Tabel 2 dan 3 menunjukkan kebutuhan mineral pada sapi perah dan pedaging. Defisiensi Mineral

9 Mineral Mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh mahluk hidup yang juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Hingga tahun 1950, tiga belas mineral diklasifikasikan sebagai mineral esensial yang terdiri dari mineral makro Ca, P, K, Na, Cl, S dan Mg dan mineral mikro atau trace element I, Fe, Mn, Zn, dan Co. Selanjutnya sejak 1970, mineral Mo, Se, Cr, dan Fluorin ditambahkan pada daftar bersamaan dengan Ar, B, Li, Ni, Si dan Va McDonald et al., 2002. Ruminansia membutuhkan mineral dalam jumlah yang cukup, karena mineral akan digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan untuk mendukung kebutuhan mikroba rumen. Arora 1989 menyebutkan mineral S, Zn, Se, Co dan Na dapat mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Selanjutnya McDowell 2003 menambahkan bahwa unsur mineral makro seperti Ca, P, Mg, Na dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti Fe, Cu, Z, Mn, dan Co diperlukan dalam sistem enzim McDowell,

2003. Tabel 2 dan 3 menunjukkan kebutuhan mineral pada sapi perah dan pedaging. Defisiensi Mineral

Mineral untuk ternak dapat ditemukan di dalam tanaman hijauan atau rumput pakan ternak. Ketersediaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis tanah, kondisi tanah, jenis tanaman, dan adanya mineral lain yang memiliki efek antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan oleh ternak. Defisiensi ini juga disebabkan oleh kondisi daerah berupa lahan kering marginal dengan curah hujan rendah Darmono, 2007. Bila pakan dan rumput yang dikonsumsi ternak memiliki kandungan mineral yang rendah maka ternak akan mengalami penyakit yang disebut defisiensi mineral. Defisiensi mineral ditunjukkan dengan gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 20-75, retensi plasenta, diare, penurunan produksi susu pada sapi perah, patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta penurunan bobot badan Darmono, 2007. Hasil penelitian Darmono dan Bahri 1989 menunjukkan bahwa sapi di wilayah Kalimantan dan Sumatera kekurangan mineral Cu dan Zn. Suryahadi 1990 menambahkan bahwa berbagai daerah di Indonesia yang meliputi dataran tinggi Garut, Lembang, Boyolali dan Malang dan dataran rendah Bogor, Klaten dan Pasuruan juga menunjukkan kadar mineral Ca, Na, Zn, P dan Mg yang rendah pada 10 sebagian besar wilayah, sedangkan mineral K, Fe, Mn dan Cu dalam kisaran yang cukup. Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat kandungan mineral yang terdapat di dalam konsentrat umumnya sangat beragam dan kurang memadai. Mikroba rumen membutuhkan mineral untuk pertumbuhannya Adawiah et al., 2007. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia akan menyebabkan aktivitas fermentasi mikrobial tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak. Hal ini merupakan salah satu penghambat perkembangan ternak di beberapa lokasi di Indonesia. Tabel 2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah Mineral Jantan Dara Awal laktasi Kering Laktasi Produksi 7- 13 liter Produksi 13- 20 liter Ca 0,30 0,41 0,77 0,39 0,43 0,51 P 0,19 0,30 0,48 0,24 0,28 0,33 Mg 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20 S 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20 Na 0,65 0,65 1 0,65 0,90 0,90 Fe ppm 50 50 50 50 50 50 Mn ppm 40 40 40 40 40 40 Zn ppm 40 40 40 40 40 40 Sumber : NRC 2001 Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging Mineral Growing dan Finishing Dara Awal laktasi Ca 0,13 0,27 0,16 P 0,05 0,19 0,09 Mg 0,10 0,12 0,20 S 0,15 0,15 0,15 Na 0,06 -0,08 0,06-0,08 0,10 Fe mgkg 50 50 50 