Penambahan Kapur dan Zeolit Sebagai Bahan Adsorben terhadap Fermentabilitas dan Kecernaan in vitro Suplemen Biomineral Cairan Rumen

(1)

i RINGKASAN

SAPRILIAN STYA HAPSARI. D24070237. 2012. Penambahan Kapur dan Zeolit Sebagai Bahan Adsorben terhadap Fermentabilitas dan Kecernaan in vitro Suplemen Biomineral Cairan Rumen. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Pembimbing Utama : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Suryahadi, DEA.

Rendahnya produktivitas ternak di Indonesia salah satunya disebabkan oleh rendahnya mineral yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi ternak. Melalui pemanfaatan limbah cairan rumen yang tersedia di rumah potong hewan, maka diciptakan suplemen biomineral. Biomineral telah diteliti memiliki kandungan mineral mikro dan nutrien lain yang tinggi dari mikroba rumen maupun pakan yang belum sempat terdegradasi didalam rumen. Biomineral dikenal cukup degradable di dalam rumen, sehingga perlu adanya penambahan bahan adsorben untuk menekan hasil degradasi dan fermentasi yang dikhawatirkan dapat membahayakan ternak jika berada di atas batas aman. Kapur (CaCO3) dan zeolit memiliki kemampuan sebagai adsorben dan dapat memperkaya kandungan mineral biomineral. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keefektifitasan penambahan kapur dan zeolit terhadap fermentabilitas dan kecernaan suplemen biomineral cairan rumen secara in vitro.

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembuatan biomineral perlakuan dan evaluasi in vitro fermentabilitas dan kecernaan biomineral perlakuan.

Perlakuan yang diterapkan terdiri atas 5 perlakuan, yaitu: 1) A1 : Biomineral kontrol (tanpa penambahan), 2) A2 : A1 + Kapur 3%, 3) A3 : A1 + Kapur 6%, 4) A4 : A1 + Zeolit 3%, 5) A5 : A1 + Zeolit 6%. Peubah yang diukur meliputi konsentrasi amonia (NH3), konsentrasi VFA total, persentase degradabilitas bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO), dan terakhir persentase kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO). Rancangan yang digunakan dalam uji fermentabilitas dan degradabilitas adalah RAK (rancangan acak kelompok) pola faktorial 5 x 4 dengan 4 ulangan. Faktor A merupakan perlakuan biomineral, dan faktor B merupakan waktu inkubasi (0, 1, 2, dan 3 jam). Peubah kecernaan diuji menggunakan RAK dengan 4 ulangan. Kelompok didasarkan pada pengambilan cairan rumen yang berbeda-beda.

Hasil percobaan menunjukkan keduanya cukup efektif dalam meningkatkan fermentabilitas dan kecernaan biomineral dibandingkan biomineral kontrol. Keduanya mampu menekan pelepasan amonia, meningkatkan produksi VFA dan mempengaruhi degradabilitas serta kecernaan bahan organik biomineral. Meskipun keduanya belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap degradabilitas dan kecernaan bahan keringnya dibandingkan dengan biomineral kontrol. Simpulan dari semua perlakuan, sangat disarankan dengan penambahan zeolit 3% dalam biomineral dengan waktu inkubasi terbaik pada 3 jam.


(2)

ii ABSTRACT

Limestone and Zeolite Additions as Adsorbent on in vitro Fermentability and Digestibility of Rumen FluidBiomineralSuplement

Hapsari, S. S., A. S. Tjakradidjaja and Suryahadi

Supplementation of mineral was needed for the ruminant in Indonesia. Biomineral is a new supplement that is made up of rumen fluid as by product of slaughter house. Biomineral is easily degradable. To prevent excessive degradation, adsorbent materials such as limestone (CaCO3) and zeolite are added into biomineral. The aim of this experiment is to study effectivity of adsorbent addition on the basis of in vitro

fermentability and digestibility of biomineral. The fermentability experiment used factorial randomized block design 5x4 with three replicates. Factor A was five types of biomineral treatment : 1) A1 : Control biomineral, 2) A2 : A1 + Limestone 3%, 3) A3 : A1 + Limestone 6%, 4) A4 : A1 + Zeolite 3%, 5) A5 : A1 + Zeolite 6%, these treatments were also applied in digestibility experiment, whereas factor B was incubation times : B1= 0 hour, B2= 1 hours, B3= 2 hours, and B3=3 hours. The digestibility experiment used randomized block design with 5 ration treatments and three replicates. Variables measured were ammonia and volatile fatty acid (VFA) concentrations, dry matter (DM) and organic matter (OM) degradabilities and digestibilities.

The result showed both addition of adsorbent more effective to increase fermentability and digestibilities of biomineral than control biomineral. Both adsorbent material could make amonia release slower, increased VFA production also affecting degradabilities and digestibilitiesorganic matter biomineral. Although both of them did not significanly affecting degradabilities and digestibilities dry matter of biomineral if compare with control biomineral. Conclusion from all treatment is very suggested to adding zeolit 3% in biomineral, and the best incubation time from this research is three hour.


(3)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan merupakan salah satu sektor utama yang berusaha menyediakan kebutuhan konsumsi masyarakat akan protein hewani. Namun peternakan di Indonesia dipandang belum cukup mampu memenuhi permintaan konsumen dalam negeri. Peternakan di Indonesia umumnya didominasi oleh peternakan rakyat dan dilakukan secara sederhana. Ketersediaan pakan yang fluktuatif baik kualitas ataupun kuantitasnya menyebabkan produktivitas ternak belum dapat dicapai secara optimal. Hal ini menyangkut iklim tropis Indonesia yang umumnya menyebabkan defisiensi nutrisi (Parrakasi, 1999) dan ketidakseimbangan zat makanan yang diberikan pada ternak. Defisiensi nutrisi merupakan kejadian yang lebih sering terjadi di wilayah Indonesia. Mineral Zn dan Cu dilaporkan oleh Piliang dan Suryahadi (1996) sebagai mineral yang banyak defisien di dalam berbagai pakan ternak di Indonesia.

Suplementasi merupakan salah satu pemecahannya, karena selain bermanfaat untuk mengatasi masalah defisiensi tersebut, juga mampu meningkatkan kemampuan cerna hewan dengan adanya perbaikan metabolisme dan kemampuan mikroba rumen dalam saluran pencernaan ternak (Suryahadi et al., 2003). Suplementasi merupakan penambahan satu atau beberapa zat nutrisi yang kurang dalam ransum dalam upaya menyediakan ransum yang efisien sehingga memiliki nutrien seimbang dan dapat digunakan oleh ternak secara efisien. Suplemen yang diberikan pada ternak berupa suplemen yang baik, kadar maupun kualitasnya. Suplemen semacam ini dapat diproduksi dengan memanfaatkan limbah Rumah Potong Hewan (RPH) berupa cairan rumen ternak ruminansia.

Cairan rumen di berbagai RPH hanya berupa limbah tak termanfaatkan yang dibuang, atau dimanfaatkan sebatas pupuk kompos. Pada kenyataannya cairan ini sebenarnya masih mengandung berbagai nutrien, seperti vitamin, mineral, dan protein yang banyak dihasilkan dari mikroba rumen. Umumnya mineral tersebut tersedia sebagai mineral yang terikat (mineral binding protein) di dalam tubuh

mikroba. Hasil inkoorporasi protein mikroba ini dipanen dengan cara pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan

biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007). Proteksi biomineral menggunakan formalin


(4)

2 proteksi (Tjakradidjaja et al., 2007). Produk biomineral memberikan efek positif

terhadap ternak dan dapat digunakan sebagai pengganti suplemen komersial atau mix (Rakhmanto, 2009; Suganda, 2009).

Tingginya kandungan nutrien dalam biomineral dapat berpotensi baik pada ternak jika biomineral dapat bypass. Hal ini karena kemampuan degradasi yang

tinggi di dalam rumen akan menyebabkan nutrien yang ada lebih banyak digunakan oleh mikroba rumen. Penelitian Mulyawati (2009) dan Pipit (2009) selanjutnya dilakukan dengan memproteksi protein biomineral dengan berbagai sumber xylosa.

Biomineral dikenal sebagai suplemen yang cukup fermentable dan degradable

di dalam saluran pencernaan ruminansia. Kemampuan degradasi yang tinggi di dalam rumen ini umumnya lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan sintesis protein mikrobanya. Hasil dari proses degradasi tersebut antara lain adalah NH3. Akumulasi NH3 yang berlebihan dikhawatirkan dapat berbahaya bagi ternak. Keadaan ini seharusnya dapat menjadi potensi sumber N dalam menunjang kehidupan mikroba rumen jika dapat dimanfaatkan dengan efisien. Melalui penambahan bahan adsorben berupa kapur dan zeolit, maka diharapkan keduanya dapat mengatur pelambatan pelepasan (slow release) amonia dari hasil proses

degradasi biomineral. Amonia akan berada lebih lama di dalam rumen, dan menunjang sintesis mikroba rumen dalam waktu yang lebih lama.

Kapur telah digunakan dalam beberapa penelitian, mampu menurunkan produksi gas NH3 melalui proses pengikatan dengan 1 mol Ca2+ (Charlena et al., 2006). Kapur juga merupakan sumber mineral Ca yang umumnya digunakan dalam pakan ternak sebagai suplemen. Adapun zeolit merupakan suatu kelompok mineral alumina silikat terhidrasi dari logam alkali dan alkali tanah (terutama Ca dan Na) yang dihasilkan dari proses hidroternal pada batuan beku basa. Zeolit memiliki kemampuan untuk mengikat ion NH4+ dan mampu mempertahankan pH. Selain itu zeolit juga telah dibuktikan dalam beberapa penelitian mampu memberikan efek positif terhadap ternak, diantaranya pada ternak sapi adalah dapat menekan penyusutan bobot tubuh sapi pada awal laktasi, meningkatkan pasokan protein mikroba rumen (Sigit, 1995), sedangkan pada ternak unggas zeolit dapat digunakan dalam pakan maupun ditaburkan pada litter kandang yang terbukti mampu menurunkan kadar gas amonia dan hidrogen sulfida pada ekskreta ayam, dan


(5)

3 mempengaruhi pertambahan bobot badan harian dan konversi ransum (Kamaludin, 2011).

