Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir Studi kasus Teluk Lampung

(1)

ABDULLAH AMAN DAMAI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR:

STUDI KASUS TELUK LAMPUNG


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Abdullah Aman Damai C261040031


(4)

(5)

ABSTRACT

ABDULLAH AMAN DAMAI. Spatial planning system of coastal area: Lampung Bay case study. Under direction of MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, and ERNAN RUSTIADI.

Coastal area is complex and dynamic in nature, and also vulnerable against stress. On the other side, it has various resources and environment services, and hence tend to be overexploited. For that reason, conflict of space utilization whether intersectors or internal sector, and various of stakeholders’ interest, became an ordinary problem. The conflict has to be prevailed through a proper administration spatial management based on spatial planning that might accommodate economic and population growth, and also implementable. Through the system approach, comprehensive spatial planning of coastal area could be met, which able to accommodate stakeholders’ interest. Due to its complexity, in which various activities and stakeholders are present, coastal area of Lampung Bay was determined as study area. The research was aimed to develop an approach of spatial planning of coastal area that integrate waters and terrestrial space, in a system framework with participatory features. The research was carried out through system dynamics approach that incorporated with geographic information system. Furthermore, participatory prospective analysis for mapping stakeholders’ need, and regional analysis, was prepared. The result showed that: (1) system approach is able to provide a scenario of coastal area spatial planning comprehensively, in which waters and terrestrial space could be integrated through simultaneous analysis of components of system and their interactions, and further intervention on it; (2) stakeholders involvement through participatory prospective analysis is the key of simplification of spatial policies formulation, in which various of interest in an area could be accommodated; (3) main components of system (i.e. population, economic activities, and space availability) in coastal area of Lampung Bay, are interrelated and interdependent, and in order to achieve sustainable relation among them until the end of analysis (year 2029), consequently it has to be attained and maintained a proportion of protected area as 54,482 ha (42.09%) of land and 4,822 ha (3.02%) of waters; (4) accomplishment of spatial planning of coastal area of Lampung Bay require conversion of a part of production area (50.67%) to become protected area, and development of service centers and infrastructure networks; and (5) Suggestions of space alocation and service center hierarchies, could be prepared based on model simulation of condition and regional capabilities of Lampung Bay coastal area, the scenario could accommodate stakeholders’ need toward the sustainable regional development


(6)

(7)

RINGKASAN

ABDULLAH AMAN DAMAI. Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung. Dibimbing MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, dan ERNAN RUSTIADI.

Penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wlayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang. Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demikian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan

Pendekatan sistem dapat memberikan pemahaman fenomena dunia nyata secara komprehensif. Wilayah pesisir yang kompleks, dapat dipandang sebagai suatu sistem, dengan komponen utama terdiri dari populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang. Melalui pemodelan sistem, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut. Dengan demikian, melalui intervensi terhadap sistem, dapat dihasilkan perencanaan tata ruang terpadu, komprehensif, dan akomodatif terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Sebagai wilayah pesisir yang kompleks dengan beragam aktivitas, Teluk Lampung dipilih sebagai lokasi penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Pendekatan penelitian melalui sistem dinamik dengan pemodelan deterministik, yang mampu mengkaji sistem kompleks. Pemetaan kebutuhan para pemangku kepentingan menggunakan analisis prospektif partispatif, dan penyajian spasial menggunakan sistem informasi geografis.

Wilayah penelitian meliputi: (1) daratan kecamatan di Kota Bandar Lampung (Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang), Kabupaten Lampung Selatan (Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni), dan Kabupaten Pesawaran (Padang Cermin dan Punduh Pidada); dan (2) perairan Teluk Lampung antara 105o11’-105o43’ BT dan 5o26’-5o

Kebutuhan para pemangku kepentingan dipetakan dari analisis prospektif partisipatif melalui forum pertemuan 27 partisipan, yang berlatar belakang: nelayan dan pembudidaya ikan, pengusaha, institusi pemerintah daerah, dan perguruan tinggi setempat. Secara konsensus terpilih 6 variabel yang paling

59’ LS.

Pemodelan sistem dinamik terdiri dari tiga sub-model, yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Proses validasi dilakukan meliputi struktur (kesesuaian dan konsistensi dimensi) dan perilaku model. Validasi menunjukkan bahwa terdapat cukup alasan untuk menggunakan model dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung. Simulasi model dilakukan dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2029.


(8)

berpengaruh, yaitu: kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, penegakan hukum, pertumbuhan penduduk, infrastruktur wilayah, aktivitas ekonomi kerakyatan, dan zonasi wilayah. Keenam variabel terpilih tersebut merupakan representasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Partisipan juga merumuskan empat skenario berdasarkan kombinasi dari kondisi variabel terpilih. Di dalam pengembangan model, skenario tersebut diterjemahkan dalam variasi nilai parameter peubah “kebijakan”, yaitu: optimis, bernilai 1; moderat, bernilai 0,75; pesimis, bernilai 0,25; dan sangat pesimis, bernilai 0. Kemudian masing-masing skenario disimulasi.

Simulasi sub-model populasi, menunjukkan bahwa populasi skenario optimis meningkat lebih besar, pada tahun 2029 mencapai 763 ribu orang, sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya mencapai 663 ribu orang. Populasi skenario optimis yang lebih tinggi, disumbang dari imigrasi yang masuk ke wilayah pesisir lebih besar daripada skenario lainnya. Di sisi lain, tingkat pengangguran pada skenario optimis lebih rendah daripada skenario lainnya, karena perekonomian menjadi lebih baik.

Simulasi sub-model aktivitas ekonomi menunjukkan perbedaan antar skenario. Aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) pada skenario optimis menjadi sekitar Rp 14,06 triliun pada tahun 2029, pada skenario sangat pesimis hanya meningkat menjadi Rp 7,41 triliun. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan besarnya peubah investasi, yang ditentukan oleh perbedaan ”inkonsistensi tata ruang”, ”degradasi sumberdaya pesisir”, dan ”kendala ruang”.

Simulasi sub-model ketersediaan ruang, menunjukkan bahwa lahan pertanian skenario sangat pesimis, relatif tetap, yaitu dari 105,2 ribu ha pada tahun 2003, menjadi 103,4 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan pada skenario optimis menurun tajam menjadi 51,9 ribu ha. Secara keseluruhan, skenario sangat pesimis memerlukan total kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya (terutama pertanian) yang paling besar daripada skenario lainnya, yaitu mencapai 120,3 ribu ha pada tahun 2029. Skenario optimis hanya membutuhkan 73,9 ribu ha, karena terdapat kebijakan dihentikannya perluasan lahan pertanian dan dilakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan lindung. Luas pemanfaatan umum perairan antar skenario tidak berbeda tajam, kecuali perikanan budidaya. Perluasan perairan perikanan budidaya terjadi secara signifikan pada skenario optimis, yaitu dari awal simulasi hanya 8,0 ribu ha, meningkat menjadi 11,9 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan untuk skenario sangat pesimis hanya mencapai 8,8 ribu ha. Secara keseluruhan, luas total kawasan pemanfaatan umum perairan (perikanan dan non-perikanan) pada skenario optimis akan berjumlah 133,5 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan skenario sangat pesimis hanya mencapai 130,4 ribu ha. Perbedaan antar skenario tersebut bersumber dari perairan perikanan budidaya.

