Otonomi Daerah Menurut Panpres No.6 Tahun 1959 dan Panpres No.5 Otonomi Daerah Menurut UU no.18 Tahun 1965

2. Dari aspek paham kerakyatan, otonomi seluas-luasnya adalah cara untuk member kesempatan seluang mungkin bagi rakyat setempat mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya, yang sudah dapat diduga bahwa kepentingan yang bercorak local cukup luas, sehingga harus diberi otonomi yang luas, atau bahkan seluas-luasnya. 3. Dari aspek kebhinekaan, bahwa NKRI bersifat pluralistic dalam berbagai segi keyakinan, budaya, kemasyarakatan yang menampilkan perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan cara pemuasannya. Perbedaan-perbedaan itu hanya dapat dilayani melalui otonomi yang luas atau seluas-luasnya. UU no.1 tahun 1945 menggunakan sistem rumah tangga formal, UU no.22 tahun1948 menggunakan sistem rumah tangga materiil, maka UU no.1 tahun 1957 ,menggunakan sistem rumah tangga nyata. Sistem ini dipandang lebih sesuai untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan UUDS 1950. Dalam hal ini pembentukan undang-undang memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1. Sebagai perbaikan terhadap sistem rumah tangga yang pernah digunakan oleh undang-undang yang lalu. 2. Sistem rumah tangga nyata memberikan peluang pelaksanaan otonomi luas untuk negara Indonesia yang majemuk karena isi otonomi daerah didasarkan pada kenyataan yang ada. 3. Sistem rumah tangga nyata mengandung di dalamnya “kelenturan terkendali”. Daerah-daerah dapat mengembangkan otonomi seluas- luasnya tanpa mengurangi pengendalian baik dalam rangka bimbingan maupun untuk menjaga keutuha negara kesatuan.

2.2.6. Otonomi Daerah Menurut Panpres No.6 Tahun 1959 dan Panpres No.5

Tahun 1960 Akibat dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, maka diadakan pula penyesuaian susunan pemerintahan daerah dengan susunan menurut UUD 1945. Dalam rangka itu, sekaligus dilakukan pula penyempurnaan terhadap UU no.1 tahun1957, melalui penetapan Presiden no.6 tahun 1959 tanggal 7 November 1959 tentang pemerintahaan daerah. Berdasarkan penpres tersebut, penyempurnaan dilakukan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu : 1. Menghilangkan dualisme pemerintahan didaerah antara aparatur dan fungsi otonomi serta aparatur dan fungsi ke pamongprajaan. 2. Memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah Mengenai pengendalian, atau campur tangan pusat terhadap daerah, dilakukan melalui hal-hal berikut : 1. Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah 2. Kepala daerah sebagai alat pusat diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan DPRD jika dipandang bertentangan dengan GBHN, kepentingan umum, dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. 3. Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk daerah tingkat I dan menteri tingkat II. Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas persetujuan Presiden dapat juga mengangkat kepala daerah diluar calon-calon yang diajukan oleh DPRD.

2.2.7. Otonomi Daerah Menurut UU no.18 Tahun 1965

UU no.18 tahun 1965 hampir seluruhnya meneruskan ketentuan- ketentuan yang terdapat didalam Penpres no.6 tahun 1959 dan Penpres no.5 tahun1960. Kepala Daerah menurut UU no.18 tahun 1965 tidak lagi karena jabatannya adalah ketua DPRD. Sebagai gantinya ditentukan bahwa “pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas mempertanggungjawabkannya kepada Kepala Negara” pasal8. Kepala Daerah dalam hal ini adalah sebagai alat pusat. Demikian pusat sepenuhnya mengendalikan daerah. Selain itu, terdapat juga persamaan antara UU no.1 tahun 1957 dangan UU no.18 tahun 1965, antara lain : 1. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah 2. Sistem rumah tangga nyata. UU no.18 tahun 1965 tetap menghendaki otonomi daerah dilaksanakan dengan sistem rumah tangga nyata, oleh karena itu hampir seluruh penjelasan UU no.1 tahun 1957 tentang otonomi nyata dipindahkan menjadi penjelasan UU no. 18 tahun 1965 3. Hanya ada satu macam susunan pemerintahan di daerah, yaitu daerah otonom. Bahkan ditegaskan pula bahwa sebutan Provinsi, kabupaten, kecamatan, kotapraja, kotaraja, kotamadya bukan merupakan perwujudan suatu wilayah administratif. Ini berarti UU no.18 tahun 1965 hanya menghendaki satu susunan pemerintah daerah, yaitu hanya daerah otonom, tidak ada wilayah administratif.

2.2.8. Otonomi Daerah Menurut UU No.5 Tahun 1974