Praktek nikah wisata di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) di tinjau dari hukum islam

(1)

PRAKTEK NIKAH WISATA DI PUNCAK DESA TUGU SELATAN KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR (JAWA BARAT)

DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Hukum Syariah (S.Sy)

Oleh:

Surahman NIM: 104043201377

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sember yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Maret 2011


(5)

KATA PENGANTAR ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Sega puja dan puji serta rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan segala karunian besar-Nya kepada kita semua sebagai khalifah di muka bumi ini, penggenggam setiap kejadian, pengangkat setiapa kemuliaan, dan penyempurna kebahagiaan.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad SAW, sebagai hamba pilihan yang membimbing umatnya untuk menemui jalan Tuhan-nya, dan seluruh keluarga, sahabatnya serta umatnya sepanjang zaman.

Dengan rasa puji syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya dengan sifat yang Maha Rahman dan Maha Rohim-Nya serta menyakini bahwa Allah SWT memiliki kuasa di atas keinginan hamba-hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, memberikan dorongan serta motivasinya, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH.,MA.,MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. Selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif


(6)

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA, selaku Dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, pikiran dan petunjuknya kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Saya ucapkan mohon maaf segala kesalahan yang telah saya lakukan terhadap Bapak selama dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Rusli Doelbari sebagai Kepala Desa Tugu Selatan dan para Stafnya yang telah membemberikan informasi dan data yang dibutuhkan oleh penulis serta kesedian waktunya untuk mengadakan wawancara serta mendampingi penulis dengan ikhlas selama melakukan penulisan.

5. Bapak U. Khaeruddin, S. Ag. Sebagai Kepala KUA Cisarua dan para Stafnya yang telah memberikan informasi dan data yang telah dibutuhkan oleh penulis serta kesedian waktu untuk mengadakan wawancara.

6. Yang terkasih Ibunda dan Ayahanda, serta para Adik ku dan Kakak ku yang telah banyak memberikan dorongan, serta bantuan moril maupun materiil, sehingga penulis mampuh menyelesaikan skipsi ini.

7. Teman-teman organisasi Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) yang telah banyak membantu baik moral dan materiil.

8. Teman-teman Kelompok Pencinta Alam (KPA) Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan inspirasi, saran dan kritik yang tak terhingga bagi penulis.


(7)

9. Teman-teman Malapa Djuanda Bogor yang telah memberikan informasi dan moril mau pun materiil dalam berlangsungnya kegiatan penelitian.

10. Kepada seluruh sahabat, karabat dan semuah pihak, dengan tidak mengurangi rasa terimakasih.

Hanya harapan dan do’a semoga pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini semoga mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Dan harapan penulis, semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan ilmiah bagi siapa saja yang membutuhkan dan bermanfaat bagi semua pembacanya. Semoga rahmat, kasih sayang dan hidayah Allah SWT senantiasa kita dapatkan.

Semoga skripsi ini akan menjadi bermanfaat bagi penulis khususnya siapa pun yang membacanya.

Jakarta, 24 Maret 2011

Penulis


(8)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI………....iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan dan Perumusan Masalah... 9

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Metode Penelitian ... 10

E.Tinjauan Kajian Terdahulu ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II NIKAH MISY-AR DALAM HUKUM ISLAM ... 16

A.Pengertian Nikah Mis-yar ... 16

B.Pandangan Para Ulama Mazhab ... 20

C.Fatwa-Fatwa Terkini Tentang Pernikahan Mis-yar ... 23

D.Misyar : Nikah Mut’ah, Temporal (az-zawaj al-muaqqat), dan ‘urfi ... 27

E. Alsan Yang Mendasar Mis-yar ... 33

BAB III GAMBARAN UMUM DESA TUGU SELATAN KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR (JAWA BARAT) ………...35

A.Letak Geografis ... 35

1. Kondisi fisik dan wilayah ... 35


(9)

2. Struktur pemerintahan Desa Tugu Selatan ... 38

B.Letak Demografi ... 41

1. Penduduk ... 41

2. Pendidikan ... 43

3. Keagamaan... 46

C. Sosial Ekonomi ... 47

1. Pekerjaan pokok ... 47

2. Pertanian ... 48

3. Budaya dan Olah Raga ... 50

BAB IV TINJAUN UMUM MENGENAI NIKAH WISATA DI PUNCAK DESA TUGU SELATAN KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR (JAWABARAT) ... 52

A.Pengertian Nikah Wisata ... 52

B.Praktek Nikah Wisata ... 55

1. Tujuan nikah wisata... 55

2. Syarat dan ruku nikah wisata ... 57

C.Dasar Hukum Pengharaman Nikah Wisata ... 59

1. Dalil-dalil pengharaman nikah wisata dalam Al-Qur’an ... ... 59

2. Dalil-dalil pengharaman nikah wisata dalam Hadits ... 60

D. Faktor PenyebabTerjadinya Nikah Wisata ... 62

1. Kebutuhan nafsu biologis ... 62


(10)

BAB V Penutup ... 65

A.Kesimpulan ... 65

B.Saran-saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Lampiran 1 : Tabel ... 71

B. Lampiran 2 : Berita Acara Wawancara Dengan Kepala Desa Tugu Selatan ... 72

C. Lampiran 3 : Berita Acara Wawancara Dengan Kepala KUA Cisarua ... 76

D Lampiran 4 : Berita Acara Wawancara Dengan Responden ... 79

E. Lampiran 5 : Surat Permohonan Data / Wawancara Kepala Desa Tugu Selatan ... 85

F. Lampiran 5 : Surat Permohonan Data / Wawancara Kepala KUA Cisarua ... 85

G. Lampiran 6 : Surat Keterangan Telah Melakukan Data / Wawancara Kepala Desa Tugu Selatan ... 86

H. Lampiran 7 : Surat Keterangan Telah Melakukan Data / Wawancara Kepala KUA Cisarua ... 87

I. Lampiran 8-9 : Pernyataan Telah Melakukan Data / Wawancara Responden ... 89


(11)

J Lampiran 10 : Pengesahan Penguji Proposal Skripsi ... 90 K. Lampiran 11 : Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi.

... 91


(12)

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah dimaklumi manusia termasuk salah satu jenis makhluk hidup, di samping tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sebagai makhluk hidup manusia mempunyai persamaan dan perbedaan unsur-unsur dengan makhluk hidup lainnya.1

Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita. Sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat: 36 yang berbunyi:                   ) ﺲﯾ / 36:36 (

Artinya: “Maha suci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang

tidak mereka ketahui”.(QS. 36 (Yasin): 36).

Oleh Al-Qur’an digambarkan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain. Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.2

1

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu , 1995), Cet-1, h. 1 2

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet-1, h. 24


(13)

Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh suatu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada diri masing, sedangkan pada diri masing-masing orang mempunyai kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.

Tidak diragukan bahwa perkawinan yang didasarkan atas prinsip-prinsip cinta, kehormatan dan keperdulian timbal balik jauh lebih mulia dari pada hubungan-hubungan temporer dengan berbagai pasangan perkawinan semacam itu menstabilkan masyarakat dengan melindungi unit utamanya yaitu keluarga.3

Suatu keluarga hanya terbentuk dengan melalui perkawinan yang sah. Tanpa perkawinan tidak ada keluarga, perkawinan itulah yang membedakan manusia dengan hewan di dalam memenuhi seksual instingnya. Dengan perkawinan yang menyebabkan dua insan yang berlainan jenis kelamin, halal melakukan hubungan sebagai suami istri.

Tujuan perkawinan menurut Islam untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan harmonis, suatu keluarga yang hidup tenang, rukun dan damai, serta diliputi oleh rasa kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah.4

3

Jamilah Jones, Monogami dan Poligini Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrapindo, 2001), Ed. 1, Cet-1, h. 12

4

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), Ed. 1 Cet-2, h. 15


(14)

Karena Islam melarang hubungan seksual di luar pernikahan, maka perkawinan melindungi individu-individu terhadap imoralitas dengan memberikan jalan keluar untuk menyalurkan nafsu-nafsu alami mereka dan menjamin keamanan fisik maupun emosional kedua pasangan suami istri yang bersangkutan.5

Dan perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah yang menjadikan dan menciptakan alam ini. Dalam perkawinan yang bersifat umum, menyalurkan, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.6 Ketentuan-ketentuan ini telah dituangkan di dalam firman Allah pada surat Al-Imran ayat: 14 yang berbunyi:

                                            ) اﺮﻤﻋ لا ن / 3 : 14 (

Artinya: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunian dan diisi Allah-lah tempat kembali yang baik

(surga)”. (QS. 3 (Al-Imran): 14).

