Kelayakan Usaha Perubahan Pengetahuan Petani.
298
- NPK Buah 11,500
300 3,450,000
- Mulsa 650,000
16 10,400,000
- Pestisida Nabati 3.000.000
1 3.000.0000
- Pestisida Kimia 1.775.000
1 1.775.0000
- Dupont 173,000
15 2,595,000
- DolomitKapurtani 2,000
2,000 4,000,000
- Furadan 2 kg 35,000
15 525,000
- Tali Rapiah 60,000
10 600,000
- Solar 7,000
200 1,400,000
- Ajir 500
20.000 10,000,000
Tenaga kerja
- Bendungan 15 x 8 m 5,000,000
5,000,000 - Buka Lahan
6,500,000 6,500,000
- Bajak Lahan 5,000,000
5,000,000 - Pupuk Dasar
4,000,000 4,000,000
- Bedengan 5,000,000
5,000,000 - Pemasangan Ajir
2,500,000 2,500,000
- Pemupukan 8,000,000
8,000,000 - Penyiangan
4,000,000 4,000,000
- Penyulaman 2,500,000
2,500,000 - Panen
4,000,000 4,000,000
- Sortasi 1,500,000
1,500,000 - Pengepakan
800,000 800,000
Total Biaya Variabel 108,070,000
2. Biaya Tetap - Mesin 175 Dong Hai
2,300,000 2
4,600,000 - Pompa NSS 50
620,000 1
620,000 - Mesin Motoyama
2,100,000 1
2,100,000 - Dinamo 3 KW
2,300,000 1
2,300,000 - Selang Daito
7,600 100
760,000 - Gerobak
525,000 1
525,000 - Sekop Kayu
45,000 1
45,000 - Selang Air
4,000 10
40,000 - Paralon 3
100,000 1
100,000 - Elbow 3
17,000 1
17,000 - Paralon 2
72,000 40
2,880,000 - Soket
4,500 100
450,000 - Kran Air Besar
54,000 4
216,000 - Paralon 1
16,000 1
16,000 - Lem paralon
70,000 3
210,000 - Selang fuso
12,000 100
1,200,000 - Drum
380,000 10
3,800,000
299
- Cangkul 101,000
3 303,000
- Parang 75,000
3 225,000
- Ember 15,000
3 45,000
- Garpu 35,000
2 70,000
- Pembolong Mulsa 50,000
2 100,000
- Gayung 8,000
3 24,000
- Handsprayer 642,000
2 1,284,000
Total Biaya Tetap 21,930,000
Total Biaya yang dikeluarkan B1+B2 130,000,000
Pendapatan bersih Nilai Produksi - Total Biaya
446,000,000 BC Ratio
3.43 RC Ratio
4.43 Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014
Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi
dimana usahanya selalu berkaitan dengan produksi Hernanto, 1996 ; Kartasapoetra, 1998. Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak
tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan. Besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang dihasilkan
Taufik, 2010. Petani dihadapkan pada biaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendapatan yang optimal.
Menurut Karneta Railia 2014, pendapatan usahatani cabai yang diterima oleh petani sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan rendahnya pengeluaran. Pendapatan adalah selisih
antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan atau nilai penerimaan total dikurangi dari keseluruhan biaya produksi dalam proses usahatani tersebut Jannah, 2012.
Hasil analisis usahatani cabai menujukkan bahwa rata-rata penerimaan petani per hektar sebesar Rp.576.000.000,- dengan nilai pendapatan Rp.446.000.000,-atau BC-Ratio 3,43 dan RC-
Ratio 4,43. Produksi cabai rata-rata per hektar mencapai 18.000kgha. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah Rp.130.000.000,-hamusim tanam. Nilai BC
–Ratio dan RC-Ratio lebih besar atau sama dengan satu berarti usaha tani tersebut menguntungkan Soekartawi,2002.
Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,- . Hasil analisis usahatani padi dengan sistem tanam benih langsung per hektar per musim tanam
disajikan pada Tabel 5.
KESIMPULAN
Hasil analisis usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau memberikan keuntungan yang layak bagi petani dengan nilai BC-Ratio 3,43 dan RC-Ratio 4,43 atau rata-rata
pendapatan sebesar Rp. 446.000.000,-hamusim tanam. Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,-.
DAFTAR PUSTAKA
Alex S. 2012. Usaha Tani Cabai. Kiat Jitu Bertanam Cabai di Segala Musim. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
BPS Kabupaten Bintan. Bintan Dalam Angka, 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan. BPS 2007. Propinsi Kepulauan Riau Dalam Angka.
300
Distanhutnak Kepri.2010. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Pertanian Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010. Laporan Akhir Dinas Pertanian Kehutanan dan Peternakan Propinsi
Kepulauan Riau. Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011. Bertanam Cabai Hibrida Untuk Indutri. Harga dan Pasar
Lebih Terjamin. AgroMedia Pustaka. Jakarta Hernanto. 1996. IlmuUsahatani. Penebar Swadaya. Jakarta
Jannah,E.M.2012. Analisis Keuntungan Usahatani dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Ubi kayu pada Sentra Agroindustri Tapioka di Kab. Lampung Tengah. Jurnal Informatika
Pertanian Vol.21 No.2Desember 2012. Hal.95-105. Jakarta. Kartasapoetra,G. 1998. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta
Karneta Railia, 2014. Analisis Kelayakan Usahatani Cabe Merah Keriting Capsicum annum L dan Kacang Panjang Vigna sinesis L Secara Rotasi Menggunakan Teknologi Olah Limbah
Pada Lahan Sub Optimal.Prosiding Seminar Nasional, Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri Di Lahan Sub Optimal. Hal 671-681. Palembang.
Prajnanta, Final, 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta Sihotang, B. 2010. http:www.ideelok.combudidaya-tanamancabe. diakses 14 Pebruari 2013.
Soekartawi. 2002.Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Press.Jakarta.
Sumarni, N dan A. Muharam. 2005. Budidaya Cabai Merah. Panduan Teknis PTT Cabai Merah No. 2. Balitsa.
Syukur Muhammad, SP, M.Si. Dr, 2012.Cabai Prospek Bisnis dan Teknologi Mancanegara. Tim Penulis Agriflo. Agriflo, Jakarta
Taufik. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Penanganan Pasca Panen. Balai Pengkajian Pertanian. Sulawesi Selatan
Utami, Cahyaning Desy. 2015. Analisis Biaya dan Usahatani Cabai Merah Capsicum Annum L Di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Buana Sains Vol 15 No 1 : 91-99.
301
EKSPLORASI DAN KONSERVASI TANAMAN BUAH DI PROVINSI BENGKULU EXPLORATION AND CONSERVATION OF FRUITS IN BENGKULU PROVINCE
Miswarti, Taupik Rahman dan W. E. Putra
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119. Telp. 0736 23020, Faximile 0736 345568
e-mail : misbachzayahoo.co.id
ABSTRAK
Tanaman buah merupakan komoditas yang banyak dijumpai di Provinsi Bengkulu. Kekayaan buah lokal yang ada di Bengkulu serta belum terdokumentasinya dengan baik, kalau dibiarkan akan
mengalami kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan spesifik yang tersebar di seluruh kabupatenkota serta mengetahui penyebarannya. Penelitian
dilaksanakan mulai Maret sampai dengan oktober 2015 di Bengkulu. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing
BP4KBPPDinas PertanianKelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut
tumbuh atau ditanam.Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar.
Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data
dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil eksplorasi yang berhasil dikumpulkan di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip, jeruk 23 genotip,
mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip.Sedangkan tanaman buah yang telah di konservasi berjumlah 160 tanaman yang terdiri dari jeruk 88 tanaman, mangga 19 tanaman,
manggis 17 tanaman, durian 9 batang dan pisang 27 tanaman. Kata Kunci:
eksplorasi, konservasi, buah, Provinsi Bengkulu
ABSTRACT
Fruits commodities are often found in the province of Bengkulu. The research aims to explore and collect specific fruits scattered throughout the district city and understands its spread. The study was
conducted from March to October 2015 in Bengkulu Province. Exploration or fruit crop germplasm search begins with the literature study and field visit to each BP4K BPP Department of Agriculture
local farmer groups that exist in each region. The information is used as information to search for area or location where that fruits were planted or grown. Next is a visit to the site of that plant planted
or grown wild. Each plant which is found collected as sample material for observation. It also conducted interviews with farmers and secondary data from relevant agencies to complete the data.
Data collected were tabulated and analyzed descriptively. Exploration results collected 145 plant genotypes in Bengkulu Province consisting of 38 genotypes types of durian, 23 genotypes of orange,
17 genotype of mango, 35 genotypes of mangosteen and 32 genotypes of banana. Meanwhile, fruit that has been in the conservation were 160 plants consisting of 88 plants orange, 19 mango plants, 17
plants mangosteen, durian 9 plants and banana 27 plants.
Key Words: exploration, conservation, fruit, Bengkulu Province
302
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar negara biodiversity disebabkan oleh geografisnya terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan
pasifik dan atlantik. Sumberdaya genetik tanaman buah tropika sangat beragam karena didukung oleh iklim tropik basah. Keanekaragaman buah-buahan tropika tersebut merupakan aset yang sangat
berharga untuk meningkatkan daya saing nasional di bidang bisnis buah-buahan tropika di tingkat internasional. Keanekaragaman genetik tersebut akan menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan
secara bijak dan dikelola secara berkelanjutan Yufdi, 2015
Berkembangnya pembangunan yang pesat mengakibatkan semakin cepat beralih fungsinya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta semakin banyaknya varietas unggul sehingga
menyebabkan varietas lokal maupun jenis liarnya keberadaannya semakin sedikit bahkan menjadi punah Sastrapradja, 1996 dalam Hadiatmi, 2002. Padahal plasma nutfah merupakan aset penting
yang dimiliki sehingga harus dilestarikan karena plasma nutfah terkandung sifat-sifat yang diperlukan untuk pembentukan atau perbaikan sifat tanaman sesuai yang dikehendaki dan diharapkan menjadi
pertumbuhan baru sektor pertanian kedepannya khususnya dibidang hortikultura buah-buahan yang beraneka ragam yang tersebar di wilayah Indonesia.
Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan materi genetik untuk perbaikan tanaman diperlukan langkah-langkah pengumpulan materi genetik seperti eksplorasi, inventarisasi, karakterisasi, serta
evaluasi karakter yang dimiliki serta memanfaatkannya Berthaud, 1997. Eksplorasi merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengkarakterisasi utuk mengamankan plasma nutfah dari
kepunahan.
Tanaman buah di Provinsi Bengkulu tersebar di seluruh kabupatenkota dengan potensi serta peluang pasarnya cukup cerah untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan
yang besar perlu didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan. Disamping itu besarnya keanekaragaman jenis suatu komoditas buah-buahan juga merupakan modal
dasar melakukan usaha pemuliaan tanaman Uji, 2004.
Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan turun ke lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan dan mengkoleksi semua sumber keragaman genetik yang tersedia dan diharapkan
dapat diperoleh bibit-bibitvarietas unggul baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan ini diperlukan pengumpulan informasi tentang kekayaan plasma
nutfah buah dan potensi yang dimilikinya.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan spesifik yang tersebar di seluruh kabupatenkota serta mengetahui penyebarannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Bengkulu mulai bulan Maret sampai dengan Oktober 2015. Bahan dan alat yang digunakan ialah tanaman buah difokuskan pada 5 jenis buah yaitu durian,
jeruk, mangga, manggis, dan pisang yang telah berproduksi, kuisioner, Global Position System GPS, meteran, timbangan, jangka sorong, ATK.
Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4KBPPDinas PertanianKelompok Tani setempat yang
ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam.
Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang
ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Pengamatan Tanaman dilakukan berdasakan standar identifikasi tanaman yang ditetapkan IPGRI International Plant Genetic Resources Institute
untuk karakterisasi tanaman buah. Karakter kualitatif meliputi bentuk kanopi, pola cabang, warna daun muda, warna daun tua, bentuk daun, susunan helaian daun, bentuk daun, bentuk ujung daun,
bentuk pangkal daun, tepi daun, tekstur permukaan atas, pola tandan buah, warna kelopak bunga, warna mahkota bunga, posisi bunga, pola tandan buah, bentuk buah, bercak disekitar kupat, warna
kupat, warna tangkai buah, warna buah matang, tekstur aril, rasa aril, warna aril, bentuk biji, warna biji. Sedangkan karakter kuantitatif terdiri dari tinggi tanaman, ukuran bunga, bobot buah, tebal kulit
buah. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
303
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Eksplorasi
Provinsi Bengkulu mempunyai lahan kering mencapai 4,57 ha juta yang terdiri dari 3,44 juta ha lahan masam dan 1,13 juta lahan tidak masam Hidayat dan Mulyani, 2002. Luas lahan kering di
Provinsi Bengkulu yang berpotensi untuk sektor pertanian seluas 796.800 ha BPS Provinsi Bengkulu, 2010. Lahan-lahan masam atau marginal biasanya mempunyai kandungan hara yang rendah sehingga
membutuhkan input yang tinggi dalam pengelolaan tanaman. Potensi sumberdaya alam yang marginal tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan produksi tanaman lahan kering termasuk tanaman
buah.
Tanaman buah yang diidentifikasi umumnya tumbuh pada lahan kering. Sebagian besar tanaman tersebut tumbuh di lahan pekarangan dan lahan kebun polikultur kecuali tanaman durian
umumnya tumbuh di hutan dan kebun polikultur. Wawancara yang dilakukan dengan petani bahwa tanaman buah umumnya tumbuh dan berkembang secara alamiah tanpa pemeliharaan dan merupakan
tanaman warisan leluhurnya.
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan data curah hujan selama 10 tahun Tabel 1 bahwa Provinsi
Bengkulu memiliki iklim zona A Q=0,1 yang sangat basah berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt Ferguson.
Tabel 1. Perhitungan data curah hujan 2003 –2013 untuk menentukan klasifikasi iklim menurut
Schmidt – Ferguson
Tahun Bulan BK
BB Jan
Feb Mar Apr
Mei Jun
Jul Ags
Sep Okt
Nov Des
2003
172 326
76 347
150 99
149 300
187 572
190 609
10
2004
210 203
142 258
401 85
184 107
335 137
547 608
11
2005
233 176
246 163
343 378
195 327
215 412
481 639
12
2006 597
449 345
284 76
346 65
1 29
14 72
340 3
6
2007 520
164 452
124 318
184 208
38 127
177 491
815 1
11
2008
174 205
475 226
84 79
72 227
190 294
758 794
9
2009
449 237
322 570
195 294
292 177
210 333
347 344
12
2010
235 388
396 239
197 213
326 235
343 553
339 374
12
2011
268 113
278 376
192 488
142 75
53 105
232 537
1 10
2012 198
101 131
340 182
173 140
95 37
190 537
508 1
10
2013 443
388 304
227 265
255 506
194 371
154 486
388 12
Rata- rata
318.09 250 287.91 286.73 218.45 235.82 207.18 161.45 190.64 267.36 407.27 541.45 0.54
10.45 Sumber : Data sekunder diolah 2016
Tabel 2. Keadaan iklim Provinsi Bengkulu tahun 2015
Bulan Suhu udara
o
C Kelembaban Udara
Curah hujan mm Januari
30,2 85
365,38 Februari
26,8 84
289,88 Maret
27,2 81
290,38 April
26,9 85
417,00 Mei
27,8 83
148,13 Juni
27,5 82
153,50 Juli
27,1 80
89,50 Agustus
27,1 82
119,88 September
26,6 83
68,25 Oktober
27,6 83
35,30 November
27,0 86
330,88 Desember
26,7 86
437,88 Jumlah
328,50 1.000
2.746,13 Rataan
27,38 83,33
228,84 Sumber : BMKG 2016
Berdasarkan tabel diatas, suhu udara rataan dipeoleh sebesar 27,38oC dengan suhu terendah pada bulan Oktober 26,6oC dan yang tertinggi pada bulan Januari 30,2oC. Suhu optimum tanaman
berbeda-beda menurut tanamannya dan berbeda sesuai tahap perkembangannya. Menurut Verheij 1999 pertumbuhan tanaman manggis lambat bila suhu dibawah 20oC dengan batas temperatur
304
tertinggi 38-40oC. Kelembaban rataan bulanan berkisar 83,33, kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli 80 dan yang tertinggi pada bulan November-Desember 86.
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa curah hujan terdistribusi merata sehingga curah hujan tidak menjadi pembatas utama. Ashari 2006 tanaman buah mempunyai daya toleransi terhadap
kondisi iklim. Tetapi titik kritis adalah saat pembungaan. Apabila saat pembungaan curah hujan tinggi maka proses pembungaan akan terganggu, tepung sari akan menjadi busuk dan tidak mempunyai
viabilitas lagi. Berdasarkan data di atas maka tanaman buah-buahan sangat cocok tumbuh pada iklim yang ada di Provinsi Bengkulu.
Realisasi Eksplorasi
Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di lapangan yang berhasil dikumpulkan di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip,
jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip Tabel 3 . Prosea 1991 di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat
dimakan.
Tabel 3. Hasil eksplorasi plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu, 2015
N o
Kabupaten Kecamatan
Jumlah genotip Durian
Jeruk Mangga
Manggis Pisang
1 Benteng
Taba Penanjung 24
- -
7 1
2 Bengkulu Utara
Ulu Palik, Padang Jaya 1
5 1
3 4
3 Kepahiang
Kepahiang, Hujan Mas 3
2 1
8 4
Rejang Lebong Bermani Ulu, Bermani Ulu
Raya, Curup Tengah 4
1 -
10 4
5 Lebong
Lebong Sakti, Air Dingin 8
3 -
9 -
6 Seluma
Seluma Selatan -
1 2
1 3
7 Bengkulu Selatan
Seginim -
2 2
8 Kota Bengkulu
Sungai Serut, Selebar, Gd. Cempaka
- 8
10 4
12 9
Kaur Kinal
1 -
- -
- Jumlah
38 23
17 35
32 Sumber : Data Primer diolah 2016
Hasil pengamatan secara morfologis terhadap 38 genotip durian lokal di Provinsi Bengkulu menunjukkan keragaman. Durian lokal tersebut sangat beragam baik rasa, aroma, tekstur dan warna
daging buah, juga bervariasi dari bentuk buah, bentuk duri, warna kulit dan biji. Nama lokal durian oleh petani dinamai sesuai dengan bentuk buah atau warna daging buah seperti durian kuning, durian
belimbing, durian terong, dan durian lai serta umumnya durian tersebut dapat dimakan. Durian terong populasinya sudah mulai langka, banyak ditebang oleh petani dan nilai jualnya rendah karena ukuran
buah yang sangat kecil. Menurut Uji 2007 bahwa di dunia terdapat 27 jenis durio dan 20 jenis ada di Indonesia serta 9 jenis diantaranya merupakan durio yang dapat dimakan masing-masing adalah Durio
dulcis lahong, D. Excelsus apun, D.grandiflorus sukang, D. graveolens tuwala, D. kutejensis lai, D.lowianus terutung, D.oxleyanus kerantungan, D.testudinarum durian sekura dan D.
zibenthinus.
Hasil eksplorasi terhadap 23 genotip tanaman jeruk terdapat variasi mulai dari ukuran yang kecil jeruk kalamansi sampai yang berukuran besar jeruk bali. Jeruk yang ditemukan terdiri dari
jenis jeruk peras, jeruk purut lokal, jeruk purut, jeruk bali, jeruk kalamansi, jeruk siam, jeruk gerga, jeruk nipis, jeruk nipis lokal, dan jeruk sunkist. Dua jenis jeruk yaitu kalamansi dan gerga telah
berkembang menjadi usaha rakyat. Jeruk kalamansi tanamannya banyak ditemukan di Kabupaten Bengkulu Tengah sedangkan pengolahan pasca panen menjadi sirup dikembangkan di Kota Bengkulu.
Jeruk gerga banyak di jumpai di Kabupaten Lebong dan telah dipasarkan melalui pasar modern yang ada di Bengkulu. Jeruk gerga secara morfologi mirip dengan jeruk siam, namun yang membedakannya
ukuran buah lebih besar dan kulit jeruk lebih tebal dibanding dengan jeruk siam.
Hasil eksplorasi diperoleh 17 genotip mangga di Provinsi Bengkulu dengan 9 jenis yaitu mangga bengkulu, bembam, mangga manalagi, bacang, mangga gedong, mangga udang, mangga
indramayu, mangga apel. Menurut Gruezo 1991 dalam Uji 2007 bahwa Indonesia terdapat 40 jenis mangifera, dan 23 jenis mangga yang dapat dimakan serta 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan.
305
Mangga Bengkulu merupakan mangga lokal yang karakteristik morfologi mempunyai ukuran panjang buah rata-rata 15,71 cm, diameter buah 10,57 cm, berat buah 709,64 g, tekstur daging buah
sedang, buah tidak beraroma, dengan Total padatan terlarut TPT 10,46 Brix Miswarti 2015. Hasil pengamatan terhadap 35 genotip manggis lokal di Provinsi Bengkulu menunjukkan
keragaman yang rendah. Secara morfologi manggis lokal tersebut memiliki dua bentuk yaitu bentuk bulat dan gepeng, sedangkan karakter lainnya umumnya memiliki kemiripan.
Hasil pengamatan terhadap 32 genotip tanaman pisang terdapat variasi mulai dari ukuran buah yang kecil sampai yang berukuran besar. Nama pisang lokal yang ditemukan terdiri dari jenis Pisang
ambon curup, pisang jantan, pisang kreak, pisang rotan, pisang udang, pisang nangka, pisang batu, pisang ketan, pisang serindit, pisang rawas, pisang moli, pisang hutan, pisang rajo serai, pisang kepok
lenggang, pisang tenggayak, pisang rusa, pisang kapal, dan pisang mas. Pisang Ambon Curup merupakan salah satu pisang yang memiliki rasa yang khas warna kuning, kandungan air rendah serta
wangi dibandingkan dengan jenis ambon yang ditanam pada daerah di luar Kabupaten Rejang Lebong. Ada satu jenis pisang yang mempunyai warna kulit ungu yaitu pisang hutan. Pisang hutan ini tumbuh
disepanjang pengunungan dengan tipe tandan adalah horizontal.
Konservasi eks-situ
Berkembangnya pembangunan fisik di Provinsi Bengkulu menyebabkan banyak lahan subur yang beralih fungsi sehingga banyak plasma nutfah yang hilang termasuk tanaman buah. Plasma nutfah
merupakan aset yang sangat berharga untuk pembentukan varietas unggul, oleh karena itu keberadaan plasma nutfah harus terus menerus dijaga agar dapat dimanfaatkan tanpa mengenal batas waktu. Untuk
menyelamatkan dan mencegah hilangnya sumberdaya genetik selain dilakukan eksplorasi juga dilakukan konservasi eks-situ. Konservasi plasma nutfah secara eks-situ tersebut telah dilakukan
dengan menanam ke lima jenis buahan seperti mangga, manggis, durian, jeruk dan pisang di media pot dan lahan kebun koleksi di sekitar halaman kantor BPTP Bengkulu. Jenis dan jumlah tanaman yang
telah dikoleksi di halaman kantor BPTP Bengkulu disajikan pada Tabel 2 berikut ini..
Tabel 2. Koleksi plasma nutfah tanaman buah yang di koleksi BPTP Bengkulu Tahun 2015
No Komoditas
Jenisvarietas Jumlah tanaman pohon
1 Jeruk
Jeruk Kalamansi 62
Jeruk Gergah 17
Jeruk Peras 1
Jeruk Sunkist 4
Jeruk Siam 3
Jeruk Bali 1
2 Mangga
Mangga Bengkulu 16
Mangga Gedong 1
Bembam 2
3 Manggis
Manggis penum 3
Manggis marel 14
4 Durian
Durian Bentara 1
Durian Sitokong 4
Durian Lai 4
5 Pisang
Pisang Ambon Curup 1
Pisang BatuKepok 18
Pisang Raja Sere 2
Pisang Udang 1
Pisang Nangka 1
Pisang Kapal 2
Pisang Serindit 1
Pisang mas 1
Jumlah 160
Sumber : Data Primer diolah 2016
Plasma nutfah tanaman buah yang telah dikoleksi tersebut diatas dipelihara sehingga tersedia materi genetik untuk dimanfaatkan dalam program pemuliaan.
306
KESIMPULAN
Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip terdiri dari durian 38 genotip, jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35
genotip, dan pisang 32 genotip. Berdasarkan kondisi Iklim, Provinsi Bengkulu memiliki potensi untuk pengembangan buah- buahan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada Kepala BPTP Bengkulu yang telah mengalokasikan dana dalam DIPA TA 2015 sehingga kegiatan ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 2006. Pengantar Biologi Repreduksi Tanaman. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Berthaud, J. 1997. Strategies for Concervation of Genetik Resources in Relation with Their
Utilization. Euphytica 96:1-12 [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2016. Data Curah Hujan, Suhu Udara dan
Kelembaban Udara Stasiun Klimatologi Klas I Pulau Baai. [BPS] Badan Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi bengkulu Hadiatmi, Tiur, S.Silitonga, Sri G. Budiarti, dan Buang Abdullah. 2002. Eksplorasi Plasma Nutfah
Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hidayat, A dan Mulyani. A 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam buku teknologi pengelolaan
lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor
Miswarti, E. Makruf, Afrizon, W.E. Putra, T. Rahman, dan E. Kristanto. 2015. Sumberdaya Genetik Tanaman Hortikultura dan Pangan di Provinsi Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu Prosea. 1991. Edoble Fruit and Nuts. Bogor. Plant Resources of South-East Asia
Uji, T. 2007. Keanekaragaman, Persebaran, dan Potensi Jenis-jenis Garcinia di Indonesia. Berk. Penel. Hayati : 12 129-135.
Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan. BioSmart 62 : 117-125
Verheij, E.W.M. 1999. Garcinia mangostana L. In E.W.M. Verheij and R.E.Coronel. Buah-buahan yang dapat dimakan. Plant Resources of South East Asia Prosea. Bogor
Yufdi, P. 2015. Community Fruit Catalogue. Garcinia and Nephelium in Sijunjung, West Sumatera.
