Diagnostik Model : Statistik uji Q Box- Pierce dapat digunakan untuk menguji Peramalan : Peramalan merupakan suatu proses untuk memperoleh data beberapa

3 parameter dikatakan berpengaruh jika nilai absolut t yang berpadanan dengan parameter tersebut lebih besar daripada nilai-t tabel pada taraf nyata α2 berderajat bebas N minus banyaknya parameter Bowerman O’Connel, 1987.

3. Diagnostik Model : Statistik uji Q Box- Pierce dapat digunakan untuk menguji

kelayakan model, yaitu dengan menguji apakah sekumpulan korelasi diri untuk nilai sisa tersebut tidak nol. Statistik uji Q Box- Pierce menyebar mengikuti sebaran χ 2 dengan derajat bebas m-p-q, dimana m adalah lag maksimum yang diamati, p adalah ordo AR, dan q adalah ordo MA. Jika nilai Q lebih besar dari nilai χ 2 m-p-q untuk tingkat kepercayaan tertentu atau nilai peluang statistik Q lebih kecil dari taraf nyata α, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak layak. Persamaan statistik uji Q Box-Pierce menurut Makridaskis et al 1983 adalah : Q= N-d ∑ r k 2 m k=1 dengan : r k 2 = nilai korelasi diri pada lag ke-k N = banyaknya amatan pada data awal d = ordo pembedaan m = lag maksimum