Mn mgkg 20 40 40 Zn mgkg 30 30 30 Sumber : NRC 2000 11 Suplementasi Mineral Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Suplementasi mineral untuk ternak sudah banyak dilakukan baik pada skala lapang maupun skala laboratorium. Menurut Parrakasi 1999, suplemen mineral dianjurkan untuk memenuhi beberapa prinsip, antara lain mengandung 6-8 total P; rasio Ca : P sebesar 2 : 1; mensuplai 50 elemen mikro Co, Cu, I, Mn dan Zn; bentuk mineral yang mudah digunakan dan terhindar dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun; hendaknya cukup palatable; diperhatikan ketepatan menimbang, pencampuran yang homogen; besar partikel yang memudahkan pencampuran; kebutuhan cukup, dan daya guna setiap elemen yang digunakan dan tingkat konsumsi hewan baik. Suplementasi mineral organik dilaporkan lebih tersedia bagi ruminansia dibandingkan suplementasi mineral anorganik. McDowell 2003 menyebutkan bahwa suplementasi mineral anorganik menyebabkan rendahnya ketersediaan dan jumlah yang dapat diserap oleh tubuh ternak. Biomineral Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang berbahan dasar mikroba cairan rumen limbah RPH dan memiliki nilai biologis yang cukup baik ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Istilah ini terlahir agar nampak perbedaannya dengan mineral organik. Biomineral dari cairan rumen limbah RPH diperoleh melalui proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen kedalam protein mikrobialnya dengan menggunakan pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari Tjakradidjaja et al., 2007. Berdasarkan pengukuran uji stabilitas dengan metode Tilley dan Terry 1963, biomineral cukup fermentable dan degradable di dalam rumen. Tingkat degradasi dan kecernaan bahan kering BK dan bahan organik BO yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ pasca rumen Tjakradidjaja et al., 2007. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suganda 2009, penambahan biomineral sebesar 0,05 kgekorhari pada sapi jantan Friesian- Holstein lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, protein kasar PK, serat kasar SK, dan Total Digestible Nutrient TDN dan 12 meningkatkan daya produksi ternak dengan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi melalui peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009. Pemberian biomineral yang dienkapsulasi dengan xilosa pada taraf pemberian 1,5 dapat menstimulasi aktivitas mikroba rumen sehingga dapat memperbaiki fermentabilitas dan kecernaan Tjakradidjaja et al. 2008. Kapur Kapur adalah istilah untuk berbagai bahan kalsium, baik CaO atau kapur tohor, maupun kalsium hidroksida atau kapur mati, sedangkan kapur tulis CaCO 3 sering dinamakan kapur berasam arang Shadily, 1983. Batu kapur adalah kelompok batu-batuan terutama mengandung CaCO 3 terbentuk dari endapan kapur atau kerangka kapur dari berbagai hewan. Komponen utama dari batu kapur adalah kalsium karbonat CaCO 3 , magnesium karbonat MgCO 3 , silika dan alumina. Kapur yang dijual di pasaran biasanya telah mengalami proses kalsinasi dari batuan kapur Kusnoputranto dan Jaya, 1984. Kapur yang dihasilkan dari proses ini memiliki dua bentuk senyawaan kalsium, yaitu CaO dan CaOH 2 . Komposisi dari kedua bentuk senyawa ini bervariasi, CaO mudah larut dalam air dan asam. CaO yang bereaksi dengan air akan menghasilkan panas yang tinggi dan juga menghasilkan gugus hidroksi yang bersifat basa. Kapur secara umum homogen atau sama di semua karakteristik kimianya, dan didominasi oleh CaCO 3 , namun variasinya dapat sangat berbeda pada karakter fisiknya seperti kekerasan, kandungan fosil, dan porositas Smith dan Viles, 2006. Kapur dapat