Selain itu penambahan kapur dan zeolit diharapkan juga dapat mengurangi aroma tidak sedap yang ditimbulkan pada saat pembuatan suplemen biomineral. Cairan rumen dikenal sebagai limbah yag beraroma tidak sedap. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari proses pencernaan zat makanan oleh mikroba perombak protein, sehingga dihasilkan gas-gas sampingan. Kapur dan zeolit juga diharapkan dapat mengurangi kelembapan bahan sehingga mencegah tumbuhnya jamur dan dapat meningkatkan daya simpan biomineral.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari penambahan bahan adsorben berupa kapur dan zeolit dalam suplemen biomineral terhadap fermentabilitas, dan kecernaan biomineral rumen secara in vitro. Selain itu


(6)

4 TINJAUAN PUSTAKA

Cairan Rumen

Faktor pembatas utama pada lingkungan rumen adalah kondisi tanpa oksigen (anaerob), kapasitas penyangga yang tinggi, tekanan osmotik, dan kompetisi antara mikroba saprofit untuk bertahan hidup (Kamra, 2005). Rumen sapi juga mengandung banyak mikroba rumen yang berpotensi sebagai protein asal mikroba rumen bagi ternak. Ekosistem populasi mikroba rumen yang terus berubah beradaptasi sesuai dengan perubahan pakan yang diberikan. Isi rumen pada dasarnya merupakan bahan pakan yang terdapat dalam rumen sebelum menjadi feses dan dikeluarkan setelah hewan dipotong, dan memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi. Soepranianondo (2002) menyatakan bahwa kadar protein isi rumen sapi adalah 9,13% dengan kadar serat kasar 34,68%. Dehority (2004) menunjukkan nilai biologis, kecernaan dan utilisasi protein netto dari bakteri dan protozoa rumen yang cukup tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Biologis, Kecernaan dan Utililisasi Protein Netto (NPU) Bakteri dan

Protozoa Rumen

Nilai Biologis Kecernaan Sejati (%)

Utilisasi Protein Netto (NPU)

Bakteri rumen 66-87 74-79 63

Protozoa rumen 82 87-91 71

Sumber : Dehority (2004)

Keberagaman spesies, ukuran dan aktivitas mikroba di rumen tidaklah tetap, namun bervariasi tergantung kepada perubahan kondisi pakan. Hobson (1989) menyebutkan bahwa hal ini akan berpengaruh pada ekosistem mikroba rumen yang terdiri dari bakteri (10101011 sel/ml, menunjukkan lebih dari 50 genus), protozoa siliata (104106/ml, dari 25 genus), jamur anaerob (103105 zoospor/ml, dari 5 genus) dan bakteriofag/ virus (108109/ml). Bakteri ditemukan dalam cairan rumen mencapai 1091010 per ml, dengan populasi protozoa dari 105 sampai 106 per ml ml dan kepadatan populasi jamur rumen (jamur zoospora) terdapat pada kisaran 103–105 per ml (Dijkstra et al., 2005). Cairan rumen banyak mengandug enzim -amilase,

galaktosidase, hemisellulase, sellulase dan xilanase (Church, 1979). Penelitian Lee et al. (2002) menyebutkan bahwa cairan rumen sapi hidup kaya akan enzim selulase,


(7)

5 Pencernaan Fermentatif di Rumen

Ternak ruminansia mampu memanfaatkan hijauan dalam jumlah banyak dengan baik karena ternak tersebut memiliki saluran pencernaan yang kompleks dan mampu menerima hijauan (Williamson dan Payne, 1993). Hal ini karena ternak ruminansia mampu memfermentasi pakan dengan kandungan selulosa tinggi dengan bantuan dari mikroba rumen. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi Volatile Fatty Acid (VFA), amonia, gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Mikroba rumen memiliki beberapa keuntungan diantaranya mampu mensintesis sel protein yang tersedia bagi induk semang, menghidrolisis dan melakukan biohidrogenasi lemak pakan dan mensintesis lemak mikrobial, serta mensintesis vitamin B dan K kompleks (Dehority, 2004).

Amonia

Protein pakan tersedia yang masuk ke dalam rumen akan difermentasi atau akan lolos (bypass) dari fermentasi rumen dan dicerna di usus halus. Protein yang

didegradasi akan diubah menjadi asam amino dan peptida. Asam amino kebanyakan akan dibawa oleh mikroba rumen dan tidak secara langsung digunakan untuk sintesis protein tubuhnya, namun dideaminasi dan digunakan sebagai sumber energi, menghasilkan peningkatan pada amonia, VFA rantai bercabang, CO2 dan metan (Cheeke dan Ellen, 2010).

Amonia rumen berfungsi sebagai pusat utama metabolisme nitrogen di rumen. Amonia merupakan nitrogen hasil akhir dari fermentasi protein. Amonia juga merupakan titik tolak awal sintesis asam amino bakteri dan protein mikroba. Amonia diserap lebih cepat dalam kondisi tanpa ion (non-ionized) sebagai NH3. Pada kondisi asam, amonia ada terutama sebagai ion ammonium (NH4+) yang diserap lebih lambat (Cheeke dan Ellen, 2010).

NH3 + H+ NH4+

Khampa dan Wanapat (2006) menyatakan bahwa ammonia (N-NH3), karbondioksida (CO2), dan metana (CH4) di dalam rumen digunakan untuk sintesis sel mikroba. Efisiensi penggunaan NH3 bergantung kepada kondisi lingkngan rumen dan ketersediaan energi (Hungate, 1966). Apabila pakan yang diberikan defisien protein atau protein tahan degradasi oleh mikroba rumen, maka konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan hasilnya pertumbuhan mikroba menjadi lambat. Apabila


(8)

6 proses degradasi protein lebih cepat dibandingkan sintesis protein, maka amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi maka amonia akan diserap darah, dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagiannya akan masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen, tetapi sebagian besar diekskresikan melalui urin. Adapun konsentrasi optimum amonia di cairan rumen antara 85 hingga lebih dari 300 mg/l (McDonald et al., 2002).

Mumpton dan Fishman (1977) menyatakan bahwa kehadiran zeolit dapat mengikat sebagian ion NH4+ yang tinggi pada penambahan NPN, menahannya sementara waktu dan melepaskannya kembali melalui proses pertukaran dengan kation-kation asal saliva yang memasuki rumen selama periode fermentasi setelah makan. Kapur pun dapat mengurangi kadar NH3 disebabkan kapur memiliki ion Ca2+ yang secara teoritis memberikan penurunan maksimum dalam kehilangan dua mol gas NH3, dengan kata lain 1 mol Ca2+ akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH3 (Charlena et al., 2006).

Volatile Fatty Acid (VFA)

Fraksi pakan yang mengandung serat kasar akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak atsiri atau volatile fatty acid (VFA). VFA selanjutnya

difermentasi menjadi asam-asam organik, diantaranya asetat, propionat dan butirat. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi utama dari ternak ruminansia (Dijkstra et al.,2005) karena sekitar 70-80% VFA akan diserap sebagai energi ternak.

Jalur metabolisme karbohidrat dalam rumen dapat diperhatikan pada Gambar 1. Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA dalam rumen bervariasi antara

0,2-1,5 g per 100 mL atau 10-70 mmol/L, sedangkan Sutardi (1980) menyebutkan untuk pertumbuhan mikroba rumen dibutuhkan konsentrasi VFA sebesar 80-160 mM. Proporsi relatif asam-asam yang dihasilkan juga bervariasi. Konsentrasi VFA biasanya berkaitan dengan pola fermentasi dalam rumen. Adapun menurut Dijkstra et al. (2005), faktor yang mempengaruhi pola fermentasi yaitu pakan basal, tipe


(9)

7 Gambar 1. Jalur Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen

Sumber: Cheeke dan Ellen, 2010

Degradabilitas

Degradabilitas memperlihatkan tingkat degradasi yang dilakukan oleh mikroba di dalam rumen. Degradasi adalah jumlah bagian bahan pakan yang larut dan benar-benar dipecah oleh mikroba rumen. Lubis (1992) menyatakan bahwa pengukuran ini ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi.

Pyruvate ATP COO-

C == O CH3 Galactose Glucose Sucrose Pectin Uronic Acid

Fructans Starch

Maltose Fructose Pentose Pathway Cellulose Cellobiose Hemicellulose Pentoses CH3 CH2 COOH Oxaloacetic Acid Formate CO2 H2 CH4 Malate Fumarate Succinate Acrylate Lactate Methane Propionate CH3 COOH CH3 CH2 CH2 COOH Aceto-acetyl CoA Acetyl CoA Acetate Butyrate


(10)

8 Evaluasi degradabilitas dan kecernaan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas nutrien dari suatu pakan (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009).

Beberapa sifat fisik dan kimia pakan akan sangat mempengaruhi potensi degradasi pakan di dalam rumen. Sutardi et al. (1994) menyebutkan sifat fisik pakan

meliputi aspek keambaan (bulkiness), daya menyerap air (water regain capacity) dan

aspek kelarutan (solubility). Sifat kimia yang juga mempengaruhi degradasi antara

lain komposisi nutrien, kapasitas tukar kation (cation exchange capacity) dan

kapasitas penyangga (buffering capacity) (Erwanto, 1995). Beberapa faktor yang

mempengaruhi degradabilitas rumen terhadap protein adalah kelarutan, dan sifat struktur fisiknya (Cheeke dan Ellen, 2010). Laju degradasi protein dan BO di rumen sangat bervariasi, hal ini bergantung kepada perbedaan kandungan nutrien, tipe protein, interaksi nutrien khususnya karbohidrat dalam pakan atau dalam rumen dan kandungan serat kasarnya (Hermon, 2009). Menurut Sutardi (1979), sumber protein ideal bagi ruminansia adalah yang memenuhi persyaratan antara lain; mampu menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal, sebagian besar tahan terhadap degradasi mikroba rumen dan bernilai hayati atau bernilai utilisasi protein netto (NPU) yang tinggi.

Kecernaan

Kecernaan suatu zat makanan didefinisikan sebagai selisih antara zat-zat makanan yang dikandung dalam suatu makanan yang dimakan dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi, 1994). Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan teknik fermentasi secara in vitro untuk mengukur kecernaan pakan. Selly (1994)

menyatakan bahwa kecernaan in vitro dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu

pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer.

Kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Kecernaan BK dipengaruhi oleh kandungan protein pakan,

karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1977).


(11)

9 Mineral

Mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh mahluk hidup yang juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Hingga tahun 1950, tiga belas mineral diklasifikasikan sebagai mineral esensial yang terdiri dari mineral makro (Ca, P, K, Na, Cl, S dan Mg) dan mineral mikro atau trace element (I, Fe, Mn,

Zn, dan Co). Selanjutnya sejak 1970, mineral Mo, Se, Cr, dan Fluorin ditambahkan pada daftar bersamaan dengan Ar, B, Li, Ni, Si dan Va (McDonald et al., 2002).

Ruminansia membutuhkan mineral dalam jumlah yang cukup, karena mineral akan digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan untuk mendukung kebutuhan mikroba rumen. Arora (1989) menyebutkan mineral S, Zn, Se, Co dan Na dapat mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Selanjutnya McDowell (2003) menambahkan bahwa unsur mineral makro seperti Ca, P, Mg, Na dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti Fe, Cu, Z, Mn, dan Co diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 2003). Tabel 2 dan 3 menunjukkan kebutuhan mineral pada sapi perah dan pedaging.

Defisiensi Mineral

Mineral untuk ternak dapat ditemukan di dalam tanaman hijauan atau rumput pakan ternak. Ketersediaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis tanah, kondisi tanah, jenis tanaman, dan adanya mineral lain yang memiliki efek antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan oleh ternak. Defisiensi ini juga disebabkan oleh kondisi daerah berupa lahan kering marginal dengan curah hujan rendah (Darmono, 2007). Bila pakan dan rumput yang dikonsumsi ternak memiliki kandungan mineral yang rendah maka ternak akan mengalami penyakit yang disebut defisiensi mineral. Defisiensi mineral ditunjukkan dengan gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 20-75%, retensi plasenta, diare, penurunan produksi susu pada sapi perah, patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta penurunan bobot badan (Darmono, 2007).

