DASAR TEORI Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

(1)

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Kenyon W (1979) mengatakan Las titik (Resistance Spot Welding) adalah suatu bentuk pengelasan tahanan dimana suatu las dihasilkan pada suatu titik pada benda kerja diantara elektroda-elektroda pembawa arus, las akan mempunyai luas yang kira-kira yang sama dengan ujung elektroda, atau sekecil ujung elektroda dari ukuran yang berbeda-beda. Gaya yang dikenakan terhadap titik biasanya melalui elektroda, secara kontinu di seluruh poros(tidak ada busur api yang dibentuk).

Salim dan Triyono (2012) melakukan penelitian tentang kekuatan tarik dan geser pengelasan resistance Spot Welding (RSW) antara baja karbon rendah dengan Aluminium menggunakan alat bantu filler berupa serbuk paduan baja dan alumunium. Tebal plat baja SS 400 1 mm dan tebal plat Aluminium jenis A1 6061 TI 2 mm dengan variasi Voltage output 2,02 Volt dan 2,30 dengan parameter waktu pengelasan 5 detik. Dengan waktu yang sama semakin tinggi load voltage akan menghasilkan lasan yang lebih kuat. Disebabkan tingkat peleburan kedua benda semakin baik, maka tingkat penyatuan dari kedua material yang dilas dengan media filler perpaduan antara kedua jenis logam disambung semakin sempurna.

Lisa Agustriyana (2011) melakukan penelitian las titik pada material baja fase ganda (Ferrite-Martensite) dengan mengunakan pengujian kekuatan tarik dan mikrostruktur dengan parameter arus 0,9kA, 1,6kA, 1,85kA dengan waktu pengelasan 0,25detik, 0,5detik, 0,75detik, 1detik. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan semakin besar kuat arus dan waktu pengelasan pada proses Spot Welding pada baja fasa ganda


(2)

maka dihasilkan kekuatan tarik yang semakin besar dan nilai optimum di dapat pada kuat arus 1,85 kA dengan variasi yang terbaik juga didapat pada kuat arus ini dalam berbagai waktu pengelasan dan ditunjukkan pada luasan daerah kekuatan tarik yang terbesar yaitu sekitar 40%.

Arghavani, M. dkk (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh lapisan seng pada resistence Spot Welding sambungan beda material antara baja dan Aluminium. Sambungan material pada penelitiannya terdapat 2 jenis, yaitu sambungan antara material baja St-12 dengan Aluminium seri 5052 (PS-AL) dan sambungan antara baja galvanis dengan Aluminium seri 5052 (GS-AL). Ketebalan material baja 1 mm dan Aluminium 2 mm dengan variasi parameter arus pengelasan yang digunakan 9; 10; 11; 12; 13; 14 kA.

Gambar 2.1 Hubungan antara arus pengelasan terhadap kekuatan tarik dan geser (Arghavani, M. dkk, 2016)

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kekuatan tarik dan geser dari sambungan material baja St-12 dan Aluminium mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada sambungan baja galvanis dan Aluminium. Hal ini berhubungan dengan rendahnya kontak hambatan sambungan baja galvanis/Al-5052 dan konsumsi panas dengan mencairnya lapisan seng pada baja galvanis. Variasi arus pengelasan juga berpengaruh terhadap kekuatan sambungan las. Semakin besar arus yang diberikan maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan sambungan las. Hal ini disebabkan


(3)

karena diameter nugget yang semakin besar seiring besarnya masukan panas yang diterima. Walaupun plat baja tidak meleleh selama pengelasan, namun plat Al-5052 meleleh dan membentuk weld nugget.

Penelitian tentang sambungan las pada beda material pernah dilakukan oleh Deni,D. (2014) dengan menggunakan bahan baja tahan karat ( Austenitic Stailess Steel) dan baja karbon rendah ( Low Carbon Steel ). Dengan menggunakan variasi arus 5000A, 6000A, 7000A, dan variasi waktu pengelasan 0,4detik, 0,5detik, 0,6detik. Dengan menggunakan dua pengujian yaitu pengujian tarik geser dan pengujian kekerasan Vickres microhardness. Dari pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pengujian geser didapat hasil yang optimal pada variasi arus 7000A dan waktu 0,6detik dengan kekuatan sambungan las sebesar 5,323kN. Dan pada pengujian Vickres microhardness kekerasan yang paling optimal terdapat pada daerah logam las (nugget) yaitu sebesar 354,2 HV0.2 pada variasi arus 7000A dan waktu 0,6detik.