juga berperan sebagai desinfektan yang dapat mencegah mikroba patogen melalui dua cara, yaitu absorbsi secara fisik oleh partikel-partikel kapur sehingga membentuk gumpalan-gumpalan dan mempertinggi pH sehingga menghancurkan mikroba patogen. Kapur sebagai desinfektan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dan mencegah perkembangan bakteri-bakteri penyebab penyakit Tabbu dan Hariono, 1993. Kapur dapat mengurangi kadar NH 3 , disebabkan kapur memiliki ion Ca 2+ yang secara teoritis memberikan penurunan maksimum dalam kehilangan dua mol gas NH 3 , dengan kata lain 1 mol Ca 2+ akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH 3 Charlena et al., 2006. Selain itu Kusnoputranto dan Jaya 1984 melaporkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan akan menurunkan kadar air, mengingat sifat kapur yang dapat menyerap dan bereaksi dengan air. 13 Zeolit Zeolit merupakan mineral yang mempunyai struktur 3 dimensi tetrahedral silica dan alumina. Ikatan ion Al-Si-O dapat membentuk kristal dan struktur kristal ini memiliki banyak rongga yang dapat menyimpan air dan kation Astiana, 1989. Zeolit berasal dari batuan beku dan mengandung unsur Na, Ca, K, Mg, Si dan Ba. Kristal zeolit berisi molekul air bebas bila dalam keadaan normal ruang hampa, namun bila dipanaskan, zeolit dapat menyerap gas atau cairan Mumpton dan Fishman, 1977. Zeolit terdiri dari dua macam, yaitu zeolit sintetik dan zeolit alam. Zeolit alam pada umumnya memiliki kristalinitas yang tidak terlalu tinggi, ukuran porinya tidak seragam, aktivitas katalitiknya rendah, dan mengandung banyak pengotor. Zeolit alam telah ditambang secara intensif di Indonesia, diantaranya di daerah Bayah, Tasikmalaya, Sukabumi dan Lampung. Unsur penyusun dari zeolit Bayah, Tasikmalaya dan Lampung adalah Al, Si, P, K, Ca, Ti, Fe, dan S. Luas permukaan zeolit Lampung sebesar 10,047 754 m², adsorpsi zeolit Lampung segar sebesar volum 24,500 mlg pada tekanan parsial PPo sama dengan 1 mmHg, dan jari-jari pori 16,065 319 Å Aslina et al., 2007. Zeolit yang ditemukan di Lampung mempunyai kelimpahan sebesar 30 juta ton Arryanto et al., 2002. Zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir atau cadangan untuk menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi. Zeolit memiliki keistimewaan dalam menyerap ion yang besar seperti amonium NH 4 + . Hal ini menyebabkan zeolit dapat berperan sebagai satu reservoir amonia yang memperlambat perpindahan amonia dan kemudian melepaskannya berangsur-angsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. Pada penambahan NPN dalam ransum ternak ruminansia, sering terjadi efek keracunan karena tingginya level NH 4 + di dalam rumen. Zeolit juga memiliki kemampuan menarik sejumlah ion-ion positif lainnya, misalnya K + , Na + , Ca 2+ , dan Mg 2+ . Ion tersebut dapat diikat dan dilepas lagi, tergantung pada kondisi lingkungan disekitarnya. Sigit et al. 1993 menyatakan bahwa zeolit banyak mengandung kation yang bersifat alkalis sehingga zeolit mampu mempertahankan pH rumen. Kenyataan ini dapat menguntungkan sistem fermentasi di dalam rumen, terutama saat rasio penggunaan konsentrat yang lebih tinggi daripada hijauan. Hasil-hasil penelitian tentang penggunaan zeolit sebagai pakan tambahan menunjukkan efek yang positif pada ternak. Penambahan zeolit jenis aclinop 2 14 kg100 kg ransum dan penaburan zeolit 2,5 kgm 2 litter R2L1 memiliki kadar air manur 15,70 terendah dan rasio CN 14 tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Sigit et al. 1993 menambahkan bahwa penambahan zeolit 1,5 bahan kering konsentrat dapat meningkatkan kecernaan bahan kering ransum dan menanggulangi