Hasil penelitian Darmono dan Bahri (1989) menunjukkan bahwa sapi di wilayah Kalimantan dan Sumatera kekurangan mineral Cu dan Zn. Suryahadi (1990) menambahkan bahwa berbagai daerah di Indonesia yang meliputi dataran tinggi (Garut, Lembang, Boyolali dan Malang) dan dataran rendah (Bogor, Klaten dan Pasuruan) juga menunjukkan kadar mineral Ca, Na, Zn, P dan Mg yang rendah pada


(12)

10 sebagian besar wilayah, sedangkan mineral K, Fe, Mn dan Cu dalam kisaran yang cukup. Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat kandungan mineral yang terdapat di dalam konsentrat umumnya sangat beragam dan kurang memadai. Mikroba rumen membutuhkan mineral untuk pertumbuhannya (Adawiah et al.,

2007). Defisiensi mineral pada ternak ruminansia akan menyebabkan aktivitas fermentasi mikrobial tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak. Hal ini merupakan salah satu penghambat perkembangan ternak di beberapa lokasi di Indonesia.

Tabel 2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah

Mineral Jantan Dara Awal

laktasi Kering

Laktasi Produksi

7-13 liter

Produksi 13-20 liter

Ca (%) 0,30 0,41 0,77 0,39 0,43 0,51

P (%) 0,19 0,30 0,48 0,24 0,28 0,33

Mg (%) 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20

S (%) 0,16 0,16 0,25 0,16 0,20 0,20

Na (%) 0,65 0,65 1 0,65 0,90 0,90

Fe (ppm) 50 50 50 50 50 50

Mn (ppm) 40 40 40 40 40 40

Zn (ppm) 40 40 40 40 40 40

Sumber : NRC (2001)

Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging

Mineral Growing dan

Finishing Dara Awal laktasi

Ca ( %) 0,13 0,27 0,16

P (%) 0,05 0,19 0,09

Mg (%) 0,10 0,12 0,20

S (%) 0,15 0,15 0,15

Na (%) 0,06 -0,08 0,06-0,08 0,10

Fe (mg/kg) 50 50 50

Mn (mg/kg) 20 40 40

Zn (mg/kg) 30 30 30


(13)

11 Suplementasi Mineral

Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Suplementasi mineral untuk ternak sudah banyak dilakukan baik pada skala lapang maupun skala laboratorium. Menurut Parrakasi (1999), suplemen mineral dianjurkan untuk memenuhi beberapa prinsip, antara lain mengandung 6-8% total P; rasio Ca : P sebesar 2 : 1; mensuplai 50% elemen mikro Co, Cu, I, Mn dan Zn; bentuk mineral yang mudah digunakan dan terhindar dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun; hendaknya cukup palatable; diperhatikan ketepatan

menimbang, pencampuran yang homogen; besar partikel yang memudahkan pencampuran; kebutuhan cukup, dan daya guna setiap elemen yang digunakan dan tingkat konsumsi hewan baik. Suplementasi mineral organik dilaporkan lebih tersedia bagi ruminansia dibandingkan suplementasi mineral anorganik. McDowell (2003) menyebutkan bahwa suplementasi mineral anorganik menyebabkan rendahnya ketersediaan dan jumlah yang dapat diserap oleh tubuh ternak.

Biomineral

Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang berbahan dasar mikroba cairan rumen limbah RPH dan memiliki nilai biologis yang cukup baik ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Istilah ini terlahir agar nampak perbedaannya dengan mineral organik. Biomineral dari cairan rumen limbah RPH diperoleh melalui proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen kedalam protein mikrobialnya dengan menggunakan pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari

(Tjakradidjaja et al., 2007).

Berdasarkan pengukuran uji stabilitas dengan metode Tilley dan Terry (1963), biomineral cukup fermentable dan degradable di dalam rumen. Tingkat degradasi dan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ pasca rumen (Tjakradidjaja et al., 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suganda

(2009), penambahan biomineral sebesar 0,05 kg/ekor/hari pada sapi jantan Friesian-Holstein lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, protein kasar (PK), serat kasar (SK), dan Total Digestible Nutrient (TDN) dan


(14)

12 meningkatkan daya produksi ternak dengan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi melalui peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Pemberian biomineral yang dienkapsulasi dengan xilosa pada taraf pemberian 1,5% dapat menstimulasi aktivitas mikroba rumen sehingga dapat memperbaiki fermentabilitas dan kecernaan Tjakradidjaja et al. (2008).

Kapur

Kapur adalah istilah untuk berbagai bahan kalsium, baik CaO atau kapur tohor, maupun kalsium hidroksida atau kapur mati, sedangkan kapur tulis (CaCO3) sering dinamakan kapur berasam arang (Shadily, 1983). Batu kapur adalah kelompok batu-batuan terutama mengandung CaCO3 terbentuk dari endapan kapur atau kerangka kapur dari berbagai hewan. Komponen utama dari batu kapur adalah kalsium karbonat (CaCO3), magnesium karbonat (MgCO3), silika dan alumina. Kapur yang dijual di pasaran biasanya telah mengalami proses kalsinasi dari batuan kapur (Kusnoputranto dan Jaya, 1984). Kapur yang dihasilkan dari proses ini memiliki dua bentuk senyawaan kalsium, yaitu CaO dan Ca(OH)2. Komposisi dari kedua bentuk senyawa ini bervariasi, CaO mudah larut dalam air dan asam. CaO yang bereaksi dengan air akan menghasilkan panas yang tinggi dan juga menghasilkan gugus hidroksi yang bersifat basa. Kapur secara umum homogen atau sama di semua karakteristik kimianya, dan didominasi oleh CaCO3, namun variasinya dapat sangat berbeda pada karakter fisiknya seperti kekerasan, kandungan fosil, dan porositas (Smith dan Viles, 2006).

Kapur dapat juga berperan sebagai desinfektan yang dapat mencegah mikroba patogen melalui dua cara, yaitu absorbsi secara fisik oleh partikel-partikel kapur sehingga membentuk gumpalan-gumpalan dan mempertinggi pH sehingga menghancurkan mikroba patogen. Kapur sebagai desinfektan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dan mencegah perkembangan bakteri-bakteri penyebab penyakit (Tabbu dan Hariono, 1993). Kapur dapat mengurangi kadar NH3, disebabkan kapur memiliki ion Ca2+ yang secara teoritis memberikan penurunan maksimum dalam kehilangan dua mol gas NH3, dengan kata lain 1 mol Ca2+ akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH3 (Charlena et al., 2006). Selain itu Kusnoputranto dan Jaya (1984) melaporkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan akan menurunkan kadar air, mengingat sifat kapur yang dapat menyerap dan bereaksi dengan air.


(15)

13 Zeolit

Zeolit merupakan mineral yang mempunyai struktur 3 dimensi tetrahedral silica dan alumina. Ikatan ion Al-Si-O dapat membentuk kristal dan struktur kristal ini memiliki banyak rongga yang dapat menyimpan air dan kation (Astiana, 1989). Zeolit berasal dari batuan beku dan mengandung unsur Na, Ca, K, Mg, Si dan Ba. Kristal zeolit berisi molekul air bebas bila dalam keadaan normal ruang hampa, namun bila dipanaskan, zeolit dapat menyerap gas atau cairan (Mumpton dan Fishman, 1977). Zeolit terdiri dari dua macam, yaitu zeolit sintetik dan zeolit alam. Zeolit alam pada umumnya memiliki kristalinitas yang tidak terlalu tinggi, ukuran porinya tidak seragam, aktivitas katalitiknya rendah, dan mengandung banyak pengotor. Zeolit alam telah ditambang secara intensif di Indonesia, diantaranya di daerah Bayah, Tasikmalaya, Sukabumi dan Lampung. Unsur penyusun dari zeolit Bayah, Tasikmalaya dan Lampung adalah Al, Si, P, K, Ca, Ti, Fe, dan S. Luas permukaan zeolit Lampung sebesar 10,047 754 m², adsorpsi zeolit Lampung segar sebesar volum 24,500 ml/g pada tekanan parsial (P/Po) sama dengan 1 mmHg, dan jari-jari pori 16,065 319 Å (Aslina et al., 2007). Zeolit yang ditemukan di Lampung

mempunyai kelimpahan sebesar 30 juta ton (Arryanto et al., 2002).

Zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir atau cadangan untuk menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi. Zeolit memiliki keistimewaan dalam menyerap ion yang besar seperti amonium (NH4+). Hal ini menyebabkan zeolit dapat berperan sebagai satu reservoir amonia yang memperlambat perpindahan amonia dan kemudian melepaskannya berangsur-angsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. Pada penambahan NPN dalam ransum ternak ruminansia, sering terjadi efek keracunan karena tingginya level NH4+ di dalam rumen. Zeolit juga memiliki kemampuan menarik sejumlah ion-ion positif lainnya, misalnya K+, Na+, Ca2+, dan Mg2+. Ion tersebut dapat diikat dan dilepas lagi, tergantung pada kondisi lingkungan disekitarnya. Sigit et al. (1993) menyatakan bahwa zeolit banyak mengandung kation

yang bersifat alkalis sehingga zeolit mampu mempertahankan pH rumen. Kenyataan ini dapat menguntungkan sistem fermentasi di dalam rumen, terutama saat rasio penggunaan konsentrat yang lebih tinggi daripada hijauan.

Hasil-hasil penelitian tentang penggunaan zeolit sebagai pakan tambahan menunjukkan efek yang positif pada ternak. Penambahan zeolit jenis aclinop 2


(16)

14 kg/100 kg ransum dan penaburan zeolit 2,5 kg/m2 litter (R2L1) memiliki kadar air

manur (15,70%) terendah dan rasio C/N (14) tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Sigit et al. (1993) menambahkan bahwa penambahan zeolit 1,5% bahan kering

konsentrat dapat meningkatkan kecernaan bahan kering ransum dan menanggulangi gangguan fermentasi dalam rumen pada penggunaan ransum tinggi konsentrat. Penggunaan zeolit 6% pada ransum ternak babi lepas sapih memperlihatkan efisiensi penggunaan makanan yang lebih baik dibandingkan penggunaan 3 dan 9% (Siagian, 1990). Penelitian Salundik dan Siregar (1991) menunjukkan bahwa zeolit juga berperan dalam mengefisiensikan penggunaan nitrogen (N) dalam pakan, kotoran ternak babi yang diberi perlakuan penambahan zeolit 9% mampu menurunkan kandungan PK dan SK dikotorannya dibandingkan yang tidak diberi zeolit. Semakin tinggi penggunaan zeolit dalam ransum akan menurunkan kadar protein kotorannya. Kotoran mengandung lebih sedikit unsur N karena unsur ini dirubah menjadi protein tubuh ternak.


(17)

15 MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi untuk tahap pembuatan biomineral, sedangkan analisis dilakukan pada bulan April 2011 sampai Agustus 2011 di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), dan Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Materi Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen, dengan bahan tambahan berupa HCl 10%, agar-agar, zeolit alam Lampung dalam bentuk serbuk (CV. Minamata), kapur (CaCO3) dalam bentuk serbuk, tepung terigu, larutan McDougall, larutan HgCl2 jenuh, larutan Na2CO3, asam borat (H3BO3), vaselin, H2SO4 0,005 N, H2SO4 15%, NaOH 0,5 N, HCl 0,5 N, larutan pepsin-HCl, gas CO2, phenolphthalein, aquades dan air panas. Kandungan mineral pada bahan-bahan utama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain termos, kain penyaring,

shaker water bath, tabung fermentor, autoklaf, sentrifuse, tabung sentrifuse, cawan

Conway, seperangkat alat destilasi, pendingin Leibig, labu Erlenmeyer, buret, pipet, oven 60 dan 105C, tanur listrik, eksikator, cawan porselen, timbangan digital, gelas ukur, spatula, pengaduk kaca, kertas saring Whatman no. 41, kain penyaring, bulp, pipet volumetrik, kantung plastik tahan panas, termos, gas CO2 dan kompor.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi NH3 (Amonia) yang diukur dengan menggunakan metode mikrodifusi Conway

2. Konsentrasi VFA yang diukur dengan teknik destilasi uap 3. Degradabilitas bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO)

4. Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) yang diukur dengan metode Tilley dan Terry (1963) yang telah dimodifikasi oleh Sutardi (1979).