Perkawinan itu adalah salah satu cara yang telah ditetapkan oleh Allah untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan, serta melangsungkan kehidupan manusia. Allah SWT tidak mengendaki manusia

5

Jones, Monogami dan Poligami Dalam Islam, h. 24 6


(15)

untuk berbeda dan bertentangan dengan hukum yang berlaku di alam semesta ini, jika manusia menolak tabiatnya berarti mereka bertentangan dengan fitrah kejadiannya.7

Dengan perkawinan, masyarakat dapat diselamatkan dari kerusakan akhlak dan mengamankan individu dari kerusakan pergaulan. Tampak dengan jelas bahwa tabiat manusia senantiasa condong kepada jenis lainnya. Hal ini tak bisa terpenuhi kecuali dengan jalan perkawinan yang diatur dengan syariat Islam, dengan perkawinan ini umat Islam dapat diselamatkan, baik secara individual maupun sosial, dengan budi pekerti yang baik dan mulia, dengan perkawinan itu, nafsu seks dapat disalurkan kepada yang halal, dengan begitu tidak memberikan dan kesempatan kepada setan untuk melakukan tipu dayanya kepada manusia.8

Kelezatan yang diperoleh dan melakukan hubungan seks antara laki-laki dengan perempuan secara halal merupakan kenikmatan yang diberikan Allah kepada manusia dan juga bernilai ibadah kepadanya, penyaluran nafsu seks dengan jalan perkawinan. Selain itu untuk memperoleh keturunan yang banyak dan baik, juga berfungsi untuk mengendalikan nafsu seks tersebut.9

Mengenai masalah seksual, Islam berpandangan positif terhadap masalah tersebut. Hubungan seksual dalam Islam bersifat holistik, di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan

7

Ibid., h. 42 8

Ibid., h. 44 9

Ibid., h. 48


(16)

sosial antara yang satu dengan yang lainya, juga bersifat ibadah. Namun jika melaksanakannya dengan cara-cara yang salah, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, maka malah mengakibatkan dosa dan kesalahan dalam menerapkan hukum, sehingga mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Nafsu memberikan nikmat tertinggi yang dimiliki oleh setiap manusia, tanpa peduli kedudukan sosialnya, namun tak dapat dipungkiri, nafsu ini pula yang banyak dapat menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan dosa seperti pemerkosaan, pencabulan, dan perbuatan zina.10

Islam berpandangan tegas terhadap persoalan seksualitas, yakni melakukan hubungan seksual kehidupan seksual yang tidak normal seperti transeksual (bias berperan sebagai laki-laki maupun perempuan), homoseksual, lesbian, dan heteroseksual (penyuka lain jenis dan sesame jenis), pada lawan dasarnya Islam tidak mentolerir perilaku tersebut. Islam hanya membolehkan hubungan seksual dengan lawan jenis saja dan harus melalui perkawinan yang sah menurut ajaran Islam.11

Apa yang terjadi pada masyarakat, problema seksual merupakan sebuah realita yang benar-benar terjadi, manusia manapun tidak mungkin dapat mengabaikannya dan menganggapnya secara enteng bahayanya. Hal ini merupakan sebuah problema yang terjadi sepanjang sejarah. Naluri seksual

10

Ali Akbar, Seksualitas Ditinjau Dari Hukum Islam (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 13.

11

Nasaruddin Umar, Dilema Seksualitas Dalam Agama (Yogyakarta: LKPSM-YKF-Interfitsi dan Ford Foundation, 1997), h. 4.


(17)

diberikan oleh Allah SWT sejak manusia dilahirkan, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi dewasa.12

Akan tetapi pada zaman kita sekarang ini problema seksual telah semakin parah bahayanya dan semakin rumit, berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya, karena adanya pergaulan bebas yang tidak mengenal batas antara dua jenis kelamin pada berbagai tempat. Pudarnya moralitas tersebut mengakibatkan manuisa memikul berbagai tangung jawab dan menanggung beban yang amat banyak, yang tidak pernah terlintas pada benak manusia di masa-masa yang silam.13

Hubungan seksual di luar nikah tersebut bukan saja terjadi di kalangan remaja akan tetapi dikalangan orang dewasa juga sering terjadi penyelewengan seperti itu. Di dalam hukum Islam hubungan seksual di luar nikah seperti itu disebut zina.14 Pada dasarnya dilarang zina dikarenakan dalam perbuatan ini tidak ada tujuan lain selain pemenuhan hasrat seksual. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an firman Allah SWT. yang berbunyi:                                   ) نﻮﻨﻣﺆﻤﻟا / 23 : 7 -5 ( 12

Sifah Fauziah, “Hukum Nikah Mut’ah Dengan Alasan Mengindari Zina”,(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 1.

13

Ibid., h. 1 14

Ibid., h. 1


(18)

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri meraka atau budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu maka mereka itulah

orang-orang yang melampaiu batas”. (QS. 23 (Al-Mu’minuun):

5-7).

Banyak yang terjadi di masyarakat berbagai macam praktek perbuatan zina yang menghalalkan hubungan seksual hanya untuk menyalurkan nafsu biologisnya. Seperti salah satunya perkawinan yang dibatasi oleh waktu yang telah ditentukan, karena dalam perkawinan tersebut tidak ada tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan langgeng, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum karena begitu masa perkawinan telah usai waktu yang ditentukan, maka selesai pula ikatan antara kedua pihak. Perkawinan temporer ini lebih dikenal dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak.15

Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak tanpa ada paksaan dan tekanan apapun.16 Ahmad Amin berkata, bahwa perkawinan mut’ah memudahkan kehidupan free sex, yang tidak terkait dengan ikatan apapun serta terlepas dari tanggung jawab

15

Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), Cet. 1 h. 15.

16

Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang (Jakarta: Cendekia, 2002), Cet - 1, h. 65.


(19)

perkawinan.17 Di samping itu akan banyak wanita-wanita yang terbawa ke dalam jurang kenistaan, kerusakan, dan banyak di antara mereka yang menjadi korban.

Halalnya nikah mut’ah pada zaman dahulu lahir karena perang, yaitu ketika tentara muslim meninggalkan tempat tingalnya untuk berperang di daerah lain, sehingga mereka berada jauh dari istri-istri mereka, dan dikhawatirkan berbuat zina. Maka yang menjadi alasan hukum tentang halalnya nikah mut’ah adalah karena keadaan darurat.18

Dalam kasus nikah mut’ah pada masa itu jika diformulasiakan kembali dapat melahirkan konsep-konsep hukum baru yang dijalankan oleh umat sekarang ini. Sebab keadaan darurat bisa saja terjadi sehingga nikah mut’ah di sini bisa menjadi halal. Misalnya seperti budaya masyarakat khususnya bagi pemuda-pemudi yang cenderung terbuka terhadap hubungan seksual di luar nikah, dan juga mobilitas sosial umat yang dapat memungkinkan orang gampang berpindah-pindah tempat untuk kepentingan pekerjaan, dinas atau usaha, dimana istri tidak dapat selalu ikut untuk mendampingi suaminya. Dalam keadaan demikian tidak jarang suami berpisah dengan tempat tinggal istrinya dalam waktu yang cukup lama dan dikhawatirkan berbuat zina.19

17

Ja’far Murtadho Al-‘Amili, Nikah Mut’ah Dalam Hukum Islam (Kajian Ilmiah Dari Berbagai Mazhab), Alih Bahasa Abu Muhamad Jawad (Surakarta: Yayasan Abna’ Al Husain, 2002), Cet-2, h. 14

18

Fauziah, Hukum Nikah Mut’ah Dengan Alasan Menghindari Zina, h. 4 19

Ibid,. hal. 5


(20)

Untuk mengetahui permasalahan lebih dalam dan detail, maka penulis berkeinginan untuk mengkaji dan meneliti permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini, dengan judul: “Praktek Nikah Wisata Di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) Di Tinjau Dari Hukum Islam”.

B. Batasan danPerumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang masalah di atas, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi ini sehingga pokok masalah dari penelitian ini adalah mengenai kawin wisata yang merupakan praktek kawin mut'ah yang sudah ada sejak dahulu. Dari batasan tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa rumusan masalah yang meliputi:

1. Bagaimana praktek nikah wisata yang terjadi di daerah puncak? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang nikah wisata ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek. Menemukan berarti mendapatkan dan melahirkan sesuatu hal yang baru sebelumnya tidak ada, mengembangkan berarti memperluas atau mengkaji lebih dalam yang sudah ada, sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat keraguan terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah yang dijadikan sebagai sasaran dalam penelitian yang


(21)

dilakukan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktek nikah wisata di daerah puncak. 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang nikah wisata.

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis secara umum adalah menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur ilmiah serta melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang di lingkungan sekitar, sedangkan lebih khususnya lagi pentingnya melakukan penelitian ini adalah untuk:

1. Kegunaan teoritis, dapat menambah khazanah keilmuan di bidang keilmuan perkawinan umumnya, khususnya mengenai nikah wisata dalam hukum Islam.

2. Kegunaan praktis, adalah hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi lainnya dan terutama para pelaku yang terkait dengan penelitian ini.

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode ilmiah guna menyelesaikan masalah yang akan dibahas.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam penelitian ini pada umumnya menganalisis hukum-hukum yang berlaku, 10


(22)

baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad para ulama, dan Undang-Undang.

2. Sumber Data.

Penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka

(library research), karena itu sumber data sepenuhnya menggunakan

bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

Sumber data yang digunakan untuk menunjang penulisan ini adalah sumber data Primer, Sekunder, dan Tersier. Sumber data primer berupa undang-undang, meliputi: Fiqh Syi’ah tentang nikah mut’ah dan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, Hadist, serta ketentuan-ketentuan fiqh yang mengatur tentang permasalahan yang ada. Dan untuk sumber data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai data primer meliputi: buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan tersebut. Sedangkan sumber data tersier yang merupakan data tambahan meliputi: media massa, artikel-artikel, dan kamus.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengenai sumber data di atas, maka penulis menggunakan pengumpulan data dengan cara mengumpulkan beberapa literatur untuk ditelaah bagian yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa mengenai nikah wisata. 4. Tekhnik Analisa Data

Tekhnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis normatif. Data-data yang


(23)

diperoleh dari hasil pengumpulan data adalah data kualitatif, oleh karena itu untuk menganalisa permasalahan yang muncul penulis menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Deduktif, yaitu tekhnik analisa yang berawal dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus

b. Deskriptif, yaitu menggmbarkan data yang telah terkumpul sebagimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

5. Cara Pendekatan

Penulis melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dibahas dengan cara:

a. Pendekatan tekstual, yaitu dengan analisa teks, dalil-dalil baik yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah maupun Ijthat para ulama fiqh. b. Pendekatan normatif, yaitu dengan cara melihat aturan hukum yang

sudah ada dan berlaku.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Sejauh ini penulis melakukan tinjauan terhadap kajian terdahulu belum ditemukan kajian-kajian yang pembahasannya memiliki kesamaan fokus dalam ringkasan pembahasan dengan skripsi yang akan penulis buat. Kajian-kajian yang telah ada hannya memiliki kesamaan tema tentang aturan larangan perkawinan dalam Islam. Sedangkan fokus pembahasannya berlainan. Seperti salah satu di antaranya adalah:

1 12


(24)

Judul : Hukum Nikah Mut’ah Dengan Alasan Mengindari zina.

