Produksi Umbi Mikro Pengukuran Skor cemaran getah guning pada aril. Pengukuran dilakukan dengan

207 Tahap pertama, induksi stolon dengan menanam tiga stek mikro yang masing-masing mempunyai 5 lima ruas tanpa pucuk dan tanpa akar di dalam media cair selama 6 minggu pada ruang kultur.. Media cair yang digunakan adalah media MS 0 tanpa agar, yang mendapat tambahan gula 30 gl, GA3 0,4 mgl dan BAP 0,5 mgl, dengan pH media 5,7. Media disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121 C dan tekanan 15 psi selama 15 menit. Tahap kedua, induksi umbi mikro eksplan pada tahap induksi stolon yang berusia 6 minggu dipindahkan ke media induksi umbi mikro. Komposisi media pada tahap ini sama dengan komposisi media induksi stolon, kecuali tanpa GA3 dan BAP, degan gula ditingkatkan menjadi 80 gl. Media berisi eksplan dipelihara pada ruangan yang berbeda dengan suhu sesuai perlakuan pada kondisi gelap total. Efek gelap diberikan dengan membungkus botol kultur dengan menggunkan kain berwarna hitam selama 10 minggu. Variabel pengamatan peroduksi umbi mikro kentang terdiri atas:. 1. Jumlah tanaman berumbi buah, pengamatan dilakukan dengan menghitung tanaman yang berumbi. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 2. Jumlah umbi per tanaman buah, pengamtan dilakukan dengan menghitung jumlah umbi per tanaman. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 3. Total umbi per botol buah, pengamatan dilakukan menghitung jumlah umbi pada setiap botol. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 4. Berat umbi per botol g, pengamatan dilakukan dengan menimbang berat umbi dengan menggunakan timbangan digital analitik merk Cheetah seri JA5003B. Pengamatan dilakukan pada saat panen. 5. Diameter umbi mm, pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter umbi menggunakan jangka sorong digital merk Krisbow K W 06-77, Model No: 111-011. Pengamatan dilakukan pada saat panen. Analisis Data Data hasil pengamatan variabel pertumbuhan eksplan dan produksi umbi mikro dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian uji F pada taraf 5. Perbandingan rata-rata antar perlakuan dilakukan dengan uji beda rata-rata DMRT Gomez and Gomez, 1984 . HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel jumlah tanaman berumbi, jumlah umbi per tanaman, diameter umbi, berat umbi per botol, total umbi per botol , tinggi tanaman yang menyebar secara normal sehingga tidak ditransformasi. Untuk data variabel jumlah cabang utama dan jumlah ruas total tiap tanaman tidak menyebar secara normal sehingga perlu ditransformasi Bartlett, 1937. Data yang telah menyebar normal dilakukan analisis varian uji F. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap semua variabel yang diamati, kecuali jumlah cabang utama dan jumlah ruas total tiap tanaman Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis varian anava pada taraf 5 untuk variabel pertumbuhan tanaman kentang yang diamati No Variabel Pengamatan F hitung Suhu 1 Jumlah Cabang Utama 4,57 ns 2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman 0,37 ns 3 Tinggi Tanaman 329,03 4 Jumlah Tanaman Berumbi 867,94 5 Jumlah Umbi Per Tanaman 615,27 6 Total Umbi Per Botol 367,91 7 Berat Umbi Per Botol 111,48 8 Diameter Umbi 488,94 Keterangan: Berpengaruh nyata pada uji F taraf 5. ns:Berpengaruh tidak nayata pada uji taraF 5. Sumber : Data primer 2016. 208 Pengaruh Suhu Rendah dan Suhu Tinggi Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman tumbuh lebih baik pada suhu rendah dibandingkan pada suhu tinggi. Tiga variabel pertumbuhan yang diamati menyatakan rata-rata hasil pengukuran yang lebih tinggi pada suhu rendah Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh suhu inkubasi terhadap variabel pertumbuhan eskplan dan produksi umbi mikro tanaman kentang. No Variabel Pengamatan Suhu tinggi Suhu rendah 1 Jumlah Cabang Utama buah 2,37 a 1,91 a 2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman buku 2,03 a 2,14 a 3 Tinggi Tanaman cm 3,81 a 2,49 a 4 Jumlah Tanaman Berumbi buah 3,67 a 0 b 5 Total Umbi Per Botol buah 6,38 a 0 b 6 Diameter Umbi mm 7,01 a 0 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 5. Sumber : Data primer 2016 Selain itu, suhu rendah juga berpengaruh positif terhadap pengumbian, pada suhu tinggi tidak terbentuk umbi sama sekali Tabel 2. Hal ini diduga pertumbuhan dan pengumbian tanaman kentang dipengaruhi oleh suhu. Menurut Salisbury and Ross 1992 bahwa pada suhu rendah laju respirasi menurun dan sebaliknya pada suhu tinggi laju respirasi akan meningkat. Peningkatan laju respirasi akan diikuti dengan berkurangnya karbohidrat seperti gula yang dihasilkan dari proses fotosintesis, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang. Pada gilirannya pertumbuhan tanaman kentang menjadi terhambat. Penghambatan pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh laju respirasi yang tinggi, laju pembelahan sel dan pemanjangan sel yang rendah Gunawan, 1992. Pada suhu rendah produksi umbi mikro yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan produksi pada suhu tinggi Tabel 2. Suhu rendah akan menurunkan laju respirasi dan giberellin endogenus sehingga menyebabkan stolon berhenti memanjang. Stolon lebih banyak mengakumulasi karbohidrat untuk membentuk umbi. Pada suhu tinggi diduga laju respirasi dan giberelin meningkat sehingga kentang yang banyak mengandung pati hasil dari translokasi sukrosa sebagian besar hilang oleh respirasi dan giberelin endogenus yang tinggi. Oleh karena itu terjadi pemanjangan stolon sehingga pembentukan umbi terhambat. Suhu optimum untuk pengumbian in vitro adalah 15 C-20 C Wattimena, 1995. Kemampuan tanaman menghasilkan umbi tinggi pada kondisi gelap tanpa cahaya. Akibatnya umbi membesar sampai ukuran maksimum, selanjutnya umbi tersebut tumbuh sebuah tunas etiolasi. KESIMPULAN Perlakuan suhu rendah mampu meningkatkan jumlah tanaman berumbi, diameter umbi, total umbi per botol, jumlah cabang utama, jumlah ruas total per tanaman dan tinggi tanaman. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Usman Kris Joko Suharjo yang telah mendanai dan membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, M.B.R., Sultana, M., Khatun, M.A., Razvy, M.M., Hannan, R., Islam, dan Hossain, M.M. 2007. Standardization of a suitable protocol for in vitro clonal propagation of Acorus calamus L. An important medicinal plant in Bangladesh. American- Eurasian J.Sci.Res. 2:136-140. J. Agron. Indonesia 38 2 : 144 – 149. Bartlett, M.S. 1937. A note on the multyping factors for various x 2 approximations, J.R. Statist. Soc . B 15: 107-240. BPS. 2015. Produksi Tanaman Sayuran Kentang Ton Tahun 2012-2014. http:www.bps.go.idsiteresultTab . Diakses 22 April 2015. BPTP Bengkulu. 2012. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi m-P3MI. Laporan Akhir Tahun. BPTP Bengkulu, Bengkulu.. W.H Freeman an Co. San 209 Fransisco. 642 P. Damari A., Makruf E dan Yartiwi. 2011. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Kentang Merah Terhadap Jarak Tanam dan Dosis Pupuk yang Berbeda Di Kabupaten Rejang Lebong, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu. Deptan. 2008. Basis Data Statistik Peretanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Gomez, K. A and Gomez, A.A. 1984. Statiscal Proccedures For Agricultural Research. John Wiley and Sons. Diterjemahkan oleh E.Syamsuddin dan J. S Baharsyah. 1995. Prosedur Stastistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi kedua, UI Press, Jakarta. Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor. Haris dan Hestiana, J. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Kentang Pada Berbagai Dosis Pemupukan. Jurnal Agrisistem, 6 1: 15- 22. International Potato Center. 2013. Potato. http:cipotato.orgpotato . Diakses 22 Januari 2016. Jakarta. Medina, J.D. 2014. Manajemen resiko produksi benih kentang aeroponik risk management of aeroponic potatoes seed production. Agric. Sci. J. I 4 :235-243 Murashige, T., Skoog, F. 1964. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15:473-497. Salisbury, F.B. and Ross, C.R. 1992. Plant Physiology. Diterjemahkan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Fisiologi tumbuhan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Suharjo, U.K.J., Fahrurrozi, dan Sudjatmiko, S. 2008. Memacu Pembentukan Umbi Mikro Kentang Pada Suhu Tinggi Dengan Aplikasi Paclobutrazol, Coumarin, CCC, dan Anycmidol. Prosiding Seminar Pekan Kentang Nasional, Lembang, Bandung, 22- 23 Agustus 2008. Sunarjono, H. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. Wattimena, G.A. 1992. Zat Pengatur Tumbuh. Heds Projects-Universitas Bengkulu, Bengkulu 10- 19 Februari 1992. Wattimena, G.A. 1995. In vitro micropropagation as an alternative technologi for potato production. Final Report PSTC-USA ID. Department of Agronomy, Bogor Agricultural University. Wattimena, G.A. 2000. Perakitan Kultivar Kentang Unggul Indonesia secara Cepat denganMetode Turunan Klonal Biji Tunggal dan Pra - Evaluasi Secara In Vitro. Agron. 29 3:78 – 84. Wattimena, G.A. 1987. Diktat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU, Bioteknologi. Institut. Pertanian Bogor, Bogor. Wicaksana, N. 2001. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 16 genotip kentang pada lahan sawah didataran medium. Zuriat. 12 1 : 15-20. Zhung and Donelly. 1997. In - vitro bioassays for salinity tolerance screening of potato. Potato Research 40. 285- 295. 210 APLIKASI BEBERAPA BIOAKTIVATOR MIKROORGANISME LOKAL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSISELADA Lactuca sativa L. APPLICATION OF SOME LOCAL BIOACTIVATOR MICROORGANISM ON THE GROWTH AND PRODUCTION OF LETTUCE Lactuca sativa L. Parwito dan Susi Handayani Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ratu Samban Jl. Jenderal Sudirman No 87 Arga Makmur Bengkulu Utara Telp 0737-522613 e-mail : par_witoyahoo.com ABSTRAK Mikroorganisme lokal sebagai cairan yang terbuat dari limbah atau bahan-bahan organik yang ada disekitar kita mengandung mikroba serta mengandung sifat-sifat kimia yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis bioaktivator mol terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada. Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok RAK dengan satu faktor yaitu bioaktivator mol BM, sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM 2: Bioaktivator mol bonggol pisang, dan BM 3: Bioaktivator mol maja. Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu bulan bahan mol berwarna coklat sampai kehitaman dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan mol sudah matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60 dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik. Sedangkan pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah pindah tanam masih relatif lambat. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang diaplikasikan ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada dibandingkan tanpa perlakuan kontrol. Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap bobot segar selada adalah mol dari bonggol pisang BM 2 64,17 g. Kata Kunci: Bioaktivator, mikroba, mol, selada ABSTRACT Local microorganisms as a liquid made from waste or organic materials that exist around us contain microbes and chemical properties that affect the growth of the microbes. This study aimed to get the kind of bio-activator best mole in enhancing the growth and yield of lettuce. This study was conducted from July to September 2014, in Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. This study was conducted using a randomized block design RAK with one factor, namely bio- activator mol BM, as the design of treatment consisting of: BM 0: Without bio-activator mol, BM 1: bio-activator mole bamboo shoots, BM 2: bio-activator mol banana weevil and BM 3: bio-activator maja mole. The results showed in the manufacturing of material mole after one month resulted in moles with sharp odor. It was indicating that mole had matured following anaerobic fermentation and materials being ready for use. Waste products of anaerobic composting in the form of sludge containing water as much as 60 with the color of dark brown to black. Loss of nutrients in the anaerobic composting process a little bit, so it generally higher nutrient content than the aerobic composting process. While the growth of lettuce plants at the time of the nursery and after transplanting is still relatively slow. All micro-organisms bio-activator treatment of locally applied to lettuce plants showed a positive influence on the growth of lettuce compared to that of the untreated control. The best local bio-activator treatment of microorganisms on fresh weight of lettuce was the moles of banana weevil BM 2 64.17 g. Keywords: Bio-activator, microbes, moles, lettuce 211 PENDAHULUAN Kebutuhan pangan perkotaan khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami peningkatan sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk kota. Permintaan pasar untuk komoditas hortikultura khususnya sayur-sayuran semakin meningkat baik jumlah maupun jenisnyaTidak seimbangnya persediaan produksi dengan permintaan selada di dalam negeri menyebabkan Indonesia mengimpor komoditas ini Rukmana, 2000. Secara umum, jumlah selada yang diimpor meningkat setiap tahunnya. Selada yang didominasi oleh jenis sayuran dataran tinggi belum banyak diusahakan di Indonesia. Apalagi jenis yang sudah diusahakan di Indonesia juga masih terbatas Haryanto dkk., 2003. Peningkatan produksi selada dapat dilakukan dengan pemupukan, pengaturan jarak tanam, dan memilih varietas tanaman yang unggul Rukmana, 2000. Untuk mendapatkan produksi yang tinggi, perlu adanya penelitian yang mendukung serta pemanfaatan teknologi tepat guna, mulai dari teknik budidaya sampai pada penanganan pasca panennya. Pemupukan adalah salah satu teknik budidaya untuk meningkatkan produksi tanaman selada Nazaruddin, 1999. Pemberian input dalam bentuk pupuk organik pada tanah dapat mengubah dan memperbaiki sifat-sifat tanah, baik fisik, kimia dan biologi tanah Sutanto, 2002. Selanjutnya menurut Munir 1996 pengaruh pemberian bahan organik ke dalam tanah sebagai berikut, yaitu : struktur tanah menjadi lebih baik, aerasi tanah menjadi lebih baik, mempunyai efek pengikat yang baik atas partikel- partikel tanah, dan kapasitas menahan air meningkat. Salah satu peran pupuk organik dalam memperbaiki biologi tanah adalah keberadaan mikroba tanah maupun pada tanaman. Mikroba tanah akan menguntungkan bila kehadirannya berperan dalam siklus mineral, fiksasi nitrogen, perombakan residu pestisida, proses humifikasi, proses menyuburkan tanah, perombakan limbah berbahaya, biodegradasi, bioremidiasi, mineralisasi, dekomposisi, dan lain-lain. Keberadaan mikroba tanah banyak jenis dan macamnya, salah satu mikroba yang berperan dalam memperbaiki tanah dan tanaman adalah keberadaan bioaktivator. Salah satu bioaktivator yang berperan memperbaiki pertumbuhan tanaman yang murah namun tetap menjaga kelestarian lingkungan adalah Mikroorganisme Lokal MOL. Mol diperoleh dari beberapa sumber bahan di sekitar kita diantaranya dari mol bonggol pisang, mol rebung dan mol buah maja. Untuk melihat keefektifan dari masing- masing bioaktivator mol tersebut maka penelitian ini bertujuan mendapatkan bioaktivator mol terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu.Bahan penelitian yang digunakan adalah benih selada, rebung bambu, air beras, gula merahgula pasir, bonggol pisang, maja, pupuk kandang dan topsoil. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, cangkul, parangsabit, meteran, jangka sorong, timbangan digital, kertas label, plastik, polybag, alat tulis dan alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan tanaman. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakanrancangan acak kelompok RAK dengan satu faktor yaitu bioaktivator mol BM, sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM2: Bioaktivator mol bonggol pisang, BM3: Bioaktivator mol maja. Perlakuan diatas diulang 3 kali sehingga diperoleh 12 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan terdapat 6 unit percobaan polybag, sehingga terdapat total 72 polybag. Penempatan perlakuan dalam satu kelompok percobaan dilakukan secara acak. Pembuatan MOL Mol dari rebung dibuat dengan mencampurkan 1 kg rebung bambu, 2,5-3 liter air beras dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 1-2 ons. Setelah bahan tersedia, rebung diiris tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukan ke dalam jerigentongember kemudian dimasukkan gula merah 1-1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 – 3 liter selanjutnya ditutup rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Selanjutnya mol disaring dan siap digunakan. Mol dari bonggol pisang dibuat dengan mencampurkan 1 kg bonggol pisang, 2,5 – 3 liter air beras, dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 15 kg. Setelah semua bahan siap, bonggol pisang diiris tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukkan ke dalam jerigentongember kemudian dimasukkan gula merah 1 -1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 – 3 liter selanjutnya ditutup 212 rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan. Mol dari buah maja dibuat dengan mencampurkan 1 buah maja, 6 liter air beras, dan 4 liter urine sapi. Setelah semua bahan siap, buah maja di kupas kulitnya dan diiris tipis atau dicincang, setelah itu dimasukan ke dalam jerigentongember kemudian dimasukkan air cucian beras dan urine selanjutnya ditutup rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan. Pemeliharaan tanaman selada terdiri atas penyiraman, pemupukan dan pengendalian gulma, hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan volume air 200 ml. Pemupukan dilakukan setiap 5 hari sekali dengan dosis 100 ml per tanaman dari mol yang diuji cobakan. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila serangan hama atau penyakit telah ada dan dilakukan secara manual. Panen dilakukan pada umur 56 hari setelah semai. Selada daun dapat dipanen bila daun telah cukup banyak dan lebar serta berwarna hijau muda, batang sudah terbentuk dan tanaman belum berbunga. Data dikumpulkan dari semua tanaman selada di polybag yang diukur dan selanjutnya dianalisis secara statistik. Pengukuran tanaman sawi meliputi variabel: tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dilakukan setiap minggu. Bobot basah sawi, panjang akar, dilakukan pada waktu panen. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang dicobakan. Apabila dari hasil analisis tersebut berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan DMRT pada taraf kepercayaan 95 Steel Torrie 1993. HASIL DAN PEMBAHASAN Mikroorganisme Lokal MOL MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang tersedia setempat. MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama penyakit tanaman. Berdasarkan kandungan yang terdapat dalam MOL tersebut, maka MOL dapat digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungsida Purwasasmita dan Kunia, 2009. Dalam proses pembuatan mikroorganisme lokal dengan menggunakan beberapa bahan diantaranya menggunakan bonggol pisang, rebung, dan buah maja dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar 1. Peroses pematangan mol dibawah ini Gambar 1b dilakukan secara anaerobik dengan menggunakan jerigen plastik yang ditutup rapat lalu diberi selang untuk mengeluarkan gas-gas hasil dari pengomposan dan ujung selang dimasukkan ke dalam botol yang berisi air, agar udara dapat keluar namun tidak dapat masuk lagi ke jerigen untuk menjaga keadaan anaerobik dalam jerigen tersebut. Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen hampa udara. Gambar 1. Pembuatan mikro organisme lokal MOL a. berbahan bonggol pisang, rebung dan Buah maja, b. Fermentasi dilakukan di jerigen Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu bulan bahan mol berwarna coklat sampai kehitaman Gambar 2 dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan mol sudah matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Hal ini diperkuat dalam 213 Samekto 2006, bahwa proses anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60 dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik. Gambar 2.Hasil dari pembuatan Mikroorganisme lokal Mol Proses fermentasi yang didapatkan dalam pembuatan mol diatas menunjukkan bahwa mol berwarna coklat sampai kehitaman gambar 2. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme yang membantu dalam proses pematangan. Ini dikuatkan oleh pendapat Indriani 1999, pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan kebahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan. Aplikasi bioaktivator Mikroorganisme Lokal MOL terhadap Pertumbuhan dan Produksi Selada Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil selada meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar dan bobot segar tanamandisajikan Tabel 1. Berdasarkan hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi bioaktivator mikro organisme lokal MOL berbeda sangat nyata pada semua variabel yaitu pada semua minggu setelah pindah tanam. Tinggi tanaman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dan pada semua umur ditunjukkan pada Tabel 2. Secara umum perlakuan semua bioaktivator mikro organisme lokal yang ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap variabel tinggi tanaman selada. Pada perlakuan aplikasi bioaktivator MOL menunjukkan pada semua umur 1 MSPT minggu setelah pindah tanam sampai 6 MSPT terlihat perlakuan BM 2 menghasilkan tinggi tanaman yang terbaik dan diikuti BM 1, dan BM 3. Tinggi tanaman selada terendah dicapai oleh tanpa bioaktivator B 0 kontrol pada semua umur 1 MSPT sampai 6 MSPT 214 Sumber : Data primer 2014 Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan tertinggi tinggi tanaman selada pada umur 6 MSPT terdapat pada perlakuan BM 2 yaitu sebesar 20,17 cm, lalu berturut-turut diikuti oleh BM 1 17,17 cm, BM 3 14,00 cm dan tinggi tanaman yang terendah adalah perlakuan BM 0 kontrol yaitu 10,42 cm. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5. Sumber : Data primer 2014 Aplikasi bioaktivator mikroorganisme lokal bonggol pisang BM 2 menunjukkan perlakuan bioaktivator yang terbaik. Hal ini diduga karena mikroorganisme yang ada di bonggol pisang lebih banyak sehingga dalam fermentasi perombakan menghasilkan unsur hara yang baik untuk tanaman pada saat diaplikasikan. Perlakuan Tinggi minggu ke- 1 2 3 4 5 6 Kontrol BM 0 4,92 d 4,92 d 5,50 d 6,75 d 8,17d 10,42 d Mol Rebung BM 1 8,50 b 8,50 b 10,42 b 12,08 b 14,50 b 17,17 b Mol Bonggol Pisang BM 2 11,92 a 11,92 a 13,92 a 15,75 a 17,93 a 20,17 a Mol Buah Maja BM 3 7,00 c 7,00 c 8,42 b 9,83 c 11,72 c 14,00 c Tabel 1. Hasil Uji F pada aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar dan bobot segar tanaman No Variabel Perlakuan Koefisien keragaman 1 Tinggi tanaman 1 MSPT 36,88 14,71 2 Tinggi tanaman 2 MSPT 36,88 14,71 3 Tinggi tanaman 3 MSPT 43,86 13,67 4 Tinggi tanaman 4 MSPT 48,15 12,05 5 Tinggi tanaman 5 MSPT 47,80 11,23 6 Tinggi tanaman 6 MSPT 45,89 9,81 7 Jumlah daun 1 MSPT 6,40 19,46 8 Jumlah daun 2 MSPT 6,40 19,46 9 Jumlah daun 3 MSPT 14,61 16,76 10 Jumlah daun 4 MSPT 6,40 19,46 11 Jumlah daun 5 MSPT 18,10 12,25 12 Jumlah daun 6 MSPT 15,57 12,31 13 Diameter batang 1 MSPT 10,66 11,81 14 Diameter batang 2 MSPT 10,66 11,81 15 Diameter batang 3 MSPT 10,66 11,81 16 Diameter batang 4 MSPT 15,66 10,54 17 Diameter batang 5 MSPT 7,54 15,52 18 Diameter batang 6 MSPT 12,78 15,12 19 Panjang akar 6,55 22,78 20 Bobot segar tanaman 12,94 37,54 Keterangan : = berpengaruh sangat nyata 215 Tabel 3. Rata-rata jumlah daun minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5. Sumber : Data primer 2014 Data hasil pengamatan dan uji f jumlah daun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 MSPT dapat dilihat pada tabel 1, dimana perlakuan bioaktivator berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun umur pada 1, 2, 3, 4, 5, 6 MSPT perlakuan bioaktivator MOL dapat dilihat pada Tabel 3. Dimana perlakuan yang terbaik dilihat dari rerata jumlah daun pada bioaktivator MOL dari bonggol pisang BM 2 dan terendah pada kontrol tanpa perlakuan. Hal ini bioaktivator menggunakan bonggol pisang sangat baik karena mikroba yang ada di bonggol sangat banyak sehingga perombakan dapat terjadi dengan baik dan tanaman dapat memanfaatkan untuk pertumbuhannya. Hal ini dikemukakan Suhastyo 2011 dalam Ole 2013 yaitu Bonggol pisang mengandung mikrobia pengurai bahan organik. Mikrobia pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian dalam. Jenis mikrobia yang telah diidentifikasi pada MOL bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergillus nigger Mikrobia inilah yang biasa menguraikan bahan organik. Mikrobia pada MOL bonggol pisang akan bertindak sebagai dekomposer bahan organik yang akan dikomposkan. Tabel 4. Rata-rata diameter batang minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5. Sumber : Data primer 2014 Pada variabel diameter batang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan dari umur tanaman 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 MSPT terlihat pada tabel 1. Perlakuan yang terbaik pada minggu setelah pindah tanam variabel pengamatan diameter batang yang menggunakan bioaktivator mol dari bonggol pisang. Ini mungkin dikarenakan pemberian mikroorganisme lokal dapat meningkatkan mikroorganisme yang ada didalam tanah sehingga dapat merombak bahan organik dan selanjutnya bahan organik tersebut dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhannya. Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman selada meliputi rata-rata panjang akar dan bobot segar tanaman selada dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Rata-rata panjang akar dan bobot segar terhadap aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5. Sumber : Data primer 2014 Hasil pengamatan panjang akar tertinggi dicapai oleh perlakuan bioaktivator mol dari bonggol pisang BM 2 7,48 cm. Hal ini diduga karena tanah yang diberi mikroorganisme lokal menjadi Perlakuan Jumlah daun minggu ke- 1 2 3 4 5 6 Kontrol BM 0 3,00 b 3,00 b 3,00 b 3,00 b 4,50 c 5,50 c Mol Rebung BM 1 3,67 ab 3,67 ab 4,67 a 3,67 ab 6,67 a 7,67 b Mol Bonggol Pisang BM 2 4,50 a 4,50 a 5,50 a 4,50 a 7,50 a 8,83 a Mol Buah Maja BM 3 3,00 b 3,00 b 3,67 b 3,00 b 5,67 b 6,67 b Perlakuan Diameter batang minggu ke- 1 2 3 4 5 6 Kontrol BM 0 0,45 c 0,45 c 0,45 c 0,50c 0,58 c 0,75 c Mol Rebung BM 1 0,56 b 0,57 b 0,57 b 0,65 b 0,82 ab 0,95 b Mol Bonggol Pisang BM 2 0,66 a 0,67 a 0,67 a 0,77 a 0,88 a 1,25 a Mol Buah Maja BM 3 0,57 b 0,57 b 0,57 b 0,67 b 0,72 bc 0,88 bc Perlakuan Panjang akar cm Bobot segar g Kontrol BM 0 4,25 c 16,50 c Mol Rebung BM 1 6,25 ab 39,50 b Mol Bonggol Pisang BM 2 7,48 a 64,17 a Mol Buah Maja BM 3 5,25 bc 27,83 bc 216 gembur dan mampu memperbaiki sifat biologi tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan akar dan pengalokasian hara pada tanaman. Bobot segar selada tertinggi dicapai oleh perlakuan mikroorganisme lokal dari bonggol pisang BM 2 64,17 g, dari rebungBM 1 39,50 g, dari buah Maja 27, 83 g, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan BM 0 tanpa bioaktivator mol. Bobot basah sawi terendah dicapai oleh perlakuan bioaktivator tapai maupun rebung. Bobot segar selada tertinggi ini diduga karena penyerapan unsur hara dan air secara maksimal sehingga bobot segar selada dapat bertambah dan sebaliknya pada bobot segar selada terendah. KESIMPULAN 1. Pembuatan Mikroorganisme lokal MOL dalam wadah jerigen menunjukan mengalami fermentasi yang cukup baik yang ditandai dengan warna bahan coklat sampai kehitaman dan pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah pindah tanam masih relatif lambat. 2. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang diaplikasikan ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada kecuali tanpa perlakuan kontrol. Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap bobot segar selada adalah mol dari, bonggol pisang BM 2 64,17 g UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditlitabmas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai skim Hibah Program Penelitian Dosen Pemula pada tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Haryanto, E., T. Suhartini, E., Rahayu dan H.H. Sunarjono. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Indriani, Y.H. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik, klasifikasi dan Pemanfaatannya. Pustaka Jaya. Jakarta. Nazaruddin. 1999. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. Ole, Moses Benediktus Bengngo 2013 penggunaan mikroorganisme bonggol pisang Musa paradisiaca sebagai dekomposer sampah organik. S1 thesis, UAJY. http:e- journal.uajy.ac.id396332BL01047.pdf [Diunduh Tgl 5 Agustus 2014]. Purwasasmita M, Kunia K. 2009. Mikroorganisme lokal sebagai pemicu siklus kehidupan dalam bioreaktor tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia- SNTKI 2009. Bandung 19-20 Oktober 2009. Rukmana, R. 2000. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius. Yogyakarta. Samekto. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit Citra Aji Parama. Yogyakarta. Steel and Torrie 1993 Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrika. Alih Bahasa Ir. Bambang Sumantri. Principles and Procedure of Statistic. Gramedia. Jakarta. Suhastyo, A. A. 2011. Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal yang Digunakan pada Budidaya Padi Metode SRI System of Rice Intensification. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. 