Peubah “kebijakan” pada masing-masing skenario, memberikan inkonsistensi tata ruang (penggunaan ruang untuk kawasan budidaya darat dan/atau pemanfaatan umum perairan yang seharusnya berfungsi lindung) yang berbeda-beda. Inkonsistensi tersebut telah terjadi sejak dimulainya simulasi (tahun 2003), yaitu seluas 38,0 ribu ha. Pada skenario sangat pesimis, inkonsistensi tata ruang akan terus meningkat, hingga pada tahun 2029 akan mencapai luas 46,7 ribu ha. Inkonsistensi tata ruang mempengaruhi kendala ruang, dan terhubung pada sub-model populasi dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk, tingkat pengangguran, investasi, dan aktivitas ekonomi yang


(9)

berbeda-beda. Pada akhirnya, sistem secara keseluruhan akan memberikan rente ruang (produk ruang per luas wilayah) kawasan budidaya darat dan pemanfaatan umum perairan yang berbeda-beda pula. Penurunan inkonsistensi tata ruang akan memberikan peningkatan rente ruang. Skenario optimis akan memberikan rente ruang tertinggi, yaitu mencapai Rp 67,80 juta per ha pada tahun 2029. Pada tahun yang sama, skenario moderat, pesimis, dan sangat pesimis, hanya berturut-turut Rp 56,46 juta per ha, Rp 31,56 juta per ha, dan Rp 29,57 juta per ha

Pemilihan skenario didasarkan pada 11 kriteria yang merupakan pewakil dari 6 variabel kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan menggunakan indeks kinerja komposit (CPI). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya skenario optimis yang paling mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan demikian perencanaan pola dan struktur ruang mengacu pada parameter dan nilai awal model skenario optimis.

Hasil analisis kesesuaian ruang menunjukkan bahwa kebutuhan ruang daratan dan perairan sampai tahun 2029, dapat dipenuhi. Berdasarkan analisis wilayah yang meliputi location quotient (LQ), localization index (LI), specialization index (SI), dan skalogram, dapat dirumuskan kebijakan struktur dan pola ruang.

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan: (1) Pendekatan sistem dapat memberikan skenario perencanaan wilayah pesisir yang komprehensif, yaitu memadukan ruang daratan dan perairan dengan semua komponen sistem dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan serta dilakukan intervensi; (2) Pelibatan pemangku kepentingan melalui analisis prospektif partisipatif, merupakan kunci yang mempermudah perumusan kebijakan tata ruang yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan dalam satu wilayah yang sama; (3) Komponen utama sistem berupa populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung menunjukkan keterkaitan dan saling mempengaruhi, untuk menjaga hubungan antar komponen secara berkelanjutan, sampai akhir analisis (pada tahun 2029) harus dicapai dan dipertahankan suatu proporsi kawasan lindung daratan seluas 54.482 ha (42,09%) dan konservasi perairan 4.822 ha (3,02%); (4) Perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung mensyaratkan dilakukannya konversi sebagian kawasan budidaya (50,67%) menjadi kawasan lindung, serta pengembangan pusat-pusat pelayanan dan jaringan prasarana wilayah; dan (5) Arahan alokasi ruang dan hierarki pusat pelayanan dapat dirumuskan sesuai simulasi model berdasarkan kondisi dan kemampuan wilayah pesisir Teluk Lampung, skenario ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam menuju pengembangan wilayah yang berkelanjutan.

Disarankan: (1) Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, yang meliputi keseluruhan wilayah pesisir Teluk Lampung, agar dilakukan perencanaan wilayah yang lebih detil, pengaturan zonasi, dan segera melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh; dan (2) untuk pelaksanaan penelitian pada tingkat wilayah yang lebih detil agar dilakukan dengan pemodelan probabilistik, dengan demikian aspek ketidakpastian dapat lebih diakomodasi.

Kata kunci: wilayah pesisir, perencanaan tata ruang, sistem dinamik, Teluk Lampung.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(12)

ABDULLAH AMAN DAMAI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR:

STUDI KASUS TELUK LAMPUNG


(13)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Dr. Ir. Setia Hadi, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc.


(14)

Judul Disertasi : Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung

Nama Mahasiswa : Abdullah Aman Damai

NIM : C261040031

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc.

Anggota

Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si.

Anggota

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(15)

(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari.

Bakosurtanal = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bapedalda = Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. Bappeda = Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

BBM = bahan bakar minyak.

BOD = biological oxygen demand (kebutuhan oksigen biologis), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan aktivitas air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air.

BPMD = Badan Penanaman Modal Daerah. BPS = Badan Pusat Statistik.

BT = Bujur Timur. CA = cellular automata.

CAPSA = centre for alleviation of poverty through secondary crops’ development in Asia and the Pacific.

CMARIS = coastal and marine resource information system.

COD = chemical oxygen demand (kebutuhan oksigen kimiawi), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan proses kimiawi (oksidasi) zat terlarut dan tersuspensi di dalam air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. CPI = composite performance index (indeks kinerja gabungan).

CPO = crude palm oil (minyak kelapa sawit). CRMP = coastal resources management project. DAS = daerah aliran sungai.

Dishidros = Dinas Hidrooseanografi.

DKP = Departemen Kelautan dan Perikanan.

DLKp = daerah lingkungan kepentingan (perairan), merupakan wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.

DLKr = daerah lingkungan kerja (perairan), merupakan wilayah perairan pada pelabuhan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhanan.


(17)

DO = disolved oxygen (oksigen terlarut), merupakan jumlah dalam kolom air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air.

DUKS = dermaga untuk kepentingan sendiri.

ESRI = Environmental Systems Research Institute, Inc.

FGD = fish gathering device (alat pengumpul ikan), merupakan alat yang ditanam dalam kolom air secara permanen, yang berfungsi sebagai pengumpul ikan, seperti rumpon.

GIS = geographic information systems (sistem informasi geografis, SIG), merupakan sistem perangkat keras dan lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi.

HAB = harmful algal blooms.

HPS = High Performance Systems, Inc.

I/D = influence/dependence (pengaruh/ketergantungan). IP = indeks pelayanan.

IUU = illegal, unreported and unregulated (ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti peraturan).

KJA = keramba jaring apung.

knot adalah satuan laju, yaitu mil laut/jam (1,85 km/jam), biasa digunakan untuk satuan laju arus laut dan angin.

KSN = kawasan strategis nasional. KUD = koperasi unit desa. Lanal = Pangkalan Angkatan Laut.

LAPAN = Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. LI = localization index (indeks lokalisasi).

LQ = location quotient (quasi lokasi). LS = Lintang Selatan.

LSM = lembaga swadaya masyarakat.

MCDM = multicriteria decision making (pembuatan keputusan kriteria jamak). MIT = Massachusetts Institute of Technology.

Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat.