Penulis : Sifah Fauziah

Tahun : 2005

Tempat Penerbit : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kesimpulan :

1. Dampak yang ditemukan dari nikah mut’ah antara lain tidak adanya mawaddah dan rahmah, tidak ada nafkah, merendahkan martabat wanita, melegalkan seks bebas dan prostitusi atas nama agama, merusak moral para gadis, penelantaran anak dan rentan terhadap AIDS.

2. Hukum nikah mut’ah dengan alasan menghindari zina adalah haram. Hal ini berdasarkan:

a. Surat Al-Mu’minun ayat: 5-7

Yang menyatakan agar orang-orang beriman dapat menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri atau budak-budak yang mereka miliki. Sedang dalam nikah mut’ah tidak adanya perlakuan sebagai istri karena tidak adanya aturan-aturan yang lazim layaknya sorang istri.

b. Selain berdasarkan al-Qur’an keharaman mut’ah juga banyak terdapat dalam hadist, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, Ibnu Maja, dan lain-liannya.


(25)

c. Alasan akal. Pada hakekatnya tujuanv nikah adalah untuk membina kelurga, demi mencapai kemuliaan, kebaikan, ketenangan, kedamaian dan kebahagian dunia dan akhirat.

Dari kajian tersebut terlihat bahwa penomena pernikahan yang terjadi dalam masyarakat bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu biologis saja, dengan kata lain menghalalkan menyalurkan nafsu biologis secara halal (menghindari zina). Penulis akan mengkaji bagaimana sebenarnya hukum Islam memandang nikah wisata tersebut, dengan demikian akan didapat sebuah data yang akurat tentang hukum melakukan nikah wisata. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan memberikan judul, Praktek Nikah Wisata Di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat) Di Tinjau Dari Hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Masalah-masalah yang dibahas dalam skripsi ini terdapat lima bab dan terbagi dalam beberapa sub bab dengan perincin sebagai berkut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Ketentuan-Ketentuan Dalam Pernikahan


(26)

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang: Pengertian Pernikahan, Rukun dan Syarat Pernikahan, Dasar Hukum Pernikahan, Macam-Macam dan Jenis Pernikahan Yang Dilarang, Hikmah dan Tujuan Pernikahan.

BAB III : Gambaran Umum Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat)

Bab ini akan menjelaskan gambaran umum tentang: Letak Geografis, Letak Demografi, Sosial Ekonomi, Budaya, dan Olah Raga.

BAB IV : Tinjaun Umum Mengenai Nikah Wisata di Pucak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (Jawa Barat)

Dalam bab ini akan menjelaskan tentang: Pengertian nikah wisata, praktek nikah wisata, dasar hukum pelarangan nikah wisata, dan faktor penyebab terjadinya nikah wisata.

BAB V : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang: kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran.


(27)

BAB II

NIKAH MIS-YAR DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Nikah Mis-yar

Sejalan dengan perubahan waktu dan peradaban manusia yang kian hari semangkin maju, populasi yang terus meningkat dan sarana transfortasi sebagai faktor mudanya manusia berimigrasi dari satu tempat ketempat yang lain. Seakan mudahnya mengubah luasnya bola dunia menjadi bulatan kecil yang tidak bisa kita masukan kedalam genggam tangan. Perjalanan yang penuh dilakukan pra ekspeditor seperti Columbus, Copernicus, Deandels, atau Ibnu Batuta yang menelan waktu berbulan-bulan bahkan puluhan tahun , dapat ditempuh saat ini hanya dengan hitungan jam.20

Pada kondisi dunia yang akan tanpa sekat dan batas, terjadinya asimilasi dan percampuran budaya menjadi salah satu yang tidak bisa dihindarkan, salah satu terjadinya percampuran budaya adalah dengan melangsungkan pernikahan campur antara penduduk negara atau suku tertentu dengan yang lainnya.

Perkawinan yang terjadi antara orang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan baik liburan, tugas kerja, menjalani studi atau yang lainnya, dengan perempuan setempat, dikenal dikalangan masyarakat Arab dengan

20

Adi Irfan Jauhari, “Nikah Mis-yar dan Hak Wanita Dalam Perkawinan : Studi Analisi Hukum Islam”, (Tesis S2 Konsentrasi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 52


(28)

sebutan nikah Mis-yar. Perkawinan Mis-yar adalah pengaruh dari semangkin cepat dan mudahnya transfortasi antara negara dan daerah dibelahan dunia.21

Kata Mis-yar sendiri jika dilacak menurut bahasa fushah (Resmi) Arab tidak akan kita temukan, sebab kata ini berasal dari ungkapan ‘amiyah (bahasa percakan) Arab.22 Orang Arab sendiri sering menggunakan kata

Mis-yar untuk sebuah aktifitas perjalanan yang memuat tujuan hiburan.

Seperti piknik, plesir atau jalan-jalan.

Pengertian Mis-yar berasal dari bahasa Arab sara, sira, sirah,

tasayaran, masdar dan juga masirah, yang berarti berjalan dan perjalanan.

Dari sudut terminologi pernikahan Mis-yar adalah pernikahan dimana pengantin lelaki tinggal di rumah pengantin perempuan tetapi pengantin perempuan tidak pula berpindah ke rumah pengantin lelaki.23

Menurut Ahmad Al-Tamimi, Mis-yar ialah pernikahan yang dibina dengan akad yang sah menurut syarah dan memenuhi rukun-rukunnya, tetapi pasangannya bertolak ansur dari segi tempat tinggal dan nafkah.24

Menurut Ibnu Mani’ia, pernikahan Mis-yar adalah pernikahan yang memenuhi semua syarat dan rukunnya, tetapi kedua-dua pasangan saling

21

Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang; Al-Misyar, Al-‘Urfi dan Mut’ah (Jakarta: Cendekia, 2002), Cet- 1, h. 65.

22

Yusuf Qardlawi, Zawaju Mis-yar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), h. 11

23

Muhammad To’mah al-Qudhah, “Zawaj al-Misyar: Hukmuhu al-Shar’i”, artikel diakses pada tanggal 22 Juni 2011 dari www.arabLawInfo.com

24 Ibid.,


(29)

ridha meridhai dan bertujuan bahwa si istri tidak mempunyai hak pembagian giliran bermalam.25

Fiqih kontempoler syariah Wahbah Zuhaily menyebut nikah ini dengan ungkapan,26 pernikahan dengan perempuan kedua dibarangi atau dengan sikap mengalah wanita tersebut untuk tidak mendapat haknya dalam hal pembagian waktu dan nafkah.

Wahbah Zuhaily melihat Mis-yar pada kelaziman yang terjadi dikalangan masyarakat Arab, yakni biasanya perkawinan ini dijadikan oleh laki-laki telah memiliki istri, tetapi karena syarat atau kondisi tertentu istri kedua tidak mendapat beberapa haknya sebagaimana dijamin dalam Islam.

Definisi ini dibangun atas kejadian yang berkembang pada kalangan pria yang berasal dari negara petro-dollar. Biasanya mereka melakukan pernikahan dengan wanita di negara berkembang, sementara mereka juga memiliki istri ditempat asal mereka.

Ulama kontemporer lain yang cukup perhatian dengan polemik Mis-yar adalah Yusuf Qardlawi,27 ia mendefinisikan Mis-yar dengan pernikahan dimana suami mendatangi kediaman istri dan istri tidak berpindah hidup bersama di rumah suami.

25

Ibid., 26

Wahbah Zuhaily, Tajdid al-Fiqh al-Islam, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), h. 170 27

Yusuf Qardlawi, Zawaju Mis-yar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, h. 9.


(30)

Definisi ini nampaknya terilhami dari kejadian yang melanda seorang perempuan yang hidup tidak jauh dari lingkungan tinggal Qardlwi.28 Ketika ia membahas polemik Mis-yar. Ia menganalogikan dengan kejadian tentang orang wanita yang tinggal mati oleh suaminya, dari suami pertama ini sang wanita memiliki dua anak dan harta yang cukup untuk diri dan dua anaknya. Sehubungan dengan usianya yang masi muda, ia kemudian melangsungkan perkawinan dengan pria yang tinggal berbeda kota dengannya, pria tersebut tidak hidup satu atap bersama mereka, tetapi hanya berkunjung sesekali, ia juga tidak memberikan nafkah materi dikarenakan wanita tersebut memiliki harta yang cukup bahkan lebih.

Dari sinilah kemudian ia mendefinisikan Mis-yar sebagai sebuah perkawinan yang dijalani oleh pasangan dimana suami tidak hidup bersama dengan istri yang tentu kondisi seperti ini menjadi istri kehilangan hak-hak perkawinannya.

Dalam pandangan Islam di samping pernikahan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.29

28

Ibid., h. 9. 29

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet- 2 h. 41


(31)

B. Pandangan Para Ulama Mazhab

Pernikahan Mis-yar dibina berasaskan tolak ansur antara suami istri mengenai tempat tinggal, nafkah pembagian giliran bermalam antara istri-istri dan sebagainya.

1. Perumahan (Tempat Tinggal)

a. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi.