217 EVALUASI KERAGAAN BEBERAPA SEMANGKA HIBRIDA KOLEKSI BALAI PENELITIAN TANAMAN BUAH TROPIKA EVALUATION OF PERFORMANCE OF SOME HYBRID WATERMELON FROM INDONESIAN TROPICAL FRUIT RESEARCH INSTITUTE Kuswandi, Makful, Sahlan, Mega Andini Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114 email: sutan.mangkuto33gmail.com ABSTRAK Semangka hibrida hasil silangan Balitbu Tropika memiliki keragaman yang tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika dan untuk mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balitbu Tropika pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri dari 19 kombinasi persilangan. Percobaan merupakan penelitian deskriptif. Data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hibrida yang diuji memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit buah dan kemanisan. Belum ditemukan semangka hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yang terdiri dari bobot buah sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. Kata kunci : semangka, hibrida, TSS, keragaan. ABTRACT Watermelon hybrid result of crossing by Balitbu Tropika has a high diversity. The objective of the research was to determine the performance of hybrid watermelon of Indonesian Tropical Fruit Research Institute ITFRI collection and to evaluate the superiority of each hybrid. The research has been conducted at Sumani Experimental Garden, ITFRI in April until July 2016. The material used consists of 19 cross combinations. The experiment was a descriptive study. The data was displayed in the form of average and pictures. The results showed that the hybrids were tested have diversity in size, fruit skin color, flesh color, skin thickness, and sweetness of the fruit. Have not found hybrids have three excellent characters, consisting of medium fruit weight, TSS value is high, and rather thick rind. Hybrid has the advantage of a sweet taste and shelf life is BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, and BT4xBT4P. Keywords : watermelon, hybrids, TSS, performance. PENDAHULUAN Semangka Citrulus lannatus Thumb Matsum Nakai diyakini berasal dari Afrika dan menyebar ke seluruh wilayah di dunia. Tanaman komersil ini memiliki kandungan air 90 . Kumar et al . 2012; Prabhakar et al. 2013. Disamping itu, kandungan lycopene pada daging buah semangka dipercaya mampu mengurangi resiko terserang kanker Naz et al. 2014. Selain daging buahnya kaya dengan berbagai macam vitamin, ternyata kulit buahnya mengandung senyawa polisakarida yang banyak digunakan sebagai anti kanker, anti pembekuan darah, anti virus dan anti oksidan Romdhane et al. 2017. Kesuksesan dalam program pemuliaan semangka hibrida di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas. Kondisi serupa juga terjadi di negara tetangga Malaysia. Kendala yang dihadapi dalam program pemuliaan semangka antara lain kurangnya sumber daya genetik dan cekaman lingkungan seperti kelembaban tinggi, curah hujan, dan serangan hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap varietas komersil yang dirilis oleh perusahaan benih asing Bahari et al. 2012. Pemuliaan hibrida pada tanaman menyerbuk silang seperti semangka memiliki beberapa kelebihan dibandingkan varietas bersari bebas, antara lain dalam peningkatan nilai yang mengarah kepada heterosis, dan stabilitas hasil yang lebih tinggi Longin et al. 2012. Program pemuliaan semangka pada awalnya bertujuan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi Gusmini dan 218 Wehner 2005. Selanjutnya juga diarahkan kepada perakitan varietas tahan cekaman abiotik Wakindiki dan Kirambia 2011 dan biotik Levi et al 2012. Disamping itu pemuliaan semangka mulai mengarah kepada perakitan varietas dengan kandungan nutrisi tinggi seperti varietas dengan kandungan citrullin, β-carotene, dan lycopene yang tinggi. Program pemuliaan juga diarahkan kepada perakitan aneka warna daging buah, dan tekstur daging renyah. Park and Choi 2012, Kim et al. 2015. Balai Penelitian Tanaman Buah Balitbu Tropika sampai saat ini telah memiliki delapan galur semangka yang telah stabil secara genetik. Kedelapan galur terdiri dari tiga nomor dengan warna daging merah dan lima nomor dengan warna daging kuning. Kedelapan galur ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tetua dalam mendapatkan varietas unggul baru, baik hibrida maupun varietas bersari bebas. Penelitian ini merupakan tahapan evaluasi dari hibrida silang tunggal yang dihasilkan dari kombinasi persilangan berbagai galur inbred yang dilakukan oleh tim pemulia semangka Balitbu Tropika. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika dan untuk mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri dari 19 kombinasi persilangan, yaitu BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1 x SGP, BT3 x BT1, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4 x BT4P, BT4P x BT4, BT4P x BT1, BT4P x BT5, BT5 x BT4, BT5 x BT1, BT5 x BT3, BT5 x BT4, BT6 x SGP, dan SGP x BT6. Kesembilan belas hasil silangan berasal dari lima galur dengan warna daging kuning dan tiga galur dengan warna daging merah. Masing-masing hibrida ditanam di dalam bedengan berukuran 16 x 6 m, dengan jumlah 30 tanaman per bedengan. Peubah yang diamati terdiri dari bobot buah, panjang buah, panjang tangkai buah, lingkar buah, tebal kulit buah, warna kulit buah, warna daging buah, warna biji dan total padatan terlarut TSS. Seleksi hibrida didasarkan kepada karakter yang disukai petani seperti bobot buah berkisar antara 4-6 kg, warna daging merah atau kuning, rasa manis, dan tahan simpan.. Percobaan merupakan percobaan deskriptif. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hibrida hasil persilangan galur murni koleksi Balitbu Tropika berjumlah 19 hasil silangan. Nomor silangan yang memiliki bobot buah tertinggi adalah BT4 X BT4P dan BT5 x BT3 dengan rerata bobot per buah mencapai 7,7 kg, sedangkan bobot buah paling ringan dimiliki oleh BT4P x BT1, yaitu 2,3 kg Tabel 1. Konsumen memiliki preferensi yang berbeda terhadap bobot buah semangka, petani lebih menyukai buah berukuran 4-5 kg karena akan menghasilkan produksi yang tinggi, sementara konsumen buah untuk konsumsi rumah tangga lebih menyukai buah berukuran kecil dengan bobot maksimal 3 kg per buah, karena satu buah langsung habis dikonsumsi satu keluarga tanpa harus disimpan jika bersisa. Galur semangka koleksi Balitbu Tropika dan hasil silangannya umumnya berbentuk bulat, sehingga memiliki panjang buah yang tidak terlalu panjang tetapi lingkar buahnya cukup besar. Panjang buah terpanjang terdapat pada hasil silangan BT4P x BT4 yaitu 22,7 cm dan panjang buah terpendek pada hasil silangan BT3 x BT6, yaitu 15 cm. Lingkar buah terlebar ditemukan pada hibrida hasil silangan BT4 x BT4P, yaitu 74,8 cm, dan lingkar buah terkecil ditemukan pada hibrida hasil silangan Bt3 X BT6, yaitu 50 cm. 219 Tabel 1. Karakter hibrida semangka Balitbu Tropika yang berhubungan dengan produksi. Aksesi Bobot buah Panjang Buah Lingkar Buah Tebal Kulit Warna kulit Warna daging Warna biji TSS 1 BT1 x BT3 4.5 20 62.5 1.2 HjMuda lorek Merah Hitam 9 2 BT1 x BT4 4.2 21 61.5 1 HjMuda lorek Merah Hitam 9.8 3 BT1xSGP 5.6 23 67.3 1.4 Hj Gelap Polos Merah hitam 11.2 4 BT3xBT1 5 21.4 66.3 1.2 Hj Gelap Polos Merah hitam 9.8 5 BT3 x BT5 5.1 22 66.5 1.1 Hj Gelap Polos Merah Coklat tua 9.5 6 BT3 x BT6 1.9 15 50 1.2 Hijau Gelap Merah Hitam 10 7 BT4 x BT2 5.3 21.9 66.8 1 hjMuda Polos Kuning Coklat 10.3 8 BT4 x BT4P 7.7 26 74.8 1.2 HjGelap Polos Kuning Coklat 9 9 BT4 x BT6 3.1 19 56 0.9 Hj Gelap Polos Kuning Coklat 8.2 10 BT4xBT4P 6.8 25 73 1 Hj Gelap Polos Merah kuning hitam 11.2 11 BT4PxBT4 5.5 22.7 67.7 1.1 Hj Gelap Polos Merah kuning hitam 9 12 BT4P x BT1 2.3 17.5 51 1.1 hjMuda Polos Kuning Coklat 7.2 13 BT4P x BT5 2.7 17 54 1 hjMuda Polos Kuning Coklat 8.2 14 BT5 x BT4 5.4 21.7 66.1 1.1 HjMuda lorek Kuning Coklat tua 9.1 15 BT5xBT1 4.9 21 66 0.8 Hj Gelap Polos Merah hitam 9.8 16 BT5 x BT3 7.7 25 74 0.8 HjMuda lorek Kuning Coklat 9.6 17 BT5xBT4 4.1 20 62 1.1 Hj Gelap Polos Kuning hitam 11.4 18 BT6xSGP 4.9 21.5 65 1.1 Hj Gelap Polos Merah hitam 11 19 SGP x BT6 4.4 20.8 64.8 1.4 Hj Gelap Polos Merah Hitam 10.2 Sumber : data primer 2016. Tebal kulit buah paling tebal ditemukan pada hasil silangan BT1 x SGP, yaitu 1,4 cm. kulit buah paling tipis ditemukan pada hasil silangan BT5 x BT3 dan BT5 x BT1, yaitu 0,8 cm. tebal kulit biasanya berhubungan dengan umur simpan buah. Menurut Kuswandi et al. 2014 Buah yang berkulit tipis cenderung akan mempunyai umur simpan yang pendek. Walaupun demikian, kulit buah yang terlalu tebal juga tidak memenuhi persyaratan buah berkualitas baik karena memiliki edible portion rendah. Warna kulit semangka hibrida koleksi Balitbu Tropika ada tiga, yaitu hijau muda berlorek, hijau muda polos, dan hijau gelap polos. Menurut Park et al. 2016 penampilan kulit buah merupakan karakter penting pada pemuliaan semangka, karena karakter inilah yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Studi genetik biasanya membicarakan pewarisan warna kulit buah, pola garis pada kulit buah dan bentuk buah. Buah semangka dengan warna hijau muda berlorek merupakan buah semangka pada umumnya yang biasa ditemukan di pasaran. Semangka dengan warna kulit buah hijau tua polos biasanya identik dengan karakter berkulit tebal, tekstur kulit buah lentur, sehingga tahan pecah dan tahan simpan. Sedangkan warna kulit buah hijau muda polos diduga terbentuk akibat terjadinya penggabungan dua karakter resesif pada saat pembentukan warna kulit. Dalam sebuah hasil persilangan biasanya warna kulit buah hijau muda polos akan tertutupi oleh warna kulit buah hijau gelap polos dan hijau muda berlorek. Hasil silangan yang memiliki warna kulit buah hijau muda polos adalah BT4 x BT2. Gambar 1. 220 Gambar 1. Keragaan warna kulit buah semangka koleksi Balitbu Tropika Seperti diketahui, warna daging buah semangka biasanya berwarna merah dan kuning. Warna daging buah merah kuning biasanya terjadi ketika tanaman betina dengan merah diserbuki bunga jantan dari tanaman yang warna daging buahnya kuning atau sebaliknya. Hasil silangan yang memiliki warna daging merah kuning adalah BT4 x B P dan BT4P x BT4 Gambar 2. Gambar 2. Keragaan warna daging buah semangka Balitbu Tropika TSS atau total padatan terlarut biasanya berhubungan dengan kemanisan, walaupun sebenarnya kemanisan pada buah juga dipengaruhi oleh total asam. Hasil silangan yang memiliki rata- rata TSS paling tinggi adalah BT5 X BT4 yaitu 11,4 briks, sedangkan rata-rata TSS paling rendah terdapat pada BT4P x BT1, yaitu 7,2 briks. Berdasarkan hasil dialog dengan beberapa orang petani mitra di beberapa lokasi pengujian semangka Balitbu Tropika yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, disimpulkan bahwa buah semangka yang diminati petani dan konsumen kalangan menengah ke bawah biasanya memiliki bobot buah 4-5 kg, rasa manis TSS ≥ 10 briks, dan berkulit agak tebal sehingga tidak mudah pecah selama pengangkutan Tabel 2. Dari ketiga karakter unggul yang dijadikan sebagai kriteria seleksi, ternyata tidak satupun hibrida yang unggul pada ketiga kriteria tersebut. Tabel 2. Nomor silangan semangka yang memiliki keunggulan pada bobot buah, TSS, dan ketebalan kulit buah. No. Karakter Hibrida 1. Bobot buah sedang 4-5 kg BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT3xBT1, BT5xBT1, BT5xBT4, BT6xSGP, SGP x BT6 2. TSS ≥ 10 briks BT1xSGP , BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6 , BT4xBT4P 3. Kulit buah agak tebal 1,1 - 1,3 cm BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1xSGP, BT3xBT1, BT3 x BT5, BT3 x BT6 , BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4xBT4P, BT4PxBT4, BT4P x BT5, BT5 x BT4, BT5xBT1, BT5 x BT3, BT5xBT4, BT6xSGP, SGP x BT6 Sumber : data primer 2016. 221 Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. Hibrida yang memiliki keunggulan pada bobot buah 4-5 kg dan rasa manis belum ditemukan. KESIMPULAN Semangka hibrida yang dihasilkan Balitbu Tropika berjumlah 19 nomor silangan. Hibrida tersebut memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit buah dan kemanisan. Belum ditemukan hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yaitu bobot buah sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. DAFTAR PUSTAKA Bahari, M., Rafii, M.Y,Saleh, G.B and Latif. M.A. 2012. Combining ability analysis in complete diallel cross of watermelon Citrullus lanatus Thumb.Matsum. Nakai. The ScientificWorld Journal: 1-6. doi:10.11002012543158. Gusmini, G and T.C.Wehner. 2005. Foundations of yield improvement in watermelon. Crop Sci. 45:141 –146. Kumar,V, Shirol, A.M., Mulge, R, Thammaih, N. and Kumar, P. 2012. Genotype x environmental interaction in watermelon Citrullus lanatus Thunb. genotypes for yield and quality traits. Karnataka J. Agril. Sci., 25:248-252. Levi, A, Thies, JA,Wechter, WP, Harrison, HF,Simmons, AM, Reddy, UK, Nimmakayala, P, Fei, Z. 2012. High frequency oligonucleotides: targeting active gene HFO-TAG markers revealed wide genetic diversity among Citrullus spp. accessions useful for enhancing disease or pest resistance in watermelon cultivars. Genet Resour Crop Evol. 1-14. DOI 10.1007s10722-012-9845-3. Kim, H, Han, D, Kang, J, Choi, Y, Levi, A, Lee, GP, Park, Y. 2015. Sequence characterized amplified polymorphism markers for selecting rind stripe pattern in watermelon Citrullus lanatus L.. Hort. Environ. Biotechnol. 563:341-349. DOI 10.1007s13580-015-0017-1 Kuswandi, Sobir, Suwarno, WB. 2014. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Rambutan di Indonesia Berdasarkan Karakter Morfologi. J.Hort. 244 : 289-298. Longin, C.F.H., J. Muhleisen, H.P. Maurer, H. Zhang, M. Gowda, J.C. Reif. 2012. Hybrid breeding in autogamous cereals. Theor Appl Genet 125:1087 –1096. Naz A., M.S.Butt, M.T.Sultan, M.M.N Qayyum, R.S Niaz. 2014. Watermelon lycopene and allied health claims. EXCLI Journal 13:650-666. Park, Y, Choi, S. 2012. Watermelon production and breeding in South Korea. Israel J. Plant Sci. 60:415-423. Park, SW, Kim, KT, Kang, SC, Yang, HB. 2016. Rapid and practical molecular marker development for rind traits in watermelon. Hortic. Environ. Biotechnol. 574:-. Korean Society for Horticultural Science and Springer 2016. DOI 10.1007s13580-016-0005-0 Prabhakar, M, Hebbar, S.S. and Nair, A.K. 2013. Influence of various sources and levels of fertilizer applied through fertigation on hybrid watermelon grown in rabi-summer. J. Hortl. Sci. 81:60-64. Romdhane, M, Haddar, A, Ghazala, I, Jeddou, KB, Helbert, CB, Chaabouni, SE. 2017. Optimization of polysaccharides extraction from watermelon rinds: Structure, functional and biological activities. Food Chemistry 216: 355 –364. http:dx.doi.org10.1016j.foodchem.2016.08.056. Wakindiki IIC, Kirambia RK. 2011. Supplemental irrigation effects on yield of two watermelon Citrulus lanatus cultivars under semi-arid climate in Kenya. African Journal of Agricultural Research 621:4862-4870. 