………. 18

Analisa Spasial ………....………. 19

Sistem Informasi Geografis ……….………. 20

KERANGKA BERFIKIR METODE PENELITIAN Ruang Lingkup ………. 27

Pengumpulan Data ….……….………... 36

Analisis Proses Penyusunan RTRWK Bandar Lampung …... 37

Analisis Konsistensi RTRW dalam Inter-Regional Context …... 38

Analisis Kinerja Perkembangan Wilayah …...………... 39

Principal Components Analysis ..…...………... 43


(19)

Keadaan Umum Kota Bandar Lampung …..………... 47

Penataan Ruang Kota Bandar Lampung ………... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku .... 52

Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman ………... 52

Konsistensi inter-regional context ………....………... 53

Konsistensi proses pertumbuhan ekonomi ...….…..………… 57

Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota …...….………… 58

Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang ……….…………... 61

Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang …...…... 64

Analisis Perkembangan Wilayah ……….. 72

Indeks komposit perkembangan wilayah ………….…………..……... 72

Indeks komposit prasarana dasar kota ………..……... 75

Indeks komposit fisik wilayah ………..……... 76

Model perkembangan w ilayah ……….………... 78

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …. ……….………... 84

Saran ……….... ……….………... 86

DAFTAR PUSTAKA


(20)

DAFTAR TABEL

1 Keterangan nomor dan nama desa ...……... 35

2 Rancangan tabel analisis proses penyusunan RTRW ...……... 32

3 Variabel infrastruktur dasar kota... 40

4 Variabel fisik wilayah ... 40

5 Variabel perkembangan wilayah ... 41

6 Rancangan tabel PCA …...…..……….... 43

7 Rancangan co ntiguity matrix W terhadap ketetanggaan ...………….... 46

8 Jumlah dan kepadatan penduduk perkelurahan di Kota Bandar Lampung .…………... 48

9 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang Kota Bandar Lampung... 52

10 Kriteria peninjauan kembali (Keputusan Menteri Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002) …... 69


(21)

DAFTAR GAMBAR

1 Sudut Kota Tanjung Karang Bandar Lampung ...…...………. 5

2 Sudut Kota Telukbetung Bandar Lampung ...………….…..…. 6

3 Eksploitasi Gunung Kunyit ...…..…. 7

4 Konversi Gunung Camang-1 ...…... 7

5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan ....…..…...…... 15

6 Kerangka berfikir ……….……..……... 25

7 Perbandingan proses penataan ruang ……..………..……...…..……….. 26

8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung …………...…...……….. 31

9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..…….. 32

10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..……… 33

11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..… 34

12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung …………..……..…..……….. 36

13 Kerangka proses tujuan pertama ...…..………. 37

14 Kerangka proses tujuan kedua ...………. 38

15 Kerangka proses tujuan ketiga ...………. 39

16 Bagan alir tujuan ketiga ...………. 40

17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan ... 55 18 Kawasan kumuh di Telukbetung ... 58

19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang ... 66

20 Struktur kelembagaan BKPRD... 67

21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah ... 73

22 Scutter plot perkembangan wilayah ... 73

23 Peta pola spasial perkembangan wilayah ... 74

24 P eta P ola spasial prasarana dasar ... 76


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1 Data perkembangan wilayah ... 91 Tabel Lampiran 2 Hasil PCA perkembangan wilayah ………... 96 Tabel Lampiran 3 Data prasarana dasar kota ………. 100 Tabel Lampiran 4 Keterangan kelompok pelanggan PDAM ………. 102 Tabel Lampiran 5 Data fisik wilayah ………. 103 Tabel Lampiran 6 Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar

Lampung ... 106 Tabel Lampiran 7 Regresi perkembangan wilayah ……… 109 Tabel Lampiran 8 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang

Kota Bandar Lampung ……….. 111 Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah ………... 120 Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan

kinerja perkembangan wilayah ……… 121 Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang 122

Gambar Lampiran 1 Diagram penyusunan RTRW Kota ……….. 123

Teks Lampiran 1 Keterangan score perkembangan wilayah ……… 124 Teks Lampiran 2 Keterangan score prasarana dasar ………. 127


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut adalah melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Untuk itu dibutuhkan penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pema nfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan, dan dilaksanakan secara terpadu, sinergi serta berkelanjutan.

Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang wilayah yang mencakup wilayah administratif/pemerintahan (seperti provinsi, kabupaten dan kota) dan atau wilayah fungsional/kawasan (seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan) yang tercermin dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang melalui penatagunaan tanah, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang tercermin dalam dokumen pengendalian pemanfaatan ruang yang mengatur mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi.

Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah kota yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2004) , penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) , dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability).


(24)

Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginka n (Budiharjo, 1997) .

Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak di ujung Tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa. Kondisi ini menjadikan ibukota Provinsi Lampung tersebut memiliki peran yang sangat strategis, baik dalam skala nasional, regional maupun provinsi. Secara nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (P P) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan salah satu dari tiga kawasan andalan yang ada di Provinsi Lampung. Dalam skala provinsi, selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Lampung, K ota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Primer bagi wilayah-wilayah sekitarnya di wilayah Provinsi Lampung. Dengan peran-peran tersebut diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik bagi penghuni setempat maupun bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Kondisi tersebut dimungkinkan dengan adanya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang pertama kali disusun pada tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. P ada kenyataannya, selama kurun waktu tersebut sampai saat ini telah terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Dengan kata lain RTRW yang ada kurang mampu memberikan kontribusi penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, antara lain berupa kemiskinan penduduk kota, kemacetan, konversi lahan, kesemrawutan, kekumuhan, dan keterbatasan open space.

Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek


(25)

perencanaan, aspek pemanfatan maupun dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Konsistensi dalam aspek perencanaan dapat dilihat pada proses teknis penyusunan RTRW dikaitkan dengan pedoman/ketentuan yang berlaku.

Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Sementara perkembangan wilayah dipengaruhi adanya kekuatan untuk perubahan (forces of changes) yang diidentifikasi diakibatkan oleh perbedaan karakteristik fisik wilayah dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat nadi kehidupan suatu wilayah/kota dan keberadaannya sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal, sehingga sangat berperan dalam menentukan kinerja perkembangan suatu wilayah. Sebagai ilustrasi adalah suatu kawasan terisolasi, dengan adanya kebijakan pemerintah membangun infrastruktur dasar (air bersih, jalan, listrik dan telepon), maka dengan sendirinya di kawasan tersebut akan tumbuh dan berkembang be rbagai aktivitas, baik permukiman maupun aktivitas komersial yang dapat dibangun oleh swasta maupun masyarakat.

Perumusan Masalah

Penataan ruang merupakan kerangka yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga pelaksanaan kegiatan pemba ngunan seharusnya mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya memuat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan mem perhatikan kendala -kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Dalam perjalanannya, sebagaimana kota pada umumnya, Bandar Lampung menghadapi berbagai permasalahan penataan ruang. Permasalahan tersebut antara lain meliputi:

Kemiskinan

Berbagai permasalahan dan ketimpangan dalam pembangunan disebabkan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah


(26)

pengangguran dan diperburuk lagi dengan situasi perekonomian nasional yang sedang terpuruk, banyak hal yang pada waktu situasi normal tidak terasa menjadi beban, saat ini dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Jika dibanding sebelum krisis pertengahan Juli 1997, jumlah pengangguran saat ini mengalami peningkatan yang cukup tajam, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dan sektor riil belum sepenuhnya berjalan normal. Kemiskinan merupakan sumber berbagai permasalahan di Kota Bandar Lampung.

Konversi lahan

Berdasarkan data pemberian ijin pengambilan air tanah bagi industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Tahun 2004 dan 2005, menunjukkan banyaknya kasus konversi lahan dari rencana peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Konversi lahan terjadi baik dari aktivitas non industri (permukiman, komersial dan jasa) menjadi industri maupun sebaliknya. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang.

Penurunan kualitas sarana prasarana dasar permukiman

Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan berimplikasi terhadap peningkatan jumlah per umahan dan permukiman yang menuntut pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dasar permukiman. Permasalahan yang sering terjadi di samping keterbatasan pendanaan untuk pengadaan sarana prasarana dasar permukiman tersebut adalah sarana penunjang yang sudah tersedia seringkali belum dimanfaatkan sepenuhnya dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sarana prasarana yang sudah dibangun (Marquez dan Maheepala , 1996) . Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sarana prasarana dasar permukiman di perkotaan.

Kriminalitas

Peningkatan kejadian kriminalitas di Kota Bandar Lampung disebabkan antara lain: (1) peningkatan jumlah penggangguran akibat keterbatasan lapangan kerja dan tuntutan akan tenaga kerja yang terampil dan profesional; (2) tuntutan hidup yang semakin mempersulit keadaan masyarakat miskin kota; (3) gaya hidup


(27)

masyarakat perkotaan yang cenderung ‘egoisme’, sehingga ‘tingkat kepedulian’ dan ‘empati’ masyarakat terhadap sesama semakin menurun.

Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) yang kurang memadai (kesemrawutan tata ruang)

Permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung yang semakin rawan disebabkan karena keterbatasan lahan, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Hal ini menyebabkan semakin tingginya nilai lahan. Akibatnya kawasan-kawasan terbuka atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktivitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktivitas komersial dan jasa. Dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial dan kurang memperhatikan aspek sosial, seperti pembangunan lahan parkir bagi konsumennya, sehingga di kawasan tersebut sangat rentan dengan berbagai permasalahan. Salah satu contoh adalah masalah kemacetan lalu lintas di pusat perbelanjaan Bambu Kuning Plaza.

Gambar 1 Sudut kota Tanjung Karang - Bandar Lampu ng

Di pihak lain, harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal (squater


(28)

area) seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan ilegal lainnya sebagai tempat tinggal. Bahkan muncul kecenderungan hadirnya kawasan-kawasan kumuh (slum area) di berbagai sudut pusat kota.