(18)

16 Tabel 4. Kandungan Mineral Bahan Penelitian

Mineral Bahan

Agar-agar Kapur Tepung Terigu Zeolit

Makro (%) :

Ca 0,13 65,40 0,11 4,10

P 0,81 0,48 0,76 0,67

K 0,03 0 0,09 0,49

Na 0,10 0 0 1,24

Cl 0,05 0,03 0,07 0,04

S 0,05 0,04 0,05 0,04

Mg 0,05 0,35 0,06 0,94

Mikro (ppm) :

Fe 280 667 198 12122

Al 0 250 0 26155

Mn 11 152 5 266

Cu 0 1,3 0 24,8

Zn 0 0 69,8 37,1

Co td 0,7 td 3,4

Ni 13,3 7,0 0 2,2

Cr td 2,0 0 2,8

Mo 26 63 td 8

Se td td td td

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor (2011) td (tidak terdeteksi)

Limit Deteksi untuk mineral: Mo: 0,0024 ppm; Ni: 0,0009 ppm dan Se: 0,3 ppm

Prosedur Pembuatan Biomineral dan penerapan pelakuan

Bahan utama yang digunakan yaitu cairan rumen yang diperoleh dari RPH Bubulak, Bogor. Adapun proses pembuatan biomineral cairan rumen antara lain : isi rumen segar diperas untuk menghasilkan cairan rumen, selanjutnya ditambahkan dengan larutan HCl 10% hingga pH rumen menjadi 5.5, kemudian cairan rumen disaring kembali. Setelah disaring, larutan tersebut diendapkan selama 1-2 hari dan diambil endapannya. Cairan yang berada diatas endapan dibuang sedikit demi sedikit dengan maksud agar endapan tersebut tidak kembali larut dan tercampur dalam


(19)

17 cairan. Endapan yang diperoleh kemudian dicampur dengan bahan carrier. Bahan carrier yang digunakan berupa agar-agar yang telah dilarutkan dalam air mendidih

dan dicampur dengan terigu dengan komposisi tertentu. Pada tahap ini juga dilakukan penambahan bahan adsorben berupa zeolit dan kapur (CaCO3) sesuai perlakuan (3% dan 6% bobot endapan). Bahan campuran tersebut selanjutnya dikeringkan dengan dijemur di bawah matahari selama 3-5 hari (sampai kering), kemudian dikeringkan menggunakan oven 60C selama 1-2 hari. Bahan yang telah kering tersebut digiling hingga berbentuk serbuk. Proses pembuatannya dapat diperlihatkan pada Gambar 2.

Pengukuran Fermentabilitas in vitro

Sampel biomineral perlakuan dimasukkan sebanyak 1 gram ke dalam tabung fermentor bersama dengan 12 ml larutan McDougall (Tabel 5) dan 8 ml cairan rumen. Tabung fermentor dialiri dengan gas CO2 dan ditutup dengan penutup karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut diinkubasikan dalam shaker water bath selama 0, 1, 2 dan 3 jam pada suhu 39C. Selanjutnya ditambahkan HgCl2 jenuh sebanyak dua tetes yang bertujuan untuk membunuh mikroba rumen agar proses fermentasi berhenti. Tabung fermentor kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Cairan yang terbentuk atau disebut supernatan ditampung, untuk kemudian dianalisis konsentrasi NH3 dan VFA total. Sedangkan residu atau endapannya digunakan dalam analisis degradabilitas.

Tabel 5. Komposisi Larutan McDougall Bahan Konsentrasi (g/ 6 liter)

NaHCO3 58,8

NaHPO4.7H2O 42

KCl 3,42

NaCl 2,82

MgSO4.7H2O 0,72

CaCl2 0,24


(20)

18 Isi rumen diperas

Cairan rumen

Ditambah dengan larutan HCl 10% hingga pH 5,5

Disaring

Endapan cairan rumen

Diambil padatan yang telah mengendap

Dicampur bahan carrier serta penambahan perlakuan (Zeolit dan Kapur)

Dikeringkan sinar matahari 3-5 hari Atau dengan oven 60C selama 2-3 hari

Digiling

Biomineral

Gambar 2. Proses pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007)

Analisis NH3 dan VFA

Analisis ini meliputi analisis konsentrasi NH3 dan VFA. Analisis NH3 dilakukan dengan menggunakan teknik mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure, 1966). Cawan Conway diolesi vaselin bagian bibir dan tutupnya. Supernatan sebanyak 1 ml ditempatkan pada salah satu ruang sekat cawan dan sisi yang lain diisi dengan Na2CO3 jenuh, sedangkan cawan kecil diisi dengan 1 ml asam borat (H3BO3) dan cawan lalu ditutup rapat. Selanjutnya cawan digerakkan hingga semua isinya tercampur rata dan didiamkan 24 jam. Asam borat kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,005N hingga warnanya merah muda.


(21)

19 Konsentrasi NH3 (mM) =

Sedangkan analisis VFA dilaksanakan dengan teknik ‘steam destilation’ (General Laboratory Procedure, 1966). Supernatan sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 15%. Dinding tabung dibilas dengan aquades dan ditutup dengan sumbat karet. Tabung destilasi dimasukkan ke labu yang berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan atau dasar air tersebut. Ujung pipa lainnya dihubungkan ke alat pendingin Leibig, destilat yang berasal dari proses pendinginan ditampung dalam labu Erlenmeyer yang diletakkan di bawah pendingin Leibig. Setelah diperoleh jumlah destilat sebanyak 250 ml, lalu ditambahkan 1 tetes indikator phenolphthalein, selanjutnya dititrasi sampai berubah warna menjadi tidak berwarna atau bening.

VFA Total =

Keterangan:

a = Volume titran blanko b = volume titran sampel Pengukuran Degradabilitas

Residu hasil fermentasi in vitro (metode Tilley dan Terry (1963) yang

dimodifikasi oleh Sutardi (1979)) disaring dengan menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dikeringkan di dalam oven 105C selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600C selama enam jam. Cawan dan residu kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama ± 15 menit untuk menstabilkan suhunya. Tahap terakhir cawan dan residu dapat ditimbang bobotnya.

DBK (%) = x 100%

DBO (%) = x 100%

ml H2SO4 x N H2SO4 x 100 Berat sampel x BK Sampel

(a-b) x N HCl x 1000/5 ml Berat sampel x BK Sampel

BK Sampel (g) (BK residu (g) BK blanko (g)) BK Sampel (g)

BO Sampel (g) (BO residu (g) BO blanko (g)) BO Sampel (g)


(22)

20 Keterangan:

DBK = Degradabilitas Bahan Kering DBO = Degradabilitas Bahan Organik Pengukuran Kecernaan

Sampel biomineral setiap perlakuan sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung fermentor bersama dengan 12 ml larutan McDougall dan 8 ml cairan rumen. Tabung fermentor dialiri dengan gas CO2 dan ditutup dengan penutup karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut diinkubasi dalam ‘shaker water bath’ selama ± 24 jam pada suhu 39C. Proses fermentasi dihentikan dengan menambah larutan HgCl2 jenuh sebanyak dua tetes. Tabung fermentor kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan sebanyak 20 ml larutan pepsin-HCl ditambahkan ke dalam tabung yang berisi residu. Proses inkubasi dilanjutkan selama 24 jam secara aerob pada suhu 39 oC. Residu selanjutnya disaring dengan kertas saring menggunakan pompa vakum dan ditempatkan pada cawan porselen, kemudian dikeringkan di dalam oven 105C selama 24 jam. Setelah sampel didinginkan di dalam eksikator hingga mencapai suhu ruang yang dilanjutkan dengan penimbangan, sampel kering lalu diabukan di dalam tanur pada suhu 600C selama enam jam. Cawan dan residu kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama ± 15 menit untuk menstabilkan suhunya. Tahap terakhir cawan dan residu dapat ditimbang bobotnya.

KCBK = x 100%

KCBO = x 100%

Keterangan:

KCBK = Kecernaan Bahan Kering KCBO = Kecernaan Bahan Organik

BK Sampel (g) – (BK residu (g) – BK blanko (g)) BK Sampel (g)

BO Sampel (g) – (BO residu (g) – BO blanko (g)) BO Sampel (g)


(23)

21 Rancangan Percobaan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 5 macam perlakuan dengan masing-masing 4 ulangan. Perlakuan tersebut antara lain:

A1 = Biomineral kontrol 0% (tanpa penambahan)

A2 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 3% A3 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 6% A4 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 3% A5 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 6% Model

1. Rancangan untuk percobaan fermentabilitas

Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengukuran hasil fermentasi penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) berpola faktorial 5 x 4 dengan faktor A adalah perlakuan biomineral dan faktor B merupakan waktu inkubasi. Perlakuan biomineral adalah A1 = Biomineral tanpa perlakuan penambahan bahan adsorben (Kontrol), A2 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 3%, A3 = Biomineral dengan perlakuan penambahan kapur 6%, A4 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 3%, dan A5 = Biomineral dengan perlakuan penambahan zeolit 6%. Faktor B merupakan waktu inkubasi, yaitu 0, 1, 2 dan 3 jam. Empat kelompok cairan rumen sapi digunakan sebagai ulangan. Model matematis dari rancangan adalah sebagai berikut :

Yijk =  + i + j + k + jk + ijk Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan kelompok ke-i, faktor A ke-j dan faktor B ke-k  = Rataan umum pengamatan

i = Pengaruh kelompok (cairan rumen) ke-i j = Pengaruh faktor A (perlakuan) ke-j k = Pengaruh faktor B (waktu inkubasi) ke-k

jk = Pengaruh interaksi faktor A ke-j dan fator B ke-k

ijk = Galat percobaan untuk kelompok ke-i, faktor A ke-j dan faktor B ke-k


(24)

22 2. Rancangan untuk percobaan kecernaan

Rancangan yang digunakan untuk pengukuran kecernaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Model matematis dari rancangan ini adalah sebagai berikut:

Yij =  + i + j + ij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j  = Rataan umum

i = Efek perlakuan ke-i ßj =Efek kelompok ke-j

ij = Eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisa ragam (Analyses of Variance, ANOVA) dan perbedaan di antara perlakuan diuji dengan Uji Ortogonal Kontras (Steel dan Torrie, 1993).