222 TINGKAT KEMATANGAN BUAH RAMBUTAN TERHADAP KUALITAS MANISAN KERING BUAH RAMBUTAN THE MATURITY INDEX OF RAMBUTAN FRUIT ON THE QUALITY OF RAMBUTAN DRIED CANDIED Nofiarli, Kuswandi, Andre Sparta, Mega Andini, Yulia Irawati dan Nini Marta Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok Aripan Km 8 Solok, Sumatera Barat Email : ali_swarnayahoo.co.id ABSTRAK Rambutan merupakan buah yang sangat populer di Asia. Di Asia terdapat lebih dari 200 jenis varietas rambutan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan indeks kematangan terbaik buah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Data yang diperoleh di analisis secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s. Perlakuannya adalah Korong Gadang dengan indeks kematangan A 25 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Korong Gadang dengan indeks kematangan B 50 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Korong Gadang dengan Indeks kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Sitangkue dengan indeks kematangan A 25 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Sitangkue dengan indeks kematangan B 50 warna kulit dan rambut buah berwarna merah dan Sitangkue dengan Indeks kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah. Pengamatan yang dilakukan adalah Rendemen manisan dan uji organoleptik terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan. Pengamatan lain adalah kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar karbohidrat dan vitamin C. Perlakuan terbaik adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah. Pelakuan ini memiliki kadar vitamin C dan karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 .. Perlakuan ini sangat cocok dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan manisan kering rambutan. Uji organoleptik memberikan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistik. Kata kunci : Rambutan, varietas, manisan kering ABSTRACT Rambutan is a fruit which is very popular in Asia. In Asia, there are more than 200 kinds of rambutan varieties. The purpose of this research was to determine the best variety and appropriate rambutan maturity level as a basic raw material for rambutan fruit dried candied. This research was conducted in January to February 2015 in the Post Harvest Laboratory, ITFRI, Solok, West Sumatera, Indonesia. This research used completely randomized design with six treatments and three replications. The treatments were Korong Gadang with A maturity index 25 fruit rind and hair red color, Korong Gadang with B maturity index 50 fruit rind and hair color red, Korong Gadang with the C maturity index 75 fruit rind and hair red color, Sitangkue with A maturity index 25 fruit skin and hair red color, Sitangkue with B maturity index 50 fruit rind and hair red color and Sitangkue with the C maturity index 75 fruit rind and hair red color. The observations made were candied yield and organoleptic test on aroma, color and appearance. Another observation was water content, ash content, fiber content, carbohydrate content, and vitamin C. The best treatment was Korong Gadang varieties with C harvest index. This treatment had higher of vitamin C content and carbohydrate of 33.8 mg and 84.73. This treatment was very suitable as a basic raw material for making rambutan dried candied.The organoleptic test gave the result was not significant base on statistical analysis. Keyword : Rambutan, Dried Candied 223 PENDAHULUAN Rambutan Nephelium lappaceum L. di duga berasal dari Indonesia dan Malaysia. Rambutan di tanam hampir di semua wilayah di Asia Tenggara Siebert 1991 dan sangat populer di Asia Kondo, et al., 2001. Rambutan termasuk dalam family Sapindaceae, satu famili dengan buah sub- tropika leci dan longan Marisa, 2006.Buah rambutan bisa di konsumsi dalam bentuk segar, buah kaleng, atau setengah jadi. Buah ini memiliki kesegaran rasa dan penampilan yang eksotik Ong et al., 1998. Pada saat panen raya ketersediaan buah rambutan sangat banyak, sehingga harga buah rambutan bisa jatuh sangat drastis. Untuk itu, maka perlu usaha untuk meningkat kan nilai tambah rambutan Sukasih dan Setiadjit, 2015. Disamping itu, r ambutan merupakan buah yang memiliki masa simpan sangat pendek.Daya simpan yang pendek membuat buah rambutan sulit untuk didistribusikan dengan tujuan untuk penjualan jarak jauh Hastuti et al., 2013. Menurut Srilaong et al ., 2002 komersialisasi rambutan menjadi sangat terbatas karena kehilangan hasil selama penyimpanan dan sangat mudah mencoklat. Oleh karena itu, pengolahan buah rambutan menjadi berbagai produk olahan menjadi sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah buah rambutan. Disamping itu, menurut Vega-Gálvez et al., 2015 dan Shahdadi et al., 2015 produk makanan sampingan kering berbahan dasar buah dapat meningkatkan gizi dan menjaga kesehatan. Pengeringan buah dapat meningkatkan daya simpan dan mencegah pertumbuhan mikro organisme Horuz dan Maskan, 2015; Arinola, 2016; dan Fayose, 2016. Oleh karena itu, pengolahan buah rambutan menjadi manisan kering merupakan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan buah rambutan. Buah rambutan memiliki kadar air yang tinggi dengan ketebalan daging yang bervariasi dari sangat tipis sampai tebal berdasarkan varietas. Hal ini terjadi karena rambutan memiliki keragaman jenis yang sangat tinggi. Menurut Sonwai 2012 terdapat lebih dari 200 jenis rambutan yang tersebar di seluruh kawasan tropik asia. Untuk itu, pemilihan varietas yang tepat untuk menjadi bahan baku pembuatan manisan kering menjadi sangat perlu. Kriteria yang diperlukan adalah buah dengan kadar air rendah dan daging tebal. Berdasarkan kriteria di atas, maka dipilih varietas Sitangkue dan Korong Gadang karena kedua varietas ini memiliki karakter kadar air rendah dan daging buah tebal. Rambutan adalah buah non klimaterik Leong, 1982, dan tidak akan melanjutkan proses pematangan buah setelah diambil dari batang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu untuk melakukan pemanenan pada kondisi kualitas optimal untuk di makan segar dengan penampakan visual buah yang baik O’Hare, 1995. Rasa merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu produk makanan. Rasa manisan yang diinginkan oleh konsumen adalah rasa manis dengan rasa buah yang segar. Namun demikian, rasa manisan akan ditentukan oleh produk asal manisan itu sendiri. Maka pemilihan tingkat kematangan yang tepat sangat menentukan dalam mendapatkan kualitas manisan terbaik. Berdasarkan hal diatas maka tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan tingkat kematangan yang tepatbuah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan. BAHAN DAN METODA Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Tropika Balitbu Tropika, Solok, Sumatera Barat. Varietas yang digunakan adalah rambutan varietas Sitangkue dan Korong Gadang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuannya adalah Korong Gadang dengan tngkat kematangan A 25 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Korong Gadang dengan tingkat kematangan B 50 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Korong Gadang dengan Tingkat kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Sitangkue dengan Tingkat kematangan A 25 warna kulit dan rambut buah berwarna merah, Sitangkue dengan Tingkat kematangan B 50 warna kulit dan rambut buah berwarna merah dan Sitangkue dengan Tingkat kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah. Jumlah sampel yang digunakan adalah 100 buah per perlakuan. Bahan dan alat yang digunakan adalah rambutan varietas Korong Gadang dan Sitangkue, alumunium foil, alat panen rambutan, kantong plastik, pisau, aneka wajan, oven, tanur, dan aneka alat tulis. Buah rambutan dipanen menurut tingkat kematangan tertentu sesuai perlakuan. Kulit buah di kupas dan di ambil isinya, kemudian di potong menjadi dua bagian. Selanjutnya biji dikeluarkan dan di ambil daging buahnya. Selanjutnya daging buah segar langsung dioven selama 24 jam pada suhu 70 o C. 224 Pengamatan yang dilakukan adalah rendemen manisan. Rendemen dihitung dengan perbandingan antara berat kering akhir bahan dengan berat basah awal bahan. Uji berikutnya adalah uji organoleptik terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan terhadap 25 orang panelis di Balitbu Tropika panelis berumur antara 15 – 40 tahun tergolong panelis smi terlatih. Uji organoleptik didasarkan pada penilaian spesifik secara skoring oleh panelis dengan kriteria sebagai berikut : 1 sangat tidak suka, 2 tidak suka, 3 suka, 4 sangat suka, dan 5 sangat suka sekali. Pengamatan lain adalah kadar air dengan motode oven pada suhu 105 o C selama 4 jam, kadar abu dengan metode tanur pada suhu 550 o C selama 4 jam, kadar serat dengan metode gravimetri, kadar karbohidrat dengan metode spe k trofotometri dan vitamin C dengan metode titrimetri. Data yang diperoleh di analisis secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software STAR 2.0.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar 1 terlihat bahwa varietas Korong Gadang, memiliki rendemen manisan berbanding lurus terhadap tingkat kematangan. Semakin matang buah yang digunakan sebagai bahan dasar pembutan manisan, maka akan semakin tinggi rendemen manisan yang didapatkan. Rendemen tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah yaitu 20,73. Sementara pada rambutan varietas Sitangkue, rendemen tidak di tentukan oleh tingkat kematangan buah. Rendemen tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A 25 warna kulit dan rambut buah berwarna merahyaitu 24,90. Dari grafik pada gambar 1.dapat terlihat bahwa varietas Sitangkue memiliki rendemen lebih besar dari pada varietas Korong Gadang. Gambar 1. Rendemen manisan kering rambutan A B Gambar 2. Rambutan Sitangkue A dan Rambutan Korong Gadang B Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengauh nyata terhadap rasa manisan rambutan Tabel 1. Angka penerimaan panelis tertinggi diperoleh pada varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan B 3,28 suka, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,88 tidak suka. Rasa manisan kedua varietas rambutan adalah memiliki rasa khas buah rambutan dengan dominasi rasa manis. Rendemen; KA; 15,18 Rendemen; KB; 19,39 Rendemen; KC; 20,73 Rendemen; SA; 24,89 Rendemen; SB; 18,87 Rendemen; SC; 19,09 KA KB KC SA SB SC 225 Tabel 1. Data uji organoleptik rasa, aroma, warna dan penampilan Perlakuan Rasa Aroma Warna Penampilan Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,88 ns 2,44 ns 2,72 ns 2,48 ns Korong Gadang dengan tingkat kematangan B 3,28 2,36 2,8 2,76 Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 3,24 2,32 2,64 2,8 Sitangkue dengan tingkat kematangan A 3,08 2,36 2,84 2,64 Sitangkue dengan tingkat kematangan B 3,12 2,32 2,52 2,6 Sitangkue dengan tingkat kematangan C 3,04 2,6 2,68 2,72 Ns = Non siknifikan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter aroma Tabel 1. Dari data terlihat bahwa perlakuan varietas Sitangkue dan tingkat kematangan C 2,6 suka adalah perlakuan yang paling disukai, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,32 tidak suka. Pada penentukan kualitas produk, aroma dan komponen volatil adalah karakter utama yang harus diperhatikan dan dievaluasi Mujic et al, 2014. Aroma sebagian besar produk makanan terdiri dari gabungan ratusan senyawa Plutowska dan Wardencki, 2007. Senyawa phenol adalah senyawa yang menentukan rasa dan aroma buah Senglina, 2009. Sebagian besar senyawa volatil yang paling mudah menguap adalah golongan senyawa terpen, keton dan lakton Singh dan Singh, 2012. Warna adalah parameter penting dalam uji organoleptik Sukasih dan Setyadjit, 2015. Variabel warna sangat berhubungan dengan tipe dan kualitas pigmen dalam makanan Ozkan, 2003. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap warna manisan kering rambutan Tabel 1. Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan A 2,84 suka, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,52 tidak suka. Perubahan warna pada manisan rambutan terjadi karena adanya proses karamelisasi. Proses ini terjadi selama proses pengeringan. Menurut Shahdadi et al., 2015, selama proses pengeringan, oksidasi pigmen, enzim dan non enzim menyebabkan perubahan warna pada produk. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap penampilan manisan kering rambutan Tabel 1.Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 2,8 suka, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,48 tidak suka. Kombinasi warna dan tekstur merupakan faktor utama yang menentukan penampilan produk makanan. Menurut Priyono et al., 2014, Suhu 80oc dan lama pengeringan diatas 12 jam akan menghasilkan manisan kering belimbing menjadi keras. Tabel 2. Data kadar air dan kadar abu Perlakuan Kadar Air Kadar Abu Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,44 ns 1,61 ns Korong Gadang dengan tingkat kematanga B 2,36 1,51 Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 2,32 1,32 Sitangkue dengan tingkat kematangan A 2,36 1,87 Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,32 1,84 Sitangkue dengan tingkat kematangan C 2,60 1,64 Ns = Non siknifikan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air manisan kering rambutan Tabel 2. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan C 2,60 sedangkan kadar air terendah terdapat pada perlakuan varietas Korong gadang dengan tingkat kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,32. Kandungan 226 kadar air akan berpengaruh terhadap warna suatu produk makanan. Menurut Ozkan 2003 menyatakan bahwa kandungan air berpengaruh pada refleksi warna pada manisan aprikot. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu manisan kering rambutan Tabel 2. Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B 1,84, sedangkan perlakuan yang memiiki kadar abu terendah adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 1,32. Kadar abu akan menunjukkan kandungan mineral pada bahan. Menurut Olaoye and Onilude 2008, Widaningrum et al., 2008 mengatakan bahwa kadar abu mengindikasikan adanya kandungan mineral dalam makanan. Pada Rambutan, vitamin C adalah kandungan vitamin tertinggi dibanding dengan vitamin- vitamin lainnya Kimbal, 1999. Berdasarkan data pada gambar 2, dapat dilihat bahwa tingkat kematangan berbanding lurus dengan kadar vitamin C. Pada varietas Sitangkue, semakin matang buah yang digunakan, maka kadar vitamin C akan semakin menurun. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A 25,45 mg, sedangkan tingkat kematangan C memiliki kandungan vitamin C terendah 16,45 mg. Berbanding terbalik dengan varietas Sitangkue, pada varietas Korong Gadang, semakin tinggi indeks kematangan, maka kadar vitamin C akan semakin tinggi. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C 33,8 mg sedangkan kadar vitamin C terendah terdapat pada tingkat kematangan A 17,02 mg. Dari kedua varietas terlihat bahwa varietas Korong Gadang memiliki kadar vitamin C lebih tinggi dari pada varietas Sitangkue pada semua tingkat kematangan. Menurut Sukasih dan Setyadjit 2015, kisaran kandungan vitamin C daging buah segar rambutan adalah 56,68 mg100 g. Ringeisen 2012 menambahkan bahwa kandungan vitamin C pada buah kering lebih rendah dari buah buah segar. Gambar 2. Kandungan vitamin c manisan kering rambutan Gambar 3. Kandungan Karbohidrat Manisan Kering Rambutan Berdasarkan data pada gambar 3 terlihat bahwa pada varietas Sitangkue, kenaikan tingkat kematangan menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A 81,22 dan terendah pada tingkat kematangan C 75,9 . Sedangkan pada varietas Korong Gadang terjadi perubahan kandungan karbohidrat yang fluktuatif. Vit C; SA; 25,45 Vit C; SB; 16,99 Vit C; SC; 16,95 Vit C; KA; 17,02 Vit C; KB; 17,09 Vit C; KC; 33,8 S A Karbohidrat; SA; 81,22 Karbohidrat; SB; 77,42 Karbohidrat; SC; 75,9 Karbohidrat; KA; 82,38 Karbohidrat; KB; 73,73 Karbohidrat; KC; 84,73 SA 227 Pada tingkat kematangan A kandungan karbohidratnya adalah 82,38 . Pada tingkat kematangan B terjadi penuruan kandungan karbohidrat menjadi 73,73 dan naik lagi pada tingkat kematangan C menjadi 84,73 . Pada varietas Sitangkue, tingkat kematangan mempengaruhi kandungan serat. Semakin tinggi tingkat kematangan, maka akan semakin rendah kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A dan terendah pada tingkat kematangan C. Sedangkan pada varietas Korong Gadang terjadi fluktuasi kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A dan terendah pada tingkat kematangan B. Gambar 4. Kandungan serat manisan kering rambutan KESIMPULAN Varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 75 warna kulit dan rambut buah berwarna merah merupakan perlakuan yang paling disukai dan memiliki kadar vitamin C dan karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 , serta sangat cocok dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan manisan kering rambutan. DAFTAR PUSTAKA Arinola, S. O. Ogunbusola, E. M. and Adebayo, S. F. 2016. Effect of Drying Methods on the Chemical, Pasting and Functional Properties of Unripe Plantain Musa paradisiaca Flour. British Journal of Applied Science Technology 143 : 1-7. Fayose, F and Huan, Z. 2016. Heat Pump Drying of Fruits and Vegetables: Principles and Potentials for Sub-Saharan Africa. International Journal of Food Science. Volume 2016. Hastuti, S., Kurnianti, Y.D., and Fahry, M. 2013. Produksi Rambutan Kering Dengan Variasi Konsentrasi Larutan Kapur Dan Karakteristik Pengeringan. Jurnal Agrointek, Volume 7 No 1. Horuz, E. and Maskan, Medeni. 2015.Hot air and microwave drying of pomegranate Punica granatum L. arils. J Food Sci Technol. volume 521 : 285 –293. Kimball, D.A. 1999. Citrus processing a complete guide second edition. Maryland : Aspen Publisher. Leong, PC., 1982. Summary report on mango and rambutan project in Singapore. In: Proceedings of the Workshop on Mango and Rambutan, 18-25 April 1982, University of the Philippines at Los Banos, College, Laguna, Philippines, pp. 30-33. Marisa. 2006. Ascorbic acid and mineral composition of longan Dimocarpus longan, lychee Litchi chinensis and rambutan Nephelium lappaceum cultivars grown in Hawaii. Journal of Food Composition Analysis, vol 19 2006, pp. 655 – 663. Olaoye, O.A. dan A.A., Onilude. 2008. Microbiological, proximate analysis and sensory evaluation of baked products from blends of wheat-breadfruit flours. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development. Vol. 82 : 192-203. O’Hare, T.J. 1995. Postharvest physiology and storage of rambutan. Postharvest Biology and Technology 6 1995 : 189-199. Kadar Serat; SA; 2,498 Kadar Serat; SB; 2,5 Kadar Serat; SC; 2,39 Kadar Serat; KA; 2,708 Kadar Serat; KB; 2,557 Kadar Serat; KC; 2,617 SA SB 228 Ong, P.K.C, Acree,T.E dan E.H. Lavin. 1998. Characterization of volatiles in rambutan fruit Nephelium lappaceum L.. Journal of Agricultural Food Chemistry, 46 1998, pp. 611 – 615. Ozkan, M., Kirca, A. Egul, dan Cemeroglu B. 2003. Effect of moisture content on CIE color values in dried apricots. Eur Food Res Technol 216 : 217 –219. Plutowska, B., dan Wardencki W. 2007. Aromagrams –aromatic profiles in the appreciation of food quality. Food Chem 101: 845 –872. Priyono, Suci, R.P, Sukirman, JFX.S. 2014.Training Use Of Papaya Carisa papaya L. Dried Fruit Papaya Into Sweets Case Study In The Village Bendotretek, Prambon District, District Sidoarjo. International Journal of Small Business and Entrepreneurship Research. Vol.2, No.3, pp.33-41. Ringeisen, H. Blake. 2012. Concentrated solar fruit drying of tomatoes. ProQuest LLC. 789 East Eisenhower Parkway. Seglina, D., Krasnova, I., Heidemane, G., and Ruisa, S. 2009. Influence Of Drying Technology On The Quality Of Dried Candied Chaenomeles Japonica During Storage. Agronomijas Vestis, pp 113 – 118. Shahdadi, F. Mirzaei, H. O. and Garmakhany, A. D. 2015. Study of phenolic compound and antioxidant activity of date. J Food Sci Technol 52 3 : 1814 –1819. Siebert, B. 1991. Nephelium lappaceum L., di dalam Verheij EWM Coronel, RE eds., Sumberdaya nabati Asia Tenggara 2 buah-buahan yang dapat dimakan, PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Prosea Indonesia dan European Commission, Jakarta. Singh, Zora and Singh, S. Pal. 2012. “Mango” in Crop Post-Harvest: Science and Technology Perishables. A John Wiley Sons, Ltd., Publication. Chapter 6, P 108 – 142. Sonwai, S dan Ponprajhanuvud, Punnee. 2012. Characterization of physicochemical and thermal properties and crystallization behavior of krabok Irvingia Malayana and rambutan seed fat. Journal of Oleo Science. 61 12 : 671 – 679. Srilaong, V., Kanlayanarat, dan S., Tatsumi, Y., 2002. Changes in commercial quality of ‘‘Rong rieng’’ rambutan in modified atmosphere packing. Food Sci. Technol. Res. 8, 337–341. Sukasih, Ermi dan Setyadjit. 2015. Development of new product : rambutan pulpy juice. Procedia Food Science 3 2015 : 413 – 425. Vega-Gálvez, A. Zura-Bravo, Liliana, Lemus-Mondaca, R. Martinez-Monzó, J. Quispe-Fuentes, I. Puente, L and Karina, D.S. 2015. Influence of drying temperature on dietary fibre, rehydration properties, texture and microstructure of Cape gooseberry Physalis peruviana L.. J Food Sci Technology 52 4 : 2304 –2311. Widaningrum, N. Setyawandan, dan D.A. Setyabudi. 2008. The effect of spicy and frying temperature on chemical properties of chikpea Phaseolusradiatus. Postharvest Journal 5 2 : 45-54. 229 PENGKAJIAN MUTU LADA HIJAU KERING SELAMA PENYIMPANAN IMPROVING QUALITY OF PEPPER GREEN DRY DURING STORAGE Jhon David 1 dan Taufik Hidayat 2 1 Balai Penelitian Teknologi Pertanian BPTP Kalimantan Barat 2 Balai Penelitian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu jhondavidsilalahiyahoo.com ABSTRAK Lada hijau kering adalah merupakan diversifikasi produk lada, dan salah satu kriteria mutu lada hijau kering yang baik adalah warna hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu lada hijau kering selama penyimpanan pada berbagai suhu dalam tiga jenis kemasan. Penelitian dilaksanakan di Desa Sahan dan Laboratorium tahun 2016, dengan bahan baku utamanya lada hijau. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua factorial, faktor pertama adalah jenis kemasan Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil, faktor kedua adalah tingkatan suhu T0= 20 C, T1 = 30 C =suhu ruangan dengan jumlah ulangan 6, dan dilakukan pengamatan selama 4 bulan. Parameter yang diamati yaitu karakteristik bahan seperti , warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH, dan uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma, dan penerimaan umum dengan metode scoring. Hasil penelitian menunjukkan jenis kemasan, suhu ruang, dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap mutu lada hijau kering. Jenis kemasan aluminium foil pada ruangan bersuhu 30 C dapat mempertahankan warna hijau hingga 4 bulan, kadar air 5,32, kadar minyak 2,12-2,45 dan pH 4-5. Kata kunci : lada hijau kering, mutu, penyimpanan, suhu, jenis kemasan ABSTRACT Dried green pepper is a pepper product diversification, and one of the quality criteria of dried green pepper is a good green color. This study aimed to determine changes in the quality of green pepper dry during storage at various temperatures in the three types of packaging. The research was conducted in the village of Sahan and Laboratories in 2016, the main raw material of green pepper. This study uses a completely randomized design with two factorial, the first factor is the type of packaging Ko = packaging LDPE, K1 = PP, k3 = aluminum foil, the second factor is the degree of temperature T0 = 20 C, T1 = 30 C = room temperature with a number of Deuteronomy 5, and was observed for 4 months. The parameters observed were the characteristics of materials and packaging, color, moisture content, oil content, pH and organoleptic tests that include color, flavor, aroma, and the general acceptance of the scoring method. The results showed the type of packaging, the temperature of the room, and storage time influences the quality of dried green pepper. Types of aluminum packaging foil at room temperature of 300C can maintain the green color until 4 months, the water content of 5.32, oil content from 2.12 to 2.45 and a pH of 4-5. Keywords: dried green pepper, quality, storage, temperature, type of packaging 230 PENDAHULUAN Diantara produk lada tersebut, lada hijau kering dehydrated green pepper merupakan salah satu produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan produk lada hitam dan putih. Nilai lada hijau kering mencapai US 3.950kg, sedangkan lada putih mencapai US 2.168kg dan lada hitam mencapai US 1.1117kg Nair, 2006. Lada hijau merupakan salah satu produk lada yang diolah dengan cara mempertahankan warna hijaunya. Dikenal beberapa bentuk lada hijau tergantung proses pembuatannya, yaitu lada hijau dalam larutan garam yang dikalengkan atau dibotolkan canned green pepper, lada hijau kering dehydrated green pepper dan lada hijau kering beku. Lada hijau dapat digunakan baik sebagai hiasan dalam makanan maupun sebagai rempah Nurdjanah N dan Hoerudin, 2008 Persyaratan buah lada untuk pembuatan lada hijau kering yaitu buah dalam kondisi segar, agak muda, warna hijau agak gelap, dan cukup keras Pruthi, 1992. Varitas lada berpengaruh terhadap mutu produk akhir. Perlakuan pendahuluan sebelum pe-ngeringan bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan browning agar lada yang dihasilkan tetap berwarna hijau. Pencoklatan yang terjadi selama pengolahan lada hijau merupakan proses enzimatis yang dikatalisasi oleh enzim polifenolase dengan adanya oksigen Vergeshe, 1991. Pencoklatan enzimatis terjadi karena komponen fenolik terkonversi menjadi melanin coklat yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase Weller et al., 1997. Menurut Mathew 1993, komponen utama senyawa fenolik pada lada yang responsif terhadap reaksi pencoklatan diidentifikasi sebagai 3,4-dihydroxy-6-N-ethylamino benza-mide. Lada hijau kering yang bermutu baik ditandai oleh warnanya yang hijau alami, bentuk relatif utuh, aroma dan rasa mendekati aslinya, bebas dari kontaminasi kotoran dan mikroorganisme. Kadar minyak dan piperin merupakan komponen kimia yang memberikan kontribusi terhadap rasa dan aroma lada hijau Mathew, 1993. Oleh karena itu, tingginya kadar minyak dan piperin merefleksikan tingginya mutu lada hijau kering. Mutu lada hijau kering dipengaruhi oleh mutu bahan baku, perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan, dan metoda pengeringan Pruthi, 1992. Pada prinsipnya proses pengolahan lada hijau kering melalui beberapa tahap, yaitu pemisahan buah lada dari tangkainya, pencucian, blansir sebagai perlakuan pendahuluan, dan pengeringan. Minyak atsiri dan piperin merupakan senyawa kimia yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma lada hijau kering. Oleh karena itu, tingginya kadar minyak atsiri dan piperin merefleksikan tingginya mutu lada hijau kering. Piperin merupakan senyawa utama yang memberikan rasa pedas khas lada. Senyawa tersebut merupakan alkaloid yang berbentuk trans-trans 1-piperolipiperidin. Minyak atsiri merupakan komponen volatil yang memberikan kontribusi terhadap aroma flavor lada hijau kering. Aroma lada hijau kering lebih baik daripada lada putih dan lada hitam karena kandungan monoterpena yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kualitas aroma lada yang optimal. Kelompok monoterpen secara umum memberikan aroma top-pepperynote, sesquiterpena memberikan aroma pepper odor , sedangkan senyawa sesquiterpena beroksigen merupakan body dari aroma lada Lada hijau kering memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimilimencapaiki lada putih dan lada hitam, yaitu warnanya hijau alami menyerupai buah lada segar. Rendemen lada hijau kering yang dihasilkan pada umumnya berkisar antara 18-21. Lada hijau kering akan terjaga aroma dan rasanya untuk jangka waktu yang lama bila disimpan pada suhu 20- 25 o C serta terhindar dari cahaya dan kelembapan udara yang tinggi. METOLODOGI PENELITIAN Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lada hijau segar yang diperoleh dari petani lada di desa Sahan, kecamatan Seluas Kab. Bengkayang.. Bahan lainnya adalah antara lain asam sitrat, asam malat dan asam tartrat sebagai zat anti pencok-latan dan toluen yang digunakan untuk pengukuran kadar air. Penelitian dilakukan pada 2016 di desa sahan dan Laboratorium. Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu 1 karak-terisasi lada hijau segar yang meliputi uji warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH dan bulk density; 2 peng-olahan lada hijau kering.Penelitian dirancang secara Acak Lengkap faktorial, dengan dua faktor, faktor pertama jenis kemasa yang terdiri dari 3 jenis yaitu jenis kemasan Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil, faktor kedua adalah tingkatan suhu T0= 20 C, T1 = 30 C =suhu ruangan dengan jumlah ulangan 5, dan dilakukan pengamatan selama 4 bulan 231 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi buah lada segar bertujuan untuk mengetahui mutu awal buah lada yang akan dikering-kan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi warna, kadar air, kadar minyak atsiri, bulk density dan pH, seperti yang tertera pada Tabel 1. Dari kajian yang dilakukan didperoleh bahwa warna buah lada segar 16,23 yang diukur dalam derajat, dan nilai pH adalah sebesar 5,68 sepeti yang ditunjukkan dalam tabel 1. Tabel 1. Penampakan buah segar lada hijau Parameter buah lada segar Warna a 16,23 Kadar air 75,28 Kadar atsiri 3,72 Densitas kamba gl 610,85 pH 5,68 Warna merupakan parameter penting yang harus diperhatikan dalam mutu lada hijau karena menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Pengukuran warna dilaku-kan menggunakan notasi Hunter dengan notasi a menyatakan warna kromatik merah-hijau. Menurut Francis 1998, pada notasi Hunter nilai +a positif berkisar antara 0 - +100 menyatakan warna merah sedangkan –a negatif berkisar dari 0 - -80 menyatakan warna hijau. Semakin ne-gatif nilai a menunjukan semakin tinggi intensitas kehijauannya. Nilai warna lada hijau hasil pengukuran dengan notasi Hunter terdapat di dalam kisaran warna hijau. Warna hijau ini disebabkan karena pengaruh klorofil yang terkandung di dalamnya. Nilai kadar air lada hijau segar diperoleh pada kisaran angka 75,28 persen bb. Kandungan kadar air yang tinggi dalam bahan dapat mengaktifkan enzim penyebab kerusakan bahan, salah satunya adalah reaksi pencoklatan akibat aktivitas fenolase Eskin ,1990. Untuk mence-gah kerusakan bahan, perlu dilakukan pengurangan kadar air lada hingga maksimal 12 Nature’s, 2007. Kadar minyak atsiri lada hijau segar sebesar 3,72 . Minyak atsiri menimbulkan bau khas pada lada serta bersifat mudah menguap sehingga pada suhu ruang aromanya dapat dengan mudah ditangkap oleh indera penciuman. Densitas kamba Bulk density pada lada hijau segar sebesar 610,85 gl. Densitas kamba merupakan nilai perbandingan bobot kamba suatu bahan dengan volume yang ditempatinya, termasuk ruang kosong yang ter-bentuk. Dapat diduga bahwa densitas kamba merupakan salah satu karak-teristik buah lada yang lebih ditentukan oleh sifat genetikjenis buah lada, cara budidaya serta lingkungan tumbuhnya Besarnya nilai densitas kamba pada lada hijau segar dipengaruhi oleh tingginya jumlah air yang terkandung di dalamnya. Sedangkan nilai pH lada hijau segar sebesar 5,68. Besarnya nilai pH sangat erat kaitannya dengan aktivitas fenolase. Nilai pH menentukan besar-nya aktifitas enzim fenolase. Menurut Variyar et al. 1988 enzim fenolase aktif pada kisaran pH 3-8,5 dan optimal pada pH 7. Fenolase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap reak-si pencoklatan pada lada serta buah-buahan dan sayur- sayuran lainnya. Nilai pH lada hijau segar yang akan di-pakai terdapat dalam kisaran pH aktif-nya fenolase sehingga amat memung-kinkan terjadinya reaksi pencoklatan browning. Tabel 2. Pengaruh jenis kemasan terhadap mutu selama masa simpan Jenis kemasan Lama simpan hari Uraian mutu Kadar air Atsiri pH Warna Rasa Aroma K 30 60 90 120 8,10 6,86 5,24 5,13 3,69 3,48 2,95 2,45 5,79 6,38 4,85 5,35 4 4 4 3 4 3,5 3,5 3 4 3 3 2,5 K 1 30 60 90 120 8,25 7,57 6,38 5,82 3,75 3,27 2,86 2,72 5,23 5,83 4,21 5,48 4 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 3 K 2 30 60 90 120 8,15 6,67 6,28 5,37 3,21 3,00 2,59 2,37 5,38 5.00 4,84 5,62 4 4 4 3 4 3 3 2 4 3,5 3,5 3 232 Warna Selama penyimpanan terjadi perubahan warna pada lada hijau kering dari hijau cerah menjadi hijau kecoklatan.. Menurut Muchtadi 1989,pigmen-pigmen alam biasanya mengalami perubahan kimia sebagaimana terjadi pada pematangan buah-buahan. Degradasi warna dapat terjadi selama penyimpanan yang disebabkan oleh reaksi enzim polifenol oksidase atau fenolase, substrat fenol, tembaga, dan oksigen. Perubahan warna pada buah dan sayur, yang dikenal dengan istilah browning, merupakan suatu proses enzimatis. Enzim yang berperan pada browning tersebut adalah enzim polifenol oksidase. Enzim tersebut berperan pada perubahan warnayang terjadi pada buah dan sayur. Reaksi enzimatis tersebut menghasilkan warna cokelat pada buah dan sayur yang dikenal dengan sebutan browning Anonymous, 2010. Enzim ini terdapat pada semua tanaman dengan konsentrasi yang berbeda. Salah satu cara untuk mengurangi reaksi browning adalah blanching, tetapi blanching bahan pada suhu 10 ºC tidak dapat menginaktifkan semua enzim fenolase. Aktivitas enzim polifenolase mencapai optimum pada suhu 73-78°C Bandyopadhyay et al.,1990. Degradasi warna lada hijau kering dapat pula disebabkan oleh pemanasan. Warna lada hijau kering dalam kemasan aluminium foil yang disimpan pada suhu 20ºC dapat bertahan dengan baik sampai hari ke-90, sedangkan pada suhu 40°C hanya bertahan sampai hari ke-60. Penyimpanan pada suhu rendah lebih baik dari pada suhu tinggi dalam mempertahankan warna karena laju reaksinya lebih kecil dibanding pada suhu tinggi. Menurut Muchtadi 1989, setiap kenaikan suhu 10ºC kecepatan reaksi enzimatik dan nonenzimatik rata-rata akan bertambah dua kali lipat. Semakin tinggi suhu semakin besar laju alir udara dan semakin lama waktu oksidasi mengakibatkan penurunan warna semakin besar Budikarjono, 2007. Menurut KIM et al. 2003, penyimpanan pada suhu di atas 40°C akan mempercepat konversi klorofil menjadi feopitin. Tabel 2. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu lada hijau kering Jenis kemasan Lama simpan hari Uraian mutu Kadar air Atsiri pH Warna Rasa Aroma T 0= 20 C 30 60 90 120 8,40 7,38 5,50 5,32 3,48 3,00 2,74 2,24 5,55 6,25 5,38 5,00 4 3 3 3 4 3,5 3,5 3 4 3 3 3 T 1 =30 C 30 60 90 120 7,48 7,13 6,47 6,04 3,52 3,21 2,83 2,31 5,04 6,36 5,10 4,96 4 4 4 3 4 4 3,5 3 4 4 3,5 3,5 Kadar Air Kadar air lada hijau kering selama penyimpanan mengalami perubahan dalam semua kemasan. Lada yang disimpan pada suhu 20°C dan 30°C untuk semua jenis kemasan mengalami peningkatan kadar air. Menurut Syarief dan Halid 1993 dalam Wigati, D 2009, jika kelembapan ruangan lebih rendah daripada kadar air bahan maka sebagian air dalam bahan akan menguap. Perubahan kadar air disebabkan karena sifat bahannya yang higroskopis. Komoditas rempah-rempah beserta produknya bersifat higroskopis dan sensitif terhadap air yang dapat menyebabkan discoloration , ketengikan, pertumbuhan jamur, dan serangan serangga. Jika kelembapan lingkungan relatif tinggi, maka bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembapan relatif. Hal ini menyebabkan nilai kadar air bahan mengalami peningkatan. Perubahan kadar air bahan juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Kemampuan permeabilitas tiap kemasan berbeda-beda dan akan berpengaruh terhadap laju transmisi uap air. Semakin rendah laju transmisi uap air suatu kemasan, semakin sedikit jumlah uap air yang mampu menembus kemasan. Laju transmisi uap air pada kemasan LDPE paling tinggi dibanding PP dan aluminium foil. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada kemasan tesebut paling tinggi, diikuti kemasan PP dan aluminium foil. Perubahan kadar air pada aluminium foil paling rendah karena nilai transmisi uap airnya juga paling rendah. Menurut Chuansin et al. 2006, kemasan aluminium foil memiliki sifat perlindungan terhadap air lebih baik dibanding polietilen. Kadar air lada hijau kering selama empat bulan penyimpanan adalah 11,78. Standar maksimum kadar air lada hijau kering di pasaran adalah 12, sedangkan menurut standar Esa 2007, maksimum 13. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar air lada hijau kering hasil penyimpanan memenuhi standar lada hijau di pasaran maupun standar Esa. 233 Kadar Minyak Atsiri Dari penelitian memperlihatkan bahwa selama penyimpanan, kadar minyak atsiri lada hijau kering mengalami penurunan yang cukup nyata. Penurunan kadar minyak pada kemasan LDPE dan PP cukup besar dibandingkan aluminium foil. Hal ini dapat diketahui dengan terciumnya bau khas minyak lada yang cukup kuat keluar dari dalam kemasan, sedangkan dari aluminium foil tidak tercium bau. Penurunan kadar minyak atsiri selama penyimpanan dapat disebabkan oleh proses penguapan. Terjadinya penguapan air selama penyimpanan mengakibatkan kehilangan minyak atsiri yang disebabkan oleh proses oksidasi dan resinifikasi. Proses penguapan berpengaruh tidak terlalu signifikan dibanding dengan proses oksidasi dan resinifikasi. Menurut Mathew 1993, beberapa komponen minyak atsiri lada dapat rusak karena adanya pemanasan. Pada akhir penyimpanan, lada hijau kering yang dikemas dalam aluminium foil kemudian disimpan pada suhu 20ºC menghasilkan kadar minyak atsiri tertinggi yaitu 2,76,00,dan terendah 2,15 dari kemasan LDPE pada suhu penyimpanan 30°C. Menurut Esa 2007, kadar minyak atsiri lada hijau kering minimal 1. Kadar minyak atsiri selama empat bulan penyimpanan masih berada di atas nilaiminimum kadar minyak atsiri menurut Esa 2007. Jenis kemasan yang paling baik untuk mempertahankan minyakatsiri lada hijau kering secara berurutan adalah aluminium foil, PP, dan LDPE. Penyimpanan pada suhu 20ºC dapat mempertahankan kadar minyak atsiri lada hijau kering. pH Selama penyimpanan kualitas lada hijau kering khususnya nilai pH mengalami perubahan nilai pH. Pada pH awal berada pada kisaran 5,11 dan setelah disimpan berubah menjadi 5,85-6,02. Perubahan pH sangat erat kaitannya dengan aktivitas enzim fenolase yaitu enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi pencokelatan enzimatis pada lada hijau kering. Menurut Variyar et al. 1998, aktivitas enzim fenolase pada lada hijau terjadi pada kisaran pH 3,0-8,5 dan optimum pada pH 7. Pada nilai pH mendekati 3, aktivitas enzim fenolase semakin rendah bahkan beberapa sudah inaktif. Penurunan pH mungkin disebabkan oleh meningkatnya asam-asam organik yang terbentuk akibat proses oksidasi terpene pada minyak atsiri. Nilai pH lada hijau kering yang dihasilkan berkisar antara 5,85-6,02, dan berada pada kisaran pH aktif enzim fenolase. Hal ini mendukung terjadinya reaksi pencokelatan enzimatis selama penyimpanan lada hijau kering. Uji Organoleptik Lada Hijau Kering Warna Warna adalah salah satu atribut penting dari lada hijau kering. Gould 1974 menambahkan bahwa warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk-produk makanan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa sampai hari ke 90 semua sampel berada pada skor nilai 3-4. Nilai tersebut menunjukkan warna lada masih diterima oleh konsumen.. Naik atau turunnya nilai hijau selama penyimpanan dapat dipengaruhi oleh penilaian subjektif panelis terhadap sampel. Rata-rata skor yang diberikan oleh panelis adalah 3 netral. Penurunan kesukaan disebabkan oleh pencokelatan warna lada hijau akibat proses browning enzimatis dan pengaruh pemanasan. Rasa Atribut rasa dari lada hijau kering juga merupakan hal penting karena dapat memberikan rasa pedas dan panas akibat senyawa piperin yang dikandungnya. Nilai rata-rata yang diberikan konsumen sampai pada hari ke 90 berkisar antara 3-4. Penurunan rasa pedas terjadi seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Akan tetapi penurunan nilai tersebut masih dapat diterima oleh panelis sampai akhir penyimpanan. Penurunan kesukaan terhadap rasa lada hijau kering sampai akhir penyimpanan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan karena panelis masih merasakan pedas sampai akhir pengujian. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap rasa, diketahui kandungan piperin pada sampel masih tinggi karena rasanya masih pedas Aroma Aroma yang berasal dari minyak atsiri merupakan ciri khas lada hijau kering. Penurunan aroma terjadi selama penyimpanan. Sebagian besar panelis masih memberi penilaian netral terhadap semua sampel. Penerimaan umum panelis terhadap lada hijau kering mengalami penurunan selama masa penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh warna, rasa, dan aroma yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap penerimaan umum. 234 KESIMPULAN Perlakuan dengan menggunakan jenis kemasan aluminum foil dan dikombinasikan dengan suhu penyimpanan pada kisaran 30 C merupakan perlakuan yang terbaik untuk mempertahankan mutu lada hijau kering, dengan masa simpan 4 bulan 120 hari dengan kandungan air 5,32 dan penerimaan akan konsumen yang relative baik. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2010. Enzymatic brpwning [online]. [www.food-info.net Diakses Tgl. 25 april 2012 Bandyopadhyay, C., V.S. Narayan, and P.S. Variyar. 1990. Phenolic of green pepper berries Piper nigrum . J. Agric. Food Chemi. 3: 1696-1699. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Dalam Herawati. H. 2008. J. Litbang Pertanian, 274: 124-130. Budhikarjono, K. 2007. Perbaikan kwalitas minyak sawit sebagai bahan baku sabun melalui proses pemucatan dengan oksidasi. J. Teknik Kimia. 12: 54-59. Chuansin S, Vearasip S, Srichuwong E Dan Pawelzik. selection of packaging materials for soybean seed storage. online available http;www.tropentag.de 2006abstractfull229.pdf Diakses Tgl. 6 april 2012. Djubaedah, E., djumarman, E. H. Lubis, dan T. Hendraswaty. 2004. Pengaruh konsentrasi garam, penambahan jenis asam terhadap mutu lada hijau dalam botol selama penyimpanan. J. Teknol dan Industri Pangan. 153: 188-198. [Esa] European Spice Association. 2007. Quality Minima Document. Business and Technical Meeting, 2 November 2007. 16 hlm. Francis, F.J. 1998. Food Colour. In Food Analysis. Suzzana, S. ed. Aspen publisher Inc., Maryland, p.599-612. Gould, W.A. 1974. Tomato Production, Processing, and Quality Evaluation, Wesport, The AVI Publishing. Company. 445 P. Hidayat, T dan Risfaheri, 1994. Pengaruh kondisi blanching dan sulfitasi terhadap mutu lada hijau dehidrasi. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 19 3-4 : 43-48. Iyengar R.J.A. and Mc. Evily, 1992. Anti browning agents : Alternatives to the use of sulfite in foods ; Trends in food Technology.. Elsevier trends. Journal. United Kingdom. 3 ; 60-63 Kim, M., J. LEE, and E. CHOE. 2003. Pigment changes in fried dough containing spinach powder during Storage in the dark. J. of Food Science. 686: 1925. Muchtadi, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189 hlm. Mathew,A.G. 1993. Chemical constituent of pepper international pepper community. Bulletin 162: 18-22. Murdiati, W. 2010. Metode acellerated shelf life testing aslt di pt. tudung putra putri jaya. skripsi. Fateta. IPB. 94 hlm. Nurdjannah, N. 1996. Diversifikasi Produk Lada. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor. hlm. 222-234 Nudjannah N dan Hoerudin, 2008. Pengaruh Perendaman Dalam Asam Organik Dan Metoda Pengeringan Terhadap Mutu Lada Hijau Kering. Buletin Litro. Vol XIX No 2. 2008 Hal. 181-196 Pruthi, J.S. 1992. Simple innovation in canning, botling, bulk preservation, and storage of green pepper Piper nigrum L. in brine. International Pepper News Bull. 161: 17-27. Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green, and S.R.J. Robins. 1981. Spices. Longman. New York. Vol. 1: 59-65. Syarief, R., S. Santausa, dan S.T. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189 hlm. Variyar, P.S., B. Pendhakar, A. Banerjee, and I. Bandyaopadhyay. 1988. Blackening in green pepper berries. Phytochemistry. 273: 715-717. 235 KAJIAN PEMASARAN JAGUNG MANIS DI DESA SAREEKECAMATAN SEULAWAH KABUPATEN ACEH BESAR THE STUDY OF MARKETING SWEET CORN IN SAREE VILLAGE SEULAWAH SUBDISTRICT ACEH BESAR DISTRICT Emlan Fauzi 1 dan M.Ferizal 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Jalan Irian KM 6,5 Bengkulu 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jalan Pnyak Makam, Lampineung, Aceh e-mail : velaninam12gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran jagung manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011. Metode penentuan responden dilakukan dengan carasnowball sampling. Dimana penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani jagung manis. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang. Analisa data dilakukan dengan pendekatan analisa marjin pemasaran dan harga yang diterima petani dibagi dengan harga yang dibayar konsumen akhir farmers share. Dari hasil penelitian terdapat dua saluran pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase penjualan sebesar 16,7. Pada saluran ini pedagang pengecer membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp. 2.800,-Kg. Pedagang pengecer saluran I menjual jagung manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis sebesar Rp.3.800,-Kg.Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase penjualan 33,3 . Pada saluran ini pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2.800,- Kg. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke pedagang pengecer yang berada di pasar Ule Kareng dan Peunayong Banda Aceh dengan harga Rp.4.500,-Kg.Margin pemasaran jagung manis di daerah penelitian dari petani sebagai produsen sampai kepada konsumen pada saluran I sebesar Rp.1.300,-kg dan pada saluran II sebesar Rp.3.687,5,-kg. Kata Kunci : Margin, Pemasaran, Jagung Manis ABSTRACT This study aimed to determine the shape of the level marketing and how big the marketing margin sweet corn in Saree village Seulawah Subdistrict of Aceh Besar district. The study was conducted in September to November 2011. The method of determining the respondent is done by snowball sampling. Where the determination of the respondents based on information obtained from sweet corn growers. The number of respondents in this study was 25 people. Data analysis using analytical approach to marketing margin and the price received by farmers divided by the price paid by consumers end farmers share. The results showed that there are two level of marketing. The first level marketing is district level with a percentage of sales 16.7. The retailer at this level buys sweet corn directly from retailers at a price Rp.2.800,-Kg. Theseretailers selling sweet corn at the market Saree. The sale price of sweet corn is Rp.3.800,-Kg. The second level is the provincial capital level marketing with a percentage of sales 33.3. In this level marketing, the grosser traders buy sweet corn from dealers gatherers at a price Rp.2.800,-Kg. Grossir trader then sells sweet corn to retailers in the Ule Kareng and Peunayong Banda Aceh market at a price Rp.4.500,-Kg. Analysis data showed marketing margin at level marketing I district level marketing is Rp.1.300kg and marketing margin at level marketing II provincial capital level market is Rp.3.687,5Kg. Keywords: Margin, Marketing, Sweet Corn 236 PENDAHULUAN Indonesia adalah negara agraris yang dikarunia kekayaan alam hayati tropika, tanah yang subur dan air yang cukup sepanjang tahun. Letak dan struktur geologis territorial yang dikelilingi oleh pegunungan memberikan keuntungan tersendiri yaitu tanah yang sangat cocok digunakan untuk kegiatan pertanian. Sektor pertanian merupakan roda penggerak perekonomian yang memegang peranan sangat penting Winaryono, 2004. Hortikultura sebagai sub sektor pertanian meliputi sayuran, tanaman hias dan buah-buahan, banyak diusahakan oleh petani terutama di pedesaan. Sektor ini perlu mendapat dukungan dan perhatian yang serius, terutama dalam meningkatkan produksi lewat budidaya yang lebih baik. Alasannya, sektor ini berperan dalam hasil pertanian hortikultura, misalnya sayur-sayuran, sebagai bahan makan oleh masyarakat, juga merupakan sumber pendapatan bagi petani dan iklim Indonesia sangat cocok untuk pengembangan sayuran. Tanaman jagung manis atau sweet corn merupakan jenis jagung yang belum lama dikenal dan baru dikembangkan di Indonesia. Sweet corn semakin popular dan banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Selain itu umur produksinya lebih singkat genjah yaitu 70 – 80 hari sehingga sangat menguntungkan Marvelia, dkk, 2006. Besar kecilnya produksi yang dihasilkan petani dipengaruhi oleh kemampuan keterampilan dan pengetahun petani, serta juga kemampuan petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki. Apabila petani ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam usahanya haruslah memperhatikan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor produksi dalam suatu kegiatan usahatani sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi dan tingkat pendapatan yang akan diterima oleh petani. Dengan pengalokasian penggunaan faktor-faktor produksi yang efektif dan efisien akan dapat menghasilkan produksi yang optimal, dengan produksi yang optimal maka pendapatan yang dihasilkan dari usahatani akan meningkat. Usahatani yang efisien apabila memiliki produktivitas tinggi. Sedangkan produktivitas adalah gabungan dari efesiensi fisik dengan kapasitas lahan. Efisiensi fisik adalah banyaknya produksi yang dihasilkan dari satu kesatuan input. Sedangkan kapasitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menyerap tenaga kerja dan modal sehingga memberikan hasil yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi tertentu Mubyarto, 1995. Untuk mencapai tujuan peningkatan produksi yang maksimal maka harus diupayakan secara maksimal serta efisiensi yang tinggi dari penggunaan faktor-faktor usahatani jagung manis. Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi jagung manis meliputi luas lahan, jumlah benih, tenaga kerja, jumlah pupuk dan jumlah pestisida. Melalui peningkatan produksi diharapkan pendapatan petani meningkat. Kegiatan pemasaran berpengaruh terhadap pendapatan petani, karena terkait dengan tingkat harga yang diterima petani. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem pemasaran yang baik dalam kegiatan usahatani jagung manis. Dengan sistem pemasaran yang baik, ada kerja sama yang saling mengguntungkan antara petani produsen dengan lembaga pemasaran, dimana harga yang diterima petani tidak terlalu rendah sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas petani Sarasutha, 2002. Selain itu dalam pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang terlalu panjang, sehingga akan cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan pada akhirnya menyebabkan bagian yang diterima petani sangat kecil. Selain itu dalam pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang terlalu panjang, sehingga akan cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan pada akhirnya menyebabkan bagian yang diterima petani sangat kecil.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran jagung manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. 237 METODOLOGI Metode Penentuan Lokasi Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja purposive. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa Desa Saree merupakan salah satu daerah produksi tanaman jagung manis. Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011. Metode Pengambilan Sampel Metode penentuan responden dilakukan dengan carasnowball sampling. Dimana penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani jagung manis. Dari produsen diperoleh informasi tentang jumlah pedagang pengumpul atau pedagang pengecer yang membeli jagung manis. Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh informasi tentang pedagang pengecer yang membeli produk mereka, sehingga sampai ke konsumen. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang yang terdiri dari petani jagung, pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden yang menjadi objek penelitian melalui pengisian daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait serta studi pustaka atau literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi yaitu merupakan pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung ke objek penelitian, wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya-jawab atau wawancara langsung kepada responden untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dengan alat bantu berupa kuisioner, sedangkan studi pustaka yaitu metode pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Metode Analisis Data Untuk menganalisis besarnya margin pemasaran jagung manis dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut Limbong dan Sitorus. 1987 : Mji = Psi – Pbi i = Mji – bti Sehingga total margin pemasaran adalah : Mji = ∑ � = = Dimana : Mji : Margin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-i RpKg Psi : Harga jual lembaga pemasaran ke-i RpKg Pbi : Harga beli lembaga pemasaran ke-i RpKg i : Keuntungan Harga beli lembaga pemasaran ke-i Rp bti : Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i Rp i : 1, 2, 3, ……..n Untuk menganalisis perbandingan harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir atau yang disebut farmers share dapat dicari dengan rumus berikut : FS = � � × Dimana : FS : Farmers share P : Harga yang diterima petani RpKg K : Harga yang dibayar konsumen akhir RpKg Untuk menganalisis share keuntungan lembaga pemasaran dapat dicari dengan rumus berikut : FS Keuntungan = � � � � � × 238 HASIL DAN PEMBAHASAN Saluran Pemasaran Jagung Manis Produk jagung manis sampai kepada konsumen akan melewati saluran pemasaran. Saluran pemasaran akan melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya sampai kepada konsumen. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, saluran pemasaran jagung manis terdapat tiga bentuk saluran pemasaran, yaitu 1. Petani  Pedagang Pengumpul  Pedagang Pengecer  Konsumen 2. Petani  Pedagang Pengumpul  Pedagang Grossir  PedagangPengecer  konsumen 3. Petani  Pedagang Pengumpul  Pedagang Luar Aceh Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran jagung manis dimulai dari produsen sampai ke konsumen. Saluran pemasaran jagung manis pada penelitian ini dimulai dari petani sebagai produsen sampai ke pedagang pengecer di Aceh. Petani menjual hasil produksi jagung manis ke pedagang pengumpul desa yang menjadi langganannya. Pedagang pengumpul desa yang menjadi langganan ada dua orang pedagang pengumpul desa. Dari hasil penelitian terdapat dua saluran pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase penjualan sebesar 16,7 . Pada saluran ini pedagang pengecer membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2800,-Kg. Pedagang pengecer saluran I menjual jagung manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis yang dijualnya seharga Rp.3800,-Kg. Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase penjualan 33,3 . Pada saluran ini pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2800,-Kg.. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke pedagang pengecer yang berada di pasar Ule Kareng dan Peunayong di Banda Aceh dengan harga Rp. 4.500,-Kg. Pedagang pengecer membeli dalam jumlah yang sedikit, hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko kerugian penjualan. Harga jual jagung manis sampai di Banda Aceh adalah berkisar seharga Rp. 6.000-6.500Kg. Pedagang pengecer berhubungan langsung dengan konsumen sehingga kebutuhan konsumen dapat diketahui oleh pedagang pengecer tentang kualitas, kuantitas, harga dan daya beli konsumen. Analisis Margin Pemasaran Jagung Manis Margin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran jagung manis yang terjadi di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran I No Uraian Share Jumlah RpKg 1 Petani 65,789 Harga jual 2500 2 Pedagang Pengumpul Desa 7,694 Harga beli 2500 Harga jual 2800 Biaya pemasaran 84,581 Keuntungan pemasaran 215,419 Margin pemasaran 300 3 Pedagang Pengecer 10.258 Harga beli 2800 Harga jual 3800 Biaya pemasaran 610,186 Keuntungan pemasaran 389,814 Margin pemasaran 1000 Total biaya pemasaran 694,767 Total keuntungan 605,233 Total Margin pemasaran 1300 Sumber : Data primer diolah, 2011 Keterangan : tanda : Share harga yang diterima petani : Share keuntungan lembaga pemasaran 239 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa share harga yang diterima petani sebesar 65,789 . Petani lebih menikmati harga karena 65,789 dikuasai oleh petani, sedangkan 34,211 tersebar ke lembaga pemasaran yang lain. Sementara total margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran I sebesar Rp. 1.300,-kg yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp. 694,186,-kg dan tingkat keuntungan sebesar Rp. 605,233,-kg. Margin yang terbesar diterima oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 1000,-kg. Hal ini terjadi karena biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer lebih besar dari pada pedagang pengumpul desa dan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan jagung manis pedagang pengecer juga menjual dengan harga jual yang lebih tinggi dari pada pedagang pengumpul desa. Tingginya harga jual jagung manis yang ditetapkan pedagang pengecer pada saluran I ini karena penjualan jagung manis dilakukan di pasar kabupaten. Sedangkan keuntungan yang terbesar terjadi pada pedagang pengecer dengan share keuntungan 10.258 . Pedagang pengecer lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada pedagang pengumpul desa. Share keuntungan pedagang pengecer lebih besar yaitu 10,258 dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa yang hanya sebesar 7,694 . Besarnya margin pemasaran pada saluran pemasaran II jagung manis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II No Uraian Share Jumlah RpKg 1 Petani 40,40 Harga jual 2500 2 Pedagang Pengumpul Desa 7,694 Harga beli 2500 Harga jual 2800 Biaya pemasaran 84,581 Keuntungan pemasaran 215,419 Margin pemasaran 300 3 Pedagang grosser 10,329 Harga beli 2800 Harga jual 4500 Biaya pemasaran 1235,212 Keuntungan pemasaran 464,788 Margin pemasaran 1700 4 Pedagang Pengecer 15,178 Harga beli 4500 Harga jual 6187,5 Biaya pemasaran 749,407 Keuntungan pemasaran 938,093 Margin pemasaran 1687,5 Total biaya pemasaran 1984,619 Total keuntungan 1402,881 Total Margin pemasaran 3687,5 Sumber : Data primer diolah, 2011 Keterangan : tanda : Share harga yang diterima petani : Share keuntungan lembaga pemasaran Berdasarkan tabel 2 dapat dilhat bahwa share harga yang diterima petani sebesar 40,40 . Petani hanya menguasai 40,40 dari harga jual jagung manis. Sedangkan 59,60 lagi tersebar ke lembaga pemasaran lain yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang grossir, dan pedagang pengecer. Perbedaan harga jual jagung manis dari pedagang pengumpul desa ke pedagang grossir, Rp.2.800,-kg dan pedagang grossir ke pedagang pengecer Rp.4.500,-kg. Pedagang pengecer menjual jagung manis kepada konsumen sebesar Rp.6.000,-kg. Perbedaan harga jual dari masing-masing lembaga pemasaran menyebabkan perbedaan margin pemasaran serta keuntungan yang diperoleh masing- masing lembaga pemasaran. Pedagang pengecer memiliki keuntungan yang lebih banyak dibandingkan lembaga pemasaran yang lain. Share keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengecer paling besar yaitu sebesar 15,178 . 