Volatilitas dan disparitas harga beras: studi di negara indonesia, india, dan dunia
VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERAS
STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Volatilitas dan
Disparitas Harga Beras: Studi di Negara Indonesia, India dan Dunia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Silvia Sari Busnita
NIM H14100019
ABSTRAK
SILVIA SARI BUSNITA. Volatilitas dan Disparitas Harga Beras: Studi di
Negara Indonesia, India, dan Dunia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.
Isu kerawanan pangan yang melanda dunia pasca krisis global 2008 lalu
membuat fluktuasi harga pangan khususnya padi-padian melonjak tajam. Pada
komoditi beras, fluktuasi harga bahkan terjadi pada beberapa negara produsen utama.
Padahal komoditas ini masih jarang digunakan barang substitusinya dan dikonsumsi
oleh separuh penduduk dunia. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
volatilitas serta disparitas harga beras yang terjadi Indonesia, India, dan dunia serta
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data time-series bulanan dari tahun 2007:1 sampai
2013:12. Metode yang digunakan untuk menganalisis volatilitas harga beras adalah
ARCH-GARCH, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan
metode VECM. Hasil analisis volatilitas menunjukkan bahwa harga beras Indonesia
dan harga beras dunia merupakan variabel ekonomi yang volatil dan bervariasi
antarwaktu (time varying) dengan disparitas harga setiap tahunnnya. Namun tidak
untuk negara India. Hasil estimasi VECM menunjukkan pada jangka panjang variabel
yang signifikan mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia adalah dari sisi
supply, yaitu cadangan beras domestik, produksi padi, dan harga beras domestik,
sedangkan harga beras dunia berpengaruh signifikan pada jangka pendek.
Kata kunci: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparitas, harga-beras, VECM (Vector Error
Correction Model), volatilitas
ABSTRACT
SILVIA SARI BUSNITA. Price Volatility and Disparity of Rice Market: Case
Study in Indonesia, India, and the World. Supervised by RINA OKTAVIANI.
Food security issue after 2008 global-crisis mainly affect the fluctuations of
food price, especially on the major grain price from all over the world in the last few
years. Even for the rice-commodity, the price hikes also occur in some of the
country's major producers. Although the rice itself is still consumed by half of the
world's population. Hence, the purpose of this research is to identify the volatility and
disparity of the rice price in Indonesia, India, and the world market, as well as to
analyze the affecting factors of the rice price volatility in Indonesia case. By applying
monthly time-series data from 2007 to 2013, this research used the ARCH-GARCH
model to identify the rice-price volatility, while the VECM model is used to analyze
the affecting factors of it. The results show that Indonesia and the world rice-price are
volatile, time-varying variables, with the disparity per years. As for India, the result
found that no volatility in Indian rice-price. The VECM estimation result shows that
on the long-run the supply side significantly affect Indonesia's rice-price volatility,
which are domestic rice-stock, paddy-production, and domestic rice-price. While on
the short-run world rice-price variable also influenced Indonesia's rice-price volatility.
Keywords: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparity, rice-price, VECM (Vector Error
Correction Model), volatility
VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERAS
STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara Indonesia,
India dan Dunia
Nama
: Silvia Sari Busnita
NIM
: H14100019
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah analisis harga
komoditas, dengan judul Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara
Indonesia, India, dan Dunia.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai macam pihak, dan
untuk itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Orangtua penulis (ayahanda Bustanul, SH dan ibunda Ir. Rara Yunita) dan adikadik tersayang (M. Iqbal Busra, Diazan Fajar Busra, Silvina Fitria Sari Busnita,
Silvani Nur Annisa Sari Busnita) serta keluarga besar Suwarno Sutarahardja di
Bogor yang selama ini telah memberikan doa, motivasi, dan kasih sayangnya.
2. Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis selama proses
penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku dosen penguji utama pada ujian sidang
penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini.
4. Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi akademik pada ujian
sidang penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan
saran demi perbaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu staf dari Kementerian Pertanian, BPS, BULOG, Kementerian
Perdagangan, maupun dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) yang telah membantu penulis selama ini dalam pengumpulan data.
6. Para dosen, staf, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor atas segala ilmu, bantuan,
dan kerjasamanya selama ini selama menjalani studi.
7. Rekan-rekan satu bimbingan penulis: Nicco Andrian, Dwiki Peni Abimanyu,
Azmal G. Berliansyah, dan Ramdhani Budiman atas kerjasama, motivasi dan
doa selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat penulis di Ilmu Ekonomi 47 (Kusuma Hani Putri, Dara Ayu L.,
Annisa Ramadanti, Fatimah Zachra F., Bramastyo A. Wibowo, M. Fazri, dan
lainnya); maupun teman-teman SUIJI IPB (M.Irfan Fadillah, Ikrom Mustafa,
Naufal Rauf, Fitri Susana, dan lainnya) atas kebersamaan, semangat, bantuan,
dan motivasi selama menjalankan studi.
9. Teman-teman D’Space, Tanoto Foundation IPB, kelas B.10 TPB IPB, IAAS
LC-IPB, serta keluarga Felix House yang juga telah memberikan doa, dukungan
serta semangat kepada penulis dalam menjalankan studi selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis namun tidak bisa disebutkan satu
persatu atas dukungan moral maupun materilnya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Silvia Sari Busnita
-apa yang dari hati, akan sampai ke hati-
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
6
6
Penelitian Terdahulu
14
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
17
METODE PENELITIAN
17
Jenis dan Sumber Data
17
Model Penelitian
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Gambaran Umum Perkembangan Harga Beras
26
Spesifikasi Model ARCH-GARCH untuk Harga Beras
28
Analisis Volatilitas dan Disparitas Harga Beras
29
Analisis Estimasi Model VECM
33
Implikasi Kebijakan Stabilisasi Harga Beras
37
SIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
42
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ringkasan hasil penelitian terdahulu
Variabel yang dipakai dalam penelitian
Hasil uji stasioneritas dan model ARIMA terbaik variabel harga beras
Hasil uji efek ARCH masing-masing variabel
Hasil model ARIMA dan ARCH-GARCH terbaik variabel harga beras
Distribusi subsidi dan luas areal panen India (2008-2009)
Disparitas harga beras per tahunnya
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi VECM pada model volatilitas
Alokasi subsidi dari APBN pada tahun 2007-2013 (miliar rupiah)
15
17
28
28
28
29
31
32
33
38
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perkembangan indeks harga makanan dunia
Sub-indeks harga pangan internasional
Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012
Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri
Pembentukan harga internasional
Perkembangan harga beras dunia bulanan (2007-2013)
Perkembangan harga beras Indonesia bulanan (2007-2013)
Perkembangan harga beras India bulanan (2007-2013)
Volatilitas harga beras dunia tahun 2007-2013
Volatilitas harga beras Indonesia tahun 2007-2013
Skema hubungan antarvariabel berdasarkan uji Granger Causality
Hasil impuls response function (IRF) volatilitas harga beras Indonesia
Hasil FEVD volatilitas harga beras Indonesia
1
2
2
4
9
26
27
27
30
30
32
35
37
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Model peramalan ARIMA (1,1,2) untuk harga beras dunia
Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA (1,1,2)
Model ARCH/GARCH (1,0)
Model peramalan ARIMA (0,1,2) untuk harga beras domestik
Uji efek ARCH model ARIMA (0,1,2)
Model ARCH/GARCH (1,0)
Model peramalan ARIMA (2,1,0) untuk harga beras India
Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA(2,1,0)
Hasil uji stasioneritas masing-masing variabel pada level
Hasil uji stasioneritas nasing-masing variabel pada first difference
Hasil uji selang optimal
Hasil uji stabilitas VAR
Hasil uji kointegrasi
Hasil uji Granger causality
Hasil estimasi VECM
Hasil uji impulse response function (IRF)
Hasil uji forecast error variance decomspositon error (FEVD)
42
42
42
43
43
44
44
45
45
47
50
50
51
52
54
58
60
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isu strategis yang berkembang di dunia pasca krisis global 2008 lalu meliputi
perubahan iklim global, kerawanan pangan, dan krisis energi. Ketiga hal ini sering
disebut dengan problema food, fuel, and financial crisis (3F-crisis) yang melanda
tidak hanya negara berkembang saja, namun juga negara maju. Adanya krisis pangan
dan energi yang saling berkaitan satu sama lainnya ini dikarenakan negara-negara
pengekspor pangan utama cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok
pangan dalam negeri. Akibatnya terjadi kenaikan harga pangan di tingkat konsumen
dunia yang melonjak tajam beberapa tahun terakhir (Gambar 1). Kenaikan harga
pangan ini menjadi beban bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang yang
membelanjakan rata-rata separuh dari pendapatan rumah tangga mereka untuk
makanan, khususnya komoditi serealia (beras, gandum, jagung, dan lain sebagainya).
Data dari FAO (2014) pada Gambar 1 pun menunjukkan bahwa kenaikan indeks
harga makanan dunia ini sebagian besar lebih didominasi oleh kenaikan harga bahan
serealia.
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
1/1993
9/1993
5/1994
1/1995
9/1995
5/1996
1/1997
9/1997
5/1998
1/1999
9/1999
5/2000
1/2001
9/2001
5/2002
1/2003
9/2003
5/2004
1/2005
9/2005
5/2006
1/2007
9/2007
5/2008
1/2009
9/2009
5/2010
1/2011
9/2011
5/2012
1/2013
9/2013
-
Food Price Index
Cereals Price Index
Sumber : FAO, 2014 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan indeks harga makanan dunia
Sejalan dengan hasil laporan Perkembangan Sektor Perdagangan Bank Dunia
(2011) lalu juga menunjukkan bahwa dari beberapa sub-indeks harga pangan
internasional, harga padi-padian adalah yang pertama kali mengalami kenaikan secara
drastis (setidaknya dalam 30 tahun terakhir) selama periode awal krisis 2008 lalu
(Gambar 2). Sedangkan pada keadaan sebelumnya harga komoditas pangan relatif
stabil pasca krisis keuangan Asia dan mencapai titik terendah pada tahun 2000 dan
2001. Namun seiring dengan berkembangnya penggunaan biofuel pada dasawarsa
terakhir, membuat peningkatan permintaan komoditas padi-padian ini tidak hanya
untuk konsumsi langsung masyarakat dunia saja tapi juga bersaing dengan sumber
bahan bakar nabati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga padi-padian
pasca krisis Gobal 2007-2008 lalu lebih disebabkan oleh kenaikan permintaan dunia
yang tidak sepadan dengan total volume produksi dunia. Kenyataan inilah yang pada
akhirnya berujung pada munculnya food & fuel crisis di berbagai negara.