gangguan fermentasi dalam rumen pada penggunaan ransum tinggi konsentrat. Penggunaan zeolit 6 pada ransum ternak babi lepas sapih memperlihatkan efisiensi penggunaan makanan yang lebih baik dibandingkan penggunaan 3 dan 9 Siagian, 1990. Penelitian Salundik dan Siregar 1991 menunjukkan bahwa zeolit juga berperan dalam mengefisiensikan penggunaan nitrogen N dalam pakan, kotoran ternak babi yang diberi perlakuan penambahan zeolit 9 mampu menurunkan kandungan PK dan SK dikotorannya dibandingkan yang tidak diberi zeolit. Semakin tinggi penggunaan zeolit dalam ransum akan menurunkan kadar protein kotorannya. Kotoran mengandung lebih sedikit unsur N karena unsur ini dirubah menjadi protein tubuh ternak. 15 MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi untuk tahap pembuatan biomineral, sedangkan analisis dilakukan pada bulan April 2011 sampai Agustus 2011 di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Pusat Antar Universitas PAU, dan Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor. Materi Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen, dengan bahan tambahan berupa HCl 10, agar-agar, zeolit alam Lampung dalam bentuk serbuk CV. Minamata, kapur CaCO 3 dalam bentuk serbuk, tepung terigu, larutan McDougall, larutan HgCl 2 jenuh, larutan Na 2 CO 3 , asam borat H 3 BO 3 , vaselin, H 2 SO 4 0,005 N, H 2 SO 4 15, NaOH 0,5 N, HCl 0,5 N, larutan pepsin-HCl, gas CO 2 , phenolphthalein, aquades dan air panas. Kandungan mineral pada bahan-bahan utama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain termos, kain penyaring, shaker water bath , tabung fermentor, autoklaf, sentrifuse, tabung sentrifuse, cawan Conway, seperangkat alat destilasi, pendingin Leibig, labu Erlenmeyer, buret, pipet, oven 60  dan 105C, tanur listrik, eksikator, cawan porselen, timbangan digital, gelas ukur, spatula, pengaduk kaca, kertas saring Whatman no. 41, kain penyaring, bulp, pipet volumetrik, kantung plastik tahan panas, termos, gas CO 2 dan kompor. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konsentrasi NH 3 Amonia yang diukur dengan menggunakan metode mikrodifusi Conway 2. Konsentrasi VFA yang diukur dengan teknik destilasi uap 3. Degradabilitas bahan kering DBK dan bahan organik DBO 4. Kecernaan bahan kering KCBK dan bahan organik KCBO yang diukur dengan metode Tilley dan Terry 1963 yang telah dimodifikasi oleh Sutardi 1979. 16 Tabel 4. Kandungan Mineral Bahan Penelitian Mineral Bahan Agar-agar Kapur Tepung Terigu Zeolit Makro : Ca 0,13 65,40 0,11 4,10 P 0,81 0,48 0,76 0,67 K 0,03 0,09 0,49 Na 0,10 1,24 Cl 0,05 0,03 0,07 0,04 S 0,05 0,04 0,05 0,04 Mg 0,05 0,35 0,06 0,94 Mikro ppm : Fe 280 667 198 12122 Al 250 26155 Mn 11 152 5 266 Cu 1,3 24,8 Zn 69,8 37,1 Co td 0,7 td 3,4 Ni 13,3 7,0 2,2 Cr td 2,0 2,8 Mo 26 63 td 8 Se td td td td Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor 2011 td tidak terdeteksi Limit Deteksi untuk mineral: Mo: 0,0024 ppm; Ni: 0,0009 ppm dan Se: 0,3 ppm Prosedur Pembuatan Biomineral dan penerapan pelakuan Bahan utama yang digunakan yaitu cairan rumen yang diperoleh dari RPH Bubulak, Bogor. Adapun proses pembuatan biomineral cairan rumen antara lain : isi rumen segar diperas untuk menghasilkan cairan rumen, selanjutnya ditambahkan dengan larutan HCl 10 hingga pH rumen menjadi 5.5, kemudian cairan rumen disaring kembali. Setelah disaring, larutan tersebut diendapkan selama 1-2 hari dan diambil endapannya. Cairan yang berada diatas endapan dibuang sedikit demi sedikit dengan maksud agar endapan tersebut tidak kembali larut dan tercampur dalam 17 cairan. Endapan yang diperoleh kemudian dicampur dengan bahan carrier. Bahan carrier yang