Dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi swasta terhadap produk domestik regional Bruto dan kemiskinan Provinsi Jambi

(1)

PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA

TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO DAN KEMISKINAN

PROVINSI JAMBI

DISERTASI

YANNIZAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

YANNIZAR. The Allocation Impact of Local Government Development Expenditure and Private Investment to Gross Regional Domestic Product (GRDP) and Poverty in Jambi Province (RINA OKTAVIANI as A Leader of the Supervisor Commission, MANGARA TAMBUNAN and SUAHASIL NAZARA as Members of the Supervisor Commission)

The objective of this research was to: (1) analyze the influence of the local government development expenditure are broken down into several sectors to economic growth and poverty, (2) analyze influence of increasing investment made by the private sector (domestic and foreign investments) to economic growth and poverty levels, and (3) perform simulations to determine the impact of changes in the allocation of regional development funds and private investment and economic growth and poverty.

The research was conducted in the province of Jambi, using secondary data coherent time (time series) in 1985-2010

The conclusions of this research resulted: (1) the decrease strategy of the poor people number in the Jambi province, had to be made by increasing private investment realization, either foreign or domestic investment, (2) the private investment had to be impelled to the productive activity programs, like the agricultural field and the micro developing-business (UKM), (3) because of the definite local fiscal capability, the local government had to interlace the private authority in developing the Jambi province, (4) to increase the investment number and realization in Jambi had to be done by getting several ways, such as : (a) increase the supporting tools and infrastructures, like the road and bridge infrastructure, electricity, and communication, and (b) create the conducive healthful climate, like the safety, convenience, simple and easy of the permission, transparency and accountability, (5) to decrease the poverty level in the Jambi province, not only the economic variable needed to be noticed but also the non-economic variables needed to be noticed like the education and health, (6) the fiscal decentralization still occupied the important role in the side to impel the local governmental expenditure, especially the local tax, and (7)

. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 8 identity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the allocation impact of allocation of government development expenditure and private investment is analysed using simulation.

The existence of an endogenous variable lag which has positive and real, both on revenue and expenditure equations governments, reflecting the revenue and expenditure planning local governments is not based on the calculation of the real need for each component of revenue and expenditure, but rather based on the amount of revenue and expenditure period before.

Key words: local government development expenditure, private investment, direct expenditure, indirect expenditure, economic growth, poverty.


(3)

PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA

TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO DAN KEMISKINAN

PROVINSI JAMBI

YANNIZAR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(5)

PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN KEMISKINAN PROVINSI JAMBI

Nama Mahasiswa : Yannizar Nomor Pokok : H363070051

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. Suahasil Nazara, Ph.D, SE, M.Sc.

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(6)

1.1. Latar Belakang

Pengeluaran pemerintah atau sering juga disebut investasi publik dan investasi swasta merupakan dua hal yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Pengeluaran pemerintah biasanya berkaitan dengan penyediaan barang publik, terutama infrastruktur. Sedangkan investasi swasta bergerak, terutama pada sektor-sektor yang mendatangkan keuntungan.

Ahli-ahli ekonomi klasik tidak menyetujui campur tangan pemerintah yang aktif untuk mengatur kegiatan perekonomian, namun bukan berarti mereka menolak sama sekali kegiatan pemerintah di bidang ekonomi. Pemerintah mempunyai beberapa peranan penting dalam menciptakan sistem pasar bebas yang efisien. Berkaitan dengan ini, pemerintah memiliki fungsi: (1) mewujudkan infrastruktur yang diperlukan agar operasi perusahaan swasta dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) menyediakan peraturan dan fasilitas yang akan membantu mempertinggi efisiensi operasi perusahaan swasta, dan (3) menyediakan jasa-jasa yang penting artinya kepada khalayak ramai tetapi tidak dapat disediakan oleh pihak swasta secara efisien/murah (Sukirno, 2007).

Studi yang dilakukan oleh Albatel (2000), Fan and Rao (2003), Loizides and Vamvoukas (2005), dan Jaroensathapornkul and Tongpan (2007) menunjukkan, bahwa pengeluaran pemerintah berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan investasi swasta juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Osinubi and Amaghionyeodiwe (2010) di Nigeria.

Pembangunan memerlukan GNI (Gross National Income) atau GNP

(Gross National Product) yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Masalah

dasarnya, bukan hanya bagaimana menumbuhkan GNP, tetapi yang lebih penting siapa yang menumbuhkan GNP, sejumlah besar masyarakat atau segelintir orang yang ada dalam suatu negara. Jika yang menumbuhkan GNP hanya orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit, maka manfaat pertumbuhan GNP, akan dinikmati hanya oleh mereka tersebut, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan akan semakin parah. Jika pertumbuhan GNP dihasilkan oleh orang banyak, maka semakin banyak yang bisa menikmati, sehingga pertumbuhan ekonomi akan


(7)

terbagi secara lebih merata. Banyak negara berkembang yang meraih pertumbuhan yang tinggi, namun kurang memberi manfaat bagi kaum miskin (Todaro and Smith, 2009). Demikian juga apa yang tertera pada RPJM 2010-2014, bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan sebanyak mungkin penduduk Indonesia (inclusive growth). Hal ini untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan serta memperkuat kapasitas keluarga Indonesia dalam menghadapi berbagai goncangan (Bappenas, 2010a).

Masalah kemiskinan telah menjadi salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, dan adanya perbedaan etnis dan agama yang beragam serta memiliki bermacam-macam sumberdaya alam yang berpencar pada berbagai wilayah mengharuskan pemerintah untuk memberikan perhatian ekstra melalui meningkatkan pengeluaran terhadap program-program yang produktif dan menyerap banyak tenaga kerja, seperti sektor pertanian yang dapat menahan laju peningkatan angka kemiskinan. Demikian juga pemerintah juga perlu meningkatkan peranan swasta melalui keterlibatannya berinvestasi. Pentingnya investasi swasta ini dapat dilihat dari hasil penelitian Okpe and Abu (2009) yang menunjukkan, bahwa investasi asing dapat menurunkan kemiskinan di Nigeria.

Berdasarkan angka statistik yang dilalaporkan, bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Selama 11 tahun angka kemiskinan hanya turun sebesar 7.88 juta atau 5.92 persen, yaitu dari 37.90 juta (18.41 persen) tahun 2001 menjadi 30.02 juta (12.49 persen) tahun 2011 (BPSa, 2011). Masih diperlukan pekerjaan yang serius dan keras dari pemerintah untuk mencapai penurunan angka kemiskinan antara 8-10 persen pada akhir 2014, terutama dikaitkan untuk mencapai tujuan pembangunan millenium atau Millennium Development Goals

pada tahun 2015 (Bappenas, 2010a dan 2010b).

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rangka menekan angka kemiskinan di Indonesia, maka Jambi sebagai salah satu provinsi perlu dilakukan kajian tentang pertumbuhan dan kemiskinan, yang dalam hal ini dikaitkan dengan berbagai program pembangunan ekonomi yang dilakukan melalui pengeluaran


(8)

pemerintah dan investasi swasta. Perbaikan angka kemiskinan wilayah, tentu akan berpengaruh terhadap perbaikan angka kemiskinan nasional.

Dari Tabel 1 dapat dilihat, bahwa pada tahun 2001 penduduk miskin di provinsi Jambi sebanyak 480.40 ribu jiwa atau sebesar 19.71 persen dari jumlah penduduk, lalu turun sebesar 0.32 persen menjadi 326.91 ribu jiwa atau 13.18 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2002. Penurunan angka kemiskinan terus berlangsung, sehingga pada tahun 2009, angka kemiskinan sebesar 249.70 ribu jiwa. Pada tahun 2010 angka kemiskinan di provinsi Jambi masih tercatat sebesar 241.61 ribu jiwa atau 8.34 persen. Selama periode tahun 2001-2010, angka kemiskinan hanya mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.07 persen per tahun. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jambi Tahun

2001-2010 (Dalam 000 jiwa dan persentase)

Tahun Perkotaan (K) Perdesaan (D) K + D Growth Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Persen 2001 103.80 14.89 376.60 21.65 480.40 19.71 - 2002 138.40 19.04 188.51 10.76 326.91 13.18 -0.32 2003 134.60 18.53 192.70 10.46 327.30 12.74 0.00 2004 130.80 17.34 194.30 10.46 325.10 12.45 -0.01 2005 143.70 16.58 174.10 9.63 317.80 11.88 -0.02 2006 142.50 16.30 162.10 8.98 304.60 11.37 -0.04 2007 137.20 15.42 144.70 7.81 281.90 10.27 -0.07 2008 120.10 13.28 140.20 7.43 260.30 9.32 -0.08 2009 117.30 12.71 132.40 6.88 249.70 8.77 -0.04 2010 110.80 11.80 130.80 6.67 241.60 8.34 -0.03 2001-2010 142.13 17.32 204.05 11.19 346.18 13.11 -0.07 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002, 2004b, 2008b, 2010a, 2011b

Secara absolut jumlah penduduk miskin di Jambi tidak bisa dikatakan kecil. Bandingkan, misalnya dengan jumlah penduduk Kabupaten Batanghari yang pada tahun 2010 berjumlah 240 743 jiwa, yang berarti jumlah penduduk miskin di provinsi Jambi masih lebih besar dari jumlah penduduk kabupaten tersebut (BPS Provinsi Jambi, 2010).

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan laju kemiskinan, pemerintah dan pemerintah provinsi Jambi telah melakukan injeksi ke dalam perekonomian nasional dan daerah melalui peningkatan pengeluaran dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 realisasi pengeluaran negara untuk Daerah telah dialokasikan sebesar Rp. 81 100 Milyar atau sebesar 23.74 persen terhadap


(9)

total pengeluaran negara, meningkat menjadi Rp. 344 727 Milyar tahun 2010 atau sebesar 33.08 persen terhadap total pengeluaran negara. Selama periode 2001-2010 pengeluaran negara untuk Daerah mengalami peningkatan sebesar 17.96 persen per tahun (BPS, 2003-2010).