Menyediakan rumah adalah tanggung jawab suami, karena nafkah dalam segala bentuknya adalah tanggungan suami, mahar bukanlah sebagai ganti dari fasilitas tersebut, karena mahar adalah milik penuh istri, tidak ada satu dalil pun yang mewajibkan istri menyediakan segala fasilitas tersebut.30

b. Pendapat Ulama Mazhab Maliki

Istri harus ikut membantu suami dalam penyediaan rumah, bantuan istri tersebut dalam batas mahar yang diambilnya, atau dalam batas-batas tradisi yang ada daerah tersebut. Bahwa agama memberikan hak tempat tinggal kepada istri, baik dalam bentuk kerja sama dengan suami atau pun tidak.31

30

Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 22 31

Ibid., h. 22


(32)

2. Pembagian yang adil

Kondisi berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, biasanya menyulitkan suami untuk memenuhi tuntutan keadilan dalam membagi waktu antara istri-istrinya. Apabila suami beristri lebih dari satu, tidak boleh ai berdiam disalah satu istrinya kurang dari satu malam, hal ini tidak ada perselisihan. Apa bila ia berdiam lebih dari satu malam di rumah salah satu istri ia berdiam lebih dari satu malam di rumah salah satu istrinya, ada beberapa pendapat:

a. Mazhab Hanafi.

Suami harus menentukan masa berdiam di salah satu istrinya, karena masa berdiam pada rumah istri-istrinya, tidak ditentukan oleh syariat, tapi dikembalikan oleh kebijaksanaan suami, akan tetapi syariat tidak memberikan suami begitu saja, syariat memberikan batasan jangan sampai lebih dari empat bulan, karena empat bulan adalah batas waktu habisnya ilaa’.32

b. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki membolehkan lebih dari sehari semalam, dan boleh juga waktu itu dikurangi, kalau tidak ada kerelaan baik itu dalam penambahan maupun pengurangan, maka wajib bagi suami membaginya dengan adil. Hal ini bisa dilakukan apabila

32

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam (Jakarta: Darul Haq, 2006), Cet. 1, h. 556.


(33)

istri-istrinya berada di daerah yang sama, atau di dua daerah yang berbeda dalam satu teritorial.33

c. Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa lebih baik suami membagi waktu antara istrinya satu malam penuh dan dibolehkan membagi dua malam atau tiga malam tanpa kerelaan mereka, tetapi mazhab Syafi’i tidak membolehkan lebih dari tiga malam, tanpa kerelaan mereka,34 hal ini disebabkan oleh:

1) Berkemungkinan suami meninggal dalam waktu sepanjang itu, sementara ia belum memenuhi kewajiban tinggal pada salah satu istrinya yang berhak atas itu, maka pada saat itu ia telah melalaikan kewajibanya, karena tidak adil dalam pembagian.

2) Waktu yang panjang dapat menyebabkan istri yang lain merasa kesunyian dan kegelisahan karena kesendirianya.

d Mazhab Hanbali

Tidak boleh suami berdiam di salah satu istrinya lebih dari satu malam tanpa izin dari istri-strinya yang lain.

33

Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 25 34

Ibid., h. 25


(34)

Imam Nawawi mengomentari tentang bulan madu ditetapkan sebagai hak perempuan, dan harus didahulukan dari yang lain apabila perempuan itu masih perawan, maka dia berhak selama tujuh hari tujuh malam tanpa mengganti, kalau ia janda maka ia berhak memilih boleh tujuh malam, maka suami harus berdiam di tempat istri yang lain selama tujuh malam juga, atau tiga malam ini tanpa harus menggantinya pada hari yang lain.35

C. Fatwa-Fatwa Terkini Tentang Perkawinan Mis-yar 1. Mufti Mesir : Dr. Nashir Farid Washil

Ia berkata, perkawinan Mis-yar terjadi karena realita, dan keterjepitan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Arab Saudi yang meluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini. Perkawinan ini beda dengan perkawinan Mut’ah dan perkawinan Temporal lainnya, perkawinan Mis-yar adalah perkawinan yang mencukupi rukun akad yang disyariatkan, seperti : ijab, qabul, saksi,

dan wali. Perkawinan ini adalah sah, hanya saja dalam perkawinan ini,

laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa

35


(35)

dia tidak akan menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tangungan laki-laki sebagai suaminya.36

Jika istri dalam kondisi membutuhkan terhadap hak-haknya, ia boleh menuntut karena itu adalah hak-hak yang selayaknya ada dan berubungan erat dengan perkawinan, meskipun sebenarnya dia kaya atau orang tuanya memberikan nafkah kepadanya, tapi apabila istri sedang membutuhkannya, boleh menuntut nafkah.37

Sama dengan warisan, istri berhak menerima warisan dari suaminya. Meskipun dia sudah tanazul (mengalah) dalam masalah nafkah, tidak semestinya dia juga mengalah dalam masalah warisan, kecuali apabila suaminya udah meninggal sedangkan ia telah mendapatkan jatah warisan dan menerima haknya, karena warisan adalah hak umum yang tidak dibolehkan tanazul padanya kecuali apa bila haknya sudah diberikan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 33.

                              ) ءﺎﺴﻨﻟا / 4 : 33 ( 36

Ibid., h. 33 37

Ibid., h. 34


(36)

Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya

Allah menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 4 (an-Nisa):

33).

2. Prof. Dr. Muhammad Rawi

Anggota Badan Peneliti Islam (Majma’ al- Buhuts al-Islamiah) dan sebagai Dekan Fakultas Qur’an Karim di Universitas al-Imam Muhammad Ibn Sa’ud,dia berpendapat bahwa suatu perkawinan mempunyai hukum-hukum dan ketentuan-keteuannya, permasalahan peredaman dan keterlambatan kawin sering muncul, bagaimana kita mengindari pengaruh buruknya. Bahwa tidak ada cara untuk memelihara kemanusiaan, khususnya perempuan dari kerusakan, kecuali dengan mengisi kekosongan dengan pekerjaan, mengarahkan kemauan dengan iffah (menjaga diri dari maksiat) dan membiasakan diri dengan sabar.38 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nuur ayat 33 yang berbunyi:

             … ) رﻮﻨﻟا / 24 : 33 (

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah

menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah

38


(37)

memampukan mereka dengan karunia-Nya”. (QS. 24 (an-Nuur): 33).

Kecenderungan seksual adalah kecenderungan yang memyebabkan timbulnya Mis-yar atau bahkan kawin ‘Urfi (di bawah tangan), untuk kecenderungan ini, maka Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuannya. Tapi kita harus memudahkan bukan merumitkan, pada saat kita memudahkan pintu-pintu yang halal maka pintu-pintu yang haram akan terbuka. Tidak ada penyelesaian dari krisis ini kecuali kembali pada apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Menurut Dr. Fauziah Abdussattar.

Dosen Hukum Pidana di Universitas Cairo, berkata, dia mempunyai beberapa analisa tentang perkawinan Mis-yar ini dan akan saya simpulkan ke dalam beberapa poin yaitu:39

a. Dalam perkawinan Mis-yar, suami kehilangan harga dirinya karena tidak memenuhi semua kewajiban, maka dia hanya menjadi tanggungan bagi istri.

b. Menurut saya keterlambatan kawin karena uzur lebih baik daripada perkawinan perjalanan seperti ini, karena tidak terealisasikan tujuan-tujaun perkawinan, dan hanya akan membuka pintu-pintu untuk menyimpang.

39

Ibid., h. 42


(38)

c. Sesungguhnya perkawinan Mis-yar tidak bisa menerapkan persyaratan “adil” antara para istri, karena suami berdiam pada salah seorang istri beberapa hari sementara di tempat lain satu tahun.

D. Mis-yar : Nikah Mut’ah, Temporal (Az-Zawaj Al-Muaqqat), dan ‘Urfi Asumsi awal ketika seorang mengetahui apa sebenarnya nikah Mis-yar sesuatu yang terlintas dalam pikiran mereka pernikahan ini adalah nama lain dari nikah Mut’ah atau ‘Urfi. Nikah Mis-yar ini merupakan perkawinan yang terbatas massanya, sebab ketika suami yang melakukan perjalanan dan melaksanakan pernikahan, kemudian ia kembali ke daerah asalnya, maka besar kemungkinan pernikahan, ini tidak bisa dilanjutkan dan berakhir.40

Berdasarkan asumsi awal ini, maka nikah Mis-yar memiliki kesamaan ungsur dalam hal membatasi waktu perkawinan sebagai terdapat dalam nikah Mut’ah. Namun demikian hipotesa ini perlu kita lihat lebih ekstensif melalui metodelogi ijtihad yang telah tersedia, sehingga kesimpulan yang akan dapat kiranya memiliki dasar dan alasan yang argumentatif dalam konteks ilmu fiqih. Untuk mengetahui titik perbedaan dan persamaan

(Qadru al-Isytrak) Mis-yar dengan nikah Mut’ah atau bukan , sebagaimana

keterangan di bawah ini:

40


(39)

1. Nikah Mut’ah

Dalam sejarah Tasyrik hukum Islam. Nikah Mut’ah merupakan salah satu perkawinan atau hubungan badan yang disepakati para fuqaha, pernah dan dibolehkan. Namun selanjutnya mengenai pengapusan (nasakh) nikah Mut’ah menyisakan perdebatan yang panjang antara Syiah dan Sunni.41

Mut’ah adalah akad perkawinan yang dilaksanakan untuk waktu tertentu dengan mahar yang ditentukan, baik untuk waktu yang panjang maupun pendek, akad ini berakhir dengan berakhirnya waktu akad, tanpa jatuh talak.42

Untuk menyamakan atau setidaknya meng-Qias-kan Mis-yar dengan Mut’ah nampaknya hal yang sulit diterima oleh akal, sebab melakukan Qiyas diperlukan empat ungsur yang harus ada, sebagaimana ketentuan berlaku dalam metode Qiyas yang dilakukan oleh kalangan Ushuli, rukun Qiyas tersebtu,43 yaitu:

a. ﻞﺻﻻا: yakni sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran hukum dan permasalahan yang belum terdapat ketetapan hukum secara Qat’i, al-Ashlu juga bisa dimaknai dengan nash yang memiliki

41

Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 77

42

Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 65 43

Muhammad Bin Ali As-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul (Beirut: Dar al-Kutub 1994), Cet- 1. h. 304


(40)

ketetapan hukum terdapat satu perkara dan bukan sesuatu itu sendiri. Dalam masalah ini al-Ashlu adalah Mut’ah atau firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 24.