Gambar 2 Sudut kota Telukbetung - Bandar Lampung

Keterbatasan open space

Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi ini menyebabkan bangunan-bangunan tumbuh dan berkembang tanpa kendali, padat tanpa arah yang jelas serta mengindikasikan kurangnya aspek perencanaan, sehingga kota menjadi semakin tidak bersahabat dengan lingkungan (Budiharjo, 1995) . Keberadaan ruang terbuka ’open space’, khususnya ruang terbuka hijau proporsinya semakin menurun terhadap luas wilayah karena pembangunan lebih diprioritaskan untuk aktivitas ekonomi. Menurut Patmore, dari berbagai studi diketahui bahwa penyediaan ruang terbuka hijau dapat menurunkan laju kenakalan remaja dan diyakini pula dapat mengurangi ketegangan akibat sistem industri serta bermanfaat bagi kestabilan mental dan kejiwaan masyarakat kota (Wahyuni, 1998).


(29)

Gambar 3 Eksploitasi Gunung Kunyit

Eksploitasi gunung atau bukit saat ini marak terjadi di Kota Bandar Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta.


(30)

Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun

Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang yang ada belum mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya inkonsistensi, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.

Dari beberapa uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah mengacu pada pedoman dan ketentuan teknis yang berlaku?

Pedoman pokok penyusunan RTRW: Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah (PP ) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang; Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung.

2. Apakah proses penyusunan rencana tata ruang selain berbasis wilayah administratif juga memperhatikan aspek kawasan fungsional dalam konteks keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter -Regional Context)?

Konsep regional planning, yaitu merencanakan wilayah dengan memperhatikan konst elasi wilayah tersebut dengan wilayah sekitarnya, serta memiliki basis dimensi spasial yang jelas. Dengan konsep ini walaupun kedua wilayah tidak memenuhi skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan bekerjasama (silaturahmi) antar wilayah dapat memenuhi skala ekonomi tersebut.


(31)

3. Bagaimana hubungan antara konsistensi penataan ruang, konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah terhadap kinerja perkembangan wilayah?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis konsistensi penyusunan Rencana Tata R uang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.

2. Menganalisis konsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter-Regional Context).

3. Menganalisis implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah.


(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Kota

What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orang-orang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) .

Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera. (Budiharjo, 1997).

Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.


(33)

Penataan Ruang

Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001).

Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertum buhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan


(34)

pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo e t a l., 2001).

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang dide finisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentuka n berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional.

Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan.

Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang


(35)

yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi (UU 24 Tahun 1992) .

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjo e t a l., 2001).

RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatan-kegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et a l., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana


(36)

mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang.

Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di wilayah perencanaan. RTRW kabupaten/kota disusun berdasarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah:

a. Terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat;

b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;

c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di wilayah;

d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah;

e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan. Fungsi dari rencana tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah:

§ Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah;

§ Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di daerah;

§ Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan antar kawasan serta keserasian antar sektor ;

§ Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta;

§ Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan;

§ Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa RTRW kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan RTRW provinsi. Selanjutnya RTRW kabupaten/kota dan Rencana


(37)

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kabupaten/kota menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota. Selain itu RTRW kabupaten/kota perlu dirinci dalam rencana yag lebih detail, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Teknik Ruang (RTR).

Keterangan:

= Produk yang saat ini belum tersedia, tetapi dimungkinkan tersedia Sumber: RTRW Provinsi Lampung tahun 2000

Gambar 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan

Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang

RPJP NASIONAL

RPJP PROVINSI

RPJP KAB/KOT

RTRW NASIONAL

RTRW KWS TERTENTU NASIONAL

RTRW PROVINSI

RPJM PROVINSI

RTRW KWS TERTENTU PROVINSI

RTRW KAB/KOTA

RTRW KWS TERTENTU KAB/KOTA

RDTR KAWASAN

RENCANA TEKNIK RUANG (RTR)

RPJM KAB/KOTA


(38)

merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk program-program pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997).

Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang ya ng telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiba n pemanfaatan ruang.

Untuk menjamin penataan ruang dapat terlaksana dan mampu mengakomodasi kepentingan stakeholder, diperlukan peranserta aktif masyarakat dalam penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat UU 24 Tahun 1992 dan ditindaklanjuti dengan PP 69 Tahun 1996 serta diperjelas dengan Permendagri No 9 Tahun 1998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Perencanaan partisipatif dalam penataan ruang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis dengan menggunakan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang serta keseluruhan proses manajemen dalam suatu siklus manajemen.


(39)

Menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, kawasan andalan didefinisikan sebagai bagian dari kawasan budidaya yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. P usat Kegiatan Nasional (PKN) didefinisikan sebagai kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional, pusat ekonomi perkotaan (jasa & industri) nasional dan simpul transportasi yang melayani nasional dan atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah/Regional (PKW/PKR) adalah kota sebagai pusat aktivitas ekonomi perkotaan (jasa dan industri) regional dan simpul transportasi yang melayani provinsi dan beberapa Kabupaten di sekitarnya.

Manajemen Kota di Negara Berkembang

Kemurnian konsep manajemen kota adalah mengkompilasi berbagai isu perkotaan dalam kaitannya dengan masalah kelembagaan, untuk dapat menghasilkan suatu strategi yang tepat dan tanggap terhadap struktur pelaksanaan yang terintegrasi dalam suatu manajemen kota. Pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision infrastruktur. Hal ini tidak akan hanya mendukung perkembangan ekonomi, tetapi juga distribusi spasial dari pertumbuhan kota (McGill, 1998).

