abc 52.8 abc 17.6 bcd a 110.2

Terdapat tiga genotipe yang hasil tanaman utama dan ratunnya tinggi, sehingga persen hasil tanaman utama terhadap ratun juga tinggi atau 50. Ketiga genotipe tersebut adalah Cimelati, IPB106-F-8-1 dan IPB106-F-10-1 Tabel 6 Tabel 6. Persen hasil tanaman utama terhadap ratun sembilan genotipe padi potensi hasil ratun tinggi Kelompok Genotipe Bobot gabahrumpun g Tanaman Utama U Ratun R RU Varietas PTB Cimelati 48.2 abc

25.5 abc 52.8

Fatmawati 26.4 abc 13.2 cd 50.1 Gilirang 28.4 abc 15.6 cd 54.7 Galur PTB sawah IPB106-F-7-1 18.4 bc 28.9 ab 157.2 IPB106-F-8-1

32.1 abc 17.6 bcd

54.7 IPB106-F-10-1 28.3 abc

31.2 a 110.2

IPB106-F-12-1 28.4 abc 11.7 d 41.2 BP205D-KN-78-1-8 31.5 abc 10.4 d 32.9 Galur PTB rawa B9833C-KA-14 48.5 a 11.6 d 23.8 Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan hurup yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 . Secara visual tunas-tunas ratun mulai keluar pada hari ke-2 hingga hari ke-7, dengan jumlah anakan yang muncul paling banyak terjadi pada hari kelima.Pada hari ketujuh ratun sudah mulai bercabang. Perbedaan waktu keluar ratun dan laju pertumbuhan ratun tampaknya sangat tergantung pada kondisi tunggul tanaman utama. SIMPULAN Dari 18 genotipe yang diuji, diperoleh sembilan genotipe memiliki kemampuan menghasilkan ratun tinggi, dan sejalan dengan penampilan vegetatif dan generatif di rumah kaca, yaitu : IPB106-F-7-1, IPB106-F-12-1, IPB106-F-8- 1, BP205D-KN-78-1-8, IPB106-F-10-1, Gilirang, Fatmawati, Cimelati, dan B9833C-KA-14. Lima genotipe menghasilkan ratun sedang, yaitu : BP23F-PN- 11, BP355E-MR-45, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66, B9858D-KA-55, dan empat genotipe tergolong kurang atau tidak menghasilkan ratun, yaitu : BP138F-KN-23, Ciapus, B10214F-TB-7-2-3, dan IR61241-3B-B-2. Berdasarkan produksi ratun terhadap tanaman utama, maka dari sembilan genotipe terbaik, terpilih tiga genotipe yang memiliki potensi ratun terbaik dan diuji lebih lanjut di lapangan, yaitu Cimelati, IPB106-F-8-1 dan IPB106-F-10-1. Tunas-tunas ratun mulai keluar pada hari ke-2 hingga hari ke-7 setelah panen tanaman utama, dengan jumlah daun 2-4 daunanakan. Jumlah anakan ratun berkisar 6 – 25 anakanrumpun, dengan rata-rata umur panen 68 hari. KEMAMPUAN MENGHASILKAN RATUN BEBERAPA PADI VARIETAS HIBRIDA DAN INBRIDA Evaluation of Ratooning Ability of Hybrid and Inbred Rice Varieties ABSTRAK Kemampuan menghasilkan ratun 12 varietas padi hibrida dan inbrida berdasarkan karakter agronomi dievaluasi di rumah kaca. Tujuan penelitian mendapatkan varietas padi hibrida dan inbrida yang memiliki potensi ratun tinggi. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ratun varietas padi hibrida lebih baik dibandingkan varietas inbrida dengan rata-rata produksi 75.2 dari tanaman utama. Berdasarkan perbandingan antara produktivitas relatif dan produksi riil ratun yang diamati bobot biji per rumpun, diperoleh enam varietas padi yang tergolong sangat potensial, tiga varietas menengah, dan tiga varietas dianggap rendah. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa varietas padi hibrida memiliki potensi ratun yang tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan dalam meningkatkan produktivitas padi dengan sistem ratun. Benih padi hibrida dapat dimanfaatkan untuk dua kali panen. Tunas ratun mulai keluar 5-6 hari setelah panen, dengan 2-4 daun per malai. Jumlah anakan ratun berkisar 5.5-26.0 per rumpun, dengan rata-rata waktu panen adalah 69 hari setelah panen tanaman utama. ABSTRACT The ratooning ability of 12 hybrid and inbred rice varieties was evaluated in green house based on agronomic characters. The purpose of the