b. عﺮﻔﻟا: yaitu cabang atau permasalahan yang biasanya merupakan

fenomena baru. Sehingga belum terdapat ketetapan hukum secara Qat’i dalam nash syar’i, untuk mengetahui eksistensinya di hadapan hukum memerlukan upaya analisis tekstual atau kontekstual dengan menggunakan teori-teori hukum yang kedudukan sebagai furu’ yang memerlukan jawaban hukum.

c. ﺔﻄﻟا: makna dari ‘illat diartikan sengat berfariasi, salah satunya

yang di nasabkan kepada Gazali, bahwa ‘illat adalah sesuatu yang harus terdapat dalam hukum , dalam arti bahwa syara menjadikan sebagai alasan yang mendasar hukum tersebut lahir. Dalam konteks Mut’ah yang dianggap ‘illat pengharaman nikah ini adalah pembatasan waktu yang terdapat dan disebabkan dalam akad nikah, sebab tindakan memberikan batasan usia perkawinan dalam kalimat akad merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam, sehingga Mut’ah bertentangan dengan tujuan dari pernikahan yang telah digariskan oleh syara. Dalam kaitannya dengan ‘illat sebagai sebuah alasan hukum keharaman

Mut’ah, hal tersebut tidak ditemukan dalam Mis-yar, sebab nikah

Mis-yar tidak secara defenitif dan tegas memberikan batasan usia


(41)

d. ﻞﺻﻻا ﻢﻜﺣ: adalah ketetapan hukum yang telah ada terdapat sesuatu yang menjadi sandaran dalam Qiyas (dalam hal ini adalah al-Ashlu), sehingga dapat diambil hipotesa atau Nahjah (kesimpulan) hukum yang diambil berdasarkan titik temu antara al-Ashlu dan al-Furu’ dalam kesamaan ‘illat yang ditemukan pada keduanya.

Dari analisa tersebut diatas, maka Mis-yar tidak memiliki titik temu dengan Mut’ah dalam hal ‘illat, meskipun memiliki kesamaan pada poin tertentu yakni perkawinan. Ketika tidak ditemukan ‘illat dalam Qiyas maka kita tidak bisa menarik hipotesa hukum furu’ sebagaimana terdapat dalam al-Ashlu, sebab ini merupakan hal yang berbeda dan tidak diberikan oleh kaidah ushul fiqh, meng-Qiyas-kan sesuatu yang tidak memiliki kesamaan ‘illat adalah tidak dibenarkan “ ‘Qiyas Ma’a al-Fariq Bathilun”.

2. Nikah Temporal

Pendapat jumhur tentang perkawinan yang membatasi waktu adalah Mut’ah meskipun menggunakan kalimat nikah atau zawaj. Ditentukan oleh Zufar salah satu ulama Hanfi, ia menegaskan bahwa

Mut’ah haruslah menggunakan kalimat istimta dan memberikan

batasan waktu. Sementara jika akad dilangsungkan memakai kalimat

nakaha atau zawaja dan memberikan batasan waktu maka perkawinan


(42)

ini disebutnya dengan Azzawaj al-Muaqqat (nikah Temporal). Status perkawinan ini sah dan bukan termasuk dalam Mut’ah.44

Hal yang perlu digaris bawahi dari Mis-yar bahwa tidak memberikan batasan waktu dalam lafadz akad seperti yang terjadi dalam Mut’ah atau nikah Temporal. Akan tetapi Mis-yar memiliki kecendrungan kuat untuk terjadinya perpisahan antara istri dan suami, hanya saja dalam waktu yang tidak diketahui kapan (majhulun). Ini berarti Mis-yar secara esensi juga memberikan batasan akan usia perkawinan, meskipun terbuka kemungkinan akan terus berlanjut namuan dalam probelitas yang kecil.45

3. Nikah ‘Urfi

Terminologi nikah Mis-yar memang harus diakui merupakan jenis perkawinan yang belum masyhur dikalangan masyarakat umum seperti ‘Urfi sehingga ada kalanya orang berpandangan bahwa Mis-yar adalah nama lain dari nikah ‘Urfi. Dalam pandangan ini sebenarnya hal ini tidak dibenarkan, namun juga tidak bisa disalahkan secara mutlak. Perbedaan yang terjadi antara Mis-yar dan ‘Urfi sangat jelas. Mis-yar adalah pernikahan yang sah dan tertulis menurut Undang-Undang formil pemerintahan. Hal ini dibenarkan oleh Qardlawi, bahwa nikah

Mis-yar banyak terjadi di negara Saudi Arabia dan Uni Emirat, dan

44

As-Sarakhsyi, al-Mabsuth, IV, hal. 144. dan Wahbah Zuhaily, Fiqh Islam, h. 6611 45


(43)

pelakunya mendaftarkan secara resmi pernikahan ini kepada petugas pencatat perkawinan.46 Namun memang ditemukan dalam beberapa kasus, terdapat pelaku nikah Mis-yar yang tidak mendaftarkan kepada

petugas pencatat nikah secara resmi.

Nikah ‘Urfin sendiri disuarakan oleh kebanyakan fuqaha dengan pernikahan yang haram, disebabkan pernikahan ini membahayakan posisi wanita yang lemah. Sehubungan dengan tidak tercatatnya perkawinan oleh petugas pencatat resmi, maka jika dikemudian hari terjadi permasalahan yang menyangkut pertikaian sengketa perkawinan, sulit kiranya pihak istri untuk melakukan pengaduan kepada lembaga Peradilan atau Qadli.47 Alasan ini menjadi dasar utama haramnya nikah ‘Urfi di mata fuqaha kontemporer. Oleh karena itu penulis menarik satu kesamaan tujuan dari fuqaha yang mengatakan keharaman nikah ‘Urfi dengan Mis-yar, yaitu menjaga kemaslahatan dan hak-hak wanita dalam perkawinan dari keadaan yang membahayakan istri dan anak-anaknya.

46

Yusuf Qardlawi, Zawaj al-Misyar, h. 15 47

Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 52


(44)

E. Alasan Yang Mendasar Mis-yar

Kondisi seseorang dalam kehidupan menjadi hukum menikah relatif dan dilihat pada sebatas mana kebutuhan dan urgensi menikah. Ibnu Qudamah membagi kepada tiga katagori:

Pertama: Adalah mereka yang kondisinya menghawatirkan akan

membawanya kepada zina dan maksiat, orang tersebut maka diwajibkan untuk segerah menikah.

Kedua: adalah mereka yang hidup dan aktifitasnya terjauh dari

kencendrungan maksiat dan zina, maka ia disunnahkan untuk menikah.

Ketiga: Adalah mereka yang tidak mampuh baik secara lahir atau batin,

bentuk ketiga ini sebagian ulama menganjurkan untuk tidak menikah, dan sebagian menganjurkan untuk tetap menikah.

Menikah memang merupakan salah satu solusi terhindar dari zina, sehingga membujang (tabattul) sepanjang hidup adalah kondisi yang dilarang oleh Rasul sebagaimana beliau pernah melarang Utsman Bin Madz’un.48 Menikah tetap dianggap pilihan yang baik, meskipun secara finansial atau dalam memenuhi kewajiban lainnya masih terdapat kendala. Rasullah saw sendiri pernah mengawinkan seorang laki-laki yang tidak memiliki selain baju yang dikenakan, dan memberi maskawin hanya dengan cincin dari besi. Oleh karenanya dalam pandangan Qardlawi, pernikahan

48

Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Muslim, IX, h. 176. Ibn Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bary, (Kairo: Maktabah Salafiayah, 1408 H), Juz IX, h. 118.


(45)

laki-laki dengan wanita yang datang kepadanya sewaktu-waktu siang atau malam adalah lebih baik dan utama dibandingkan hidup melanjang selamanya.49

Gambaran akan kondisi ketika seseorang tidak mampuh untuk menjaga diri (iffah), maka ketidak mampuan memenuhi kewajiban menjadi hal yang dikesampingkan sebab melihat dampak kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kaidah ushuli: “ apabila bertemu dua mafsadah maka didahulukan mafsadah yang lebih kecil”.

49

Yusuf Qardlawi, Zawaj Mis-yar: Fenomena Baru Dalam Perjodohan Manusia, h. 39 34


(46)

CISARUA KABUPATEN BOGOR (JAWA BARAT)

A. Letak Geografis

1. Kondisi Fisik dan Wilayah

Desa Tugu Selatan merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang terdiri dari 7 (tujuh) Kepala Dusun, 17 (tujuh belas) Ketua Rukun Warga (RW) dan 43 (empat puluh tiga) Ketua Rukun Tetangga (RT).50

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari lapangan, data Monografi Desa Tugu Selatan Tahun 2010 dimana luas wilayah sekitar 1.656.152,52 2

Ha/M sebagai berikut: Table 1

Luas Wilaya Desa Tugu Selatan Menurut Penggunaan

No Wilayah Luas. 2

Ha/M

1 Pemukiman 177.200 2

Ha/M 2 Perkarangan 425.606 Ha/M 2

3 Pervilaan 531.118 2

Ha/M

4 Perladangan 50 2

Ha/M

50

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011


(47)

5 Pertokoan / Perdagangan 5 2 Ha/M

6 Tegalan 21.265 2

Ha/M

7 Empang 1.940 2

Ha/M

8 Pemakaman 10.160 2

Ha/M

9 Tanah Wakaf 0,560 2

Ha/M

10 Jalan Desa 2.460 2

Ha/M

11 Bangunan Sekolah 0.960 2

Ha/M

12 Jalur Hijau 32.215 2

Ha/M

13 Perkebunan Negara 454.132 2

Ha/M

Jumlah 1.656.152,52 2

Ha/M Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

Dengan Batas wilaya Desa Tugu Selatan, yaitu sebagai berikut: Table 2

Batas Wilayah

No Batas Wilayah Desa / Kelurahan Kecamatan

1 Wilayah Utara Tugu Utara Cisarua

2 Wilayah Selatan Kabupaten Cianjur -

3 Wilayah Timur Ciloto Pacet

4 Wilayah Barat Cibeureum Cisarua

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011


(48)

Adapun jarak yang ditempuh dari kelurahan Desa Tugu Selatan ke Ibu Kota Kecamatan, Kabupaten, Ibu Kota Propinsi, dan Ibu Kota Negara adalah sebagai berikut:

Table 3 Jarak Tempuh

No Wilayah Jarak

1 Ibu Kota Kecamatan 6 Km

2 Ibu Kota Kabupaten 45 Km

3 Ibu Kota Propinsi 90,3 Km

4 Ibu Kota Negara 84,2 Km

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

Kelurahan Desa Tugu Selatan merupakan daerah dataran tinggi atau daerah puncak yang terletak berada ketinggian antara 1.000 s/d 1.025 M dari permukaan air laut, daerah ini merupakan daerah puncak dan memiliki iklim dengan curah hujan 33 Mm/Tahun dengan jumlah bulan hujan 4/bulan dan suhu rata-rata harian yaitu 20 s/d 24 C0 .51

51


(49)

-2. Struktur Pemerintahan Desa Tugu Selatan

Dalam pemerintahan Desa Tugu Selatan ada beberapa targetan yang harus dicapai, dengan Visi dan Misi sebagai berikut:

Visi :

Mewujudkan Desa Tugu Selatan sebagai desa yang Mandiri, Madani, dan Berpancasila.