Arti sebenarnya dari manajemen kota adalah:

• Perencanaan untuk menyediaka n dan memelihara infrastruktur serta pelayanan kota.

• Memberikan keyakinan bahwa pemerintah kota dalam keadaan baik secara organisasional maupun finansial.

Substansi esensi dari manajemen kota adalah:

• Pengembangan lokasi yang efisien

• Tersedianya air bersih

• Sanitasi yang baik

• Jalanan yang terpelihara

• Penertiban/minimalisasi permukiman ilegal


(40)

Keluaran-keluaran tersebut harus dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat, misalnya berkurangnya kemiskinan dan tercapainya kondisi lingkungan yang semakin baik. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus dari program manajemen kota (McGill,1998).

Ketimpangan Pembangunan

Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang.

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Ciri lain adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri, jasa dan komersil. Wilayah yang sedang berkembang dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, ka rena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya


(41)

tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tida k memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005).

Indikator lain dalam perkembangan wilayah adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunya i tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembanga n suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang menjadi hinterland yang menyangga wilayah pusat (Anwar, 2005).

Analisa Spasial

Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya, analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola -pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pema haman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut, Haining (Rustiadi et al., 2004) mendefinisikan analisa pasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik


(42)

berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya.

Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah :

1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat da n akurat.

2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.

3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.

Para perencana dapa t menggunakan sebuah model sebagai alat untuk mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener, terdapat tiga kategori model spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola -pola aliran dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik (Wegener, 2001).

Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan


(43)

dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan da n pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta , 2005).

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meleta kkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005).

Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung Keputusan (DSS). Dalam sistem ini SIG digunakan untuk mengevaluasi skenario pertumbuhan/perkembangan kota. DSS akan mengevaluasi pelaksanaan Tata Guna Tanah (TGT) dan infrastruktur serta memberikan alternatif solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez, 1996).

Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya


(44)

dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.


(45)

KERANGKA BERFIKIR

Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang didefinisikan sebagai rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari pe nataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasilguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya -upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktifitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Sebagai salah satu kota dengan peran strategis Pusat Kegiatan Nasional (PKN), perkembangan fisik ruang Kota Bandar Lampung relatif lebih cepat dibandingkan wilayah di sekitarnya . Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, yaitu mencapai angka 1,57% pertahun (Provin si 1,02% pertahun) berdampak pada peningkatan kebutuhan dan konflik dalam penggunaan lahan untuk berbagai a ktivitas kota, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran penggunaan ruang-ruang kota. Permasalahan yang sering terjadi adalah ketersediaan lahan/ruang kota yang semakin terbatas untuk menampung aktivitas dan fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari permasalahan tersebut adalah semakin meningkatnya permasalahan kemacetan, berkembang kawasan-kawasan kumuh, kesemrawutan tata ruang, konversi lahan dan keterbatasan open space akibat menjamurnya bangunan-bangunan komersil dan sebagainya merupakan sebagian dari permasalahan fisik keruangan Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan ruang kota. Sebagai salah satu contoh adalah akibat kemacetan akan terjadi inefisiensi bagi pengguna jalan dari sisi waktu, biaya (kendaraan menjadi cepat rusak), psikologis, penurunan kualitas lingkungan akibat polusi bahan bakar dan sebagainya, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian finansial maupun non finansial. Jika permasalahan tersebut tidak segera dicarikan alternatif solusi terbaik, maka kota akan semakin tidak efisien dalam


(46)

memberikan pelayanan kepada penghuninya, serta akan terjadi penurunan kualitas lingkungan. Kota bukan lagi menjadi hunian yang nyaman dan akan semakin tidak bersahabat dengan lingkungan.

Dalam jangka panjang inefisiensi ini akan dapat menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut. Kemungkinan penurunan kinerja perkembangan wilayah akan diperparah dengan permasalahan kesenjangan/disparitas wilayah yang semakin mengemuka di Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal atau dengan kata lain penataan ruang belum berjalan secara optimal. Kemungkinan penyebab maupun akar permasalahan dari kondisi tersebut dapat berasal dari sisi perencanaan, pemanfaatan maupun dari sisi pengendalian. Dalam penelitian ini kajian akan difokuskan pada sisi perencanaan, khususnya terkait dengan substansi dokumen perencanaan

Kajian penelitian difokuskan pada tiga tujuan, yaitu pertama, mengetahui konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar Lampung, dikaitkan dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku. Analisis yang digunakan untuk tujuan ini adalah analisis pembandingan tabel dilanjutkan dengan analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah sesuai/mengacu pa da ketentuan/pedoman yang berlaku.

Kedua, mengetahui konsistensi rencana tata ruang Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context). Analisis yang digunakan adalah map overlay yang dilanjutka n dengan analisis logika verbal. Dari analisis ini akan diperoleh informasi apakah perencanaan ruang Kota Bandar Lampung sudah memperhatikan aspek kawasan fungsional dan kesinergian dengan ruang sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter-Regional context).

Ketiga, mengetahui keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah, serta kaitan antara kinerja perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi fisik wilayah.


(47)

Gambar 6 Kerangka berfikir

Penataan Ruang Kota Bandar Lampung

Kajian Dokumen RTRW

• Analisis Konsistensi Pemanfaatan Ruang • Analisis Perkemb.