307
HILIRISAI PENERAPAN INOVASI MELALUI JEJARING PELAKU INOVASI Studi Kasus: Implementasi Inovasi Demplot Usahatani Bawang Merah Di Kabupaten Kediri,
Jawa Timur STREAM OF ACCELERATION AND APPLICATE INNOVATIONTHROUGH NETWORKING
PRINCIPALS OF INNOVATOR
case study: Demplot of farming Innovation Implementation of onion in Kediri
Tini Siniati Koesno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jln. Raya Karangploso Km.4, Malang, Tlp.0341 494052, 485056; Fax. 0341471255
Email: bptpjatimlitbang.pertanian.go.id
ABSTRAK
Hilirisasi inovasi teknologi, sebagai akibat rangkaian jejaring melibatkan aktor teknis dan sosial. Aktor pelaku tersebut mempunyai kontribusi sama dalam membangun jejaring. Jejaring menjadi
efektif, tergantung kekuatan relasi diantar aktor tersebut. Jejaring Aktor salah satu kunci keberhasilan penyebar-luasan dan hilirisasi inovasi teknologi. Oleh karena itu diperlukan informasi pelaku jejaring
inovasi dan kinerjanyanya dengan mengidentifikasi: pelaku inovasi; pemetaan alur jejaring pelaku inovasi; kinerja jejaring; metoda dan media yang digunakan. Kegiatan tersebut menggunakan studi
kasus demplot “Imple-mentasi Inovasi Usahatani Bawang Merah di Sidowareg, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. Kegiatan dilakukan pada September sd Nopember 2015 dengan menggunakan
metode survey. Responden adalah gapoktan terdiri dari 7 poktan dari unsur pengurus ketua, sekretaris dan bendahara dan petugas lapangan. Hasil identifikasi pelaku inovasi dipetakan menjadi tiga, yaitu
berperan: 1. sumber informasi generating agent berasal dari a pemkab: Dinas Pertanian, BKP, BPP; b UPT Kementan BPTP dan Balai Besar Pelatihan; c RD Perusahaan Saprotan., 2. saluran
informasi atau media dilevery agent: PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA, P4S, Kios Saprotan; dan 3. pengguna informasi, Receiving agent: petani. Hasil identifikasi Akses generating agent ke
dilevery agent
: a pemkab: Dinas Pertanian 42,9, BKP 28,57, BPP 42,9; b UPT Kementan: BPTP 57,14 dan Balai Besar Pelatihan 57,14; dan c RD Perusahaan Saprotan
71,43. Semua generating agent memiliki akses ke dilevery agent: PPL 100; POPT 83; BP3K 83; Mantri Tani 33; KTNA 33; P4S 17 dan Kios Saprotan 17. BPTP Jatim
sebagai Generating agent, yang berperan merakit dan sebagai sumber pembaharuan inovasi, serta bertanggung jawab memperderas hilirisasi inovasi ke dilevery dan receiving agent petani, perlu lebih
meningkatkan kinerjanya, agar terjadi percepatan penerapan inovasi ke pengguna. Selain itu perlu menjalin jejaring dengan KTNA dan P4S serta mantri tani.
Kata Kunci:
Hilirisai, Inovasi, Jejaring, Pelaku Inovasi
ABSTRACT
Stream of acceleration and applicate technological innovation, as a result of a series of networking involves technical and social actors. Actor perpetrators have the same contribution in building the
network. Network to be effective, depending on the strength of the partnership needed between these actors. Networking Actors one of the key successes of the promulgation and technological innovation
hilirisasi.Therefore required information networking innovations and offender performance by identifying: the perpetrator of the innovation; mapping the flow of network principals of innovation;
the performance of the network; methods and media used. These activities use the case study demo plot Implementation Innovation of farming village of Sidowareg in the red onion, Plemahan
Subdistrict, district of Kediri. The activities carried out in September until November 2015 by using method survey. The respondent is a union of farmer group composed of 7 farmer groups of Trustees
Chairman, Secretary and Treasurer and officers of the Court. The results of the identification of the perpetrator of the innovation is mapped into three, namely: 1. the role of information sources
generating agent comes from a District Government: Department of agriculture, food security body, the PANTHERS; b Agriculture ministry Great Hall and AIAT Training; c RD Company
Saprotan., 2. information channel or media delivery agent: PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA, P4S, Saprotan; and 3. the user information, the Receiving agent: farmers. The results of the
identification of generating agent Access to delivery agent: a the District Government: Department of agriculture 42,9, BKP 28,57, BPP 42,9; b Technical Conduction Unit of Agricultural
308
Ministery: BPTP 57,14 and Training Centre 57,14; and c RD Agricultural Facilities Production Company 71,43. BPTP East java as Generating agent, which acts to assemble and as a
source of innovation, renewal and responsible for accelerate downstream innovation to the dilevery and receiving agent farmer, needs to further improve its performance, the acceleration of the
implementation of innovation in order to the user. In addition need to establish networks with KTNA and P4S and mantri tani.
Keywords: Stream of Innovation, Networking, Actors Of Innovation
PENDAHULUAN
Fluktuasi harga bawang merah kerap membuat heboh masyarakat konsumen ketika harga melangit, maupun di pihak produsen ketika harga jatuh dibawah biaya produksi. Kondisi ini bila
dibiarkan akan mengganggu stabilitas ekonomi, yang berdampak pada meningkatkan inflasi. Akhirnya pada tanggal 29 Oktober 2013 pemerintah menetapkan bawang merah sebagai komoditas utama yang
perlu mendapat perhatian khusus.
Perlu diketahui bahwa fluktuasi harga dipicu oleh kebutuhan pasokan yang setiap hari harus tersedia di pasar. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan bawang merah di tingkat petani produsen bersifat
musiman dan potensi pengembangannya terbatas pada wilayah tertentu. Menjadikan daerah tersebut memacu produksi dengan menanam berulang kali tanpa jedah. Akhirnya tingkat serangan hama dan
penyakit tinggi, biaya produksi menjadi meningkat, berdampak terhadap harga jual ke konsumen.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, sepatutnya petani bergerak brsama-sama dalam suatu wadah kelembagaan usahatani poktan atau Gapotan, agar efisien Aritonang, 2012 .
Selanjutnya kelembagaan ini perlu membentuk jejaring usaha anatar poktan dan gapoktan. Melalui jejaring tersebut, para petani di masing-masing wilayah sentra produksi dapat mengatur pola produksi
yang berdasarkan kebutuhan pasar Laksono dan Wulandari, 2011. Untuk tujuan tersebut, maka semua unsur-unsur yang terlibat dalam jejaring bersama-sama membahas rakitan inovasi teknologi
melalui pengaturan pola tanam, penggunaan varietas yang mampu beradaptasi dengan musim hujan, management pengendalian OPT serta perlu bersepakat untuk mengatur pengendalian harga Priyatma,
2013
Selain itu melalui kegiatan jejaring dapat menuai beberapa manfaat, diantaranya: dapat meningkatkan posisi tawar petani dengan pihak lain; dapat membangun satuan skala usaha yang
menguntungkan; terbangunnya komitmen yang jelas dan terukur diantara pelaku bisnis; menjalin kemitraan usaha, yang selanjutnya bisa menjadi embrio kelembagaan ekonomi petani yang berbadan
hukum, seperti koperasi tani atau badan usaha milik petani BUMP
Hal tersebut selaras dengan Badan Litbang Pertanian 2011 telah mengembangkan pendekatan percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian melalui Spektrum Diseminasi Multi Channel
yang dikenal SDMC. Perluasan spektrum inovasi teknologi pertanian dan perluasanpercepatan adopsi inovasi pertanian tidak hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan penyuluhan formal, namun
juga diperankan oleh berbagai pihak di lingkungan masyarakat, termasuk kelembagaan non formal
Untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan efektivitas interaksi antara BPTP Jawa Timur dengan kelembagaan petani akan dilaksanakan dengan kegiatan “peningkatan kapasitas jejaring pelaku
inovasi ” Koesno, 2015 Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, perlunya mengetahui ruang lingkup
kegiatan tersebut meliputi i Identifikasi pelaku inovasi pertanian petani kooperator, P4S, Kontak TaniKontak Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya, stakeholders, ii pemetaan hubungan
keterkaitan jejaring kerja diantara pelaku inovasi untuk transfer inovasi pertanian, iii mengidentifikasi dan mengukur kinerja media dan metoda yang digunakan, iv menyelenggarakan
percontohan atau peragaan inovasi pertanian bawang merah sebagai tempat menggali data dan informasi.
Apabila diketahui ukuran kinerja masing-masing pelaku inovasi, akan mempermudah para pelaku tersebut memposisikan diri demi percepatan penerapan inovasi. Demikian halnya dengan jenis
media dan metoda yang direspon pelaku inovasi paling berdampak terhadap percepatan penerapan inovasi pada pengambangan bawang merah Koesno, et al., 2015
309
METODE PENELITIAN
Kegiatan dilaksanakan di desa Sidowarek, kecamatan Plemahan sebagai sentra bawang merah di kabupaten Kediri. Pelakasanaan kegiatan yaitu mengambil study kasus pada petani pelaksanaan
demplot pembibitan bawang merah, yang kegiatan dimulai bulan September sampai dengan Desember 2015. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode deskriptif. Sesuai dengan tujuan
kegiatan ini adalah untuk mendiskripsikan atau memetakan secara faktual dan sistematis mengenai fakta dan keadaan, sifat hubungan antara pelaku inovasi Nasir, 1999
Dalam mendiskripsikan hasil kegiatan membutuhkan dua 2 jenis data, yaitu data primer yang bersifat kualitatif dan data sekunder yang cenderung bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh
melalui wawancara langsung ke sumber informasi yaitu: petani pelaksana, penyuluh dan petugas lapang di tingkat desa hingga kabupaten. Data sekunder diperoleh dari laporan Dinas Pertanian
kabupaten Kediri, Programa Penyuluhan Pertanian, serta data dan informasi yang diperoleh melalui desk study literatur.
Metode pengambilan data dan informasi dilakukan melalui dua cara, yaitu: survey atau observasi dan fokus group diskusi FGD langsung dengan petani untuk mengetahui skala
permasalahan dalam pengembangan kegiatan selanjutnya. Untuk memudahkan keperluan analisis, data-data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi, kemudian dianalisa secara diskriptif.
Melaksanakan identifikasi pelaku inovasi petani kooperator, P4S, dan Kontak TaniKontak Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya untuk jejaring kerja dalam rangka transfer inovasi
pertanian.Melaksanakan identifikasi karakteristik petani pelaku utama inovasi. Hal ini erat hubungannya dengan tingkat penerapan inovasi serta pemilihan media dan metoda diseminasi.
Menggali data dan informasi untuk mengukur kinerja media dan metoda diseminasi dilakukan melalui FGD. Caranya yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan seputar media dan metode
diseminasi yang digunakan dan disukai petani. Sebagai responden adalah pengurus tujuh poktan ketua, sekretaris, bendahara, seksi produksi dan usaha yang tergabung dalam gapoktan Notoprojo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi Jejaring Pelaku Inovasi pada study kasus petani pelaksana kegiatan demplot bawang merah, meliputi hasil identifikasi: pelaku inovasi; jejaring pelaku inovasi dan aksesibilitas
terhadap sumber inovasi; serta hasil identifikasi penggunaan dan kinerja media dan metoda yang digunakan oleh petani sebagai pelaku utama penerapan inovasi
1. Identifikasi Pelaku Inovasi
Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi, berdasarkan peranan masing-masing pelaku, dibedakan menjadi tiga 3, yaitu pelaku yang berperan sebagai: sumber informasi; saluran informasi
atau media; dan pengguna informasi petani. Sumber Informasi atau Generating Agent
Sumber informasi pertanian, disebut sebagai Generating Agent adalah lembaga atau institusi yang bertanggung jawab menggali, mengolah, menghasilkan dan menyediakan serta menyebarkan-
luaskan informasi pertanian yang dijamin dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya serta mudah digunakan dan dimengerti petani.
Hasil identifikasi kelembagan yang bertindak sebagai sumber informasi adalah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur, Balai besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Dinas
Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D perusahaan pupuk dan obat- obatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut.
Saluran Informasi atau Delivery Agent
Saluran Informasi adalah individu atau petugas yang bertanggung jawab menyalurkan dan atau menyampaikan informasi ke pengguna akhir informasi, yaitu petani. Di wilayah kegiatan,
dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani, pedagang saprotan, dan petani maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA, P4S yang dianggap mampu
menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama, seperti pada tabel 1.
310 Table 1. Hasil identifikasi Pelaku Inovasi Pertanian di Sidowareg
No Sumber Informasi
Generating Agent Saluran Informasi
Atau Media Delivery Agent
Penerima Recieveing Agent
1.
Pemerintah Daerah:
a. Dinas Pertanian Kabupaten 1. Penyuluh Lapang
2. POPT 3. Mantri Tani
4. BP3K 5. P4S
6. KTNA 7. Kios Saprotan
Petani Pengguna user akhir
Jenis usahatani: Bawang Merah
b. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kab.
c. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan 2.
Kementerian Pertanian:
a. Balai Besar Pelatihan Pertanian b. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Timur 3. Research and Development Perusahaan Saprotan
R D Sumber: Data Primer 2015
Penerima atau Recieveing Agent Pada Permentan nomor 82 tahun 2013, bahwa yang namanya Pelaku Utama inovasi petani
adalah Warga Negara Indonesia perseorangan danatau beserta keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, danatau peternakan. Dalam jejaring pelaku
inovasi, pelaku utama adalah bertindak sebagai Recieveing Agent. Hasil Karakteristik Recieveing Agent
, dicirikan dengan: umur, pendidikan, kepemilikan lahan, dan komoditi yang diusahakan. Beberapa faktor tersebut mempengaruhi kemampuan perkembangan mental dan proses mental pelaku
utama dalam mengambil keputusan dalam penerapan inovasi Soekartawi, 1988. Hasil identifikasi karakteristik pelaku utama pada kegiatan analisis jejaring pelaku inovasi, disajikan pada tabel 2.
Umur,
kisaran umur pelaku utama inovasi ternyata masih didominasi oleh kaum menjelang manula hingga manula 56 ; sedangkan pelaku utama yang berusia produkti hingga produktif
mapan yaitu 44 . Adapun dukungan pendidikan yang dimiliki pelaku utama tersebut 61,1 berpendidikan SD; 33,3 berpenddikan SMP dan 22,2 berpendidikan SMA.
Hampr semua pelaku utama pekerjaannya adalah bertani 94,4 . Hal ini dibuktikan dengan 61,11 pelaku utama sebagai responden memiliki lahan garapan yang memiliki Status kepemilikan
lahan . Kisaran kepemilikan lahan responden antara 0,146 sd 0,286 ha, adalah Terbanyak 28 ; 22,2
responden memiliki lahan garapan 0,143 ha; dan 16,7 responden memiliki lahan garapan 0,36 sd 0,43 ha. Sisanya 33,1 responden memiliki lahan garapan antara 0,50 sd 1,36 ha. Mencermati
kondisi kepemilikan lahan pelaku utama inovasi dengan komoditi utama hortikultura bawang merah, maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan cukup relevan untuk jenis usahatani tersebut.
311
Tabel 2. Karakteristik Recieveing Agent atau Pelaku Utama
No. Karakteristi Recieveing Agent atau Pelaku
Utama Persentase
Keterangan Intepretasi 1.
Kelompok umur tahun: a. 30-40 Muda produktif
22,2 Pekerjaan
petani Mayoritas
didominasi oleh kelompok usia menjelang manula hingga manula
b. 41-50 Usia mapan Prod. 22,2
c. 51-60 Menjelang manula 28
d. 61-70 Usia manula 28
2. Pendidikan
a. Sekolah dasar 61,1
Pendidikan pelaku
utama mayoritas adalah Sekolah Dasar
61,1 b. Sekolah Menengah Pertama
33,3 c. Sekolah Menengah Atas
22,2 3.
Pekerjaan: a. Pemilik dan penggarap
94,4 Hampr semua pelaku utama
pekerjaannya adalah
bertani 94,4
b. Pelaku utama dan P.Usaha 5,6
4. Status Kepemilikan Lahan
a. Pemilik 61,11
Sekitar 61,11 pelaku utama memiliki lahan garapan
b. Sewa 11,11
c. Penggarap 16,67
d. Pemilik dan Penggarap 11,11
5. Luas Kepemilikan Lahan: 50-950 ru setara 0,07-1,357 ha
a. 50-100 ru setara 0,07-0,143 ha 22,2
Kisaran kepemilikan lahan: a. Terbanyak 28 antara 0,146 sd
0,286 ha b. 22,2 memiliki lahan 0,143 ha
c. 16,7 memiliki lahan 0,36 sd 0,43 ha.
b. 102-200ru setara 0,146-0,286 ha 27,8
c. 250-300ru setara 0,357-0,429 ha 16,7
d. 350-400ru setara 0,500-0,571 ha 11,1
e. 500 ru setara 0,714 ha 5,6
f. 600 ru setara 0,857 ha 11,1
g. 950 ru setara 1,357 ha 5,6
Sumber: Data Primer 2015
Identifikasi Aksessibilitas Pelaku Jejaring Inovasi Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi: sumber informasi, saluran informasi atau media,
dan pengguna informasi petani, dipetakan seperti pada gambar 1. Masing-masing pelaku inovasi mempunyai peranan dan hubungan keterkaitan. Pada skema gambar 1, menunjukkan bahwa pelaku
delivery agent: Penyuluh Pertanian Lapang mendapatkan informasi dari semua pelaku sumber informasi generating agent, dengan persen aksesibilitas 100 . Ini membuktikan cakupan tugas
penyuluh Lapang adalah menyelesaikan semua permasalahan usahatani di semua komodi di tingkat desa. Keadaan ini secara langsung berpengaruh terhadap kelembagaan BP3K tempat tersimpulnya para
penyuluh memiliki akses 83 dari sumber informasi. Peran petugas POPT juga tinggi untuk mendapatkan akses dari sumber informasi 83 , ini disebabkan karena jangkauan wilayah kerja se
kecamatan. Berbeda dengan Mantri tani hanya 33 , karena tugas mantri tani sifatnya koordinatif program sebagai kepanjangan tangan dari dinas kabupaten yang ada di tingkat kecamatan UPTD.
Kedua pelaku delivery agent tersebut, bersamaan bernaung dalam satu management Dinas Pertanian Kabupaten Kediri. Sedangkan Penyuluh Lapang, memiliki satuan wilayah kerjanya berada di dalam
wilayah kerja BP3K Kecamatan, yang tersimpul dalam management Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan BKP3 Kabupaten Kediri.
312
Pelaku Generating Agent
Pelaku Delivery Agent
Pelaku Recieveing
Agent Akses ke
Akses ke Akses ke
Delivery Agent Generating Agent
Delivery Agent
1.
Pemerintah Daerah: a. Dinas Pertanian Kabupaten
42,9 100
100
b. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten 28,57
83 33
67 33
17
17 50
25
75 12,5
12,5 63
c. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan
42,9
2.
Kementerian Pertanian: a. Balai
Besar Pelatihan
Pertanian 71,43
b. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
57,14
3.
Research and Develop-ment Perusahaan Saprotan
R D 71,43
Sumber: Data Primer 2015
Gambar 1. Skema Jejaring Inovasi Pertanian di desa Sidowareg,Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri
Aksesibilitas Recieveing Agent ke Delivery Agent, dihitung berdasarkan kehadiran selama satu siklus kegiatan diselenggarakan dari persiapan hingga panen, terdapat 8 kali tatap muka
pertemuan atau kegiatan di lahan dengan poktan. Masing-masing Delivery Agent memberikan kontribusi akses ke Recieveing Agent sebagai berikut: PPL 100, BP3K 75, KiosPetugas
Perusahaan Obat 63, POPT 50, Mantri Tani 25 serta KTNA dan P4S 12,5. Keterlibatan tertinggi diraih oleh PPL, dianggap wajar karena sebagai penyuluh di wilayah kerjanya
harus mengawal pelaksanaan penerapan inovasi bersama BPTP Jatim hingga panen. Demikian dengan lembaga penyuluhan BP3K sebagai satmingkal penyuluh dan petugas lapang lainnya seperti POPT
dan Mantri Tani. Keberadaannya sangat strategis untuk hilirisasi inovasi, sebagai tempat pertemuan antara petani dan petugas. Selama kegiatan tersebut, Petugas Perusahaan Obat memainkan peran
cukup tinggi bila dibandingkan POPT, KTNA dan P4S. Artinya, dia menyadari posisi perannya di tempat yang tepat yaitu di sentra bawang merah yang sarat dengan serangan OPT. Tingginya peran
tersebut, dimaksudkan agar perusahaan memperoleh keuntungan dari situasi tersebut. Berbeda dengan POPT, misinya hanya membawa atau menyampaikan anjuran pengendalian, untuk selanjutnya
dilakukan oleh PPL.
Nampak peran KTNA dan P4S tidak nampak. Menurut Syahyuti 2014, Seharusnya petani juga menjadi pelaku aktif dalam konsep metode belajar dari petani ke petani farmer to farmer
learning. Secara konseptual pendekatan ini diyakini bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani
diharapkan akan lebih efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap persoalan, dan metode pemecahan masalah. Empati, sebagai salah satu syarat komunikasi, akan lebih
Penyuluh Lapang
P4S POPT
KIOS SAPROTANPETU
KTNA Mantri Tani
Ka.BP3K
313
terjamin. Hal ini diwadahi dengan pendirian berbagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya P4S, di mana petani belajar dari petani secara langsung. Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya P4S merupakan wadah pelatihan pertanian dan pedesaan yang didirikan, dimiliki, dikelola oleh petani secara swadaya baik perorangan maupun berkelompok.
Kinerja Media dan Metoda
Pada prakteknya, delivery agent untuk menyalurkan informasi ke pengguna, menggunakan
berbagai media atau saluran informasi sebagai alat bantu yang dapat dengan mudah dipahami oleh pengguna pelaku utama inovasi petani. Hasil identifikasi media informasi yang digunakan oleh
pelaku utama, adalah media elektronik dan media cetak. Hasil pengukuran Kinerja dua 2 jenis media tersebut, ternyata pelaku utama inovasi lebih
sering menerima pesan melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak berupa leaflet dan broseur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi table 2.
Tabel 2. Kinerja media diseminasi
Lokasi Kegiatan Sidowareg
Kinerja Penggunaan Media Diseminasi 5 Media Elektronik
Media Cetak Televisi
Radio Internet
Swasta Nasional
TV RI Daerah
DohoTV Swasta
Lokal RPW
Keliling Leaflet
Brosur Poktan Tentrem
50 33
11 16,7
11 5,6
Sumber: Data Primer 2015
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap responden sebagai pelaku utama, ternyata mereka lebih sering menerima informasi melalui media Televise Swasta Nasional , yakni mencapai 50.
Kemudian disusul oleh sebanyak 33 responden menyatakan menerima pesan melalui media TV RI; 16,7 responden menerima pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 responden sudah
menggunakan fasilitas internet untuk mencari informasi inovasi pertanian, dan sekitar 11 lainnya responden menggunakan media Doho TV, yang merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan
kabupaten Kediri.
Alasan mereka menyukai televisi, karena pesan yang disampaikan menarik, atraktif, dan terkesan sebagai hiburan bagi pemirsa. Selain itu pesan yang disampaikan melalui media televisi
menggabungkan beberapa indera penerimaan, yakni melalui indera penglihatan 83 dan indera pendengaran 11 . Namun demikian, apa yang dilihat dan didengar, belum tentu langsung diadopsi.
Perlu diketahui bahwa Proses adopsi itu merupakan proses mental yang melalui lima 5 tahapan, bisa secara berurutan, atau lompatan dari proses mental tersebut. Hal ini tergantung dari kemampuan
proses mental seseorang dalam menerima pesan tersebut Arifin Moekadas, 1985
Selanjutnya pada prakteknya, dalam penyampaian media diseminasi, atau penyuluhan, diperlukanlah suatu strategi, yang dilakukankan melalui berbagai metoda diseminasi. Diantaranya
yang diamksud berbagai metoda tersebut yaitu melalui pertemuan temu lapang, temu karya, dan temu ilmiah dan pembelajaran petani kursus tani dan sekolah lapang atau SL. Hasil identifikasi kinerja
penggunaan metoda diseminasi tersebut, disajikan pada table 3.
Tabel 3. Kinerja penggunaan metoda diseminasi
Lokasi Kegiatan Sidowareg
Kinerja Metoda Diseminasi Pertemuan
Pembelajaran Petani Demplot
Temu Lapang Temu Karya
Temu Ilmiah Kursus
Sekolah Lapang Poktan Tentrem
72,2 5,6
5,6 28
83,3 44
Sumber: Data Primer 2015
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran kinerja metode diseminasi 83,3 responden sebagai pelaku inovasi telah mengikuti kegiatan pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 responden sering
mengikuti kegiatan Temu Lapang Petani dan 44 mengikuti pelaksanaan demplot sebagai demonstrator maupun anggota. Memang akhir-akhir ini, metode yang banyak digunakan yaitu
pembelajaran petani dalam bentuk sekolah lapang SL, Syahyuti, 2014. Alasannya yaitu, metode ini
menerapkan falsafah penyuluhan “learning by doing”. Artinya peserta belajar inovasi sambil mengerjakan praktek usahataninya di lahan.Roger, 2003. Metode berikutnya yang sering diikuti
responden yaitu Temu lapang 72,2 . Kegiatan ini sebenarnya menyatu dalam kegiatan demplot.
314
Salah satu kegiatannya, menyelenggarakan temu lapang petani yang bisa dilakukan pada awal, pertengahan atau pada akhir kegiatan. Pada kegiatan demplot sendiri, responden hanya 40 yang
terlibat sebagai petani kooperator, sedangkan anggota kelompok tani lainnya, terlibat dalam kegiatan temu lapang. Oleh sebab itu, kegiatan temu lapang menduduki rating ke dua setelah sekolah lapang.
KESIMPULAN
1. Hilirisasi dalam penyebarluasan inovasi teknologi, digambarkan sebagai suatu rangkaian jejaring
Pelaku Inovasi, dibedakan menjadi tiga 3, yaitu berperan sebagai: sumber informasi; saluran informasi
atau media; dan pengguna informasi petani 2. Hasil identifikasi pelaku jejaring inovasi, bertindak sebagai sumber informasi generating agent,
adalah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur, Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D
perusahaan pupuk dan obat-obatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut; Bertindak sebagai
3. Di wilayah kegiatan, dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani,
pedagang saprotan, dan petani maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA, P4S yang dianggap mampu menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama,
4. Karakteristik recieveing agent petanimeliputi keadaan: Umur, didominasi56 oleh kaum menjelang manula hingga manula, 44 berusia produkti.Selanjutnya dukungan pendidikan 61,1
berpendidikan SD; 33,3 berpenddikan SMP dan 22,2 berpendidikan SMA. Pekerjaanpelaku utama adalah bertani 94,4 , karena 61,11 responden memiliki lahan
garapan yang memiliki Status kepemilikan.Hasil identifikasi diperoleh 22,2 memiliki lahan garapan 0,143 ha; 28 responden antara 0,146 sd 0,286 ha; 16,7 responden memiliki lahan
garapan 0,36 sd 0,43 ha dan sisanya 33,1 responden memiliki lahan garapan antara 0,50 sd 1,36 ha.
5. Pada identifikasi aksesibilitas pelaku jejaringinovasi, rating akses tertinggi dari generating agent ke pelaku delivery agent adalah Balai Besar Pelatihan serta RD Saprotan, mencapai 71,43 ;
kemudian BPTP Jatim 57,14 ; Dinas Pertanian Kabupaten dan BP3K memiliki akses ke delivery sebesar 42,9 dan akses terendah yaitu BKP3 kabupaten 28,57 .