2.2 DASAR TEORI

2.2.1 Las Resistan Listrik ( Resistance Welding )

Las Resistensi Listrik (Resistance Welding) adalah metode pengelasan yang paling sering digunakan untuk penyambungan plat (sheet metal). Dimana material logam yang akan disambung di tekan satu sama lain pada saat yang bersamaan arus listrik yang besar dialirkan oleh kedua elektroda melewati kedua permukaan material yang berhimpit sehingga timbul panas dan mencair karena adanya tahanan/resistensi pada permukaaan tersebut. Tekanan


(4)

diberikan untuk memberikan kontak pada kedua permukaan, setelah arus dialirkan dan temperatur yang tinggi telah tercapai maka logam mencair kemudian arus listrik dihentikan sedangkan tekanan tetap diberikan pada kedua permukaan untuk menggabungkan dua buah logam.

Untuk menghindari panas berlebih pada elektroda terdapat sistem pendingin dalam elektroda yaitu air di alirkan ke dalam elektroda sehingga saat terjadi proses pengelasan panas yang dihasilkan tidak akan melelehkan elektroda. Bahan yang digunakan untuk elektroda harus memiliki sifat konduktor listrik yang baik artinya memiliki tahanan dalam yang rendah dan kuat, seperti tembaga dan paduannya.

Ada dua jenis sambungan dalam Las Resistensi Listrik yaitu sambungan tumpang (Lap Joint) untuk pengelasan plat (sheet metal) dan sambungan tumpul (Butt Joint) untuk pengelasan batang

Gambar 2. 2. Las Resistensi Listrik (Resistance Welding) (Miller, 2012)


(5)

atau pipa. Sambungan tumpang (Lap Joint) masih dibagi menjadi dua metode yaitu las titik (Spot Welding) dan las garis (seam welding) dan las timbul (projection welding).

(a) (b) (c)

Pada pengelasan jenis sambungan Butt Joint terjadi dua fase proses yaitu flashing phase dan upseting phase. Dua komponen yang akan disambung (dilas) dicekam oleh dua buah elektroda, salah satu elektroda dapat bebas bergerak/bergeser. Tegangan rendah dan Arus yang tinggi dialirkan melalui kedua komponen yang akan disambung. Panas yang tinggi akibat besarnya arus yang mengalir mengakibatkan ujung komponen yang berhimpit (ujung kontak) akan meleleh dan menyatu

Pada pengelasan resistensi listrik terdapat tiga faktor yang mempengaruhi besarnya energi panas/kalor untuk mencairkan Gambar 2. 3. Jenis sambungan tumpang : (a) spot welding (b) seam welding (c) projection welding (Ruukki, 2007)

Gambar 2. 4. Skema pengelasan Flash Butt Joint (Ruukki, 2007)


(6)

logam. Ketiga faktor tersebut dapat ditinjau dari rumus total heat input yang dihasilkan yaitu : (Amstead, B.H, 1995)

H = I2.R.t Dimana :

H : Total Heat Input (joule)

I : Arus listrik (Ampere) t : Waktu pengelasan (detik)

a. Current Welding (Arus Listrik Pengelasan)

Untuk mengatur besarnya arus yang akan digunakan pada mesin pengelasan Resistance Welding biasanya terdapat kontrol arus step-down, besarnya arus diatur oleh banyaknya gulungan coil primer dan sekunder dengan mengubah besarnya tegangan keluaran.

Besarnya Arus yang digunakan pada pengelasan Spot Welding antara 4-20 kA. Besarnya Arus yang digunakan tergantung pada jenis material yang akan dilas dan ketebalan plat. (Ruukki, 2007)

b. Resistance (Tahanan Listrik)

Tahanan listrik yang terdapat pada sirkuit sistem pengelasan Resistance Welding adalah jumlah keseluruhan dari :


(7)

2. Resistensi interface (elektroda-sheet metal) 3. Resistensi interface (sheet metal-sheet metal) 4. Resistensi material dari benda kerja

Tahanan listrik/Resistensi dari material benda kerja ditentukan berdasarkan jenis dari materialnya. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa resistensi paling besar adalah resistensi interface antara sheet metal-sheet metal kemudian secara berurutan resistensi interface antara elektroda-sheet metal kemudian resistensi material benda kerja. Untuk resistensi material elektroda sangat kecil hal ini karena material elektroda yang digunakan dipilih dari material yang memiliki sifat konduktivitas listrik yang baik seperti Tembaga dan paduannya. (ISF, Welding and joining institute, 2005).

c. Welding Time (Waktu Pengelasan)

Gambar 2. 5. Resistensi pada Resistance Welding (ISF, Welding and joining institute, 2002)


(8)

Variabel yang dapat diatur (adjustable variable) untuk mendapatkan energi panas yang masuk (Heat Input) pada pengelasan Resistensi Listrik adalah kuat arus yang digunakan (Current Welding) dan waktu pengelasan (Welding Time). Waktu pengelasan biasanya sangat singkat. Waktu pengelasan dalam satuan cycle dimana untuk listrik dengan frekuensi 50 Hz, 1 detik = 50 cycle maka untuk 1 cycle = 0.02 detik. Waktu pengelasan dalam pengelasan Resistensi Listrik terdiri dari 3 waktu yaitu : (Ruukki, 2007)