(25)

23 HASIL DAN PEMBAHASAN

Biomineral

Biomineral cairan rumen dengan penambahan bahan adsorben memiliki kandungan nutrien seperti terlihat pada Tabel 6. Biomineral kontrol atau A1 mengandung bahan kering 86,50%, kadar abu 21,47% BK, protein kasar 15,36% BK, lemak kasar 4,92% BK, serat kasar 4,32% BK, dan BETN 53,92% BK. Perlakuan penambahan bahan adsorben berupa kapur dan zeolit pada biomineral meningkatkan BK dan kadar abunya, sedangkan kadar BO dan nutrien lainnya menurun. Adapun penampakan hasil biomineral kontrol dan dengan perlakuan penambahan bahan adsorben dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Biomineral

Zat makanan Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5

BK (%) 86,50 89,30 90,20 89,47 90,67

Abu (% BK) 21,47 31,04 31,35 37,13 43,95

PK (% BK) 15,36 10,56 9,11 10,93 8,68

LK (% BK) 4,92 3,48 2,24 3,76 1,96

SK (% BK) 4,32 3,16 1,87 3,27 1,21

BETN (% BK) 53,92 53,92 55,42 44,91 44,19

Keterangan: Hasil Analisa Proksimat Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB (2011)

A1 : Biomineral (0%) PK : Protein Kasar

A2 : Biomineral (A1) + Kapur 3% LK : Lemak Kasar A3 : Biomineral (A1) + Kapur 6% SK : Serat Kasar

A4 : Biomineral (A1) + Zeolit 3% BETN : Bahan Ekstra Tanpa Nitrogen A5 : Biomineral (A1) + Zeolit 6% BETN = 100% - (PK+LK+SK+Abu)

Bahan kering biomineral menunjukkan peningkatan dengan adanya penambahan bahan adsorben. Bahan kering terbesar diperoleh dari perlakuan A5 (penambahan zeolit 6%) yaitu 90,67% BK, diikuti dengan perlakuan A3 (penambahan kapur 6%) sebesar 90,20% BK. Kapur dan zeolit mampu menyerap air pada biomineral dibandingkan biomineral kontrol; hal ini juga ditunjang oleh waktu pengeringan biomineral yang ditambah kapur dan zeolit lebih cepat dibandingkan biomineral kontrol. Mumpton dan Fishman (1977) menjelaskan bahwa struktur zeolit memungkinkan penyerapan gas atau cairan bila dipanaskan. Begitu juga dengan penelitian Kusnoputranto dan Jaya (1984) yang menyebutkan bahwa semakin


(26)

24 tinggi dosis kapur yang diberikan akan menurunkan kadar air. Meskipun angka ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Tjakradidjaja et al. (2007), pada

biomineral tanpa penambahan bahan carrier yaitu 90,13%. Proses pengeringan ini

dipengaruhi banyak faktor, diantaranya intensitas matahari, kelembaban, ruang penyimpanan, dan keadaan oven, sehingga dihasilkan bahan kering yang bervariasi. Dalam proses pengeringan kedua bahan adsorben sangat membantu dalam mereduksi bau cairan rumen dan mengurangi tumbuhnya jamur pada biomineral. Tabbu dan Hariono (1993) menyebutkan bahwa kapur dapat berperan sebagai agen desinfektan untuk mengurangi bau dan mencegah perkembangan bakteri penyebab penyakit.

Kadar abu biomineral meningkat dengan adanya penambahan bahan adsorben dibandingkan biomineral tanpa perlakuan tambahan. Peningkatan ini seiring dengan taraf pemberian kedua bahan adsorben. Kadar abu pada penambahan zeolit 6% (A5) lebih tinggi 51,15% daripada perlakuan A1(kontrol) dan 28,67% dibandingkan penambahan kapur 6% (A3). Peningkatan kadar abu ini mengindikasikan adanya peningkatan mineral di dalam biomineral, karena zeolit dan kapur memiliki susunan partikel-partikel yang terdiri atas mineral. Hal ini yang menurunkan kandungan BO dan nutrisinya, yaitu lemak kasar (LK), PK, SK dan BETN (Lubis, 1992). Kadar abu biomineral tanpa penambahan bahan carrier pada penelitian Tjakradidajaja et al.

(2007) sebesar 38,85% BK. Tingginya kadar abu tersebut menunjukkan bahwa di dalam cairan rumen sendiripun kaya akan kandungan mineral, sehingga cairan rumen tidak diragukan lagi merupakan salah satu sumber suplemen mineral.

Gambar 3. Biomineral Perlakuan

Keterangan: a) Biomineral Kontrol (Tanpa Penambahan); b) Biomineral dengan Penambahan kapur; c) Biomineral dengan Penambahan Zeolit.

Biomineral sebagai suplemen mineral memiliki kandungan BO yang tinggi. Hal ini karena dalam proses pembuatannya ditambahkan bahan carrier berupa

agar-agar dan tepung terigu yang merupakan karbohidrat mudah tercerna. Tepung terigu


(27)

25 dengan bahan baku gandum merupakan RAC (Readily Available Carbohydrate) bagi

ternak, yang mampu menyediakan prekursor energi untuk mikroba rumen (Doepel et al., 2009). Kadar energi netto dan protein, ADF dan NDF tepung terigu menurut

NRC (2001) adalah berturut-turut sebesar 1,99 Mcal/kg dan 14,2, 4,4, dan 13,4%. Selain itu, dalam pembuatan biomineral ditambahkan larutan HCl hingga pH 5,5 yang dapat meningkatkan kadar bahan kering dan kadar abu endapan. Permana (2010) menyebutkan bahwa pH 5,5 merupakan pH yang mendekati pH isoelektrik (pI) protein mikroba rumen atau pH optimal dalam produksi biomineral cairan rumen. Beberapa nutrien (Tabel 6) menunjukkan hasil yang berbeda dengan biomineral pada penelitian Mulyawati (2009), hal ini dikarenakan cairan rumen yang digunakan berasal dari sapi yang berbeda yang tentunya mendapatkan pakan yang berbeda pula.

Biomineral mengandung berbagai mineral makro dan mikro (Tabel 7). Biomineral kontrol menunjukkan kandungan mineral makro Ca 0,78%, P 1,10%, K 0%, Na 1,37%, Cl 1,81%, S 0,17%, dan Mg 0,16%. Kandungan mineral mikro diantaranya adalah Fe sebesar 654 ppm, Al 178 ppm, Mn 345 ppm, Cu 4 ppm, Zn 80 ppm, Co 1,5 ppm, dan Cr 1 ppm, sedangkan mineral Ni, Mo dan Se tidak terdeteksi. Biomineral tanpa penambahan bahan carrier pada penelitian Tjakaradidjaja et al.

(2007) menghasilkan kandungan mineral makro diantaranya Ca 0,40%, P 2,21%, K 0,49%, Na 6,49%, S 0,31%, dan Mg 0,04%, serta mineral mikro Fe 8982 ppm, Mn 637 ppm, Cu 50 ppm, Zn 632 ppm, Co 1,6 ppm, dan Cr 6,2 ppm. Biomineral dengan bahan dasar cairan rumen ini menunjukkan bahwa dalam cairan rumen tersebut terbukti mengandung berbagai mineral yang dapat digunakan sebagai salah satu suplemen mineral non konvensional yang bernilai ekonomis tinggi, meskipun perlu diperhatikan bahwa kandungan di dalam cairan rumen turut dipengaruhi oleh jenis ternak, pakan yang diberikan dan ekosistem di dalam rumen tersebut.

Tabel 7 juga menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan adsorben berupa kapur dan zeolit pada produk biomineral mampu meningkatkan kadar mineral tertentu pada produk. Mineral tersebut diantaranya adalah mineral makro K, Ca, Mg, dan Al serta beberapa mineral mikro seperti Ni, Cr dan Mo, sedangkan mineral lainnya mengalami penurunan atau berfluktuasi bergantung kepada bahan adsorben dan taraf penggunaan. Peningkatan dan penurunan pada beberapa mineral tersebut


(28)

26 diantaranya disebabkan adanya pertukaran kation dari bahan adsorben dengan mineral kation yang terkandung didalam biomineral.

Tabel 7. Kandungan Mineral Makro dan Mikro Biomineral

Mineral Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5

Makro (%) :

Ca 0,78 12,72 15,55 1,64 2,12

P 1,10 0,75 0,48 0,70 0,57

K 0,00 1,05 0,82 1,06 0,86

Na 1,37 1,18 1,16 1,24 1,29

Cl 1,81 1,30 1,90 1,38 2,01

S 0,17 0,11 0,10 0,11 0,07

Mg 0,16 0,18 0,20 0,30 0,42

Mikro (ppm) :

Fe 654 366 30 3229 4822

Al 178 179 26 1304 2302

Mn 345 358 290 365 287

Cu 4 3 4 7 10

Zn 80 68 51 67 60

Co 1,5 1,1 0,4 1,6 2,6

Ni td 0,5 td td td

Cr 1 3 1 3 3

Mo td td td 2 td

Se td td td td td

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor (2011) A1 : Biomineral (0%) A2 : Biomineral (A1) + Kapur 3% A3 : Biomineral (A1) + Kapur 6% A4 : Biomineral (A1) + Zeolit 3% A5 : Biomineral (A1) + Zeolit 6% td (tidak terdeteksi)

Limit Deteksi untuk mineral: Mo: 0,0024 ppm; Ni: 0,0009 ppm; dan Se: 0,3 ppm

Berdasarkan kebutuhan mineral pada ternak sapi perah (Tabel 2), dapat diketahui bahwa biomineral kontrol (A1) dapat memenuhi kebutuhan mineral Ca, P, Na, Fe, Mn dan Zn. Kandungan mineral Mg perlakuan penambahan bahan adsorben lebih tinggi daripada biomineral kontrol, namun hanya perlakuan penambahan zeolit


(29)

27 yang mampu mencukupi kebutuhan sapi perah. Mineral S dalam biomineral baik kontrol maupun dengan penambahan bahan adsorben belum mampu memenuhi kebutuhan ternak sapi perah terutama pada fase awal laktasi yang membutuhkan banyak mineral. Mineral makro (Ca, P, Mg dan S), mineral mikro (Cu, Co, Zn, dan Mn) dan beberapa vitamin, khususnya vitamin A dan E, berperan penting dalam proses sintesis protein mikroba, degradasi pakan dan aktivator enzim berbagai mikroba (Bal dan Ozturk, 2006). Pemberian biomineral dan mineral komersial pada penelitian Rakhmanto (2009) mampu meningkatkan konsumsi ransum pada pedet sapi FH jantan lepas sapih. Hal ini mengindikasikan bahwa akan semakin meningkat pula jumlah konsumsi suplemen mineralnya. Parrakasi (1999) merekomendasikan imbangan Ca : P adalah (1:1) sampai (2:1).

Penambahan bahan adsorben berupa kapur meningkatkan kandungan mineral Ca sekitar 93,87% hingga 94,98% dari biomineral perlakuan kontrol, seperti tampak pada Tabel 4. Hal ini mengakibatkan rasio imbangan Ca : P dari perlakuan A2 dan A3 menjadi tinggi, yaitu (17:1) dan (32:1). Penyerapan Ca berkisar antara 30-50% dari total Ca yang dimakan, sedangkan pada P berkisar antara 70-80% yang akan diserap (Ternouth dan Coates, 1997). Umumnya ruminansia mampu mentolerir kisaran Ca, terutama ketika ketersediaan vitamin D tinggi (McDowell, 2003), akan tetapi kelebihan ini dapat mengakibatkan defisiensi pada mineral lain seperti P, Mg, Fe, I, Zn, dan Mn (NRC, 1980). Kekurangan mineral P dapat diatasi dengan penambahan sumber P dalam konsentrat yang banyak terdapat biji-bijian seperti jagung atau bungkil kedelai. Beberapa mineral mikro diperkaya melalui penambahan zeolit. Zeolit yang digunakan dalam penelitian merupakan zeolit alam (non aktivasi) yang berasal dari Lampung. Hasil analisa mineral zeolit tersebut disajikan pada Tabel 4. Umumnya zeolit alam terdapat dalam bentuk campuran dengan bahan senyawa atau unsur-unsur pengotor dalam jumlah tertentu.