MSL = mean sea level. Pasut = pasang surut.


(18)

Partisipasi merupakan keterlibatan atau mengambil bagian secara aktif dalam suatu proses.

PDRB = produk domestik regional bruto, merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi; PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB-ADHB) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada tahun yang bersangkutan; dan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB-ADHK) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai dasar (dalam penelitian ini adalah tahun 2000).

Pelindo = Pelabuhan Indonesia, PT.

Pendekatan sistem merupakan pendekatan penelitian yang terdiri dari beberapa tahap proses, yaitu penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem.

PKL = Pusat Kegiatan Lokal. PKN = Pusat Kegiatan Nasional. PKW = Pusat Kegiatan Wilayah.

PKWp = Pusat Kegiatan Wilayah Provinsi.

PPA = participatory prospective analysis (analisis prospektif partisipatif) merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang komprehensif dan cepat, dengan tahapan: penentuan/definisi sistem, identifikasi variabel sistem, definisi variabel kunci, analisis pengaruh antar variabel, interpretasi dari pengaruh dan ketergantungan antar variabel, pendefinisian kondisi (state) variabel di masa datang, pembangunan skenario, serta penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif.

PTBA = Bukit Asam, PT.

RePPProT = regional physical planning programme for transmigration.

RTP = rumah tangga perikanan, merupakan rumah tangga dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan atau pembudidaya ikan.

RTRW = rencana tata ruang wilayah. SDA = sumberdaya alam.

SDM = sumberdaya manusia.

SDSS = spatial decision support system (sistem penunjang keputusan spasial). SDWM = system dynamics watershed model (model sistem dinamik daerah aliran

sungai).

SHE = sibernetik, holistik, dan efektif.


(19)

Sistem adalah sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu.

Sistem dinamik merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan penundaan (delay), dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut.

Sistem lahan merupakan pengelompokan lahan berdasarkan tipe fisiografik, yang antara lain meliputi pegunungan, perbukitan, dataran, dan rawa. Di dalam wilayah penelitian terdapat 22 sistem lahan, yang meliputi: AHK (Air Hitam Kanan), BBG (Bukit Balang), BBR (Bukit Barangin), BGA (Batang Anai), BLI (Beliti), BMS (Bukit Masung), BTA (Batu Ajan), BTK (Barong Tongkok), KHY (Kahayan), KJP (Kajapah), KNJ (Kuranji), LBS (Lubuk Sikaping), MBI (Muara Beliti), PKS (Pakasi), PLB (Pidoli-dombang), SAR (Sungai Aur), SKA (Sukaraja), SMD (Sungai Medang), TGM (Tanggamus), TLU (Talamau), TWI (Telawi), dan UBD (Ulubandar).

SME = spatial modeling environment (pemodelan lingkungan spasial). SSME = Sulu-Sulawesi marine ecoregion.

Stakeholder(s) diterjemahkan sebagai “pemangku kepentingan” adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu.

STORET-EPA = short for STOrage and RETrieval - Environmental Protection Agency (US).

Tidal range (tunggang pasut), merupakan beda tinggi muka air laut antara pasang dan surut.

Tide (pasang surut, pasut), merupakan merupakan proses naik turunnya muka air laut, yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. TELPP = Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper, PT.

TNI-AL = Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut.

TSS = total suspended solid (padatan tersuspensi total), merupakan jumlah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan organik dan anorganik yang tidak lolols saringan berpori 0,45 μm.

UMKM = usaha mikro, kecil, dan menengah. USDA = United States Department of Agriculture. UU = Undang-undang.

WWF = World Wide Fund for Nature. ZEE = zona ekonomi eksklusif.


(20)

PRAKATA

Berkat limpahan rahmat dan ridlo Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulisnya dalam bentuk disertasi. Melalui disertasi ini penulis berupaya untuk dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan daerah Lampung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., Prof. Dr. Ir. Marmin, M.Sc., Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si., dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, M.Sc. dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing, pada ujian pra kualifikasi. Kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian tertutup. Demikian juga kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian terbuka. Kepada seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi SPL khususnya, serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan serta membantu penulis selama menempuh studi, dengan tulus disampaikan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian, Rektor, serta seluruh dosen dan karyawan Universitas Lampung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3. Kepada seluruh unsur Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih. Kepada seluruh lembaga pemerintah dan swasta, serta masyarakat luas dan LSM, di wilayah pesisir Teluk Lampung; yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih.

Kepada seluruh teman mahasiswa SPL, penulis ucapkan banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh teman di Lampung yang telah memberikan dukungan material dan semangat, dan seluruh pihak yang telah membantu, dengan tulus penulis sampaikan rasa terima kasih.

Kepada Buya dan Umi, serta seluruh keluarga besar yang telah mendidik, membesarkan, dan membantu penulis dengan tulus, hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan. Akhirnya secara khusus kepada Icoen, Sha-sha, Abang, dan Adek Tia tercinta, yang terus mendampingi, mendorong, dan membantu penulis, hanya rasa terima kasih dan cinta mendalam yang dapat kupersembahkan.

Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin.

Bogor, Januari 2012


(21)

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 1 Mei 1965, sebagai anak ke enam dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Abdul Madjid (almarhum) dan Siti Idjabah (almarhumah). Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Nelly, anak ke tujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Ibrahim Hanafiah (almarhum) dan Tuti Dewi Nasution (almarhumah). Penulis telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Amalia Shafira Damai (perempuan, lahir tahun 1995), Farras Naufal Damai (laki-laki, lahir tahun 2004), dan Ashila Meutia Damai (perempuan, lahir tahun 2009).

Pada tahun 1989, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebagai dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan pada tahun 1988 dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pendidikan strata dua (S2) diselesaikan pada tahun 2003 dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan strata tiga (S3) pada Program Studi SPL, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(23)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL --- xxix DAFTAR GAMBAR --- xxxi DAFTAR TABEL LAMPIRAN --- xxxv DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN --- xxxix 1 PENDAHULUAN --- 1 1.1 Latar Belakang --- 1 1.2 Tujuan dan Manfaat --- 5 1.3 Perumusan Masalah --- 5 1.4 Definisi Operasional --- 8 1.5 Lingkup Penelitian --- 12 1.6 Kerangka Konsepsional --- 13 2 TINJAUAN PUSTAKA --- 23 2.1 Wilayah dan Wilayah Pesisir --- 23 2.2 Teori Sistem --- 28 2.3 Sistem dan Model --- 31 2.4 Penelitian Partisipatif --- 34 2.5 Perencanaan Tata Ruang Partisipatif --- 39 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) --- 43 2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu --- 45 3 METODE PENELITIAN --- 49 3.1 Pendekatan Penelitian --- 49 3.2 Wilayah Penelitian --- 49 3.3 Kerangka Pemikiran dan Analisis --- 49 3.4 Batas Sistem --- 54 3.5 Tahapan Pendekatan Sistem --- 56 3.6 Analisis Prospektif Partisipatif --- 57 3.7 Pemodelan Sistem --- 62 3.7.1 Faktor-faktor penyusun model --- 63 3.7.2 Blok bangunan dasar dan persamaan dalam model --- 64 3.8 Analisis SIG --- 67 3.9 Data dan Analisis --- 70 3.9.1 Analisis biofisik wilayah --- 71 3.9.2 Analisis pemilihan skenario --- 71 3.9.3 Analisis ekonomi wilayah dan kewilayahan --- 73 3.9.4 Metode manual alokasi pola ruang --- 80 4 KONDISI UMUM DAN ANALISIS WILAYAH PESISIR