6. Penyuluh Pertanian Lapang sebagai dilevery agent memiliki akses informasi 100 dari semua
pelaku sumber informasi generating agent, POPT 83 , Ka. BKP3K 67 kemudian Mantri tani dan KTNA masing-masing 33
7. Delivery agent menyalurkan informasi melalui berbagai media dan metoda. Hasil identifikasi
media informasi yang digunakan oleh pelaku adalah media elektronik dan media cetak. 8. Hasil pengukuran Kinerja media ternyata pelaku utama inovasi lebih sering menerima pesan
melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak berupa leaflet dan brosur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi.
9. Pesn yang diterima melalui media elektronik, yaituTelevise Swasta Nasional, mencapai 50. Kemudian 33 responden menerima pesan melalui media TV RI; 16,7 responden menerima
pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 responden sudah menggunakan fasilitas internet untuk mengakses inovasi pertanian, dan sekitar 11 lainnya responden menggunakan
Doho TV, merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan kabupaten Kediri.
10. Pengukuran hasil kinerja penggunaan metoda diseminasi, menunjukkan bahwa 83,3 responden telah mengikuti pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 responden sering mengikuti kegiatan
Temu Lapang Petani dan 44 mengikuti pelaksanaan demplot sebagai demonstrator maupun anggota. Metode paling banyak digunakan yaitu pembelajaran petani melalui sekolah lapang
SL. Alasannya yaitu, metode ini menerapkan falsafah penyuluhan “learning by doing”. Artinya peserta belajar inovasi sambil mengerjakan praktek usahataninya di lahan.
Saran 1. BPTP Jawa Timur,Sebagai lembaga vertical agar meningkatkan kinerja aksesibilitas ke delivery
agent melalui berbagai media dan metoda diseminasi, minimal mempunyai nilai akses sama dengan Balai Besar pelatihan yaitu 71,43 ;
315
2. Aksesibilitaskomunikasi BPTP Jatim ke delivery agent: P4S, KTNA, mantriTani, perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas dengan melibatkan mereka atau menciptakan
kegiatan melalui berbagai metoda diseminasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Keberhasilan menggali data dan informasi untuk kepentingan pemetaan jaringan hilirisasi inovasi, dari generating agent, delivery agent hingga receiving agent, adalah berkat kerja keras petugas
lapangan. Oleh sebab itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ka. BPP Plemahan berserta Crew, Gapoktan Notoprojo, dan PPOPT. Selain itu ucapan terimakasih untuk Kepala BPTP Jatim Ka.
Lab. Diseminasi Wonocolo yang memberi kepercayaan dan fasilitasi terselenggaranya kegiatan pemetaan hilirisasi inovasi dari sumber hingga ke pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Pedoman Umum Spektrum Diseminasi Multi Chanel SDMC. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Badan Litbang Pertanian, 2003. Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta BKP3K Plemahan. 2014. Programa Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Plemahan,
Kabupaten Kediri. Ibrahim, J.T., A. Sudiyono dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia.
Malang Indra Aritonang. 2012. Strategi Pengembangan Sistem Jaringan Komunikasi Inovasi Pertanian
Melalui Cyber Extension. Institut Pertanian Bogor. Laksono, A.D. dan R.D. Wulandari. 2011. Analisis potensi penyebaran informasi kesehatan melalui
jejaring sosial Studi Kasus Pada ‘Forum Jejaring Peduli AIDS’. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberda-yaan Masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian
Kesehatan Republik
Indonesia. email;
agung_dwilaksonoyahoo.co.id. Kasryno, F. 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP ujung tombak diseminasi teknologi
pertanian berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Revitalisasi Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Cisarua, 21 Nopember 2006.
Koesno, T.S., A. Muhariyanto dan H.A. Dewi. 2015. Peningkatan Kapasitas Komunikasi dalam Rangka Akselerasi dan Efektivitas Pemasyarakatan Inovasi hasil Litkaji di Jawa Timur.
Sub. Kegiatan: Peningkatan kapasitas pelaku inovasi pertanian melalui demplot bawang merah d ideas Sidowareg, Plemahan, Kediri. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur
Nasir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Pangarsa, N., A. Muhariyanto dan H. Ariyanto, 2007. Pengkajian efektifitas media komunikasi massa
BPTP Jawa Timar di lima wilayah kabupaten. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Permentan nomor 42. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42Permentan OT.14032013. Tentang Pedoman Penilaian Petani Berprestasi. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Syahyuti. 2014. Peran strategis penyuluh swadaya dalam paradigma baru penyuluhan pertanian Indonesia.Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Priyatma, J.E. 2013. Potensi Teori Jejaring Aktor Untuk Memahami Inovasi Teknologi.Teknik Informatika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations. Fith Ed. Simon Schuster Publisher. Inc. New York. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press
Van Den Ban A.W., dan Hawkins HS., 1996 Penyuluhan Pertanian, Kanisius, Yogyakarta.
316
PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK CAIR POC DARI LIMBAH PERTANIAN ASAL SUMBER DAYA ALAMI LOKAL PADA BUDIDAYA SAYURAN BAWANG DAUN
Allium fistulosumL.
UTILIZATION OF LIQUID ORGANIC FERTILIZER FROM AGRICULTURAL WASTES OF RESOURCES LOCAL ORIGIN NATURAL ON LEEK VEGETABLES Allium fistulosumL.
Agustina E. Marpaung
1
, Bina Br Karo
1
dan Kusmea Dinata
2
1
Kebun Percobaan Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jln. Raya Medan Berastagi Km 60, Berastagi 22156
Email : agustinamarpaungyahoo.com
ABSTRAK
Bawang daun merupakan salah satu komoditi sayuran yang pemanfaatannya banyak digunakan oleh konsumen sebagai bumbu memasak. Saat ini salah satu yang menjadi kendala adalah kualitas produk
yang dihasilkan dan produktivitas yang rendah. Peningkatan kualitas produk dan produktivitas dapat dilakukan dengan pendekatan pertanian ramah lingkungan, berupa pemanfaatan pupuk organik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair POC terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan Mei sd Juli 2016 di KP
Berastagiketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol. Rancangan percobaan yang digunakan adalah split plot faktorial dengan tiga ulangan. Petak utama : Teknik aplikasi A
1
. Semprot dan A
2
. Siram. Anak petak : Dosis pupuk organik cair D
.Tanpa POC, D
1
. 10 mll air, D
2
. 20 mll air, D
3
. 30 mll air dan D
4
.40 mll air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi bawang daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC. Pemberian POC 20 mll air dapat meningkatkan
pertumbuhan tinggi 17,49 -21,07; diameter batang 23,16-25,52; jumlah anakan 39,91 dan produksi bobot bersih per tanaman 44,70, bobot anakan 46,45 dan produksi per plot 42,99
daun bawang dibanding tanpa pemberian POC. Pemberian POC dosis 20 mll air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang dan panjang daun bawang daun 13,67 cm dan 61,67 cm
dibanding perlakuan lainnya. Katakunci :
Allium fistulosum L , pemanfaatan, dosis, pupuk organik cair, teknis
ABSTRACT
Leek is one of vegetable commodities that used of lot consumer as seasoning. This time, one of matters is the product quality and productivity still low. To increase the quality and productivity can be done
with environmental friendly approach, with using the organic fertilizer. The research aims are to know the effect of liquid organic fertilizer to growth and yield of leek. The research was conducted from
May - July 2016 in the Berastagi experimental farm, with altitude ± 1340 meters above sea level, the soil type andisol. The experimental design used was a split plot factorial with three replications. The
main plot is application technique A
1
. Spray and A
2
. watered. The subplot is dosage of liquid organic fertilizer D
. Without liquid organic fertilizer, D
1
. 10 mll water, D
2
. 20 mll water, D
3
. 30 mll water and D
4
. 40 mll water. The results showed that growth and yield of leek no effected by application technique. Liquid organic fertilizer dose 20 mll water can increase growth height 17,49 -21,07;
stem diameter 23,16-25,52; tillers number 39,91 and production net weight per plant 44,70; tillers weight per plant 46,45 and production per plot 42,99 of leek compare to without liquid
organic fertilizer. Liquid organic fertilizer dose 20 mll water with watered application technique can increase stem and leave length of leek 13,67 cm and 61,67 cm compare to another treatment.
Keywords: Allium fistulosumL,utilization, dose, liquid organic fertilizer, technique
317
PENDAHULUAN
Kebutuhan terhadap sayur-sayuran semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, sayur-sayuran perlu ditingkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Kumarawati, et al., 2013; Mujib, et al., 2014. Bawang daun Allium fistulosumL. merupakan salah satu jenis sayuran daun yang biasa
digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan. Di samping itu, bawang daun juga sering digunakan dalam pengobatan karena kandungan senyawa yang terdapat dalam bawang daun
dapat berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan dalam bawang daun dapat berfungsi sebagai antihiperlipidemia sehingga dapat mengurangi resiko penyakit anterosklerosis serta penyakit jantung
koroner Yamamoto dan Yasuoka, 2009.
Dikalangan petani, ketergantungan dalam menggunakan pupuk kimia sintetis hampir mencapai 100, sedangkan penggunaan pupuk organik masih kurang. Pemberian pupuk kimia sintetis
bukanlah jaminan untuk memperoleh hasil maksimal tanpa diimbangi pupuk organik, dimana hasil penelitian Sopha dan Uhan 2013 mengatakan bahwa pupuk organik mampu mengurangi penggunaan
pupuk kimia. Hal ini didukung oleh Susi 2009 bahwa penggunaan dosis pupuk kimia sintetis yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, apalagi penggunaan secara terus menerus
dalam waktu lama akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan mikroorganisme penyubur tanah berkurang.
Peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik. Salah satu sumber bahan organik yang banyak tersedia disekitar petani adalah pupuk kandang. Pemberian
pupuk organik dapat mengurangi dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia Martin, etal., 2006,menyumbangkan unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman
Taufiq, et al., 2007.
Penggunaan pupuk organik alam daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang yang dapat dipergunakan untuk membantu mengatasi kendala produksi pertanian khususnya tanaman sayuran
daun, yaitu Pupuk Organik Cair. Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar di pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut sebagai
pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial. Pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan
pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman
menjadi kokoh dan kuat, merangsang pertumbuhan cabang produksi, serta meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007. Pupuk organik cair juga
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi Manullang, et al., 2014; Arinong dan Lasiwua, 2011, kentang Parman, 2007, tomat Rehatta, et al., 2014, kacang kedelai Hamzah,
2014, jagung manis Syofia, et al., 2014
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair POC terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan Mei sd Juli 2016 di KP Berastagi pada lahan seluas 120 m
2
, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, ketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol.
Metoda penelitian berupa perlakuan dosis pupuk organik cair POC dari bahan limbah pertanian yang diolah sendiri. Petak utama : teknik aplikasi A
1
. Semprot dan A
2
. Siram. Anak petak : dosis pupuk organik cair D
. Tanpa POC, D
1
. 10 mll air, D
2
. 20 mll air, D
3
. 30 mll air dan D
4
. 40 mll air. Populasi tanaman terdiri dari 50 tanaman. Bibit bawang daun merupakan varietas lokal. Data diolah
menggunakan Rancangan percobaan split plot faktorial dengan tiga ulangan. Prosedur penelitian dilakukan dua tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan pupuk organik cair
Proses pembuatan pupuk organik cair POC terbuat menggunakan sisa-sisa limbah bahan organik, berupa : daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang dengan campuran 1 : 1 : 2 yang
dicacah terlebih dahulu. Kemudian dikomposkan aerob selama 1 bulan dengan ditambah larutan IM
4
100 gram gula merah, 50 ml bioaktivator EM
4
, air bersih. Setelah 1 bulan, bahan diaduk dan dimasukkan ke dalam drum dan ditambah air dengan perbandingan 2:1 anaerob serta100 gram gula
merah + 50 ml bioaktivator EM
4
. Drum ditutup dengan rapat, kemudian selang dimasukan lewat
318
lubang tutup drum dan direkatkan sehingga tidak ada celah udara, sedangkan ujung selang yang lain masuk kedalam botol yang telah diberi air dan dibiarkan selama 2 minggu. Kemudian dipisahkan
cairan dengan ampasnya dengan cara disaring dan cairan disimpan dalam drumjerigen yang kemudian ditutup rapat. Pupuk organik cair ini merupakan pengganti pupuk daun yang biasa diberikan pada
tanaman dengan cara disemprotkan. 2. Tahap penerapan POC
Lahan diolah dan dibersihkan, pembuatan bedengan dengan ukuran 1 m x 2 m, dimana jarak antar perlakuan 70 cm dan jarak antar ulangan 1 m. Pupuk dasar ditebar merata di atas bedengan
berupa pupuk organik 4 kgplot. Kemudian pupuk ditutup dengan tanah dan dipasang mulsa. Dibuat lubang tanam pada mulsa dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pupuk organik cair diberikan dengan cara
dan dosis sesuai dengan perlakuan yang diuji 1 x 2 minggu dimulai tanaman berumur 4 minggu setelah tanam. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit.
Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 gl, Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5
– 1,0 ccl air, sedangkan untuk mengendalikan penyakit dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 gltr
air. Pengendalian dilakukan tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit tanaman di lapangan. Pemanenan bawang daun dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam.
Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman dan diamater batang pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam, jumlah anakan, panjang batang dan daun, bobot per tanaman bersih dan anakan dan
produksi per plot. Data-data dari peubah yang diamati diuji dengan uji ANOVA uji F dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata menurut BNJ pada taraf 5.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman dan Diameter Batang
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman dan diameter batang pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam MST menghasilkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh
nyata terhadap diameter batang dan tinggi tanaman umur 6 MST, namun berpengaruh nyata pada tinggi tanaman umur 10 MST. Perlakuan dosis pupuk organik cair POC berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan diameter batang Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap tinggi tanaman dan diameter batang umur 6 dan 10 MST
Perlakuan Tinggi Tanaman cm
Diameter Batang cm 6 MST
10 MST 6 MST
10 MST Teknik Aplikasi
A1.Semprot A2.Siram
46,55 a 48,48 a
55,26 b 57,94 a
0,66 a 0,70 a
0,99 a 0,94 a
Koefisien Keragaman 3,33
1,62 6,20
4,11 Dosis Pupuk Organik Cair
D0.Tanpa POC D1.10 mll air
D2.20 mll air D3.30 mll air
D4.40 mll air 49,08 b
57,17 a 62,18 a
58,25 a 58,40 a
60,87 b 66,32 b
73,77 a 71,33 a
67,33 ab 0,70 c
0,81 ab 0,91 a
0,88 ab 0,80 bc
0,95 b 1,15 ab
1,28 a 1,16 ab
1,27 a
KK 2,26
2,26 6,78
3,97 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ.05
Tinggi tanaman daun bawang pada umur 6 MST tidak berbeda nyata antara perlakuan pada teknik aplikasi, namun pada umur 10 MST, teknik aplikasi siram 57,94 cm nyata lebih tinggi
dibanding teknik aplikasi semprot. Sedangkan perlakuan dosis POC pada umur 6 dan 10 MST, diperoleh pertumbuhan tanaman dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC.
Diantara perlakuan pemberian dosis POC, diperoleh dosis 20 mll air nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya 62,18 cm dan 73,77 cm.
Diameter batang tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada perlakuan teknik aplikasi pada umur 6 dan 10 MST. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh pertumbuhan tanaman dengan
pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis
319
POC, diperoleh dosis 20 mll air nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya 0,91 cm dan 1,28 cm. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 mll air dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman 17,49 -21,07 dan diameter batang 23,16 -25,52 dari perlakuan tanpa pemberian POC. Hal ini dikarenakan pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat mendorong dan meningkatkan
pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007,
sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik.
Jumlah Anakan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk organik cair POC berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap jumlah anakan
Perlakuan Jumlah Anakan anakan
Teknik Aplikasi A1.Semprot
A2.Siram 5,28 b
5,72 a KK
3,35 Dosis Pupuk Organik Cair
D0.Tanpa POC D1.10 mll air
D2.20 mll air D3.30 mll air
D4.40 mll air 4,57 b
6,90 a 7,60 a
7,30 a 6,63 a
KK 6,57
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi dan dosis POC sangat berperan dalam pembentukan anakan bawang daun. Dimana pada perlakuan teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi dibanding teknik aplikasi
semprot 5,72 anakan. Pada perlakuan dosis pupuk organik cair diperoleh jumlah anakan dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis
POC, diperoleh jumlah anakan yang lebih tinggi pada dosis 20 mll air dari perlakuan lainnya 7,60 anakan. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 mll air dapat meningkatkan jumlah
anakan sebesar 39,91 dari perlakuan tanpa pemberi POC.
Panjang Batang dan Daun
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa panjang batang dan daun menghasilkan interaksi yang nyata antara perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk organik cair
POC Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang batang
Teknik Aplikasi Panjang Batang cm
Dosis Pupuk Organik Cair mll air 10
20 30
40 Semprot
10.60 b B
11.73 ab B
11.67 ab B
11.33 ab B
12.00 a A
Siram 12.00 bc
A 12.77 ab
A 13.67 a
A 12.20 bc
A 11.03 c
B KK
2,28 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi semprot pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 10 mll air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya 11,73 cm.
Sedangkan pada teknik aplikasi siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 20 mll
320
air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya 13,67 cm. Pada perlakuan dosis POC, secara umum diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan
panjang batang dibanding dengan teknik semprot pada setiap taraf dosis POC yang diberikan.
Tabel 4. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang daun
Teknik Aplikasi Panjang Daun cm
Dosis Pupuk Organik Cair mll air 10
20 30
40 Semprot
42.80 c B
53.60 b B
60.13 a A
59.80 a A
55.60 ab A
Siram 54.67 b
A 56.00 ab
A 61.67 a
A 58.57 ab
A 54.67 b
A KK
2,48 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi semprot dan siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 20 mll air menghasilkan panjang daun nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya,
yaitu masing-masing 60,13 cm dan 61,67 cm. Pada perlakuan dosis POC, pada taraf dosis 0 dan 10 mll air POC diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan panjang daun dibanding
dengan teknik semprot, sedangkan pada taraf dosis 20, 30 dan 40 mll air POC tidak dijumpai perbedaan yang nyata antara teknik aplikasi semprot dengan siram.
Sehingga diperoleh bahwa penggunaan POC dosis 20 mll air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang bawang daun 13,67 cm, sedangkan panjang daun semakin meningkat
dengan menggunakan teknik aplikasi semprot maupun siram dan pemberian POC dosis 20 mll air 61,67 cm.
Bobot per Tanaman Bersih dan Anakan dan Produksi per Plot
Data dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot per tanaman bersih dan anakan dan produksi per plot, sedangkan
perlakuan dosis pupuk organik cair POC berpengaruh nyata Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap bobot per tanaman bersih dan anakan dan produksi per plot
Perlakuan Bobot per Tanaman g
Produksi per Plot kg2 m
2
Bersih Anakan
Teknik Aplikasi A1.Semprot
A2.Siram 44,86 a
43,83 a 46,92 a
52,06 a 4,53 a
4,46 a KK
1,51 11,55
2,47 Dosis Pupuk Organik Cair
D0.Tanpa POC D1.10 mll air
D2.20 mll air D3.30 mll air
D4.40 mll air 35,67 b
54,07 ab 64,50 a
57,17 a 54,67 ab
36,50 b 62,77 ab
68,17 a 63,67 ab
65,83 ab 3,73 b
5,40 ab 6,54 a
5,60 ab 5,60 ab
KK 8,49
11,62 10,00
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata pada bobot per tanaman dan produksi per plot. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh bahwa bobot per tanaman bersih dan anakan serta
321
produksi per plot menghasilkan nilai yang lebih tinggi dengan adanya pemberian POC dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis POC, pemberian POC 20 mll air
menghasilkan bobot per tanaman bersih dan anakan serta produksi per plot nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya, yaitu masing-masing 64,50 g; 68,17 g dan 6,54 kg2 m
2
dan terdapat kecendrungan bila dosis ditingkatkan maka produksi semakin menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Rohmiyati, et al., 2006, bahwa konsentrasi yang tinggi pada POC akan memperlambat serapan hara oleh tanaman.
Dengan demikian diperoleh bahwa pemberian POC 20 mll air dapat meningkatkan produksi bawang daun, yaitu bobot bersih per tanaman 44,70, bobot anakan 46,45 dan produksi per plot
42,99 dibanding tanpa pemberian POC. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair dapat menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bawang daun, sehingga menghasilkan produksi yang baik.
Hal ini didukung oleh Taufiq, et al.,2007, bahwa pemberian pupuk organik dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman.
Gambar 1. Tanaman Bawang Daun
KESIMPULAN 1. Pertumbuhan dan produksi bawang daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC.
2. Pemberian POC 20 mll air dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi 17,49 -21,07; diameter batang 23,16-25,52; jumlah anakan 39,91 dan produksi bobot bersih per tanaman 44,70,
bobot anakan 46,45 dan produksi per plot 42,99 daun bawang dibanding tanpa pemberian POC.
3. Pemberian POC dosis 20 mll air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang dan
panjang daun bawang daun 13,67 cm dan 61,67 cm dibanding perlakuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Buncis Phaseolus vulgaris L. dalam : Rizqiani, N.F., Ambarwati, E. dan Yuwono, N.W. 2007.Pengaruh dosis dan frekuensi pemberian pupuk organik cair terhadap
pertumbuhan dan hasil buncis Phaseolus vulgaris L. dataran rendah.Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 71:43-53.
Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organic cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jurnal Agrisistem 71: 47 - 54, ISSN 1858.
Hamzah, S. 2014. Pupuk Organik Cair dan Pupuk Kandang Ayam berpengaruh kepada pertumbuhan
dan produksi kedelaiGlycine max L.. Agrium 13:228
– 234. Kumarawati, N.P.M., Supartha, I.W., Yuliadhi, K.A. 2013. Struktur komunitas dan serangan hama-
hama penting tanaman kubis Brassica oleracea L..E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika 2 4: 252-259. ISSN: 2301- 6515.
Martin, E.C., Slack, D.C., Tanksley, K.A.,Basso, B. 2006. Effects of fresh and composted dairy manure aplications on alfalfa yield and the environment in Arizona. Agron. J., 98:80-84.
322
Manullang, G.S., Rahmi, A., Astuti, P. 2014. Pengaruh jenis dan konsentrasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi Brassica juncea L. varietas tosakan.
Jurnal AGRIFOR XIII1:33 – 40, ISSN : 1412 – 6885.
Mujib, A., Syabana, M.A., Hastuti, D. 2014. Uji efektivitas larutan pestisidanabati terhadap hama ulat krop Crocidolomia pavonana L. pada tanaman kubis Brassica oleraceae. Jurnal Ilmu
Pertanian dan Perikanan 31:67-72, ISSN 2302-6308. Parman, S. 2007. Pengaruh pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kentang Solanum tuberosum L.. Buletin Anatomi dan Fisiologi XV2:21 – 31.
Rehatta, H., Mahulete, A., Pelu, A.M. 2014. Pengaruh konsentrasi pupuk organik cair bioliz dan pemangkasan tunas airwiwilan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat
Lycopersicon esculentum Miller. Jurnal Budidaya Pertanian 102:88 – 92.
Rohmiyati, S.M., Surya, M.,Hastuti, P.B. 2006. Pengaruh dari pengenceran dan waktuinkubasi bahan organik terhadap pakcoy Brassica juncea]. Buletin Ilmiah Instiper 131:1 - 11.
Susi, K. 2009. Aplikasi pupuk organik dan nitrogen pada jagung manis. Agritek., 176:1119-1132, ISSN 0852-5426.
Sopha, G.S., Uhan, T.S. 2013. Application of liquid organic fertilizer from city waste on reduce urea application on chinese mustard Brassica juncea L cultivation. AAB Bioflux 51:39-44.
Syofia, I., Munar, A., Sofian, M. 2014. Pengaruh pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas tanaman jagung manis Zea Mays Saccharata Sturt. Agrium 13:208
– 218. Taufiq, A., Kuntyastuti, H., Prahoro, C., Wardani, Y. 2007. Pemberian kapur dan pupuk kandang pada
sukkun di lahan kering masam. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan262:78-85. Yamamoto, Y., Yasuoka, A. 2009, Welsh onion attenuates hypelipidemia in rats fed on high-fat hingh-
sucroe diet. Biosci. 742: 404.
323
PEMANFAATAN URINE SAPI DAN KELINCI SEBAGAI PUPUK CAIR DALAM PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG DAUN
Allium fistulosum L UTILIZATION OF URINE COW AND RABBIT AS LIQUID ORGANIC FERTILIZER TO
INCREASING THE GROWTH AND PRODUCTION OF LEEK Allium fistulosum L. Bina Br Karo
1
, Agustina E. Marpaung
1
dan Taufiq Hidayat
2
1
Kebun Percobaan KP-Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jln. Raya Medan-Berastagi Km 60, Berastagi 22156
E-mail : bina_karoyahoo.co.id
ABSTRAK
Bawang daun memiliki nilai ekonomis yang cukup penting dan prospek bawang daun cukup baik untuk pemenuhan konsumen domestik maupun untuk permintaan ekspor. Produktivitas bawang daun
di tingkat petani masih rendah salah satu penyebabnya adalah pemupukan yang belum optimal.Penggunaan urin kelinci dan sapi sebagai pupuk cair diharapkan dapat meningkatkan hasil
bawang daun. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untukmengetahui pengaruh urin kelinci dan sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan
Januari sd April 2016 di KP Berastagiketinggian ± 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I :Jenis urin
U
1
.Urine sapi dan U
2
.Urine kelinci.Faktor II :Dosis D .Tanpa pemberian urin, D
1
.50 mll air, D
2
. 100 mll air, D
3
. 150 mll air dan D
4
.200 mll air.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun. Pemberian urine 200 mll air
dapat meningkatkan produksi bobot kotor per tanaman 50,28, bobot bersih per tanaman 40,00, dan produksi per plot 49,63.
Katakunci :
Allium fistulosum L , penggunaan urin, dosis pupuk.
ABSTRACT
Leek has the high economic value. Leek has a good prospect to supply domestic consumer and export demand. Leek productivity on farmer lever still low, the one of the caused is the fertilization not
optimal yet. Utilization of rabbit and cow urine as liquid fertilizershoped to increase the leek yielding. Therefore, research conducted with aims to know the effect of rabbit and cow urine to growth and
yield of leek. The research was conducted from January - April 2016 in the Berastagi experimental farm, with altitude ± 1340 meters above sea level, the soil type andisol. The experiment using a
randomized block design RBD factorial with three replications. The first factor istype of urine U
1
.Cow urine and U
2
.Rabbit urine.The second factor is dosage D .Without urine application, D
1
.50 mll water, D
2
. 100 mll water, D
3
. 150 mll water and D
4
.200 mll water.The results showed that using the cow and rabbit urine can be done at the leek business. Giving urine of 200 ml l of water
can increase the production weight of 50.28 gross per plant, net weight per plant 40.00, and the yield per plot 49.63
Keywords: Allium fistulosum L, use of urine, dose of fertilizer.
324
PENDAHULUAN
Bawang daun daun sering disebut bawang prai Allium fistulosumL merupakan salah satu jenis sayuran daun yang biasa digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan memiliki
nilai ekonomis yang cukup penting. Prospek bawang daun cukup baik untuk pemenuhan konsumen domestik maupun untuk permintaan ekspor. Pada saat ini produktivitas di tingkat petani masih rendah
akibat menggunakan pemupukan yang belum optimal. Untuk memenuhi permintaan pasar dalam jumlah yang banyak maka produksi bawang daun harus ditingkatkan melalui budidaya yang intensif.