1. Set-Up Time (Pre-welding Squeeze Time) 2. Welding Time (Current Time)

3. Holding Time

Gambar 2. 6. Welding process and welding time (ISF, Welding and joining institute, 2005)


(9)

Set-Up Time (Pre-welding Squeeze Time) berfungsi untuk menekan benda kerja dan menyetel tahanan interface (setting-up reproducible resistance) sebelum pengelasan. Akan tetapi set-up time tidak memberikan efek terhadap propertis teknis (technical properties) dari hasil pengelasan, meski demikian harus diberikan cukup lama agar elektroda memberikan gaya penekanan yang cukup sebelum Arus listrik dialirkan (Ruukki, 2007).

Welding Time (Current Time) atau waktu pengelasan adalah waktu dimana arus listrik dialirkan saat proses pengelasan. Welding time sangat singkat antara 4-50 cycle (0.1-1 detik). Pengaturan welding time tergantung dari mesin las resistensi listrik yang digunakan. Pada mesin las sudah tersedia panel pengaturan welding time yang ingin dikehendaki, besarnya welding time dipengaruhi oleh tebal plat yang dilas dan berhubungan dengan kuat arus, artinya sangat memungkinkan jika arus yang diberikan besar maka welding time lebih singkat, jika arus yang diberikan kecil maka welding time bisa lebih lama, (Ruukki, 2007).

Saat menggunakan welding time yang terlalu lama maka benda kerja dan elektroda akan menghantarkan panas keluar dari permukaan material yang terhubung (conecting surface) dan semakin banyak panas yang terbuang (Heat Loss) sehingga nugget terlalu kecil, untuk material dengan konduktivitas listrik yang tinggi seperti tembaga dan Aluminium menggunakan welding time yang lebih singkat dari pada baja dan paduannya. Penggunaan welding


(10)

time yang lama akan lebih menguntungkan pada pengelasan material yang cenderung keras dan getas karena dengan welding time yang lama maka waktu pendinginan juga akan lama. (Ruukki, 2007).

Holding time adalah waktu dimana setelah nugget terbentuk dan arus berhenti dialirkan gaya penekanan tetap diberikan untuk mencegah terbentuknya pori-pori dalam nugget. Holding time diberikan cukup lama saat proses pendinginan (logam cair mengeras kembali) agar mencapai kekuatan yang cukup pada daerah yang dilas. Oleh karena itu semakin tebal plat yang akan dilas maka semakin lama hold time yang diberikan. Secara umum lama hold time dalam pengelasan Spot Welding adalah 10-50 cycles. Waktu hold time yang pendek (10-20 cycles) biasanya diberikan pada pengelasan material yang cenderung getas untuk mencegah efek pendinginan dari elektroda pada daerah las, (Ruukki, 2007).

2.2.2 Baja Tahan Karat (Stainless Steel)

Karat adalah salah satu cacat pada penggunaan baja, yang pencegahannya biasa dilakukan dengan pelapisan dan penegcatan. Baja Tahan Karat adalah baja paduan tinggi yang tahan terhadap korosi, suhu tinggi dan suhu rendah. Disamping itu Baja Tahan Karat mempunyai ketangguhan dan sifat mampu


(11)

potong yang cukup baik. Karena sifatnya, maka baja ini banyak digunakan dalam reaktor atom, turbin, mesin jet, pesawat terbang, alat rumah tangga dan lain-lainnya.

Baja tahan karat adalah baja paduan tinggi. Berdasarkan unsur paduan dasar baja tahan karat dibedakan menjadi : besi-krom, besi-krom-karbon, dan besi-krom-nikel. Untuk mengontrol struktur mikro dan sifat-sifat yang dimiliki, beberapa unsur paduan dimasukkan pada sistem unsur paduan dasar tersebut dimana unsur paduanya terdiri dari mangan, silikon, molybdenum, niobium, titanium, dan nitrogen (Lippold.J.C 1993)

Salah satu cara yang digunakan untuk menggambarkan pengaruh dari variasi unsur dalam struktur dasar pada baja tahan karat khrom-nikel adalah diagram Scaeffler. Diagram ini merencanakan batas komposisi temperatur ruang dari austenit, ferit, dan martensit berdasarkan hubungan dari khrom dan nikel. Karena semua baja tahan karat akan mengalami penggetasan dan peretakan, maka harus dijaga agar logam las selalu terletak pada daerah aman.


(12)

Berdasarkan fasanya, baja tahan karat dapat diklasifikasikan menjadi baja tahan karat martensit, baja tahan karat ferit, baja tahan karat austenit, baja tahan karat berfasa ganda (duplex), dan baja tahan karat dengan pengerasan presipitasi.