TELUK LAMPUNG --- 83 4.1 Fisik Wilayah --- 83 4.1.1 Luas wilayah --- 83 4.1.2 Geologi pantai dan sistem lahan --- 84 4.1.3 Fisik kimia perairan --- 88 4.1.4 Biologi perairan --- 95


(24)

xxvi

Halaman 4.2 Kependudukan --- 99 4.2.1 Jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk --- 99 4.2.2 Tenaga kerja --- 101 4.2.3 Keluarga dan keluarga miskin --- 102 4.2.4 Rumah tangga perikanan --- 103 4.3 Ekonomi Wilayah --- 104

4.3.1 Produk domestik regional bruto (PDRB) --- 104 4.3.2 Struktur perekonomian --- 104 4.3.3 Sektor ekonomi basis --- 107 4.3.4 Daya saing sektor ekonomi --- 108 4.3.5 Investasi --- 111 4.4 Prasarana dan Sarana Wilayah --- 112

4.4.1 Jalan dan rel kereta api --- 112 4.4.2 Pelabuhan dan dermaga --- 113 4.4.3 Prasarana wisata pantai --- 114 4.4.4 Armada kapal nelayan --- 115 4.4.5 Koperasi --- 116 4.5 RTRW Terkait Teluk Lampung --- 117 5 ANALISIS PROSPEKTIF PARTISIPATIF --- 123 5.1 Penentuan Variabel Kunci --- 123 5.2 Analisis Pengaruh Antar-Variabel Kunci --- 128 5.3 Penentuan Kondisi Variabel Kunci di Masa Depan --- 132 5.4 Pembangunan Skenario --- 134 5.5 Implikasi Strategis dan Aksi Antisipatif --- 136 5.6 Hubungan Analisis Prospektif Partisipatif dengan Pemodelan - 137 6 ANALISIS SISTEM --- 139 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik --- 139 6.1.1 Sub-model --- 139 6.1.2 Nilai awal dan parameter --- 140 6.1.3 Validasi model --- 144 6.2 Informasi Geografis Wilayah --- 147

6.2.1 Penutupan lahan --- 147 6.2.2 Kemampuan lahan --- 148 6.2.3 Penggunaan perairan --- 154 6.2.4 Jaringan transportasi --- 155 6.3 Kecenderungan Sistem --- 159

6.3.1 Populasi --- 161 6.3.2 Aktivitas ekonomi --- 162 6.3.3 Penggunaan ruang --- 165 7 KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR --- 171 7.1 Simulasi Skenario --- 171

7.1.1 Kebutuhan pemangku kepentingan dari analisis

prospektif partisipatif --- 171 7.1.2 Asumsi-asumsi dalam pengembangan model --- 174 7.1.3 Simulasi sub-model populasi --- 176


(25)

xxvii Halaman 7.1.4 Simulasi sub-model aktivitas ekonomi --- 178 7.1.5 Simulasi sub-model ketersediaan ruang --- 182 7.1.6 Pemilihan skenario --- 192 7.2 Kebijakan Pola dan Strukur Ruang --- 195 7.2.1 Kebutuhan dan kesesuaian ruang --- 195 7.2.2 Karakteristik kewilayahan dan pusat pelayanan --- 203 7.2.3 Arahan pola ruang --- 206 7.2.4 Arahan struktur ruang --- 214 7.3 Strategi Implementasi Kebijakan Tata Ruang --- 219 8 KESIMPULAN DAN SARAN --- 223 8.1 Kesimpulan --- 223 8.2 Saran --- 224 DAFTAR PUSTAKA --- 225 LAMPIRAN --- 235 1 Perbedaan sistem perencanaan spasial --- 235 2 Sistem lahan wilayah penelitian --- 239 3 Nilai awal dan parameter --- 243 4 Persamaan dalam model --- 257 5 Kriteria analisis SIG --- 265 6 Daftar investasi langsung swasta --- 269 7 Potensi desa untuk skalogram --- 271 8 Validasi model dinamik --- 275 9 Data simulasi skenario model dinamik --- 277 10 Pemilihan skenario model dinamik --- 311 11 Dokumentasi perangkat lunak sistem dinamik --- 315


(26)

(27)

xxix DAFTAR TABEL

Halaman 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan --- 21 2. Tipologi partisipasi --- 36 3 Tahapan dalam analisis prospektif partisipatif --- 59 4 Data dan informasi yang dikumpulkan --- 70 5 Luas daratan wilayah penelitian --- 83 6 Luas perairan wilayah penelitian --- 83 7 Satuan geologi lingkungan pantai Teluk Lampung --- 85 8 Ringkasan sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 86 9 Arus pasut di Teluk Lampung --- 89 10 Arah dan tinggi maksimum kejadian gelombang --- 92 11 Kualitas air Teluk Lampung --- 93 12 Kualitas air Teluk Lampung berdasarkan Metode Storet-EPA --- 95 13 Komponen pertumbuhan penduduk --- 100 14 Penduduk usia lebih dari 15 tahun di wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 101 15 Lapangan usaha pekerja di wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 102 16 Jumlah keluarga dan bangunan rumah di wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 102 17 PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per

lapangan usaha --- 106 18 PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per kecamatan --- 106 19 Nilai LQ sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung --- 108 20 Komponen pergeseran-pertumbuhan wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 110 21 Daya saing sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung --- 111 22 Jalan dan rel kereta api di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 113 23 Lokasi terminal di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 113 24 Lokasi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung 114 25 Lokasi prasarana wisata pantai di wilayah pesisir Teluk Lampung 115 26 Armada nelayan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 116 27 Jenis dan sebaran koperasi di wilayah pesisir Teluk Lampung ---- 117


(28)

xxx

Halaman 28 Variabel pengaruh yang diidentifikasi oleh partisipan --- 124 29 Variabel pengaruh yang diidentifikasi dan didefinsikan

oleh partisipan --- 125 30 Variabel yang disimpulkan paling berpengaruh oleh partisipan --- 127 31 Skor pengaruh antar-variabel yang dinilai oleh partisipan --- 129 32 Skor kekuatan variabel global tertimbang --- 132 33 Kondisi variabel yang ditetapkan oleh partisipan secara konsensus 133 34 Ringkasan beberapa nilai awal dan parameter model --- 143 35 Pengujian nilai tengah data historis dan data pemodelan --- 147 36 Penutupan lahan wilayah penelitian --- 150 37 Kelas kemampuan lahan wilayah penelitian --- 150 38 Penggunaan ruang perairan Teluk Lampung --- 154 39 Rekapitulasi simulasi sub-model populasi --- 178 40 Rekapitulasi simulasi sub-model aktivitas ekonomi --- 182 41 Rekapitulasi simulasi sub-model ketersediaan ruang --- 191 42 Kriteria dan bobot kinerja CPI --- 194 43 Rekapitulasi hasil analisis CPI --- 194 44 Kebutuhan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung --- 195 45 Kesesuaian ruang wilayah pesisir Teluk Lampung --- 196 46 Nilai LQ sektor ekonomi per kecamatan --- 203 47 Nilai LI sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung --- 204 48 Nilai SI per kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 205 49 Nilai IP skalogram per kecamatan di wilayah pesisir Teluk