digunakan berupa agar-agar yang telah dilarutkan dalam air mendidih dan dicampur dengan terigu dengan komposisi tertentu. Pada tahap ini juga dilakukan penambahan bahan adsorben berupa zeolit dan kapur CaCO 3 sesuai perlakuan 3 dan 6 bobot endapan. Bahan campuran tersebut selanjutnya dikeringkan dengan dijemur di bawah matahari selama 3-5 hari sampai kering, kemudian dikeringkan menggunakan oven 60 C selama 1-2 hari. Bahan yang telah kering tersebut digiling hingga berbentuk serbuk. Proses pembuatannya dapat diperlihatkan pada Gambar 2. Pengukuran Fermentabilitas in vitro Sampel biomineral perlakuan dimasukkan sebanyak 1 gram ke dalam tabung fermentor bersama dengan 12 ml larutan McDougall Tabel 5 dan 8 ml cairan rumen. Tabung fermentor dialiri dengan gas CO 2 dan ditutup dengan penutup karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut diinkubasikan dalam shaker water bath selama 0, 1, 2 dan 3 jam pada suhu 39 C. Selanjutnya ditambahkan HgCl 2 jenuh sebanyak dua tetes yang bertujuan untuk membunuh mikroba rumen agar proses fermentasi berhenti. Tabung fermentor kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Cairan yang terbentuk atau disebut supernatan ditampung, untuk kemudian dianalisis konsentrasi NH 3 dan VFA total. Sedangkan residu atau endapannya digunakan dalam analisis degradabilitas. Tabel 5. Komposisi Larutan McDougall Bahan Konsentrasi g 6 liter NaHCO 3 58,8 NaHPO 4 .7H 2 O 42 KCl 3,42 NaCl 2,82 MgSO 4. 7H 2 O 0,72 CaCl 2 0,24 Sumber : General Laboratory Procedure 1966 18 Isi rumen diperas Cairan rumen Ditambah dengan larutan HCl 10 hingga pH 5,5 Disaring Endapan cairan rumen Diambil padatan yang telah mengendap Dicampur bahan carrier serta penambahan perlakuan Zeolit dan Kapur Dikeringkan sinar matahari 3-5 hari Atau dengan oven 60 C selama 2-3 hari Digiling Biomineral Gambar 2. Proses pembuatan Biomineral Tjakradidjaja et al., 2007 Analisis NH 3 dan VFA Analisis ini meliputi analisis konsentrasi NH 3 dan VFA. Analisis NH 3 dilakukan dengan menggunakan teknik mikrodifusi Conway General Laboratory Procedure, 1966. Cawan Conway diolesi vaselin bagian bibir dan tutupnya. Supernatan sebanyak 1 ml ditempatkan pada salah satu ruang sekat cawan dan sisi yang lain diisi dengan Na 2 CO 3 jenuh, sedangkan cawan kecil diisi dengan 1 ml asam borat H 3 BO 3 dan cawan lalu ditutup rapat. Selanjutnya cawan digerakkan hingga semua isinya tercampur rata dan didiamkan 24 jam. Asam borat kemudian dititrasi dengan H 2 SO 4 0,005N hingga warnanya merah muda. 19 Konsentrasi NH 3 mM = Sedangkan analisis VFA dilaksanakan dengan teknik ‘steam destilation’ General Laboratory Procedure, 1966. Supernatan sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan ditambahkan 1 ml larutan H 2 SO 4 15. Dinding tabung dibilas dengan aquades dan ditutup dengan sumbat karet. Tabung destilasi dimasukkan ke labu yang berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan atau dasar air tersebut. Ujung pipa lainnya dihubungkan ke alat pendingin Leibig, destilat yang berasal dari proses pendinginan ditampung dalam labu Erlenmeyer yang diletakkan di bawah pendingin Leibig. Setelah diperoleh jumlah destilat sebanyak 250 ml, lalu ditambahkan 1 tetes indikator phenolphthalein, selanjutnya dititrasi sampai berubah warna menjadi tidak berwarna atau bening. VFA Total = Keterangan: a = Volume titran blanko b = volume titran sampel Pengukuran Degradabilitas Residu hasil fermentasi in vitro metode Tilley dan Terry 1963 yang dimodifikasi oleh Sutardi 1979 disaring dengan menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dikeringkan di dalam oven 105 C selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600 C selama enam jam. Cawan dan residu kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama ± 15 menit untuk menstabilkan suhunya. Tahap terakhir cawan dan residu dapat ditimbang bobotnya. DBK = x 100 DBO = x 100 ml H 2 SO 4 x N H 2 SO 4 x 100 Berat sampel x BK Sampel a-b x N HCl x 10005 ml Berat sampel x BK Sampel BK Sampel g – BK residu g – BK blanko g BK Sampel g BO Sampel g – BO residu g – BO blanko g BO Sampel g 20 Keterangan: DBK = Degradabilitas Bahan Kering DBO = Degradabilitas Bahan Organik Pengukuran Kecernaan Sampel biomineral setiap perlakuan sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung fermentor bersama dengan 12 ml larutan McDougall dan 8 ml cairan rumen. Tabung fermentor dialiri dengan gas CO 2 dan ditutup dengan penutup karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut diinkubasi dalam ‘shaker water bath’ selama ± 24 jam pada suhu 39 C. Proses fermentasi dihentikan dengan menambah larutan HgCl 2 jenuh sebanyak dua tetes. Tabung fermentor kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan sebanyak 20 ml larutan pepsin-HCl ditambahkan ke dalam tabung yang berisi residu. Proses inkubasi dilanjutkan selama 24 jam secara aerob pada suhu 39 o C. Residu selanjutnya disaring dengan kertas saring menggunakan pompa vakum dan ditempatkan pada cawan porselen, kemudian dikeringkan di dalam oven 105 C selama 24 jam. Setelah sampel didinginkan di dalam eksikator hingga mencapai suhu ruang yang dilanjutkan dengan penimbangan, sampel kering lalu diabukan di dalam tanur pada suhu 600 C selama enam jam. Cawan dan residu kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama ± 15 menit untuk menstabilkan suhunya. Tahap terakhir cawan dan residu dapat ditimbang bobotnya. KCBK = x 100 KCBO = x 100 Keterangan: KCBK = Kecernaan Bahan Kering KCBO = Kecernaan Bahan Organik BK Sampel g – BK residu g – BK blanko g BK Sampel g BO Sampel g – BO residu g – BO blanko g BO Sampel g 21 Rancangan Percobaan Perlakuan Penelitian ini menggunakan 5 macam perlakuan dengan masing-masing 4 ulangan. Perlakuan tersebut antara lain: A1 = Biomineral kontrol 0 tanpa penambahan A2 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 3 A3 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 6 A4 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 3 A5 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 6 Model 1. Rancangan untuk percobaan fermentabilitas Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengukuran hasil fermentasi penelitian ini adalah rancangan acak kelompok RAK berpola faktorial 5 x 4 dengan faktor A adalah perlakuan biomineral dan faktor B merupakan waktu inkubasi. Perlakuan biomineral adalah A1 = Biomineral tanpa perlakuan penambahan bahan adsorben Kontrol, A2 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 3, A3 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 6, A4 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 3, dan A5 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 6. Faktor B merupakan waktu inkubasi, yaitu 0, 1, 2 dan 3 jam. Empat kelompok cairan rumen sapi digunakan sebagai ulangan. Model matematis dari rancangan adalah sebagai berikut : Y ijk =  +  i +  j +  k +  j  k +  ijk Keterangan : Y ijk = Nilai pengamatan kelompok ke-i, faktor A ke-j dan faktor B ke-k  = Rataan umum pengamatan  i = Pengaruh kelompok cairan rumen ke-i  j = Pengaruh faktor A perlakuan ke-j  k = Pengaruh faktor B waktu inkubasi ke-k  j  k = Pengaruh interaksi faktor A ke-j dan fator B ke-k  ijk = Galat percobaan untuk kelompok ke-i, faktor A ke-j dan faktor B ke-k 22

2. Rancangan untuk percobaan kecernaan