Kalpakjian, S. dkk (2009) menguraikan jenis baja tahan karat sebagai berikut:

1. Baja tahan karat austenit

Baja jenis ini secara umum mengandung khrom, nikel, dan mangan yang terdapat dalam besi. Mereka mempunyai sifat tidak bermagnet dan mempunyai ketahanan terhadap korosi yang sangat bagus, akan tetapi rentan terhadap retak akibat tegangan korosi. Baja austenit dikeraskan dengan cara pendinginan. Baja ini merupakan baja paling liat diantara semua jenis baja tahan karat yang lain dan dapat dibentuk dengan mudah. Baja jenis ini digunakan secara luas dalam berbagai kegunaan seperti : peralatan dapur, perabot, konstruksi las, peralatan transportasi yang ringan, tungku pembakaran dan bagian dari alat penukar panas.

2. Baja tahan karat ferit

Baja ini memiliki kandungan khrom yang tinggi yaitu lebih dari 27%. Mereka bersifat magnetic dan memiliki ketahanan korosi yang baik, akan tetapi memiliki tingkat keliatan bahan yang lebih rendah dibandingkan dengan


(13)

baja tahan karat austenit. Baja tahan karat ferit dikeraskan dengan cara pengerjaan dingin dan tidak dapat diperlaku panaskan. Secara umum digunakan untuk sesuatu yang bersifat tidak struktural seperti: peralatan dapur dan hiasan otomotif.

3. Baja tahan karat martensit

Kebanyakan baja tahan karat martensit tidak mengandung nikel dan dapat dikeraskan dengan cara perlakuan panas. Kandungan khrom sekitar 15%. Baja ini bersifat magnetic dan memiliki kekuatan yang tinggi, keras, ketahanan lelah yang baik, keliatan bahan yang baik, dan memiliki ketahanan terhadap korosi yang sedang. Baja tahan karat martensit biasanya digunakan untuk alat pemotong seperti: pisau, gunting, alat-alat bedah, instrumen, katup dan pegas.

4. Baja tahan karat duplex (berfasa ganda)

Baja ini merupakan campuran dari austenit dan ferit. Mereka mempunyai kekuatan yang baik, memiliki ketahanan korosi yang tinggi (dalam banyak kondisi lingkungan), dan ketahanan terhadap retak tegangan korosi yang lebih baik daripada baja tahan karat austenit. Penggunaan baja tipe ini yaitu pada komponen alat penukar panas.


(14)

Baja ini mengandung khrom dan nikel, bersama dengan tembaga, Aluminium, titanium, atau molybdenum. Mereka memiliki ketahanan korosi dan keliatan bahan yang baik, serta memiliki kekuatan yang tinggi pada temperatur tinggi. Penggunaan yang paling utama baja ini yaitu pada industri pesawat terbang dan komponen struktural pesawat ruang angkasa.

Penelitian ini menggunakan bahan baja tahan karat seri 430 yang termasuk kedalam jenis baja tahan karat ferit. Sifat mampu las baja tahan karat ferit adalah sangat sukar mengeras, tetapi butirnya mudah menjadi kasar yang menyebabkan ketangguhan dan keuletannya menurun. Penggetasan biasanya terjadi pada pendinginan lambat dari 600ºC ke 400ºC. Karena sifatnya ini maka pada pengelasan baja ini harus dilakukan pemanasan mula antara 70ºC sampai 100ºC untuk menghindari retak dingin dan pendinginan dari 600ºC ke 400ºC harus terjadi dengan cepat untuk menghindari penggetasan seperti diterangkan diatas (Wiryosumarto, H. dkk, 2000).

2.2.3 Aluminium

Aluminium dan paduan Aluminium termasuk logam ringan yang mempunyai kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupakan konduktor listrik yang cukup baik. Logam ini dipakai


(15)

secara luas dalam bidang kimia, listrik, bangunan, transportasi dan alat-alat penyimpanan.

Wiryosumarto, H. dkk (2000) dalam hal pengelasan, paduan Aluminium mempunyai sifat yang kurang baik bila dibandingkan dengan baja. Sifat-sifat yang kurang baik atau merugikan tersebut adalah:

1. Karena panas jenis dan daya hantar panasnya tinggi maka sukar sekali untuk memanaskan dan mencairkan sebagian kecil saja.

2. Paduan Aluminium mudah teroksidasi dan membentuk oksida Aluminium yang mempunyai titik cair yang tinggi. Karena sifat ini maka peleburan antara logam dasar dan logam las menjadi terhalang.

3. Karena mempunyai koefisien muai yang besar, maka mudah sekali terjadi deformasi sehingga paduan-paduan yang mempunyai sifat getas panas akan cenderung membentuk retak-panas.

4. Karena perbedaan yang tinggi antara kelarutan hidrogen dalam logam cair dan logam padat, maka dalam proses pembekuan yang terlalu cepat akan terbentuk rongga halus bekas kantong-kantong oksigen.