research was to determine hybrid and inbred rice varieties having high ratoon potential. Experiment was arranged in a randomized block design with three replications. The results showed that hybrid rice varieties had better productivity both main crop and ratoon, with an average yield of ratoon 75.2 of main crops. Based on analysis of relative and real productivity of ratoon, six varieties were considered as high, three varieties were medium, and three varieties were considered as low in ratoon yield. The results indicat that hybrid rice varieties have good potential to improve productivity in a ratoon system. Ratoon growth started at 5-6 days after harvest, with 2-4 leaves per panicle. The number of ratoon tiller ranged from 5.5 to 26.0 per hill. Average time of maturity was 69 days after harvest of the main crop. Key words : agronomic characters, ratooning ability, ratoon system PENDAHULUAN Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi nasional antara lain penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, dan penyediaan input produksi yang murah dan mudah diperoleh, seperti benih, pupuk dan pestisida. Dalam budidaya padi, penggunaan varietas yang diikuti dengan pemberian input produksi yang cukup, secara nyata meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Varietas padi berdaya hasil tinggi antara lain varietas hibrida dan varietas unggul baru inbrida. Kedua kelompok ini memiliki keunggulan masing-masing, dan dapat meningkatkan indeks pertanaman 2-3 kali per tahun pada sawah beririgasi Satoto dan Suprihatno 2008. Varietas padi hibrida merupakan keturunan pertama F1 dari persilangan antara dua galur padi yang berbeda yaitu galur mandul jantan cytoplasmic male sterileCMS line sebagai tetua betina, dengan galur pemulih kesuburan restorer line sebagai tetua jantan Satoto dan Suprihatno 2008. Dengan demikian, sifat- sifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat kedua tetuanya. Keunggulan padi hibrida adalah hasil yang lebih tinggi dibanding padi inbrida dan vigor tanaman lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma Virmani et al. 1997. Dari aspek fisiologi, aktivitas perakaran dan area fotosintesis padi hibrida lebih luas, intensitas respirasi lebih rendah dan translokasi asimilat lebih tinggi. Karakteristik morfologi padi hibrida menunjukkan sistem perakaran lebih kuat, anakan banyak, jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir gabah tinggi. Kelemahan padi hibrida antara lain : harga benih mahal, petani harus membeli benih yang baru setiap tanam, karena benih hasil sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya, tidak setiap galur atau varietas dapat dijadikan sebagai tetua padi hibrida. Di sawah irigasi, produksi padi hibrida mampu meningkatkan produktivitas 10-15 dibanding padi inbrida Suprihatno et al. 1994. Varietas unggul inbrida merupakan teknologi yang mudah, murah, dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Varietas inbrida, dihasilkan dari persilangan galur atau tanaman terseleksi termasuk landrace dan dilanjutkan dengan persilangan acak selama beberapa generasi penggaluran hingga diperoleh galur murni. Teknologi tersebut murah dan mudah karena benih dapat diusahakan sendiri oleh petani, tahan hama dan penyakit serta relatif aman terhadap lingkungan. Menurut Susanto 2003 sebanyak 150 varietas padi inbrida telah dihasilkan dan ditanam pada sekitar 80 total areal padi di Indonesia. Hampir semua genotipe padi, termasuk varietas hibrida dan inbrida, mampu menghasilkan ratun, yaitu rumpun tanaman padi yang telah dipanen dan tumbuh kembali menghasilkan anakan baru Wu et al. 1998; Nakano dan Morita 2007. Dalam kaitannya