Misi :

 Mewujudkan pemerintahan desa yang bersih, tertib, disiplin

dan beribawah serta mampuh mereformasi diri hingga timbul kepercayaan dari masyarakat

 Meningkatkan jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan

potensi desa yang lebih profesional dengan melibatkan dunia usaha

 Peningkatan hermonisasi antara kelompok masyarakat dalam

bidang keagamaan, peningkatan keamanan dan ketertiban di masyarakat

 Meningkatkan pemanfaatan pengelolahan sumber daya alam

dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melastarikan lingkungan hidup

 Mewujudkan demokratisasi yang lebih kokoh dan bermoral. 38


(50)

Upaya-upaya yang dilakukan Desa Tugu Selatan dalam rangka meningkan pemberdayaan masyarakat, yaitu:

a. Mengimbau kepada dunia usaha yang ada di Desa Tugu Selatan untuk merekrut tenaga kerja dari masyarakat Desa Tugu Selatan

b. Mengimbau kepada dunia usaha, agar membeli hasil pertanian masyarakat Desa Tugu Selatan

c. Yayasan PGB peduli :

1). Bela diri bangau putih

2.) Kursus bahasa inggris

3.) Kursus bahasa jepang

4.) Kursus komputer

5.) Latihan menjahit

d. Kerjasama dengan pengusaha Jepang

e. Pembuatan biologis yang dipelopori LPM Desa Tugu Selatan yang berasil dari limbah sapi

f. Pembuatan para bola tenaga surya yang dapat dimanfaatkan untuk siaran televisi dan juga dapat dimanfaat untuk memasak.


(51)

Dengan susunan kepengurusan kelurahan Desa Tugu Selatan, sebagai berikut:

Susunan Kepengurusan Pemerintahan Desa Tugu Selatan

Kepala Desa : Rusli Doelbari

Sekretaris Desa : Dahi W. Chanfra

Bendahara : Enung Nani

Kr. Pemerintahan : Yayat Kr. Pembangunan : Balni

Kr. Kesra : Nunu Sunarsi

Kr. Perekonomian : Yadi Mulyadi Kr. Keuangan : S. Hidayat

Kr. Umum : Dahlan

Kadus I : Asep Utuy

Kadus II : H. Saeful

Kadus III : St. Mukromah

Kadus IV : Dadang

Kadus V : H. Ade S.

Kadus VI : H. Ahlan S.

Kadus VII : Ukut S.


(52)

B. Letak Demografi 1. Penduduk

Jumlah penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan sampai akhir bulan Desember 2010 tercatat berjumlah 15.185 jiwa yang terdiri dari 4.085 jiwa kepala keluarga (KK). Dengan ketentuan sebagai berikut:

Table 4

Jumlah Penduduk Keseluruhan s

u m b e r

Sumber data: Profil Dan Potensi Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua Kab. Bogor

Berdasarkan tabel diatas jumlah penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki dari pada kaum perempuan. Dan ada yang memiliki Dwi Kewarganegaraan dengan jumlah 10 jiwa, yang terdiri dari 6 jiwa laki-laki dan 4 jiwa perempuan.

No Jenis Kelamin Jumlah Jiwa

1 Laki-Laki 7.857 Jiwa

2 Perempuan 7.328 Jiwa

Jumlah 5.185 Jiwa


(53)

Dengan jumlah tingkat pernikahan Tahun 2010 yang tercatat di KAU Cisarua dengan jumlah 486 pernikahan. Dengan jumlah perincian perbulan, sebagai berikut:

Table 5

Tingkat Pernikahan Perbulan

No Bulan Jumlah Pernikahan

1 Januari 13

2 Februari 10

3 Maret 36

4 April 26

5 Mei 15

6 Juni 26

7 Juli 144

8 Agustus 13

9 September 6

10 Oktober 15

11 Novemberda 22

12 Desember 30

Sumber data: Arsip Catatan Nikah KUA. Cisarua Kab. Bogor Tahun 2010 42


(54)

2. Pendidikan

Mengenai gambaran tingkat pendidikan masyarakat kelurahan Desa Tugu Selatan secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 6

Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Desa Tugu Selatan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa

1 SD 379 Jiwa

2 SMP 675 Jiwa

3 SMA 160 Jiwa

4 DIPLOMA D2 15 Jiwa

5 DIPLOMA D3 7 Jiwa

6 Strata - 1 25 Jiwa

7 Putus Sekolah 3 Jiwa

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

Dari table diatas dapat digambarka bahwa pendidikan masi dibawah setandar, karena kebanyakan penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan masi banyak yang tamat SMP yakni berjumlah 675


(55)

jiwa disusul oleh jumlah terbanyak kedua yaitu SD dengan jumlah 379 jiwa dan yang ketiga SMA dan seterusnya.

Adapun yang terkait dengan pembangunan dan sarana yang mendukung pendidikan, baik saran dan prasarana pendidikan maupun saran dan prasarana peribadatan kelurahan Desa Tugu Selatan sebagai berikut:

Table 7

Sarana dan Prasarana Pendidikan

No Sarana Pendidikan Jumlah

1 TK 2 Unit

2 SD 5 Unit

3 Tsanawiyah 1 Unit

4 SLTP 1 Unit

5 Lembaga Pendidikan Agama 14 Unit 6 Lembaga pendidikan lain-lain 11 Unit Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011


(56)

Tabel 8

Sarana Prasarana Peribadatan

No Sarana Peribadatan Jumlah

1 Madrasah 12 Unit

2 Pondok pesantren 12 Unit

3 Musholah 47 Unit

4 Majlis ta’lim 42 Unit

5 Masjid jami 31 Unit

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

Dari tabel diatas merupakan saran dan prasarana pendidikan dan sarana dan prasarana peribadatan, dan ada beberapa sarana dan prasarana lainnya yang berada di kelurahan Desa Tugu Selata seperti sebagai berikut:

Tabel 9

Sarana dan Perasana Lainnya

No Sarana dan Prasarana Jumlah

1 Kesehatan (Posyandu) 20 Unit

2 Kantor Desa 1 Unit

3 Balai Pertemuan 1 Unit


(57)

5 Perhubungan 16 Unit

6 Perdagangan 856 Unit

7 Villa 470 Unit

8 Hotel dan Restoran 9 Unit

9 Wisma 6 Unit

Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

3. Keagamaan

Mengenai tentang agama, masyarakat kelurahan Desa Tugu Selatan mayoritas beragama Islam, merupakan masyarakat yang agamis, masyarakat yang taat agama dan patuh pada pemuka agama. Para pemuka agama mempunyai kharisma yang baik dimata masyarakat, sehingga fatwa-fatwa apapun yang mereka ucapkan akan ditaati oleh masyarakat.52

Sehingga keagamaan sangat kental di kelurahan desa tersebut. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sarana dan prasarana pendidikan dan peribadatan yang ada. Musholah, Majlis Tak’lim dan Mesjid yang jumlahnya begitu banyak. Dapat lihat jumlah penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan yang berdasarkan agama, yaitu sebagai berikut:

52

Rusli Doelbari, Kepala Desa Tugu Selatan, Wawancara Pribadi, Cisarua, 12 maret 2011.


(58)

Tabel 10

Jumlah Penduduk Berdasakan Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 15.117 Jiwa

2 Protestan 63 Jiwa

3 Katholik 5 Jiwa

Jumlah 15.185 Jiwa

Sumber data: Profil Dan Potensi Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua Kab. Bogor

C. Sosial Ekonomi

1. Pekerjanan Pokok

Keadaan mata pencaharian penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan dengan pendapatan masyarakat Tahun 2010 Rp. 2.800.000; perjiwa pertahun atau sebesar Rp. 905.000; per KK perbulan, dan ada beberapa perkerjaan pokok yang menjadi pekerjaan mereka, adalah sebagai berikut:

Tabel 11

Mata Pencaharian Pokok

No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan

1 Buruh Tani 319 Jiwa 146 Jiwa

2 Pegawai Negri Sipil 201 Jiwa 171 Jiwa


(59)

4 Pedagang Keliling 91 Jiwa 38 Jiwa

5 Peternak 30 Jiwa 18 Jiwa

6 Montir 12 Jiwa -

7 Bidan Swasta - 2 Jiwa

8 Perawat Swasta 1 Jiwa -

9 Pembantu Rumah Tangga 28 Jiwa 99 Jiwa

10 POLRI 23 Jiwa -

11 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 168 Jiwa 72 Jiwa 12 Pengusaha Kecil & Menengah 733 Jiwa 400 Jiwa

13 Dukun Kampung Terlatih - 7 Jiwa

14 Karyawan Perusahaan Swasta 328 Jiwa 312 Jiwa 15 Karyawan Perusahaan Pemerintah 753 Jiwa 400 Jiwa Sumber data: Profil Dan Potensi Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua Kab. Bogor

Berdasarkan tabel diatas pekerjaan pokok sebagai mata pencaharian penduduk kelurahan Desa Tugu Selatan yang bermayoritas sebagai karyawan dan pengusaha, sedangkan sebagai buruh tani dan pertenakan masi sedikit.