2
Sumber: World Bank, 2011
Gambar 2 Sub-indeks harga pangan internasional
Salah satu komoditas padi-padian yang terkena fluktuasi harga akibat krisis
global adalah beras. Berbeda halnya dengan komoditas jagung dan gandum, beras
memang tidak digunakan untuk memproduksi bahan bakar nabati. Meskipun
demikian, kenaikan harga komoditas padi-padian lain lain telah menyebabkan
pesatnya kenaikan harga beras pada dasawarsa terakhir (WorldBank 2011). Sementara
itu jika dilihat dari segi penawaran, produksi padi (beras) dunia menempati urutan
ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum (FAO 2014). Berikut beberapa
negara produsen beras terbesar dunia pada tahun 2012 (Gambar 3).
250000000
Produksi (Metrik Ton)
Produksi (Int $1000)
200000000
150000000
100000000
50000000
0
Sumber : FAO 2014 (diolah)
Gambar 3 Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar lumbung padi dunia
berasal dari negara-negara Asia dengan posisi Indonesia pada peringkat ketiga setelah
Cina dan India. Negara-negara produsen utama ini juga berpenduduk besar dengan
konsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akibatnya, hanya sebagian kecil
produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (5 - 6% dari total produksi
dunia) dikarenakan tiap negara pun harus memenuhi kebutuhan domestiknya.
Thailand merupakan eksportir padi utama (sekitar 26% dari total padi yang
diperdagangkan dunia) yang diikuti oleh Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%).
Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia? Posisi Indonesia sendiri merupakan
pengimpor beras terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti
oleh Bangladesh (4%) dan Brazil (3%) (Kemendag 2012). Sebagai salah satu negara
3
pengimpor beras terbesar di dunia, konsumsi beras masyarakat Indonesia tercatat
masih cukup tinggi. Hasil survei BPS pada Susenas tahun 2011 lalu menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga secara nasional mencapai 6.18 kg seminggu
atau 139.15 kg per kapita pertahun, sebanyak 96 persen dari total konsumsi
masyarakat Indonesia. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal menurut
standar negara maju yaitu sebesar 80-90 kg per kapita selama setahun.
Pada kasus di negara India misalnya, menurut data dari USDA (2014) India
pada tahun 2012-2013 lalu masing-masing mengekspor sebanyak 9.6 juta ton dengan
produksi tahunannya semenjak pasca krisis 2008 lalu berkisar antara 98- 103 juta ton
beras. Jumlah ekspor ini memang tidak banyak jika dibandingkan dengan Vietnam
maupun Thailand tadi. Namun hal yang patut dilihat disini adalah kemampuan India
dalam mengontrol cadangan berasnya yang pada akhir 2013 lalu mencapai 4 kali dari
yang disyaratkan oleh pemerintahnya dalam Food Security Act India. Kenyataan yang
terjadi di India ini cukup berlawanan dengan Indonesia sendiri. Khususnya dalam hal
penyediaan stok beras dalam negeri yang selalu menjadi perhatian pemerintah kita
ketika menghadapi musim ataupun periode tertentu dalam rangka menjaga kestabilan
harga beras domestik. India sebagai salah satu negara konsumen beras, namun juga
mampu memproduksi padi dalam jumlah yang cukup besar yang membuat stok dalam
negeri bisa melimpah.
Meskipun demikian, jika ditinjau secara umum dari paparan dua negara
produsen utama diatas dapat dirangkum bahwa sesungguhnya pada perdagangan
dunia, pasar beras ini merupakan komoditi yang tipis (sedikit diperdagangkan),
tersegmentasi atas kualitas, ekspornya terkonsentrasi dan sensitif secara politik. Hal
inilah yang menyebabkan pasar beras dunia dan di negara-negara produsen beras
lainnya bersifat labil. Selain juga beras merupakan salah satu bahan pangan utama
yang dikonsumsi oleh hampir separuh penduduk dunia, yaitu sebanyak 476.8 juta ton
pada tahun 2013 (USDA 2014). Beras seperti halnya produk pangan lainnya berperan
strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan keamanan
serta stabilitas politik suatu negara (Timmer 1996). Adanya ketidakstabilan beras baik
dari sisi harga, stok, maupun produksi lambat laun akan mempengaruhi
ketidakstabilan perekonomian, sosial, keamanan dan politik di masing-masing negara,
sehingga terciptanya stabilisasi harga beras merupakan tantangan baik untuk para
pelaku pasar maupun bagi para pengambil kebijakan itu sendiri.
Pasar beras dunia yang tadi dipandang sebagai pasar yang terdistorsi, lemah,
dan berubah-ubah ini terjadi lebih dikarenakan gejolak volatilitas harga beras yang
dialami oleh negara-negara produsen utama beras. Adanya integrasi antara pasar
beras dunia dengan pasar beras domestik di masing-masing negara produsen beras
diduga menjadi faktor utama fluktuasi harga ini. Mengingat adanya potensi dampak
negatif dari fluktuasi harga beras yang sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
rumah tangga maka adalah hal yang penting bagi para pembuat kebijakan untuk
memahami faktor-faktor yang memicu fluktuasi harga dan merumuskan kebijakankebijakan yang dapat memfasilitasi upaya untuk memecahkan gelembung harga
tersebut. Dalam hal ini diperlukan suatu studi analisis volatilitas harga beras di
beberapa negara produsen utama beras dunia dan perbandingannya dengan volatilitas
harga beras dunia itu sendiri.
Perumusan Masalah
Terkait dengan isu diatas, pemerintah di negara maju dan berkembang anggota
WTO (World Trade Organization) sebenarnya telah menyiasati hal ini dengan
berbagai paket perjanjian pertanian yang terangkum semua dalam Agreement on
4
Agriculture (AOA) pasal 6.3 dan 7.2(b) terkait dengan dukungan setiap negara
anggota dalam hal penyediaan makanan pokok tradisional. Isu ini pun menjadi salah
satu bahan diskusi utama yang dibicarakan dalam Ninth Ministerial Conference
negara anggota WTO di Bali 2013 lalu hingga menghasilkan “Paket Bali” yang salah
satunya membahas isu food security dan penanganannya di negara berkembang
(WTO 2014). Misal adanya kewajiban dan support untuk penyediaan stok bahan
pangan pokok (Public Stock Holding for Main Crops) bagi pemerintah di negara
berkembang maupun negara maju yang tujuan akhirnya adalah agar terbebas dari
food security issue ini.
Implikasinya adalah pemerintah dari setiap negara berkembang diperbolehkan
untuk membuat program terkait peningkatan cadangan stok bahan makanan pokoknya
melalui instansi pemerintah (BUMN) yang bertanggungjawab atas kebijakan beras.
Disamping itu, dari segi harga adanya kewajiban diatas juga mengindikasikan bahwa
pemerintah di tiap negara diperbolehkan mengintervensi pasar beras dalam negerinya
apabila terjadi shock terhadap harga beras dunia. Salah satu contoh intervensi
pemerintah pada harga beras adalah pasca krisis tahun 2008 lalu agar dengan
dibukanya impor untuk memenuhi stok dalam negeri (yang kurang mencukupi pada
saat itu) agar kestabilan harga dalam negeri tetap terjaga.
Sumber : Worlbank 2011
Gambar 4 Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri
Masalah muncul ketika adanya intervensi pemerintah di pasar beras tidak
terlalu berdampak signifikan terhadap penciptaan kestabilan harga beras dalam negara
tersebut. Khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu dimana permintaan dunia
akan komoditas padi-padian melonjak tajam yang disusul dengan kenaikan indeks
harga serealia (beras termasuk didalamnya). Pada kasus beberapa negara produsen
utama beras, yaitu Thailand, Vietnam, Indonesia pada periode awal dan periode di
saat krisis 2008 lalu (Gambar 4). Dapat dilihat bahwa ketidakstabilan harga beras
Indonesia mencapai level tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain, baik dengan
negara produsen beras (Thailand dan Vietnam) maupun dengan negara bukan
produsen beras utama dunia (Hongkong). Dari Gambar 4 ini juga tersirat kenyataan
5
bahwa beras pun sebagai komoditas pertanian yang “dilindungi” kestabilan harganya,
menjadi berfluktuatif (volatil) pasca krisis 2008 lalu.
India dan Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen beras utama
yang juga kiranya dapat dijadikan perbandingan untuk melihat seberapa besar
fluktuasi dan disparitas harga beras yang terjadi, khususnya pasca krisis 2008 lalu.
Apalagi posisi Indonesia disamping juga sebagai negara produsen utama beras dunia,
namun di satu sisi juga menjadi salah satu negara pengimpor utama beras. Sementara
India dengan statusnya yang juga sebagai produsen utama beras, dan juga bertindak
sebagai net exporter utama beras. Hal ini menjadi salah satu poin yang diperhatikan
dan sangat menarik bagi peneliti untuk melihat fluktuasi harga beras yang terjadi.
Berbekal latarbelakang diatas dan permasalahan yang ada didalamnya, berikut
dirumuskan hal-hal yang ingin diteliti, yaitu:
1. Bagaimana volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia maupun
dunia pada periode 2007-2013 lalu?
2. Terkait hal tersebut, seberapa besar disparitas harga beras yang terjadi di tiap
Negara per tahunnya?
3. Khusus di Indonesia, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
beras pada periode 2007-2013 lalu?
4. Bagaimana hubungan volatilitas harga beras Indonesia dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya tersebut?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menganalisis volatilitas dan disparitas harga beras. Secara
khusus tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia serta
perbandingannya dengan volatilitas harga beras dunia pada periode penelitian
tahun 2007-2013 lalu.
2. Mengukur seberapa besar tingkat disparitas harga beras Indonesia, India, dan
perbandingannya dengan harga internasional untuk tiap tahunnya.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras
Indonesia serta menganalisis hubungan yang terjadi di antara faktor-faktot
tersebut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
literatur acuan untuk kajian dengan topik serupa di masa yang akan datang.
