Otonomi Daerah Menurut UU No.1 Tahun 1957

ketatanegaraan pemerintahan daerah dalam lingkungan wilayah Indonesia Timur dengan bentuk NKRI. Dengan latar belakang tujuan tersebut, pembentukan UU NIT no.44 tahun 1950 dengan segala materi muatannya hanya mengambil oper dari UU no.22 tahun 1948 dengan segala penyesuaiannya. Praktis bahwa isi UU NIT tersebut sama dengan UU no.22 tahun 1948, kecuali hal-hal seperti : 1. Susunan dan penamaan daerah. UU NIT no.44 tahun 1950memungkinkan susunan terdiri atas 2 atau 3 tingkatan tidak harus 3 tingkatan dengan nama-nama : Daerah, daerah Bagian, Daerah Anak Bagian. 2. Sebutan resmi untuk DPD adal Dewan Pemerintahan dan keanggotaannya diambil dari bukan anggota DPRD, demi memperoleh tenaga-tenaga ahli. 3. Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk UU no.22 tahun1948 menetapkan 5 tahun. Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung didalam UU no.22 tahun 1948, yang diambil oper ke dalam UU NIT no.44 tahun 1950, beberapa prinsip dapat dicatat sebagai berikut : 1. Upaya menghilangkan sifat dualistik didalam UU no.1 tahun 1945 2. Hanya ada satu pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom 3. Titik berat otonomi pada desa 4. Keinginan menghapuskan lembaga dan fungsi pemongpraja 5. Penyerahan urusan pemerintahan sebanyak-banyaknya kepada daerah

2.2.5. Otonomi Daerah Menurut UU No.1 Tahun 1957

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 131-133 UUDS 1950, pada hakikatnya UU no.1 tahu 1957 memuat hal pokok, yaitu : 1. Di daerah-daerah besar dan kecil hanya akan ada satu bentuk susunan pemerintah, yaitu yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri sebagai daerah otonom. 2. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. UUDS 1950 sebagaimana UUD 1945, telah meletakkan suatu prinsip bahwa pemerintah daerah harus disusun dengan memperhatikan dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam system pemerintahan Negara. Pemerintahan daerah harus disusun dengan memperhatikan demokrasi, artinya membuka kemungkinan seluas mungkin bagi partisipasi rakyat daerah dalam membangun daerahnya. Mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya adalah tetap dalam kerangka kesatuan republik Indonesia, maka walaupun seluas-luasnya tetap dalam pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pusat demi keutuhan Negara Kesatuan. Dari sudut pandang hukum, pembatasan otonomi seluas- luasnya akan menjelman dalam rumusan peraturan yang : 1. Memberikan wewenang kepada pusat untuk setiap saat menentukan urusan-urusan pemerintah yang menjadi wewenangnya. 2. Memberikan wewenang kepada pusat untuk menarik kembali atau mengalihkan urusan rumah tangga daerah menjadi urusan pusat. 3. Memberikan wewenang untuk menolak hasrat suatu pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah tertentu. 4. Memberikan wewenang kepada pusat untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan daerah baik preventif, represif, maupun dalam bentuk-bentuk pengawasan lainnya. Keempat hal itu adalah pembatasan eksterb yang dating dari pemerintahan pusat, sedangkan pembatasan intern yang dating dari pemerintahan otonom itu sendiri self restraint sekurang-kurangnya ada dua macam, yaitu : 1. Kemampuan ekonomi daerah, khususnya keuangan daerah. 2. Kemampuan sumber daya manusia tenaga baik pemerintah daerah maupun rakyat di daerah yang bersangkutan. Semua pembatasan otonomi seluas0luasnya itu tentu saja mempunyai nilai spiritual dibaliknya sebagai makna pemberian otonomi seluas-luasnya. Sekurang-kurangnya ada tiga nilai spiritual makna yang terkandung dibalik pemberian otonomi seluas-luasnya adalah : 1. Dari aspek histori pemerintahan Indonesia, dasar dan kebijakan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah dipandang sebagai reaksi terhadap otonomi yang sangat sempit pada masa penjajahan. 2. Dari aspek paham kerakyatan, otonomi seluas-luasnya adalah cara untuk member kesempatan seluang mungkin bagi rakyat setempat mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya, yang sudah dapat diduga bahwa kepentingan yang bercorak local cukup luas, sehingga harus diberi otonomi yang luas, atau bahkan seluas-luasnya. 3. Dari aspek kebhinekaan, bahwa NKRI bersifat pluralistic dalam berbagai segi keyakinan, budaya, kemasyarakatan yang menampilkan perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan cara pemuasannya. Perbedaan-perbedaan itu hanya dapat dilayani melalui otonomi yang luas atau seluas-luasnya. UU no.1 tahun 1945 menggunakan sistem rumah tangga formal, UU no.22 tahun1948 menggunakan sistem rumah tangga materiil, maka UU no.1 tahun 1957 ,menggunakan sistem rumah tangga nyata. Sistem ini dipandang lebih sesuai untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan UUDS 1950. Dalam hal ini pembentukan undang-undang memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1. Sebagai perbaikan terhadap sistem rumah tangga yang pernah digunakan oleh undang-undang yang lalu. 2. Sistem rumah tangga nyata memberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk negara Indonesia yang majemuk karena isi otonomi daerah didasarkan pada kenyataan yang ada. 3. Sistem rumah tangga nyata mengandung di dalamnya “kelenturan terkendali”. Daerah-daerah dapat mengembangkan otonomi seluas- luasnya tanpa mengurangi pengendalian baik dalam rangka bimbingan maupun untuk menjaga keutuha negara kesatuan.

2.2.6. Otonomi Daerah Menurut Panpres No.6 Tahun 1959 dan Panpres No.5