Sejalan dengan peningkatan pengeluaran untuk Daerah, maka pengeluaran pemerintah provinsi Jambi juga telah melakukan peningkatan pengeluarannya dengan berbagai program pembangunannya. Bila diamati selama periode 2001-2010, maka disamping terjadi peningkatan pengeluaran, struktur pengeluaran juga mengalami perbaikan sejak tahun 2003, dimana dua tahun sebelumnya pangsa pengeluaran Tidak Langsung atau Rutin (istilah lama) masih lebih besar dari pengeluaran Langsung (pembangunan).

Tabel 2. Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi Menurut Jenis Belanja Tahun 2001-2010 (Dalam Milyar Rupiah dan Persentase)

Tahun Belanja Belanja Belanja

Rutin Pemb Jmh Aparat Daerah

Pel.

Publik Jmh

Tdk Lang-sung

Lang-sung Jmh

2001 173 (76) 56 (24) 229

(100) - - - -

2002 235 (65) 128 (35) 363

(100) - - - -

2003 - - -

199

(41)

290

(59)

489

(100) - - -

2004 - - -

250

(38)

411

(62)

661

(100) - - -

2005 - - -

226

(35)

416

(65)

642

(100) - - -

2006 - - -

278

(29)

685

(71)

963

(100) - - -

2007 - - - -

327 (30) 779 (70) 1 106 (100)

2008 - - - -

512 (36) 893 (64) 1 405 (100)

2009 - - - -

685 (45) 845 (55) 1 530 (100)

2010 - - - -

672 (45) 815 (55) 1 487 (100)

Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Sumber: Pemerintah Provinsi Jambi dan BPS Berbagai Tahun (Diolah)

Realisasi pengeluaran pemerintah provinsi Jambi mengalami pertumbuhan sebesar 27 persen per tahun selama periode tahun 2001-2010 yaitu dari Rp. 229


(10)

Milyar tahun 2001 menjadi Rp.1 487 Milyar tahun 2010. Pada tahun 2001 alokasi untuk Belanja Rutin sebesar 173 Milyar Rupiah atau 76 persen dan Belanja Pembangunan 56 Milyar Rupiah atau 24 persen. Pada tahun 2010 Belanja Langsung sebesar 815 Milyar Rupiah atau sebesar 55 persen dan Belanja Tidak Langsung sebesar Milyar 672 Rupiah atau sebesar 45 persen. Hal ini memberikan indikasi semakin membaiknya alokasi dana untuk pembangunan di Daerah ini. Selengkapnya realisasi belanja provinsi Jambi selama periode tahun 2001-2010, dapat dilihat pada Tabel 2.

Untuk menggairahkan kemajuan perekonomian baik nasional maupun Daerah, tidak cukup hanya mengandalkan pengeluaran pada sektor publik. Sektor swasta harus semakin diberi porsi yang lebih besar. Hal ini, mengingat kemampuan fiskal pemerintah yang sangat terbatas. Seperti apa yang dikatakan oleh Tambunan (2010), bahwa dalam kondisi kemampuan fiskal pemerintah yang terbatas, sangat sukar membayangkan pemerintahan nasional dapat menutupi kepincangan fiskal dalam waktu dekat, kecuali investasi swasta dapat ditarik ke pasar atau pada ekonomi Daerah yang miskin penerimaan (revenue). Selanjutnya Tambunan (2010) mengatakan bahwa dalam konteks pembangunan regional, investasi memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Iklim usaha dan investasi yang kondusif menjadi syarat mutlak bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan demikian sangat penting bagi pemerintahan daerah untuk menciptakan kondisi lingkungan usaha yang kondusif guna menarik minat investor menanamkan modalnya di daerah baik yang berasal dari dalam dan luar daerah maupun asing. Dengan meningkatnya investasi swasta, diharapkan akan dapat mengatasi keterbatasan pemerintah, yang selanjutnya akan semakin mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, pemeritah provinsi Jambi selalu berupaya untuk meningkatkan minat investor, baik dalam, luar daerah dan asing untuk menanamkan modalnya di Jambi. Pemerintah provinsi Jambi selalu gencar melakukan promosi potensi daerah, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Usaha ini sudah menunjukkan hasil yang signifikan, sehingga selama periode


(11)

tahun 2001-2010, realisasi investasi dan penyerapan tenaga kerja pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) telah mengalami peningkatan.

Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat dan tergambar, perkembangan realisasi PMDN dan PMA serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi selama periode tahun 2001-2010 cukup menggembirakan, walaupun terjadi fluktuasi. Peranan PMDN lebih besar dibandingkan dengan PMA. Walaupun peranan PMA lebih kecil, namun trend perkembangannya lebih baik. Dari Gambar 1 nampak dengan jelas, bahwa realisasi PMA relatif stabil dan cenderung menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Realisasi PMDN sangat berfluktuasi. PMDN selama periode tahun tersebut tumbuh sebesar 4.60 persen per tahun, sementara PMA tumbuh lebih cepat yaitu sebesar 22.27 persen per tahun.

Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja pada PMDN dan PMA di Provinsi Jambi Tahun 2001-2010

Tahun PMDN PMA

Milyar Persen Orang Persen Milyar Persen Orang Persen

2001 7 622 - 61 038 - 839 - 7 845 - 2002 8 046 5.57 44 811 -26.59 1 001 19.36 7 650 -2.49 2003 8 371 4.04 44 409 -0.90 791 -20.97 10 970 43.40 2004 8 534 1.95 31 579 -28.89 820 3.66 7 719 -29.64 2005 8 789 2.99 27 049 -14.34 910 10.92 6 952 -9.94 2006 9 284 5.63 39 599 46.40 1 301 42.96 7 225 3.93 2007 9 124 -1.73 39 599 0.00 1 323 1.73 7 225 0.00 2008 8 838 -3.13 28 580 -27.83 2 139 61.63 12 810 77.30 2009 9 052 2.42 22 433 -21.51 2 388 11.65 11 382 -11.15 2010 11 196 23.69 22 287 -0.65 4 048 69.53 9 096 -20.08 2001-

2010 8 886 4.60 36 138 -8.26 1 156 22.27 8 887 5.70 Sumber: Bappeda dan BPS Provinsi Jambi, Tahun 2003-2011


(12)

Gambar 1. Perkembangan Realisasi Investasi pada PMDN dan PMA di Provinsi Jambi Tahun 2001-2010

Pada tahun 2001 tercatat realisasi PMDN sebesar Rp. 7 622 Milyar dengan tenaga kerja yang terserap 61 038 orang. Pada tahun 2010 realisasi PMDN telah mencapai sebesar Rp. 11 196 Milyar, sekaligus merupakan realisasi PMDN terbesar selama periode 2001-2010 tersebut. PMA, kecuali pada tahun 2003, selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya selama periode tahun 2001-2010, dari Rp. 839 Milyar tahun 2001 meningkat menjadi Rp.4 048 Milyar tahun 2010.

Perlu dicermati, bahwa penyerapan tenaga kerja pada PMDN selama periode 2001-2010 tersebut cenderung menunjukkan penurunan yaitu dari 61 038 orang tahun 2001, turun menjadi 22 287 orang tahun 2010 atau mengalami penurunan sebesar rata-rata -8.26 persen per tahun. Pada satu sisi penyerapan tenaga kerja pada PMA, cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 7 845 orang tahun 2001 meningkat menjadi 9 096 orang tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 5.70 persen per tahun selama periode tersebut.

Untuk mengamati pentingnya peranan sektor swasta dalam membangun perekonomian Jambi, dapat pula diamati hasil perhitungan proporsi investasi swasta dan belanja pemerintah provinsi Jambi terhadap PBRB provinsi Jambi. Kedua hal ini disajikan pada Tabel 4 dan 5.


(13)

Dari Tabel 4 dapat diamati, bahwa baik belanja tidak langsung maupun langsung mengalami peningkatan proporsi selama periode tahun 2001-2010, proporsi belanja tidak langsung meningkat dari 0.02 tahun 2001 menjadi 0.04 tahun 2010, sedangkan proporsi belanja langsung meningkat dari 0.01 tahun 2001 menjadi 0.05 tahun 2010. Sehingga proporsi belanja total (belanja tidak langsung dan belanja langsung) mengalami peningkatan selama periode tahun tersebut yaitu dari 0.02 tahun 2001 menjadi 0.09 tahun 2010. Selama periode tahun 2001-2010 rata-rata proporsi belanja tidak langsung dan belanja langsung terhadap Produk Dometik Regional Bruto (PDRB) provinsi jambi adalah masing-masing sebesar 0.03 dan 0.04. Sedangkan proporsi belanja total terhadap PDRB provinsi jambi selama periode tahun tersebut adalah sebesar 0.06. Hal ini berarti proporsi belanja pemerintah provinsi Jambi terhadap PDRB provinsi Jambi, hanya rata-rata sebesar 6 persen per tahun selama periode 2001-2010 tersebut.

Tabel 4. Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi terhadap Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2001-2010

Tahun

PDRB (Milyar Rp)

Proporsi Masing-masing Jenis Belanja Tidak Langsung Langsung Belanja Total 2001 10 206 0.02 0.01 0.02 2002 10 803 0.02 0.01 0.03 2003 11 343 0.02 0.03 0.04 2004 11 954 0.02 0.03 0.06 2005 12 620 0.02 0.03 0.05 2006 13 364 0.02 0.05 0.07 2007 14 275 0.02 0.05 0.08 2008 15 298 0.03 0.06 0.09 2009 16 275 0.04 0.05 0.09 2010 17 465 0.04 0.05 0.09 2001-10 13 360 0.03 0.04 0.06 Sumber: Pemerintah Provinsi Jambi dan BPS Berbagai Tahun (Diolah)

Dari Tabel 5 dapat diamati, bahwa proporsi PMDN terhadap PDRB provinsi Jambi lebih besar dari proporsi PMA, dengan rata-rata selama periode tahun 2001-2010, masing-masing 0.67 dan 0.11. Hal ini berarti selama periode tahun tersebut PMDN memberikan proporsi sebesar 67 persen per tahun,


(14)

sedangkan PMA hanya 11 persen per tahun. Investasi total memberikan proporsi sebesar 0.78 atau 78 persen per tahun selama periode tahun tersebut.