5. Paduan Aluminium mempunyai berat jenis rendah, karena itu banyak zat-zat lain yang terbentuk selama pengelasan akan tenggelam. Keadaan ini memudahkan


(16)

terkandungnya zat-zat yang tidak dikehendaki ke dalamnya.

6. Karena titik cair dan viskositasnya rendah, maka daerah yang kena pemanasan mudah cair dan jatuh menetes. Aluminium dapat diklasifikasikan sesuai dengan jenis paduan dan serinya. Wiryosumarto, H. dkk (2000) menguraikan sifat umum dari beberapa jenis paduan Aluminium:

1. Jenis Al-murni teknik (seri 1000)

Jenis ini adalah Aluminium dengan kemurniannya antara 99,0% dan 99,9%. Aluminium dalam seri ini disamping sifatnya yang baik dalam tahan karat, konduksi panas,dan konduksi listrik juga memiliki sifat yang memuaskan dalam mampu-las dan mampu-potong. Hal yang kurang menguntungkan adalah kekuatannya rendah.

2. Jenis paduan Al-Cu (seri 2000)

Paduan jenis ini adalah jenis yang dapat diperlaku-panaskan. Dengan melalui pengerasan endap atau penyepuhan sifat mekanik paduan ini dapat menyamai sifat dari baja lunak, tetapi daya tahan korosinya rendah bila dibanding dengan jenis paduan yang lainnya. Sifat mampu las juga kurang baik, karena itu paduan jenis ini biasanya digunakan pada konstruksi keling dan banyak


(17)

sekali digunakan dalam konstruksi pesawat terang seperti duralumin (2017) dan super duralumin (2024).

3. Jenis paduan Al-Mn (seri 3000)

Paduan ini adalah jenis yang tidak dapat diperlaku-panaskan sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat diusahakan melalui pengerjaan dingin dalam proses pembuatannya. Bila dibandingkan dengan jenis Al-murni paduan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal daya tahan korosi, mampu potong dan sifat mampu lasnya. Dalam hal kekuatan jenis paduan ini lebih unggul daripada jenis Al-murni.

4. Paduan jenis AL-Si (seri 4000)

Paduan Al-Si termasuk jenis yang tidak dapat diperlaku-panaskan. Jenis ini dalam keadaan cair mempunyai sifat mampu alir yang baik dan dalam proses pembekuannya hampir tidak terjadi retak. Karena sifat-sifatnya, maka paduan jenis Al-Si banyak digunakan sebagai bahan atau logam las dalam pengelasan paduan Aluminium baik paduan cor maupun paduan tempa.

5. Paduan jenis Al-Mg (seri 5000)

Jenis ini termasuk paduan yang tidak dapat diperlaku-panaskan, tetapi mempunyai sifat yang baik dalam daya tahan korosi, terutama korosi oleh air laut, dan dalam sifat mampu-lasnya. Paduan Al-Mg banyak digunakan


(18)

tidak hanya dalam konstruksi umum, tetapi juga untuk tangki-tangki penyimpanan gas alam cair dan oksigen cair.

6. Paduan jenis Al-Mg-Si (seri 6000)

Paduan ini termasuk dalam jenis yang dapat dipelaku-panaskan dan mempunyai sifat mampu-potong, mampu las dan daya tahan korosi yang cukup baik.

7. Paduan jenis Al-Zn (seri 7000)

Paduan ini termasuk jenis yang dapat diperlaku-panaskan. Biasanya kedalam paduan pokok Al-Zn ditambahkan Mg, Cu dan Cr. Kekuatan tarik yang dapat dicapai lebih dari 50kg/mm², sehingga paduan ini dinamakan juga ultra duralumin. Berlawanan dengan kekuatan tariknya, sifat mmapu las dan daya tahannya terhadap korosi kurang menguntungkan. Dalam waktu akhir-akhir ini paduan Al-Zn-Mg mulai banyak digunakan dalam konstruksi las, karena jenis ini mempunyai sifat mampu las dan daya tahan korosi yang lebih baik daripada paduan dasar Al-Zn. Disamping itu juga pelunakan pada daerah las dapat mengeras kembali karena pengerasan alamiah.

Pada penelitian ini menggunakan bahan Aluminium paduan jenis Al-Mg-Si dengan seri 6019, material ini digunakan karena dapat dengan mudah didapatkan dipasaran. Aluminium jenis ini


(19)

dapat dilas dengan baik asal diikuti dengan perlakuan panas kembali (Wiryosumarto, H. dkk, 2009).