Sementara bagi pihak pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan, misalnya
dalam hal kebijakan stabilisasi harga beras di masa yang akan datang, ataupun
sebagai bahan pertimbangan di dalam alokasi dana investasi maupun subsidi, serta
perencanaan pembangunan bagi pemerintah pusat dan daerah. Semoga penelitian ini
pun bisa bermanfaat pula sebagai bahan bacaan tambahan bagi masyarakat dan umum.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India,
Indonesia dan dunia, sertta faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras
6
untuk kasus Indonesia. Variabel harga beras yang dipakai merupakan rata-rata harga
bulanan dengan periode waktu tahun 2007-2013 lalu. Periode waktu penelitian ini
diambil khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu seiring dengan melonjak
tajamnya harga padi-padian dunia. Metode analisis ekonometrika yang digunakan
untuk mengukur volatilitas harga beras adalah ARCH-GARCH (Autoregressive
Conditional
Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive
Condtional
Heterescedasticity). Sementara itu metode VECM (Vector Error Correction Model)
digunakan untuk melihat kointegrasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas
harga beras Indonesia selama periode waktu penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Harga
Pada dasarnya, harga merupakan sinyal utama yang mengarahkan keputusan
para pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka punya.
Artinya, jika terjadi fluktuasi harga di suatu pasar bersaing sempurna (PPS), dan
dapat segera ditangkap oleh pasar PPS lainnya maka perubahan tersebut dapat
digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan harga, baik bagi produsen
maupun konsumen. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai:
a. Pemberi informasi tentang jumlah komoditas yang sebaiknya dipasok oleh
produsen untuk memperoleh keuntungan maksimum;
b. Penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan
maksimum (Nicholson, 2002).
Menurut teori ekonomi mikro permintaan dan penawaran merupakan dua hal
utama yang mempengaruhi proses terbentuknya harga. Menurut Lipsey et al. (1995),
hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta pada kondisi Pasar Persaingan
Sempurna (PPS) mengikuti suatu hipotesis dasar yang menyatakan bahwa semakin
tinggi harga suatu komoditas maka semakin sedikit jumlah yang diminta, dengan
asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus), dan terjadi sebaliknya.
Sementara itu hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah yang
ditawarkan mengikuti suatu hipotesis dasar ekonomi yang menyatakan bahwa secara
umum, semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar jumlah komoditas
yang ditawarkan dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus) dan
terjadi sebaliknya.
Untuk setiap jenis barang normal dalam suatu perekonomian bersaing, harga
barang memberikan jaminan bahwa penawaran dan permintaan berada dalam
keseimbangan. Harga suatu komoditas di pasar ditentukan oleh kurva permintaan dan
kurva penawaran komoditi tersebut yang saling berpotongan. Pada kondisi tersebut
kuantitas barang yang diminta oleh pembeli sama dengan kuantitas yang ditawarkan
oleh penjual sehingga tercapai kondisi keseimbangan harga pasar (equilibrium price).
Sementara itu, jika terjadi kondisi dimana kuantitas barang yang diminta oleh pembeli
tidak sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual maka harga yang terjadi
pada kondisi tersebut disebut dengan harga disekuilibrium. Adanya kelebihan
permintaan atau penawaran yang terjadi di pasar akan menyebabkan keadaan
disekuilibrium dan harga akan terus berubah sampai kembali ke titik ekuilibrium.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya kelebihan permintaan yang mendorong
harga untuk naik atau kelebihan penawaran yang menyebabkan harga menjadi turun.
7
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun
penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Pada komoditas pangan atau
pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran
(supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih
berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran
yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi
penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Sesuai
dengan teori elastisitas (Nicholson 2002) perubahan penawaran pangan dengan nilai
elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya
fluktuasi harga. Berkaitan dengan peningkatan harga pangan dunia selain karena
faktor spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca
serta gagal panen, peningkatan harga pangan suatu komoditas juga diakibatkan oleh
faktor penawaran dan permintaan yang saling mempengaruhi (Maulani 2013). Faktorfaktor yang memberikan pengaruh pada peningkatan harga komoditas pangan adalah
sebagai berikut:
a. Adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin mendorong permintaan akan
berbagai komoditas;
b. Penggunaan biofuel pada dasawarsa terakhir telah mendorong permintaan
pada berbagai tanaman pangan yang dapat dikonversi menjadi biofuel,
misalnya untuk jagung, gandum, dan lain sebaainya;
c. Adanya respon dari sisi penawaran yang lambat dan adanya keterkaitan di
antara berbagai komoditas,
d. Tingkat suku bunga yang rendah di negara tersebut dan depresiasi nilai US
Dollar.
Teori Transmisi Harga
Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari
keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering
digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan.
Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu
indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga
pangan utama seperti beras merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan
stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga.
Salah satu isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian terkait
bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia
ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan
parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk
memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan
kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara
spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya
direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986).
Istilah transmisi harga secara spasial melihat bagaimana harga pada pasar
yang terpisah secara spasial di suatu negara berhubungan, atau bagaimana harga
domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk
spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa
negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan
lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan
dunia (Chintia 2013). Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia
ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi
pengambil kebijakan. Sementara itu dalam istilah spasial, paradigma klasik dari
hukum satu harga (law of one price) punya pengertian bahwa transmisi harga disebut
8
lengkap pada saat kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada
pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika
dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan
dunia (Krugman dan Obstfled 2005). Model ini memprediksikan bahwa perubahan
pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan, dan
oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan
melalui arbitrase spasial. Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t
sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya
transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi
antara harga tersebut adalah:
P1t = P2t + C
(1)
Kedua pasar dikatakan terintegrasi jika hubungan dua harga terjadi seperti
pada persamaan diatas. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi
terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata
independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan
bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase
spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan
berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah
biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. λ adalah
konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut
diidentifikasikan sebagai berikut:
P2t – P1t = λC
(2)
Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi
arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan
sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of one price), bentuk yang
kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa
hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat
berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan
perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
Teori Harga Internasional
Komoditi beras seperti halnya komoditi pangan lainnya, pada dasarnya
harganya ditentukan dari permintaan dan penawaran dari negara-negara eksportir
(produsen) dan negara-negara importir (konsumen). Harga internasional yang
terbentuk merupakan interaksi dari permintaan dan penawaran masing-masing negara.
Pembentukan harga keseimbangan internasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Salvatore (1997) menjelaskan bahwa harga internasional terbentuk dari harga
domestik negara pengekspor dan pengimpor komoditi. Karena Px/Py lebih besar dari
P1, maka Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi Q (Panel a) sehingga
kurva penawaran ekpornya atau S yang diperlihatkan oleh Panel c mengalami
peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka Negara 2
mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel b) dan ini
mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau Db mengalami
kenaikan (lihat Panel c). Panel c juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga
P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2 akan persis sama
dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara 1. Dengan demikian P2
merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan
di antara kedua negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan
9
terdapat kelebihan penawaran ekpor komoditi X, dalam hal ini akan menurunkan
harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan begerak
mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil dari pada P2, maka
akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan
menaikkan Px/Py sehingga lambat laun akan sama dengan P2.
P /P
x
P /P
y
x
3
E
B’’
Ekspor
P
S
P
S
3
B’
E*
Impor
E’
2
D
*
P
y
Xb
A’
’
a
B
x
b
S
P
P /P
y
D
A
1
Xa D
b
a
0
Keseimbangan di negara 1
(a)
X
0
X
X 0
Keseimbangan internasional
(c)
Keseimbangan di negara 2
(b)
Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 5 Pembentukan harga internasional
Misalkan pada gambar 5 diatas negara 1 adalah Thailand dan negara 2 adalah
Indonesia. Pada kasus komoditi pertanian seperti beras Gambar 5 juga menunjukkan
apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi di pasar Indonesia adalah
P3 dan P1 di pasar Thailand dimana P1 < P3. Pada saat harga beras diatas P1, pasar
Thailand akan mengalami excess supply, sehingga sejumlah ton beras akan tersedia
untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi
kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah P1.
Informasi dari Gambar 5 juga dapat digunakan untuk mengembangkan model
keseimbangan spasial akibat perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan
kurva excess supply dan excess demand.
Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan
faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah
selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga
dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan
bernilai nol pada harga keseimbangan pasar. Kurva excess supply di dasarkan pada
garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar negara 1 (Thailand)
pada harga diatas titik keseimbangan (titik B dikurang titik E, yang ditunjukkan oleh
panel a pada Gambar 5. Grafik yang sama juga digunakan untuk menggambarkan
kurva excess supply (S) yang ditunjukkan panel c. Seperti kurva supply biasa, kurva
excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara
supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga.
Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang
ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat
dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar
negara 2 (Indonesia). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih)
antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar negara 2
10
(titik B’ dikurang titik E’, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 5).
Grafik ini juga menggambarkan kurva excess demand (D) yang ditunjukkan grafik
bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope)
negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat
penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand tadi akan berpotongan
pada harga P2 jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi beras
sebanyak E* dapat dijual dari pasar Thailand ke pasar Indonesia dengan harga
diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar P2. Sedangkan bila biaya transfer dari
pasar beras Thailand ke Pasar beras Indonesia melebihi atau lebih besar dari P1 maka
perdagangan tidak akan terjadi.
Dalam kasus pasar beras pun, kondisi demand dan supply sama di setiap pasar
dan perbedaan harga akan sangat bergantung pula dari biaya transfer. Semakin tinggi
biaya transfer semakin kecil volume beras yang akan diperdagangkan. Perdagangan
beras pun tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi harga beras di
masing-masing negara. Perdagangan beras dalam hal ini akan maksimum pada E*
ketika biaya transfer sama dengan nol. Selain itu adanya restriksi perdagangan seperti
pajak ekspor, maupun tarif impor beras akan meningkatkan biaya transfer yang
menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama
dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga
antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan.
Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua
pasar beras tidak terjadi dan harga beras akan bergerak secara mandiri (independence).