Lampung --- 206 50 Arahan alokasi pola ruang wilayah pesisir Teluk Lampung

yang memenuhi skenario optimis --- 207 51 Arahan hierarki pusat pelayanan di wilayah pesisir


(29)

xxxi DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Klasifikasi perencanaan tata ruang --- 15 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia --- 17 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum

dilakukan --- 19 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir

yang diajukan --- 20 5 Sistematika konsep-konsep wilayah --- 24 6 Wilayah pesisir dan sistem sumberdaya pesisir --- 26 7 Prinsip dasar metode analisis prospektif partisipatif --- 38 8 Sistem penataan ruang --- 40 9 Struktur penyelenggaraan penataan ruang --- 41 10 Beberapa penelitian terdahulu yang dirujuk dan berkaitan dengan

penelitian --- 48 11 Peta batas wilayah penelitian --- 50 12 Kerangka pemikiran penelitian --- 52 13 Kerangka alur analisis penelitian --- 53 14 Komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan

implikasinya --- 55 15 Tahap analisis sistem dinamik --- 57 16 Model secara global --- 62 17 Bagan alir interpretasi citra satelit --- 68 18 Bagan alir analisis sistem informasi geografis (SIG) --- 69 19 Peta sistem Lahan --- 87 20 Peta perairan --- 90 21 Distribusi jumlah dan kepadatan penduduk wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 100 22 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dan produksi ikan segar di

wilayah pesisir Teluk Lampung --- 103 23 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dan wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 105 24 Pangsa sektor terhadap PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung --- 107 25 Investasi langsung swasta di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 112 26 Peta RTRW terkait Teluk Lampung --- 121


(30)

xxxii

Halaman 27 Pengaruh langsung antar variabel PPA --- 130 28 Pengaruh tidak langsung antar variabel PPA --- 130 29 Pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel PPA --- 131 30 Sub-model populasi --- 141 31 Sub-model aktivitas ekonomi --- 141 32 Sub-model ketersediaan ruang --- 142 33 Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan

perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 145 34 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang

perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 145 35 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan lapangan kerja

di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 146 36 Peta penutupan lahan --- 151 37 Peta kemampuan lahan --- 152 38 Peta penggunaan ruang perairan --- 156 39 Peta orientasi transportasi --- 160 40 Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja

di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 162 41 Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun

2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 163 42 Dinamika produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen

PDRB harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir

Teluk Lampung --- 164 43 Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman

di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 166 44 Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah

pesisir Teluk Lampung --- 166 45 Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak)

dan budidaya laut di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 167 46 Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya

di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 168 47 Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum

perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 169 48 Skenario perkembangan populasi --- 176 49 Skenario perkembangan angkatan kerja --- 176 50 Skenario perkembangan lapangan kerja --- 176


(31)

xxxiii Halaman 51 Skenario perkembangan tingkat pengangguran --- 176 52 Skenario perkembangan imigrasi --- 177 53 Skenario perkembangan emigrasi --- 177 54 Skenario perkembangan aktivitas ekonomi (PDRBharga konstan

tahun 2000) --- 179 55 Skenario perkembangan investasi --- 179 56 Skenario perkembangan sektor pertanian --- 179 57 Skenario perkembangan sektor perikanan --- 179 58 Skenario perkembangan sektor pariwisata --- 180 59 Skenario perkembangan sektor industri --- 180 60 Skenario perkembangan sektor angkutan laut --- 181 61 Skenario perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga

konstan tahun 2000) --- 181 62 Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan

pertanian --- 183 63 Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan tambak 183 64 Skenario perkembangan lahan permukiman --- 185 65 Skenario perkembangan lahan bisnis dan industri --- 185 66 Skenario perkembangan lahan untuk prasarana wilayah --- 185 67 Skenario perkembangan lahan permukiman dan perkotaan --- 185 68 Skenario perkembangan lahan budidaya --- 186 69 Skenario penggunaan lahan tidak sesuai kemampuan --- 186 70 Skenario kemampuan penyediaan lahan untuk kawasan

lindung darat --- 186 71 Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut --- 188 72 Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya

laut dan tangkap --- 188 73 Skenario perkembangan pemanfaatan umum perairan

non-perikanan --- 188 74 Skenario perkembangan total kawasan pemanfaatan

umum perairan --- 188 75 Skenario konversi perairan terumbu karang dan padang lamun --- 189 76 Skenario upaya penyediaan kawasan konservasi perairan --- 189 77 Skenario inkonsistensi tata ruang darat dan perairan --- 190


(32)

xxxiv

Halaman 78 Skenario rente ruang kawasan budidaya darat dan perairan --- 190 79 Peta kesesuaian lahan tanaman perkebunan (tahunan) --- 197 80 Peta kesesuaian lahan tanaman pangan (semusim) --- 198 81 Peta kesesuaian lahan tambak --- 199 82 Peta kesesuaian lahan permukiman --- 200 83 Peta kesesuaian lahan bisnis dan industri --- 201 84 Peta kesesuaian kawasan pemanfaatan umum perairan --- 202 85 Peta alokasi ruang kawasan lindung dan konservasi --- 208 86 Peta arahan alokasi ruang --- 211 87 Peta arahan struktur ruang dan orientasi transportasi --- 217


(33)

xxxv DAFTAR TABEL LAMPIRAN

Halaman 1 Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum

dilakukan dan yang diajukan --- 235 2 Sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung --- 239 3 Nilai awal dan parameter model --- 243 4 Kriteria kawasan lindung daratan --- 265 5 Kriteria kawasan konservasi perairan --- 265 6 Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman pangan --- 265 7 Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman perkebunan ---- 265 8 Kriteria kawasan untuk budidaya pesisir (tambak) --- 266 9 Kriteria kesesuaian kawasan bisnis dan industri --- 266 10 Kriteria kawasan permukiman dan prasarana wilayah --- 266 11 Kriteria wilayah perairan perikanan budidaya keramba jaring

apung (KJA) --- 267 12 Daftar investor dan investasi langsung swasta di wilayah

penelitian tahun 2000-2007 --- 269 13 Data analisis skalogram --- 271 14 Uji nilai tengah data historis dan model --- 275 15 Perbandingan skenario untuk perkembangan populasi --- 277 16 Perbandingan skenario untuk perkembangan angkatan kerja --- 278 17 Perbandingan skenario untuk perkembangan lapangan kerja --- 279 18 Perbandingan skenario untuk perkembangan pengangguran --- 280 19 Perbandingan skenario untuk perkembangan tingkat

pengangguran --- 281 20 Perbandingan skenario untuk perkembangan imigrasi --- 282 21 Perbandingan skenario untuk perkembangan emigrasi --- 283 22 Perbandingan skenario untuk perkembangan aktivitas ekonomi

(PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000) --- 284 23 Perbandingan skenario untuk perkembangan investasi --- 285 24 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk

sektor pertanian --- 286 25 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk

sektor perikanan --- 287 26 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk


(34)

xxxvi

Halaman 27 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor

angkutan laut dan penyeberangan --- 289 28 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor

pariwisata --- 290 29 Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor

sektor lain --- 291 30 Perbandingan skenario untuk perkembangan PDRB per kapita

(berdasarkan harga konstan tahun 2000) --- 292 31 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan pertanian --- 293 32 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya

pesisir (tambak) --- 294 33 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman -- 295 34 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan bisnis

dan industri --- 296 35 Perbandingan skenario untuk perkembangan prasarana --- 297 36 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman

dan perkotaan --- 298 37 Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya

total (terpakai) --- 299 38 Perbandingan skenario untuk perkembangan penggunaan lahan

tidak sesuai kemampuan --- 300 39 Perbandingan skenario untuk perkembangan penyediaan lahan

untuk kawasan lindung darat --- 301 40 Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan

budidaya laut --- 302 41 Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan

budidaya laut dan tangkap --- 303 42 Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan budidaya

non-perikanan --- 304 43 Perbandingan skenario untuk perkembangan total perairan

budidaya --- 305 44 Perbandingan skenario untuk perkembangan konversi perairan

terumbu karang dan padang lamun --- 306 45 Perbandingan skenario untuk perkembangan upaya penyediaan

kawasan lindung perairan --- 307 46 Perbandingan skenario untuk perkembangan inkonsistensi tata

ruang darat dan perairan --- 308 47 Perbandingan skenario untuk perkembangan rente ruang --- 309


(35)

xxxvii Halaman 48 Nilai kriteria CPI tahun 2014 --- 311 49 Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario

tahun 2014 --- 311 50 Nilai kriteria CPI tahun 2019 --- 312 51 Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario

tahun 2019 --- 312 52 Nilai kriteria CPI tahun 2024 --- 313 53 Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario

tahun 2024 --- 313 54 Nilai kriteria CPI tahun 2029 --- 314 55 Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario


(36)

(37)

xxxix DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN

Halaman 1 Lapisan pada Stella 7.r --- 316 2 Kontrol pada lapis antarmuka --- 317 3 Kontrol pada lapis map/model --- 318 4 Kontrol pada lapis persamaan --- 319 5 Prosedur pemilihan, peletakan stok, dan kotak dialognya --- 321 6 Prosedur pemilihan, peletakan aliran, dan kotak dialognya --- 322 7 Prosedur pemilihan, peletakan pengubah, dan kotak dialognya --- 323 8 Prosedur pemilihan dan peletakan penghubung --- 324


(38)

(39)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar-sektor maupun intra-sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai kebutuhan beragam (Shui-sen et al. 2005; Liangju et al. 2010).

Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (Rustiadi et al.

2009; Gangai dan Ramachandran 2010; Zacharias dan Tang 2010). Namun demikian, dari pengalaman di wilayah daratan selama ini, instrumen tata ruang belum dapat memainkan peran yang diharapkan dalam pengembangan wilayah.

Pengalaman di daratan menunjukkan bahwa kelemahan dari pelaksanaan penataan ruang untuk dapat berperan sebagai instrumen pengembangan wilayah, telah dimulai dari proses perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan hanya melalui pendekatan rasional (rational planning) tetapi tidak melibatkan pemangku kepentingan secara substansial, sehingga tahap implementasi dan pengendalian tata ruang menjadi sulit dilaksanakan (Gilliland et al. 2004; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Gangai and Ramachandran 2010). Di sisi lain dengan berlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan


(40)

2

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan spasial di Indonesia dianggap mengalami dikotomi. Terdapat anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007, sedangkan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007. Hal tersebut semakin memperumit proses perencanaan wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (Adrianto 2010). Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang biasa dilakukan pada wilayah daratan akan semakin sulit untuk diterapkan secara efektif di wilayah pesisir.

Wilayah pesisir yang memiliki paduan karakteristik ekologis daratan dan perairan tidak dapat diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang umumnya bias daratan. Perencanaan komprehensif yang memadukan karakteristik daratan dan perairan merupakan prasyarat bagi pengembangan wilayah pesisir. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga dapat memberikan arah yang lebih baik dalam pengembangan wilayah secara berkelanjutan (Chua 2006; Liangju et al. 2010). Terlebih lagi wilayah pesisir pada umumnya mengemban berbagai kepentingan yang beragam.

Kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang di wilayah pesisir harus diatasi melalui pendekatan perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Pendekatan perencanaan rasional, harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pendekatan partisipatif akan menghasilkan suatu perencanaan konsensus (consensus planning), yang pada dasarnya dihasilkan oleh para pemangku kepentingan terhadap wilayah yang bersangkutan (Grimble 1998; Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Rustiadi et al. 2009).

Wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi sangat sulit dipahami melalui pendekatan yang bersifat parsial (Wiek and Walter 2009). Upaya pemahaman fenomena kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Pendekatan sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan


(41)

3 karakter yang dikenal dengan SHE (sibernetik atau berorientasi tujuan, holistik, dan efektif), pendekatan sistem menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman fenomena dunia nyata (real world) secara lebih komprehensif (Eriyatno 1999; Marimin 2004). Sebagai suatu metode pendekatan sistem, pemodelan sistem dinamik dapat diterapkan dalam kajian sistem alam yang kompleks, yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. (Forrester 1998 dan 2003; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik dapat diterapkan dalam perencanaan wilayah pesisir yang kompleks, melalui intervensi sistem dalam bentuk kebijakan tata ruang.

Teluk Lampung merupakan salah satu teluk yang terletak di ujung selatan Provinsi Lampung, pada mulanya termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Lampung Selatan menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007, wilayah Teluk Lampung termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran.

Sebagai wilayah pesisir, wilayah Teluk Lampung meliputi daratan dan perairan (laut). Wilayah tersebut merupakan lokasi beragam aktivitas yang meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, kehutanan dan perkebunan, industri manufaktur, perikanan tangkap dan budidaya, transportasi laut, militer, dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Pemerintah Provinsi Lampung 2001; Pemerintah Provinsi Lampung 2009). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah tersibuk dan terpadat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, dan pelayanan lainnya bagi wilayah Provinsi Lampung, terletak menghadap ke Teluk Lampung. Beragam aktivitas tersebut menunjukkan bahwa Teluk Lampung memiliki arti dan peran strategis bagi pengembangan wilayah Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian terhadap Teluk Lampung harus diberikan lebih baik, agar kawasan tersebut dapat lebih berkembang dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.