4. Peramalan : Peramalan merupakan suatu proses untuk memperoleh data beberapa

periode waktu ke depan. Untuk memperoleh sejauh x periode ke depan dari titik waktu ke t, maka dipilih satu model yang memiliki nilai KTG minimum. Perhitungan dilakukan secara rekursif, yaitu menghitung peramalan satu periode kemudian dua periode, dan seterusnya sampai x periode ke depan. Kriteria Pemilihan Model Schwarz’s Bayesian Criterion SBC atau disebut juga Bayesian Information Criterion BIC digunakan sebagai kriteria untuk memilih model. SBC merupakan kriteria pemilihan model berdasarkan fungsi kemungkinan maksimum. SBC didefinisikan sebagai : n ln + M ln n, dengan adalah penduga dari σ a 2 , M banyaknya parameter dalam model, dan n banyaknya sisaan yang dapat dihitung dari suatu deret. Model terbaik adalah model dengan nilai SBC minimum. SBC dibentuk untuk menyeleksi model dan memilih nilai parameter yang sebenarnya setepat mungkin. Sementara Akaike Information Criterion AIC cenderung memilih model dengan parameter lebih banyak dari SBC, dimana AIC dapat didefinisikan sebagai : n ln + 2M. Untuk data yang besar SBC lebih baik serta lebih konsisten. Setelah melakukan peramalan, ketepatan peramalan dapat dicari dengan menghitung Mean Absolute Percentage Error MAPE, dengan rumus sebagai berikut : MAPE = ∑ | x t - f t x t | n t=1 n x 100 dengan x t adalah pengamatan pada waktu ke-t dan f t adalah ramalan pada waktu ke-t. Semakin kecil nilai MAPE menunjukkan data hasil peramalan semakin mendekati nilai aktual. Model Fungsi Transfer Suatu model yang mengkombinasikan pendekatan deret waktu dengan pendekatan kausal. Deret waktu x t memberikan pengaruhnya kepada deret waktu y t melalui fungsi transfer, yang mendistribusikan dampak x t melalui beberapa periode yang akan datang. Model yang dihasilkan disebut model fungsi transfer, yang menghubungkan deret output y t , deret input x t , dan noise n t Makridaskis et al. 1983. Perbedaan dengan regresi linier terdapat pada jenis data yang digunakan. Fungsi transfer menggunakan data deret waktu yang tidak saling bebas antar periodenya. Hal ini disebabkan karena data deret waktu mengandung unsur seasonality, trend, dan cycle. Sehingga perhitungan korelasi kedekatan antara X dan Y fungsi transfer dan regresi linier berbeda. Korelasi antara X dan Y fungsi transfer disebut juga dengan korelasi silang Crosscorrelation. ρ xy k = xy k S x S y 7 dimana 1 n ∑ x t -x y t+k -y n-k t=1 ; k ≥0 xy k = 1 n ∑ y t -y x t+k -x n+k t=1 ; k0 S x = xx 0 S y = yy Model fungsi transfer memiliki bentuk umum sebagai berikut : y t = δ r -1 B ω s B x t-b + n t dengan : 4 1. y t dan x t merupakan deret waktu yang stasioner. 2. b adalah angka yang melambangkan periode sebelum deret input x t memulai untuk mempengaruhi deret output y t . 3. … . Nilai s mengindikasikan berapa lama deret output y t mulai dipengaruhi oleh nilai yang baru dari deret input x t . 4. 1 … . Nilai r mengindikasikan berapa lama deret output y t berhubungan dengan nilai yang terdahulu dari deret output itu sendiri. 5. n t merupakan komponen galat pada waktu ke-t. Komponen galat n t diasumsikan dapat dimodelkan dengan proses ARIMA p,d,q, sehingga model kombinasi fungsi transfer galat : y t = δ r -1 B ω s B x t-b + Φ p -1 B θ q B a t p B = 1- 1 B- 2 B 2 - …. - p B p θ q B = 1- θ 1 B- θ 2 B 2 - …. - θ q B q b, r, s, p, q adalah konstanta a t merupakan sisaan pada waktu ke-t Φ p B= p B d merupakan operator regresi diri umum. Prosedur pembentukan model fungsi transfer meliputi tahapan-tahapan berikut : 1. Identifikasi Bentuk Model Fungsi Transfer 1.1. Mempersiapkan deret input dan output Tahap ini mengidentifikasikan apakah deret input dan deret output sudah stasioner baik dalam rataan maupun dalam ragam. Jika data tidak stasioner maka dilakukan pembedaan dan transformasi untuk menghilangkan ketidakstasioneran. 1.2. Prewhitening deret input Tahap prewhitening deret input merupakan proses transformasi deret yang berkorelasi menuju perilaku white noise yang tidak berkorelasi. Proses prewhitening ini menggunakan model ARIMA untuk deret input. Oleh karena itu, sebelum proses prewhitening, dibangun terlebih dahulu model ARIMA bagi x t . Misalkan jika deret input x t dimodelkan sebagai proses ARIMA p,0,q, maka deret ini memiliki model : p B x t = θ p B α t dengan merupakan sisaan acak. Dengan demikian deret input yang telah mengalami prewhitening adalah : α t = p B θ q -1 B x t 1.3. Prewhitening deret output Fungsi transfer merupakan proses pemetaan x t terhadap y t . Sehingga apabila diterapkan suatu proses prewhitening terhadap x t , maka transformasi yang sama juga harus diterapkan terhadap y t agar dapat mempertahankan integritas hubungan fungsional. Sehingga deret output yang telah ditransformasi β t adalah : β t = p B θ q -1 B y t 1.4. Perhitungan korelasi silang antara deret input dan deret output yang telah di prewhitening Fungsi korelasi silang antara α t dan β t pada lag ke-k adalah : ρ αβ k = αβ k S α S β , k = 0, ±1, ±2, ... dimana : αβ k = korelasi silang antara α t dan β t pada lag ke-k αβ k = kovarian antara α t dan β t pada lag ke- k s α = simpangan baku deret α t s β = simpangan baku deret β t 1.5. Menentukan nilai b, r, s Konstanta b, r, dan s ditentukan berdasarkan pola fungsi korelasi silang antara α t dan β t . Cara menentukan nilai b, r, dan s adalah : a. Korelasi silang berbeda nyata dengan nol untuk pertama kalinya pada lag ke-b. b. Untuk s dilihat dari lag berikutnya yang mempunyai pola yang jelas atau lama x mempengaruhi y setelah nyata yang pertama. c. Nilai r mengindikasikan berapa lama deret output y t berhubungan dengan nilai yang terdahulu dari deret output itu sendiri. Nilai r dilihat dari plot korelasi diri y t atau ditentukan berdasarkan pola lag b+s, jika memiliki pola eksponensial maka r=1 dan memiliki pola gelombang sinus maka r=2 Bowerman O’Connel, 1987 1.6. Pendugaan awal parameter δ dan ω Penduga awal parameter fungsi transfer yaitu δ=δ 1 , δ 2 ,…, δ r dan ω=ω , ω 1 ,…, ω s dicari dengan memanfaatkan persamaan berikut ini : 5 V j = 0, j b V j = δ 1 V j-1 + δ 2 V j-2 + ... + δ r V j-r + ω , j = b V j = δ 1 V j-1 + δ 2 V j-2 + ... + δ r V j-r – ω j-b , j = b+1, ..., b+s V j = δ 1 V j-1 + δ 2 V j-2 + ... + δ r V j-r + ω , j b + s dengan v k = r αβ k s β s α Penduga awal ini digunakan sebagai nilai awal pada algoritma pendugaan akhir nonlinier dan untuk menduga deret sisaan.

2. Pendugaan Akhir Parameter Model Fungsi Transfer