Budidaya yang intensif diantaranya pemberian pupuk yang berimbang Susantidiana, 2011.
Urine termasuk pupuk organik cair yang dapat menambah bahan organik tanah sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, agar mempertahankan keadaan bahan organik tanah tersebut, tanah
pertanian harus selalu ditambahkan bahan organik minimal 8 – 10 tonha setiap tahunnya Nazari,et al.
2012. Pemberian pupuk organik sesuai dosis anjuran dapat menigkatkan bobot umbi grade besar 53.25, grade sedang 25.42 dan menurunkan bobot umbi grade kecil sebesar 1.52 Marpaung,et
al. 2014. Penggunaan pupuk organik cair kotoran sapi dapat meningkatkan tinggi tanaman,
jumlahdaun, dan hasil tanaman sawi Arinong dan Lasiwua, 2011.Urin ini yang sering di abaikan, dibuang begitu saja bahkan slama ini dianggap sebagai kotoran ternyata bisa dimanfaatkan sebagai
pupuk organik cair,urin umumnya mengandung unsur hara, terutama nitrogen N yang tinggi, mudah larut dan tersedia bagi tanaman, tetapi mudah hilang dalam bentuk gas amonia Indriyatidan Anas,
2013.
Tabel 1 .Kandungan urin setelah satu bulan didalam wadah plastik 2016
Bahan Nitrogen
P
2
O5 K
2
O C-Organik
Urin Sapi 1,02
0,21 1,22
13,61 Urin Kelinci
1,27 0,08
1,87 16,71
Sumber: Feri Gunawan 2016, Laboratorium Fakultas Pertanian UISU Medan
Penggunaanurine kelinci dan urin sapi yang telah difermentasi berpengaruh terhadap luas daun, volume akar dan bobot kering bibit kakao pada umur 16 mst.Penggunaan urin sapi dengan
konsentrasi 25 dapat menyamai penggunaan pupukan organik pada pembibitan kakao Rosniawaty, et al
. 2015. Konsentrasi urin sapi 37,5 memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan tinggi batang, diameter batang dan pertambahan jumlah daun bibit umur 4-12 MSA Minggu Setelah
Aplikasi, serta nisbah pupus akar dan bobot kering akar bibit umur 12 MSA Ariesandi, 2014.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis urinyang tepat untuk peningkatan produksi bawang daun. Hipotesis yang diajukan adalah diperoleh interaksi yang positif antara jenis
dan dosis urin dalam peningkatan produksi bawang daun.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sd April 2016 di kebun percobaan Berastagi,Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo,dengan ketinggian ± 1340 meter dari permukaan
laut,jenis tanah andisol.Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I :jenis urineU
1
=sapi, U
2
=kelinci. Faktor II : dosis urin D =0, D
1
= 50 mil air, D
2
= 100 mll air, D
3
= 150 mil air dan D
3
= 200 mil air. Prosedur pelaksanaannya adalah dibuat buat petak percobaan dengan ukuran 1 m x 1 m. Jarak antar perlakuan 0,3 m dan jarak antar ulangan 0,6 m,
tinggi bedengan 30 cm. Dipermukaan bedengan dipasang mulsa lalu dibuat jarak tanam 20 x 20 cm dilobang tanam diberi pupuk kandang sebanyak 1,5 kgplot 60 globang tanam dan pupuk anorganik
dengan dosis N 90 kgha dan P
2
O
5
sebanyak 90 kgha. Urin sapi dan urine kelinci yang telah disimpan selama satu bulan diberikan sesuai perlakuan di cor sebanyak 50 mltanaman setiap minggu dari umur
4 – 8 minggu setelah tanam. Untuk mencegah serangan hama tanaman, dilakukan penyemprotan
insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 gl, Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5 –
1,0 ccl air, untuk mengendalikan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 gltr air. Penyemprotan dilakukan 1 x 4 hari atau
tergantung tingkat serangan hamapenyakit tanaman di lapangan.Pemanenan dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam.Parameter yang diamati adalah : tinggi tanaman dan diameter batang umur 6 dan
10 minggu setelah tanam, jumlah anakan, bobot kotor dan bersih per tanaman, panjang batang, panjang daun dan produksiper plot.Data yang diperoleh dianalisa dengan uji F dan dilanjutkan dengan
uji beda rata-rata BNJ pada taraf 5.
325
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman
Hasil anlisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam MST perlakuan dosis urin memberi pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun perlakuan jenis
urin dan interaksi antara kedua perlakuan memberi pengaruh Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap tinggi tanaman umur6 dan 10 minggu setelah tanam
2016
Perlakuan Tinggi Tanaman cm
6 MST 10 MST
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 47,25 a
46,88 a
39,62 b 47,70 a
48,57 a 50,26 a
49,19 a 77,63 a
77,69 a
69,42 b 78,18 a
80,77 a 78,38 a
81,57 a
KK 6,30
5,96 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05 MST :
Minggu setelah tanam
Pada umur 6 dan 10 MST perlakuan pemberian urin mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman nyata lebih tinggi dari perlakuan tanpa pemberian urin. Sedangkan diantara perlakuan
pemberian urin tidak dijumpai perbedaan yang nyata. Dimana pertumbuhan bawang daun tertinggi pada umur 6 MST dijumpai pada perlakuan dosis 150 mll air 50,26 cm, sedangkan pada umur 10
MST, teringgi dijumpai pada perlakuan dosis 200 mll air 81,57 cm. Pemberian urine dosis 150 –
200 mll air dapat meningkatkan tinggi tanaman 14,05 – 21,16 . Hal ini karena urin mengandung
unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Mayura, et al.2015, bahwa dengan pemberian urin sapi pada
konsentrasi 25 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bibit tanaman kayumanis ceylon.
Diameter Batang
Diameter batang bawang daun pada umur 6 dan 10 MST tidak dipengaruhi oleh perlakuan jenis urine, tetapi nyata dipengaruhi oleh perlakuan dosis urinTabel 3.
Perlakuan dosis urin pada umur 6 MST nyata menghasilkan diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian urin, yaitu 0,69 -0,78 cm berbanding 0,54 cm, dan
pada umur 10 MST 1,15 – 1,27 cm berbanding 0,95 cm. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian
urine 100 -150 mll air dapat meningkatkan diameter batang tanaman bawang daun sebesar 23,33 –
30,85 . Hal ini didukung penelitian Desiana, et al.2013, bahwa pemberian urine sapi berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjangakar, bobot segar
tanaman dan bobot kering tanaman.
326
Tabel 3. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap diameter batang umur6 dan 10 minggu setelah tanam
Perlakuan Diameter Batang cm
6 MST 10 MST
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urin
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 0,71 a
0,69 a
0,54 b 0,69 a
0,72 a 0,78 a
0,76 a 1,19 a
1,12 a
0,95 b 1,15 ab
1,27 a 1,15 ab
1,25 a
KK 8,49
10,84 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05 MST :
Minggu setelah tanam
Jumlah Anakan
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap jumlah anakan namun perlakuan jenis urine dan interaksi kedua perlakuan tidak
berpengaruh nyata Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap jumlah anakan
Perlakuan Jumlah Anakan anakan
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 6,16 a
5,81 a
4,93 b 5,93 ab
6,23 a 6,13 a
6,70 a
KK 11,45
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pemberian urine, yaitu 5,93
– 6,70 berbanding 4,93 anakan. Diantara perlakuan dosis urin diperoleh dosis200 mll air dapat meningkatkan jumlah anakan pada tanaman bawang daun
26,36. Halini dikarenakan urine mengandung unsur nitrogen yang tinggi, dimana kandungan unsur N yang lebih banyak akan merangsang tumbuhnya anakan sehingga akan diperoleh hasil panen
dengan jumlah umbi yang lebih banyak karena faktor anakan berpengaruh terhadap jumlah umbi Wahyu, 2013.
Bobot Kotor dan Bersih per Tanaman Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi
pengaruh nyata terhadap bobot kotor dan bersih per tanamannamun perlakuan jenis urine dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata Tabel 5.
327
Tabel 5. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap bobot kotor dan bersih per tanaman
Perlakuan Bobot per Tanaman g
Kotor Bersih
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 116,73 a
124,71 a
69,35 b 120,83 a
135,33 a 138,60 a
139,50 a 57,87 a
62,80 a
41,00 b 62,33 a
63,00 a 67,00 a
68,33 a
KK 15,08
14,08 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan bobot kotor dan bersih per tanaman yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urin, dimana peningkatan bobot kotor pertanaman
mencapai 50,28 dan bobot bersih pertanaman 40,00.Terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi dosis urin yang diberikan, maka akan semakin meningkat bobot per tanaman. Dimana bobot kotor dan
bersih per tanaman tertinggi dijumpai pada perlakuan dosis 200 mll air, yaitu masing-masing 139,50 g dan 68,33 g. Hal ini diduga karena urine menganadung unsur hara yang dapat membantu pertumbuhan
dan produksi tanaman, ini sesuai dengan hasil penelitian Karo, et al.2014, bahwa pemberian urine kelinci dengan cara disiram dapat meningkatkan produksi kentang, khususnya persentase ketang grade
besar, 47,21.
Panjang Daun dan Batang
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap panjang daun namun dan tidak pada panjang batang,perlakuan jenis urinedan interaksi
kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata Tabel 6. Tabel 6.
Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap panjang daun dan batang
Perlakuan Panjang cm
Daun Batang
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 65,23 a
65,10 a
56,92 b 65,82 a
68,05 a 66,23 a
68,82 a 12,55 a
12,57 a
12,45 a 12,57 a
12,87 a 12,28 a
12,63 a
KK 6,94
4,00 Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan panjang daun yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urin, dimana meningkat sebesar 15,63 - 19,29. Pemberian urine200 mll
air menghasilkan panjang daun teringgi dari perlakuan lainnya 68,82 cm. Hal ini diduga karena urine mengandung unsure hara nitrogen yang sangat berperan terhadap pertumbuhan vegetative.Djafar,et al.
2013, mengatakan bahwa pemberian urine kelinci berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 3 dan 4 MST, jumlah daun 3 dan 4 MST, luas daun, bobot basah tanaman, bobot kering tanaman, dan produksi
per plot pada tanaman sawi.
328
Produksi per Plot
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh nyata terhadap produksi per plot namun perlakuan jenis urine berpengaruh tidak nyata dan interaksi
kedua perlakuan memberi pengaruh tidak nyata Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap produksi per plot
Perlakuan Produksi per Plot kg1 m
2
Jenis urine U1.Sapi
U2.Kelinci Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin D1.50 mll air
D2.100 mll air D3.150 mll air
D4.200 mll air 1,00 a
1,02 a
0,58 b 1,02 a
1,19 a 1,12 a
1,14 a
KK 16,29
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNJ. 05
Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan produksi per plot yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urine, yaitu 1,02
– 1,19 kg berbanding 0,58 kg. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pemberian urine 200 mll air dapat meningkatkan produksi per plot 49,63 pada tanaman
bawang daun. Hal ini karena urine mengandung unsur hara bagi tanaman sehingga dapat berproduksi dengan sempurna, sesuai dengan penelitian Alfarisidan Manurung, 2015 yang mengatakan bahwa
pupuk organik urine sapi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung manis pada konsentrasi 75 ccl.
Gambar 1. Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun dengan Pemberian Urin
KESIMPULAN
1. Penggunaan urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun. 2. Pemberian urine 200 mll air dapat meningkatkan produksi bobot kotor per tanaman 50,28,
bobot bersih per tanaman 40,00, dan produksi per plot 49,63. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ririn Hariati SP. Alumni Universitas Methodis Medan dan Yodik Syahputra Marpaung Mahasiswa Univesitas
Methodis Medan yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
329
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, N., Manurung, T. 2015. Pengaruh pemberian pupuk urin sapi terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis Zea mays saccharata dengan penggunaan EM4. Jurnal Biosains
13:93-99. Ariesandy,W. 2014.Pengaruh kombinasi tanah dengan kompos daun sebagai campuran media tanam
dan konsentrasi urin sapi terhadap pertumbuhan bibit kopi Arabika Coffea arabica L. kultivarlini S 795.Agric. Sci. J., I 4 : 8-17.
Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi.Jurnal Agrisistem. 71:47-54.
Desiana, C., Banuwa, I.S., Evijal,R., Yusnani, S. 2013. Pengaruh pupuk organik cair urin sapi dan limbah tahu terhadap pertumbuhan bibit kakao Theobroma cacao L . J. Agrotek
Tropika11: 113-119. Djafar, T.A., Barus, A., Syukri. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi sawi Brassica juncea L
terhadap pemberian urin kelinci dan pupuk guano’, Jurnal Online Agroekoteknologi13:646 -654, ISSN No. 2337- 6597.
Indriyati, L.T., Anas, I. 2013. Jerapan nitrogen-urine oleh ziolet dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman jagung Zea mays L..J. Tanah Lingk. 152: 84-90, ISSN 1410-
7333. Karo, B., Marpaung,A.E., Lasmono, A. 2014. Efek tehnik penanaman dan pemberian urin kelinci
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang granola Solanum tuberosum L, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi PertanianLampung, hlm. 285-
197, ISBN 978-979-3263-42-7. Marpaung, A.E., Karo, B., Lasmono, A. 2014. Respon penggunaan pupuk organik NPK dengan
pengurangan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang Solanum Tuberosum
. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian Lampung, hlm. 200-210, ISBN 978-979-3263-42-7.
Mayura, E., Yudarfis,Idris, H. 2015. Pengaruh pemberian urin sapi pada pertumbuhan benih tanaman
kayumanis ceylon Cinnamomum zeylanicum Blume. Prosiding Seminar Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat Bogor, 29 April 2015, hlm. 45-49.
Nazari, Y.A., Soemarno, Agustina, L. 2012.Pengelolaan kesuburan tanah pada pertanaman kentang dengan apikasi pupuk organik dan anorganik.Indonesian Green Technology
Journal11:7-12. Rosniawaty, S., Sudirja, R., Afrianto, H. 2015. Pemanfaatan urin kelinci dan urin sapi sebagai
alternatif pupukorganik cairpada kakao Theobroma cacao L.. Jurnal Kultivasi 141:32-36.
Susantidiana. 2011. Peran media tanam dandosis pupuk urea, SP-36, KCl terhadap pertumbuhan tanaman bawang daun Allium fistulosum L. dalam polybag.Agronobis 35:17-21.
Wahyu, D.E. 2013.Pengaruh pemberian berbagai komposisi bahan organik pada pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah Allium ascalonicum L..Jurnal Produksi Tanaman13: 21-
29.
330
KAJIAN ADAPTASI CABAI MERAH KENCANA PADA AGROEKOSISTEM DATARAN TINGGI MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN REJANG LEBONG
ASSESSMENT OF ADAPTATION OF RED CHILI KENCANA ON HIGHLAND AGROECOSYSTEMS DRY SEASON IN THE DISTRICT REJANG LEBONG
Rudi Hartono dan Yahumri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu
E-mail : yahumri.bptpbengkulugmail.com
ABSTRAK
Masih rendahnya tingkat produktivitas cabai di Provinsi Bengkulu disebabkan oleh penerapan teknologi ditingkat petani belum memadai, seperti penggunaan varietas yang unggul dan bermutu
yang adaptif. Oleh karena itu perlu adanya kajian adaptasi varietas cabai merah spesifik lokasi di Kabupaten Rejang Lebong sebagai salah satu strategi dasar untuk memacu produksi dalam rangka
memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengkaji adaptasi varietas cabai kencana pada agroekosistem dataran tinggi di musim kemarau. Pengkajian
dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015 di Kabupaten Rejang Lebong. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok RAK non faktorial
dengan 3 perlakuan yaitu cabai merahvarietas Kencana V1, Hibrida V2, dan Lokal V3 dengan 8 ulangan. Pengkajian dilaksanakan di lahan 4 orang petani dengan luas plot pengkajian masing-masing
berukuran 800m
2
per satuan usaha.Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang terkumpul dianalisis dengan Analisis of Variant Anova dan uji lanjut
Duncan Multiple Range Test DMRT pada taraf 5. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa varietas yang diintroduksi yaitu varietas kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim kekeringan, dapat
ditanam diluar musim serta mampu berproduksi dengan baik dengan hasil rerata sampai panen keempat sebanyak 129,32 g per pohon. Dengan demikian penggunaan paket teknologi terutama pada
komponen varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa Mojorejo dan sekitarnya.
Kata Kunci:
Adaptasi, cabai merah kencana, dataran tinggi
ABSTRACT
The low level of productivity of chili in Bengkulu Province caused by the application of technology is not adequate for farmers, such as the use of superior varieties and quality adaptive. Therefore, it is
necessary to study adaptation of specific varieties of red chili in Rejang Lebong as one of the basic strategies to boost production in order to meet the ever increasing demand. The purpose of this study
was to assess the adaptation of varieties of chili golden highland agroecosystems in the dry season. The assessment was carried out from January to December 2015 in Rejang Lebong. The experimental
design used was a randomized block design RBD nonfactorial with 3 treatments, red chili varieties Kencana V1, Hybrid V2, and local V3 with 8 replications. The assessment was conducted in four
farmers land plot with an area of study each measuring 800 m2 per unit of effort. Data growth and productivity of pepper plants were analyzed by analysis of Variant ANOVA and the test continued
with Duncan Multiple Range Test DMRT at 5.The study showed that the introduced varieties are golden varieties can grow and adapt well to the climatic conditions of drought, can be grown out of
season and can produce well. Thus the use of the technology package, especially on components golden chili varieties can be developed by farmers in Mojorejo and surrounding areas.
Keywords: Adaptation, highland, red chili kencana
331
PENDAHULUAN
Cabai Capsicum annum L.merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik sebagai komoditas yang dikonsumsi di dalam negeri maupun sebagai komoditas
ekspor. Sebagai sayuran, cabai merah selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau sebagai bahan baku berbagai
industri makanan, minuman dan obat-obatan membuat cabai merah semakin menarik untuk diusahakan Sumarni dan Muharam, 2005. Di Indonesia tanaman tersebut dibudidayakan sebagai
tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan. Namun demikian, syarat- syarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik
dan hasil buah yang tinggi.
Kabupaten Rejang Lebong memiliki luas wilayah 151.576 ha yang terdiri dari 15 kecamatan. Topografi wilayah Rejang Lebong bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian 100-1.000 m di
atas permukaan laut. Curah hujan berkisar antara 2.377-3.508 mm sepanjang tahun. Kabupaten Rejang Lebong juga terkenal sebagai daerah sentra produksi hortikultura di provinsi Bengkulu. Salah satu
komoditas unggulan hortikultura adalah sayur-sayuran yaitu cabai besar dengan produksi 37.251,30 ton atau 80,69 persen dari total produksi cabai besar di Provinsi Bengkulu dengan produktivitas rata-
rata tahun 2014 mencapai 6,21 tonha Kementan, 2015; BPS, 2015. Akan tetapi produktivitas tersebut masih rendah jika dibandingkan rata-rata produktivitas nasional sebesar 8,35 tonha.
Masih rendahnya produktivitas cabai merah di Kabupaten Rejang Lebong disebabkan oleh faktor-faktor produksi tidak terpenuhi secara optimal, salah satu diantaranya adalah penggunaan benih
yang unggul dan berkualitas. Menurut Syukur et al. 2010 bahwa penggunaan benih bermutu dari varietas unggul merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi di bidang
pertanian, jika bibit yang ditanam tidak memiliki sifat unggul maka akan sangat berisiko akan serangan hama penyakit dan menyebabkan hasil produksi tidak optimal. Karida dan Aribawa 2014
melaporkan bahwa kebanyakan petani, terbiasa menggunakan benih dari hasil panen sendiri yang mutunya belum terjamin, karena petani tidak mampu membeli benih dari varietas hibrida yang
harganya mahal dan bersifat sekali pakai. Disamping benihbiji yang kurang berkualitas, petani juga menanam bibit dari satu jenis varietas secara terus menerus, dari musim ke musim tanam berikutnya,
sehingga produktivitasnya menurun dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman.
Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut, tetapi
pertumbuhannya di dataran tinggi lebih lambat. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah adalah 25-27
C pada siang hari dan 18-20 C pada malam hari Wien, 1997. Suhu malam
di bawah 16 C dan suhu siang hari di atas 32
C dapat menggagalkan pembuahan Knott dan Deanon 1970. Suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah menyebabkan transpirasi berlebihan, sehingga
tanaman kekurangan air. Akibatnya bunga dan buah mudah gugur. Pembungaan tanaman cabai merah tidak banyak dipengaruhi oleh panjang hari. Kelembaban tanah dalam keadaan kapasitas lapang
lembab tetapi tidak becek dan temperatur tanah antara 24-30 C sangat mendukung pertumbuhan
tanaman cabai merah. Temperatur tanah yang rendah akan menghambat pengambilan unsur hara oleh akar.
Informasi mengenai teknologi spesifik lokasi, terutama daya adaptasi cabai kencana pada dataran tinggi di Provinsi Bengkulu terutama diluar musim off season dengan pendekatan teknologi
pengelolaan tanaman terpadu PTT yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengatasi faktor- faktor pembatas produksi tanaman dirasa masih kurang. Sehingga perlu dilakukan kajian untuk
mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana yang dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai lokal. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana pada aspek
karakter agronomis pertumbuhan dan produksi di lahan kering dataran tinggi diluar musim.
332
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi iklim basah di Desa Mojorejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong dengan ketinggian tempat 1.047 m dari
permukaan laut, penanaman dilaksanakan pada musim kemarau MK dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2015.
Pengkajian dilakukan dilahan petani dan melibatkan 4 petani sebagai pelaksana, dengan luasan 3.200m
2
. Percobaan lapangan yang dilakukan terfokus pada uji adaptasi varietas unggul baru VUB cabai merah Kencana, sedangkan hibrida dan lokal sebagai pembanding. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok RAK dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri atas 3 perlakuan yaitu varietas cabai merah Varietas Kencana, Hibrida dan Lokal. Petani kooperator
sebanyak 4 orang dengan luas plot pengkajian masing-masing berukuran 800m
2
per satuan usaha. Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan teknologi PTT cabai merah dataran tingggi.
Komponen teknolgi PTT yang diterapkan disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Teknologi PTT cabai merah yang diterapkan di lokasi pengkajian tahun 2015.
No Komponen Teknologi
Keterangan 1
Penggunaan Varietas Unggul Kencana, Hibrida dan Lokal
2 Persemaian
Persemaian khusus di bedengan 3
Pengolahan Tanah Olah Tanah Sempurna Maximum Tillage
4 Pemupukan
Spesifik Lokasi per satuan usaha 800 m2
Pupuk Organik 1,2 t, Phonska 50 kg, SP-36 75 kg, ZA 50 NPK Mutiara 15 kg, KCl 15 kg.
5 Pengendalian Hama dan Penyakit
PHPT 6
Penggunaan Mulsa Mulsa Plastik Hitam-Perak MPHP
7 Pengaturan Populasi Tanaman
Jarak Tanam 30 x 150 cm 8
Panen Tepat waktu
Penyiangan Manual dan khemis
Sumber: Data Primer 2015
Bahan yang digunakan pada percobaan ini diantaranya adalah pupuk kimia, pestisida herbisida, insektisida, dan fungisida, benih cabai merah keriting Varietas Kencana, Hibrida, Lokal.
Peralatan yang diperlukan dalam percobaan ini adalah timbangan, ATK mistar, handcounter, kalkulator, pena, amplop dll, plastik, cangkul, ember, sprayer, tali, ajir dan meteran. Benih cabai
merah kencana diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayur-sayuran Balitsa Lembang Jawa Barat yang merupakan benih sumber dengan kelas benih penjenis breeder seed. Varietas cabai kencana
yang digunakan pada kegiatan ini merupakan varietas yang cocok dibudidayakan diluar musim off season
, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, pada lahan sawah atau tegalan dengan ketinggian 0-1000 m dpl dan tumbuh optimum pada dataran medium dengan ketinggian 510-550 m
dpl pada musim kemarau basah dengan umur panen antara 95-98 hari setelah tanam HST. benih cabai hibirda diperoleh dari kios setempat dan benih cabai lokal diperoleh dari petani kooperator.
Pelaksanaan Kegiatan adalah sebagai berikut: 1 Pupuk organik berupa pupuk kandang ayam diaplikasikan bersamaan dengan waktu olah tanah atau pada saat tanam 2 Pupuk dasar berupa SP-36
dan NPK Phonska semua dosis diaplikasikan sebelum pemasangan mulsa 3 Selanjutnya pemasangan mulsa plastik dan pembuatan lubang tanam 4 Bibit ditanam pada umur 4-5 minggu dengan jarak
tanam 30 x 150 cm pola satu baris 5 Pupuk susulan berupa pupuk ZA diberikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam MST, 6 MST dan 9 MST. Kemudian untuk
pupuk NPK Mutiara dan pupuk KCl diberikan dengan cara dikocor dengan interval 2 minggu 1 kali. Parameter tanaman yang diamati adalah komponen pertumbuhan vegetatif tinggi tanaman, lebar
kanopi, jumlah daun, jumlah tunas dan jumlah cabang, Komponen hasil antara lain jumlah bunga, jumlah buah, panjang buah dan hasil panen, serta curah hujan, suhu dan kelembaban selama
pengkajian.
Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang terkumpul dianalisis dengan Analisis of Variant
Anova dan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test
DMRT pada taraf 5 bila dalam uji F memperlihatkan pengaruh yang nyata.
333
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Pengkajian
Desa Mojorejo memiliki luas wilayah 1.159 ha 6,70 dari luas 17.295 wilayah Kecamatan Selupu Rejang. Topografi lokasi pengkajian bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian tempat
dari permukaan laut rata-rata 968,31 m dpl BPS, 2015. Jumlah hari hujan di Kecamatan Selupu Rejang selama pelaksanaan pengkajian terjadi 161 hari atau rata-rata 15 hari per bulan. Demikian juga
dengan curah hujan yang terjadi selama kurun waktu yang sama yaitu 2.717 mm atau rata-rata 247 mm perbulan. Sedangkan suhu dan kelembaban rata-rata kurun waktu September-Oktober yaitu
24,2
o
C dan 70,2 BPP Mojorejo, 2015. Dari hasil pengamatan terhadap curah hujan dan hari hujan pada bulan Juli sampai dengan
bulan Oktober 2016 terjadi penurunan yang ekstrim dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dari grafik 1 menunjukkan bahwa hari hujan pada bulan Juli terjadi sebanyak 4 kali, bulan Agustus 9 kali,
bulan September 1 dan bulan Oktober 6 kali dengan rerata curah hujan berturut-turut 48,6 mmbulan, 88 mmbulan, 15 mmbulan dan 122,7 mmbulan. Kemudian terjadi peningkatan intensitas curah hujan
sebanyak 18 kali dengan rerata curah hujan 440,4 mmbulan pada akhir bulan November.