Tabel 5. Proporsi Realisasi Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2001-2010

Tahun

PDRB (Milyar Rp)

Proporsi Masing-masing Jenis Investasi PMDN PMA Investasi Total 2001 10 206 0.75 0.08 0.83 2002 10 803 0.74 0.09 0.84 2003 11 343 0.74 0.07 0.81 2004 11 954 0.71 0.07 0.78 2005 12 620 0.70 0.07 0.77 2006 13 364 0.69 0.10 0.79 2007 14 275 0.64 0.09 0.73 2008 15 298 0.58 0.14 0.72 2009 16 275 0.56 0.15 0.70 2010 17 465 0.64 0.23 0.87 2001-10 13 360 0.67 0.11 0.78 Sumber: Bappeda dan BPS Provinsi Jambi Tahun 2003-2011 (Diolah)

Meskipun proporsi PMDN lebih besar dari PMA selama periode tahun tersebut, namun PMDN mengalami penurunan proporsi dan PMA mengalami peningkatan proporsi. Proporsi PMDN, turun dari 0.75 tahun 2001 menjadi 0.64 tahun 2010, sedangkan proporsi PMA naik dari 0.08 tahun 2001 menjadi 0.23 tahun 2010. Investasi total mengalami peningkatan proporsi selama periode tahun tersebut yaitu turun dari 0.83 menjadi 0.87 tahun 2010.

Dari uraian tersebut dapat dilihat, bahwa proporsi belanja pemerintah provinsi Jambi selama periode tahun 2001-2010 rata-rata per tahun yang hanya sebesar 0.06, sangat jauh di bawah rata-rata proporsi investasi swasta yang sebesar 0.78 per tahun. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan swasta dalam membangun perekonomian Jambi, dibandingkan dengan pemerintah daerah. Meskipun demikian, pengeluaran pemerintah daerah tersebut tetap memiliki arti yang sangat penting. Sebagai agent of development pemerintah provinsi Jambi diharapkan lebih memprioritaskan alokasi pengeluarannyanya pada sektor-sektor yang kurang diminati oleh swasta dan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga tingkat kemiskinan akan menjadi rendah.


(15)

1.2. Perumusan Masalah

Meningkatnya pengeluaran pemerintah, tentu akan menstimulasi kinerja perekonomian, seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan akan barang dan jasa. Meningkatnya permintaan, akan menggairahkan sektor-sektor produksi, baik sektor-sektor pertanian maupun sektor-sektor industri dan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mankiw (2007), bahwa peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan pengeluaran yang direncanakan, sebesar perubahan belanja pemerintah, yang selanjutnya akan meningkatkan output (pendapatan).

Investasi pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam kegiatan investasi yang dilakukan oleh pemerintah (public investment) dan swasta (private investment). Investasi yang dilakukan pemerintah, seperti apa yang dimaksudkan pada penelitian ini yaitu pengeluaran pemerintah, untuk tingkat daerah dapat pula dikelompokkan menjadi pengeluran Tidak Langsung dan pengeluaran Langsung. Investasi swasta terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Kedua pelaku investasi tersebut memiliki misi yang berbeda, pihak swasta lebih kepada profit oriented, sedangkan pemerintah diharapkan lebih berperan sebagai agent of development. Sesuai dengan pendapat Musgrave and Musgrave (1993), bahwa peningkatan pengeluaran (anggaran belanja) pemerintah akan bersifat ekspansioner dengan meningkatnya permintaan, pertama-tama pada sektor pemerintah dan kemudian akan menjalar ke sektor swasta.

Untuk menelah pentingnya investasi juga dapat ditelaah model Harrod Domar. Mereka menyatakan, bahwa investasi tidak hanya dapat meningkatkan permintaan, tetapi juga berpengaruh terhadap peningkatan penawaran. Seperti yang disebutkan oleh Jhingan (1996), bahwa model Harrod dan Domar memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama ia menciptakan pendapatan, dan kedua, ia memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai “dampak permintaan” dan yang kedua “dampak penawaran” investasi.


(16)

Karena itu, selama investasi netto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output

akan senantiasa membesar.

Peran investasi tidak saja menjadi kebutuhan temporer bagi perekonomian suatu negara yang sedang dalam fase pemulihan krisis tetapi juga menjadi landasan kokoh bagi berlangsungnya pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan. Dalam upaya membangun perekonomian nasional, baik pada maupun di tingkat regional dan lokal, kegiatan investasi amat penting untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Dalam kerangka pembangunan secara keseluruhan, investasi menghasilkan banyak dampak ganda (multiplier effects) dan memberi manfaat bagi banyak pihak: perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Laju pertambahan investasi dan tingkat produktivitas yang dihasilkannya akan mendorong tinggi dan luasnya jangkauan dampak yang ditimbulkan (KPPOD dan BKPM, 2008).

Menurut (Falki, 2009), investasi langsung asing (FDI) merupakan suatu katalisator yang penting bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang berkembang. Investasi tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui stimulan bagi investasi domestik, meningkatkan formasi modal manusia (human capital formation) dan memfasilitasi transfer teknologi ke dalam negeri. Senada dengan Falki (2009) tersebut, Okpe and Abu (2009) menyatakan, bahwa investasi asing memiliki tendensi untuk menstimulasi ketenagakerjaan, pendapatan, konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, yang berkemungkinan akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Dari uraian tersebut dapat diamati, bahwa baik pengeluaran pemerintah (investasi publik) maupun investasi swasta sama-sama memiliki peran penting di dalam memacu pertumbuhan ekonomi, yang tentunya akan bermuara pada peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, yang sekaligus akan menekan angka kemiskinan. Pada latar belakang di atas telah diuraikan pula,bahwa pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di Jambi telah menunjukkan perkembangan yang berarti dari tahun ke tahun. Pada sisi lain angka kemiskinan masih menunjukan angka yang cukup besar.


(17)

Beranjak dari uraian latar belakang dan masalah faktual tersebut di atas akhirnya dapat diformulasikan pokok permasalahan yang akan diteliti berkenaan dengan dampak pengalokasian dana pembangunan pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi. Rumusan masalah tersebut, secara spesifik diformulasikan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh peningkatan alokasi dana pembangunan pemerintah daerah (yang dirinci menjadi beberapa sektor) terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan kemiskinan?

2. Bagaimanakah pengaruh peningkatan aktivitas investasi yang dilakukan pihak swasta (PMDN dan PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan kemiskinan ?

3. Bagaimana dampak perubahan alokasi dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi pihak swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan kemiskinan ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alokasi dana pembangunan pemerintah provinsi Jambi (belanja langsung) dan investasi swasta (PMDN dan PMA) provinsi Jambi dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan tingkat kemiskinan. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah (belanja langsung) yang dirinci menjadi beberapa sektor terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

2. Mengalisis pengaruh peningkatan investasi yang dilakukan pihak swasta (PMDN dan PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. 3. Melakukan simulasi untuk mengetahui dampak perubahan alokasi dana

pembangunan daerah dan investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi dan dan tingkat kemiskinan.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dan pengambil kebijakan dalam melaksanakan pembangunan daerah. Secara akademis hasil penelitian ini akan dapat memperkaya khasanah kepustakaan di Indonesia,


(18)

khususnya kajian mengenai pengeluaran pemerintah dan investasi swasta, sehingga dapat menambah sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan bagi peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi mengenai dampak pengeluaran pemerintah dan investasi swasta terhadap PDRB dan kemiskinan. Selain itu bagi para pengambil kebijakan, terutama pemeritah provinsi Jambi hasil penelitian ini diharapkan berguna di dalam menentukan arah dan strategi pembangunan ekonomi di masa mendatang, khususnya dalam rangka meningkatkan PDRB dan menurunkan tingkat kemiskinan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki ruang lingkup regional (provinsi Jambi), yang menganalisis dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi swasta (PMDN dan PMA) terhadap PDRB dan kemiskinan. Penelitian dilakukan pada periode waktu selama tahun 1985-2010.

Ada beberapa keterbatasan penelitian yaitu: (1) data pendapatan dan pengeluaran, hanya menggunakan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah provinsi Jambi, tidak termasuk APBD kabupaten/kota di provinsi Jambi dan belum memasukkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan lainnya, (2) kesulitan mengelompokkan data pengeluaran pemerintah daerah, terutama sejak tahun anggaran 2003, setelah keluarnya Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 yang mengelompokkan belanja menjadi belanja Aparatur Daerah dan belanja Pelayanan Publik, dari sebelumnya pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Selanjutnya pada tahun anggaran 2007 berobah lagi istilahnya menjadi belanja tidak langsung dan belanja langsung, sebagai implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana yang telah direvisi oleh Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Untuk tujuan penyederhanaan, maka dalam penelitian ini Penulis mengasumsikan, dengan mensejajarkan/menyamakan istilah (pengeluaran rutin = belanja aparatur = belanja tidak langsung) pada satu pihak, dan pengeluaran pembangunan = belanja pelayanan publik = belanja langsung, pada pihak lain.


(19)

(20)

2.1. Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian

Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintah dapat ikut campur secara aktif maupun secara pasif (Suparmoko, 1996). Dalam setiap sistem perekonomian, apakah sistem perekonomian kapitalis atau sistem perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting. Peranan pemerintah sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis dan sangat terbatas dalam sistem perekonomian kapitalis murni seperti dalam sistem kapitalis yang dikemukakan oleh Adam Smith (Mangkoesoebroto, 1996).