Wilayah (Infrastr. Dasar Kota & Fisik Wilayah) Analisis Kesesuaian

Penyusunan dengan Pedoman

Kesimpulan Penataan Ruang • Kesesuaian dengan Pedoman

• Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context • Konsistensi Pemanfaatan Ruang & Implikasi Terhadap

Kinerja Perkembangan Wilayah

Pengendalian

Tata Guna Tanah (TGT) Aktual

Pemanfaatan

Permasalahan

(Kekumuhan, Kesemrawutan, Konversi Lahan & Keterbatasan Openspace)

Berbagai Permasalahan Inefisiensi

Penataan Ruang Belum Optimal Perencanaan

Dokumen RTRW

Analisis Konsistensi dgn Wilayah sekitar (Inter-


(48)

Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Analisis yang digunakan adalah map overlay, analisis logika verbal, PCA dan Spa tial Durbin Model.

Dari analisis pertama dan kedua yang dilakukan, dapat disimpulkan apakah dokumen RTRW Kota Bandar Lampung sudah cukup representatif untuk menjadi sebuah dokumen perenca naan. Jika belum konsisten/sesuai, maka akan disusun rekomendasi sebagai bahan masukan jika Pemda akan melakukan revisi RTRW. Sedangkan jika sudah cukup representatif, maka jika terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang atau berbagai permasalahan dalam penataan ruang, kemungkinan hal tersebut bukan lagi disebabkan oleh kesalahan dokumen perencanaan, melainkan kemungkinan dari aspek pengendalian penataan ruangnya. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan oleh pihak lain.

Vs

Gambar 7 Perbandingan proses penataan ruang

Konsistensi Inkonsistensi

Ruang yang teratur, bersinergi, efisien &

berkualitas

Konflik penggunaan ruang, kesemrawutan

& inefisiensi

Penurunan Kualitas Ruang

Kelumpuhan/ Kematian wilayah Percepatan

Perkembangan Wilayah


(49)

METODE PENELITIAN

Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini ada dua aspek yang ruang lingkupnya perlu dispesifikasikan, yaitu ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah.

Ruang lingkup materi

Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang terdiri dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mengingat adanya berbagai keterbatasan, terutama keterbatasan data dan waktu, maka dalam penelitian ini kajian difokuskan pada aspek perencanaan, khususnya proses teknis penyusunan RTRW. Adapun data yang digunakan dalam penelitian, seluruhnya bersumber dari data skunder. Kajian penelitian difokuskan pada tiga analisis dengan masing-masing batasan studi sebagai berikut:

Pertama, analisis konsistensi proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman penyusunan dan ketentuan yang berlaku, yang meliputi: UU 24 Tahun 1992; PP 47 Tahun 1997; Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002; Perda 5 Tahun 2001. Adapun pedoman teknis penyusunan yang digunakan adalah Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002. Menurut kepmen tersebut, proses teknis penyusunan RTRW Kota meliputi:

1. Penentuan arah pengembangan

Ø Tinjauan terhadap batas wilayah perencanaan

Ø Tinjauan terhadap aspek ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan serta fungsi pertahanan keamanan.

Ø Tinjauan terhadap faktor -faktor determinan, yaitu UU 24/1992, RTRWN, RTRWP, Propeda Provinsi, Propeda Kota dan Rencana Sektoral.

2. Identifikasi potensi dan masalah pembangunan

Ø Perkembangan sosial kependudukan

Ø Prospek pertumbuhan ekonomi

Ø Daya dukung fisik dan lingkungan


(50)

3. Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung

Ø Perumusan visi, misi dan tujuan pembangunan kota

Ø Perkiraan kebutuhan pengembangan

Ø Perumusan RTRW 4. Penetapan RTRW

Ø Penetapan Perda

Ø Penambahan substansi dalam Perda (pedoman perijinan, pedoman pengawasan dan pedoman penertiban)

Kedua, analisis konsistensi penyusunan rencana tata ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya untuk melihat keserasian dan kesinergian pemanfaatan ruang. Analisis yang dig unakan adalah map overlay antara peta rencana pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung dengan peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Lampung Selatan.

Ketiga, analisis keterkaitan antara konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah di kota Bandar Lampung, serta keterkaitan antara perkembangan wilayah dengan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah. Untuk mengidentifikasi kondisi fisik wilayah dilakukan overlay antara peta administrasi Kota Bandar Lampung dengan peta hidrologi, kemiringan tanah dan peta geologi.

Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis ketiga meliputi:

a. Variable -variabel ukuran perkembangan wilayah

Pembangunan dan pengembangan berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa inggris, yaitu development dan sering digunakan dalam hal yang sama atau saling dipertukarkan penggunaannya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada hanya kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (menekankan pada proses meningkatkan dan memperluas). Sebagai contoh dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas, namun perlu ditingkatkan


(51)

kapasitasnya (Rustiadi et a l., 2004). Dalam penelitian ini, makna pembangunan diasumsikan sama dengan perkembangan.

UNDP mende finisikan pembangunan sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Parameter kesejahteraan masyarakat diukur dari Inde ks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dengan variabel tingkat pendidikan, angka harapan hidup dan daya beli.