2. Pertanian

Letak wilayah kelurahan Desa Tugu Selatan, merupakan wilayah perbukitan dan suhu yang rendah cocok untuk pertanian dan perternakan. Sedangkan hasil dari pertania berupa tanaman


(60)

sayuran dan buah-buahan, dengan jumlah keluarga yang memiliki tanah pertanian tanaman pangan 930 keluarga, di tambah dengan keluarga yang memiliki lahan tanaman buah-buahan yang berjumlah 366 keluarga, dan keluarga yang mempunyai lahan perkebunan dengan jumlah 35 keluarga. Dengan hasil pertanian dan perternakan Sebagai berikut:

Tabel 12

Hasil Tanaman Menurut Komoditas Tahun 2010

No Nama Tanaman Luas Pengasilan

1 Tanaman pangan 93,5 Ha 345,7 Ton/Ha

2 Tanaman buah-buahan 12,401 Ha 46,1 Ton/Ha

3 Tanaman Apotik 3,15 Ha 97,5 Ton/Ha Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

Tabel 13

Hasil Perternakan dan Pemanfaatan

No Perternakan Jumlah Populasi Pendapatan 1

Sapi Perah 270 Ekor/Th -

2 Kuda Tunggang 100 Ekor 960 Jt/Th


(61)

4 Ikan Nila 2,4 Ton/Th - Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011

D. Budaya dan Olah Raga

Desa Tugu Selatan merupakan daerah dataran tinggi atau daerah puncak, yang merupakan tempat wisata. Banyak dari luar daerah yang berwisata ketempat tersebut. Masyarakat Desa Tugu Selatan yang berbagai macam etnis / suku yang terdiri dari, sebagai berikut:

Tabel 14

Berbagai Macam Etnis / Suku

No Etnis/Suku Laki-laki Perempuan

1 Sunda 7.720 Jiwa 6.983 Jiwa

2 Jawa 130 Jiwa 120 Jiwa

3 Melayu 4 Jiwa 3 Jiwa

4 Betawi 15 Jiwa 21 Jiwa

5 Madura 1 Jiwa -

6 Minang 51 Jiwa 63 Jiwa

7 Batak 15 Jiwa 17 Jiwa

8 Aceh 2 Jiwa 1 Jiwa

Sumber data: Profil Dan Potensi Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua Kab. Bogor

Setiap desa pasti mempunyai suatu budaya atau kebiasaan yang ada hingga kini masi dijalani oleh masyarakat setempat. Walau pun berbagai 50


(62)

macam Etnis / Suku meraka selalu menjalankan bersama secara rutin, Seperti Swadaya Gotong Royong Masyarakat dalam pembangunan saran dan prasarana ibadah dan Hari Besar Islam (HBI). Dan ketika suatu ada acara atau kegiatan biasanya menampilkan Tari Jaipong dan Angkelung sebagai seni budaya.53

Dan dibidang olah raga yang terkenal yaitu, Gantole (Paralayang). Banyak prestasi yang dirahi berbagai macam kejuaraan salah satunya adalah Juara 1 Beregu dan Perorangan di Batu Open Malasyia Tahun 2008.

53


(63)

BAB IV

TINJAUAN UMUM MENGENAI NIKAH WISATA DI PUNCAK DESA TUGU SELATAN KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

(JAWA BARAT)

A. Pengertian Nikah Wisata

Dalam hukum perkawinan Islam terdapat beberapa bentuk perkawinan yang dilarang. Diantaranya adalah kawin mut’ah atau kawin kontrak. Dalam bab ini akan membahas tentang nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu’aqqat. Dinamakan nikah wisata atau nikah mu’aqqat, ini merupakan salah satu praktek nikah mut’ah yang terjadi di masyarakat, karena pernikahan jenis ini telah di tentukan batas waktu berlangsungnya pernikahan, dan pernikahan ini hanya untuk bersenang-senang saja antara pria dan wanita untuk memuaskan nafsu biologisnya saja, bukan untuk bergaul sebagai suami istri dengan membina rumah tangga yang sejahtera.

Tentang nikah wisata, karena ada fenomena yang terjadi di masyarakat yang hendak nikah dengan syarat formal dipenuhi namun diniatkan untuk sementara. Masalah ini pun menjadi sorotan publik karena dianggap mencederahi hak perempuan. Yang lebih memperhatikan, fenomena itu telah menjadi lahan bisnis bagi sekelompok orang, seperti di daerah puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Pada bulan-bulan tertentu, wisatawan asal Timur Tengah membanjiri kawasan tersebut untuk menekahi sesaat dengan perempuan-perempuan lokal.


(64)

Masalah ini menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga perlu untuk mengeluarkan fatwa. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI di Twin Plaza, Jakarta 25 – 28 Juli, membahas 7 (tujuh) materi dari 15 (lima belas) usulan fatwa yang akan diverifikasi tim materi fatwa MUI Pusat. Salah satu dari 7 (tujuh) materi itu adalah tentang nikah wisata.54

Dalam Musyawarah Nasional (Munas), Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengelurkan fatwa mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisata muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata. Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu’aqqat yang merupakan praktek nikah mut’ah hukumnya haram. Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja.55

Ma’ruf Amin mengatakan bahwa praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi namun dibawah tangan dan umumnya dilakukan di beberapa daerah tertentu.56 Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana

54

MUI, “nikah wisata atau nikah muaqqat haram hukumnya”, artikel diakses pada 21 January 2011 dari http://sosialbudaya.tvone.co.id/2010/07/27/mui_nikah_wisata muaqqat_haram_hukumnya/

55 Ibid., -56

Munas VIII MUI, “nikah wisata haram hukumnya”, artikel diakses pada 21 January 2011 dari http://www.dakwatuna.com/2010/mui-haramkan-nikah-wisata-nikah-muaqqat/


(65)

para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar “mahar” dalam jumlah lumayan besar.

Rayan Mufti, seorang pengacara, dia menggamabarkan pernikahan wisata sebagai prostitusi yang disahkan. Pernikahan ini populer di kalangan pria yang ingin melakukan zina dengan surat ijin. Ini benar-benar percabulan karena pernikahan-pernikahan ini dirancang hanya untuk kenikmatan seksual tanpa tanggung jawab dari sebuah pernikahan yang selayaknya. Pernikahan tersebut terutama merugikan kaum wanita yang diperlukan seperti komoditi, dan pernikahan tersebut dapat juga merugikan bagi anak-anak yang akan lahir, karena mereka seringkali berakhir tanpa ayah.57

Abdullah Al Jifin, seorang peneliti Islam, mengatakan bahwa pernikahan yang memiliki periode waktu tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya tidak dianggap legal di mata syariah. Pernikahan wisata yang dimaksudkan untuk berakhir setelah periode waktu tertentu adalah haram.58

Dr. Sameer Zamou, seorang konsultan untuk penyakit kulit dan kelamin, memperingatkan bahwa pernikahan itu bisa membuat mereka yang terlibat terkena penyakit menular seksual, seperti herpes dan AIDS.59

Saleh Al-Daboul, Propesor sosiologi kriminal di Sekolah Tinggi Keamanan Raja Fahd di Riyadh, mengatakan banyak problem sosial yang berasal dari pernikahan semacam itu, suami seringkali meninggalkan istri

57

Pakar syariah, “haram hukumnya praktek nikah wisata”, artikel diakses pada 21 January 2011 dari http://www.suaramedia.com/pakar-syariah-haramkan-praktik-qpernikahan-wisataq.html

58 Ibid., - 59

Ibid.,


(66)

dan anak mereka tanpa peduli akan nasib mereka. Bahwa banyak anak-anak dari pernikahan semacam itu di luar negeri yang ayahnya bahkan tidak mau mengakui mereka sebagai darah dagingnya sendiri.60

Ali Al Hamdan, duta besar saudi untuk Yaman, juga menggambarkan pernikahan wisata sebagai prositusi yang disahkan dan menyalakan fatwa aneh dari beberapa cendkiawan atas fenomena tersebut.61

Dari pengertian istilah nikah wisata sebagaimana tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sementara, bahwa melalui nikah wisata sesorang pria hanyalah menempatkan “istri” sebagai wanita sewaan yang dapat ditinggal begitu saja setelah waktu yang diperjanjikan berakhir dan nafsu biologis si pria terpenuhi.

B. Praktek Nikah Wisata

1. Tujuan Nikah Wisata

Sebagai mana tersirat pada defenisi nikah wisata, pernikahan jenis ini hanya bertujuan untuk pelampiasan nafsu biologis, tidak ada keinginan untuk membentuk suatu rumah tangga yang permanen sebagai mana yang di perintahkan oleh agama.

Sedangkan praktek yang terjadi di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang merupakan daerah puncak sudah menjadi kawasan wisata sejak tahun 1970-an. para turis baik lokal

60 Ibid., -61


(67)

-maupun manca Negara berdatangan, terutama turis Timur Tengah marak berdatangan sejak tahun 1992-an, mereka berdatangan pada bulan-bulan tertentu yaitu pada bulan Mei, Juni, dan Juli.62

Di Desa Tugu Selatan terdapat kampung Sampay atau yang lebih di kenal dengan nama Warung Kaleng merupakan salah satu dari 3 kampung yang berada di Kilometer 84 dengan panjang tidak lebih dari 50 Meter jalur menuju puncak terdapat Warung-Warung dan Villa-Villa yang berjejer disebelah kanan kiri jalur.