Sebagai seorang konseptor sistem kapitalis murni, Adam Smith, mengemukakan idiologinya, karena dia menganggap, bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan gaib, karena itu perekonomian dapat berkembang secara maksimum. Oleh karena itu, Adam Smith menyatakan bahwa lingkup aktivitas pemerintah sangat terbatas, yaitu hanya melaksanakan kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini peranan pemerintah hanya mencakup tiga bidang saja yaitu: (1) melaksanakan peradilan, (2) melaksankan pertahanan/keamanan, dan (3) melaksanakan pekerjaan umum (Mangkoesoebroto, 1996).

Dalam perkembangan selanjutnya prinsip kebebasan ekonomi dalam praktek ternyata menghadapi perbenturan kepentingan, seperti kepentingan pengusaha sering tidak sesuai dengan kepentingan karyawan. Hal tersebut terjadi, karena tidak adanya koordinasi dalam memenuhi kebutuhan masing-masing individu. Yang lebih penting lagi adalah adanya kenyataan menunjukkan, bahwa mekanisme pasar sendiri tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian diperlukan peranan pemerintah, terutama dalam melaksanakan kebijakan untuk membimbing, memberi koreksi dan melengkapi hal-hal tertentu. Mekanisme pasar sangat cocok untuk penyediaan


(21)

barang pribadi. Barang-barang umum (public goods) seperti penyediaan udara bersih tidaklah menguntungkan bagi pihak swasta.

Menurut Musgrave and Musgrave (1993), dalam perekonomian pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) fungsi alokasi: penyediaan barang sosial, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang sosial, dan bagaimana bauran/komposisi barang sosial ditentukan, (2) fungsi distribusi: penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan distribusi yang “merata” dan “adil”, dan (3) fungsi stabilisasi: penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Selain dari tiga fungsi tersebut, Suparmoko (1996), menambahkan satu lagi fungsi pemerintah yaitu fungsi pertumbuhan: kegiatan yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ini dimaksukan untuk meningkatkan standard hidup penduduk pada tingkat yang layak dan mencapai kesejahteraan ekonomi yang lebih baik.

2.2. Pengeluaran Pemerintah

Telah diuraikan di atas, bahwa pemerintah mutlak diperlukan di dalam setiap bentuk atau sistem perekonomian yaitu tidak hanya untuk menyediakan barang-barang publik, melainkan juga untuk mengalokasikan barang-barang produksi maupun barang-barang konsumsi, memperbaiki distribusi pendapatan, memelihara stabilitas nasional termasuk stabilitas ekonomi serta mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Kalau kita amati perkembangan kegiatan pemerintah dari tahun ke tahun, maka kelihatan, bahwa peranan pemerintah selalu meningkat hampir di dalam semua macam sistem perekonomian. Untuk kasus Indonesia, perkembangan realisasi pengeluaran pemerintah selama periode tahun 2001-2010, dapat dilihat pada Tabel 6. Realisasi pengeluaran pemerintah selama periode 2001-2010 mengalami perkembangan sebesar 13.94 persen per tahun yaitu meningkat dari Rp. 341 600 Milyar tahun 2001 menjadi Rp. 1 042 133 Milyar tahun 2010.


(22)

Sampai saat ini, alokasi pengeluaran pemerintah Indonesia, masih menunjukkan, bahwa belanja untuk pemerintah pusat masih lebih besar dari pengeluaran untuk daerah. Sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara otonomi dan desentralisasi fiskal yang penuh sejak 2001, seharusnya proporsi pengeluaran untuk daerah harus lebih besar dari proporsi belanja untuk pemerintah pusat. Dari Tabel 6 dapat diamati, bahwa pada tahun 2001, pengeluaran untuk pemerintah pusat sebesar Rp. 260 500 Milyar atau sebesar 76.26 persen dan pengeluaran untuk daerah hanya sebesar Rp 81 100 Milyar atau sebesar 23.74 persen. Pada tahun 2010, kondisi ini tidak mengalami perobahan yaitu alokasi pengeluaran untuk pemerintah pusat sebesar Rp. 697 406 Milyar atau sebesar 66.92 persen dan pengeluaran untuk daerah sebesar Rp 344 727 Milyar atau sebesar 33.08 persen.

Tabel 6. Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Menurut Jenis Pengeluaran Tahun 2001-2010

No. Jenis Pengeluaran

2001 (Milyar Rp)

2010 (Milyar Rp)

2001-2010 (Persen) A.

Pengeluran Untuk Daerah/

Transfer ke Daerah 81 100 344 727 17.96 1. Dana Perimbangan 81 100 316 711 16.97 a. Dana Bagi Hasil 20 000 92 183 19.04 b. Dana Alokasi Umum 60 400 203 572 15.53 c. Dana Alokasi Khusus 700 20 956 68.84 2.

Dana Otonomi Khusus dan

Penyeimbang 0 28 016 43.82 B. Belanja Pemerintah Pusat 260 500 697 406 12.69 Total Belanja Negara 341 600 1 042 133 13.94 Sumber: BPS. 2003-2011. Statistik Indonesia 2002-2011

Sedikit menggembirakan, bahwa selama periode tahun 2001-2010 tersebut, proporsi pengeluaran untuk daerah mengalami sedikit peningkatan yaitu dari 23.74 persen tahun 2001 menjadi 33.08 persen tahun 2010, sebaliknya proporsi pengeluran untuk pemerintah pusat turun dari 76.26 persen tahun 2001 menjadi 66.92 persen tahun 2010. Begitu pula bila diamati dari perkembangan selama periode tahun tersebut, perkembangan pengeluaran untuk daerah mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari pengeluaran untuk pemerintah pusat. Pengeluaran untuk daerah mengalami perkembangan sebesar 17.96 persen


(23)

per tahun selama periode tahun tersebut yaitu dari Rp. 81 100 Milyar tahun 2001 meningkat menjadi Rp. 344 727 Milyar tahun 2010. Pengeluaran untuk belanja pemerintah pusat mengalami perkembangan sebesar 13.94 persen per tahun selama periode 2001-2010, yaitu dari Rp. 260 500 Milyar meningkat menjadi Rp. 697 406 Milyar. Keadaan seperti, semestinya terus berlanjut, sehingga pada suatu saat secara bertahap, proporsi belanja untuk daerah harus lebih besar dari belanja pemerintah pusat.

Peningkatan peranan pemerintah, juga dapat diamati dari semakin besarnya proporsi pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasionalnya (Suparmoko, 1996). Semakin besar dan semakin banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Untuk mengamati peningkatan peranan pemerintah Indonesia, maka pada Tabel 7, tersaji hasil perhitungan proporsi pengeluaran pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tabel 7. Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2001-2010

Tahun Belanja (Milyar Rp) PDB (Milyar RP) Proporsi (Persen) 2001 341 600 1 442 985 0.24 2002 328 100 1 505 216 0.22 2003 378 800 1 577 171 0.24 2004 435 700 1 656 517 0.26 2005 509 419 1 750 815 0.29 2006 699 099 1 847 127 0.38 2007 757 886 1 964 327 0.39 2008 985 789 2 082 456 0.47 2009 937 397 2 177 742 0.43 2010 1 042 133 2 310 690 0.45 2001-2010 641 592 1 831 505 0.34 Sumber: BPS, 2005-2011. Statistik Indonesia 2004-2011.

Peranan pemerintah Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnnya, yang ditandai dengan semakin meningkatnya proporsi realisasi belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto. Selama periode tahun 2001-2010, hanya tahun 2002, proporsinya sempat turun, dari 0.24 tahun 2001 menjadi 0.22 tahun 2002. Dari tahun 2003-2010 proporsi realisasi belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto selalu mengalami peningkatan


(24)

yaitu dari 0.24 tahun 2003 meningkat menjadi 0.45 tahun 2010. Selama periode tahun 2001-2010, proporsi rata-rata adalah sebesar 0.34.

Perlu disadari, bahwa proporsi pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional bruto (PDB) adalah suatu ukuran yang sangat kasar terhadap kegiatan/peranan pemerintah dalam suatu perekonomian (Dalton, 1954 dalam Suparmoko, 1996). Pengeluaran pemerintah tersebut dapat bersifat

exhaustive yaitu merupakan pembelian barang-barang dan jasa-jasa dalam

perekonomian yang dapat langsung dikonsumsi maupun dapat pula untuk menghasilkan barang lain lagi. Disamping itu, pengeluaran pemerintah dapat pula bersifat “transfer” saja yaitu berupa pemindahan uang kepada individu-individu untuk kepentingan sosial, kepada perusahaan-perusahaan sebagai subsidi atau mungkin pula kepada negara-negara sebagai hibah (granst). Jadi

exhaustive expenditure itu mengalihkan faktor-faktor produksi dari sektor

swasta ke sektor pemerintah. Sedangkan transfer payment hanya menggeser tenaga beli dari unit-unit ekonomi yang satu kepada unit-unit ekonomi yang lain dan membiarkan yang terakhir ini menentukan penggunaan dari uang tersebut (Suparmoko, 1996).

2.3. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Secara singkat yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono, 1992). Dari definisi singkat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertumbuhan ekonomi tekanannya pada 3 (tiga) aspek yaitu proses, output per kapita dan jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi adalah suatu “proses”, bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini dapat dilihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya pada perubahan atau perkembangan

itu sendiri. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Disini jelas ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Output per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output per kapita, tidak bisa tidak, harus dianalisa dengan jalan melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak, dan jumlah penduduk di lain pihak. Aspek ketiga dari definisi


(25)

“pertumbuhan ekonomi” adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian tumbuh apabila dalam jangka waktu yang cukup lama (10, 20, atau 50 tahun, atau bahkan lebih lama lagi) mengalami kenaikan output per kapita.

Konsep tersebut sejalan dengan definisi Kuznets, tentang pertumbuhan ekonomi. Menurut Kuznet yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah suatu peningkatan kapasitas jangka panjang untuk meningkatkan penawaran barang-barang ekonomi yang berbeda kepada penduduknya, pertumbuhan kapasitas didasarkan pada kemajuan teknologi dan institusi (kelembagaan), serta penyesuaian-penyesuaian secara idiologis yang dimintanya.