Teori Integritas Pasar
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi pasar
yaitu adalah dengan melakukan analisis integrasi pasar. Melalui analisis integrasi
pasar kita dapat mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga
sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat. Pasar yang
terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung
(Aji, 2010).
Definisi dari integrasi pasar adalah kondisi yang dihasilkan akibat tindakan
pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya
perdagangan meliputi infrastruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, sehingga
menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Adanya
informasi pasar yang mendukung menyebabkan perubahan yang terjadi di suatu pasar
seperti adanya perubahan harga akan ditransmisikan ke pasar lain dengan perubahan
harga. Hal ini dapat digunakan oleh produsen sebagai pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
Berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, integrasi pasar dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu integrasi pasar horizontal (spasial) dan integrasi vertikal.
Integrasi horizontal (spasial) merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu
pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial memiliki konsep
bahwa pasar-pasar yang terpisah secara geografis memiliki keterkaitan harga dimana
harga yang terjadi merupakan pengaruh dari harga di pasar lain yang saling
berinteraksi. Dua pasar dapat dikatakan terintegrasi secara spasial jika diantara lokasi
pasar terjadi perdagangan dan harga pada daerah importir sama dengan harga pada
daerah eksportir ditambah dengan biaya transportasi dan biaya transfer lainnya.
Pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan oleh sebuah proses arbitrase. Jika
perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari biaya transaksi, maka seorang
produsen akan berfikir untuk menghentikan perdagangan. Integrasi pasar vertikal
adalah tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dengan pasar pedagang atau
11
ritel. Pasar produsen adalah pasar dimana penawaran produsen berinteraksi dengan
permintaan dari pedagang. Sedangkan pasar ritel adalah pasar yang merupakan
bertemunya permintaan konsumen akhir dengan penawaran dari pedagang. Suatu
pasar dikatakan terintegrasi vertikal jika harga pada suatu lembaga pemasaran
ditransformasikan ke lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran.
Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan
direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang
sama (Suparmin, 2005). Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada
suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar
yang tidak terintegrasi vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh
nyata terhadap pasar lainnya.
Stabilisasi Harga Pangan
Hubungan positif antara integrasi pasar dan pembangunan ekonomi diterima
secara luas di bidang ekonomi. Menurut argumen neoklasik menyatakan bahwa
ekspansi dan integrasi pasar mengarah pada peningkatan produktivitas melalui
penyebaran biaya tetap, skala ekonomi dan peningkatan division of labour. Akan
tetapi ada hal lain yang membuat pasar yang lebih terintegrasi meningkatkan
pembangunan ekonomi: yaitu melalui stabilisasi harga.
Timmer (1996) menyatakan bahwa 'ketika harga pangan tidak berhasil
distabilkan dan ketahanan pangan belum diwujudkan, maka stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi akan terancam' (1996: 46). Timmer (1989a, 1996) membahas
sejumlah alasan mengapa stabilisasi harga pangan diperlukan (Lihat juga Dawe,
1997).
a. Pertama, harga yang tidak stabil mengakibatkan pelarian investasi dalam
modal fisik. Ketidakstabilan harga berarti bahwa investasi tersebut menjadi
berisiko. Hal ini menyebabkan investasi yang lebih rendah daripada yang
optimal oleh masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh, masyarakat
(khususnya petani) akan mendapatkan keuntungan dari investasi di irigasi
karena itu akan meningkatkan perkembangan teknologi. Namun dengan
adanya fluktuasi harga beras, berinvestasi pada hal ini akan terlalu berisiko
bagi para petani, karena ia tidak yakin akan mendapat untung di masa depan
dari harga yang tak pasti ini.
b. Kedua, ketidakstabilan harga mendorong adanya substitusi tabungan dan
waktu bekerja untuk konsumsi dan rekreasi. Tentu saja hal ini meningkatkan
kesejahteraan di keluarga petani, tetapi pergeseran alokasi waktu dan sumber
daya menjadi tidak optimal bagi pertumbuhan ekonomi.
c. Ketiga, ketidakstabilan harga akan menyebabkan adanya biaya transaksi
dalam realokasi anggaran para konsumen ketika harga berubah. Hal ini sangat
menjadi pertimbangan khususnya bagi konsumen yang tergolong
berpendapatan kecil atau menengah. Misalnya, jika bahan pangan merupakan
20-30 persen dari pengeluaran konsumen, kemudian adanya kenaikan harga
pangan dua kali lipat akan memerlukan realokasi seperempat dari total
pengeluaran konsumen tersebut.
d. Alasan keempat mengapa harga pangan yang tidak stabil dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah hubungannya nanti dengan
variabel makroekonomi. Misalnya, pada awal proses pertumbuhan ekonomi
Indonesia di akhir tahun 1960, beras menyumbang seperempat dari PDB dan
sepertiga dari lapangan pekerjaan. Pada keadaan ekonomi seperti ini, adanya
ketidakstabilan dalam harga beras bisa menjadi penyebab ketidakstabilan
ekonomi makro yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
12
Uuntuk hubungan antara ketidakstabilan ekonomi makro dan pertumbuhan
ekonomi merujuk pada Dawe (1996) dan Barro, Sala-Martin (1995)
e. Terakhir, ketidakstabilan harga mempengaruhi sektor industri. Stabilitas dari
harga upah hanya bisa dicapai jika harga pangan stabil. Ketika hal ini terjadi,
banyak muncul investasi padat karya sebagai peningkatan efisiensi teknologi
di negara dengan upah rendah. Lebih lanjut, jika harga pangan yang stabil
berkontribusi pada lingkungan politik yang stabil di mana investor dapat
membentuk ekspektasi jangka panjang yang aman, peningkatan investasi
secara keseluruhan bisa dicapai.
Volatilitas Harga Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya
Volatilitas (volatility) berasal dari kata volatil (volatile). Istilah ini mengacu
pada kondisi yang berkonotasi tidak stabil, cenderung bervariasi, dan sulit
diperkirakan. Konotasi kuncinya adalah keragaman (variability) dan ketidakpastian
(uncertainty). Volatilitas pada suatu waktu tertentu dapat diurai menjadi dua
komponen yaitu yang perilakunya dapat dipraduga (predictable), dan yang tidak
dapat dipraduga (unpredictable). Secara teoritis bobot relatif masing-masing
komponen itu dapat dikaji (Sumaryanto 2009). Secara umum, volatilitas di pasar
keuangan menggambarkan tingkat risiko yang dihadapi pemodal karena
mencerminkan fluktuasi pergerakan harga saham. Namun Sumaryanto (2009)
menyebutkan bahwa analisis volatilitas harga tidak hanya relevan di pasar uang
ataupun pasar saham, tetapi juga di pasar komoditas lainnya.
Tidak semua variasi dari harga bermasalah, seperti ketika harga bergerak
dengan kecenderungan yang halus dan mapan serta mampu mencerminkan pasar
fundamental atau ketika mereka memperlihatkan pola musiman yang khas dan
terkenal. Tapi variasi harga menjadi bermasalah ketika terjadi variasi yang bergerak
secara fluktuatif dan tidak dapat diantisipasi (unpredictable), sebagai hasilnya dapat
menciptakan tingkat ketidakpastian yang meningkatkan tingkat risiko bagi produsen,
pedagang, konsumen, dan pemerintah dan dapat menyebabkan keputusan yang suboptimal. Variasi harga yang tidak mencerminkan fundamental pasar juga bermasalah
karena dapat menimbulkan pengambil keputusan yang salah (FAO 2011). Volatilitas
pada dasarnya terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Transitory Volatility, artinya Volatilitas yang sifatnya sementara karena
adanya ketidakseimbangan arus order, seperti terjadi kepanikan pasar,
ekspektasi
b. Fundamental Volatility, artinya volatilitas yang disebabkan karena faktor
fundamental seperti adanya kegagalan panen.
Berdasarkan sumber terjadinya volatilitas diatas, dapat diketahui bahwa
volatilitas harga beras pada umumnya berjenis fundamental volatility, artinya bahwa
fluktuasi harga beras ini tidakstabil antarmusim, yaitu pada musim panen dan musim
paceklik, maupun tidakstabil antartahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan
atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif
sulit diramalkan.
Adanya fluktuasi (volatilitas) harga beras seringkali lebih merugikan petani
daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya
untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem
tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki
kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Selain itu, ketidakstabilan harga
tersebut juga dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya
memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping juga akan berakibat luas
pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga
13
menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap
gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk
domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1)
pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta
asing.
Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan
permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson,
2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang
karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk
mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem
tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki
kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen (Chintia, 2013).
Terjadinya ketidakstabilan harga pada komoditi beras, tidak hanya disebabkan
oleh harga beras itu sendiri, namun juga dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti :
(a) Adanya ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik
yang membuat produksi padi dalam negeri pun juga berfluktuasi; (b) Adanya
ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim (suhu) seperti kekeringan atau
kebanjiran; (c) Adanya fluktuasi harga beras di pasar internasional yang relatif sulit
diramalkan; (d) Pendapatan per kapita juga merupakan faktor lain yang menentukan
diferensial harga. Ini berkaitan dengan perbedaan kualitas komoditas yang
dikonsumsi oleh rumah tangga dengan berbagai tingkat pendapatan. Jika rumah
tangga yang lebih kaya membeli produk-produk yang lebih berkualitas maka hargaharga yang mencerminkan jenis produk akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga
produk yang dibeli oleh rumah tangga yang relatif lebih miskin. Dalam hal pasar
beras di Indonesia, adanya program Raskin, yang digunakan oleh BULOG untuk
mendistribusikan beras berkualitas rendah kepada rumah tangga miskin dengan harga
subsidi, juga mempunyai dampak terhadap diferensial harga. Program ini
meningkatkan pasokan beras berkualitas rendah ke pasaran di mana jumlah penduduk
miskin lebih tinggi dan, akibatnya, pendapatan per kapita rata-rata lebih rendah
sehingga menurunkan harga beras; (e) Kondisi cadangan beras pemerintah (CBP)
masing-masing negara maupun (f) adanya restriksi perdagangan seperti tariff impor
yang secara langsung akan mempengaruhi harga beras impor maupun volume beras
yang diimpor oleh suatu negara. Sementara itu, menurut laporan WorldBank (2011)
fakto-faktor penyebab utama volatilitas harga pangan seperti beras umumnya
dipengaruh
STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Volatilitas dan
Disparitas Harga Beras: Studi di Negara Indonesia, India dan Dunia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Silvia Sari Busnita
NIM H14100019
ABSTRAK
SILVIA SARI BUSNITA. Volatilitas dan Disparitas Harga Beras: Studi di
Negara Indonesia, India, dan Dunia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.