Grafik 1. Rerata hasil pengamatan terhadap hari hujan dan curah hujan
di Kecamatan Selupu Rejang tahun 2015
Komponen Pertumbuhan Vegetatif
Hasil analisis pada komponen pertumbuhan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 3 minggu setelah tanam MST dan umur 6 MST varietas kencana dan
hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas lokal. Sedangkan pada umur 9 HST cabai hibrida memiliki tinggi tanaman yang berbeda nyata dibandingkan dengan kencana dan lokal. Pada parameter
tinggi tanaman umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 27,65 cm, diikuti oleh cabai kencana 26,56 cm, dan terendah cabai lokal 17,18 cm. Tinggi tanaman umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 50,65 cm,
diikuti cabai kencana 49,80 cm, selanjutnya tinggi tanaman pada umur 9 MST tertinggi cabai hibrida 59,75 cm, kemudian diikuti tinggi tanaman cabai kencana dan cabai lokal yang sama yaitu 56,18 cm.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan lebar kanopi tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST dan 9 MST tahun 2015.
Parameter Perlakuan
Kencana Hibrida
Lokal Tinggi Tanaman cm
3 MST 26,56 a
27,65 a 17,18 b
6 MST 49,80 a
50,65 a 43,39 b
9 MST 56,18 b
59,75 a 56,18 b
Lebar Kanopi cm 3 MST
13,66 a 14,00 a
10,11 b
6 MST 34,53 a
35,91 a 31,29 b
9 MST 49,39 a
45,26 b 43,74 b
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 uji DMRT. Sumber: Data primer 2015.
277,1 395,2
365 472,5
242,6 249,8
48,6 88
15 122,7
440,4
24 23 20 23 16 17 4 9 1 6 18 100
200 300
400 500
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11
Bulan
Curah Hujan mmbulan
Hari Hujan
334
Hasil analisis pada parameter lebar kanopi menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan cabai lokal pada umur 3 MST dan 6 MST. Sedangkan umur 9
MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai lokal. Pada parameter lebar kanopi umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 14,00 cm, diikuti oleh cabai kencana 13,66
cm, dan terendah cabai lokal 10,11 cm. Lebar kanopi umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 35,91 cm, diikuti cabai kencana 34,53 cm, dan terendah cabai lokal 31,29 cm. Selanjutnya lebar kanopi pada
umur 9 MST tertinggi cabai kencana 49,39 cm, kemudian diikuti lebar kanopi cabai hibrida dan cabai lokal masing-masing 45,26 cm dan 43,74 cm. Dengan demikian, semakin tinggi tanaman maka
produksi buah akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman sangat memengaruhi produksi buah cabai. Dengan semakin tinggi tanaman maka akan meningkatkan
percabangan tanaman sehingga kemungkinan produksi bunga dan buah juga meningkat Sujitno dan Dianawati, 2015.
Hasil analisis keragaman terhadap jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang pada fase pertumbuhan 3 MST sampai dengan 15 MST masing-masing varietas disajikan pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Rerata jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST, dan 15 MST.
Parameter Perlakuan
Kencana Hibrida
Lokal Jumlah Daun helai
3 MST 107,83 a
106,78 a 87,80 b
6 MST 157,36 a
166,30 a 133,89 b
9 MST 349,88 a
318,64 a 355,59 a
12 MST 388,08 a
392,08 a 373,08 a
15 MST 484,69 a
490,95 a 486,99 a
Jumlah Tunas 3 MST
5,90 a 5,41 a
6,09 a
6 MST 10,73 b
10,48 b 11,76 a
9 MST 9,50 c
10,68 b 11,99 a
12 MST 9,50 b
9,91 b 11,99 a
15 MST 9,50 b
9,91 b 11,99 a
Jumlah Cabang 3 MST
2,15 a 2,44 a
0,75 b
6 MST 4,66 a
4,04 b 2,79 c
9 MST 7,60 a
7,20 a 5,95 b
12 MST 9,71 a
9,41 a 7,88 b
15 MST 11,73 a
11,88 a 10,49 b
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 uji DMRT. Sumber: Data primer terolah 2015.
Parameter jumlah daun menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas kencana dan hibrida terhadap varietas lokal pada umur tanaman 3 MST dan 6 MST dan selanjutnya
pada fase pertumbuhan tanaman 9 MST sampai dengan 15 MST tidak terdapat perbedaan yang nyata antar varietas. Varietas kencana dan hibrida mampu beradaptasi dengan baik dan masa juvenilitasnya
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan varietas lokal, hal tersebut ditunjukan pada jumlah daun yang terbentuk lebih banyak yaitu varietas kencana 107,83 helai dan vareitas hibrida 106,78 helai pada
umur 3 MST, sedangkan pada umur 6 MST jumlah daun yang terbentuk tertinggi pada varietas hibrida berjumlah 166,30 helai yang diikuti oleh varietas kencana berjumlah 157,36 helai.
Hasil analisis terhadap parameter jumlah tunas yang terbentuk terdapat perbedaan yang nyata pada varietas lokal terhadap varietas kencana dan hibrida pada fase pertumbuhan jumlah tunas dari
umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST, dimana jumlah tunas yang terbentuk tertinggi yaitu varietas lokal sebanyak 11,99 tunas dan mulai konstan pada umur 9 MST sampai umur 15 MST.
Dari parameter jumlah cabang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas kencana dan hibrida dibandingkan dengan varietas lokal pada umur 3 MST, 9 MST, 12 MST dan 15
MST. Sedangkan pada umur 6 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas hibrida dan varietas lokal. Pada fase pertumbuhan 15 MST menunjukkan bahwa jumlah cabang
tertinggi yaitu varietas hibrida sebanyak 11,88 cabang, diikuti oleh varietas kencana sebanyak 11,73 cabang dan terendah varietas lokal sebanyak 10,49 cabang. Perbedaan keragaan pertumbuhan masing-
masing varietas ditentukan oleh sejumlah genotipe dan mempunyai kemampuan beradaptasi yang
335
berbeda terhadap lingkungan tertentu. Ciri -ciri tertentu dari suatu pertumbuhan dipengaruhi oleh genotipe sedangkan yang lainnya dipengaruhi oleh lingkungan Marliah et al., 2011.
Komponen Pertumbuhan Generatif
Komponen pertumbuhan generatif yang diamati selama pengkajian terhadap ketiga varietas yaitu jumlah bunga, jumlah buah, hasil panen dan panjang buah. Hasil analisis keragaman disajikan
pada Tabel 4, 5, dan 6. Tabel 4. Rerata jumlah bunga tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST,
dan 15 MST tahun 2015.
Parameter Perlakuan
Kencana Hibrida
Lokal Jumlah Bunga
3 MST 4,60 a
5,84 a 1,44 b
6 MST 17,00 a
18,99 a 6,38 b
9 MST 64,08 a
35,00 b 47,91 b
12 MST 68,78 a
33,09 c 45,64 b
15 MST 81,34 a
23,16 c 39,06 b
Jumlah Buah 3 MST
0,00 a 0,08 a
0,00 a 6 MST
2,80 a 3,28 a
0,38 b 9 MST
46,39 a 52,94 a
27,71 b 12 MST
62,46 a 65,41 a
37,83 b 15 MST
69,21 a 75,83 a
54,46 b Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 uji DMRT. Sumber: Data primer terolah 2015
.
Hasil analsis terhadap jumlah bunga menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida berbeda nyata dibandingkan varietas lokal pada umur 3 MST dan 6 MST, namun pada umur 9 MST
sampai dengan umur 15 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas hibrida dan lokal. Sedangkan pada umur 12 MST dan umur 15 MST berbeda sangat nyata pada varietas
kencana dibandingkan dengan varietas hibrida. Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah bunga pada varietas kencana terjadi peningkatan dari umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST yaitu sebanyak
81,34 bunga, sedangkan varietas hibrida dan varietas lokal terjadi penurunan mulai umur 12 MST dan 15 MST. Penurunan jumlah bunga pada varietas hibrida dari 35,00 bunga menjadi 33,09 bunga dan
23,16 bunga, selanjutnya varietas lokal dari 45,64 bunga menjadi 45,64 bunga dan 39,06 bunga.
Hasil analisis pada parameter hasil panen per pohon terhadap tiga varietas menunjukkan bahwa varietas hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas kencana dan lokal pada hasil
panen kesatu dan kedua, selanjutnya tidak ada perbedaan yang nyata hasil panen ketiga dan keempat pada semua varietas. Dari hasil panen pertama dan kedua menunjukkan bahwa varietas hibrida
menghasilkan hasil panen tertinggi 40,63 grampohon dan 50,20 grampohon, diikuti varietas kencana 17,09 grampohon dan 21,69 grampohon, dan selanjutnya varietas lokal 7,09 grampohon dan 18,31
grampohon Tabel. 5.
Tabel 5. Rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah yang diamati sampai minggu keempat.
Parameter Perlakuan
Kencana Hibrida
Lokal Hasil Panen gpohon
Ke-1 17,09 b
40,63 a 7,08 b
Ke-2 21,69 b
50,20 a 18,31 b
Ke-3 51,04 ab
69,59 a 42,91 a
Ke-4 29,60 a
37,10 a 29,60 a
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 uji DMRT.
Dari Tabel5 menunjukkan bahwa varietas kencana dan varietas lokal mengalami peningkatan hasil panen yang signifikan dibandingkan varietas hibrida. Hasil panen keempat pada semua varietas
336
mengalami penurunan, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa varietas kencana sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan pertumbuhannya.
Penurunan hasil panen cabai hibrida dibandingkan dengan hasil panen pertama diduga tidak optimalnya pertumbuhan tanaman karena disebabkan oleh kekurangan air pada fase pertumbuhan
vegetatif hingga generatif tanaman sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dimana fungsi air merupakan komponen lingkungan abiotik yang sangat diperlukan oleh tanaman
dalam menyerap absorbsi unsur hara dari dalam tanah dan membantu proses fotosintesis. Menurut Syukur et al. 2010 tingkat produksi cabai akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan cabai
tersebut ditanam dan genotipenya.
Hasil pengamatan terhadap jumlah bunga juga menunjukkan penurunan jumlah bunga pada varietas hibrida dan varietas lokal, sedangkan pada varietas kencana tidak terjadi penurunan jumlah
bunga tapi diduga terjadinya penurunan hasil panen disebabkan oleh bunga yang terbentuk menjadi buah menurun dan juga secara morfologis buah yang dihasilkan varietas kencana tidak sepanjang
varietas hibrida dan varietas lokal.
Hasil analisis terhadap rerata panjang buah terhadap tiga varietas cabai merah disajikan pada Tabel. 6 berikut:
Tabel 6. Rerata panjang buah tiga varietas cabai merah tahun 2015.
Perlakuan Panjang Buah cm
Kencana 10,94 b
Hibrida 11,99 ab
Lokal 12,76 a
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 uji DMRT.
Sumber: Data primer terolah 2015 .
Berdasarkan hasil analisis terhadap panjang buah menunjukkan bahwa panjang buah varietas lokal berbeda nyata dengan varietas kencana, varietas lokal dengan varietas hibrida tidak berbeda
nyata, sedangkan varietas hibrida dengan varietas kencana tidak berbeda nyata. Dari hasil pengukuran bahwa varietas lokal memiliki panjang buah terpanjang 12,76 cm yang diikuti oleh varietas hibrida
11,99 cm dan terpendek varietas kencana 10,94 cm Gambar 1.
Gambar 1. Keragaan panjang buah cabai varietas hibrida, kencana dan lokal
Penurunan rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah keriting pada minggu keempat juga diduga interval panen yang terlalu dekat dan akibat cekaman lingkungan abiotik
terutama pada curah hujan dan hari hujan pada saat pertumbuhan generatif tanaman, hal tersebut sejalan dengan Yusniwati et al. 2008 bahwa cekaman kekeringan pada pertumbuhan reproduktif
mengakibatkan ketidaknormalan pembungaan, aborsi embrio, ketidaknormalan perkembangan biji dan buah.
337
KESIMPULAN
Cabai merah varietas Kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim kekeringan dan dapat ditanam diluar musim dengan hasil rerata sebanyak 129,32 gpohon. Dengan
demikian penggunaan varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa Mojorejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong.
DAFTAR PUSTAKA
Aribawa, I.B. dan I.K. Karida. 2014. Adaptasi beberapa klon cabai di lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi pertanian spesifik
lokasi. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014. halaman: 413-418. BPS,
2015. Kabupaten
Rejang Lebong
Dalam Angka
2015. http:rejanglebongkab.
bps.go.idwebbetabackendpdf_publikasistatistik-daerah-kabupaten-rejang-lebong -
statistik-daerah-kecamatan-selupu-rejangg-2015 .pdf [diakses pada tanggal 22 Desember
2015]. Karida, I.K. dan I.B. Aribawa. 2014. Adaptasi beberapa galur cabai Capsicum annum secara organik
pada lahan medium iklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional pertanian organik. Bogor, 18-19 Juni 2014, halaman: 233-238.
Kementan, 2015. Produktivitas sayuran Indonesia dan produktivitas cabai besar menurut provinsi tahun 2010-2014.
http:www.pertanian.go.idap_pagesmoddatahorti . [diakses tanggal 4
Januari 2015]. Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1970. Vegetable production in Southeast Asia. Univ. of Phillipines
College of Agricultural College. Los Banos, Laguna, Phillipines. P: 97-133. Marliah, A., M. Nasution, dan Armin. 2011. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas cabai merah
pada media tumbuh yang berbeda. J. Floratek 6: 84-91. Sujitno, S. dan M. Dianawati. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit
Capsicum frutescens di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat. Prosiding seminar nasional masyarakat biodiversitas Indonesia. Juli 2015, Vol 1, No. 4, hal: 874-877.
Sumarni, N., dan A. Hidayat. 2005. Juknis Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan HortikulturaBadan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., dan Kusumah, D. A. 2010. Evaluasi daya hasil cabai
hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. Jurnal Agronomi Indonesia Indonesian Journal of Agronomy
: 38 1: 43-51. Wien, H.C. 1997. The physiology of vegetable crops. Cab. International.
Yusniwati, Sudarsono, H. Aswidinnoor, S. Hendrastuti, dan D. Santoso. 2008. Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap pertumbuhan, hasil, dan kandungan prolina daun cabai. Agrista Vol
12, No. 1, hal: 19-27.
338
ANALISIS USAHATANI CABAI MERAHDENGAN TEKNOLOGI ANJURAN DI DESA LUBUK SAUNG, KECAMATAN BANYUASIN III, KABUPATEN BANYUASIN,
SUMATERA SELATAN RED CHILI PRODUCTION ANALYSIS USING SUGGESTED TECHNOLOGY IN LUBUK
SAUNG VILLAGE, SUB –DISTRICT BANYUASIN III, BANYUASIN REGENCY, SOUTH
SUMATERA Maya Dhania Sari, Dedeh Hadiyanti, Suparwoto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Burlian No. 83 Km. 6 Palembang
e-mail : mayadhaniasarigmail.com
ABSTRAK
Cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi. Namun produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan relatif masih rendah, oleh karena itu diperlukan
penerapan teknologi baru untuk meningkatkan produksi cabai merah. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi
petani, serta untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi anjuran. Pengkajian dilaksanakan di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan
April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator dengan luasan 2500 m
2
. Metode yang digunakan observasi dan dianalisis dengan uji kelayakan finansial BC dan MBCR. Kajian di lapangan
menggunakan 2 varietas, yakni varietas Kencana dan varietas Lokal sebagai pembanding. Dalam pengkajian ini petani kooperator menerapkan paket teknologi anjuran, yakni menggunakan Varietas
Kencana dan pemakaian pupuk kandang, Sedangkan petani non kooperator menerapkan teknologi cara petani setempat. Hasil menunjukkan produksi cabai merah pada penerapan teknologi anjuran sebesar
6,48 tonha, sedangkan produksi yang dicapai dengan teknologi petani sebesar 1,8 tonha. Pendapatan pada penerapan teknologi anjuran Rp.100.538.000musim BC 3,42 lebih besar daripada pendapatan
teknologi petani Rp. 26.763.000musin BC 2,9, dan nilai MBCR 3,72. Dengan demikian teknologi anjuran layak untuk dikembangkan.
Kata Kunci:
Cabai Merah, Pendapatan, Teknologi anjuran
ABSTACT
Red Chili is one of horticultural commodity that has a high economic value. It is too bad that the production of the Red Chili in South Sumatera is still low. Because of that, it is important to implement
new technology in order to increase the production of Red Chili. The goal of this research is to know the income of Red Chili farmer and appropriateness of using the suggested technology by using
superior variety and manure. The research was held in Desa Lubuk Saung, Banyuasin III District, Banyuasin Regency, South Sumatera from April 2015 until December 2015, in a 2500m
2
field. Research methods were observation. Then, the data were analyzed using financial BC and MBCR
qualification. Field study used 2 varieties. Those were Kencana and Local variety as comparison. In the research, volunteer farmer used Kencana, and manure. While non-volunteer used local method.
The result showed that the suggested technology produced 6.48 tonha, while local method only produced 1.8 tonha. The income of the suggested technology is Rp100.538.000season BC 3.42. It
is much bigger than local methods that only gained Rp26.763.000season BC 2.9 and MBCR 3.72. Thus, suggested technology is worth to be implemented.
Keywords: Red Chili, Income, Suggested Technology.
339
PENDAHULUAN
Cabai Capsicum annuum, L. termasuk suku Selaneceae merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang tidak tersubstitusi, mempunyai nilai ekonomi dan dayaguna yang tinggi, serta
daya adaptasi yang kuat. Berbagai daya tarik tersebut menyebabkan minat masyarakat petani dalam mengusahakan cabai sebagai kooditas andalan meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Wahyudi, D dan Sehat Tan, S, 2010. Komoditas ini memiliki potensi sebagai jenis sayuran buah untuk dikembangkan karena cukup penting peranannya
baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah, nasional maupun komoditas ekspor. Dengan beragamnya kebutuhan manusia dan makin berkembangnya teknologi, maka kebutuhan bahan baku
cabai akan terus meningkat di setiap tahunnya.
Beberapa alasan penting pengembangan komoditas cabai merah besar, antara lain adalah 1 tergolong sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi, 2 merupakan salah satu komoditas sayuran
unggulan nasional, 3 menduduki posisi penting dalam hampir seluruh menu masakan di Indonesia, 4 memiliki prospek ekspor yang baik, 5 mempunyai daya adaptasi yang luas, dan 6 bersifat
intensif dalam menyerap tenaga kerja Saptana et al, 2010.
Tanaman cabai merah Capsicum annuum L. adalah tumbuhan perdu yang berkayu, dan buahnya berasa pedas yang disebabkan oleh kandungan kapsaisin. Di Indonesia tanaman tersebut
dibudidayakan sebagai tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan. Namun demikian, syarat-syarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh
pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil buah yang tinggi. Potensi hasil cabai merah sekitar 12-20 t ha. Sumarni dan M uharram, 2005.
Rata-rata produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan periode tahun 2011-2015 sebesar 2,71 tonha, masih sangat rendah bila dibandingkan rata-rata produksi nasional pada periode yang
sama sebesar 8,16 tonha BPS, 2015. Hidajat et al. 2000 menyatakan penyebab rendahnya produktivitas, antara lain tidak menggunakan benih bermutu.. Rendahnya produksi di Sumatera
Selatan disebabkan karena sebagian petani masih menggunakan benih varietas lokal. Menurut Sumarni dan Muharam 2003, penggunaan benih berkualitas merupakan kunci utama memperoleh hasil yang
tinggi. Selain menggunakan benih varietas unggul, pemakaian pupuk kandang sesuai rekomendasi juga sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi cabai merah. Dalam budidaya cabai, pemakaian
pupuk kandang atau kompos merupakan kebutuhan pokok, disamping penggunaan pupuk buatan. Pupuk kandang atau kompos, selain dapat mensuplai unsur hara bagi tanaman terutama hara mikro,
juga dapat memperbaiki struktur tanah, memelihara kelembaban tanah, mengurangi pencucian hara, dan meningkatkan aktifitas biologi tanah Sumarni dan Muharam, 2003.
Untuk meningkatkan produksi cabai merah di Sumatera Selatan, maka diperlukan perbaikan teknologi budidayanya. Penggunaan varietas unggul dan pemupukan sesuai rekomendasianjuran
merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas cabai merah. Varietas Kencana merupakan cabai keriting unggul baru di lepas tahun 2011 yang harus
dikembangkan dan diintroduksikan ke berbagai sentra produksi cabai karena mempunyai karakteristik yang menonjol seperti toleran terhadap genangan dan berdaya hasil tinggi di atas 20 tonha. Introduksi
cabai varietas Kencana diharapkan mampu memenuhi pasokan cabai sepanjang tahun untuk mengatasi gejolak harga cabai yang selalu terjadi terutama pada musim basah dan kemarau basah sehingga
kebijakan swasembada cabai yang diinginkan dapat terpenuhi Setiawati, W et al, 2016. Oleh karena itu diharapkan dengan teknologi yang dianjurkan kepada petani dapat meningkatkan hasil cabai
merah, sehingga pendapatan petani juga bertambah. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani cabai merah
dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi petani, serta untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi anjuran.
340
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator
dengan luasan 2500 m
2
. Pengkajian menggunakan metode observasi.Dalam pengkajian ini petani kooperator menerapkan paket teknologi anjuran budidaya cabai merah dan petani non kooperator
menerapkan teknologi cara petani setempat. Komponen teknologi anjuran terdiri dari penggunaan varietas unggul dan pupuk kandang. Secara rinci teknologi anjuran dan teknologi petani budidaya
cabai merah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen tekologi budidaya cabai merah di Desa Lubuk Saung,Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan
No. Komponen teknologi
Teknologi anjuran Teknologi cara petani
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
Benih Varietas
Pengolahan tanah Penanaman
Pemupukan kgha Pupuk kandang
Penyiangan gulma Pengedalian OPT
Berlabelbermutu Unggul Kencana
Tanah diolah + bedengan Jarak tanam 60 x 60 cm
400 kg ureaha, 400 kg SP-36ha, 200 kg KCLha, 200 kg NPKha
20 tonha Penyiangan
dilakukan 2-3
kalitergantung kondisi lapang Sistem monitoring
Petani Lokal
Tanah diolah + bedengan Jarak tanam 60 x 60 cm
150 kg ureaha, 200 kg SP-
36ha, 200 kg KCLha, 400 kg NPKha
700 kgha 2-3 kali
Kadang-kadang Sumber: Data primer 2016
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan sisa tanaman dan rumput. Kemudian tanah diolah sebanyak dua kali sedalam 30-40 cm dan dibuat guludan setinggi ±30 cm dengan jarak antar
guludan ±50 cm. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm. Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan. Penyiangan dilakukan 3 kali pada umur 2, 4 dan 8 minggu setelah tanam, dengan cara
manualmencabut gulma. Penyiangan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pembumbunan
Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam disebarkan merata di atas garitan, dicampur pada tanah bedengan atau diberikan pada lubang tanam sebagai pupuk dasar. Pemberian
pupuk urea dilakukan pada saat tanam dan pada waktu tanaman berumur satu bulan, sedangkan pupuk SP-36, NPK dan KCl diberikan seluruhnya pada tanaman umur satu minggu setelah
tanam.Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman OPT dilakukan sesuai dengan jenis dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan hama dan penyakit tersebut. Data dianalisis disusun secara
tabulasi dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif.
Komponen teknologi pada penelitian ini tidak menggunakan mulsa dikarenakan petani di Desa Lubuk Saung Kabupaten Banyuasin menerapkankan pola tanam cabai merah
– katuk – palawija. Katuk merupakan salah satu komoditas sayuran andalan petani setempat. Penggunaan mulsa
mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman katuk dan palawija.
Analisis Data
Parameter yang diamati pada pengkajian ini meliputi produktivitas cabai merah, sarana produksi dan tenaga kerja. Analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis imbangan
pendapatan atas biaya BC Malian, 2004 RAVC
B C ratio = ------------- TVC
Dimana: BC ratio
= Nisbah pendapatan terhadap biaya P
= Harga jual Rpkg TVC
= Biaya Total Rphamusim RAVC
= QxP – TVC
Q = Total produksi kghamusim
Dengan keputusan: BC Ratio 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan
BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas BC Ratio 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan
341
Untuk melihat tingkat kelayakan teknologi dilakukan analisis marginal benefit cost ratio MBCR yang digunakan sebagai berikut:
MBCR = Pendapatan usahatani pola perbaikan – pendapatan usahatani pola petani dibagi dengan
biaya usahatani pola perbaikan – biaya usahatani pola petani.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Desa Lubuk Saungtermasuk Saung Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin memiliki luas wilayah 149 hektar. Secara umum lahan di Desa Lubuk Saung merupakan lahan kering yang
ditanami karet, palawija, dan sayuran seperti cabai merah dan katuk. Petani di Desa Lubuk Saung menanam cabai merah pada musim penghujan dari bulan September sampai Oktober. Varietas cabai
merah yang digunakan petani yaitu varietas lokal hasil seleksi sendiri. Sebagian besar petani memiliki lahan sendiri. Petani yang tidak memiliki lahan menyewa lahan garapan dengan sistem bagi hasil.
Analisis Usahatani Cabai Merah
Untuk mengetahui sejauh mana teknologi anjuran dapat meningkatkan pendapatan petani di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, maka dilakukan analisa
usahatani seperti pada tabel 2. Tabel 2.
Hasil analisis usahatani cabai merah dengan luasan 10.000 m2 di DesaLubuk Saung
No Uraian
Teknologi Anjuran Teknologi Petani
Nilai Rp Nilai Rp
I Kebutuhan Saprodi
Benih Urea
Sp-36 KCL
NPK Pupuk Kandang
Pestisida Total A Rp
300.000 880.000
112.000 1.600.000
1.700.000 12.000.000
1.020.000 17.612.000
1,0 3,0
0,4 5,5
5,9 41,3
3,5 60,6
35.000 250.000
410.000 1.520.000
800.000 700.000
730.000 4.427.000
0,4 2,7
4,4 16,5
8,7 7,6
7,9 47,9
II Tenaga kerja
Pengolahan lahan Persemaian
Penanaman Pemupukan
Penyiangan Pengendalian Hama Penyakit
Pemanenan Total B Rp
600.000 50.000
200.000 300.000
100.000 600.000
9.600.000 11.450.000
2,1 0,2
0,7 1,0
0,3 2,1
33,0 39,4
400.000 50.000
200.000 200.000
100.000 500.000
3.360.000 4.810.000
4,3 0,5
2,2 2,2
1,1 5,4
36,4 52,1
Total A + B Rp 29.062.000
100 9.237.000
100
Hasil cabai kg1ha Harga cabai Rpkg
Penerimaan Pendapatan
BC ratio MBCR
6.480 20.000
129.600.000 100.538.000
3,45 3,72
1.800 20.000
36.000.000 26.763.000
2,9
Sumber: Data primer 2016
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya produksi pada teknologi anjuran lebih besar dibandingkan dengan teknologi petani. Biaya produksi usahatani teknologi anjuran paling banyak
dikeluarkan untuk pembelian pupuk kandang sebesar 41,3 Rp. 12.000.000,- dari biaya produksi. Besarnya biaya produksi dari penggunaan Varietas Unggul Varietas Kencana dan pupuk kandang
berbanding lurus dengan hasil yang dicapai, yaitu sebesar 6,48 tonha lebih besar dibandingkan teknologi petani sebesar 1,8 tonha. Sepwanti et al 2016 menyatakan bahwa Varietas Unggul
merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani cabai.