2.2.4 Seng (Zinc)

Dalam dunia industri, zinc (Zn), yang memiliki warna putih kebiruan, adalah logam keempat yang paling dimanfaatkan setelah besi, Aluminium dan tembaga. Zinc memiliki dua kegunaan utama : untuk menggalvanisasikan besi, lembaran baja dan kabel; dan sebagai paduan dasar untuk pengecoran. Dalam menggalvanisasi, zinc berfungsi sebagai anoda dan melindungi baja dari serangan korosif seperti lapisan sebagaimana mestinya dari tergores atau tertusuk.

Unsur paduan utama seng adalah Aluminium, tembaga dan magnesium. Unsur tersebut memberikan kekuatan dan memberikan kontrol dimensi selama pengecoran logam. Paduan dasar seng digunakan secara extensif dalam pengecoran untuk membuat produk produk seperti pompa bahan bakar dan tempat pembakaran pada mobil, komponen untuk peralatan rumah tangga (seperti mesin cuci dan peralatan dapur), dan berbagai komponen mesin lainnya. Penggunaan lain untuk zinc pada paduan superplastis, yang memiliki karakteristik sifat mampu bentuk yang baik berdasarkan kemampuan mereka pada deformasi yang besar tanpa kegagalan atau patah. Lembaran grain sangat halus 78% Zn-22%Al adalah contoh umum dari paduan seng superplastis yang


(20)

dapat dibentuk oleh metode yang digunakan untuk membentuk plastik atau logam (Kalpakjian, S. dkk, 2009).

Pada penelitian ini material Zinc diharapkan mampu menjadi media penghubung (filler) beda material antara baja tahan karat dan Aluminium menggunakan las titik sehingga dapat menyatu dengan baik. Sulardjaka, dkk (2003) menjelaskan dalam pemilihan logam pengisi (filler) yang benar akan menghindari retak panas pada hasil lasan. Sehingga dalam penggunaan sambungan las, proses pengelasan dan pemilihan bahan dasar merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Jenis filler akan berpengaruh terhadap perilaku mekanik sambungan las. Pemilihan filler pada pengelasan didasarkan pada komposisi logam induk (base metal) yang dilas, titik cair, pembekuan, cara pengelasan dan sifat lasan yang didinginkan.

2.2.5 Pengujian Tegangan Geser (Shear Tension Test)

Tegangan geser terjadi jika suatu benda bekerja dengan dua gaya yang berlawanan arah, tegak lurus sumbu batang dan tidak segaris dengan batang yang diberikan. Tegangan ini banyak terjadi pada kontruksi. Misalny: sambungan keling, gunting, dan sambungan baut.


(21)

Gambar 2.8 contoh gaya geser

Gaya geser terdistribusi merata kurang lebih sama seperti yang terjadi pada gaya tarik atau tekan yang terdistribusi merata. Pada kasus ini, gaya geser yang dihitung dari Ss = P/A hendaknya diinterpretasikan sebagai nilai rata-rata.

Pengujian geser pada hasil pengelasan titik pada umumnya menggunakan skema pengujian dengan menggunakan standart pengujian AWS, SAE, JIS, atau ASME. Pengujian tegangan geser pada penelitian ini menggunakan standar ASME IX dengan spesifikasi dimensi sebagai berikut:

Gambar 2.9 Ukuran Spesimen (Annual book of ASME IX standart ) L = Panjang Spesimen 101,6 mm


(22)

2.2.6 Pengujian Kekerasan

Menurut Surdia, T. (1999) kekerasan adalah kriteria untuk menyatakan intensitas tahanan suatu bahan terhadap deformasi yang disebabkan ojek lain. Ada tiga macam metode pengujian kekerasan yaitu metode goresan, metode dinamik dan metode indentasi (penekanan).

A. Metode Goresan

Pengujian kekerasan dengan metode gores dilakukan dengan cara mengukur kemampuan suatu material dengan menggoreskan material uji pada spesimen.

B. Metode Dinamik

Pengujian kekerasan dengan metode Dinamik (Kekerasan Pantul) dilakukan dengan cara menghitung energi impak yang dihasilkan oleh indentor yang dijatuhkan pada permukaan spesimen. Alat yang digunakan adalah Shore Scleroscope. Indentor dijatuhkan pada permukaan material, kemudian pantulan yang amat tinggi yang terjadi. Perbedaan ketinggian saat dijatuhkan dan pantulannya menunjukkan besarnya energi yang diserap material. Pada metode dinamik indentor berupa bola.

C. Metode Indentasi (Penekanan)

Pengujian kekerasan dengan metode Indentasi (penekanan) adalah dengan cara mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya tekanan yang diberikan indentor dengan


(23)

memperhatikan besar beban yang diberikan dan besar indentasi.