Isu kerawanan pangan yang melanda dunia pasca krisis global 2008 lalu
membuat fluktuasi harga pangan khususnya padi-padian melonjak tajam. Pada
komoditi beras, fluktuasi harga bahkan terjadi pada beberapa negara produsen utama.
Padahal komoditas ini masih jarang digunakan barang substitusinya dan dikonsumsi
oleh separuh penduduk dunia. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
volatilitas serta disparitas harga beras yang terjadi Indonesia, India, dan dunia serta
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data time-series bulanan dari tahun 2007:1 sampai
2013:12. Metode yang digunakan untuk menganalisis volatilitas harga beras adalah
ARCH-GARCH, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan
metode VECM. Hasil analisis volatilitas menunjukkan bahwa harga beras Indonesia
dan harga beras dunia merupakan variabel ekonomi yang volatil dan bervariasi
antarwaktu (time varying) dengan disparitas harga setiap tahunnnya. Namun tidak
untuk negara India. Hasil estimasi VECM menunjukkan pada jangka panjang variabel
yang signifikan mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia adalah dari sisi
supply, yaitu cadangan beras domestik, produksi padi, dan harga beras domestik,
sedangkan harga beras dunia berpengaruh signifikan pada jangka pendek.
Kata kunci: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparitas, harga-beras, VECM (Vector Error
Correction Model), volatilitas
ABSTRACT
SILVIA SARI BUSNITA. Price Volatility and Disparity of Rice Market: Case
Study in Indonesia, India, and the World. Supervised by RINA OKTAVIANI.
Food security issue after 2008 global-crisis mainly affect the fluctuations of
food price, especially on the major grain price from all over the world in the last few
years. Even for the rice-commodity, the price hikes also occur in some of the
country's major producers. Although the rice itself is still consumed by half of the
world's population. Hence, the purpose of this research is to identify the volatility and
disparity of the rice price in Indonesia, India, and the world market, as well as to
analyze the affecting factors of the rice price volatility in Indonesia case. By applying
monthly time-series data from 2007 to 2013, this research used the ARCH-GARCH
model to identify the rice-price volatility, while the VECM model is used to analyze
the affecting factors of it. The results show that Indonesia and the world rice-price are
volatile, time-varying variables, with the disparity per years. As for India, the result
found that no volatility in Indian rice-price. The VECM estimation result shows that
on the long-run the supply side significantly affect Indonesia's rice-price volatility,
which are domestic rice-stock, paddy-production, and domestic rice-price. While on
the short-run world rice-price variable also influenced Indonesia's rice-price volatility.
Keywords: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparity, rice-price, VECM (Vector Error
Correction Model), volatility
VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERAS
STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara Indonesia,
India dan Dunia
Nama
: Silvia Sari Busnita
NIM
: H14100019
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah analisis harga
komoditas, dengan judul Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara
Indonesia, India, dan Dunia.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai macam pihak, dan
untuk itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Orangtua penulis (ayahanda Bustanul, SH dan ibunda Ir. Rara Yunita) dan adikadik tersayang (M. Iqbal Busra, Diazan Fajar Busra, Silvina Fitria Sari Busnita,
Silvani Nur Annisa Sari Busnita) serta keluarga besar Suwarno Sutarahardja di
Bogor yang selama ini telah memberikan doa, motivasi, dan kasih sayangnya.
2. Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis selama proses
penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku dosen penguji utama pada ujian sidang
penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini.
4. Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi akademik pada ujian
sidang penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan
saran demi perbaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu staf dari Kementerian Pertanian, BPS, BULOG, Kementerian
Perdagangan, maupun dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) yang telah membantu penulis selama ini dalam pengumpulan data.
6. Para dosen, staf, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor atas segala ilmu, bantuan,
dan kerjasamanya selama ini selama menjalani studi.
7. Rekan-rekan satu bimbingan penulis: Nicco Andrian, Dwiki Peni Abimanyu,
Azmal G. Berliansyah, dan Ramdhani Budiman atas kerjasama, motivasi dan
doa selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat penulis di Ilmu Ekonomi 47 (Kusuma Hani Putri, Dara Ayu L.,
Annisa Ramadanti, Fatimah Zachra F., Bramastyo A. Wibowo, M. Fazri, dan
lainnya); maupun teman-teman SUIJI IPB (M.Irfan Fadillah, Ikrom Mustafa,
Naufal Rauf, Fitri Susana, dan lainnya) atas kebersamaan, semangat, bantuan,
dan motivasi selama menjalankan studi.
9. Teman-teman D’Space, Tanoto Foundation IPB, kelas B.10 TPB IPB, IAAS
LC-IPB, serta keluarga Felix House yang juga telah memberikan doa, dukungan
serta semangat kepada penulis dalam menjalankan studi selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis namun tidak bisa disebutkan satu
persatu atas dukungan moral maupun materilnya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Silvia Sari Busnita
-apa yang dari hati, akan sampai ke hati-
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
6
6
Penelitian Terdahulu
14
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
17
METODE PENELITIAN
17
Jenis dan Sumber Data
17
Model Penelitian
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Gambaran Umum Perkembangan Harga Beras
26
Spesifikasi Model ARCH-GARCH untuk Harga Beras
28
Analisis Volatilitas dan Disparitas Harga Beras
29
Analisis Estimasi Model VECM
33
Implikasi Kebijakan Stabilisasi Harga Beras
37
SIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
42
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ringkasan hasil penelitian terdahulu
Variabel yang dipakai dalam penelitian
Hasil uji stasioneritas dan model ARIMA terbaik variabel harga beras
Hasil uji efek ARCH masing-masing variabel
Hasil model ARIMA dan ARCH-GARCH terbaik variabel harga beras
Distribusi subsidi dan luas areal panen India (2008-2009)
Disparitas harga beras per tahunnya
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi VECM pada model volatilitas
Alokasi subsidi dari APBN pada tahun 2007-2013 (miliar rupiah)
15
17
28
28
28
29
31
32
33
38
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perkembangan indeks harga makanan dunia
Sub-indeks harga pangan internasional
Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012
Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri
Pembentukan harga internasional
Perkembangan harga beras dunia bulanan (2007-2013)
Perkembangan harga beras Indonesia bulanan (2007-2013)
Perkembangan harga beras India bulanan (2007-2013)
Volatilitas harga beras dunia tahun 2007-2013
Volatilitas harga beras Indonesia tahun 2007-2013
Skema hubungan antarvariabel berdasarkan uji Granger Causality
Hasil impuls response function (IRF) volatilitas harga beras Indonesia
Hasil FEVD volatilitas harga beras Indonesia
1
2
2
4
9
26
27
27
30
30
32
35
37
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Model peramalan ARIMA (1,1,2) untuk harga beras dunia
Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA (1,1,2)
Model ARCH/GARCH (1,0)
Model peramalan ARIMA (0,1,2) untuk harga beras domestik
Uji efek ARCH model ARIMA (0,1,2)
Model ARCH/GARCH (1,0)
Model peramalan ARIMA (2,1,0) untuk harga beras India
Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA(2,1,0)
Hasil uji stasioneritas masing-masing variabel pada level
Hasil uji stasioneritas nasing-masing variabel pada first difference
Hasil uji selang optimal
Hasil uji stabilitas VAR
Hasil uji kointegrasi
Hasil uji Granger causality
Hasil estimasi VECM
Hasil uji impulse response function (IRF)
Hasil uji forecast error variance decomspositon error (FEVD)
42
42
42
43
43
44
44
45
45
47
50
50
51
52
54
58
60
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isu strategis yang berkembang di dunia pasca krisis global 2008 lalu meliputi
perubahan iklim global, kerawanan pangan, dan krisis energi. Ketiga hal ini sering
disebut dengan problema food, fuel, and financial crisis (3F-crisis) yang melanda
tidak hanya negara berkembang saja, namun juga negara maju. Adanya krisis pangan
dan energi yang saling berkaitan satu sama lainnya ini dikarenakan negara-negara
pengekspor pangan utama cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok
pangan dalam negeri. Akibatnya terjadi kenaikan harga pangan di tingkat konsumen
dunia yang melonjak tajam beberapa tahun terakhir (Gambar 1). Kenaikan harga
pangan ini menjadi beban bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang yang
membelanjakan rata-rata separuh dari pendapatan rumah tangga mereka untuk
makanan, khususnya komoditi serealia (beras, gandum, jagung, dan lain sebagainya).
Data dari FAO (2014) pada Gambar 1 pun menunjukkan bahwa kenaikan indeks
harga makanan dunia ini sebagian besar lebih didominasi oleh kenaikan harga bahan
serealia.
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
1/1993
9/1993
5/1994
1/1995
9/1995
5/1996
1/1997
9/1997
5/1998
1/1999
9/1999
5/2000
1/2001
9/2001
5/2002
1/2003
9/2003
5/2004
1/2005
9/2005
5/2006
1/2007
9/2007
5/2008
1/2009
9/2009
5/2010
1/2011
9/2011
5/2012
1/2013
9/2013
-
Food Price Index
Cereals Price Index
Sumber : FAO, 2014 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan indeks harga makanan dunia
Sejalan dengan hasil laporan Perkembangan Sektor Perdagangan Bank Dunia
(2011) lalu juga menunjukkan bahwa dari beberapa sub-indeks harga pangan
internasional, harga padi-padian adalah yang pertama kali mengalami kenaikan secara
drastis (setidaknya dalam 30 tahun terakhir) selama periode awal krisis 2008 lalu
(Gambar 2). Sedangkan pada keadaan sebelumnya harga komoditas pangan relatif
stabil pasca krisis keuangan Asia dan mencapai titik terendah pada tahun 2000 dan
2001. Namun seiring dengan berkembangnya penggunaan biofuel pada dasawarsa
terakhir, membuat peningkatan permintaan komoditas padi-padian ini tidak hanya
untuk konsumsi langsung masyarakat dunia saja tapi juga bersaing dengan sumber
bahan bakar nabati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga padi-padian
pasca krisis Gobal 2007-2008 lalu lebih disebabkan oleh kenaikan permintaan dunia
yang tidak sepadan dengan total volume produksi dunia. Kenyataan inilah yang pada
akhirnya berujung pada munculnya food & fuel crisis di berbagai negara.