342
Pemakaian pupuk kandang juga berperan penting dalam peningkatan hasil cabai merah. Menurut Las et al 2003, peran teknologi varietas dan pemupukan sangat nyata dalam peningkatan
produktivitas maupun produksi. Simamora 2006 menyatakan bahwa suatu tanaman akan tumbuh subur apabila unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dalam bentuk yang sesuai untuk diserap
tanaman. Pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah melalui perannya sebagai sumber makanan mikroba di dalam tanah Sugito et al., 1995.
Besarnya hasil dari usahatani dengan teknologi anjuran menyebabkan meningkatnya pendapatan petani. Dengan harga jual cabai merah saat panen Rp. 20.000,-, petani memperoleh
pendapatan sebesar Rp. 100.538.000,-., lebih besar dari pendapatan dengan menggunakan teknologi petani sebesar Rp. 26.763.000,- . Besarnya pendapatan ini menunjukkan bahwa teknologi anjuran
layak diusahakan dengan nilai MBCR 3,72. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparwoto et al 2012, yang meneliti peningkatan pendapatan petani cabe merah melalui perbaikan teknologi
usahatani di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa teknologi perbaikan budidaya cabe merah memberikan keuntungan lebih besar daripada teknologi petani.
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan: 1. Pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran sebesar Rp. 100.538.000,-
lebih besar dari teknologi petani Rp. 26.763.000,- 2. Teknologi penggunaan Varietas Unggul Varietas Kencana dan pemakaian pupuk kandang layak
untuk diterapkan, dengan nilai BC 3,45 dan MBCR 3,72
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat
Statistik dan
Direktorat Jenderal
Hortikultura. 2015.
www.pertanian.go.idData5tahunHortiBEM2015 Hidayat, A., R. Rosliani, A.A. asandhi, dan N. Sumarni. 2003. Optimasi penggunaan input produksi
dalam usahatani sayuran Leisa di dataran tinggi. Laporan Hasil Penelitian. Balitsa. Lembang.
Las, I., B. Suprihatno, A.A.Drajat, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. 2003. Innovasi teknologi varietas unggul padi : Pekembangan, arah dan strategi ke depan. Dalam Ekonomi Padi dan
Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Malian, A. Husni. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi pada skala
pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif The Participating Development of technology
Transfer Project PAATP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Marlina, Neni. 2010. Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang Pada Cabai Merah Capsicum annum. Jurnal Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang.
Saptana; Daryanto, A; Daryanto, H.K; dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Resiko. Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 28 No.2, Oktober 2010 : 153 – 188
Sepwanti, C; Rahmawati, M; Kesumawati, E. 2016. Pengaruh Varietas dan Dosis Kompos yang Diperkaya Trichoderma harzianum Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai Maerah
Capsicum annuum L.. Jurnal Kawista 11;68-74. Setiawati, W; Koesandriani, Y; Hasyim, A. 2016. Sumbangsih Cabai Keriting Varietas Kencana
Dalam Menghadapi
Kebijakan Swasembada
Cabai. http:hortikultura.litbang.pertanian.go.idBuku_Inovasi45-
57.Wiwin20S20sumbangsih20cabai20keriting.pdf 15 Oktober 2016.
Simamora, S. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia, Jakarta. Sugito Y, Nuraini Y, Nhayati E. 1995. Sistem pertanian organik. Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya. Malang Sumarni, N dan Muharam, A. 2003. Budidaya Cabai Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Lembang. Wahyudi, D dan Sehat Tan, S. 2010. Kajian Efektivitas Media Diseminasi Dalam Inovasi Teknologi
PTT Cabai di Kabupaten Cirebon dan Ciamis Propinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di Pedesaan. ISBN 978-979-1415-49-1.
343
PERANAN PENDAMPINGAN TEKNOLOGI TERHADAP PENINGKATAN PENEGETAHUAN PETANI DAN PRODUKSI CABE DI BENGKULU
MENTORING ROLE TECHNOLOGY TO INCREASE FARMERS KNOWLEDGE AND CHILI PRODUCTION AT BENGKULU
Ruswendi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119
e-mail : wendi_poloyahoo.com
ABSTRAK
Pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, merupakan suatu wujud peningkatan produksi hortikultura dan pendapatan petani secara nasional.
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan tanaman hortikultura, termasuk komoditas cabe.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendampingan pengembangan kawasan cabai terhadap peningkatan kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe di Bengkulu.
Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan metode survei, dilakukan di 5 Kabupaten pada tahun 2015. Metode pendampingan yang dilakukan melalui
pertemuan tatap muka dan pelatihan. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, timgkat pengetahuan responden terhadap
usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara, tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya before and after
. Hasil kajian menunjukan adanya pengaruh diseminasi pendampingan pada petani, terhadap perbaikan kemampuan penguasaan usahatani cabe, terutama terhadap komponen teknologi
penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam sebesar 47,37; 38,89 dan 33,33. Serta juga berdampak pada peningkatan luas garapan petani sebesar 22,22 dari sebelum
pendampingan rata-rara 0,207 ha menjadi 0,253 ha setelah pendampingan dan peningkatan produksi cabai merah sebesar 28,57 dari sebelum pendampingan rata-rara sebanyak 4,13 tha menjadi 5,31
tha setelah pendampingan. Kata kunci :
Pendampingan, peningkatan, pengetahuan petani, produksi cabe, Bengkulu
ABSTRACT
Mentoring the development of horticulture agribusiness region, represents one of the efforts to increase horticultural production and farmer income nationally. Bengkulu Province is one of the
areas that have potency in the development of horticultural crops, including chili. This study aims to understand the impact of Mentoring the development of horticulture agribusiness regionto capacity
and production improvement of farmers in chili farming on Bengkulu Province. Dissemination of Mentoring the development of horticulture agribusiness regionwere done by survey conducted in 5
regency in 2015. The method conducted through face to face meetings and training. Data were collected at the beginning and the end of the mentoring activities, in the form of primary data consist
of; characteristics, respondents knowledge level of chili farming, production, constraints and problem solving. Data were collected through interviews, face-to-face meeting and focused meetings using
questionnaires. Data were analyzed using descriptive analysis comparing the results achieved with previous results before and after. Results of the study shows the influence of dissemination
mentoring to farmers, the improvement in the ability of chili farming, especially the use of organic fertilizers technology components; the use of improved varieties; and planting system at 47.37;
38.89 and 33.33. As well as the impact on farmers of arable area increase of 22.22 from the prior mentoring average 0.207 ha to 0,253 ha after mentoring and increased production of red chili
28.57 of the average before mentoring 4.13 tha to 5.31 tha after mentoring.
Keywords: Mentoring, Increase, farmers knowledge, Chili production, Bengkulu
344
PENDAHULUAN
Kebijakan pendampingan pengembangan kawasan pertanian nasional, merupakan suatu wujud peningkatan produksi pangan nasional dan pendapatan petani melalui implementasi inovasi dan
transfer teknologi dalam suatu model diversifikasi usahatani secara terpadu. Termasuk pendampingan pengembangan hortikultura komoditas cabe yang merupakan salah satu pangan unggulan nasional dan
diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian, mewujudkan pemerataan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi di daerah Kementan, 2014.
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi dalam pengembangan komoditas hortikultura, termasuk cabe merah sebagai komoditas pangan unggulan
nasional yang pengembangannya tersentra di daerah dataran tinggi dan medium. Tanaman cabe merah mempunyai daya adaptasi cukup luas dari dataran tinggi sampai dataran rendah, namun rerata
produktivitas cabe merah relatif rendah yaitu hanya sekitar 5,61 tha Kementan, 2011 bila dibandingkan dengan potensi hasil yang berkisar antara 12
–20 tha Soetiarso dan Setiawati, 2010. Namun komoditas cabe merah ini selain merupakan salah satu jenis tanaman sayuran bernilai ekonomi
tinggi juga memiliki karakteristik unik, yaitu; merupakan ikon nasional sekaligus sebagai pemicu inflasi; memiliki sebaran wilayah dan potensi pasar cukup luas. Maka untuk pengembangannya
diperlukan dukungan pemerintah Dirjen Hortikultura, 2013.
Hal ini mulai diwujudkan dengan program pengembangan kawasan hortikultura komoditas cabe, dengan sasaran untuk peningkatan produktivitas dan pengendalian senjang harga dan fluktuasi
produksi menjadi lebih merata sepanjang tahun. Sehinggadiperlukan inovasi pola produksi cabe merah yang dapat menghasilkan sepanjang tahun, sekaligus mendukung pendapatan petani cabe merah
menjadi lebih stabil dan terus-menerus.
Melalui pendampingan ini sangat memberi peluang petani cabe untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan guna menjamin produktivitas dan kualiltas hasil
tanaman cabe diwilayah sentra produksi, serta percepatan penyebaran atau diseminasi inovasi bagi pengguna. Baik itu aspek peningkatan teknologi produksi dan pengemdalian HPT, panen dan
pascapanen, pemberdayaan petani, penguatan kelembagaan serta mendorong terjadinya kemitraan. Sehingga perlu diketahui sampai sejauh mana
pengaruh pendampingan pengembangan kawasan
produksi cabe dan introduksi inovasi teknologi sesuai kondisi wilayah, terhadap peningkatan
kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe merah di Bengkulu.
METODE PENELITIAN
Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan metode survei, dilakukan pada Tahun 2015 pada 5 lima wilayah kawasan pengembangankomoditas
cabe, meliputi; 1 Kabupaten Rejang Lebong, 2 Kabupaten Kepahiang, 3 Kabupaten Lebong, 4 Kabupaten Kaur, dan 5 Kabupaten Mukomuko. Metode pendampingan dilakukan secara bertahap
melalui pendekatan; secara parisipatif, pertemuan tatap muka, pelatihan serta penyiapan dan penyebaran bahan informasi sesuai kondisi. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan
pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, tingkat pengetahuan responden terhadap usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara,
tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya
before and after.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kajian diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabeterhadap peningkatan pengetahuan petani dan produksi cabe di Bengkulu yang dilaksanakan di 5
lima wilayah kawasan pengembangan komoditas cabe, antara lain di; 1 Kabupaten Rejang Lebong, 2 Kabupaten Kepahiang, 3 Kabupaten Lebong, 4 Kabupaten Kaur, dan 5 Kabupaten Mukomuko,
memberikan gambaran hasil yang meliputi :
345
Karakteristik Petani Cabe
Keadaan karakteristik petani di wilayahpengembangankawasan cabe menggambarkan tingkat keragaman cukup bervariasi, bila dilihat berdasarkan kondisi umur berkisar antara 29
–51 tahun dengan tingkat pendidikan 6
–12 tahun SD sampai SLTA serta pengelolaan lahan usahatani cabe antara 0,1
–0,3 ha dan pengalaman usahatani cabe 2–10 tahun Tabel 1. Terlihat bahwa petani cabe pada sentra kawasan pengembangan memiliki umur rata-rata 40,63
tahun dan secara umum masih tergolong usia produktif, berkisar antara 29 tahun sampai dengan 51tahun. Dilihat dari sebaranumur petani terlihat dari sebaran umur pelaku usahatani cabe, jumlah
terbesar berada pada kelompok umur 31 –40 tahun43,33 dan umur 41–50 tahun 40,00. Kondisi
ini jelas memperlihatkan petani di wilayah kawasan pengembangan cabe merupakan pelaku usaha produktif dan sangat berpotensi dalam pengembangan usahatani cabe dan pengembangan inovasi
teknologi sesuai sumberdaya pertanian wilayah, karena menurut Suharyanto et all., 2001 secara umum tenaga kerja sektor pertanian masih didominasi tenaga kerja dengan umur 50 Tahun. Artinya
pelaku usaha di wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu umumnya berada pada kondisl fisik produktif, yaitu mencapai 93,33 berada pada usia
50 tahun. Tabel 1. Karakteristik responden di sentra kawasan pengembangan cabe berdasarkan kelompok;
umur, pendidikan, penggelolaan lahan dan pengalaman usaha.
No. Karakteristik Petani Contoh
Kelompok Jumlah orang
1. Umur tahun
20 –30
31 –40
41 –50
51 –60
3 13
12 2
10,00 43,33
40,00 6,67
Jumlah 30
100,00 2.
Pendidikan tahun 6
9 12
2 20
8 6,67
66,67 26,66
Jumlah 30
100,00 3.
Luas lahan usaha ha 0,1
0,2 0,3
2 8
20 6,67
26,66 66,67
Jumlah 30
100,00 4.
Pengalaman usaha tahun 2
–4 5
–7 8
–10 14
10 6
46,67 33,33
20,00
Jumlah 30
100,00 Sumber : Data terolah 2016.
Begitu juga dengan tingkat pendidikan petani padasentra kawasan pengembangan cabe selain memiliki kondisi fisik sangat produktif rata-rata berumur 40,63 tahun, juga memiliki jenjang
pendidikan cukup layak. Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan berada pada level pendidikan 6
tahun setingkat SD, yaitu sebesar 66,67 berada pada jenjang pendidikan 9 Tahun setingkat SMP dan 26,66 pada jenjang pendidikan 12 Tahun setingkat SLTA. Jenjang pendidikan seseorang akan
mempengaruhi nilai-nilai dianut, cara berpikir, cara pandang, maupun persepsinya terhadap suatu masalah dihadapi Simanjuntak et all., 2010. Begitu juga Bandolan et all. 2008 menyampaikan,
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diaplikasikan dalam proses berusahatani. Dengan kondisi tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SMP dan SMA
ini akan sangat membantu petani kawasan cabe dalam proses transfer, menerima, dan mengaplikasikan inovasi teknologi pedampingan dan pembinaan secara terpadu serta. Kondisi ini secara tidak langsung,
juga dapat mendorong percepatan produktivitas usahatani cabe dan pendapatan masyarakat pada wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu.
Dilihat dari luas lahan usahatani, umunya petani pada wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu memiliki lahan usahatani antara 0,1
– 0,3 ha, atau dengan rerata luas lahan garapan sebesar ± 0,207 ha. Dimana rerata luas lahan garapan ini termasuk pada kategori lahan garapan dengan
jumlah terbesar berada pada luasan 0,3 ha berkisar antara 0,2
– 0,3 ha yang mencapai 66,67. Menurut Drakel 2008 besar kecilnya luas lahan diusahakan petani, akan mempengaruhi aktivitas
mereka dalam melakukan kegiatan usahatani. Kondisi luas lahan garapan petani cabe ini berkaitan dengan ketersediaan modal dan resiko uasahatani cabe yang culup tinggi, sehingga untuk dapat
346
meningkatkan produktivitas usahatani mereka perlu di dukung dengan berbagai inovasi yang secara bersamaan saling menguntungkan. Termasuk upaya pendampingan dalam bentuk kegiatan diseminasi
inovasi melalui pengawalan, percontohan, pelatihan dan pertemuan. Sudiman 2006 menyampaikan bahwa aktivitasyang dapat dilakukan individu untuk dapat meningkatkan kualitas keahliannya, adalah
melalui upaya pendidikan dan pelatihan.
Begitu juga dengan pengalaman usaha, umumnya petani pada sentra pengembangan kawasan cabe cukup variatif 2
– 10 tahun. Dilhat dari tingkatan kategori pengalaman usahanya, maka pengalaman usaha petani cabe tertinggi berada pada tingkatan kategori 2 - 4 tahun sebesar 46,67,
kemudian kategori 5-7 tahun dan 8-10 tahun masing-masing sebesar 33,33 dan 30,00. Karena pengalaman usaha merupakan faktor cukup berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani cabe yang
memerlukan pengembangan pengetahuan, kreativitas danketerampilan sesuai dengan kemajuan teknologi. Novia 2011 berpendapat, bahwa pengalaman usahatani sangat berpengaruh terhadap daya
respon, tanggapan, dan penerimaan terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada petani.
Pengalaman usaha ini juga berkaitan dengan umur pelaku usaha, dimana semakin tinggi umur seseorang akan semakin banyak pengalaman yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ber usahatani
cabe, semakin panjang umur petani semakin banyak pengalaman penerapan teknologi dan upaya penanganan dalam menghadapi permasalahan dalam keberhasilan petani berusahatani cabe. Selaras
dengan pendapat Latifah et all., 2010 bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka akan semakin banyak peluang dan cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan dialaminya.
Peranan Pendampingan
Kegiatan diseminasi pendampingan pengembangan kawasan agribisnis cabeyang dilaksanakan di Bengkulu, terfokus pada kegiatan pendampingan inovasi teknologi dan pengembangan kawasan
yang dilakukan melalui berbagai upaya diseminasi inovasi. Baik itu pertemuan tatap muka, pelatihan penyebaran media informasi maupun pecontohan langsung dilahan petani dengan harapan dapat
memberikan dukungan terhadap peningkatan; kemampuan, produksi, pendapatan dan pengembangan usahatani cabe. Berdasarkan kajian pada 5 wilayah pengembangan kawasan cabe, dapat digambarkan
peranan kegiatan pendampingan melalui implementasi inovasi teknologi yang dilakukan pada petani pegembangan kawasan cabe telah memberi pengaruh terhadap upaya perbaikan usahatani cabe, baik itu
dalam hal peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani; peningkatan produktivitas; dan pengembangan usahatani cabe di Bengkulu Tabel 2.
Peningkatan pengetahuan petani
Bila dilihat dari kajian peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani cabe, peranan pendampingan inovasi teknologi pada usahatani cabe di Bengkulu telah memberikan pengaruh positif
terhadap perbaikan pengetahuan petani pada penguasaan teknologi. Terutama dalam hal komponen teknologi penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam, tejadi
peningkatan sebesar 47,37; 38,89; dan 33,33. Dimana tingkat pengetahuan petani cabe sebelum dan sesudah pendampingan yang digambarkan berdasarkan penerapan komponen teknologi
penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam adalah sebesar 66, 67; 60,00; dan 60,00 sebelumnya menjadi 93, 33; 83,33; dan 80,00 sesudah pendampingan.
Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa melalui diseminasi inovasi teknologi,terlihat adanya peranan pendampingan dan pengawalan inovasi.Baik melalui pertemuan, pelatihan, percontohan dan
penyebaran bahan informasi berupa folder secara berkala, memperlihatkan adanya peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia terhadap penerapan inovasi yang semakin optimal pada
pengembangan kawasan cabe di Bengkulu. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan, serta kemampuan petani Demitriaet
all
. 2006.
347
Tabel 2. Pengaruh peranan pendampingan terhadap perbaikan peningkatan pengetahuan petani, produksi dan usahatani pada pengembangan kawasan cabe di Bengkulu.
No Peranan Pendampingan Terhadap Perbaikan
Pendampingan Peningkatan
Sebelum Sesudah
1. Pengetahuan penguasaan komponen teknologi;
- Pupuk organik 63,33
93,33 47,37
- Varietas unggul 60,00
83,33 38,89
- Sistim tanam 60,00
80,00 33,33
2. Produksi tha
4,13 5,31
28,57 3.
Luasan usahatani ha 0,207
0,253 22,22
Sumber : Data terolah 2016
Peningkatan produksi Seperti tergambar pada Tabel 2, terlihat adanya pengaruh peranan pendampingan teknologi
terhadap peningkatan produksi cabe pada wilayah pengembangan kawasan komoditas cabe di Bengkulu sebesar 28,57. Dimana sebelum pendampingan dilakukan produksi cabe rata-rata petani
hanya sebesar 4,13 tha dan setelah adanya kegiatan pendampingan produksi cabe rata-rata petani mencapai 5,31 tha atau terjadi peningkatan sekitar 1,18 tha. Peningkatan produksi cabe petani ini
selain berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan petani, secara tidak langsung berhubungan juga dengan peningkatan luasan garapan usahatani cabe. Ini terlihat dari luas garapan petani cabe rata-
rata sebelum pendampingan seluas 0,207 ha dan setelah pendampingan menjadi 0,253 ha, atau terjadi pengembangan luasan usahatani setiap petani sebesar 22,22. Saptana et all., 2010 menyatakan
bahwa luas lahan garapan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi cabe merah, dimana untuk penambahan 1 persen luas lahan garapan cabe merah dapat meningkatkan
produksi cabe merah besar sekitar 0,8575 persen.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan karakteristik petani, tingkatan umur, pendidikan, pengaalaman usaha dan luas garapan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemamapuan petani dan produksi cabe.
2. Kegiatan pendampingan inovasi teknologi pada petani pengembangan kawasan cabe telah berperan nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani dan peningkatan produksi cabe pada kawasan
pengembangan cabe di Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
Bandolan, Y., Aziz A. dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal
Agrisistem, Desember 2008, Vol. 4 No. 2. Demitria D, Harianto, Sjafri M dan Nunung. 2006. Peran Pembangunan Sumberdaya Manusia dalam
Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Pascasarjana. IPB. Vol.33. No.3. Juli 2010. hal. 155-164.
Dirjen Hortikultura. 2013. Program dan Kebijakan Pengembangan Hortikultura TA. 2013. Makalah disampaikan pada acara Workshop Evaluasi Outcome. Analisis Potensi Impact dan
Baseline Study. Tanggal 16-19 April 2013 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura di Solo. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian.
Jakarta
Drakel, A. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008.
Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Permentan no.50 tahun 2012. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Rancangan Model Pengembangan Kawasan Pertanian Tahun 2015- 2019. Kementerian Pertanaian RI. Jakarta
Latifah EK, Hartoyo dan Guhardjo S. 2010. Persepsi Sikap dan Strategi Koping Keluarga Miskin Terkait Program Konversi Minyak Tanah Ke LPG di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga
dan Konsumen, 3 2 : 122-132
348
Novia, R.A. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 2: 22 48-60.
Saptana, Daryanto A., Heny K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Risiko. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanaian. Bogor, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28. No.2, Oktober 2010 : 153
– 188. Simanjuntak M, Puspitawati H dan Djamaludin MD. 2010. Karakteristik Demografi Sosial dan
Ekonomi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan PKH. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 2 : 101-113.
Soetiarso, TA dan Setiawati, W. 2010. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem Tanam Dua Varietas Cabai Merah Di Dataran Tinggi. Badan Litbang Pertanian. J. Hort., vol. 20, no. 3, hlm.
284-98. Sudiman. 2006. Kajian Teoritis Pelatihan Ketrampilan Usaha Terpadu Bagi Petani Sebagai Upaya
Alih Komoditas. Tesis; Program Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta. Suharyanto, Destialisma dan I.A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi Teknologi
Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bali
. Denpasar.
349
PROSPEK PENGEMBANGAN BAWANG MERAH Allium ascolonicum L.
DI PROVINSI RIAU PROSPECTS OF SHALLOT Allium ascolonicum L. DEVELOPMENTIN RIAU PROVINCE
Rachmiwati Yusuf dan Sri Swastika
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Jl. KH Nasution 341 Marpoyan KM 10 Telp 0761-xxxxxx
e-mail : rachmi_2608yahoo.com
ABSTRAK
Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring peningkatan jumlah konsumen dan daya beli masyarakat. Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten
Kampar dan Kota Pekanbaru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keuntungan dan kelayakan pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya. Penelitian
dilakukan pada tahun 2015 di Pekanbaru dengan analisis deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan
wawancara langsung ke petani di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas
Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik BPS dan instansi terkait lain. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem budidaya bawang merah.
Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya RC Ratio. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
bersih petani bawang per musim panen sebesar Rp.252.000.000,00ha dengan kisaran RC ratio adalah 1,48 sampai 2,67, sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend
linear menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat prospektif berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per
kapita dalam rumah tangga setahun dalam 5 lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah kenaikan garis trend. Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di
Provinsi Riau antara lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar.
Kata Kunci:
Prospek, budidaya bawang merah, Provinsi Riau
ABSTRACT
The demand of shallot increased with increasing number of consumers and purchasing power. Riau Province is a particular area of development shallots Kampar Regency and Pekanbaru. The purpose
of this study was to determine the benefits and feasibility of shallot farmer income in Riau Province and its development prospect.The study was conducted in 2015 in Pekanbaru with descriptive
analysis. The data used in this study are primary data and secondary data. Primary data collection was done by direct interview to the farmers in the field. While secondary data is the data obtained
from institutions associated with the research institutions such as village and sub-district level, The Department of Agriculture, the Central Statistics Agency BPS and other related agencies.
Qualitative analysis was conducted to determine the conditions experienced by farmers in conducting system of shallot cultivation. Quantitative analysis is selected farm income analysis, and analysis of
the balance of receipts and expenses R C Ratio. The results showed that the average net income of farmers of onions per seasonRp.252.000.000,00 ha with a range of R C is 1.48 to 2.67, so that
businesses profitable onion and viable. Of linear trend indicates that the development of agribusiness shallot in Riau highly prospective based on data harvested area, production, productivity and per
capita consumption of shallot in a household a year within 5 five years continued to increase in the direction of the increase in the trend line. The Aspects support the development prospects of shallot in
Riau Province are the availability of land suitable for commodities shallots, government policies that support the development of onion and market opportunities.
Keywords : Prospect, Shallot cultivation, Riau Province
350
PENDAHULUAN
Bawang merah Allium ascolonicum L. merupakan salah satu komoditas tanaman sayuran dengan beragam manfaat antara lain sebagai sayuran, bumbu penyedap masakan, bahan obat
tradisional untuk kesehatan dan kecantikan. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan quercetin flavonoid pada bawang merah dapat mengobati katarak, penyakit jantung dan kanker dan senyawa
organosulfur dapat menurunkan tekanan darah dan kolesterol. Umbi bawang merah dapat dimanfaatkan untuk obat cacing, anti-inflamasi, antiseptik, antispasmodik, karminatif, diuretik,
ekspektoran, obat penurun panas, hipoglikemik, hipotensi, lithontripic, obat perut dan tonik Kumar, 2010.
Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah konsumen dan daya beli masyarakat. Dengan menjamurnya bisnis kuliner di berbagai daerah menjadi salah satu
penyebab meningkatnya kebutuhan pasar akan bawang merah. Jumlah produksi bawang merah nasional belum dapat memenuhi kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun ekspor. Bawang merah
memiliki pengaruh besar dalam perekonomian terutama terjadinya inflasi harga yang disebabkan dinamika produksi terutama saat off season.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan agribisnis bawang merah adalah ketersediaan benih bermutu. Keputusan penggunaan suatu jenis benih sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila benih yang akan digunakan tidak tersedia di lapang, maka sebagian besar petani pengguna benih lokal dan impor akan mencari benih
tersebut di tempat lain Theresia V dkk, 2016. Harga benih yang mahal menyebabkan petani tidak mampu membeli benih yang mengakibatkan areal pengusahaan bawang merah cenderung menurun.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ginting et al. 2013 yang menunjukkan bahwa koefisien harga benih juga bernilai negatif yang menandakan bahwa semakin tinggi harga benih, maka keinginan
petani untuk memperluas areal tanam bawang merah semakin kecil.
Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kawasan cabai, bawang merah dan jeruk
nasional dalam Permentan No.45KptsPD.20012015. Provinsi Riau belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen akan bawang merah. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap
bawang merah selalu didatangkan dari luar Riau seperti Pulau Jawa, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Upaya pengembangan bawang merah di Provinsi Riau telah tercatat seperti tersaji pada tabel
berikut :
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Provinsi Riau tahun 2011 – 2015
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura,
Keterangan : - Data tidak tersedia
Menurut laporan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 di Provinsi Riau, subsektor perkebunan terlihat mendominasi usaha pertanian. Peningkatan pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha pertanian
tertinggi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 terjadi di subsektor perkebunan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 32,95 persen. Sedangkan pada periode yang sama, subsektor hortikultura
mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu tercatat sebesar 95,76 ribu rumah tangga BPS, 2013.
Peralihan penggunaan fungsi lahan yang terjadi menurut Kusnitarini 2006 adalah bahwa penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih
menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan lahan untuk pertanian merupakan salah satu penggunaan lahan yang
mempunyai nilai land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan untuk sektor non-pertanian. Konversi lahan rawan terjadi pada daerah yang memiliki lahan pertanian yang luas, semakin luas
lahan pertanian di suatu daerah maka konversi lahan yang terjadi akan semakin besar skalanya Ruswandi, 2005. Penilaian kesesuian lahan pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai
untuk tanaman tertentu yang sesuai dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi Sitorus, 1998.
No Data
Tahun 2011
2012 2013
2014 2015
1 Luas Panen Ha
- -
3 14
41 2
Produksi Ton -
- 12
59 140
3 Produktivitas TonHa
- -
4 4,23
3,42
351
Untuk penambahan sentra produksi baru bawang merah dengan perluasan sentra produksiagribisnis baru harus memperhatikan kesesuaian agroklimat bawang merah. Kondisi
agroklimat yang cocok untuk bawang merah di dataran rendah adalah yang memiliki karakterisitik sebagai berikut Anonim, 2007: a ketinggian tempat 300m, b jenis tanah alluvial dan regosol,
dan c tipe iklim klasifikasi Oldeman dan Irsal C3 = 5 – 6 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering; atau
D3 = 3 – 4 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering; atau E3 = 3 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering.
Provinsi Riau merupakan wilayah yang beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 34,0°C - 35,4 °C dan suhu minimum berkisar antara 19,2°C
– 20,2°C. Sementara intensitas curah hujan mencapai 50 mmhari. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Provinsi Riau mempunyai tipe
iklim Af, sedangkan menurut Schmidt dan Ferguson tipe iklim berkisar antara A-B-C, daerah Provinsi Riau beriklim tropis basah Anonim, 2015.
Salah satu konsep yang perlu diperhatikan dalam identifikasi kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan aktual saat ini dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual
didasarkan pada kesesuaian lahan untuk penggunaan tetentu pada kondisi saat ini, sedangkan klas kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan
untuk penggunaan lahan tertentu setelah dilakukan perbaikan lahan terpenuhi Djikerman, dkk, 1985. Secara faktual lahan bawang merah ditanami juga berbagai komoditas antara lain Bawang Merah,
Cabe, Kacang Tanah secara tumpang sari, sehingga dalam setahun masih dapat diperoleh keuntungan dari total pendapatan ketiga komoditas tambahan tersebut Anonim, 2006. Petani saat ini memiliki
ciri-ciri antara lain: i mengusahakan lahan yang sempit, ii produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya, iii penerapan teknologi modern sudah dilakukan di dalam usahataninya, iv berpenghasilan ganda tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya di sektor pertanian saja, v
fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu - satunya Shanin dalam Subali, 2005.
Melihat kondisi yang ada perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keuntungan dan kelayakan pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya dengan
mengoptimalkan potensi kesesuaian sumberdaya alam, ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang tersedia.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kampar dan Pekanbaru pada bulan November 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini
dilakukan dengan wawancara langsung dengan petani di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat
desa hingga kecamatan, Dinas Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik BPS dan instansi terkait lain. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem
budidaya bawang merah. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan penerimaan dan biaya RC Ratio.
Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam menerapkan suatu teknologi. Sebagai tolak ukur adalah nisbah penerimaan dan biaya atau RC ratio.
Apabila RC ratio 1, maka usaha layak secara finansial Rahmanto, Bambang, et. al., 1988. Secara sederhana dapat ditulis :
R RC =
C
R = Py.Y C = FC + VC
RC = {Py.Y FC +VC}
Keterangan :
R = Penerimaan C = Biaya
Py = Harga output Y = Output
FC = Biaya tetap fixed cost VC = Biaya tidak tetap variabel cost
352
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan
Provinsi Riau merupakan daerah dengan iklim tropika basah menurut klasifikasi Koppen dan iklim sangat basah hingga agak basah menurut Schmidt and Fergusson. Jenis lahan yang dimanfaatkan
untuk budidaya pertanian yaitu lahan basah dan lahan kering seluas 3,76 juta hektar sebagaimana seluas 3,40 juta hektar 90,20 diusahakan untuk 3 tanaman perkebunan utama yaitu kelapa sawit,
kelapa dan karet. Sementara pemanfaatan lahan untuk tanaman hortikultura masih sangat minim yaitu berupa lahan pekarangan atau lahan garapan yang tidak dalam satu hamparan yang luas. Provinsi Riau
memiliki lahan gambut seluas 3,9 juta hektar yaitu 26 dari luas lahan gambut di Indonesia Wahyunto et al.,2005 dengan pengelolaan yang tepat lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan pertanian khususnya tanaman hortikultura.
Bawang merah di Provinsi Riau dikembangkan di 2 dua KabupatenKota yaitu Kampar dan Pekanbaru. Semakin meningkatnya permintaan dan konsumsi bawang merah maka Pemerintah
Kabupaten Kampar terutama Bupati Kampar menggagas akan menjadikan Kabupaten Kampar menjadi sentra bawang merah di Riau dan bahkan di Sumatera. Budidaya bawang merah dilakukan
dengan meniru sistem budidaya yang telah diterapkan oleh petani bawang di Cirebon dan Brebes. Dukungan yang luar biasa baik dari pemerintah pusat dan daerah membuat petani hortikultura
bersemangat untuk melakukan usahatani bawang merah. Bentuk dukungan tersebut antara lain dengan bantuan modal berupa paket sarana produksi, pembinaan teknis budidaya dan pendampingan
penerapan teknologi dari hulu ke hilir.
Distribusi bawang merah saat panen yang masih kurang baik menyebabkkan harga belum stabil. Letak geografis Provinsi Riau yang strategis sangat menguntungkan untuk pengembangan
bawang merah khususnya ekspor bawang merah. Pemasaran bawang merah kebanyakan masih dujual dalam bentuk segar tidak menjamin kestabilan harga sehingga pengolahan bawang merah menjadi
bentuk produk olahan juga dapat membantu meningkatkan nilai jual bawang merah.
Analisis Usaha Tani
Tabel 2. Rincian biaya rata-rata usahatani bawang merah per hektar di Pekanbaru tahun 2015.
Komponen Biaya kebutuhan
kghektar harga Rp
Total Jumlah a. Biaya Variabel
1. Benih 1200kgHa
1.200 38.000
Rp45.600.000 2. Pupuk
Pupuk Makro - Pupuk kandang
20.000 270
Rp5.400.000 - Dolomit
2.000 700
Rp1.400.000 -NPK
500 10.000
Rp5.000.000 - TSP
150 8.000
Rp1.200.000 -Urea
200 5.000
Rp1.000.000 -KCL
200 10.000
Rp2.000.000 - ZA
400 10.000
Rp4.000.000 Pupuk Mikro
- Mg 2 pcs
100.000 Rp200.000
- Cu 2 pcs
100.000 Rp200.000
- Super K 2 pcs
100.000 Rp200.000
- ZPT 2 pcs
80.000 Rp160.000
- Ca 2 pcs
100.000 Rp200.000
- Br 2 pcs
100.000 Rp200.000
3. Pestisida - Benomyl
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Amnistar
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Dalsane
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Dithame
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Prevator
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Decis
4 pcs 50.000
Rp200.000 - Perekat
3 pcs 25.000
Rp75.000 4. Tenaga Kerja
6 x 60 HOK 60.000
Rp21.600.000 5. Bahan Bakar
200 liter 8.000
Rp1.600.000
353
b.Biaya Tetap sewa lahan per hektar
Rp3.000.000 Total Biaya
Rp94.235.000 Total Penerimaan = 8.400 kg x Rp 30.000
Rp252.000.000 Analisis Kelayakan RC
= Rp 252.000.000 Rp 94.235.000 = 2,67
Sumber : Data Primer 2015
Pada análisis usahatani terlihat bahwa biaya terbesar dalam budidaya bawang merah adalah benih dan tenaga kerja. Harga benih yang tinggi dipengaruhi oleh jarak yang jauh dari sentra benih
menyebabkan tingginya biaya pengiriman benih. Selain itu ada resiko kerusakan benih selama di perjalanan. Pengembangan bawang merah selain untuk konsumsi, usahatani perbenihan bawang merah
juga sangat layak dilirik sebagai bisnis yang menjanjikan. Pada kondisi panen optimal dan harga tinggi diperoleh RC 2,67. Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini sangat layak secara
finansial. Dengan skenario bahwa saat panen produktivitas adalah 7 tonHa dengan harga jual Rp. 20.000,- Kg maka RC adalah 1,48. Dengan RC 1 maka usahatani bawang merah juga masih
menguntungkan meskipun harga mencapai harga terendah di Provinsi Riau.
Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budidaya bawang merah yang tepat dapat memenuhi kebutuhan bawang merah di Provinsi Riau bahkan untuk skala nasional. Apabila Provinsi
Riau telah menjadi sentra bawang di pulau Sumatera maka bawang merah akan menjadi sumber devisa dengan ekspor ke negara-negara ASEAN.
KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani bawang per musim panen sebesar Rp.252.000.000,00ha dengan kisaran RC ratio adalah 1,48 sampai 2,67,
sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend linear menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat prospektif berdasarkan data
luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per kapita dalam rumah tangga setahun dalam 5 lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah kenaikan garis trend.
Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di Provinsi Riau antara lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan pemerintah yang
mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Kepala BPTP Riau dan Tim PKAH BPTP Riau.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Road Map Pascapanen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Bawang Merah, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian
Anonim, 2007, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Anonim, 2015,
https:www.riau.go.idhomebankdatafilelaporan-kinerja-instansi-pemerintah- provinsi-riau.pdf
, visited 16 September 2016 [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2013, Laporan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013
Djikerman, J. C dan D. W, Dianingsih. 1985. Evaluasi Lahan. Unibraw Pres. Malang Ginting, M., T. Sebayang, dan Iskandarini. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani
terhadap Luas Tanam Bawang Merah Berdasarkan Pendapatan Petani di Kabupaten Dairi. Universitas Sumatera Utara.
Kumar, K. P. Sampath, Debjit Bhowmik, Chiranjib, Biswajit, and Pankaj Tiwari. 2010. Allium cepa: A tradisional medicinal herb and its health benefits. J. Chem. Pharm. Res., 21: 283-
291 Kusnitarini Y., 2006, Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah
dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IPB Bogor. Rahmanto, B dan Made Oka Adnyana. 1988. Potensi SUTPA dalam Meningkatkan Kemampuan Daya
Saing Komoditas Pangan di Jawa Tengah. Prosiding Ekonomi Pedesaan dan
354
Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penguasaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. IPB Bogor
Sitorus, S. 1998. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tasito. Bandung. Subali, A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah Tangga Petani.
[Skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan
Karbon di Pulau Sumatera, 1990 –2002. Wetlands International-Indonesia Programme
Wildlife Habitat Canada WHC. Theresia, V dkk., Analisis Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan
Impor di Kabupaten Cirebon, Jawa BaratJurnal Penyuluhan, Maret 2016 Vol. 12 No. 1
355
EFEKTIVITAS URIN KELINCI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PAKCOY SERTA SELADA PADA BUDIDAYA DALAM POT
EFFECTIVENESS OF RABBIT URINE ON GROWTH AND YIELD OF CHINESE CABBAGE AND LETTUCE ON CULTIVATION IN POTS
Ikrarwati, Yudi Sastro dan Susi Sutardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Ragunan Raya no. 30 Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Email : ikrar_oktoberyahoo.co.id
ABSTRAK
Urin kelinci merupakan limbah yang potensial dimanfaatkan sebagai pupuk karena ternak kelinci prospektif dikembangkan di Jakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian urin
kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy dan selada pada budidaya dalam pot. Penelitian dilakukan di wilayah kerja BPTP Jakarta pada Januari-Maret 2016. Penelitian terdiri atas 2
tahap, 1 Penentuan dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada tanaman pakcoy dan selada, 2 Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani. Tahap 1 dirancang menggunakan rancangan
faktorial tiga faktor. Faktor pertama merupakan tehnik penyediaan urin kelinci yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi, faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian yaitu 0, 20, 40 dan 60,
faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kaliminggu dan 2 kaliminggu. Penelitian tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan penelitian terdiri atas i
pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1, ii pemupukan NPK, dan iii kontrol. Penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan TF601x memberikan hasil terbaik dengan tiggi tanaman
15,2cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37g; dan berat kering 3,6g untuk selada dan tiggi tanaman 14,9 cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4g; dan berat kering 6,2g untuk pakchoy. Penelitian tahap 2
menunjukkan pertumbuhan selada dengan aplikasi urin kelinci tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun 6,4, berat segar 37g, berat kering 3,6g sama baik dengan aplikasi NPK tinggi tanaman 16,1cm,
jumlah daun 6,5, berat segar 39,5g, berat kering 4g. Hasil pakchoy dengan aplikasi urin kelinci berat segar 62,4g; berat kering 6,2g lebih baik dibanding penggunaan NPK berat segar 54,5g; berat kering
5,7g. Kata kunci:
dosis, pakcoy, selada, urin kelinci
ABSTRACT
Rabbit urine is a potential waste for fertilizer because rabbit is a prospective cattle to developed in Jakarta. This study aimed to determine the effect of rabbit urine application on the growth and yield of
chinese cabbage and lettuce on cultivation in pots. The study was conducted at BPTP Jakarta in January-March, 2016. The study consisted of two stages, i.e. 1 Determination of the fermentation,
dose and intensity of rabbit urine on chinese cabbage and lettuce plants, 2 Studycomparison with existing technology by farmers. Phase 1 was designed using a three-factor factorial design with five
replications. The first factor was the technical provision of rabbit urine which are fermented and unfermented, the second factor was four levels of rabbits urine dose were 0, 20, 40 and 60, the
third factor was the level intensity of application i.e. 1 timesweek and 2 timesweek. Phase 2 was designed using a randomized block design. Treatment consisted of i fertilizing rabbit urine based on
the best results of phase 1, ii NPK fertilization, and iii control without fertilizer. The results of phase 1 showed TF601x gave the best results with 15,2cm plant height; 6.4 number of leaves; 37g
fresh weight; and the dry weight 3,6g to plant lettuce and 14.9 cm plant height; 9.1 number of leaves; fresh weight 62,4g; and the dry weight 6,2g to chinese cabbage. Research phase 2 shows the growth of
lettuce with rabbit urine application 15.2 cm plant height, leaf number 6.4, 37g fresh weight, dry weight 3,6g equally well with NPK application 16,1cm plant height, leaf number 6, 5, 39,5g fresh
weight, dry weight 4g. The yield of chinese cabbage with rabbit urine application fresh weight 62,4g; dry weight 6,2g was better than NPK fresh weight 54,5g; dry weight 5,7g.
Keywords: chinese cabbage, dose, lettuce, rabbit urine
356
PENDAHULUAN
Budidaya pertanian di Jakarta sebagai Ibukota Negara masih terus berlangsung dengan karakteristik pertanian perkotaan yaitu penerapanmetode produksi intensif, menggunakan
danmemanfaatkan kembalisumber daya alamdanlimbahperkotaanuntuk menghasilkanberbagai macamtanaman FAO, 2009. Tanaman hortikultura seperti sayuran daun pakcoy dan selada
merupakan komoditas yang banyak ditanam baik untuk tujuan ekonomis maupun dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga sendiri dengan pemanfaatan pekarangan dan lahan yang terbatas.
Pengembangan budidaya sayuran di Jakarta juga perlu didukung oleh ketersediaan sarana produksi, diantaranya adalah ketersediaan pupuk. Pupuk memegang peranan penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk dapat berproduksi dengan optimal. Penggunaan pupuk kimia yang terus menerus telah mengakibatkan dampak negatif bagi tanah dan lingkungan
berupa rusaknya struktur fisik serta fungsi biologi tanah Hong, 1991; Karama et al., 1991. Terkait dengan pertanian perkotaan yang memanfaatkan limbah perkotaan, maka kotoran kelinci memiliki
potensi sebagai sumber pupuk organik dalam budidaya sayuran. Ternak kelinci menghasilkan feses sebanyak 100
– 300 gekorhari Sadjimin et al., 20016 dan urin sebanyak 50-65 mlekorhari Bahar et al
., 2014 Kotoran kelinci baik padat feces maupun cair urin dikenal sebagai sumber pupuk organik
yang potensial untuk tanaman. Sementara itu, ternak kelinci merupakan ternak yang potensial untuk dikembangkan di DKI Jakarta berkenaan dengan Perda yang melarang pemeliharaan dan
pengembangan unggas di wiayah Provinsi Jakarta serta keterbatasan lahan untuk mengembangkan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kambing. Saat ini, terdapat sedikitnya 11 peternak kelinci di
DKI Jakarta dengan jumlah kepemilikan 5-30 ekor Bahar, 2014 dan terus bertambah dengan adanya
kegiatan “Bioindustri” di kawasan Marunda - Jakarta Utara dan Pekayon – Jakarta Timur. Oleh karena itu penelitian terkait pemanfaatan limbah kelinci sebagai sumber hara dalam teknis budidaya pertanian
perkotaan yang berlahan sempit penting untuk dilakukan.
Urin kelinci merupakan limbah kelinci yang paling banyak diperoleh daripada kotoran kelinci. Penelitian tentang pemanfaatan urin kelinci terhadap beberapa komoditas telah dilakukan diantaranya
Oikeh dan Asiegbu 2003 yang meneliti pemupukan dengan menggunakan lumpur kotoran atau pupuk kandang kelinci sebesar 20 tonha pada tanaman tomat memberikan hasil yang terbaik yaitu 42-47
tonha. Djafar et al. 2003 melaporkan aplikasi 60mlL urin kelinci yang dikombinasikan dengan guano meningkatkan produktifitas tanaman sawi. Sementara itu, aplikasi urin kelinci pada tanaman
tomat dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tetapi tidak nyata meningkatkan produksi buah tomat Nugraheni et.al., 2011. Namun, penelitian yang komprehensif terkait teknis pemanfaatan urin kelinci
pada budidaya sayuran dalam pot sebagai bentuk teknis pertanian perkotaan belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pengelolaan urin dengan fermentasi, dosistakaran dan intensitas pemberian urin kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy
dan selada pada teknis budidaya dalam pot.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di rumah kassa BPTP Jakarta dan kelompok tani Mahoni, Marunda- Jakarta Utara pada Januari sampai dengan April 2016. Penelitian terdiri atas 2 tahap yaitu 1 Penentuan
tehnik penyediaan urin kelinci, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci terbaik untuk tanaman pakcoy dan selada, 2 Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani.
Komposisi hara urin kelinci yang digunakan dalam penelitian ini mengandung C-organik 0,32; N 0,60; P
2
O
5
18; K
2
O 0,12; Na 0,04; Ca 37 ppm; Mg 0,01; Fe 1,1 ppm; Mn 0,2 ppm; Cu 1,2 ppm; Pb 0,2 ppm; Cd 0,05 ppm; Co 0,5 ppm; Mo 0,05 ppm; Se 0,1 ppm; sedangkan S, Zn, Al,
B, Cr, Ni, As, Hg tidak terdeteksi.
Pengujian Pengaruh Fermentasi, Dosis dan Intensitas Pemberian Urin Kelinci
Penelitian tahap 1 dirancang menggunakan rancangan faktorial tiga faktor 2 x 3 x 2 dengan lima ulangan. Faktor pertama merupakan tehnik penyedian urin kelinci yaitu dengan fermentasi F dan
tanpa fermentasi TF, faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian urin kelinci yaitu 0, 20, 40 dan 60, faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kaliminggu dan 2 kaliminggu.
Fermentasi urin dilakukan secara anaerob dengan penambahan EM4 dan molase 10, difermentasi selama 30 hari. Perlakuan urin tanpa fermentasi dilakuakan dengan menampung urin
pada wadah tertutup rapat dan disimpan selama 30 hari tanpa penambahan bahan apapun.
357
Aplikasi pemupukan dilakukan dengan mencampur urin kelici dan air sesuai dosis 20, 40 dan 60. Diaplikasikan sebanyak 200 ml per pot tanam.
Pengujian Pembanding Dengan Teknologi Eksisting Petani
Penelitian tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan penelitian terdiri atas 1 pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1;
2 pemupukan NPK, dan iii kontrol tanpa pemupukan. Aplikasi NPK pada tanaman selada dan pakchoy dilakukan 2 kali, saat sebelum tanam sebanyak 3 gpot dan setelah 14 hari sebanyak 2 gpot
modifikasi Susila, 2006
Pengamatan dan Analisa Data
Peubah pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati pada komoditas selada dan pakcoy meliputi tinggi tanaman setiap minggu, jumlah daun setiap minggu, berat segar panen dan berat kering.
Berat kering diukur setelah sampel dioven pada suhu 60 C selama tiga hari. Data yang diperoleh
dianalisa sidik ragam, hasil yang menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Duncan Multiple Range Test pada taraf kepercayaan 95.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci
Interaksi antara perlakuan fermentasi urin kelinci, takaran pemberian dan intensitas aplikasi pemupukan urin kelinci berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan serta hasil tanaman selada
dan pakcoy tabel 1 dan 2. Perlakuan TF 60 1x memberikan hasil yang terbaik pada komoditas selada dan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan TF 60 2x, TF 40 2x dan TF 20 2x. Sementara itu, semua interaksi dengan perlakuan F urin yang difermentasi memberikan hasil yang terendah baik pada
komponen pertumbuhan maupun hasil. Bahkan interaksi perlakuan F dengan konsentrasi urin 60 menyebabkan kematian pada tanaman selada tabel 1.
Hasil pengujian pada tanaman pakcoy tabel 2 menunjukkan TF 60 1x dan TF 60 2x memberikan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain tabel 2. Sejalan
dengan pengujian pada komoditas selada, semua interaksi dengan perlakuan F memberi hasil terendah pada semua variable pengamatan tetapi tidak sampai terjadi kematian tanaman seperti pada selada.
Proses fermentasi urin kelinci memanfaatkan EM4 dan dilakukan secara anaerob. EM4 merupakan bioaktivator yang mengandung banyak sekali ikroorganisme pemecah bahan-bahan
organik. Mikroorganisme dapat meningkatkan penyerapan unsur hara,karena mikroorganisme dapat meningkatkan penyerapan karbohidrat dan beberapa unsure lainnya Margaretha dan Itang 2008.
Dalam urin kelinci terdapat bahan-bahan organik seperti nitrogen, posfor dan kalium yang dibutuhkan tanaman. Namun tidak dapat langsung diserap oleh tanaman karena masih dalam bentuk senyawa yang
perlu dipecah menjadi bentuk ion-ion yang mudah diserap tanaman. Dengan adanya fermentasi zat-zat tersebut dapat diserap dengan mudah oleh tanaman.
Akan tetapi, pada penelitian ini urin yang difermentasi justru menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman. Hal ini diduga karena
N yang terdapat pada urin kelinci dalam bentuk NH
4 +
dan NO
3 -
pada proses fermentasi dirubah menjadi NO
3
dan NO
2
yang mudah lepas ke udara atau sumber N pada urin kelinci dimanfaatkan juga oleh mikroba karena carbon dan nitrogen merupakan
sumber makanan utama bagi bakteri anaerob. Carbon dibutuhkan untuk mensuplai energi dan nitrogen yang dibutuhkan untuk membentuk struktur sel bakteri Aelita et.al., 2013. P
enelitian Makiyah et.al. 2015 menunjukkan proses fermetasi pada ampas tahu mengalami penurunan kandungan N, P dan K
sejalan dengan lamanya waktu fermentasi.
358
Tabel 1. Respons tanaman selada terhadap pupuk urin kelinci
Perlakuan Tinggi tanaman cm
minggu ke- Jumlah daun minggu ke-
Berat segar
Berat kering
1 2
3 4
1 2
3 4
g g
TF 60 1x 2.3 ab 5.4 abc
9.9 ab 15.2 a
2.6 ab 4.1 a 5.6 a
6.4 a 37.0 a
3.6 a TF 60 2x 2.1 ab
5.3 abc 9.8 ab
14.3 a 2.8 a
4.1 a 5.3 ab
6.4 a 31.3 ab 3.0 abc
TF 40 1x 1.8 b 4.5 c
8.2 b 12.2 b
2.6 ab 3.9 ab 5.1 ab 5.5 ab
25.6 bc 2.5 bc TF 40 2x 2.3 ab
6.0 ab 10.8 a
15.8 a 2.7 a
4.1 a 5.3 ab
6.2 a 35.9 a
3.3 ab TF 20 1x 2.0 b
4.8 ab 8.2 b
11.2 b 2.4 ab 4.2 a
5.0 ab 5.4 ab
18.9 c 2.2 c
TF 20 2x 2.6 a 6.4 a
10.4 a 14.3 a
2.8 a 4.2 a
5.1 abc 5.5 ab
32.7ab 3.3 ab
F 60 1x 0.8 c
2.1 de 1.6 de
Mati e 1.6 c 2.1 c 1.6 f
Mati d Mati d
Mati d F 60 2x
1.3 c 0.8 e
0.5 e Mati e
2.2 bc 0.8 d 0.6 f
Mati d Mati d
Mati d F 40 1x
1.3 c 3.2 d
4.6 c 6.5 c
2.0 bc 3.7 ab 4.3 bcd 4.9 b
3.7 d 0.5 d
F 40 2x 1.1 c
2.3 d 2.9 cd
3.6 d 1.9 bc 3.0 bc 3.2 e
3.0 c 0.8 d
0.1 d F 20 1x
1.1 c 2.7 d
4.0 c 5.2 cd
1.6 c 2.9 bc 3.9 cde
4.0 c 2.6 d
0.4 d F 20 2x
1.2 c 2.5 d
3.0 cd 3.5 d
1.7 c 2.9 bc 3.5 de
3.2 c 0.9 d
0.2 d Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95
Tabel 2. Respons tanaman pakcoy terhadap pupuk urin kelinci
Perlakuan Tinggi tanaman cm minggu ke-
Jumlah daun minggu ke- Berat
segar Berat
kering 1
2 3
4 1
2 3
4 g
g TF 60 1x
5.7 a 11.0 a
13.4 a 14.9 a 3.6 a
6.5 a 7.5 a
9.1 a 62.4 a
6.2 ab TF 60 2x
4.9 ab 10.8 ab 13.2 a 14.8 a 3.4 a
6.2 ab 6.1 bc 8.6 a
71.2 a 6.7 a
TF 40 1x 4.8 ab 9.7 bc
13.0 a 13.2 b 3.1 ab 5.8 bc 6.6 ab
7.8 abc 47.6 b
5.4 bc TF 40 2x
5.2 ab 10.6 ab 13.0 a 13.1 b 3.6 a
6.4 ab 5.9 bcd 8.0 ab 46.1 b
4.7 2c TF 20 1x
4.4 b 7.9 d
10.2 b 10.6 cd 3.0 abc 5.4 c 5.2 bcd 6.7 bcd
19.9 c 2.9 d
TF 20 2x 4.9 ab 9.4 c
10.8 b 11.1 c 3.5 a
5.9 bc 4.9 cd 6.6 bcde 29.9 c
3.7 d F 60 1x
2.0 c 5.2 e
7.8 c 9.0 de
2.4 cd 4.1 d 6.1 bc
6.8 bcd 7.43 d
0.9 e F 60 2x
2.4 c 4.9 e
6.8 cd 6.5 fg 2.6 bcd 3.9 de 4.67 cd 5.0 fg
3.74 d 0.4 e
F 40 1x 1.8 c
5.4 e 8.2 c
8.8 e 1.6 e
3.9 d 6.0 bc
6.43cdef 8.14d 1.10e
F 40 2x 2.0 c
4.9 e 6.5 cd 6.8 f
2.6 bcd 3.9 de 5.0 cd 5.71def
4.96d 0.82e
F 20 1x 1.7 c
4.7 e 7.0 c
7.7 ef 1.7 e
3.8 de 4.9 cd 5.12efg
5.39d 0.78e
F 20 2x 2.1 c
4.3 e 5.1 d
5.2 g 2.2 de 3.36 e 4.5 d
4.10g 2.42d
0.50e Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95.
Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60 secara signifikan memberikan hasil lebih baik pada pertumbuhan serta hasil pakcoy dan selada sedangkan perlakuan
intensitas aplikasi tidak memberi pengaruh yang signifikan Tabel 3 dan 4. Urin kelinci tanpa perlakuan fermentasi menghasilkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen
yang signifikan lebih tinggi pada tanaman selada. Hal ini menunjukkan dalam pengelolaan urin kelinci untuk diaplikasikan sebagai pupuk pada sayuran selada tidak perlu difermentasi, karena dengan
disimpan secara alami memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini diduga karena selama proses fermentasi kandungan N dalam urin kelinci banyak yang lepas dari
Faktor konsentrasi menunjukkan pemberian 60 urin kelinci menghasilkan pengaruh terbaik pada variabel hasil yaitu berat segar dan berat kering. Pada variabel jumlah daun, semua perlakuan
tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sedangkan pada variabel tinggi tanaman terjadi hal yang menarik, yaitu pada minggu 2 dan 3 perlakuan urin 60 signifikan memberikan hasil yang lebih
359
rendah dari perlakuan yang lain tetapi pada minggu ke-4 perlakuan urin 60 secara signifikan memberikan hasil yang terbaik.
Intensitas pemberian 1 kaliminggu ataupun 2 kaliminggu tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada semua variabel pengamatan baik pertumbuhan maupun hasil. Sehingga untuk
efisiensi, maka aplikasi pemupukan dilakukan 1 kaliminggu. Tabel 3. Respons tanaman selada terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan
intensitas pemupukan.
Perlakuan Faktor tunggal
Tinggi tanaman cm minggu ke-
Jumlah daun minggu ke-
Berat segar
Berat kering
1 2
3 4
1 2
3 4
g g
Faktor 1 Tanpa fermentasi
2.2 a 5.4 a 9.5 a 13.8 a 2.6 a
4.1 a 5.2 a 5.9 a
30.3 a 3.0 a
Fermentasi 1.1 b 2.3 b 2.8 b
4.8 b 1.8 b
2.5 b 2.9 b 3.8 b
2.0 b 0.29 b
Faktor 2 Konsentrasi 60
1.6 3.4 b 5.4 b
14.7 a 2.3 2.8
3.3 6.4
34.4 a 3.3 a
Konsentrasi 40 1.6
4.0 a 6.6 a 9.5
2.3 3.7
4.5 4.9
16.5 1.6 b
Konsentrasi 20 1.7
4.1 a 6.4 ab 8.5
2.1 3.6
4.4 4.5
13.8 1.5 b
Faktor 3 Intensitas 1xmgg
1.5 3.8
6.1 10.06
2.12 3.47
4.24 5.26
17.56 1.83
Intensitas 2xmgg 1.8
3.9 6.2
10.27 2.36
3.19 3.83
4.84 20.41
1.98 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95.
Hasil yang sejalan ditunjukkan pada komoditas pakcoy. Urin kelinci yang tidak difermentasi secara signifikan memberi hasil terbaik pada semua variable pengamatan. Sementara itu, perlakuan
konsentrasi memberi pengaruh berbeda nyata pada semua variable pengamatan. Konsentrasi 60 memberikan hasil yang terbaik, diikuti konsntrasi 40 dan 20. Perlakuan intensitas berpengaruh
nyata terhadap variable tinggi tanaman dan jumlah daun, intensitas pemupukan 2x per minggu menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi pada pakcoy, tetapi tidak berbeda nyata terhadap
variabel komponen hasil.
Tabel 4. Respons tanaman pakcoy terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan
intensitas pemupukan.
Perlakuan Tinggi tanaman cm minggu
ke- Jumlah daun minggu ke-
Berat segar
Berat kering
1 2
3 4
1 2
3 4
g g
Faktor 1 Tanpa fermentasi
5.0 a 9.9 a 12.3 a 12.9 a 3.4 a
6.0 a 6.0 a 7.8 a
46.2 a 4.9 a
Fermentasi 2.0 b
4.9 b 6.9 b 7.3 b
2.2 b 3.8 b 5.2 b 5.5 b
5.3 b 0.8 b
Faktor 2 Konsentrasi 60
3.8 8.0 a 10.3 a 11.3 a 3.0 a
5.2 a 6.1 a 7.4 a
36.2 a 3.6 a
Konsentrasi 40 3.5
7.6 a 10.2 a 10.5 b 2.7 ab 5.0 a 5.9 a
7.0 a 26.7 b
3.0 b Konsentrasi 20
3.3 6.6 b 8.3 b
8.6 c 2.6 b
4.6 b 4.9 b 5.6 b 14.4 c
2.0 c Faktor 3
Intensitas 1xmgg 3.4
7.3 9.9 a
10.7 a 2.6 a 4.9
6.0 a 7.0 a
25.1 2.9
Intensitas 2xmgg 3.6
7.5 9.2 b
9.6 b 3.0 b
4.9 5.2 b 6.3 b
26.4 2.8
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95
360
Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani
Berdasar pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada tahap sebelumnya, kombinasi perlakuan aplikasi urin kelinci yang memberi hasil terbaik adalah
TF601x. Perlakuan tersebut kemudian diujikan di tingkat petani dengan teknologi pemupukan eksisting petani sebagai pembanding dan juga tanpa pemupukan sebagai kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan aplikasi urin kelinci TF 60 1x memberi hasil tidak berbeda nyata dibanding NPK pada pertumbuhan dan hasil selada maupun pakcoy. Sementara itu, perlakuan
urin kelinci dan NPK signifikan memberi hasil lebih tinggi dibanding kontrol Tabel 5. Hal ini menunjukkan pemanfaatan urin kelinci dapat menggantikan penggunaan NPK pada budidaya selada
dan pakcoy. Urin kelinci memiliki kandungan hara N
2,0; P
2
O
5
1,3; dan K
2
O 1,2
Jerry Purser
, 2013; N
2,62, P2,46, K 1,86.
Sementara itu penelitian Ikrarwati et al., 2016 menunjukkan hasil analisa urin kelinci menunjukkkan kandugan N 0,6; P
2
O
5
18 ppm dan K
2
O 0,12
Ikrarwati et al. 2016. Kandungan hara yang terdapat pada urin kelinci terbukti cukup untuk memenuhi kebutuhan hara utuk
pertumbuhan selada dan pakcoy. Tabel 5. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman selada dan pakcoy terhadap pemberian pupuk urin
kelinci dan NPK
Perlakuan Tinggi tanaman cm minggu ke-
Jumlah daun minggu ke- Berat
segar Berat
kering 1
2 3
4 1
2 3
4 g
g SELADA
TF 60 1x 2.3
5.4 a 9.9 a 15.2 a
2.6 4.1
5.6 a 6.4 a
37.0 a 3.6 a
NPK 2.2
5.9 a 11.0 a 16.1 a
2.6 4.2
5.5 a 6.5 a
39.5 a 4.0 a
kontrol 1.8
3.9 b 5.7 b
7.6 b 2.3
3.6 4.2 b
4.0 b 7.4 b
0.9 b PAKCOY
TF 60 1x 5.7 a
11.0 a 13.4 a 14.9 a .6 a 6.5 a
7.5 a 9.1a
62.4 a 6.2 a
NPK 3.1 b
8.3 b 13.2 a 15.6 a .4 b
4.9 b 7.6 a
9.3a 54.5 a
5.7 a kontrol
2.8 b 5.2 c
6.1 b 5.9 b .9 ab
3.9 c 4.5 b
4.5b 3.9 b
0.7 b Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemupukan urin kelinci dengan dosis 60 dan intensitas aplikasi satu kali perminggu pada tanaman pakcoy dan selada dapat memberikan hasil yang
sama dengan pemupukan NPK. Pemanfaatan limbah kelinci dalam bentuk urin untuk budidaya pakcoy dan selada dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, serta mengurangi
permasalahan limbah yang muncul dari peternakan kelinci. Selain itu, pemanfaatan urin kelinci sebagai pupuk pada tanaman sayuran daun memiliki potensi mudah diadaptasikan karena prosesnya
yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan, hasil penelitian mennunjukkan aplikasi urin kelinci tanpa fermentasi dengan dosis 60 dan diaplikasikan satu kali perminggu, dapat menggantikan penggunaan NPK pada
tanaman selada dan pakcoy. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan yang memberi hasil terbaik pada pertumbuhan
selada dan pakcoy adalah urin tanpa fermentasi dosis 60 aplikasi 1xminggu TF601x dengan tiggi tanaman 15,2 cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37 g; dan berat kering 3,6 g untuk tanaman selada dan
tiggi tanaman 14,9 cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4 g; dan berat kering 6,2 g untuk tanaman pakchoy. Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60 memberikan
hasil yang terbaik, sedangkan perlakuan intensitas aplikasi tidak berpengaruh pada komoditas selada tetapi berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan pakcoy.
Penelitian tahap 2 menunjukkan pertumbuhan dan hasil tanaman selada dengan aplikasi urin kelinci tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun 6,4, berat segar 37 g, berat kering 3,6 g sama baik
dengan aplikasi NPK tinggi tanaman 16,1cm, jumlah daun 6,5, berat segar 39,5 g, berat kering 4g.
361
Hasil tanaman pakchoy dengan aplikasi urin kelinci berat segar 62,4 g; berat kering 6,2 g lebih baik dibanding penggunaan NPK berat segar 54,5 g; berat kering 5,7 g
UCAPAN TERIMA KASIH
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Badan Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA anggaran BPTP
Jakarta. Terima kasih juga disampaikan kepada tim pengkaji dan Kelompok Tani Mahoni yang telah melakukan penelitian ini secara bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Aelita, A. Dharma dan B. Arifin. 2013. Fermentassi Anaerobic Limbah Kulit Singkong dan Kotoran Kelinci Untuk Produkssi Biogas. Jurnal Kimia Unand. Vol 22.
Bahar, S., B. Bakrie, U. Sente, D. Andayani, dan B.V. Lotulung. 2014. Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kelinci di Wilayah Perkotaan DKI Jakarta. Buletin Pertanian
Perkotaan. Vol. 4 2. Djafar, T. A., A. Barus dan Syukri. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi Sawi Brassica juncea l
Terhadap Pemberian Urine Kelinci Dan Pupuk Guano. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.3.
FAO Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2009. Urban and Peri-urban Agriculture, Household Food Security and Nutrition
Ikrarwati, Y. Sastro, C.S. Ammatillah, N.A. Rokhmah, S. Sutardi, L. Hakim, K. Mayasari. 2016. Kajian Budidaya Sayuran Dengan Pemanfaatan Urin dan Feses Kelinci Sebagai Pupuk
dan Media Tanam. Laporan Tahunan Balai Penggkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Jerry Purser. 2013. Animal Manure As Fertilizer. Extension Agriculture Resource Management
Agent. www.uaf.educes.
Hong, G.B. 1991. Syarat Tanah Untuk Pemupukan Efektif. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor.
Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua.
Puslittanak. Bogor. Makiyah, M., W. Sunarto, dan A.T. Prasetya. 2015. Analisis Kadar NPK Pupuk Cair Limbah Tahu
dengan Penambahan Tanaman Thitonia diversivolia. Indonesian Journal of Chemical Science.
Margaretha dan A.N. Itang.2008. Optimasi Penambahan Unsure Hara NPK Pada Limbah Biogas Dan Kompos Kambing Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Organik Granul Denngan
Menggunakan Program Linear. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 13 1: 27-33 Nugraheni E.D. dan Paiman. 2011. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Pupuk Urin
Kelinci Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat Lycopersicum esculentum Mill. Oikeh S. O. dan J. E. Asiegbu, 2003. Pertumbuhan Dan Tanggapan Hasil Tanaman Tomat Terhadap
Sumber-Sumber Dan Tingkat Pupuk Organik Di Tanah Ferralitic. Universitas Nigeria : hal 21-25. Diakses, 27 Juni 2010.
Samkol dan Lukefarh, 2008. Produksi Peran Pupuk Organik Kelinci Menuju Penanggulangan Kemiskinan di Asia Timus Selatan. Pusat Peternakan dan Pengembangan Pertanian,
Kamboja. Diakses, 21 Jaanuari 2016. Sajimin, Y. C. Rahardjo dan N.D. Purwantari. 2006. Potensi Kotoran Kelinci Sebagai Pupuk
Organik Dan Pemanfaatannya Pada Tanaman Pakan Dan Sayuran. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci.
Bogor. Hal. 156-161. Susila, D. A. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable
Production in Southeast Asian . Wathershed Project SANREM-CRSP
– USAID.
362
KERAGAMAN GENETIK DAN EVALUASI PLASMA NUTFAH JAMBU BIJI Psidium
guajava L GENETIC DIVERSITY AND EVALUATION OF GUAVA Psidium guajava L. GERMPLASM
Sri Hadiati dan Kuswandi
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114
e-mail: sutan.mangkuto33gmail.com
ABSTRAK
Jambu biji merupakan tanaman yang menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman yang tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi serta mengevaluasi
aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan varietas unggul baru. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dari
tahun 2013 sampai tahun 2014. Karakterisasidilakukan terhadap 11 aksesi jambu biji.Sebanyak 22 karakter 12 kuantitatif dan 10 kualitatif diamati untuk mengetahui keragamannya. Setiap aksesi
dikarakter sebanyak 10 daun dan 5-10 buah yang mengacu pada minimum descriptor yang diterbitkan oleh UPOV. Data karakter kuantitatif dianalisis secara statistik. Pengelompokan menggunakan
metode average linkage dalam paket cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang tinggi baik pada karakter kuantitatif maupun
kualitatif yang diamati. Karakter kuantitatif yang mempunyai keragaman tinggi KK 30 yaitu tebal daging 62,75, diameter core 51,33, bobot daging 39,91, dan bobot buah 33,11.
Karakter kualitatif yang beragam yaitu yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. 11 aksesi jambu biji yang diamati dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok pada
koefisien ketidakmiripan 50 dan dapat mengelompokkan aksesi berdaging merah dan putih secara terpisah. Aksesi 10.12 memiliki banyak sifat unggul dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai
varietas unggul ke depannya. Kata Kunci :
jambu biji, keragaman, pengelompokan, evaluasi
ABSTRACT
Guava is a cross-pollinated crop, so it has a high diversity. The aimed of this research was to determin the genetic diversity of guava, clustering the guava germplasm and evaluate guava potential
as breeding materials in order to get new varieties. The research was carried out at the Aripan Experimental Farm of Indonesian Tropical Fruits Research Institute ITFRI from 2013 to 2014.
Characterization conducted on 11 accessions of guava. A total of 22 characters 12 quantitative and 10 qualitative were observed to determine its diversity. Each accession was characterized as many as
10 leaves and 5 fruits refer to the minimum descriptor issued by UPOV.The data of quantitative characters were analyzed by statistic. Clustering used average
linkage method in R version 3.0.1
program .
The result showed that there was a high genetic diversity both in quantitative and qualitative characters were observed. Quantitative characters that have a high diversity CV 30 are thick
flesh 62.75, core diameter 51.33, the weight of flesh 39.91, and fruit weight 33.11. The diversity of qualitative characters is leaf shape, leaf tip shape, fruit shape and form of the fruit
shoulder. As many as 11 accessions of guava observed can be classified into four groups on the dissimilarity coefficient of 50 and can be grouped of fleshy red and white accessions separately.
10.12 accession had many superior characteristic and likely to be developed as future varieties.
Key Words: guava, diversity,clustering,evaluation.
363
PENDAHULUAN
Jambu biji Psidium guajava L. merupakan tanaman buah yang berasal dari wilayah tropis Amerika. Tanaman ini kemudian menyebar ke seluruh wilayah tropis dan sub tropis di seluruh dunia.
Komoditas ini termasuk ke dalam famili Myrtaceae Buahnya kaya akan nutrisi yang penting bagi kesehatan manusia. Buah jambu biji mengandung vitamin A dan B, serta sangat kaya akan kandungan
vitamin C, bahkan lebih tinggi dibandingkan jeruk Delgado et al., 2007; Chandra dan Mishra, 2007; Pommer dan Murakami, 2009; Santos et al., 2011.
Tanaman jambu biji merupakan tanaman diploid yang memiliki 22 kromosom. Beberapa jenis di antaranya ada juga yang triploid, sehingga tidak berbiji Rajan et al., 2005. Tanaman ini termasuk
ke dalam genus Psidium yang terdiri dari 150 spesies, yang sebagian besar diantaranya dapat dimakan. Kerabat terdekat jambu biji antara lain Jambu Brazil Psidium guineense, Jambu Gunung Psidium
montanum , Jambu Cheri Psidium cattleianum, Jambu nenas Acca sellowiana dan Jambu Chili
Ugni myricoides Mehmooda et al., 2014.
Jambu biji umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi Balasubrahmanyan, 1959, dan juga terjadi penyerbukan sendiri meskipun
dengan persentase yang rendah seperti yang telah dilaporkan oleh Singh dan Sehgal 1968. Petani banyak yang masih memperbanyak jambu biji menggunakan biji generatif, sehingga menyebabkan
munculnya variasi cukup besar yang terlihat sejak fase bibit Kareem et al., 2013. Upaya untuk mendapatkan tanaman yang true to type perlu dilakukan dengan menggunakan perbanyakan secara
vegetatif seperti cangkok, okulasi, sambung dan stek.
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Balitbu Tropika sebagai lembaga penelitian buah tropika memiliki setidaknya 20 aksesi jambu biji yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia.
Aksesi-aksesi tersebut memperlihatkan keragaman baik warna daging, bentuk, maupun ukuran buahnya. Keragaman genetik yang tinggi diperlukan dalam pemilihan tetua untuk perakitan varietas.
Semakin beragam tetua yang digunakan maka akan meningkatkan peluang untuk mendapatkan karakter yang dituju. Informasi tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatanpengelompokan
penting untuk program perbaikan varietas Pommer, 2012. Pengelompokan plasma nutfah jambu biji selain menggunakan penanda molekuler juga dapat dilakukan dengan menggunakan penanda
morfologi seperti yang telah dilakukan oleh Cosera et al., 2012 dan Mehmood et al., 2014. Penggunaan penanda morfologi memiliki kelebihan seperti lebih murah dan mudah digunakan
Stoskopf et al.,1993.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi serta mengevaluasi aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan
varietas unggul baru.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Solok mulai tahun 2013 sampai tahun 2014. Bahan yang digunakan adalah 11 aksesi jambu biji
koleksi KP Aripan. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, jangka sorong digital, penggaris, dan hand refractometer.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan melakukan karakterisasi yang mengacu kepada Guidelines for the conduct of tests for distinctness, homogeneity and stability on Guava
UPOV, 1987. Setiap aksesi dikarakter sebanyak 10 daun dan 5
– 10 buah. Peubah yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Karakter kuantitatif meliputi panjang dan lebar daun, panjang tangkai buah, bobot buah,
lebar buah, tinggi buah, diameter core, bobot daging, tebal daging, TSS Total Soluble Solid, kadar air, dan edible portion. Karakter kualitatif yang diamati meliputi bentuk helaian daun, kelengkungan
penampang daun, melipatnya daun, bentuk buah, bentuk pundak buah, dan warna daging buah.
364
Analisis data
Data karakter kuantatif yang diperoleh dari 11 aksesi jambu biji selanjutnya dihitung nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragaman. Analisis korelasi
antar karakter menggunakan korelasi Pearson dengan tingkat singnifikansi 95. Data karakter kuantitatif dan kualitatif selanjutnya digunakan untuk analisis kluster
dendogram. Data kuantitatif dikualitatifkan dengan cara scoring dengan kriteria 3 rendah, 5 sedang, dan 7 tinggi. Peubah kuantitatif yang dikualitatifkan adalah sebagai berikut: a. Bobot buah : 3
rendah ≤ 301,64 g, 5 sedang 301,65 – 380,17 g, dan 7 berat ≥ 380,18 g; b. Lebar buah: 3 sempit ≤ 7,82 cm, 5 sedang 7,83-
8,74 cm, 7 lebar ≥ 8,75 cm; c. Tinggi buah: 3 rendah ≤ 7,83 cm, 5 sedang 7,84-8,75 cm, 7 tinggi 8,76 cm; d. Bobot daging :
3 ringan ≤ 253,55 g, 5 sedang 253,56- 341,96 g, 7 berat ≥ 341,97 g; e. Tebal daging: 3 tipis≤ 2,33 cm, 5 sedang 2,34-3,46 cm, 7 tebal ≥
3,47 cm; f.TSS : 3 rendah ≤ 10,0 briks, 5 sedang 10,01-11,52 briks 7 tinggi ≥ 11,53 briks; g.
Edible portion: 3 rendah ≤ 81,01, 5 sedang 81,02-90,5, 7 tinggi ≥ 90,51.
Penghitungan jarak genetik antaraksesi dilakukan dengan metode Gower, kemudian dilanjutkan dengan pengelompokan hirarkis menggunakan metode average linkage dalam paket
cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Analisis klaster ini bertujuan untuk mengelompokkan aksesi
berdasarkan kesamaanketidaksamaan karakter Basweti dan Hanson, 2012. Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk dendrogram dan plot analisis koordinat utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan statistik terlihat bahwa 12 karakter kuantitatif yg diamati beberapa karakter menunjukkan keragaman yang tinggi 30. Karakter yang mempunyai keragaman tertinggi yaitu
tebal daging 62,75, kemudian disusul diameter core 51,33, bobot daging 39,91, dan bobot buah 33,11. Karakter yang mempunyai keragaman kecil yaitu kadar air 1,60, panjang daun
8,57, dan lebar daun 10,73. Tebal daging jambu biji bervariasi dari 0,93 cm – 4,60 cm,
diameter core berkisar 0 – 6,14 cm, dan bobot daging berkisar 94,98 g – 430,37 g Tabel 1. Hasil
penelitian Mehmood et al., 2014 pada 132 aksesi jambu biji juga menunjukkan bahwa karakter panjang dan lebar daun mempunyai keragaman yang kecil 18,51 dan 15,62 dibandingkan
karakter lainnya.
Tabel 1. Nilai minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragam 12 karakter kuantitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji.
Karakter Minimum
Maksimum Rata-rata
Standar deviasi
Koefisien keragaman KK
Panjang daun cm 10,67
14,59 13,28
1,14 8,57
Lebar daun cm 5,56
8,13 6,85
0,74 10,73
Bobot buah g 132,80
458,70 290,38
96,16 33,11
Lebar buah cm 6,00
9,67 8,00
1,11 13,87
Tinggi buah cm 5,34
9,69 8,01
1,15 14,41
Panjang tangkai buah cm 1,65
2,73 2,11
0,34 15,91
Diameter core cm 0,00
6,14 4,03
2,07 51,33
Bobot daging g 94,98
430,37 239,87
95,72 39,91
Tebal daging cm 0,93
4,60 1,90
1,19 62,75
TSS ⁰ briks
8,48 13,73
11,64 1,73
14,90 Kadar air
82,25 86,13
83,57 1,34
1,60 Edible portion
71,511 100,000
80,686 9,170
11,37 Sumber : Data primer 2013-2014
Pada Tabel 2 terlihat bahwa karakter kualitatif pada jambu biji yang menunjukkan keragaman yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. Karakter yang tidak
beragam yaitu lengkungan ibu tulang daun, dimana semua aksesi mempunyai lengkungan yang lurus. Dengan adanya keragaman yang tinggi pada karakter kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas, akan
memudahkan pemulia untuk menyeleksi aksesi-aksesi tersebut.
365
Data karakterisasi baik karakter kuantitatif maupun kualitatif yang diperoleh selanjutnya dianalisis cluster untuk mengetahui pengelompokan dari aksesi-aksesi yang diuji. Aksesi yang
tergabung dalam satu kelompok biasanya mempunyai banyak kesamaan karakter sehingga mempunyai jarak genetik yang dekat. Di dalam persilangan, semakin jauh jarak genetik antar tetua yang
digunakan, maka semakin berpeluang untuk memperoleh hibrid dengan tingkat heterosis karakter tertentu yang tinggi Hadiati et al., 2009.
Gambar 1. Dendrogram pengelompokan 11 aksesi jambu biji koleksi Balitbu Tropika berdasarkan
karakter morfologi. Hasil analisis cluster menunjukkan bahwa 11 aksesi jambu biji mengelompok menjadi empat
kelompok pada koefisien ketidakmiripan sekitar 50 Gambar 1. Aksesi-aksesi yang tergabung dalam kelompok I, II, III mempunyai warna daging buah putih, sedangkan aksesi yang tergabung
dalam kelompok IV mempunyai warna daging buah merah, kecuali aksesi 10.1 yang berdaging putih. Aksesi Kbnrmbtn mempunyai ciri yang berbeda dengan aksesi lainnya, yaitu bentuk daun trullate,
helaian daun melipat, bentuk buah bulat telur, bentuk pundak buah berleher, serta ukuran buah yang panjang dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan aksesi Bipara mempunyai ciri karakter yang khas
yaitu buah tidak berbiji sama sekali sehingga semua bagian buah dapat dimakan.
366
Tabel 2. Karakter kualitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji
Aksesi WijayaMerah