Kandungan mineral S pada biomineral kontrol dapat memenuhi kebutuhan sapi perah jantan, dara dan kering, dan sapi pedaging untuk semua status fisiologis. Sulfur penting bagi pencernaan serat di dalam rumen, suplai S yang mencukupi dapat mengoptimalkan degradasi selulosa melalui stimulasi spesifik bakteri selulolitik, aktifitas protozoa siliata dan fungsi rumen anaerob (Komisarezuk dan Durand, 1991). Mineral Fe, Mn dan Zn yang melebihi kebutuhan ternak sapi perah dapat


(30)

28 mengakibatkan keracunan pada ternak. Daya racun logam dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar logam yang termakan, lamanya ternak mengkonsumsi logam, umur, spesies, jenis kelamin, kebiasaan makan, kondisi tubuh dan kemampuan jaringan tubuh dalam mengkonsumsi logam tersebut. Mineral Fe berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, antara lain dalam memproduksi sel darah merah (Arifin, 2008). Mineral Fe tertinggi pada perlakuan penambahan zeolit, sesuai dengan hasil analisis zeolit pada kandungan mineral Fe (Tabel 4). Kapur ternyata cukup meningkatkan kandungan Mn pada biomineral (Tabel 4), sehingga biomineral dengan perlakuan penambahan kapur memiliki kandungan Mn tertinggi (Tabel 7). Mineral dibutuhkan oleh tubuh sebagai aktivator beberapa enzim, seperti hydrolase dan kinase serta sebagai konstituen dari arginase, karboksilase pyruvate, dan mangan superoksida dismutase (McDonald et al., 2002).

Seng berperan dalam sintesis dan transkripsi protein, yaitu dalam regulasi gen. Tepung terigu memberikan kontribusi besar dalam penambahan mineral Zn (Tabel 4). Mineral Zn di dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikroba melalui aktivasi enzim mikroba, didukung dengan kehadiran mineral S di rumen yang digunakan sebagai komponen sulfur asam amino oleh mikroba rumen. Keberadaan mineral Zn di rumen juga menstimulasi pertumbuhan protozoa di dalam rumen. Hal ini karena Zn dapat dengan mudah menembus protozoa yang selanjutnya digunakan oleh induk semang (Kamra, 2005), namun nilai availibilitas Zn dalam pakan termasuk rendah (McDowel et al., 2003). Kondisi ini disebabkan juga oleh

kandungan mineral lain yang bersifat antagonis seperti Ca, P, dan Cu (Tillman et al.,

1991). Hal ini nampak pada penelitian Batubara (1988) yang mendapatkan pertambahan berat badan nyata pada domba yang diberi pakan basal (38 ppm Zn) dengan penambahan 200 hingga 400 ppm Zn.

Disosiasi mineral-mineral mikro di retikulo-rumen, omasum, dan abomasum dapat menjadi bentuk yang tidak mudah larut, atau komponen tidak tercerna yang terbuang melalui kotoran. Hal ini akan mengakibatkan penurunan absorbsi mineral di usus halus. Mineral Zn dan Mn juga termasuk dalam mineral mikro (trace) yang diserap hanya sedikit melalui epitel rumen dan tidak dapat diserap oleh induk semang sebelum memasuki usus halus (Wright et al., 2008).


(31)

29 Fermentabilitas

Sumber energi utama didapatkan dari pakan yang masuk ke rumen. Pakan akan didegradasi dan difermentasi menjadi amonia (NH3), VFA, CH4, CO2, dan lainnya (Dehority, 2004). Selama proses fermentasi, energi tersedia dalam bentuk adenosin triphosphat (ATP) dan selanjutnya digunakan untuk hidup pokok dan pertumbuhan mikroba (Dijkstra et al., 2005). Konsentrasi NH3 dan VFA hasil penelitian disajikan pada Tabel 8 dan 9.

Konsentrasi Amonia (NH3)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi amonia nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh perlakuan, waktu inkubasi dan kelompok yaitu cairan rumen. Interaksi antara perlakuan dan waktu inkubasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05). Perlakuan biomineral dengan penambahan kapur dan zeolit secara statistik nyata (P<0,01) dalam menekan konsentrasi amonia dibandingkan biomineral tanpa perlakuan (A1). Penambahan kapur dan zeolit cukup efektif dalam menekan pelepasan amonia karena konsentrasi amonia pada perlakuan penambahan bahan adsorben lebih rendah daripada konsentrasi amonia biomineral kontrol.

Tabel 8. Rataan Konsentrasi Amonia Biomineral (mM)

Waktu inkubasi

Perlakuan

Rataan±Sd

A1 A2 A3 A4 A5

0 jam 9,36±1,26 6,51±1,86 3,08±1,34 3,78±1,44 3,31±0,48 5,21±2,70B

1 jam 9,12±3,41 5,49±1,72 3,78±2,02 4,70±1,67 3,66±1,31 5,35±2,23B

2 jam 11,73±1,97 8,51±2,17 4,70±1,94 5,91±1,60 4,04±1,81 6,98±3,16A

3 jam 13,36±1,06 7,89±2,95 4,60±1,50 6,02±2,68 4,28±1,56 7,23±3,71A

Rataan± Sd 10,89±2,02A 7,10±1,36B 4,04±0,76Cb 5,10±1,06Ca 3,82±0,43Cb 6,19±1,13

Keterangan: Superskrip huruf kapital yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan

sangat berbeda nyata (P<0,01). Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

A1 : Biomineral (0%); A2 : Biomineral (A1) + Kapur 3%; A3 : Biomineral (A1) + Kapur 6%; A4 : Biomineral (A1) + Zeolit 3%; A5 : Biomineral (A1) + Zeolit 6%.

Semakin tinggi taraf pemberian kedua bahan adsorben semakin menurunkan konsentrasi amonia. Penurunan ini diharapkan terjadi akibat pelepasan amonia yang lebih lambat dan penggunaan amonia yang lebih efisien untuk sintesis protein mikroba. Seperti dilansir pada penelitian Sigit (1995), ransum sapi perah laktasi yang


(32)

30 disuplementasi zeolit beramonium dapat menghasilkan peningkatan sintesis protein mikroba seiring dengan peningkatan taraf yang diberikan (0, 1,5 dan 3%).

Konsentrasi amonia terendah terdapat pada perlakuan A3 (penambahan kapur 6%), dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan A5 (penambahan zeolit 6%). Hal ini menganalogikan bahwa keduanya memiliki kemampuan yang setara dalam menekan pelepasan amonia. Zeolit memiliki kemampuan dalam menyerap amonia dan menahan dalam strukturnya untuk beberapa lama dan kemudian melepaskannya kembali dengan pertukaran kation Na+ dari saliva yang masuk ke rumen. Hal ini mengingat zeolit memiliki sifat kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, sehingga mampu menarik sejumlah ion-ion positif misalnya K+, Na+, NH4+, Ca2+, dan Mg2+ kemudian melepaskannya kembali tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya (Mumpton dan Fishman, 1977). Sedikit berbeda dengan kapur yang memanfaatkan daya absorban pada ion Ca2+nya dan secara teoritis1 mol ion Ca2+ akan menghambat pelepasan 2 mol NH

3 (Charlena

et al., 2006).

Waktu inkubasi secara statistik nyata (P<0,01) mempengaruhi konsentrasi amonia. Konsentrasi NH3 tertinggi adalah pada waktu inkubasi 3 jam yaitu 7,23 mM, tidak berbeda nyata dengan waktu inkubasi 2 jam (6,98 mM), namun nyata jika dibandingkan dengan waktu inkubasi 0 jam (5,21 mM) dan 1 jam (5,35 mM). Peningkatan konsentrasi amonia ini berbanding lurus dengan lamanya waktu inkubasi. Keadaan ini karena semakin lama pakan berada di dalam rumen, maka akan semakin banyak biomineral yang didegradasi dan difermentasi menjadi amonia.

Sigit (1993) menyatakan bahwa konsentrasi amonia juga dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Produksi amonia umumnya dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan bergantung pula kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (McDonald et al.,2002). Penelitian yang dilakukan oleh

Jayanegara et al. (2006) menghasilkan konsentrasi NH3 cenderung konstan pada 3 jam pertama inkubasi, dan berakumulasi pada jam ke-5 pada pakan dari limbah agroindustri yang disuplementasi Cr organik dan anorganik. Lain halnya dengan yang dinyatakan oleh Xin et al. (2010) bahwa konsentrasi NH3 pada semua pakan akan meningkat pada 1 jam pertama, dan kemudian menurun secara gradual. Akumulasi maupun berkurangnya pasokan N dari amonia ini tidak diharapkan di


(33)

31 dalam rumen. Oleh karena itu, melalui penambahan bahan adsorben ini, diharapkan penggunaan N dari amonia akan lebih efisien melalui kemampuan keduanya dalam melepas-lambatkan amonia (slow release). Sesuai penelitian Cass dan Richardson

(1994) yang membuat perbandingan secara in vitro dan mengamati bahwa kombinasi

urea-kalsium (Ca) mampu menghasilkan rataan pelepasan NH3-N lebih lambat dibandingkan urea saja.

Konsentrasi amonia rataan perlakuan berkisar antara 3,821-10,893 mM, nilai tersebut masih dalam kisaran yang cukup untuk mendukung pertumbuhan mikroba dalam rumen. Kadar amonia yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4-12 mM (Sutardi, 1980). Pendapat berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Satter dan Slyter (1974) menunjukkan bahwa produksi protein mikroba mencapai laju yang maksimum pada konsentrasi 5 mg N/100 ml atau 3,57 mM, dan menurut Agustin et al. (1992), pertumbuhan mikroba yang optimal membutuhkan

amonia 8 mM. Perbedaan ini akibat penambahan kedua bahan adsorben yang menekan pelepasan amonia di dalam rumen, yang diharapkan keberadaan amonia akan lebih lama sebagai sumber N bagi sintesis protein mikroba rumen. Rendahnya konsentrasi NH3-N ini berkorelasi dengan tingginya penggunaan NH3-N untuk sintesis protein mikroba (Kaswari et al., 2007), dan sinkronisasi antara N dan

pelepasan CHO di rumen yang dapat meningkatkan penggunaan N oleh mikroorganisme rumen melalui efisiennya penyediaan ATP.

Pengaruh bakteri rumen pun akan berbeda-beda pada setiap individu sapi, dengan jenis pakan yang diberikan berbeda pula. Sesuai pernyataan Ammiroenas (1990), bahwa terdapat perbedaan jenis dan kuantitas mikroba dalam cairan rumen pada setiap masa inkubasi, sehingga terjadi variasi jumlah pakan yang dapat dicerna. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji ragam, bahwa kelompok yang merupakan rumen sapi berbeda nyata (P<0,01) pada setiap ulangannya. Dampak tak langsung dari perlakuan adalah dapat melindungi ternak dari kemungkinan level amonia yang toksik dalam rumen karena pemberian pakan berupa NPN.

Konsentrasi VFA

Sumber pakan yang mengandung karbohidrat akan difermentasi di retikulo-retikulum dan akan menghasilkan VFA (Parrakasi, 1999). VFA digunakan oleh


(34)

32 mikroba rumen sebagai kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba atau sebagai sumber energi bagi inang (Arora, 1989).