2
Sumber: World Bank, 2011
Gambar 2 Sub-indeks harga pangan internasional
Salah satu komoditas padi-padian yang terkena fluktuasi harga akibat krisis
global adalah beras. Berbeda halnya dengan komoditas jagung dan gandum, beras
memang tidak digunakan untuk memproduksi bahan bakar nabati. Meskipun
demikian, kenaikan harga komoditas padi-padian lain lain telah menyebabkan
pesatnya kenaikan harga beras pada dasawarsa terakhir (WorldBank 2011). Sementara
itu jika dilihat dari segi penawaran, produksi padi (beras) dunia menempati urutan
ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum (FAO 2014). Berikut beberapa
negara produsen beras terbesar dunia pada tahun 2012 (Gambar 3).
250000000
Produksi (Metrik Ton)
Produksi (Int $1000)
200000000
150000000
100000000
50000000
0
Sumber : FAO 2014 (diolah)
Gambar 3 Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar lumbung padi dunia
berasal dari negara-negara Asia dengan posisi Indonesia pada peringkat ketiga setelah
Cina dan India. Negara-negara produsen utama ini juga berpenduduk besar dengan
konsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akibatnya, hanya sebagian kecil
produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (5 - 6% dari total produksi
dunia) dikarenakan tiap negara pun harus memenuhi kebutuhan domestiknya.
Thailand merupakan eksportir padi utama (sekitar 26% dari total padi yang
diperdagangkan dunia) yang diikuti oleh Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%).
Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia? Posisi Indonesia sendiri merupakan
pengimpor beras terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti
oleh Bangladesh (4%) dan Brazil (3%) (Kemendag 2012). Sebagai salah satu negara
3
pengimpor beras terbesar di dunia, konsumsi beras masyarakat Indonesia tercatat
masih cukup tinggi. Hasil survei BPS pada Susenas tahun 2011 lalu menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga secara nasional mencapai 6.18 kg seminggu
atau 139.15 kg per kapita pertahun, sebanyak 96 persen dari total konsumsi
masyarakat Indonesia. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal menurut
standar negara maju yaitu sebesar 80-90 kg per kapita selama setahun.
Pada kasus di negara India misalnya, menurut data dari USDA (2014) India
pada tahun 2012-2013 lalu masing-masing mengekspor sebanyak 9.6 juta ton dengan
produksi tahunannya semenjak pasca krisis 2008 lalu berkisar antara 98- 103 juta ton
beras. Jumlah ekspor ini memang tidak banyak jika dibandingkan dengan Vietnam
maupun Thailand tadi. Namun hal yang patut dilihat disini adalah kemampuan India
dalam mengontrol cadangan berasnya yang pada akhir 2013 lalu mencapai 4 kali dari
yang disyaratkan oleh pemerintahnya dalam Food Security Act India. Kenyataan yang
terjadi di India ini cukup berlawanan dengan Indonesia sendiri. Khususnya dalam hal
penyediaan stok beras dalam negeri yang selalu menjadi perhatian pemerintah kita
ketika menghadapi musim ataupun periode tertentu dalam rangka menjaga kestabilan
harga beras domestik. India sebagai salah satu negara konsumen beras, namun juga
mampu memproduksi padi dalam jumlah yang cukup besar yang membuat stok dalam
negeri bisa melimpah.
Meskipun demikian, jika ditinjau secara umum dari paparan dua negara
produsen utama diatas dapat dirangkum bahwa sesungguhnya pada perdagangan
dunia, pasar beras ini merupakan komoditi yang tipis (sedikit diperdagangkan),
tersegmentasi atas kualitas, ekspornya terkonsentrasi dan sensitif secara politik. Hal
inilah yang menyebabkan pasar beras dunia dan di negara-negara produsen beras
lainnya bersifat labil. Selain juga beras merupakan salah satu bahan pangan utama
yang dikonsumsi oleh hampir separuh penduduk dunia, yaitu sebanyak 476.8 juta ton
pada tahun 2013 (USDA 2014). Beras seperti halnya produk pangan lainnya berperan
strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan keamanan
serta stabilitas politik suatu negara (Timmer 1996). Adanya ketidakstabilan beras baik
dari sisi harga, stok, maupun produksi lambat laun akan mempengaruhi
ketidakstabilan perekonomian, sosial, keamanan dan politik di masing-masing negara,
sehingga terciptanya stabilisasi harga beras merupakan tantangan baik untuk para
pelaku pasar maupun bagi para pengambil kebijakan itu sendiri.
Pasar beras dunia yang tadi dipandang sebagai pasar yang terdistorsi, lemah,
dan berubah-ubah ini terjadi lebih dikarenakan gejolak volatilitas harga beras yang
dialami oleh negara-negara produsen utama beras. Adanya integrasi antara pasar
beras dunia dengan pasar beras domestik di masing-masing negara produsen beras
diduga menjadi faktor utama fluktuasi harga ini. Mengingat adanya potensi dampak
negatif dari fluktuasi harga beras yang sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
rumah tangga maka adalah hal yang penting bagi para pembuat kebijakan untuk
memahami faktor-faktor yang memicu fluktuasi harga dan merumuskan kebijakankebijakan yang dapat memfasilitasi upaya untuk memecahkan gelembung harga
tersebut. Dalam hal ini diperlukan suatu studi analisis volatilitas harga beras di
beberapa negara produsen utama beras dunia dan perbandingannya dengan volatilitas
harga beras dunia itu sendiri.
Perumusan Masalah
Terkait dengan isu diatas, pemerintah di negara maju dan berkembang anggota
WTO (World Trade Organization) sebenarnya telah menyiasati hal ini dengan
berbagai paket perjanjian pertanian yang terangkum semua dalam Agreement on
4
Agriculture (AOA) pasal 6.3 dan 7.2(b) terkait dengan dukungan setiap negara
anggota dalam hal penyediaan makanan pokok tradisional. Isu ini pun menjadi salah
satu bahan diskusi utama yang dibicarakan dalam Ninth Ministerial Conference
negara anggota WTO di Bali 2013 lalu hingga menghasilkan “Paket Bali” yang salah
satunya membahas isu food security dan penanganannya di negara berkembang
(WTO 2014). Misal adanya kewajiban dan support untuk penyediaan stok bahan
pangan pokok (Public Stock Holding for Main Crops) bagi pemerintah di negara
berkembang maupun negara maju yang tujuan akhirnya adalah agar terbebas dari
food security issue ini.
Implikasinya adalah pemerintah dari setiap negara berkembang diperbolehkan
untuk membuat program terkait peningkatan cadangan stok bahan makanan pokoknya
melalui instansi pemerintah (BUMN) yang bertanggungjawab atas kebijakan beras.
Disamping itu, dari segi harga adanya kewajiban diatas juga mengindikasikan bahwa
pemerintah di tiap negara diperbolehkan mengintervensi pasar beras dalam negerinya
apabila terjadi shock terhadap harga beras dunia. Salah satu contoh intervensi
pemerintah pada harga beras adalah pasca krisis tahun 2008 lalu agar dengan
dibukanya impor untuk memenuhi stok dalam negeri (yang kurang mencukupi pada
saat itu) agar kestabilan harga dalam negeri tetap terjaga.
Sumber : Worlbank 2011
Gambar 4 Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri
Masalah muncul ketika adanya intervensi pemerintah di pasar beras tidak
terlalu berdampak signifikan terhadap penciptaan kestabilan harga beras dalam negara
tersebut. Khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu dimana permintaan dunia
akan komoditas padi-padian melonjak tajam yang disusul dengan kenaikan indeks
harga serealia (beras termasuk didalamnya). Pada kasus beberapa negara produsen
utama beras, yaitu Thailand, Vietnam, Indonesia pada periode awal dan periode di
saat krisis 2008 lalu (Gambar 4). Dapat dilihat bahwa ketidakstabilan harga beras
Indonesia mencapai level tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain, baik dengan
negara produsen beras (Thailand dan Vietnam) maupun dengan negara bukan
produsen beras utama dunia (Hongkong). Dari Gambar 4 ini juga tersirat kenyataan
5
bahwa beras pun sebagai komoditas pertanian yang “dilindungi” kestabilan harganya,
menjadi berfluktuatif (volatil) pasca krisis 2008 lalu.
India dan Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen beras utama
yang juga kiranya dapat dijadikan perbandingan untuk melihat seberapa besar
fluktuasi dan disparitas harga beras yang terjadi, khususnya pasca krisis 2008 lalu.
Apalagi posisi Indonesia disamping juga sebagai negara produsen utama beras dunia,
namun di satu sisi juga menjadi salah satu negara pengimpor utama beras. Sementara
India dengan statusnya yang juga sebagai produsen utama beras, dan juga bertindak
sebagai net exporter utama beras. Hal ini menjadi salah satu poin yang diperhatikan
dan sangat menarik bagi peneliti untuk melihat fluktuasi harga beras yang terjadi.
Berbekal latarbelakang diatas dan permasalahan yang ada didalamnya, berikut
dirumuskan hal-hal yang ingin diteliti, yaitu:
1. Bagaimana volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia maupun
dunia pada periode 2007-2013 lalu?
2. Terkait hal tersebut, seberapa besar disparitas harga beras yang terjadi di tiap
Negara per tahunnya?
3. Khusus di Indonesia, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
beras pada periode 2007-2013 lalu?
4. Bagaimana hubungan volatilitas harga beras Indonesia dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya tersebut?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menganalisis volatilitas dan disparitas harga beras. Secara
khusus tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia serta
perbandingannya dengan volatilitas harga beras dunia pada periode penelitian
tahun 2007-2013 lalu.
2. Mengukur seberapa besar tingkat disparitas harga beras Indonesia, India, dan
perbandingannya dengan harga internasional untuk tiap tahunnya.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras
Indonesia serta menganalisis hubungan yang terjadi di antara faktor-faktot
tersebut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
literatur acuan untuk kajian dengan topik serupa di masa yang akan datang.