Gambar 2.10 Macam indentor uji kekerasan (Kalkapkjian, S. dkk, 2009)

Uji kekerasan dengan metode Indentasi ini terdiri dari beberapa cara, antara lain:

1. Uji kekerasan Brinel

Uji kekerasan ini ditemukan oleh J.A.Brinell pada tahun 1900 yang mengujinya dengan cara melakukan indentasi pada permukaan spesimen. Indentor berupa bola baja yang memiliki variasi beban dari 500 kg sampai 1500 kg untuk intermediate Hardness dan 3000 kg untuk hard metal. Pada material yang sangat keras digunakan bola karbida untuk memperkecil distorsi indentor. Prinsip dari pengujian kekerasan ini adalah dengan menekan indentor selama 30 detik. Lalu diameter hasil indentasi diukur dengan menggunakan Mikroskop Optik.


(24)

Uji yang dilakukan oleh Meyer untuk perbaikan dari uji sebelumnya yaitu Brinell. Meyer berpendapat bahwa tekanan rata-rata pada permukaan indentasi harus diperhitungkan dalam nilai kekerasan (tidak dapat diuji pada Brinell)

3. Uji kekerasan Vickers

Uji kekerasan ini menggunakan indentor berbentuk piramida intan dengan bentuk bujur sangkar dengan besar sudut 136º terhadap kedua sisi yang berhadapan.

Gambar 2.11 (a) Indentasi Vickers (b) pengukuran diagonal cetakan. (The Welding Institute, 2016) Besar sudut itu digunakan karena merupakan perkiraan rasio terideal indentasi diemeter bola pada ujiBrinell. Besar beban indentor bervariasi antara 1 kg sampai 120 kg sesuai dengan tingkat kekerasan material spesimen. prinsip dari uji kekerasan Vickers adalah besar beban dibagi dengan luas daerah indentasi.


(25)

Uji kekerasan rockwell memperhitungkan kedalaman indentasi dalam keadaan beban konstan sebagai penentu nilai kekerasan. Sebelum pengukuran, spesimen dibebani minor sebesar 10 kg untuk mengurangi kecenderungan ridging dan sinking akibat beban indentor. Sesudah beban minor diberikan, spesimen langsung dikenai beban mayor. Kedalaman indentasi yang terkonversi dalam skala langsung dapat diketahui hasilnya dengan membaca dial gage pada alat. 5. Uji kekerasan Microhardness

Metode ini merupakan pengembangan dari uji Vickers namun beban yang lebih kecil. Indentor Knoop adalah piramida intan yang membentuk indentasi berbentuk layang-layang dengan perbandingan diagonal 7:1 yang menyebabkan kondisi regangan pada daerah terdeformasi. Nilai kekerasan knoop (KHN) dapat didefinisikan besarnya beban dibagi dengan luas daerah proyeksi indentasi tersebut.


(1)

dapat dibentuk oleh metode yang digunakan untuk membentuk plastik atau logam (Kalpakjian, S. dkk, 2009).

Pada penelitian ini material Zinc diharapkan mampu menjadi media penghubung (filler) beda material antara baja tahan karat dan Aluminium menggunakan las titik sehingga dapat menyatu dengan baik. Sulardjaka, dkk (2003) menjelaskan dalam pemilihan logam pengisi (filler) yang benar akan menghindari retak panas pada hasil lasan. Sehingga dalam penggunaan sambungan las, proses pengelasan dan pemilihan bahan dasar merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Jenis filler akan berpengaruh terhadap perilaku mekanik sambungan las. Pemilihan filler pada pengelasan didasarkan pada komposisi logam induk (base metal) yang dilas, titik cair, pembekuan, cara pengelasan dan sifat lasan yang didinginkan.

2.2.5 Pengujian Tegangan Geser (Shear Tension Test)

Tegangan geser terjadi jika suatu benda bekerja dengan dua gaya yang berlawanan arah, tegak lurus sumbu batang dan tidak segaris dengan batang yang diberikan. Tegangan ini banyak terjadi pada kontruksi. Misalny: sambungan keling, gunting, dan sambungan baut.


(2)

Gambar 2.8 contoh gaya geser

Gaya geser terdistribusi merata kurang lebih sama seperti yang terjadi pada gaya tarik atau tekan yang terdistribusi merata. Pada kasus ini, gaya geser yang dihitung dari Ss = P/A hendaknya diinterpretasikan sebagai nilai rata-rata.

Pengujian geser pada hasil pengelasan titik pada umumnya menggunakan skema pengujian dengan menggunakan standart pengujian AWS, SAE, JIS, atau ASME. Pengujian tegangan geser pada penelitian ini menggunakan standar ASME IX dengan spesifikasi dimensi sebagai berikut:

Gambar 2.9 Ukuran Spesimen (Annual book of ASME IX standart ) L = Panjang Spesimen 101,6 mm


(3)

2.2.6 Pengujian Kekerasan

Menurut Surdia, T. (1999) kekerasan adalah kriteria untuk menyatakan intensitas tahanan suatu bahan terhadap deformasi yang disebabkan ojek lain. Ada tiga macam metode pengujian kekerasan yaitu metode goresan, metode dinamik dan metode indentasi (penekanan).