Paradigma pembangunan manusia mencakup 2 sisi (Rustiadi et a l., 2004), yaitu:

• Formasi kapabilitas manusia (perbaikan taraf kesehatan, pendidikan & keterampilan)

• Pemanfaatan kapabilitas untuk kegiatan yang bersifat produktif, cultural, social dan politik.

Kedua aspek tersebut diperlukan secara berimbang.

Indikator kinerja pembangunan wilayah dari aspek tujuan pembangunan (Rustiadi et a l., 2004 ) meliputi:

Growth (pertumbuhan, produktifitas & efisiensi) = tujuan ekonomi

Equity (pemerataan, kea dilan dan keberimbangan) = tujuan sosial

Sustainability (keberlanjutan) = lingkungan

Mengingat variabel-variabel tersebut sulit diperoleh sampai unit desa (unit analisis terkecil dalam penelitian ini), maka dilakukan berbagai pendekatan-pendekatan untuk mengukur kinerja perkembangan wilayah dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya , dan lingkungan. Dari berbagai pendekatan tersebut, maka yang digunakan sebagai indikator perkembangan wilayah dalam penelitian ini meliputi:

• Fisik Ruang

Ø Luas wilayah (Ha)

Ø Luas kawasan budidaya (Ha)

Ø Luas kawasan terbangun (Ha)

• Ekonomi

Ø Jumlah keluarga (KK)


(52)

Ø Jumlah penerimaan daerah (APD) (rupiah)

Ø Jumlah pengeluaran daerah (rupiah)

Ø Jumlah industri (unit)

Ø Jumlah pasar (unit)

Ø Jumlah mini market/super market (unit)

Ø Jumlah warung/toko (unit)

Ø Jumlah restoran (unit)

Ø Jumlah bank (unit)

Ø Jumlah KUD (unit)

Ø Jumlah hotel (unit)

• Sosial

Ø Jumlah penduduk (jiwa)

Ø Jumlah keluarga penerima kartu sehat (KK)

Ø Jumlah korban kriminalitas meninggal (jiwa)

Ø Jumlah korba n kriminal luka -luka (jiwa)

Ø Jumlah sarana pendidikan (TK, SD, SLTP, SLTA dan PT/Akademi)(unit)

Ø Jumlah sarana kesehatan (RS, puskesmas, poliklinik, praktek dokter, praktek bidan) (unit)

Ø Jumlah sarana ibadah (masjid, langgar/surau, gereja, pura, vihara) (unit)

• Budaya

Ø Jumlah sarana hiburan (bioskop, diskotik, alun-alun, tempat penyewaan VCD, dan rumah bilyard). (unit)

• Trasportasi

Ø Jumlah pelabuhan (unit)

Ø Jumlah stasiun kereta api (unit)

Ø Jumlah terminal (unit)

b. Variabel-variabel infrastruktur dasar k ota

Peranan infrastruktur dasar kota dalam penataan ruang adalah untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal. Semakin tinggi ketersediaan infrastruktur dasar kota merupakan indikasi semakin baiknya perkembangan suatu


(1)

Tabel Lampiran 8 Lanjutan

NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING

RENCANA

KETERANGAN PENILAIAN

(%)

SUBSTANSI PERDA Rencana sistem jaringan transportasi,

m eliputi:

• Jalan raya (arteri primer, arteri skunder, kolektor skunder, terminal & trayek angkutan) • Angkutan kereta api (jaringan

jalan & stasiun)

• Angkutan laut (pelabuhan laut, jalur pelayaran)

• Angkutan sungai, danau dan penyeberangan (pelabuhan sungai, danau & penyeberangan serta jalur pelayaran sungai)

• Angkutan udara (bandara dan jalur aman terbang).

Kurang sesuai

Kurang sesuai Tidak sesuai

-

-

1 syarat (trayek angkutan) dari 5 syarat tidak dipenuhi.

Hanya tergambar dalam peta & tidak ada penjelasan/kajian ilmiah.

Tidak ada penjelasan dalam RTRW.

Tidak terdapat angkutan sungai dan bandara di Kota Bandar Lampung.

43

80

50 0

Rencana sistem jaringan utilitas, meliputi:

Jaringan telepon (stasiun telepon otomat, saluran primer, rumah kabel sampai saluran skunder).

Tidak sesuai Memenuhi 1 (stasiun telepon) dari 4 syarat dalam pedoman.

28

25 Tidak diatur secara jelas Jaringan listrik (bangunan

pembangkit, gardu induk ekstra tinggi, gardu induk, saluran udara tegangan ekstra tinggi, saluran udara tegangan tinggi & jaringan transmisi menengah)

Tidak sesuai Tidak dibahas dalam RTRW 0 Tidak diatur secara

jelas

Sistem jaringan gas (pabrik gas dan saluran jaringan gas)

Tidak sesuai Tidak dibahas dalam RTRW 0 Tidak diatur secara

jelas Sistem penyediaan air bersih

(bangunan pengambil air baku, saluran/pipa transmisi air baku, instalasi produksi, pipa transmisi air bersih utama, pipa transmisi air bersih skunder, bak penampung, pipa distribusi utama & pipa distribusi skunder).