Ketiga komponen prinsip dari definisi tersebut adalah sangat penting: (1) kenaikan secara berkesinambungan pada output nasional merupakan suatu

manifestasi dari pertumbuhan ekonomi dan kemampuan untuk menyediakan berbagai macam barang merupakan suatu pertanda kematangan ekonomi, (2) kemajuan teknologi merupakan dasar atau pra kondisi bagi pertumbuhan ekonomi secara kontinyu - suatu yang perlu, tetapi bukan kondisi cukup, dan (3) untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang terkandung dalam teknologi baru, institusi, sikap dan penyesuaian-penyesuaian idiologi harus dilakukan. Inovasi teknologi tanpa dibarengi inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar tanpa listrik – potensi ada, tetapi tanpa input yang melengkapinya, tidak ada satupun yang akan terlaksana (Todaro and Smith, 2009).

2.4. Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Hess and Ross (1997) ada tiga faktor produksi yang utama yaitu: sumberdaya manusia (tenaga kerja), kapital fisik (human-made

resources), dan sumberdaya alam. Input tenaga kerja fisik berkaitan dengan

angkatan kerja. Ukuran angkatan kerja berkaitan langsung dengan jumlah penduduk dan tingkat partisipasi angkatan kerja (persentase penduduk yang sedang atau aktif mencari pekerjaan). Permintaan tenaga kerja, akhirnya menentukan angkatan kerja yang bekerja. Investasi pada modal manusia seperti pendidikan, kesehatan, gizi akan meningkatkan kualitas rata-rata tenaga kerja.


(26)

Stok kapital fisik dalam perekonomian meliputi pabrik, peralatan, mesin; struktur tempat tinggal dan bangunan lainnya; jaringan infrastruktur transportasi dan komunikasi dalam suatu negara. Peningkatan dalam stok kapital dihasilkan dari investasi pada produksi barang kapital, yaitu barang yang tidak untuk konsumsi sekarang, tetapi untuk memproduksi barang dan jasa lain. Kemajuan teknologi sering diwujudkan pada barang-barang kapital baru (seperti, mesin dengan tenaga efisien, dan komputer yang bertenaga kuat), dan juga cenderung meningkatkan kualitas kapital.

Sumberdaya alam meliputi tanah, hutan, sumber-sumber energi, danau, laut dan terusan yang ada yang digunakan untuk berproduksi. Semua negara dianugerahi sumberdaya alam, dalam pemanfaatannya sebagian tergantung pada usaha-usaha untuk memulihkan sumberdaya alam tersebut. Kualitas sumberdaya alam meliputi: kesuburan tanah, kelestarian hutan, kekayaan mineral yang dikandung, dan produktivitas sumberdaya air. Polusi dan praktek-praktek yang merusak konservasi dapat menurunkan kualitas sumberdaya alam.

Teknologi direpresentasikan oleh stok penggunaan pengetahuan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa. Kemajuan teknologi melalui penemuan dan inovasi secara teknis menghasilkan output yang lebih besar dari sekumpulan input yang ada.

Selanjutnya menurut Todaro and Smith (2009) terdapat tiga komponen utama dari pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Akumulasi kapital, yang mencakup semua investasi baru pada tanah, peralatan fisik, dan sumberdaya manusia dengan peningkatan derajat kesehatan, tingkat pendidikan, dan keahlian pekerjaan.

Akumulasi kapital terjadi terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan yang bertujuan untuk meningkatkan output dan pendapatan di masa yang akan datang. Pabrik-pabrik baru, mesin, peralatan, dan bahan-bahan baku meningkatkan stok kapital fisik suatu negara (total nilai riil bersih dari semua barang-barang kapital produktif secara fisik) dan memungkinkan berkembangnya pencapaian tingkat output. Investasi langsung produktif tersebut perlu dilengkapi oleh investasi apa yang disebut sebagai infrastruktur sosial dan ekonomi, seperti jalan, listrik, air dan sanitasi,


(27)

komunikasi, dan sebagainya, yang memfasilitasi dan mengintegrasikan aktivitas perekonomian. Sebagai contoh, investasi seorang petani pada sebuah traktor baru berkemungkinan akan meningkatkan total ouput hasil panen yang dapat dihasilkan, tetapi tanpa fasilitas transportasi yang memadai untuk mendapatkan tambahan produksi tersebut pada pasar komersial lokal, investasi petani tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi makanan nasional.

Disamping investasi yang bersifat langsung, banyak cara yang bersifat tidak langsung untuk menginvestasikan dana dalam berbagai jenis sumberdaya. Seperti pembangunan sistim irigasi dapat meningkatkan kualitas tanah pertanian nasional melalui peningkatan produktivitas per hektar lahan. Begitu juga penggunaan pupuk kimia dan kontrol insektisida dengan pestisida memiliki pengaruh manfaat yang sama dalam meningkatkan produktivitas lahan pertanian.

Selanjutnya investasi pada sumberdaya manusia (misalnya pendidikan dan pelatihan, program peningkatan kesehatan) dapat meningkatkan kualitas dan dengan demikian mempunyai kekuatan pengaruh yang sama terhadap produksi. Konsep investasi pada sumberdaya manusia dan kreasi human capital analog dengan peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya lahan melalui investasi yang strategis.

2. Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan menumbuhkan angkatan kerja.

Pertumbuhan penduduk, dan pada akhirnya berhubungan dengan peningkatan angkatan kerja, telah dianggap secara tradisional suatu faktor positif dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Suatu angkatan kerja yang besar berarti pekerja produktif yang lebih banyak, dan suatu penduduk yang lebih besar secara keseluruhan akan meningkatkan ukuran potensial pasar domestik. Meskipun demikian, hal tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah penawaran pertumbuhan yang cepat dari pekerja di negara-negara berkembang dengan surplus tenaga kerja mempunyai pengaruh positif atau negatif terhadap kemajuan perekonomian. Sebenarnya, hal tersebut akan tergantung pada kemampuan sistim perekonomian untuk menyerap dan secara produktif mempekerjakan tambahan pekerja-pekerja tersebut-suatu kemampuan yang


(28)

berhubungan dengan tingkat dan jenis dari akumulasi kapital dan ketersediaan yang berkaitan dengan faktor-faktor, seperti keahlian manajerial dan administratif.

3. Kemajuan teknologi-cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaan.

Pada kebanyakan para ekonom menganggap kemajuan teknologi merupakan hal yang sangat penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuk yang paling sederhana kemajuan teknologi merupakan hasil dari cara baru atau perbaikan atas cara-cara tradisional (lama), seperti dalam menanam tanaman, membuat pakaian, atau membangun rumah. Terdapat tiga klasifikasi dasar dari kemajuan ekonomi yaitu : kemajuan teknologi netral

(neutral technological progress), kemajuan teknologi hemat tenaga kerja

(labor-saving technological progress), dan kemajuan teknologi hemat modal (capital-saving technological progress).

Kemajuan teknologi netral terjadi apabila tingkat output yang lebih tinggi dicapai dengan jumlah dan kombinasi yang sama dari faktor input. Inovasi yang sederhana, seperti adanya pembagian kerja yang dapat menghasilkan tingkat total output yang lebih tinggi dan konsumsi yang lebih besar bagi semua individu. Dalam terminologi analisis kemungkinan produksi, bahwa suatu perubahan teknologi netral, disebutkan, penggandaan output total secara konseptual sama dengan penggandaan dari semua input produktif.

Kemajuan teknologi juga bisa menghasilkan penghematan tenaga kerja dan modal (yakni: tingkat output yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan kuantitas input tenaga kerja atau kapital yang sama). Contoh kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja: penggunaan komputer, internet, mesin tenun otomatis, bor listrik berkecepatan tinggi, traktor, mesin bajak tanah dan mesin serta peralatan moderen lainnya. Kemajuan teknologi sejak abad kedua puluh sebagian besar adalah kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja yang memproduksi mulai dari pengemasan kacang, pembuatan sepeda sampai pada pembuatan jembatan.

Kemajuan teknologi yang hemat modal merupakan fenomena yang relatif langka. Hal ini dikarenakan hampir semua dunia ilmiah dan penelitian


(29)

secara teknologi dilakukan di negara-negara maju, diamanatkan untuk menghemat tenaga kerja, bukan untuk menghemat modal. Pada negara-negara berkembang yang melimpah tenaga kerja, tetapi langka modal, kemajuan teknologi yang hemat modal merupakan sesuatu yang sangat diperlukan. Kemajuan teknologi ini akan menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien (biaya rendah), misalnya mesin pemotong rumput berputar atau mesin pengayak dengan tangan, pompa penghembus dengan tenaga kaki, dan penyemprot mekanis di atas punggung untuk pertanian skala kecil. Pengembangan teknik produksi di negara-negara berkembang yang murah, efesien, dan padat karya (hemat modal)-atau teknologi tepat guna-merupakan salah satu unsur terpenting dalam strategi pembangunan jangka panjang yang berorientasi pada perluasan lapangan pekerjaan.

Kemajuan teknologi juga dapat meningkatkan modal atau tenaga kerja. Kemajuan teknologi yang meningkatkan pekerja (labor-augmenting technological progress) terjadi apabila penerapan teknologi tersebut mampu meningkatkan kualitas atau keterampilan angkatan kerja secara umum. Misalnya, dengan menggunakan videotape, televisi, dan media komunikasi elektronik lainnnya di kelas, proses belajar bisa lebih lancar, sehinggga tingkat penyerapan bahan pelajaran juga menjadi lebih baik. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal (capital-augmenting technological progress) terjadi, apabila penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif. Misalnya, penggantian bajak kayu dengan bajak baja dalam produksi pertanian. 2.5. Pengertian Kemiskinan

Dalam mendefinisikan kemiskinan, Badan Pusat Statistik membedakan kemiskinan atas empat hal yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut dan kemiskinan struktural serta kemiskinan kultural (BPS, 2008c). Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40


(30)

persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Dikatakan tak menguntungkan, karena tatanan itu tak hanya menerbitkan, akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat.

Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan, karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi.

Menurut Todaro and Smith (2009) tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yaitu : (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan (2) lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Untuk mengukur luas atau kadar parahnya tingkat kemiskinan di dalam suatu negara dan kemiskinan relatif antar negara, para ahli ekonomi pembangunan menentukannnya berdasarkan garis kemiskinan (poverty line). Selanjutnya


(31)

ditemukan pula konsep kemiskinan absolut (absolute poverty) yang berguna untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dasar setiap orang berupa kecukupan makanan, pakaian, serta perumahan sehingga dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Untuk bisa diperbandingkan antar di negara, maka ditetapkan garis kemiskinan internasional (international poverty line).

2.6. Pajak Daerah dan Reribusi Daerah

Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Dari definisi tersebut nampak jelas perbedaan antara Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu terletak pada unsur memaksa dan jasa tidak langsung pada Pajak Daerah dan adanya jasa (pelayanan) dan balas jasa langsung yang diberikan pada Retribusi Daerah.

Jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia selalu berobah-robah sesuai dengan perkembangan perekonomian, sistem pemerintahan dan pertukaran rezim kekuasaan. Pada dasarnya pembaharuan sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah di Indonesia dimulai pada tahun 1997 dengan melakukan penyederhanan jumlah dan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditandai dengan keluarnya undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada undang-undang sebelumnya yaitu undang-undang Nomor 11 Drt. tahun 1957 tentang peraturan umum Pajak Daerah dan Undang-undang nomor 12 Drt. tahun 1957 tentang peraturan umum Retribusi Daerah, jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sangat banyak dan cenderung tumpang tindih antara pajak dan retribusi. Dengan dikeluarkannya undang-undang baru ini dilakukan penyederhanaan dan diharapkan terjadi keadilan, efektif dan efisien.


(32)

Menurut undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Provinsi atau Pajak Daerah Tingkat I (istilah lama) terdiri dari tiga jenis yaitu : (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak Kabupaten/kota (Daerah Tingkat II) terdiri dari enam jenis yaitu: (1) Pajak Hotel dan Restoran, (2) Pajak Hiburan, (3) Pajak Reklame, (4) Pajak Penerangan Jalan, (5) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan (6). Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Selanjutnya keluar Undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini tentu akan merobah jenis dan jumlah pajak provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan undang-undang ini pajak provinsi dan kabupaten/kota bertambah masing-masing satu jenis, sehingga pajak provinsi menjadi empat jenis dan pajak kabupaten/kota menjadi tujuh jenis.

Keempat jenis pajak provinsi dimaksud yaitu: (1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan (4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari: (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3) Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan, dan (7) Pajak Parkir.

Undang-undang terakhir yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan pada tanggal 15 September 2009. Pada dasarnya undang-undang ini bertujuan untuk semakin meningkatkan basis pajak dan retribusi di daerah, yang diharapakan akan memperbesar kesempatan meningkatkan pendapatan daerah, seiring dengan penerapan otonomi daerah yang luas.

Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 tersebut pajak provinsi terdiri dari empat jenis yaitu: (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4) Pajak Air Permukaan, dan (5) Pajak Rokok. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri atas


(33)

sebelas jenis, yaitu : (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3) Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, (7) Pajak Parkir, (8) Pajak Air Tanah, (9) Pajak Sarang Burung Walet, dan (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dengan undang-undang tersebut terlihat ada langkah maju dalam perpajakan daerah di Indonesia, hal ini terutama telah mulai diserahkannya pemungutan sebagian pajak pusat ke daerah yaitu Pajak Rokok ke provinsi dan dua jenis pajak ke kabupaten/kota yaitu: (1) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Jenis-jenis Retribusi Daerah hampir tidak ada perobahan pada ketiga undang-undang tersebut. Secara umum retribusi daerah digolongkan atas tiga yaitu: (1) Retribusi Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3). Retribusi Perizinan Tertentu. Banyak atau tidaknya jenis retribusi akan sangat tergantung dari kreatifitas masing-masing daerah dan disesuaikan dengan kewenangan daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Yang menentukan apakah itu retribusi provinsi atau kabupaten/kota, akan sangat tergantung dari mana sumber jasa atau pelayanan. Kalau pelayanan diberikan oleh provinsi yang telah diperdakan, maka disebut itu retribusi daerah provinsi. Begitu juga kalau pelayanan diberikan oleh kabupaten/kota yang telah diperdakan maka disebut retribusi kabupaten/kota.

2.7. Penelitian Sebelumnya

2.7.1. Pengeluaran Pemerintah, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Adolf Wagner berkemungkinan dapat dikatakan sebagai sarjana pertama yang mengakui adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan aktivitas pemerintahan. Seperti ditunjukkan oleh Henrekson (1993), Wagner melihat ada tiga alasan pokok peningkatan peranan pemerintah. Pertama, industrialisasi dan modernisasi akan mendorong substitusi aktivitas publik ke swasta. Kedua, peningkatan pendapatan riil mendorong ke arah suatu ekspansi pengeluaran untuk kebudayaan dan kesejahteraan dari elastisitas pendapatan. Wagner mencatat, pendidikan dan kebudayaan menjadi dua hal yang akan menjadi lebih baik, apabila disediakan oleh pemerintah daripada sektor swasta.


(34)

Oleh karena itu sektor publik akan tumbuh setelah kebutuhan dasar masyarakat dipuaskan dan pola konsumsi berkembang ke arah aktivitas seperti pendidikan dan kebudayaan. Ketiga, adanya monopoli alamiah, seperti pembangunan rel kereta api yang harus diambil oleh pemerintah, karena perusahaan swasta tidak akan sanggup melaksanakannya secara efisien, karena perusahaan swasta tersebut akan menjadi tidak mungkin akan meningkatkan, seperti keuangan dalam jumlah yang besar yang diperlukan untuk pembangunan dari monopoli alamiah ini.

Penelitian yang mengkaji kaitan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi cukup banyak dilakukan. Sebagian hasil penelitian menunjukkan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebagian tidak memberikan pengaruh, serta ada pula yang menghasilkan adanya hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut. Berikut ini disajikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut.

Penelitian yang dilakukan Sinha (1998) yang mempelajari hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia menggunakan data tahunan (time series) Penn World Tabledata dari tahun 1950-1992 dengan model Error Correction Model. Ada dua tipe analisis yang dilakukan, yaitu : (1) mempelajari hubungan jangka panjang antara GDP dan pengeluaran pemerintah dengan berbagai bentuk, dan (2) uji kausalitas Granger

diantara tingkat pertumbuhan ekonomi dari kedua variabel tersebut (GDP dan pengeluaran pemerintah). Hasil penelitiannya menunjukkan: (1) dari unit root properties semua variabel, ditemukan bahwa logaritma pengeluaran pemerintah dan GDP pada berbagai formula (seperti total, perkapita) adalah non stasioner, (2) semua variabel, kecuali log pengeluaran pemerintah sebagai persentase dari GDP adalah stasioner dalam bentuk perbedaan pertama, dan (3) ada hubungan jangka panjang antara GDP dan pengeluaran pemerintah, namun tidak ditemukan bukti adanya pertumbuhan ekonomi dari kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan GDP.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Albatel (2000) di Saudi Arabia yang menguji pengaruh pengeluaran pemerintah dan kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang menyatakan, bahwa pemerintah memainkan peranan penting terhadap pertumbuhan dan pembangunan


(35)

perekonomian di Saudi Arabia. Selanjutnya ditemukan pula, bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pada satu sisi pertumbuhan ekonomi yang didapatkan pada Granger menyebabkan pula peningkatan pengeluaran pemerintah. Penelitian ini juga menggunakan data time series untuk periode tahun 1964-1995.

Dalam penelitian ini dinyatakan, bahwa pertumbuhan riil GDP non minyak merepresentasikan pertumbuhan perekonomian. Sebagai variabel

independent adalah investasi total non minyak, investasi swasta, tenaga kerja, pengeluaran pemerintah, dan rasio dari pengeluaran pemerintah terhadap GDP. Pengeluaran pemerintah dibagi ke dalam: investasi pemerintah non minyak dan konsumsi pemerintah. Grossman Tax dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu : rasio dari pembiayaan pengeluaran pemerintah melalui penerimaan dari minyak terhadap GDP dan rasio dari pembiayaan pengeluaran pemerintah oleh penerimaan lainnya terhadap GDP. Semua variabel di log kan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fan and Rao (2003) yang bertujuan untuk mereview dan menganalisis kecenderungan dan sebab-sebab perubahan pengeluaran pemerintah dan komposisinya di negara-negara berkembang, dan untuk mengembangkan suatu kerangka analisis untuk menentukan perbedaan dampak dari berbagai jenis pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam memodelkan dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, maka diestimasi fungsi produksi dengan GDP nasional sebagai dependen variabel, dan tenaga kerja, investasi kapital, dan bermacam-macam pengeluaran pemerintah sebagai variabel independen (pengeluaran pada sektor pertanian, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor transportasi dan komunikasi, dan pengeluaran pada jaminan sosial, serta untuk sektor pertahanan).

Penelitian ini menggunakan program penyesuaian struktural sebagai variabel dummy; 1 apabila penyesuaian makroekonomi diimplementasikan, dan 0 bila sebaliknya. Data yang digunakan adalah data sekunder selama periode tahun 1980-1998 pada 43 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Untuk tujuan memperbandingkan antar negara, semua data pengeluaran pemerintah dikonversi ke dalam dollar internasional dengan harga konstan tahun 1995.


(36)

Hasil penelitian menyimpulkan, antara lain : (1). kinerja pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi berbeda pada tiga kawasan penelitian. Di Afrika, pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian dan kesehatan secara nyata memberikan pengaruh yang kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari semua jenis-jenis pengeluaran pemerintah, pengeluaran pada sektor pertanian, pendidikan dan pertahanan memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia. Di Amerika Latin, pengeluaran untuk sektor kesehatan yang mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan (2) program penyesuaian struktural mempunyai pengaruh yang positif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Asia dan Amerika Latin, tetapi tidak di Afrika.