A. Metode Goresan

Pengujian kekerasan dengan metode gores dilakukan dengan cara mengukur kemampuan suatu material dengan menggoreskan material uji pada spesimen.

B. Metode Dinamik

Pengujian kekerasan dengan metode Dinamik (Kekerasan Pantul) dilakukan dengan cara menghitung energi impak yang dihasilkan oleh indentor yang dijatuhkan pada permukaan spesimen. Alat yang digunakan adalah Shore Scleroscope. Indentor dijatuhkan pada permukaan material, kemudian pantulan yang amat tinggi yang terjadi. Perbedaan ketinggian saat dijatuhkan dan pantulannya menunjukkan besarnya energi yang diserap material. Pada metode dinamik indentor berupa bola.

C. Metode Indentasi (Penekanan)

Pengujian kekerasan dengan metode Indentasi (penekanan) adalah dengan cara mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya tekanan yang diberikan indentor dengan


(4)

memperhatikan besar beban yang diberikan dan besar indentasi.

Gambar 2.10 Macam indentor uji kekerasan (Kalkapkjian, S. dkk, 2009)

Uji kekerasan dengan metode Indentasi ini terdiri dari beberapa cara, antara lain:

1. Uji kekerasan Brinel

Uji kekerasan ini ditemukan oleh J.A.Brinell pada tahun 1900 yang mengujinya dengan cara melakukan indentasi pada permukaan spesimen. Indentor berupa bola baja yang memiliki variasi beban dari 500 kg sampai 1500 kg untuk intermediate Hardness dan 3000 kg untuk hard metal. Pada material yang sangat keras digunakan bola karbida untuk memperkecil distorsi indentor. Prinsip dari pengujian kekerasan ini adalah dengan menekan indentor selama 30 detik. Lalu diameter hasil indentasi diukur dengan menggunakan Mikroskop Optik.


(5)

Uji yang dilakukan oleh Meyer untuk perbaikan dari uji sebelumnya yaitu Brinell. Meyer berpendapat bahwa tekanan rata-rata pada permukaan indentasi harus diperhitungkan dalam nilai kekerasan (tidak dapat diuji pada Brinell)

3. Uji kekerasan Vickers

Uji kekerasan ini menggunakan indentor berbentuk piramida intan dengan bentuk bujur sangkar dengan besar sudut 136º terhadap kedua sisi yang berhadapan.

Gambar 2.11 (a) Indentasi Vickers (b) pengukuran diagonal cetakan. (The Welding Institute, 2016) Besar sudut itu digunakan karena merupakan perkiraan rasio terideal indentasi diemeter bola pada ujiBrinell. Besar beban indentor bervariasi antara 1 kg sampai 120 kg sesuai dengan tingkat kekerasan material spesimen. prinsip dari uji kekerasan Vickers adalah besar beban dibagi dengan luas daerah indentasi.


(6)

Uji kekerasan rockwell memperhitungkan kedalaman indentasi dalam keadaan beban konstan sebagai penentu nilai kekerasan. Sebelum pengukuran, spesimen dibebani minor sebesar 10 kg untuk mengurangi kecenderungan ridging dan sinking akibat beban indentor. Sesudah beban minor diberikan, spesimen langsung dikenai beban mayor. Kedalaman indentasi yang terkonversi dalam skala langsung dapat diketahui hasilnya dengan membaca dial gage pada alat. 5. Uji kekerasan Microhardness

Metode ini merupakan pengembangan dari uji Vickers namun beban yang lebih kecil. Indentor Knoop adalah piramida intan yang membentuk indentasi berbentuk layang-layang dengan perbandingan diagonal 7:1 yang menyebabkan kondisi regangan pada daerah terdeformasi. Nilai kekerasan knoop (KHN) dapat didefinisikan besarnya beban dibagi dengan luas daerah proyeksi indentasi tersebut.


Dokumen yang terkait

ANALISA PENGARUH FILLER SERBUK ZINC TERHADAP SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN BEDA MATERIAL PADA Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 2 18

TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH FILLER SERBUK ZINC TERHADAP Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 3 17

PENDAHULUAN Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 3 5

METODE PENELITIAN Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 1 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 1 18

DAFTAR PUSTAKA Analisa Pengaruh Filler Serbuk Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 2 4

ANALISA PENGARUH FILLER METAL ZINC TERHADAP SIFAT MEKANIK SAMBUNGAN BEDA MATERIAL PADA LAS TITIK ANTARA Analisa Pengaruh Filler Metal Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 3 19

TUGAS AKHIR Analisa Pengaruh Filler Metal Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 2 20

PENDAHULUAN Analisa Pengaruh Filler Metal Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 3 5

DAFTAR PUSTAKA Analisa Pengaruh Filler Metal Zinc Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Beda Material Pada Las Titik Antara Baja Tahan Karat Dan Aluminium.

0 3 4