Tabel 9. Rataan Konsentrasi VFA Biomineral (mM)

Waktu inkubasi

Perlakuan

Rataan±Sd

A1 A2 A3 A4 A5

0 jam 84,94±35,96 129,92 ± 42,20 178,24±20,56 165,80±32,95 125,96±29,38 136,97±36,79 1 jam 120,82±17,54 115,99 ± 35,80 145,54±38,94 150,99±12,11 140,82±27,51 134,83±15,52 2 jam 126,86±26,12 141,70 ± 27,55 151,84±19,55 126,28±46,82 132,28±36,84 135,79±10,89 3 jam 142,27±27,18 126,83 ± 25,73 171,40±71,07 152,98±45,55 163,55±40,86 151,41±17,59 Rataan±Sd 118,72±24,27B 128,61 ±10,57B 161,76±15,56A 149,01±16,51A 140,65±16,44A 139,75±16,67

Keterangan: Superskrip huruf kapital yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01). Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

A1 : Biomineral (0%); A2 : Biomineral (A1) + Kapur 3%; A3 : Biomineral (A1) + Kapur 6%; A4 : Biomineral (A1) + Zeolit 3%; A5 : Biomineral (A1) + Zeolit 6%.

Konsentrasi VFA sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh perlakuan penambahan bahan adsorben, sedangkan waktu inkubasi dan interaksi antara keduanya tidak menunjukkan efek yang nyata (P>0,05) terhadap konsentrasi VFA (Tabel 9). Perlakuan penambahan bahan adsorben kapur dan zeolit mampu meningkatkan konsentrasi VFA di dalam rumen dibandingkan perlakuan kontrol (tanpa penambahan), kecuali pada perlakuan A2 (kapur 3%) yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan kontrol. Secara numerik biomineral kontrol memiliki konsentrasi VFA terendah sebesar 118,72 mM. Penambahan kapur 3% (A2) pada biomieral dirasa belum cukup mampu meningatkan VFA biomineral. Rataan perlakuan penambahan kapur dan zeolit berturut-turut lebih tinggi 18,23% dan 18,03% daripada biomineral kontrol. Hal ini berkaitan dengan kemampuan kedua bahan adsorben sebagai slow release amonia di rumen. Selanjutnya akan

mengakibatkan efisiennya penggunaan N amonia biomineral, sehingga sintesis protein mikroba akan berjalan lebih lambat atau stabil dan memanfaatkan VFA lebih efisien dibandingkan biomineral kontrol.

Sinkronisasi energi dan protein dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba. Pada beberapa percobaan in vitro, jumlah bakteri rumen meningkat melalui

sinkronisasi ketersediaan N dan karbohidrat (Henning et al., 1991). Sinkronisasi

energi dan pelepasan N dapat meningkatkan fermentasi rumen, kecernaan nutrien, dan sintesis protein mikroba (Chumpawadee et al., 2005). Efisiennya penggunaan N


(35)

33 hasil degradasi rumen ini akan menurunkan pengeluaran N di urin (Sinclair et al.,

1993). Hal ini berarti bahwa sinkronisasi pakan dapat meningkatkan produksi protein mikroba di rumen dan meningkatkan efisiensi fermentasi rumen, sehingga dapat memperbaiki penggunaan nutrien dan penampilan ternak. Penambahan kapur taraf 6% dan zeolit secara statistik (P>0,05) memiliki kemampuan yang sama dalam meningkatkan VFA biomineral. Konsentasi VFA tertinggi pada penambahan kapur 6% (A3) sebesar 161,76 mM tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan zeolit (A4 dan A5) berturut-turut sebesar 149,02 mM dan 140,6 mM. Disusul dengan penambahan kapur 3% (A2) dan kontrol (A1). Perlakuan penambahan kapur 6%, zeolit 3% dan 6% memiliki pengaruh yang sama dalam meningkatkan VFA rumen. Tingginya kadar VFA tersebut menunjukkan bahwa sumber karbohidrat yang tersedia didalam biomineral mudah untuk difermentasi mikroba rumen. Hal ini perlu diseimbangkan mengingat kadar amonia yang dihasilkan, agar sinkronisasi antara sumber N dan energi dapat tercapai. Perlu adanya perhatian dalam menyusun ransum pada ternak, salah satunya dengan menambahkan sumber karbohidrat struktural atau serat kasar yang membutuhkan waktu lebih lama untuk difermentasi menjadi VFA.

Konsentrasi VFA tertinggi secara numerik pada perlakuan penambahan kapur 6% disebabkan persentasi BETN yang tinggi jika dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 6). BETN mencerminkan kandungan gula, pati dan hemiselulosa yang mudah difermentasi di dalam biomineral. Hal ini didukung karena adanya penambahan bahan carrier berupa agar-agar dan tepung tapioka yang merupakan karbohidrat

mudah dicerna bagi mikroba rumen. Perlakuan A3 menunjukkan konsentrasi amonia yang rendah (Tabel 8). Penambahan zeolit 6% (A5) juga menunjukkan hal serupa, karena konsentrasi amonia antar keduanya tidak berbeda nyata (P>0,05). Zeolit dapat berperan sebagai pelepas lambat (slow release) N-NH3, karena kemampuan Kapasitas Tukar Kation (KTK) zeolit dalam menyerap kation-kation (Mumpton dan Fishman, 1977). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan kapur (taraf 6%) dan zeolit dapat menyebabkan penurunan degradasi protein biomineral atau adanya pelepas-lambatan hasil proses degradasi tersebut, namun tidak berpengaruh terhadap karbohidrat yang masih dapat difermentasi di dalam rumen. Hasil ini memperlihatkan bahwa ketiga perlakuan dapat dikatakan cukup fermentable


(36)

34 Waktu inkubasi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam mempengaruhi konsentrasi VFA. Diperkirakan selama jam-jam pertama inkubasi, substrat pakan yang mudah difermentasi akan berkurang secara drastis dan diubah menjadi VFA oleh mikroba rumen. Setelah 2 jam, mikroba rumen kemudian bekerja secara lebih optimal dalam mencerna karbohidrat biomineral dan membentuk protein tubuhnya. Hal ini didukung dengan adanya ketersediaan sumber N dari amonia yang turut meningkat seiring lamanya waktu inkubasi (Tabel 8).

Secara keseluruhan kisaran VFA hasil penelitian adalah 118,72 - 161,76 mM (Tabel 9). Hasil ini sesuai dengan kisaran yang disarankan Sutardi (1980) untuk pertumbuhan mikroba rumen, yaitu 80-160 mM, sedangkan McDonald et al. (2002)

menyatakan konsentrasi VFA dalam rumen bervariasi antara 0,2-1,5 g per 100 mL atau 10-70 mmol/L. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa biomineral mampu untuk menunjang pertumbuhan mikroba di dalam rumen.

Degradabilitas Degradabilitas Bahan Kering (DBK)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan adsorben, dan waktu inkubasi serta kelompok berpengaruh sangat nyata (P<0,01), sedangkan interaksi antara perlakuan dan waktu inkubasi tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap DBK. Biomineral kontrol memiliki rataan DBK sebesar 32,21% (Tabel 10). Hasil analisa ragam menunjukkan perlakuan penambahan bahan adsorben ternyata menurunkan DBK biomineral. Keduanya berperan dalam pelambatan proses degradasi di dalam rumen. Degradasi yang lama ini akan mengakibatkan pakan yang masuk ke dalam rumen akan berjalan lebih lama (rate of passage), sehingga mikroba rumen dapat mengefisiensikan ATP yang dihasilkan untuk membantu dalam sintesis protein mikrobanya.

Degradasi protein di rumen merupakan salah satu alasan utama tidak efisiennya penggunaan protein pada ruminansia. Pada sisi lain, komponen nitrogen yang dilepaskan selama degradasi protein sangat penting bagi pertumbuhan mikroba di rumen. Pada Tabel 6 dapat dilihat penurunan kadar protein biomineral akibat penambahan kedua bahan adsorben. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang memiliki rataan degradasi lebih rendah mampu meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba, dimungkinkan karena N yang dihasilkan dapat dimanfaatkan


(37)

35 mikroba rumen lebih baik (Pathak, 2008). Alasan lainnya dapat pula disebabkan penambahan kedua bahan adsorben mampu meningkatkan bahan kering (Tabel 6) biomineral. Rataan aliran pengosongan (outflow) rumen dipengaruhi oleh konsumsi bahan keringnya dan dapat diasumsikan bahwa efisiensi sintesis protein mikroba di rumen dapat meningkat seiring konsumsi bahan kering (Pathak, 2008).

Tabel 10. Rataan Degradabilitas Bahan Kering Biomineral (%)

Waktu inkubasi

Perlakuan

Rataan±Sd

A1 A2 A3 A4 A5

0 jam 31,06±4,73 28,59±3,15 20,37±1,26 28,28±7,62 18,99±2,75 25,46±5,40C 1 jam 31,90±4,85 30,44±4,73 20,65±0,92 27,78±6,09 21,91±4,32 26,53±5,04C

2 jam 32,26±3,19 27,43±6,19 25,74±1,66 29,75±6,96 23,89±4,34 27,81±3,30B

3 jam 33,62±3,13 33,95±3,93 31,30±6,36 33,67±3,90 23,95±4,35 31,30±4,24A

Rataan±Sd 32,21±1,06Aa 30,10±2,85Ab 24,51±6,35B 29,87±3,90Ab 22,18±4,35B 27,76±3,70 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan

berbeda nyata (P<0,05). Superskrip huruf kapital yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).

A1 : Biomineral (0%); A2 : Biomineral (A1) + Kapur 3%; A3 : Biomineral (A1) + Kapur 6%; A4 : Biomineral (A1) + Zeolit 3%; A5 : Biomineral (A1) + Zeolit 6%

Nilai degradabilitas tertinggi terdapat pada perlakuan A1, yaitu 32,21%, disusul kemudian dengan perlakuan A2 dan A4 yang tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05). Urutan selanjutnya, yaitu pada perlakuan kapur 6% dan zeolit 6% yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam mempengaruhi degradabilitas biomineral. Dengan demikian, penambahan kapur taraf 3% dan zeolit 3% memiliki kemampuan yang sama untuk memperlambat proses degradasi di rumen. Hal yang sama juga terjadi pada penambahan kapur dan zeolit pada taraf 6%. Meskipun demikian, penambahan kedua jenis adsorben dengan taraf yang semakin meningkat dapat menurunkan degradabilitas BK biomineral.

Beberapa sifat kimia yang mempengaruhi degradasi antara lain komposisi nutrien, kapasitas tukar kation (cation exchange capacity) dan kapasitas penyangga

(buffering capacity) (Erwanto, 1995). Kedua bahan adsorben diketahui mampu

meningkatkan kadar BK biomineral (Tabel 6). NRC (1985) menyebutkan keterkaitan antara peningkatan DMI (Dry Matter Intake) terhadap pelambatan waktu retensi

rumen yang dapat menurunkan degradasi protein dalam rumen. Selain itu, zeolit dikenal memiliki kemampuan sebagai penukar kation. Aningrum (2006) melaporkan zeolit asal Lampung memiliki KTK sebesar 89,62 mek/100 g, luas permukaan


(38)

36 37,7768 m2/g, nisbah Si/Al 5,24. Sedangkan kapur merupakan bahan yang biasa ditambahkan pada pakan tinggi kandungan karbohidrat, untuk mempertahankan pH rumen agar tidak menurun secara drastis saat produksi VFA meningkat.

Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada waktu inkubasi, kecuali pada waktu 0 dan 1 jam yang tidak berbeda nyata secara statistik (P>005). Tabel 6 memperlihatkan keseluruhan nilai DBK yang semakin tinggi dengan bertambahnya waktu inkubasi. Waktu inkubasi 3 jam menunjukkan nilai DBK tertinggi, yaitu 31,2971%. Hal ini dikarenakan semakin lama pakan berada didalam rumen, maka kemungkinan untuk dicerna dan difermentasi akan lebih besar. Sesuai pernyataan Lubis (1992) bahwa pengukuran degradasi dalam rumen sangat ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi.

Secara keseluruhan, perlakuan A1 atau kontrol menunjukkan nilai DBK tertinggi diantara semua perlakuan, sedangkan waktu inkubasi 3 jam menghasilkan rataan DBK tertinggi. Hasil statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0,05) interaksi antara perlakuan biomineral dengan waktu inkubasinya.

Degradabilitas Bahan Organik (DBO)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa DBO dipengaruhi sangat nyata (P<0,01) oleh perlakuan biomineral, dan waktu inkubasi (Tabel 11). Interaksi antara perlakuan biomineral dan waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase DBO biomineral. Hasil uji ortogonal kontras memperlihatkan perlakuan biomineral berbeda sangat nyata (P<0,01) dalam mempengaruhi persentase DBO biomineral. Perlakuan A1 atau kontrol menunjukkan presentase DBO sebesar 32,97%. Penambahan bahan adsorben sedikit banyak mempengaruhi DBO in vitro.

Perlakuan penambahan kapur dan zeolit mempunyai pengaruh yang sama sesuai taraf pemberiannya. Penambahan kapur 3% dan zeolit 3% memiliki pengaruh yang sama dalam meningkatkan persentase DBO biomineral dibandingkan biomineral kontrol. Persentase DBO dari kedua perlakuan tersebut secara statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata yaitu 37,13% dan 36,13%. Namun, penambahan kedua bahan adsorben hingga 6% mampu menurunkan DBO biomineral dibandingkan perlakuan kontrol. Hal ini mengindikasikan terlalu banyaknya BO yang terikat pada kapur dan zeolit, sehingga hanya sedikit saja yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk didegradasi.


(1)

49 Lampiran 1. Komposisi Larutan McDougall

a) Larutan Mikromineral : 1. CaCl2.2H2O 13,2 g

2. MnCl2.4H2O 10 g

3. CoCl2.6H2O 1 g

4. FeCl3.6H2O 8 g

5. Aquades sampai menjadi 100 ml b) Larutan Makromineral : 1. Na2HPO4 5,7 g

2. KH2PO4 6,2 g

3. MgSO4.7H2O 0,6 g

4. Aquades sampai menjadi 1000 ml c) Larutan Buffer Rumen : 1. Urea 3,038 g

2. NaHCO3 35 g

3. Aquades sampai menjadi 1000 ml d) Larutan Resazurin : 1. Resazurin 0,1 g

2. Aquades sampai menjadi 100 ml e) Larutan Pereduksi : 1. NaOH 1 N 4 g

2. Na2S.9H2O 5 g

3. Aquades 95 ml Prosedur Pembuatan:

Sebanyak 400 ml aquades ditambahkan dengan 0,1 ml larutan mikromineral, 200 ml larutan makromineral, 200 ml larutan buffer rumen, 1 ml larutan resazurin dan 20 ml larutan pereduksi (campuran ini disiapkan segar sebelum pengambilan cairan rumen). Kemudian dialiri gas CO2 dan direndam dalam shaker water bath

pada suhu 39ºC. Larutan diaduk dengan magnetic stirer agar homogen atau

bercampur rata, hingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah dan terakhir tidak berwarna (bening).


(2)

50 Lampiran 2. ANOVA Konsentrasi Amonia

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 643,99 33,89 15,93 1,77 2,24 ** Faktor A 4 549,88 137,47 64,61 2,53 3,67 **

Faktor B 3 67,48 22,49 10,57 2,77 4,14 **

Interaksi A*B 12 26,64 2,22 1,04 1,93 2,51 NS

Kelompok 3 95,54 31,85 14,97 2,77 4,14 **

Error 57 121,27 2,13

Total 79 860,81 10,90

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

SK : Sumber Keragaman JK : Jumlah Kuadrat db : Derajat Bebas KT : Kuadrat Tengah Fhit : F hitung F0,05; F0,01 : F tabel

Lampiran 3. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Biomineral (Faktor A) terhadap konsentrasi NH3

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 643,99 33,89 15,93 1,77 2,24 ** Faktor A 4 549,88 137,47 64,61 2,53 3,67 ** 1,2 vs 3,4,5 1 419,89 419,89 197,36 4,01 7,10 **

4 vs 3,5 1 14,59 14,59 6,86 4,01 7,10 *

3 vs 5 1 0,38 0,38 0,18 4,01 7,10 NS

1 vs 2 1 115,00 115,00 54,05 4,01 7,10 **

Kelompok 3 95,54 31,85 14,97 2,77 4,14 **

Error 57 121,27 2,13

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 4. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Waktu Inkubasi (Faktor B) terhadap Konsentrasi NH3

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 643,99 33,89 15,93 1,77 2,24 **

Faktor B 3 67,48 67,48 10,57 2,53 3,67 **

2,3 vs 0,1 1 66,64 66,64 31,32 4,01 7,10 **

3 vs 2 1 0,64 0,64 0,30 4,01 7,10 NS

1 vs 0 1 0,20 0,20 0,09 4,01 7,10 NS

Kelompok 3 95,54 31,85 14,97 2,77 4,14 **

Error 57 121,27 2,13

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)


(3)

51 Lampiran 5. ANOVA Konsentrasi VFA

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 36020,02 1895,79 2,48 1,77 2,24 ** Faktor A 4 18194,46 4548,61 5,94 2,53 3,67 ** Faktor B 3 3669,29 1223,10 1,60 2,77 4,14 NS Interaksi A*B 12 14156,26 1179,69 1,54 1,93 2,51 NS Kelompok 3 31435,325 10478,44 13,69 2,77 4,14 **

Error 57 43633,58 765,50

Total 79 111088,92 1406,19

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 6. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Biomineral (Faktor A) terhadap Konsentrasi VFA

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 36020,02 1895,79 2,48 1,77 2,24 ** Faktor A 4 18194,46 4548,61 5,94 2,53 3,67 ** 3,4,5 vs 1,2 1 13798,57 13798,57 18,02 4,10 7,10 ** 3 vs 4,5 1 3054,28 3054,28 3,99 4,10 7,10 NS

4 vs 5 1 559,48 559,48 0,73 4,10 7,10 NS

2 vs 1 1 782,13 782,13 1,02 4,10 7,10 NS

Kelompok 3 31435,32 10478,44 13,69 2,77 4,14 **

Error 57 43633,58 765,50

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 7. ANOVA Degradabilitas Bahan Kering (DBK)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 1721,97 90,63 7,53 1,77 2,24 ** Faktor A 4 1141,60 285,40 23,70 2,53 3,67 ** Faktor B 3 386,43 128,81 10,70 2,77 4,14 ** Interaksi A*B 12 193,93 16,16 1,34 1,93 2,51 NS Kelompok 3 575,45 144,99 12,04 2,77 4,14 **

Error 57 686,30 12,04

Total 79 2983,71 38,55

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)


(4)

52 Lampiran 8. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Biomineral (Faktor A)

terhadap Degradabilitas Bahan Kering (DBK)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 1721,97 90,63 7,53 1,77 2,24 ** Faktor A 4 1141,60 285,40 23,70 2,53 3,67 ** 1,2,4 vs 3,5 1 1045,17 1045,17 86,81 4,10 7,10 **

1 vs 2,4 1 52,62 52,62 4,37 4,10 7,10 *

2 vs 4 1 0,43 0,43 0,03 4,10 7,10 NS

3 vs 5 1 43,38 43,38 3,60 4,10 7,10 NS

Kelompok 3 575,45 144,99 12,04 2,77 4,14 **

Error 57 686,30 12,04

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 9. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Waktu Inkubasi (Faktor B) terhadap Degradabilitas Bahan Kering (DBK)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 1721,97 90,63 7,53 1,78 2,24 ** Faktor B 3 386,43 128,81 10,69 2,77 4,14 ** 2,3 vs 0,1 1 253,41 253,41 21,05 4,10 7,10 **

3 vs 2 1 121,36 121,36 10,08 4,10 7,10 **

1 vs 0 1 11,66 11,66 0,97 4,10 7,10 NS

Kelompok 3 575,45 144,99 12,04 2,77 4,14 ** Error 57 686,30 12,04

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 10. ANOVA Degradabilitas Bahan Organik (DBO)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 2390,17 125,80 5,71 1,77 2,24 **

Faktor A 4 865,95 216,49 9,82 2,53 3,67 **

Faktor B 3 1114,31 371,44 16,85 2,77 4,14 ** Interaksi A*B 12 409,90 34,16 1,55 1,93 2,51 NS Kelompok 3 1639,41 546,47 24,79 2,77 4,14 **

Error 57 1256,67 22,05

Total 79 5286,25 66,91

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)


(5)

53 Lampiran 11. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan Biomineral (Faktor A)

terhadap Degradabilitas Bahan Organik (DBO)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 2390,17 125,80 5,71 1,77 2,24 **

Faktor A 4 865,95 216,49 9,82 2,53 3,67 **

2,4 vs 1,3,5 1 700,84 700,84 31,79 4,10 7,10 **

1 vs 3,5 1 136,02 136,02 6,17 4,10 7,10 *

3 vs 5 1 21,06 21,06 0,95 4,10 7,10 NS

2 vs 4 1 8,03 8,03 0,36 4,10 7,10 NS

Kelompok 3 1639,41 546,47 24,79 2,77 4,14 **

Error 57 1256,67 22,05

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 12. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Waktu Inkubasi (Faktor B) terhadap Degradabilitas Bahan Organik (DBO)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 19 2390,17 125,80 5,71 1,77 2,24 ** Faktor B 3 1114,31 371,44 16,85 2,77 4,14 ** 2,3 vs 0,1 1 1024,88 1024,88 46,49 4,10 7,10 **

3 vs 2 1 85,83 85,83 3,89 4,10 7,10 NS

1 vs 0 1 3,60 3,60 0,16 4,10 7,10 NS

Kelompok 3 1639,41 546,47 24,79 2,77 4,14 ** Error 57 1256,67 22,05

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Lampiran 13. ANOVA Kecernaan Bahan Kering (KCBK)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 4 646,02 161,50 12,54 3,26 5,41 ** Kelompok 3 319,47 106,49 8,27 3,49 5,95 **

Error 12 154,52 12,88

Total 19 1120,00 58,95

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)


(6)

54 Lampiran 14. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap KCBK

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 4 646,02 161,50 12,54 3,26 5,41 ** 1,2,3 vs 4,5 1 610,88 610,88 47,44 4,75 9,33 **

2,3 vs 1 1 2,34 2,34 0,18 4,75 9,33 NS

3 vs 2 1 0,28 0,28 0,02 4,75 9,33 NS

4 vs 5 1 32,51 32,51 2,52 4,75 9,33 NS

Kelompok 3 319,47 106,49 8,27 3,49 5,95 **

Error 12 154,52 12,88

Total 19 1120,00 58,95

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 15. ANOVA Kecernaan Bahan Organik (KCBO)

SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 4 83,44 20,86 2,26 3,26 5,41 NS

Kelompok 3 142,42 47,47 5,14 3,49 5,95 *

Error 12 110,91 9,24

Total 19 336,78 17,72

Keterangan:

Tanda NS) menunjukkan perbedaan tidak berbeda nyata (P>0,05) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)