Para Turis Timur Tengah datang ke Indonesia khususnya ke Desa Tugu Selatan untuk menikmati hiburan-hiburan dan wisata alam, mereka tinggal dan menginap di Villa-Villa kurang lebih 1 Minggu hingga sampai 1 Bulan.63

Seiring perkembangan zaman dengan keberadaan turis-turis Timur Tengah di kampung Sampay menimbulkan pro dan kontra, soalnya disatu sisi wilaya tersebut dikenal sebagai salah satu tempat nikah wisata atau yang dikenal kawin kontrak untuk memuaskan nafsu birahi dengan banyaknya para pekerja seks komersial, tapi disatu sisi lain dengan banyaknya turis tersebut memberikan pengasilan yang banyak bagi sebagian warga kampung tersebut.

Pada dasarnya warga kampung Kaleng menolak adanya kawin wisata dan tempat prostitusi karena bertentangan dengan akidah. Para

62

Rusli Doelbari, Kepala Desa Tugu Selatan, Wawancara Pribadi, Cisarua, 12 maret 2011. 63

Ibid.,


(68)

wanita pelaku kawin wisata tersebut bukan warga setempat melainkan dari luar desanya. Para turis Timur Tengah tidak bedanya dengan orang-orang Eropa, Amerika, dan yang lainya datang ke Bali untuk menikmati wisata alam dan sebagainya, dan mereka tidak menutup kemungkinan menginginkan pelayanan yang ples-ples, di Bali pelayanan ples-ples lebih bebas tersedia, di puncak pun tidak jauh bedanya dengan di Bali, para turis Timur Tengah datang kesini untuk menikmati suasana alam dan ramah tamah masyarakat setempat. kemungkinan juga mereka membutuhkan pelayanan ples-ples, dan pelayanan ples-ples ini mereka datangkan dari luar Desa Tugu Selatan.64

Sehingga dengan hanya menyandarkan pemenuhan kebutuhan biologis pada tujuan pernikahan, maka pernikahan sejenis ini tidak ada bedanya dengan prostitusi, hanya saja dalam pernikahan ini adanya akad sebagai formalitas aja.

2. Syarat dan Rukun nikah Wisata

Dalam pernikahan wisata ini, juga terdapat syarat dan rukun nikah tidak jauh beda dengan kawin kontrak (nikah mut'ah), yaitu: a. Calon Istri

Istilah istri dalam nikah wisata tidaklah sama dengan pernikahan yang dituntun oleh syariat, hal ini sebagaimana dalam

64


(69)

Ibid.,-syarat dan rukun kawin mut'ah. namun yang terjadi di lapangan adalah wanita yang dijadikan patner dalam nikah wisata yaitu wanita pelacur dan wanita yang masi bersuami.65

b. Ijab Kabul

Ijab kabul nikah wisata sama dengan ijab kabul yang ada dalam kawin mut'ah yaitu, tidak berlangsung antara wali nikah dengan mempelai pria, tetapi antara wanita yang bersangkutan dengan si pria. sehingga lafadz ijab yang diucapkan si wanita adalah sebagai berikut:

"Engkau ku nikahkan dengan diri ku sendiri atas dasar sunnatullah selama...dengan mas kawin sebesar...", setelah si wanita mengucapkan ijab (menyerakan diri), maka si pria pun mengucapkan kabul (penerimaan) sebagai berikut:

"Ku terima pernikahan ini".66 c. Batas Waktu

Batas waktu merupakan salah satu rukun nikah wisata, sebagaimana dalam rukun kawin mut'ah. batas waktu adalah penentuan batas waktu berlangsungnya hubungan pria dan dan wanita.67 bila dalam pernikahan permanen, penetapan batas

65

Wa (Nama Samaran), Pedagang, Wawancara Formalitas, Cisarua, 12 Desember 2010 66

Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), Cet. 1 h. 16.

67

Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang (Jakarta: Cendekia, 2002), Cet. 1, h. 84.


(70)

waktu dapat merusak akad yang di ucapkan, maka dalam nikah wisata merupakan suatu keharusan.

d. Mas Kawin

Mas kawin yang ada dalam nikah wisata sesungguhnya adalah sebagai ongkos untuk membayar kesenangan yang telah didapatkan dari tubuh wanita yang disewakan.68 hal ini berbeda dengan pemberian mas kawin yang ada dalam nikah permanen selain sebagai simbol penghalalan hubungan antara pihak dan juga simbol pengakuan atas kewenangan istri dalam lapangan harta.

C. Dasar Hukum Pengharaman Nikah Wisata

1. Dalil-Dalil Pengharaman Nikah Wisata Dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an pengharaman nikah wisata yang merupakan praktek kawin mut’ah terdapat pada surat Al Mu’minun ayat 5-7 dan surat Al Ma’arij ayat 29-31 yang berbunyi:

                                  ) ﻥﻭﻨﻤﺅﻤﻟﺍ / 23 : 7 -5 ( Ayat-ayat tersebut di atas menjadi dalil pengharaman seluruh kemaluan wanita bagi kaum mu’min, kecuali kemaluan wanita yang

68


(71)

dihalalkan oleh Allah melalui akad nikah secara syar’iat atau hubungan penghambaan. Sedangkan wanita dalam nikah wisata yang merupakan praktek kawin mut’ah jelas bukan kedua-duannya, mereka hanyalah wanita sewaan.69

2. Dalil-Dalil Pengharaman Nikah Wisata Dari Hadits

Ada beberapa hadits yang menyatakan keharaman nikah wisata yang merupakan praktek kawin mut’ah, di antaranya adalah:

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﺔﻌﺘﻤ ﻥﻋ ﻰﻬﻨ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺼ ﷲﺍ لﻭﺴﺭ ﻥﺍ ﺏﻟﺎﻁ ﻰﺒﺍ ﻥﺒ ﻰﻠﻋ ﻥﺒ ﺩﻤﺤﻤ ﻥﻋ ﺔﻴﺴﻨﻻﺍ ﺭﻤﺤﻟﺍ ﻡﻭﺤﻟ لﻜﺍ ﻥﻋﻭ ﺭﺒﻴﺨ ﻡﻭﻴ ) ﻪﻴﻠﻋ ﻕﻔﺘﻤ ( 70

Artinya: “Dari Muhammad bin Ali, dari Ali bin Abi Tholib: bahwasannya Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah dan makan daging keledai jinak pada peristiwa

khaibar”. (HR. Muttafaq ‘alaih).

Ar. Rabi bin Sabrah Al Juhani berbicara kepada ku bahwa ayahnya berbicara kepada ku bahwa ia bersama Rasulullah SAW,71 sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ لﻭﺴﺭ ﻪﻨﺍ ﻊﻤ ﻥﺎﻜ ﻪﻨﺍ ﻰﻨﻬﺠﻟﺍ ﺓﺭﺒﺴ ﻥﻋ ﻰﻓ ﻡﻜﻟ ﺕﻨﺫﺍ ﺩﻗ ﻰﻨﺍ ﺱﺎﻨﻟﺍﺎﻬﻴﺍﺎﻴ

ﺊﻴﺸ ﻥﻬﻨﻤ ﻩﺩﻨﻋ ﻥﺎﻜ ﻥﻤﻓ ﺔﻤﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻭﻴ ﻰﻟﺍ ﻙﻟﺫ ﻡﺭﺤ ﺩﻗ ﷲﺍ ﻥﺍﻭ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻥﻤ ﻉﺎﺘﻤﺘﺴﺒﻻﺍ

لﺨﻴﻠﻓ

69

Ibid., h. 35 70

Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Terjemah Al-lu‘lu ‘Wal Marjan Jilid II No. Hadist 889: Koleksi Hadist Yang Disepakati Oleh Al-Buchory dan Muslim (Semarang: Al-Ridha, 1993), Cet- 1, h. 221

71

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga (Jakarta: eLSAS, 2008), Cet-1, h. 36


(72)

ﺒﺴ ﻴﺸ ﻥﻫﻭﻤﺘﻴﺘﺍ ﺀﺎﻤﻤﺍﻭﺫﺨﺎﺘ ﻻﻭ ﻪﻠﻴ ﺌ ﺎ ) ﻡﻠﺴﻤ ﻩﺍﻭﺭ ( 72

Artinya: “Dari sabrah r.a. katanya bahwa dia bersama-sama Rasulullah saw. Beliau bersabda: Wahai manusia! (sebelum ini) aku telah mengizinkan kalian memut’ah

wanita. (kini ketahuilah) bahwa Allah telah

mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka

barangsiapa mempunyai ikatan dengan mereka, lepaskanlah dan jangan kau ambil sedikitpun dari apa

yang telah kamu berikan kepada mereka”. (HR.

Muslim).

Dan dari Salim bin Abdullah, bahwasannya ia berkata “Abdullah bin Umar telah didatangi seseorang, lalu dikatakan kepadanya: sesungguhnya Abdullah bin Abbas memerintahkan melakukan mut’ah.” Ibnu Umar lalu berkata: Subhanallah, aku tidak mengira ibnu Abbas akan berbuat demikian, mereka (orang-orang yang hadir) berkata: benar, ia memerintahkan melakukannya. Ibnu Umar menanggapi: tidakkah ibnu Abbas masih anak kecil ketika Rasulullah SAW masih hidup?. Kemudia ibnu Umar berkata lagi: Rasulullah SAW telah melarang kita darinya dan kami bukanlah orang-orang yang melacur”.73

Menurut para Ijma ketika Rasulullah SAW mengharamkannya hingga hari kiamat, tidak satu pun para sahabat yang membantahnya. Demikian pula, ketika larangan tersebut diulang lagi oleh Umar ra

72

Razak, Rais Lathief, Terjemahan Hadis Shahih Muslim Jilid II No. Hadis 812 (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), cet- 1, h. 167

73


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)