Sementara bagi pihak pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan, misalnya
dalam hal kebijakan stabilisasi harga beras di masa yang akan datang, ataupun
sebagai bahan pertimbangan di dalam alokasi dana investasi maupun subsidi, serta
perencanaan pembangunan bagi pemerintah pusat dan daerah. Semoga penelitian ini
pun bisa bermanfaat pula sebagai bahan bacaan tambahan bagi masyarakat dan umum.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India,
Indonesia dan dunia, sertta faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras
6
untuk kasus Indonesia. Variabel harga beras yang dipakai merupakan rata-rata harga
bulanan dengan periode waktu tahun 2007-2013 lalu. Periode waktu penelitian ini
diambil khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu seiring dengan melonjak
tajamnya harga padi-padian dunia. Metode analisis ekonometrika yang digunakan
untuk mengukur volatilitas harga beras adalah ARCH-GARCH (Autoregressive
Conditional
Heteroscedasticity-Generalized
Autoregressive
Condtional
Heterescedasticity). Sementara itu metode VECM (Vector Error Correction Model)
digunakan untuk melihat kointegrasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas
harga beras Indonesia selama periode waktu penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Teori Harga
Pada dasarnya, harga merupakan sinyal utama yang mengarahkan keputusan
para pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka punya.
Artinya, jika terjadi fluktuasi harga di suatu pasar bersaing sempurna (PPS), dan
dapat segera ditangkap oleh pasar PPS lainnya maka perubahan tersebut dapat
digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan harga, baik bagi produsen
maupun konsumen. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai:
a. Pemberi informasi tentang jumlah komoditas yang sebaiknya dipasok oleh
produsen untuk memperoleh keuntungan maksimum;
b. Penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan
maksimum (Nicholson, 2002).
Menurut teori ekonomi mikro permintaan dan penawaran merupakan dua hal
utama yang mempengaruhi proses terbentuknya harga. Menurut Lipsey et al. (1995),
hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta pada kondisi Pasar Persaingan
Sempurna (PPS) mengikuti suatu hipotesis dasar yang menyatakan bahwa semakin
tinggi harga suatu komoditas maka semakin sedikit jumlah yang diminta, dengan
asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus), dan terjadi sebaliknya.
Sementara itu hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah yang
ditawarkan mengikuti suatu hipotesis dasar ekonomi yang menyatakan bahwa secara
umum, semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar jumlah komoditas
yang ditawarkan dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus) dan
terjadi sebaliknya.
Untuk setiap jenis barang normal dalam suatu perekonomian bersaing, harga
barang memberikan jaminan bahwa penawaran dan permintaan berada dalam
keseimbangan. Harga suatu komoditas di pasar ditentukan oleh kurva permintaan dan
kurva penawaran komoditi tersebut yang saling berpotongan. Pada kondisi tersebut
kuantitas barang yang diminta oleh pembeli sama dengan kuantitas yang ditawarkan
oleh penjual sehingga tercapai kondisi keseimbangan harga pasar (equilibrium price).
Sementara itu, jika terjadi kondisi dimana kuantitas barang yang diminta oleh pembeli
tidak sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual maka harga yang terjadi
pada kondisi tersebut disebut dengan harga disekuilibrium. Adanya kelebihan
permintaan atau penawaran yang terjadi di pasar akan menyebabkan keadaan
disekuilibrium dan harga akan terus berubah sampai kembali ke titik ekuilibrium.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya kelebihan permintaan yang mendorong
harga untuk naik atau kelebihan penawaran yang menyebabkan harga menjadi turun.
7
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun
penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Pada komoditas pangan atau
pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran
(supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih
berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran
yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi
penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Sesuai
dengan teori elastisitas (Nicholson 2002) perubahan penawaran pangan dengan nilai
elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya
fluktuasi harga. Berkaitan dengan peningkatan harga pangan dunia selain karena
faktor spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca
serta gagal panen, peningkatan harga pangan suatu komoditas juga diakibatkan oleh
faktor penawaran dan permintaan yang saling mempengaruhi (Maulani 2013). Faktorfaktor yang memberikan pengaruh pada peningkatan harga komoditas pangan adalah
sebagai berikut:
a. Adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin mendorong permintaan akan
berbagai komoditas;
b. Penggunaan biofuel pada dasawarsa terakhir telah mendorong permintaan
pada berbagai tanaman pangan yang dapat dikonversi menjadi biofuel,
misalnya untuk jagung, gandum, dan lain sebaainya;
c. Adanya respon dari sisi penawaran yang lambat dan adanya keterkaitan di
antara berbagai komoditas,
d. Tingkat suku bunga yang rendah di negara tersebut dan depresiasi nilai US
Dollar.
Teori Transmisi Harga
Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari
keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering
digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan.
Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu
indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga
pangan utama seperti beras merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan
stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga.
Salah satu isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian terkait
bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia
ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan
parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk
memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan
kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara
spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya
direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986).
Istilah transmisi harga secara spasial melihat bagaimana harga pada pasar
yang terpisah secara spasial di suatu negara berhubungan, atau bagaimana harga
domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk
spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa
negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan
lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan
dunia (Chintia 2013). Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia
ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi
pengambil kebijakan. Sementara itu dalam istilah spasial, paradigma klasik dari
hukum satu harga (law of one price) punya pengertian bahwa transmisi harga disebut
8
lengkap pada saat kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada
pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika
dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan
dunia (Krugman dan Obstfled 2005). Model ini memprediksikan bahwa perubahan
pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan, dan
oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan
melalui arbitrase spasial. Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t
sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya
transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi
antara harga tersebut adalah:
P1t = P2t + C
(1)
Kedua pasar dikatakan terintegrasi jika hubungan dua harga terjadi seperti
pada persamaan diatas. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi
terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata
independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan
bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase
spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan
berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah
biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. λ adalah
konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut
diidentifikasikan sebagai berikut:
P2t – P1t = λC
(2)
Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi
arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan
sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of one price), bentuk yang
kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa
hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat
berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan
perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
Teori Harga Internasional
Komoditi beras seperti halnya komoditi pangan lainnya, pada dasarnya
harganya ditentukan dari permintaan dan penawaran dari negara-negara eksportir
(produsen) dan negara-negara importir (konsumen). Harga internasional yang
terbentuk merupakan interaksi dari permintaan dan penawaran masing-masing negara.
Pembentukan harga keseimbangan internasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Salvatore (1997) menjelaskan bahwa harga internasional terbentuk dari harga
domestik negara pengekspor dan pengimpor komoditi. Karena Px/Py lebih besar dari
P1, maka Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi Q (Panel a) sehingga
kurva penawaran ekpornya atau S yang diperlihatkan oleh Panel c mengalami
peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka Negara 2
mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel b) dan ini
mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau Db mengalami
kenaikan (lihat Panel c). Panel c juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga
P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2 akan persis sama
dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara 1. Dengan demikian P2
merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan
di antara kedua negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan
9
terdapat kelebihan penawaran ekpor komoditi X, dalam hal ini akan menurunkan
harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan begerak
mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil dari pada P2, maka
akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan
menaikkan Px/Py sehingga lambat laun akan sama dengan P2.
P /P
x
P /P
y
x
3
E
B’’
Ekspor
P
S
P
S
3
B’
E*
Impor
E’
2
D
*
P
y
Xb
A’
’
a
B
x
b
S
P
P /P
y
D
A
1
Xa D
b
a
0
Keseimbangan di negara 1
(a)
X
0
X
X 0
Keseimbangan internasional
(c)
Keseimbangan di negara 2
(b)
Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 5 Pembentukan harga internasional
Misalkan pada gambar 5 diatas negara 1 adalah Thailand dan negara 2 adalah
Indonesia. Pada kasus komoditi pertanian seperti beras Gambar 5 juga menunjukkan
apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi di pasar Indonesia adalah
P3 dan P1 di pasar Thailand dimana P1 < P3. Pada saat harga beras diatas P1, pasar
Thailand akan mengalami excess supply, sehingga sejumlah ton beras akan tersedia
untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi
kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah P1.
Informasi dari Gambar 5 juga dapat digunakan untuk mengembangkan model
keseimbangan spasial akibat perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan
kurva excess supply dan excess demand.
Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan
faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah
selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga
dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan
bernilai nol pada harga keseimbangan pasar. Kurva excess supply di dasarkan pada
garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar negara 1 (Thailand)
pada harga diatas titik keseimbangan (titik B dikurang titik E, yang ditunjukkan oleh
panel a pada Gambar 5. Grafik yang sama juga digunakan untuk menggambarkan
kurva excess supply (S) yang ditunjukkan panel c. Seperti kurva supply biasa, kurva
excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara
supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga.
Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang
ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat
dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar
negara 2 (Indonesia). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih)
antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar negara 2
10
(titik B’ dikurang titik E’, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 5).
Grafik ini juga menggambarkan kurva excess demand (D) yang ditunjukkan grafik
bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope)
negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat
penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand tadi akan berpotongan
pada harga P2 jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi beras
sebanyak E* dapat dijual dari pasar Thailand ke pasar Indonesia dengan harga
diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar P2. Sedangkan bila biaya transfer dari
pasar beras Thailand ke Pasar beras Indonesia melebihi atau lebih besar dari P1 maka
perdagangan tidak akan terjadi.
Dalam kasus pasar beras pun, kondisi demand dan supply sama di setiap pasar
dan perbedaan harga akan sangat bergantung pula dari biaya transfer. Semakin tinggi
biaya transfer semakin kecil volume beras yang akan diperdagangkan. Perdagangan
beras pun tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi harga beras di
masing-masing negara. Perdagangan beras dalam hal ini akan maksimum pada E*
ketika biaya transfer sama dengan nol. Selain itu adanya restriksi perdagangan seperti
pajak ekspor, maupun tarif impor beras akan meningkatkan biaya transfer yang
menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama
dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga
antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan.
Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua
pasar beras tidak terjadi dan harga beras akan bergerak secara mandiri (independence).
Teori Integritas Pasar
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi pasar
yaitu adalah dengan melakukan analisis integrasi pasar. Melalui analisis integrasi
pasar kita dapat mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga
sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat. Pasar yang
terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung
(Aji, 2010).