Tidak sesuai Tidak ada pembahasan (diskriptif/spasial) tentang air bersih, kecuali tempat pengambilan air baku (1 dari 8 syarat pedoman)

12 Tidak diatur secara jelas


(2)

Tabel Lampiran 8 Lanjutan

NO ASPEK/KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING

RENCANA

KETERANGAN PENILAIAN

(%)

SUBSTANSI PERDA Sistem pembuangan air hujan (saluran

primer, skunder & waduk penampungan)

Sesuai Rencana sistem drainase sudah tergambar dalam peta RTRW.

100 Tidak diatur secara jelas Saluran pembuangan air limbah

(saluran primer, skunder, bangunan pengolah & waduk penampung)

Tidak sesuai Memenuhi 1 (bangunan pengolah) dari 4 syarat pedoman.

25 Tidak diatur secara jelas Sistem persampahan (tempat

pembuangan akhir, bangunan pengolahansampah & penampungan sementara).

Tidak sesuai Memenuhi 1 (penampungan sementara) dari 3 syarat pedoman.

33 Tidak diatur secara jelas

Pentahapan & prioritas pengembangan untuk perwujudan struktur pemanfaatan ruang kota

Kawasan prioritas pengembangan (contoh: kawasan yang memiliki nilai strategis terhadap perkembangan wilayah, kawasan terbelakang, kawasan kritis/rawan bencana, kawasan perbatasan antar negara ataupun kawasan lindung)

Sesuai Dibahas dalam RTRW

83

100 Diatur dalam pasal 12

Pentahapan terkait dengan siapa, melakukan apa, dimana, mengapa, kapan dan bagaimana

melaksanakannya, yang tertuang dalam matriks indikasi program.

Kurang sesuai Terdapat 2 ( pelaksana & mengapa dilaksanakan) dari 6 syarat tidak terpenuhi.

65

4 Penetapan RTRW Kota Bandar

Lampung Untuk mengoperasionalkan RTRW,

dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda.

Sesuai RTRW Kota Bandar Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015.

100 100

Penambahan sustansi dalam Perda Pedoman perijinan pemanfaatan ruang (pedoman pemberian ijin lokasi).

Sesuai 100

Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentive dan pengenaan disinsentive.

Sesuai 100

Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan & evaluasi) & penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang.


(3)

Keterangan Tabel Lampiran 8

RTRW Kota Bandar Lampung hanya mengacu 79% dari substansi Pedoman Penyusunan RTRW. • Penentuan arah pengembangan hanya mengacu 78% dari substansi pedoman.

• Identifikasi potensi dan masalah pembangunan mengacu 53% dari substansi pedoman. • Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung mengacu 84% dari substansi pedoman. • Penetapan RTRW mengacu 100% dari substansi pedoman.


(4)

Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah

NO JENIS MODEL FAKTOR BERPENGARUH SIFAT

W2Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif

W2Ln[F1PD] ketersediaan pra sarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius

tertentu

Nyata, elastis & positif

W2Ln[F3FW] Ketersediaan air tanah produktifitas rendah dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif

W1Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tetan gga Nyata, elastis & positif

W2Ln[F2FW] Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah

dalam radius tertentu

Nyata, elastis & positif

W1Ln[F3FW] Karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah

tetangga

Nyata & positif

1 Perkembangan Aktivitas Ekonomi (Ln[F1PW])

Ln[F1FW] Kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah Nyata & positif

W2Ln[F2PW] Perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif

W2Ln[F1PD] Perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan telepon) dalam

radius tertentu

Nyata, elastis & positif

W2Ln[F2FW] Kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar

luas dalam radius tertentu

Nyata, elastis & negatif

W1Ln[F2PW] Perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga Nyata, elastis & positif

W1Ln[F1PD] Perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah

tetangga

Nyata & negatif

W1Ln[F1PW] Perkembangan aktifitas ekonomi wilayah tetangga Nyata & positif

Ln[F1PD] Prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) Nyata & positif

Ln[F3FW] Kondisi air tanah produktifitas rendah Nyata & negatif

Ln[F1FW] Kondisi fisik terjal dan kelangkaan air tanah Nyata & negatif

2 Perkembangan Fisik Ruang Wilayah

(Ln[F2PW])

Ln[F2FW] Kondisi fisik landai dan air tanah produktifitas sedang Nyata & positif

W2Ln[F3PW] Perkembangan aktifitas pendidikan dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif

W2Ln[F1PD] Ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu Nyata, elastis & negatif

W2Ln[F3FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di

wilayah dalam radius tertentu

Nyata, elastis & negatif

W2Ln[F1FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di

wilayah dalam radius tertentu

Nyata, elastis & positif

W1Ln[F3PW] Perkembangan aktifitas pendidikan wilayah tetangga Nyata, elastis & positif

Ln[F2PD] Keberadaan jalan nasional Nyata & negatif

3 Perkembangan Aktivitas Pendidikan

(Ln[F3PW])

Ln[F2FW] Kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah

produktifitas sedang


(5)

Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan kinerja perkembangan wilayah