dengan perakitan varietas padi di Indonesia, keunggulan varietas dalam menghasilkan ratun dan besarnya produksi yang dapat disumbangkan dari ratun belum banyak diperhatikan, padahal budidaya padi dengan ratun, mensyaratkan input murah dan mudah, serta menguntungkan. Ratun berpotensi meningkatkan produksi hingga 66 per musim tanam jika dilakukan pengelolaan yang baik Nair dan Rosamma 2002; Santos et al. 2003. Informasi ratun di Indonesia sangat terbatas. Studi-studi tentang ratun padi selama ini telah banyak dilakukan di India, Cina dan Filipina yang memiliki genotipe dan lingkungan atau kondisi iklim yang berbeda dengan di Indonesia. Genotipe atau varietas yang mempunyai kemampuan tinggi perlu diidentifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kemampuan padi varietas hibrida dan inbrida Indonesia dalam menghasilkan ratun, berdasarkan karakter-karakter agronominya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan IPB, Cikabayan dan di Laboratorium Terpadu, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan September 2007 – Mei 2008. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, yaitu: enam varietas hibrida Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5, Hipa-6, Maro, dan Rokan dan enam varietas inbrida Batanghari, Ciherang, IR 42, Margasari, Mekongga dan Sintanur. Deskripsi varietas tersebut telah dibahas oleh Suprihatno et al. 2007. Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan varietas padi, dan diulang tiga kali, sehingga total terdapat 36 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas dua ember plastik berwarna hitam dan setiap ember ditanam satu bibit. Jumlah ember yang digunakan sebanyak 72 buah. Ember-ember tersebut diisi campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 vv, dengan bobot total sekitar 10 kgember. Data berupa tinggi tanaman, anakan produktif, panjang malai, gabah isi, gabah hampa, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir dan hasil dari tanaman utama dan ratun, diolah dengan program SAS 9.0 uji F. Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5. Untuk mendapatkan kelas ratun tinggi, sedang dan rendah, dibuat kriteria berdasarkan produksi relatif dan produksi riil Tabel 7. Tabel 7. Kriteria potensi ratun tinggi, sedang dan rendah berdasarkan produksi relatif dan produksi riil. Kriteria Produksi relatif Produksi riil Potensi ratun tinggi 50 dari tanaman utama 2 tha atau 12.5 grumpun Potensi ratun sedang 30-49 dari tanaman utama 1-2 tha atau 6.25-12.5 grumpun Potensi ratun rendah 10-29 dari tanaman utama 1 tha atau 6.5 grumpun Pelaksanaan Penelitian Benih disemai dalam bak plastik, hingga berumur 15 hari. Bibit dipindahkan ke dalam ember yang telah disiapkan, sebanyak satu bibit per ember. Pupuk urea, SP36 dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea 250 kgha, 0.6 g SP36 100 kgha dan 1.5 g KCl 150 kgha per ember, sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor Sugiyanta, 2008. Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam, dan sisa urea diberikan pada empat minggu setelah tanam. Penyiraman dilakukan setiap 2-3 hari atau ketika air di permukaan tanah mulai mengering, penambahan air dilakukan sampai ketinggian air sekitar 5 cm. Pemeliharaan dilakukan secara intensif, dan insektisida diberikan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu. Panen dilakukan saat 80 bulir pada malai berwarna kuning. Setelah panen tanaman utama, dilakukan pemotongan setinggi 10 cm dari permukaan tanah, kemudian dilakukan penggenangan air dengan ketinggian 5 cm. Pupuk urea, SP- 36 dan KCl diberikan sebanyak setengah dosis tanaman utama, dua hari setelah panen. Tunas dianggap sebagai anakan ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun yang telah membuka sempurna. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Agronomi Tanaman Utama dan Ratun Pada fase vegetatif tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman utama, berkisar antara 125.7-140.0 cm dan 24.7-33.7 anakan untuk varietas hibrida; dan 108.3-141.7 cm dan 16.7-32.7 anakan untuk varietas inbrida. Pada ratun, tinggi tanaman berkisar antara 64.7-95.3 cm dan jumlah anakan produktif 6.7-26.0 untuk varietas hibrida; dan 52.5-105.3 cm dan 5.5-13.3 untuk varietas inbrida. Hasil analisis menunjukkan kedua karakter tesebut tidak berbeda nyata pada semua varietas, kecuali varietas Hipa-6 dan Ciherang Tabel 8. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ratun varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida, yang keduanya lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Kondisi ini mungkin disebabkan perbedaan jumlah asimilat yang tersisa pada tunggul setelah panen tanaman utama. Jika cadangan asimilat tinggi dan tunggul bekas panen tetap vigor, maka tunas-tunas ratun akan muncul menjadi anakan ratun. Sebaliknya jika cadangan asimilat rendah atau kurang, pertumbuhan anakan akan terhambat dan perlu diberikan tambahan hara untuk memacu pertumbuhan tunas ratun. Islam et al. 2008 menyebutkan pemupukan pada tanaman utama dan ratun merupakan suplai hara bagi tanaman yang memacu perumbuhan tunas ratun. Ini sejalan dengan yang dilaporkan Dobermann and Fairhurst 2000, pupuk N dapat memacu pertumbuhan vegetatif, terutama tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif. Terkait dengan varietas hibrida dan inbrida Yang et al. 1999 menyebutkan total N yang diserap oleh anakan padi varietas hibrida lebih besar dibandingkan varietas inbrida. Sekitar 15-20 dari total N yang diakumulasikan pada tanaman diserap oleh padi varietas hibrida, sedangkan varietas inbrida hanya menyerap 6-7 dari total N yang diakumulasikan pada tanaman. Tanaman Ratun Hibrida Hipa-3 92.0 ab 11.7 bcd 18.7 ab 113.0 ab 65.3 b 42.2 ab 18. Hipa-4 85.0 abc 26.0 a 19.7 ab 140.3 ab 124.7 ab 11.2 b 18. Hipa-5 74.7 abc 19.7 ab 20.3 ab 176.0 ab 141.3 ab 19.7 ab 15. Hipa-6 64.7 c 6.7 d 14.0 b 75.3 b 62.0 b 17.7 b 20. Maro 95.3 ab 18.7 abc 19.3 ab 98.0 ab 87.7 ab 10.5 b 18. Rokan 89.0 abc 15.7 bcd 22.7 a 203.0 a 193.0 a 4.9 b 21. Inbrida Batanghari - - - - - - - - - - - - - Ciherang 52.5 c 6.0 d 18.5 ab 209.0 a 108.0 ab 48.3 a 18. IR42 70.5 abc 5.5 d 15.5 b 147.5 ab 99.0 ab 32.9 ab 15. Margasari 105.3 a 9.0 cd 25.0 a 173.3 ab 101.7 ab 41.3 ab 19. Mekongga 76.0 abc 13.3 bcd 22.3 a 97.7 ab 44.3 b 54.6 ab 19. Sintanur 74.0 abc 6.5 d 14.5 b 206.5 a 138.5 ab 32.9 ab 20. Tanaman Utama Hibrida Hipa-3 128.0 ab 24.7 ab 30.0 a 256.3 abcd 163.3 ab 36.4 abcd 82. Hipa-4 133.0 ab 33.7 a 28.0 ab 253.7 abcd 165.3 ab 47.6 ab 80. Hipa-5 128.7 ab 27.3 ab 28.2 ab 289.7 ab 155.0 ab 46.5 a 78. Hipa-6 135.3 ab 30.0 ab 29.9 a 314.0 a 193.3 a 38.4 ab 83. Maro 125.7 ab 29.3 ab 30.3 a 264.7 abc 158.7 ab 40.1 abc 81. Rokan 140.0 a 32.7 a 30.1 a 234.7 abcd 132.0 abc 43.9 abcd 82. Inbrida Batanghari 127.3 ab 32.3 a 25.7 ab 187.0 bcde 92.0 bc 50.8 abcd 73. Ciherang 119.0 bc 25.7 ab 27.4 ab 106.7 e 53.8 c 49.7 de 81. IR42 141.7 a 27.0 ab 26.5 ab 194.7 bcde 112.3 abc 42.5 cde 81. Margasari 126.0 ab 21.7 ab 26.2 ab 177.3 bcde 114.3 abc 19.4 e 84. Mekongga 108.3 c 16.7 b 24.5 b 152.0 cde 93.2 bc 38.6 cde 80. Sintanur 127.0 ab 21.0 ab 30.7 a 147.3 de 113.3 abc 23.3 e 89. Ket : - = tidak menghasilkan ratun. Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 . Panjang malai dan jumlah gabah isi tanaman utama varietas hibrida berkisar antara 28.0-30.3 cm dan 132.0-193.3 butir. Hipa-6 merupakan varietas yang memiliki jumlah gabah terbanyak dalam kelompok hibrida yaitu 193.3 butir. Hasil analisis menunjukkan baik panjang malai maupun jumlah gabah isi dari semua varietas hibrida tidak berbeda nyata. Demikian juga dengan varietas inbrida yang menghasilkan panjang malai antara 24.5-30.7 cm, dan jumlah gabah isi antara 53.8-114.3 butir. Pada kelompok inbrida Ciherang memiliki jumlah gabah isi yang paling rendah yaitu 53.8 butir. Jumlah gabah total dan jumlah gabah isi tanaman utama varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida. Hasil analisis kedua karakter ini tidak berbeda nyata, baik varietas hibrida maupun inbrida tanaman utama dan ratun. Ratun varietas hibrida Rokan menghasilkan jumlah gabah isi setara dengan jumlah gabah isi tertinggi pada tanaman utama yang dihasilkan Hipa-6, dan melebihi jumlah gabah isi tanaman utamanya sendiri. Hasil ini diduga berhubungan dengan jumlah asimilat yang dihasilkan dari proses fotosintesis, yang ditranslokasikan ke bagian pengisian biji yang turut menentukan jumlah gabah isi. Menurut Ai-Zhong et al. 2007 sekitar 65-80 dari hasil fotosintesis daun didistribusikan ke ruas kedua dan ketiga ratun, yang berkorelasi positif dengan hasil dan komponen hasil ratun. Nakano et al. 1997 juga melaporkan secara fisiologi padi varietas hibrida memiliki sourse dan sink yang besar, sistem perakaran yang kuat, dan kemampuan menghasilkan biomassa tinggi, sehingga kandungan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan tinggi. Umur berbunga tanaman utama varietas hibrida dan inbrida berkisar antara 73.7 – 89.0 hari dan tidak berbeda nyata antar varietas, kecuali varietas Batanghari dengan umur terpendek yaitu 73.7 hari. Demikian juga dengan umur berbunga ratun yang tidak berbeda nyata, baik hibrida maupun inbrida. Umur berbunga ratun lebih cepat dibandingkan tanaman utama yaitu 15.5-21.0 hari setelah penen tanaman utama. Pada ratun bunga dapat muncul bersamaan dengan keluarnya daun, terutama pada tinggi pemotongan yang lebih tinggi, sehingga umur berbunga mencapai 50 sangat cepat. Kondisi ini terkait dengan fase pertumbuhan ratun yang tidak melewati fase vegetatif Vergara 1995. Umur panen tanaman utama varietas hibrida dan inbrida tergolong genjah yaitu berkisar antara 104.3 – 110.3 hari dan tidak berbeda nyata antar varietas. Secara umum umur penen ratun lebih pendek dibandingkan tanaman utama. Umur panen ratun varietas hibrida lebih pendek dibandingkan inbrida, dan berbeda nyata antar varietas Tabel 8. Rata-rata selisih antara umur berbunga dan umur panen adalah 24 hari untuk tanaman utama dan 47 hari untuk ratun. Dalam pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benihbibit dikenal tiga fase yang salah satunya adalah fase pematangan, yaitu fase pertumbuhan tanaman padi, dimulai dari pembungaan hingga panen. Fase ini umumnya berlangsung selama 30 hari dan relatif sama untuk setiap varietas Vergara 1995. Pada tanaman utama hal ini tampak terjadi, walaupun terdapat perbedaan waktu enam hari, namun tidak berbeda nyata. Pada tanaman ratun, rata-rata selisih antara umur berbunga dan umur panen semua varietas mencapai 47 hari atau lebih panjang 1.5 kali dari tanaman utama. Hal ini diduga terjadi karena bagian tanaman yang berhubungan langsung dengan proses fotosintesis terbatas. Jumlah daun ratun lebih sedikit 2-4 daun dan lebih kecil serta batang yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama. Akibatnya jumlah karbohidrat tersedia yang diperlukan untuk pengisian biji ratun kurang. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyempurnakan pengisian biji tanaman ratun. Kondisi demikian berhubungan juga dengan bobot gabah isi 1000 butir dan bobot gabah per rumpun hasil tanaman ratun yang lebih kecil dibandingkan tanaman utama. Rata-rata bobot gabah isi 1000 butir tanaman utama adalah 21.1 g untuk varietas hibrida dan 21.3 g untuk varietas inbrida. Nilai ini tidak berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan rata-rata bobot 1000 butir ratun, yang hanya 16.4 g, baik untuk varietas hibrida maupun inbrida. Bobot 1000 butir tanaman utama berbeda nyata antar varietas. Rata-rata bobot gabah per rumpun hasil varietas hibrida lebih tinggi hingga 57.2 dibandingkan varietas inbrida, dan berbeda nyata antar varietas. Tingginya perbedaan yang dihasilkan antara varietas hibrida terhadap inbrida, diduga berhubungan dengan karakter lain yang juga meningkat, seperti jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi. Tingginya respon varietas hibrida terhadap pemupukan mungkin turut memacu aktivitas ratun dalam pembentukan anakan, meningkatkan jumlah gabah bernas dan berat biji, sekaligus menekan gabah hampa. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung dengan komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan. Untuk menghasilkan ratun yang baik, maka pemupukan tidak hanya diberikan terhadap tanaman utama, tetapi juga pada tanaman ratun Zhao-wei et al. 2003. Studi lain menyatakan bahwa hanya N yang secara nyata berpengaruh terhadap penampilan tanaman ratun McCauley et al. 2003. Pemberian N dapat meningkatkan rumpun dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun serta hasil tanaman ratun De Datta dan Bernasor 1988. Kemampuan Menghasilkan Ratun Dari 12 genotipe yang diuji, berdasarkan pengamatan visual diperoleh delapan varietas padi yang mampu menghasilkan ratun dengan baik. Ini terlihat dari pertumbuhan yang seragam dan perkembangan tunas yang baik, dimana setiap tunas yang muncul akan menghasilkan sedikitnya dua daun per anakan ratun. Dari observasi, semua ulangan mampu menghasilkan ratun konsisten. Ke-8 varietas tersebut terdiri enam varietas hibrida Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5 Ceva, Hipa-6 Jete, Maro, Rokan dan dua varietas inbrida Mekongga dan Margasari. Sebanyak tiga varietas tergolong berpotensi ratun sedang masing-masing dua ulangan mampu menghasilkan ratun yaitu : Ciherang, IR42, dan Sintanur. Satu varietas berpotensi menghasilkan ratun kurang atau mengalami kematian setelah panen tanaman utama tidak muncul anakan ratun yaitu varietas Batanghari. Walaupun dari pengamatan langsung terdapat varietas yang mengalami kematian, namun dalam analisis berdasarkan karakter hasil dari tanaman utama dan ratun Tabel 9 tetap dimasukkan. Selanjutnya ditentukan produksi relatif dan produksi riil agar diperoleh klaster varietas padi yang memiliki potensi menghasilkan ratun tinggi, sedang dan rendah. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan tiap varietas dalam menghasilkan ratun. Enam varietas dengan kriteria potensi ratun tinggi, yaitu Ciherang, Hipa-4, Hipa-5, Maro, Rokan dan Sintanur. Tiga varietas tergolong potensi ratun sedang yaitu Hipa-3, Margasari dan Mekongga. Tiga varietas tergolong potensi ratun rendah yaitu Hipa-6, Batanghari dan IR42. Untuk pengujian lebih lanjut di lapangan, dipilih dua varietas yang hasil tanaman utama dan ratunnya seimbang. Selain itu berdasarkan pengamatan langsung menghasilkan ratun secara konsisten yaitu varietas Hipa-5 dan Rokan Tabel 9. Tabel 9. Kriteria hasil ratun berdasarkan bobot gabah per rumpun. Kelompok Genotipe Hasil tan utama g Hasil tan ratun g hasil ratun thd utama Kriteria Hasil Relatif Riil Hibrida Hipa-3 60.10 13.50 22.46 R T Hipa-4 35.00 53.10 151.71 T T Hipa-5 59.30

45.00 75.89