(42)

4

Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memperbesar kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung, baik daratan maupun perairan. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir di atas 5%; dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,32% (BPS Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Peningkatan kebutuhan ruang, menimbulkan ekses berupa ketidakharmonisan, ketidaknyamanan dan konflik pemanfaatan ruang antar-berbagai kepentingan. Konflik tersebut ditunjukkan oleh gejala yang meliputi pencemaran pantai, reklamasi pantai tidak terencana, kerusakan terumbu karang, dan belum adanya zonasi pemanfaatan perairan bagi bagan, kapal nelayan, alur pelayaran, keperluan militer dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Damar 2003; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007).

Beberapa catatan yang menunjukkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Teluk Lampung meliputi konflik antar sektor dan konflik di dalam sektor yang sama. Alokasi penggunaan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung untuk pengembangan kota juga akan menggusur permukiman nelayan. Konflik antar nelayan di Teluk Lampung juga semakin serius, dan pada gilirannya menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan semakin tersisihnya nelayan kecil. Di sisi lain, pencemaran yang bersumber dari daratan dan perairan dan praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan semakin memperburuk kualitas air, merusak ekosistem, menumbuhkan harmful algal blooms (HAB), menguras sumberdaya ikan, dan menurunkan potensi pariwisata di Teluk Lampung (CRMP 1998a; Wiryawan et al. 1999).

Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, dapat dibangun suatu pendekatan baru bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat kompleks. Sebagai suatu wilayah pesisir yang kompleks, seperti disajikan di atas, Teluk Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian.


(43)

5 1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian adalah mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan di wilayah pesisir Teluk Lampung, tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut:

1) Memetakan secara komprehensif wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh, yang mengkaitkan kondisi ekologis daratan dan perairan, dan kondisi ekologis yang dikehendaki pada masa mendatang.

2) Memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan serta titik temu diantara kepentingan tersebut sebagai dasar dari suatu perencanaan tata ruang.

3) Merancang peruntukan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan.

Manfaat hasil penelitian adalah:

1) Sebagai informasi komprehensif bagi para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung.

2) Sebagai masukan bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan Teluk Lampung secara berkelanjutan. 1.3 Perumusan Masalah

Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan yang khas sebagai interaksi ekosistem terrestrial (daratan) dan perairan (laut). Pada dasarnya kondisi tersebut sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, sehingga membutuhkan perlindungan yang cukup untuk menjaga keberlanjutannya secara ekologis. Namun demikian, secara ekonomi wilayah ini memiliki daya tarik besar karena posisi geografis, kandungan sumberdaya, dan jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, wilayah pesisir umumnya menjadi sentra bagi beragam aktivitas ekonomi, dan sebagai konsekuensi logisnya juga terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, seperti halnya wilayah pesisir Teluk Lampung.


(44)

6

Interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) secara simultan memberikan tekanan pada wilayah pesisir Teluk Lampung. Wujud tekanan tersebut berupa peningkatan kebutuhan ruang yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai kepentingan. Dengan kata lain terdapat suatu kesenjangan (gap) antara rencana tata ruang dan kebutuhan ruang berbagai pemangku kepentingan, dapat saling bertentangan dan menimbulkan ekses negatif, dan akan berujung pada kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Ekses negatif tersebut harus dikelola dengan penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, dan salah satu pilarnya adalah pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik jika didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan.

Secara formal, wilayah pesisir Teluk Lampung telah dimasukkan sebagai salah satu wilayah perencanaan dalam berbagai dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yaitu: RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan RTRW Kabupaten Pesawaran. Namun pada kenyataannya, perencanaan tata ruang tersebut masih menunjukkan kelemahan, kurang diindahkan oleh para pemangku kepentingan, dan perkembangan wilayah pesisir Teluk Lampung terus mengindikasikan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan. Sumber kelemahan tersebut adalah bahwa perencanaan yang telah ada belum memperlakukan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan kompleksitasnya yang khas, dan belum disusun secara partisipatif. Perencanaan yang ada menjadi bias daratan, bias sektor, bias wilayah administratif, masih bersifat formal, belum bersifat substansial dan operasional.

Dengan mengacu pada tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu penelitian mengenai pendekatan sistem yang bercirikan SHE (sibernetik atau


(45)

7 berorientasi tujuan, holistik, dan efektif) yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan, perlu dilakukan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang ada.

Berdasarkan kondisi lokasi penelitian yang dipilih (Teluk Lampung), dan tujuan penelitian untuk mengembangkan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang komprehensif dan partisipatif, dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1) Sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung mewakili daratan dan perairan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda, namun saling terkait secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, perbedaan dan keterkaitan antara wilayah daratan dan perairan merupakan permasalahan yang harus dipahami secara menyeluruh.

2) Kondisi ekosistem wilayah daratan dan perairan merupakan suatu ambang yang akan menentukan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi eksisting sumberdaya hayati (ekologis) saat ini dan kondisi yang diinginkan merupakan permasalahan yang harus dikaji sebagai masukan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang yang berkelanjutan.

3) Perencanaan tata ruang harus dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan pemangku kepentingan agar tahap pelaksanaan dan pengendaliannya dapat dilakukan. Oleh karena itu, permasalahan pemetaan berbagai kebutuhan pemangku kepentingan harus dikaji secara komprehensif, dan dicari titik temu antar kepentingan tersebut untuk dijadikan dasar penyusunan suatu perencanaan tata ruang yang partisipatif.

4) Wilayah pesisir Teluk Lampung yang kompleks, serta kebutuhan pemangku kepentingan harus dapat dianalisis secara holistik dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Oleh karena itu, permasalahan metodologis merupakan kajian yang harus dilakukan, yaitu melalui pendekatan sistem untuk mendapatkan keluaran yang memuaskan bagi penyusunan rencana tata ruang.

5) Pada akhirnya permasalahan yang dikaji adalah bagaimana membangun skenario perencanaan tata ruang yang partisipatif dan komprehensif,


(46)

8

sehingga dapat berkelanjutan dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 1.4 Definisi Operasional

Sebagian besar istilah yang berhubungan dengan tata ruang yang digunakan dalam penelitian ini, didefinisikan dengan mengacu pada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi operasional dari berbagai istilah yang dipakai adalah sebagai berikut:

1) Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.

2) Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

3) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

4) Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

5) Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

6) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

7) Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.

8) Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi


(47)

9 kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

9) Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

10) Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

11) Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

13) Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. 14) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

15) Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam penataan ruang.

16) Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

17) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

18) Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliput i pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 19) Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.


(48)

10

20) Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

21) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

22) Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

23) Prasarana wilayah adalah kelengkapan dasar fisik wilayah yang memungkinkan wilayah tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 24) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

25) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

26) Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

27) Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.

28) Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

29) Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

30) Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air


(49)

11 laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

31) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

32) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

33) Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

34) Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

35) Makna dari simbol-simbol bagan alir yang digunakan dalam penjelasan sistem adalah sebagai berikut:

Penghubung

Penjumlahan bercabang (summing junction), menunjukkan percabangan jamak yang menuju proses tunggal

Data Dokumen

Dokumen jamak Ekstraks

Keputusan (decision) Entitas

Objek


(50)

12

1.5 Lingkup Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menyajikan suatu pendekatan perencanaan tata ruang yang memadukan wilayah daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif, yang dilakukan di wilayah pesisir Teluk Lampung, lingkup penelitian adalah meliputi aktivitas sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung secara holistik dari aspek-aspek biofisik (ekologi), ekonomi, dan sosial, serta menentukan kondisi yang dikehendaki pada masa mendatang sebagai ambang batas kemampuan kawasan dalam mendukung pemanfaatan ruang. Aktivitas ini dilakukan berdasarkan data dan informasi sekunder (terutama dokumen RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan analisis citra satelit) yang selanjutnya divalidasi dengan observasi dan penelitian lapangan.

2) Menganalisis sistem dinamik yang terintegrasi dengan analisis spasial dengan sistem informasi geografis (SIG) berdasarkan data dan informasi yang didapat dari berbagai kajian yang dilakukan, kemudian menyusun indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung.

3) Memaparkan kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung dan indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, dalam suatu pertemuan ahli menggunakan metode prospektif partisipatif. Aktivitas ini ditujukan untuk memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam rangka mencari titik temu yang dapat mendasari suatu perencanaan tata ruang yang akomodatif terhadap kepentingan tersebut.

Proses

Proses yang dilakukan sebelumnya (predefined) Simpanan (storage) internal


(51)

13 4) Menyusun skenario perencanaan tata ruang Teluk Lampung yang bersifat

partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan.

1.6 Kerangka Konsepsional

Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang (Dahuri et al. 2001; Tyldesley 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et al. 2009). Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan.

Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler (1970), yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya”. Oleh karena itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif.

Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses "pembelajaran" yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan bersifat iteratif (Rustiadi et al. 2009). Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen (pada tahun 1826), yang dikenal


(52)

14

sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru yang digagas Krugman (pada awal 1990-an). Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas (Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010).

Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu (Rustiadi et al.

2009): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan (2) adanya kemauan politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting.

Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi. Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan.

Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan strategis (kawasan tertentu maupun kawasan andalan). Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupaten/kota di bawahnya. Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.


(53)

15

Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008) yaitu: (1) populasi (penduduk), (2) aktivitas ekonomi, dan (3) penggunaan ruang (tata ruang).

Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi. Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.

Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009)

RTRW Nasional Fungsional

RTR Pulau / Kepulauan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Umum

RTRW Provinsi

RTRW Kabupaten/ Kota

RTR Kawasan Strategis Nasional

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Rencana Tata Ruang Rinci


(54)

16

Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh (holistik) dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut (Deal dan Schunk 2004; Wiek and Walter 2009; Faure et al. 2010).

Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan (Brown et al. 2001). Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir. Analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA), memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif (Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010).

Terdapatnya anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik (sebagai lex generalis) bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri (sebagai lex specialis) (Adrianto 2010), seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.


(55)

17 Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan, dan bersifat partisipatif secara substansial.

Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS), menunjukkan hasil yang memuaskan (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik, dan sangat membantu dalam perencanaan (White dan Engelen 2000; Deal dan Schunk 2004; Yufeng dan ShuSong 2005). Demikian juga dalam perencanaan wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia (Adrianto 2010)

A ra h k e l aut Pe si si

r Garis pantai

Non -Pe si si r Re ji m U U 2 6 / 20 07 Re ji m U U 2 7 / 20 07 A ra h k e da ra

t Batas ke darat

Lex specialis


(56)

18

menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004; Gangai dan Ramachandran 2010).

Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan.

Kebaruan (novelty) yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan komponen sistem (di darat maupu n di perairan) dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan secara partisipatif; serta mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan.

Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.


(57)

19

Persiapan:

 Administratif

 Kajian informasi

sekunder

 Teknis

Gambar 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota)

Pengumpulan data dan Informasi Primer dan Sekunder:

 Peta-peta

 Kebijakan sektoral

 Kondisi lingkungan

dan sumberdaya alam

 Sumberdaya buatan

dan prasarana/ sarana wilayah

 Kependudukan dan

sumberdaya manusia

 Perekonomian dan

sosial budaya

 Kelembagaan

 Data lainnya….

Analisis:

 Identifikasi daerah

fungsional perkotaan

 Sistem pusat-pusat

permukiman (perkotaan)

 Daya dukung dan

daya tampung wilayah serta optimalisasi pemaanfaatan ruang

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah: Penyusunan Konsep Pengembangan dan Pemilihan Konsep Penyusunan Rencana Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemberian informasi ke masyarakat Penyerapan informasi dari masyarakat Penyampaian opini dan informasi masyarakat Penyampaian sanggahan masyarakat Penetapan Peraturan Daerah


(58)

20

Kompleksitas Wilayah Pesisir: Perpaduan Ekosistem Daratan dan Perairan

Sistem dan Pemodelan Interaksi Penawaran dan

Perminataan Kebutuhan pemangku kepentingan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir

Masukan Proses Keluaran

Komponen Sistem:

 Penduduk

 Ekonomi

 Ketersediaan Ruang

 …. S al in g B eri nt era ks i Intervensi sistem dan Skenario

Sektor dan pemangku

kepentingan:  Perikanan  Pertanian  Angkutan  Pariwisata  Industri  Permukiman

 Prasarana wilayah

 ……… S al in g B eri nt era ks i Partisipasi substantif Keberlanjutan sistem Pemenuhan kebutuhan

Gambar 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan


(59)

21 Tabel 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan

No. Karakteristik Perencanaan

Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian

1. Aspek analisis  Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu;

 Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan;

 Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan;

2. Substansi rencana  Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengelolaan kawasan diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan..

 Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir.

3. Kerangka analisis  Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan

menggunakan analisis sistem.

4. Corak sektoral  Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana. 5. Sifat partisipatif  Dilakukan oleh parapemangku kepentingan

secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan.

 Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.


(60)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah dan Wilayah Pesisir

Pada dasarnya pengertian wilayah mengacu pada unit geografis, dan dapat didefinisikan dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tidak ada batasan spesifik dari luas suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat "meaningful" untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), dengan komponen-komponen yang mencakup biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Salah satu kerangka klasifikasi yang cukup mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah adalah (Rustiadi et al. 2009): (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region); seperti disajikan pada Gambar 5.

Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Secara sederhana, wilayah pesisir dipahami sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan laut. Pada dasarnya pemahaman mengenai wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (laut) telah diterima secara luas, namun demikian masih belum ada definisi wilayah pesisir yang bersifat baku dan dapat diterima semua pihak.

Dalam konteks pesisir, pengertian wilayah dapat dirunut pada dua istilah yang bermiripan yaitu zone dan area, dan dikenal adanya coastal zone dan coastal area. Perbedaan keduanya terletak pada implikasi yang mengikutinya, yaitu

coastal zone berimplikasi pada adanya proses pengelolaan yang dibatasi secara artifisial; sedangkan coastal area lebih bersifat alami. Perbedaan tersebut masih menjadi fokus perdebatan dalam konteks pengelolaan pesisir, terutama di negara-negara sedang berkembang, dimana masih terdapat banyak bagian pesisir yang


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)