N O KATEGORI

PERKEMBANGAN WILAYAH

KELURAHAN PERMASALAHAN TATA RUANG

1 BAIK Pesawahan; Gedung Meneng; Rawa Laut; Palapa; Tanjung

Karang

-

2 SEDANG Kota Karang; Perwata; Kuripan; Gedung Pakuon; Talang;

Telukbetung; Kangkung; Bumi Waras; Pecohraya; Sukaraja; Geruntang; Ketapang; Way Lunik; Panjang Selatan; Panjang Utara; Pidada; Karang Maritim; Kota Baru; Tanjung Agung; Kebon Jeruk; Sawah Lama; Sawah Brebes; Jaga Baya I; Kedamaian; Tanjung Raya; Tanjung Gading; Campang Raya; Kupang Kota; Gunung Mas; Kupang Teba; Kupang Raya; Pahoman; Sumur Batu; Gulak Galik; Pengajaran; Durian Payung; Gotong Royong; Enggal; Pelita; Kaliawi; Kelapa Tiga; Gunung Sari; Pasir Gintung; Penengahan; Susunan Baru; Suka Jawa; Gedung Air; Segala Mider; Gunung Terang; Sumber Agung; Beringin Raya; Sumber Rejo; Kemiling Permai; Langkapura; Sukamenanti; Sidodadi; Surabaya; Perumnas Way Halim; Kedaton; Labuan Ratu; Kampung Baru; Sepang Jaya; Rajabasa; Rajabasa Jaya; Labuhan Dalam; Tanjung Seneng; Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Perumnas Way Kandis; Sukarame; Way Halim Permai; Gunung Sulah; Way Dadi; Harapan Jaya; Jagabaya II; Jagabaya III; Tanjung Baru; Kalibalok Kencana; Sukabumi Indah; Sukabumi.

1. Konversi penggunaan lahan dari peruntukan dalam RTRW (lemahnya aspek pengendalian) karena permasalahan dalam mekanisme perijinan,khususnya lemahnya sistem informasi spasial.

2. Dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang menyebabkan terjadinya ’penyimpangan legal’.

3. RTRW tidak mengatur pengelolaan kawasan, terutama yang mengalami degradasi.

4.

Kawasan pusat kota (kumuh, macet &

urban sprawl

)

3 KURANG Sukamaju; Keteguhan; Pinang Jaya; Bakung; Negri Olok

Gading; Sukajaya; Sumur Putri; Batu Putu; Batu Putu; Sukadana Ham; Kedaung; Rajabasa Raya; Way Laga; Way Gubak; Srengsem.

1. Inkonsistensi batas wilayah dengan Lampung Selatan 2. Penyusunan TR tidak melibatkan Lampung Selatan, sehingga

pembangunan ’daerah perbatasan’ tidak sinergis.

3. Ketersediaan fasilitas dan prasarana dasar dibawah standar Kepmen PU 378/KPTS/1987.

4. RTRW tidak mengatur skenario pengembangan kawasan tersebut.


(6)

Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang

NO KOMPONEN MEKANISME KETERANGAN PERMASALAHAN

1 Pengawasan Perijinan IMB, SITU, Ijin Prinsip, Ijin

Lokasi & IPB

Ø Pemberian ijin tidak sesuai RTRW.

Ø Mekanisme & instrumen perijinan tidak jelas.

Ø Sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas -batas koordinat setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta.

Ø RTRW tidak dibreakdown dalam rencana yang lebih detail, sehingga semakin sulit melihat konsistensi RTRW (makro) dengan eksisting wilayah yang akan dikeluarkan ijinnya.

Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui jika ijin yang dimiliki tidak sesuai dengan peruntukannya.

Ø Kurangnya koordinasi antar instansi yang berwenang dalam penerbitan ijin (lemahnya kinerja kelembagaan BKPRD).

Ø Masyarakat cenderung ’malas’ mengurus perijinan karena birokrasi terlalu panjang dengan biaya tinggi dan mekanisme yang tidak pasti.

Mekanisme pemberian insentif dan disinsentif

Belum diatur dan belum berjalan

Mekanisme pemberian kompensasi

Belum diatur dan belum berjalan

Mekanisme pelaporan Tertulis atau lisan dari seluruh stakeholder

Ø Belum adanya mekanisme pelaporan yang kelas, khususnya oleh stakeholder

Ø Kurangnya sosialisasi RTRW, sehingga masyarakat sering tidak mengetahui telah terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang

Ø Laporan dari masyarakat biasanya hanya ditampung & tidak ditindaklanjuti.

Pemantauan Konsistensi antara rencana

dengan pemanfaatan

Ø Sistem informasi spasial belum memadai, sehingga pemantauan konsistensi penataan ruang menjadi sulit dilaksanakan.

Ø Setiap unit pemantau tidak menjalankan fungsi dan perannya dengan baik.

Ø Kurangnya koordinasi dalam kelembagaan BKPRD.

Evaluasi Ø Kelemahan sistem informasi spasial didukung RTRW tidak di breakdown

dalam rencana yang lebih detail meyebabkan semakin sulit melihat penyimpangan di lapangan.

Ø Kelembagaan BKPRD tidak berjalan optimal dan tidak melaksanakan amanat Kepmendagri No 147 Tahun 2004.

2 Penertiban Administratif

Perdata Pidana

Ø Lemahnya kelembagaan penertiban

Ø Lemahnya supremasi hukum, khususnya terhadap penyimpangan -penyimpangan legal.