Penelitian Loizides and Vamvoukas (2005) di tiga negara yaitu Yunani, Inggris dan Irlandia, dengan judul: Government Expenditure and Economic Growth: Evidence From Trivariate Causality Testing. Penelitian ini menggunakan model bivariate error correction dengan kerangka kerja kausalitas Granger, dengan menambahkan pengangguran dan inflasi (secara terpisah) sebagai variabel penjelas, dengan melakukan analisis “trivariate” secara sederhana. Adapun model ekonometrika yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM).

Data yang digunakan adalah time series dari tahun 1948-1995 untuk Yunani dan 1950-1995 untuk Inggris dan Irlandia. Khusus data tingkat pengangguran untuk Inggris dan Irlandia hanya mencakup tahun 1960-1995, karena data sebelum tahun 1960 tidak tersedia. Semua data dinyatakan dalam Log Natural, oleh sebab itu tingkat pertumbuhan diestimasi dalam perbedaan tingkat pertama. Adapun data yang digunakan: (1) income yaitu GNP riil perkapita pada harga pasar dalam tahun t, (2) pengeluaran pemerintah riil yaitu pengeluaran pada barang dan jasa (tidak termasuk pembayaran transfer), yakni konsumsi dan pembentukan kapital tetap kotor, (3) ukuran sektor publik yaitu rasio pengeluaran pemerintah terhadap GNP, dan (4) tingkat pengangguran yaitu pengangguran per orang dibagi oleh populasi pekerja, serta indeks Harga Grosir dan perubahannya.

Hasil penelitian untuk semua negara (Yunani, Inggris dan Irlandia), menunjukkan, bahwa pengeluaran publik Granger menyebabkan pertumbuhan pendapatan nasional baik dalam jangka pendek maupun panjang. Secara umum


(37)

analisis menolak hipotesis, bahwa ekspansi publik telah menghambat pertumbuhan ekonomi pada semua negara. Tingkat pertumbuhan mempengaruhi sektor publik secara keseluruhan, artinya pengeluaran publik membantu pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Khusus untuk negara Yunani yang didukung oleh hipotesis Wagner, bahwa peningkatan output menyebabkan pertumbuhan pada pengeluaran publik.

Penelitian Dogan and Tang (2006) yang bertujuan untuk menentukan hubungan kausalitas antara pendapatan nasional dan pengeluaran pemerintah pada negara Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand menggunakan uji kausalitas Granger. Data yang digunakan adalah time series pada empat dekade (1960-2002), yang terdiri dari: GDP per tahun, total pengeluaran pemerintah per tahun, dan jumlah penduduk. Hasil Uji kausalitas Granger mengindikasikan bahwa hukum Granger tidak didukung oleh data dari 5 negara sampel tersebut. Hal ini berarti tidak ada hubungan kausalitas antara pendapatan perkapita riil terhadap total pengeluran pemerintah riil. Uji kausalitas Granger

mengindikasikan, bahwa hanya di Philipina yang ada hubungan kausalitas antara antara pendapatan perkapita riil terhadap total pengeluran pemerintah riil. Hal ini mengindikasikan, bahwa pengeluaran pemerintah tidak memainkan peranan yang signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, kecuali di Philipina.

Penelitian yang menggunakan model struktural (persamaan simultan) dilakukan oleh Jaroensathapornkul and Tongpan (2007) di Thailand yang bertujuan untuk menguji berapa banyak perluasan pengeluaran konsumsi pemerintah telah menguntungkan sektor pertanian. Data yang digunakan adalah

time series, dari kwartal 1 tahun 1997 s/d kwartal 3 tahun 2004. Persamaan simultan ini diestimasi oleh : two stage least square (2SLS). Dengan persamaan, terdiri dari 16 persamaan struktural dan 6 persamaan identitas, yang dibagi kedalam 2 blok, yaitu: (1) dampak estimasi pengeluaran konsumsi pemerintah pada variabel ekonomi makro, dengan 13 persamaan, dan (2) dampak estimasi variabel transmisi pada variabel pertanian, dengan 9 persamaan.

Simulasi dilakukan melalui 3 skenario yaitu dengan meningkatkan pengeluaran konsumsi pemerintah 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Dari hasil simulasi yang dilakukan tentang dampak dari peningkatan pengeluaran konsumsi


(38)

pemerintah pada sektor pertanian, adalah: meningkatnya konsumsi makanan, meningkatnya ekspor dan impor makanan, surplus perdagangan berkurang, penyerapan tenaga kerja dan stok kapital meningkat. Sebagai konsekuensinya GDP sektor pertanian meningkat.

Kajian mengenai pengeluaran publik dan outcomes juga pernah dilakukan

oleh Rajkumar and Swaroop (2008). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari dampak pengeluaran publik untuk outcomes pada perbedaan

tingkatan kepemerintahan, dan (2) menguji kaitan antara alokasi anggaran yang spesifik dan outcomes, dan mempelajari hubungan kedua hal tersebut dikaitkan dengan peningkatan kepemerintahan (governance).

Penelitian ini menggunakan Ordinary Least Square (OLS) dan data yang digunakan: data cross-section tahun 1990, 1997 dan 2003. Model dikelompokkan pada dua bagian yaitu : (1) efektivitas (efficacy) pengeluaran publik untuk kesehatan, dan (2) efektivitas (efficacy) pengeluaran publik untuk pendidikan. Peranan kepemerintahan diukur dari tingkat korupsi dan kualitas birokrasi di dalam menentukan efektivitas pengeluaran publik dalam meningkatkan outcomes

pembangunan manusia. Korupsi diukur pada skala: 1–6, dan range kualitas birokrasi: 1–4. Indeks kualitas birokrasi diukur dari institusi kelembagaan dan kualitas pelayanan. Untuk meregresi status kesehatan digunakan sampel 228 observasi untuk ketiga tahun (1990, 1997 & 2003) dari 91 negara (maju dan berkembang). Untuk meregresi pendidikan digunakan sampel 101 observasi dari 57 negara dengan tahun yang sama dengan regresi status kesehatan. Ukuran sampel yang digunakan lebih kecil dari sektor kesehatan, karena data sektor pendidikan yang tersedia pada negara yang lebih sedikit.

Hasil penelitian yaitu : (1) secara empiris menunjukkan, bahwa perbedaan dalam efektivitas pengeluaran publik dapat dijelaskan lebih besar oleh kualitas kepemerintahan, (2) pengeluaran yang rendah pada sektor kesehatan mengakibatkan tingkat kematian anak yang lebih besar pada negara-negara kepemerinthan yang baik, (3) pengeluaran publik pada pendidikan dasar lebih efektif untuk mencapai peningkatan pendidikan dasar pada negara-negara kepemerinthan yang baik, dan (4) secara umum pengeluaran publik hampir tidak


(39)

memiliki pengaruh untuk outcomes kesehatan dan pendidikan pada pemerintah negara-negara miskin.

Penelitian untuk menguji dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi juga pernah dilakukan oleh Nurudeen and Usman (2010) di Nigeria. Penelitian ini menggunakan data time series untuk periode tahun 1977-2007. Semua data diriilkan dengan cara dibagi dengan CPI (Consumer Price Index). Model yang digunakan adalah Co-integration dan Error Correction

Methods (ECM). Sebagai variabel endogen adalah pertumbuhan ekonomi yaitu

GDP harga pasar dibagi oleh CPI. Sebagai variabel eksogen adalah pengeluaran

recurrent total, pengeluaran kapital total, pengeluaran untuk pertahanan, pengeluaran untuk pertanian, pengeluaran untuk pendidikan, pengeluaran untuk kesehatan, pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi, dan keseimbangan fiskal pemerintah secara keseluruhan, serta tingkat inflasi.

Kesimpulan yang dihasilkan penelitian ini adalah: (1) pengeluaran kapital total pemerintah, pengeluaran recurrent total, dan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan (2). peningkatan pengeluaran pemerintah pada transportasi dan komunikasi dan kesehatan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dalam mengkaji tentang pengeluaran pemeritah pada sektor kesehatan, pertumbuhan ekonomi dan siklus pertumbuhan ekonomi jangka panjang dilakukan oleh Odior (2011), dengan menggunakan model dinamis keseimbangan umum (Dynamic Computable General Equilibrium). Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: (1) menganalisis pengaruh dinamis langsung dan tidak langsung kebijakan pemerintah pada sektor kesehatan dan hubungannya dengan siklus pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan (2) melakukan simulasi pengeluaran pemerintah pada sektor kesehatan akan membantu untuk meningkatkan kinerja perekonomian di Nigeria dalam jangka panjang. Model penelitian berangkat dari fungsi teknologi constant elasticity of substitution (CES Technology. Dari hasil dekomposisi menunjukkan, bahwa realokasi pengeluaran pemerintah pada sektor kesehatan adalah signifikan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Dalam kasus ini, hasil eksperimen menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah yang melebihi target akan


(40)

meningkatkan pelayanan sektor kesehatan yang akan membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian tentang pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pernah dilakukan oleh Sodik (2007). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Menggunakan metode General Least Square (GLS), dengan data panel dari 26 provinsi, selama periode 1993-2003. Dengan menggunakan model ekonometrika, melalui persamaan double log, maka sebagai variabel endogen adalah output atau laju pertumbuhan PDRB perkapita daerah/provinsi. Sebagai variabel eksogen terdiri dari: (1) investasi swasta, (2) investasi pemerintah (pengeluaran pembangunan), (3) konsumsi pemerintah (pengeluaran rutin), dan (4) tingkat keterbukaan ekonomi (ekspor netto), dan (5) angkatan kerja.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) investasi swasta tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, (2) pengeluaran pemerintah (baik rutin maupun pembangunan) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, (3) tingkat keterbukaan perekonomian suatu daerah belum berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional, (4) angkatan kerja berpengaruh signifikan dengan tanda negatif untuk tahun 1993-2003 dan tahun 1998-2000 (sebelum era otonomi), hal ini menunjukkan bahwa daerah belum bisa menyerap angkatan kerja yang ada di daerah tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan untuk periode 2001-2003 (setelah otonomi daerah) tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Penelitian mengenai pengaruh komposisi pengeluaran publik dan efisiensi sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan pernah dilakukan oleh Sennoga and Matovu (2010) di Uganda. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah komposisi pengeluaran publik di Uganda berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan model

Computable General Equilibrium (CGE) dinamis. Dengan data yang digunakan

didasarkan pada Social Accounting Matrix (SAM) Uganda tahun 2007.