Definisi dari integrasi pasar adalah kondisi yang dihasilkan akibat tindakan
pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya
perdagangan meliputi infrastruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, sehingga
menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Adanya
informasi pasar yang mendukung menyebabkan perubahan yang terjadi di suatu pasar
seperti adanya perubahan harga akan ditransmisikan ke pasar lain dengan perubahan
harga. Hal ini dapat digunakan oleh produsen sebagai pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
Berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, integrasi pasar dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu integrasi pasar horizontal (spasial) dan integrasi vertikal.
Integrasi horizontal (spasial) merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu
pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial memiliki konsep
bahwa pasar-pasar yang terpisah secara geografis memiliki keterkaitan harga dimana
harga yang terjadi merupakan pengaruh dari harga di pasar lain yang saling
berinteraksi. Dua pasar dapat dikatakan terintegrasi secara spasial jika diantara lokasi
pasar terjadi perdagangan dan harga pada daerah importir sama dengan harga pada
daerah eksportir ditambah dengan biaya transportasi dan biaya transfer lainnya.
Pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan oleh sebuah proses arbitrase. Jika
perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari biaya transaksi, maka seorang
produsen akan berfikir untuk menghentikan perdagangan. Integrasi pasar vertikal
adalah tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dengan pasar pedagang atau
11
ritel. Pasar produsen adalah pasar dimana penawaran produsen berinteraksi dengan
permintaan dari pedagang. Sedangkan pasar ritel adalah pasar yang merupakan
bertemunya permintaan konsumen akhir dengan penawaran dari pedagang. Suatu
pasar dikatakan terintegrasi vertikal jika harga pada suatu lembaga pemasaran
ditransformasikan ke lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran.
Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan
direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang
sama (Suparmin, 2005). Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada
suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar
yang tidak terintegrasi vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh
nyata terhadap pasar lainnya.
Stabilisasi Harga Pangan
Hubungan positif antara integrasi pasar dan pembangunan ekonomi diterima
secara luas di bidang ekonomi. Menurut argumen neoklasik menyatakan bahwa
ekspansi dan integrasi pasar mengarah pada peningkatan produktivitas melalui
penyebaran biaya tetap, skala ekonomi dan peningkatan division of labour. Akan
tetapi ada hal lain yang membuat pasar yang lebih terintegrasi meningkatkan
pembangunan ekonomi: yaitu melalui stabilisasi harga.
Timmer (1996) menyatakan bahwa 'ketika harga pangan tidak berhasil
distabilkan dan ketahanan pangan belum diwujudkan, maka stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi akan terancam' (1996: 46). Timmer (1989a, 1996) membahas
sejumlah alasan mengapa stabilisasi harga pangan diperlukan (Lihat juga Dawe,
1997).
a. Pertama, harga yang tidak stabil mengakibatkan pelarian investasi dalam
modal fisik. Ketidakstabilan harga berarti bahwa investasi tersebut menjadi
berisiko. Hal ini menyebabkan investasi yang lebih rendah daripada yang
optimal oleh masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh, masyarakat
(khususnya petani) akan mendapatkan keuntungan dari investasi di irigasi
karena itu akan meningkatkan perkembangan teknologi. Namun dengan
adanya fluktuasi harga beras, berinvestasi pada hal ini akan terlalu berisiko
bagi para petani, karena ia tidak yakin akan mendapat untung di masa depan
dari harga yang tak pasti ini.
b. Kedua, ketidakstabilan harga mendorong adanya substitusi tabungan dan
waktu bekerja untuk konsumsi dan rekreasi. Tentu saja hal ini meningkatkan
kesejahteraan di keluarga petani, tetapi pergeseran alokasi waktu dan sumber
daya menjadi tidak optimal bagi pertumbuhan ekonomi.
c. Ketiga, ketidakstabilan harga akan menyebabkan adanya biaya transaksi
dalam realokasi anggaran para konsumen ketika harga berubah. Hal ini sangat
menjadi pertimbangan khususnya bagi konsumen yang tergolong
berpendapatan kecil atau menengah. Misalnya, jika bahan pangan merupakan
20-30 persen dari pengeluaran konsumen, kemudian adanya kenaikan harga
pangan dua kali lipat akan memerlukan realokasi seperempat dari total
pengeluaran konsumen tersebut.
d. Alasan keempat mengapa harga pangan yang tidak stabil dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah hubungannya nanti dengan
variabel makroekonomi. Misalnya, pada awal proses pertumbuhan ekonomi
Indonesia di akhir tahun 1960, beras menyumbang seperempat dari PDB dan
sepertiga dari lapangan pekerjaan. Pada keadaan ekonomi seperti ini, adanya
ketidakstabilan dalam harga beras bisa menjadi penyebab ketidakstabilan
ekonomi makro yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
12
Uuntuk hubungan antara ketidakstabilan ekonomi makro dan pertumbuhan
ekonomi merujuk pada Dawe (1996) dan Barro, Sala-Martin (1995)
e. Terakhir, ketidakstabilan harga mempengaruhi sektor industri. Stabilitas dari
harga upah hanya bisa dicapai jika harga pangan stabil. Ketika hal ini terjadi,
banyak muncul investasi padat karya sebagai peningkatan efisiensi teknologi
di negara dengan upah rendah. Lebih lanjut, jika harga pangan yang stabil
berkontribusi pada lingkungan politik yang stabil di mana investor dapat
membentuk ekspektasi jangka panjang yang aman, peningkatan investasi
secara keseluruhan bisa dicapai.
Volatilitas Harga Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya
Volatilitas (volatility) berasal dari kata volatil (volatile). Istilah ini mengacu
pada kondisi yang berkonotasi tidak stabil, cenderung bervariasi, dan sulit
diperkirakan. Konotasi kuncinya adalah keragaman (variability) dan ketidakpastian
(uncertainty). Volatilitas pada suatu waktu tertentu dapat diurai menjadi dua
komponen yaitu yang perilakunya dapat dipraduga (predictable), dan yang tidak
dapat dipraduga (unpredictable). Secara teoritis bobot relatif masing-masing
komponen itu dapat dikaji (Sumaryanto 2009). Secara umum, volatilitas di pasar
keuangan menggambarkan tingkat risiko yang dihadapi pemodal karena
mencerminkan fluktuasi pergerakan harga saham. Namun Sumaryanto (2009)
menyebutkan bahwa analisis volatilitas harga tidak hanya relevan di pasar uang
ataupun pasar saham, tetapi juga di pasar komoditas lainnya.
Tidak semua variasi dari harga bermasalah, seperti ketika harga bergerak
dengan kecenderungan yang halus dan mapan serta mampu mencerminkan pasar
fundamental atau ketika mereka memperlihatkan pola musiman yang khas dan
terkenal. Tapi variasi harga menjadi bermasalah ketika terjadi variasi yang bergerak
secara fluktuatif dan tidak dapat diantisipasi (unpredictable), sebagai hasilnya dapat
menciptakan tingkat ketidakpastian yang meningkatkan tingkat risiko bagi produsen,
pedagang, konsumen, dan pemerintah dan dapat menyebabkan keputusan yang suboptimal. Variasi harga yang tidak mencerminkan fundamental pasar juga bermasalah
karena dapat menimbulkan pengambil keputusan yang salah (FAO 2011). Volatilitas
pada dasarnya terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Transitory Volatility, artinya Volatilitas yang sifatnya sementara karena
adanya ketidakseimbangan arus order, seperti terjadi kepanikan pasar,
ekspektasi
b. Fundamental Volatility, artinya volatilitas yang disebabkan karena faktor
fundamental seperti adanya kegagalan panen.
Berdasarkan sumber terjadinya volatilitas diatas, dapat diketahui bahwa
volatilitas harga beras pada umumnya berjenis fundamental volatility, artinya bahwa
fluktuasi harga beras ini tidakstabil antarmusim, yaitu pada musim panen dan musim
paceklik, maupun tidakstabil antartahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan
atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif
sulit diramalkan.
Adanya fluktuasi (volatilitas) harga beras seringkali lebih merugikan petani
daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya
untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem
tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki
kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Selain itu, ketidakstabilan harga
tersebut juga dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya
memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping juga akan berakibat luas
pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga
13
menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap
gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk
domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1)
pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta
asing.
Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan
permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson,
2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang
karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk
mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem
tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki
kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen (Chintia, 2013).
Terjadinya ketidakstabilan harga pada komoditi beras, tidak hanya disebabkan
oleh harga beras itu sendiri, namun juga dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti :
(a) Adanya ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik
yang membuat produksi padi dalam negeri pun juga berfluktuasi; (b) Adanya
ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim (suhu) seperti kekeringan atau
kebanjiran; (c) Adanya fluktuasi harga beras di pasar internasional yang relatif sulit
diramalkan; (d) Pendapatan per kapita juga merupakan faktor lain yang menentukan
diferensial harga. Ini berkaitan dengan perbedaan kualitas komoditas yang
dikonsumsi oleh rumah tangga dengan berbagai tingkat pendapatan. Jika rumah
tangga yang lebih kaya membeli produk-produk yang lebih berkualitas maka hargaharga yang mencerminkan jenis produk akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga
produk yang dibeli oleh rumah tangga yang relatif lebih miskin. Dalam hal pasar
beras di Indonesia, adanya program Raskin, yang digunakan oleh BULOG untuk
mendistribusikan beras berkualitas rendah kepada rumah tangga miskin dengan harga
subsidi, juga mempunyai dampak terhadap diferensial harga. Program ini
meningkatkan pasokan beras berkualitas rendah ke pasaran di mana jumlah penduduk
miskin lebih tinggi dan, akibatnya, pendapatan per kapita rata-rata lebih rendah
sehingga menurunkan harga beras; (e) Kondisi cadangan beras pemerintah (CBP)
masing-masing negara maupun (f) adanya restriksi perdagangan seperti tariff impor
yang secara langsung akan mempengaruhi harga beras impor maupun volume beras
yang diimpor oleh suatu negara. Sementara itu, menurut laporan WorldBank (2011)
fakto-faktor penyebab utama volatilitas harga pangan seperti beras umumnya
dipengaruh