Hasil penelitian adalah : (1) komposisi pengeluaran publik mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan, (2) realokasi pengeluaran publik dari sektor yang tidak produktif (seperti administrasi publik dan keamanan)


(41)

ke sektor-sektor produktif (pertanian, energi, air, dan kesehatan) mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan, (3) realokasi pengeluaran ke sektor pertanian mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan penurunan kemiskinan, dibandingkan dengan pengeluaran pada sektor lainnya, termasuk pada sektor industri, (4) dengan adanya realokasi pengeluaran ke sektor produktif ternyata juga dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada rumahtangga perdesaan lebih cepat daripada rumahtangga perkotaan, (5) penurunan tingkat kemiskinan pada rumah tangga pertanian di pedesaan dan perkotaan lebih cepat dibandingkan dengan rumah tangga non pertanian di perkotaan dan perdesan, dan (6) pelaksanan investasi pada sektor pertanian yang dilengkapi dengan investasi pada infrastruktur, termasuk jalan dan perairan berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan.

Selanjutnya penelitian mengenai hubungan antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan dilakukan pula oleh Mehmood and Sadiq (2010) di Pakistan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan dalam jangka panjang dengan investasi swasta, pengiriman uang (remittance), dan yang terdaftar pada sekolah dasar sebagai modal manusia (human capital). Data yang digunakan adalah time series untuk periode tahun 1978-2010. Sesuai dengan tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan, maka sebagai variabel endogen adalah kemiskinan yaitu poverty head count ratio (jumlah orang miskin dibagi dengan total penduduk). Sebagai variabel eksogen adalah: (1) pengeluaran pemerintah sebagai persentase dari GDP (menggunakan proksi dari defisit anggaran), (2) investasi swasta sebagai persentase dari GDP, (3) jumlah yang terdaftar pada sekolah dasar (pesentase dari jumlah penduduk), dan (4) jumlah uang yang dikirim (dalam bentuk logaritma).

Untuk menghindari unit root digunakan uji Augmented Dickey Fuller

supaya semua data menjadi stasioner. Selanjutnya untuk menguji hubungan jangka pendek dan jangka panjang diantara variabel digunakan model ECM dan Uji kointegrasi Johnson. Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa terdapat hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan, dan ada


(42)

hubungan jangka pendek dan panjang antara kemiskinan dan pengeluaran pemerintah.

Untuk kasus Indonesia, hubungan antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan pernah dilakukan oleh Birowo (2011) dengan membandingkan klasifikasi anggaran, sebelum dan sesudah refomasi manajemen anggaran 2004. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji hubungan antara pengeluaran pemerintah dan penurunan kemiskinan di Indonesia, (2) membandingkan hubungan klasifikasi pengeluaran pemerintah dan penurunan kemiskinan di Indonesia, sebelum dan setelah reformasi keuangan, dan (3) menentukan alokasi pengeluaran pemerintah yang mana mempengaruhi penurunan kemiskinan secara signifikan. Menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan data sekunder berbentuk time series selama 1976 -2009.

Penelitian tersebut menyimpulkan: (1) dengan menggunakan pertumbuhan pengeluaran sebagai variabel proksi, pengeluaran pemerintah secara keseluruhan tidak mempunyai hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan, (2) studi ini gagal untuk membandingkan hubungan antara pengeluaran pemerintah dan kemiskinan secara sektoral antara waktu sebelum dan setelah reformasi anggaran, karena tidak tersedianya data, (3) prioritas reformasi anggaran di luar dari delapan sektor, pengeluaran pada sektor pendidikan dan industri yang memiliki hubungan negatif terhadap tingkat kemiskinan.

Selanjutnya Sitepu (2007) yang menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum menyimpulkan bahwa: (1) peningkatan investasi sumberdaya manusia secara langsung berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja yang mendorong pada peningkatan Produk Domestik Bruto riil yang ditunjukkan oleh peningkatan stok kapital, neraca perdagangan dan konsumsi rumahtangga. Investasi kesehatan dapat mengurangi kemiskinan dengan persentase yang lebih besar jika dibandingkan investasi pendidikan, (2) peningkatan investasi sumberdaya manusia berdampak pada penurunan harga-harga yang ditunjukan oleh penurunan indeks harga konsumen, sebaliknya transfer pendapatan menyebabkan tingkat inflasi yang semakin tinggi, (3) output di seluruh sektor


(1)

Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nurudeen, A. and A. Usman. 2010. Government Expenditure And Economic Growth In Nigeria, 1970-2008: A Disaggregated Analysis. Business and Economics Journal, 2010 (4).

Oates, W. 1972. Fiscal Federalism, New York. Harcourt Brace.

Obwona, M. B. 2001. Determinants of FDI and their Impact on Economic Growth in Uganda. In Osinubi, T. S. and L. A. Amaghionyeodiwe. 2010. Foreign Private Investment and Economic Growth in Nigeria. REBS (Review of Economic Business Studies) 3 (1): 105-127.

Odior, E. S.O. 2011. Government Expenditure on Health, Economic Growth and Long Waves in A CGE Micro-Simulation Analysis: The Case of Nigeria. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences, 31 (2011): 99-113.

Okpe, L. J. and G. A. Abu. 2009. Foreign Private Investment and Poverty Reduction in Nigeria (1975 to 2003). Journal Social Science, 19(3): 205-211.

Osinubi, T. S. and L. A. Amaghionyeodiwe. 2010. Foreign Private Investment and Economic Growth in Nigeria. REBS (Review of Economic Business Studies) 3 (1): 105-127.

Pakasi, C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Parker, E and J. Thornton. 2004. Fiscal Centralisation and Decentralization in Rusia and China. Urban Studies, 41 (1): 71-94.

Pemerintah Provinsi Jambi. 2002. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2001. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2003. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2002. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2004. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2003. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2005. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.


(2)

176

_________________________. 2006. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2005. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2007. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2008. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2007. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2009. Laporan Realisasi Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2008. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2010a. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jambi Tahun 2009. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2010b. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubernur Jambi Tahun 2006-2010. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2010c. Memori Serah Terima Jabatan Gubernur Jambi Periode 2005-2010. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

________________________. 2010d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi Tahun 2011-2015. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

_________________________. 2011. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jambi Tahun 2010. Pemerintah Provinsi Jambi. Jambi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfield. 1998. Econometric Model and Economics Forecast. Fourth Edition. Irwin McGraw-Hill Book Co, Singapore. Rajkumar, A. S. and V. Swaroop. 2008. Public spending and outcomes: Does

governance matter? Journal of Development Economics 86 (2008): 96-111, Elsevier.

Romer, D. 2006. Advanced Macroeconomics. Third Edition, McGraw-Hill Companies, Inc, New York.

Rondinelli, D.A., J.S. McCullough and R.W. Johnson. 1989. Analysing Decentralization Policies in Developing Countries: A Policy-Economy Framework. Development and Change 20: 57-87. New Delhi.


(3)

Sennoga, E. B. and J. M. Matovu. 2010. Public Spending Composition and Public Sector Efficiency: Implications for Growth and Poverty Reduction in Uganda. Research Series No. 66. Economic Policy Research Centre (EPRC).

Sinha, D. 1998. Government Expenditure and Economic Growth in Malaysia. Journal of Economic Development, 23 (2): 71-80.

Sodik, J. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12 (1): 27-36.

Sitepu, R. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Stegarescu, D. 2003. Economic Integration and Fiscal Decentralization: Evidence from OECD Countries. Discussion Paper No. 04-86. Zentrum fur Europaische Wirschaftsforschung GmbH (ZEW), Center for European Economic Research.

Sukirno. 2007. Makroekonomi Modern. Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sulistyowati, N. 2011. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia Terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Jawa Tengah. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suparmoko, M. 1996. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Edisi Keempat, Cetakan Keenam. BPFE UGM, Yogyakarta.

Tambunan, M. 2010. Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan. Menggerakkan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi Ekonomi. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Wilhelm, V. and I. Fiestas. 2005. Exploring The Link Between Public Spending and Poverty Reduction Lessons from the 90s. WBI Working Papers. World Bank Institute, New York.

Todaro, M. P. and S.C. Smith. 2009. Economic Development. Tenth Edition. Pearson Addison Wesley. Boston.

Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(4)

178


(5)

(6)

180


Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Batu Bara

1 42 75

Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto , Investasi, Inflasi Dan Pengangguran Terhadap Pendapatan Daerah Di Provinsi Sumatera Utara

1 46 146

Analisa Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Dairi

1 27 80

Elastisitas Pengeluaran Pemerintah Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Lampung Tahun 1990-2008

0 5 11

Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

1 10 104

Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor

0 14 80

ANALISIS PENGARUH PRODUK DOMESTIK BRUTO, SUKU BUNGA, DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INVESTASI DI ANALISIS PENGARUH PRODUK DOMESTIK BRUTO, SUKU BUNGA, DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INVESTASI DI INDONESIA TAHUN 1992-2012.

0 5 15

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Analisis Pengaruh Pajak Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Meningkatnya Belanja Daerah Di Kota Surakarta Tahun 1990-2011.

0 1 12

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) Analisis Pengaruh Pajak Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Meningkatnya Belanja Daerah Di Kota Surakarta Tahun 1990-201

0 1 15

Pengaruh Investasi, Pengeluaran Pemerintah dan Tenaga Kerja Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan pada Wilayah Sarbagita di Provinsi Bali.

0 0 22