240 Total margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II sebesar Rp.3.687,5,-kg yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp.1.984,619,-kg dan total keuntungan sebesar Rp.1.402,881,- kg. Margin pemasaran dan biaya pemasaran yang terbesar diterima oleh pedagang grossir yaitu sebesar Rp.1.700,-kg dan Rp.1.235,212,-kg. Hal ini dikarenakan harga jual yang lebih tinggi. Besarnya harga jual yang ditetapkan oleh pedagang grossir terjadi karena pedagang grossir membeli langsung ke pedagang pengumpul desa dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sehingga biaya pembelian juga besar. Dalam hal ini biaya pembelian adalah biaya transportasi untuk mengangkut jagung manis. Tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pedagang dari pemasaran jagung manis adalah sebesar 89,72 . Dimana, diperoleh dari total pendapatan pedagang jagung manis yaitu sebesar Rp.1.316.829,-kg dibagi dengan total penerimaan pedagang jagung manis yaitu sebesar 1.467.707,- kg. Berdasarkan tabel 1 dan 2 dapat dijelaskan bahwa dari kedua saluran pemasaran share harga yang terbesar diterima petani adalah 65,789 yang terjadi pada saluran pemasaran I. Hal ini terjadi karena lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran I lebih sedikit. Selain itu dari kedua saluran pemasaran yang terjadi total margin pemasaran, total biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran yang terbesar adalah terjadi pada saluran pemasaran II yaitu masing-masing sebesar Rp. 3.687,5,-kg, Rp.1.984,619,-kg dan Rp.1.402,881,-kg . Besarnya total margin pemasaran, total biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran terjadi karena harga jual ke konsumen pada saluran pemasaran II lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual pada saluran pemasaran I. Dari kedua saluran pemasaran yang terjadi dapat diketahui bahwa saluran pemasaran yang panjang maka akan menyebabkan besarnya margin yang akan diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat Azzaino 1983 yang menyatakan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu penyaluran barang, maka akan semakin besar perbedaan harga yang harus dibayar konsumen, yang menyebabkan tingginya margin pemasaran. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat tiga bentuk saluran pemasaran jagung manis yang terdapat daerah penelitian, yaitu :  Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen  Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Grossir Pedagang Pengecer Konsumen  Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Luar Aceh 2. Dari kedua saluran pemasaran, share harga yang terbesar diterima petani adalah 65,789 yang terjadi pada saluran pemasaran I. Saran Petani hendaknya menjual hasil produksi jagung manis melalui saluran pemasaran kedua. Pada saluran pemasaran kedua ini harga jual ke konsumen lebih tinggi sehingga margin pemasaran yang diperoleh juga lebih tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Ir. T.Iskandar, MSi selaku Kepala BPTP Aceh, M.Ismail, SP selaku anggota tim yang telah banyak membatu dalam penelitian ini. 241 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Budidaya Jagung Manis. http:www.agrobisnis.com . Diakses 13 Maret 2010. Anonim. 2009. Agribisnis Jagung.www.matanews.com. Diakses 13 Maret 2012 Azzaino. 1983. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008, Aceh Dalam Angka 2007. Kerjasama Badan Pusat Statistik NAD dan Bapeda NAD, hal 197 – 207. Darwis. V. 2009. Analisis Usahatani, Pemasaran, dan Penetapan Harga Minimum Regional Tembakau Rakyat Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Limbong dan Sitorus. 1987. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor. Marvelia, Awalita, Sri Darmanti dan Sarjana Parman. 2006. Produksi Jagung Manis Zea Mays L. Saccharata yang Diperlakukan Dengan Kompos Kascing Dengan Dosis Yang Berbeda. Jurnal Anatomi dan Fisiologi. 14 2: 7-18. Oktober 2006. Semarang Mubyarto. 1995.Pengantar Ekonomi Pertanian, Cetakan keempat. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Jakarta. Nazir. Muhammad. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Sarasutha, IG. 2002. Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Litbang Pertanian. 21 2: 39-47. 2002. Makassar Swastha. B. 1992. Saluran Pemasaran, Konsep dan Strategi, Analisa Kuantitatif.BPFE, Yogyakarta. 242 EFEKTIFITAS DAN NILAI EKONOMI BEBERAPA TIPE ALAT PENGERING DALAM MENINGKATKAN MUTU BIJI KAKAO DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA EFFECTIVENESS AND THE ECONOMICS VALUE OF SOME TYPE OF DRYER EQUIPMENT IN IMPROVING THE QUALITY OF COCOA BEANS IN KONAWE REGENCY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE Yuliani Zainuddin 1 , Yudi Irawan 1 , Sudarmansyah 2 Baharuddin 1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Tenggara 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Prof Muh. Yamin No. 89 Kendari E-mail : yunie_za80yahoo.com ABSTRAK Upaya peningkatan mutu produksi kakao dapat dilakukan menggunakan alat pengering biji kakao. Perlakuan melalui penggunaan alat pengering diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kakao. Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap mutu, respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao. Kajian ini dilaksanakan bulan Januari-Desembertahun 2015 di DesaAndomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe melibatkan sebanyak 16 responden yang merupakan anggota kelompok Lembaga Ekonomi Masyarakat LEM kakao Sejahtera. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok. 5 ulangan, data dianalisis secara statistik dengan Anova dan dilanjutkan dengan uji DMRT α = 0.05, analisis respon petani dengan pendekatan analisis prilaku petani serta analisis usahatani BC ratio. Hasil kajian menunjukkan penanganan pasca panen kakao menggunakan oven Tipe BPTP II Sultra, lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan alat pengering lainnya.Respon petani tertinggi adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II Sultra, solar cell, dibanding dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven Tipe BPTP II Sultra, prodak akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan khas aroma dan cita rasa khas cokelat juga menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dan layak diusahakan dengan BC ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96 sedangkan terendah pada alat pengering solar cell Kata Kunci : theobroma cacao , alat pengering, mutu biji, analisis usahatani. ABSTRACT To improve the quality of cocoa production can be done using dryer cocoa beans. The treatment through the use of the dryer is expected to improve productivity and quality of cocoa. The studies objective were to determine the effectiveness and efficiency of using dryers on the quality, the response of farmers and the economic value of some types of cocoa beans dryers. This study was conducted in January-December 2015 in the Andomesinggo village, Besulutu sub-district and Konawe district involving as many as 16 respondents who are members of the Institute for Public Economics LEM cocoa Sejahtera. The study was conducted using a randomized block design. 5 replicates, the data were statistically analyzed by ANOVA followed by DMRT α = 0.05 farmer response analysis with behavioral analysis approach farmers and farm analysis B C ratio. Results of the study showed post- harvest handling of cocoa using oven Type of BPTP II southeast sulawesi more efficiently and effectively than with others dryers. The highest response of farmers is the dryer rack, oven type of BPTP II southeast sulawesi, Solar cells, compared with a blower type system. Advantages of using dryers oven type of BPTP II southeast sulawesi, The last product of cocoa beans produced can bring a distinctive aroma and distinctive taste of chocolate also suppress bitter and astringent flavors that exist in cocoa beans. The highest Farmers income earned on the dryer rack with sunlight, oven type of BPTP II southeast sulawesi and blower system is being introduced profitable and viable with BC ratio respectively 3.67 and 3.16 and 2,96 while the lowest was in the dryer solar cell. Keywords : theobroma cacao , dryers, seeds quality, farm analysis 243 PENDAHULUAN Produksi kakao Indonesia mencapai 1.315.800ton per tahun atau setara dengan 15 dari totalproduksi kakao dunia. Indonesia menempati posisi ketiga penghasil kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal 1.462.000 ha dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir areal perkebunannya meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8 per tahun Karmawati et al., 2010. Kakao Indonesia mampu menyumbangkan devisa bagi negara sebesar US 668 juta per tahun atau nomor tiga dari sektor pertanian setelah kelapa sawit dan karet Anonim,2010a. Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam. Keberagaman mutu biji kakao Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat, serta pengelolaan biji kakao yang masih tradisional 85 biji kakao produksi nasional tidak difermentasi. Kemampuan Indonesia sebagai negara produsen kakao tidak diimbangi dengan kemampuan mengolahnya. Indonesia hanya mampu menyediakan bahan baku bagi industri negara lain, sedangkan industri pengolahan di dalam negeri masih mengimpor bahan olah dari luar, hal ini kurang menguntungkan bagi agroindustri dalam negeri. Pengolahan biji kakao lebih lanjut di dalam negeri sangat diperlukan, mengingat jumlah perusahaan pengolahan kakao masih sangat sedikit. Pengolahan kakao primer biji kakao menjadi kakao olahan selain dapat memberikan nilai tambah pada kakao itu sendiri, juga dapat meningkatkan pendapatan petani serta memberikan alternatif pasar yang lebih beragam bagi petani Anonim, 2010b. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra penghasil kakao di Indonesia. Pada tahun 2013, produksi kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 185.201 ton yang sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan total luas pertanaman kakao mencapai 245.624 ha BPS, 2014. Dari tahun 2011 – 2013, rata-rata produktivitas kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 0,9 tonhatahun.Sampai saat ini, kurang lebih 90 petani menjual kakao dalam bentuk biji. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi adalah mutu biji kakao yang dihasilkan masih tergolong rendah dan kalah bersaing dengan negara-negara penghasil kakao di pasar internasional. Salah satu parameter mutu yang kurang diperhatikan adalah kadar air. Adapun faktor yang turut menentukan mutu biji kakao adalah karakteristik fisik seperti jumlah biji per 100 gram, biji terfermentasi dan kadar biji berjamurberserangga, kimia Padahal, di era perdagangan global, perhatian dan persaingan mutu semakin ketat. Kadar air biji yang diharapkan setelah pengeringan adalah 6, yang bertujuan untuk memudahkan pelepasan nibs dari kulitnya, juga mencegah agar tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk sehingga dapat memperpanjang umur simpan Napitupulu, 2012. Akan tetapi, tiap jenis pengeringan memiliki kendala masing-masing, baik dalam hal efektivitas pengeringan, kebutuhan sumber daya, pembiayaan, dan pengaruhnya terhadap aspek mutu biji kakao. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan menghasilkan rekomendasi mengenai jenis pengering yang dapat secara efektif meningkatkan mutu kakao dan efisien dari segi ekonomi sehingga dapat mendukung petani dalam meningkatkan mutu biji kakao, khususnya di Kabupaten Konawe. Peningkatan mutu biji kakao di Sulawesi Tenggara terutama di Kabupaten Konawe perlu terpadu dengan proses penanganan pasca panen kakao. Salah satu tahapan penting proses penanganan panen kakao sebagai bahan baku standar mutu yang sudah ditetapkan untuk diolah menjadi makanan dan minuman cokelat. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat dalam biji kakao. Peningkatan mutu hasil kakao ini juga ikut meningkatkan pendapatan petani kakao. Secara umum, jenis pengeringan biji kakao dapat dibagi menjadi dua, yaitu sun drying dan artificial drying . Sun drying memerlukan sinar matahari sebagai sumber energi, sumber panas dan sinar ultraviolet. Pengeringan ini dilakukan secara terbuka, membutuhkan hembusan angin yang besar dari udara sehingga pengeringan berlangsung lambat. Walaupun tipe pengeringan ini tergolong murah karena memanfaatkan energi matahari dan angin, tetapi pengeringan secara terbuka menyebabkan rawan kontaminasi dari udara, debu dan kerikil dari lingkungan sekitar. Selain itu, pengeringan ini dilakukan hanya jika cuaca memungkinkan. Proses fermentasi dan, pengeringan bertujuan untuk meningkatkan citarasa biji kakao. Polyphenol dan alkaloid berpengaruh terhadap rasa dari kakao. Keberagaman dan ukuran tumpukan biji kakaoyang berbeda menyebabkan temperatur dan konsentrasi metabolit mikroba menjadi berbeda. Padaproses fermentasi, kandungan epicatechin dan theobromine berkurang akibat adanya difusi keluar darikotiledon biji dan oksidasi serta kondensasi dari polifenol. Jwnlah epicatechin dan theobromine yang tertinggal di biji sangat berpengaruh terhadap rasa dari kakao. Perbedaan dalam aktivitas mikroba pada fermentasi berpengaruh pada rasa dari biji kakao dan 244 produk cokelat yang dihasilkan. Oleh karena itu, pengendalian terhadap kondisi fermentasi dapat harus dilakukan Camu, 2008; Payne et aI.,2010. Proses fermentasi biji kakao secara konvensional atau fermentasi spontan pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 5 hari. Fermentasi bertujuan untuk melepaskan pulp cairan berupa lender yang terdapat pada permukaan kulit biji kakao, menghentikan pertumbuhan kecambah pada biji, serta membentuk warna dan cita rasa zkhas, tujuan lain dari fermentasi biji kakao adalah untuk menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur selama penyimpanan. Fermentasi dapat dilakukan di dalam kotak yang terbuat dari kayu berukuran 60 x 40 em yang dapat menampung sekitar 100 kg biji kakao basah. Selanjutnya kotak ditutup dengan karung gonidaun pisang selama 36-48 jam. Sebagian besar pulp yang menempel pada biji kakao akan terkonversi menjadi alkohol, asam asetat dan asam laktat. Pada hari ke 3 dilakukan aerasi dengan pengadukan agar fermentasi biji merata. Aerasi dilakukan setiap 48 jam sekali, kemudian biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi setelah 8-10 hari Afoakwa, 2010. Fermentasi biji kakao juga dapat dilakukan dengan penambahan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Cara lain untuk meningkatkan kualitas biji kakao dan proses fermentasi yaitu dengan membuang sebagian pulp yang melekat pada biji sebelum difermentasi. Pulp yang terlalu banyak dapat menghasilkan rasa asam serta tekstur yang jurang bagus untuk biji kakao Bernaert at al.• 2011 Sedangkan pengeringan buatan artificial drying menggunakan bahan bakar. Prinsip kerjanya adalah pemanasan secara konduksi penghantaran panas atau konveksi pengaliran panas yang bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan pangan, berbentuk solid. Untuk mengantisipasi cuaca yang tidak menentu tersebut maka pengeringan yang baik adalah pengeringan yang dilakukan dengan alat pengering Napitupulu 2012. Perubahan cuaca di Indonesia saat ini bisa dikatakan tidak stabil. Dengan adanya perubahan cuaca yang tidak menentu ini dapat mengganggu aktivitas para petani di Indonesia khususnya petani kakao dalam hal proses pengeringan. Oleh sebab itu, diperlukan kajian mengenai jenis pengeringan yang tepat untuk petani kakao, berdasarkan mutu biji kakao yang diperoleh dan analisa ekonominya. Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap mutu, respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao. METODOLOGI PENGKAJIAN Waktu dan Tempat Kajian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Desember tahun 2015 di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe yang merupakan salah satu daerah potensi kakao. Kajian ini melibatkan 16 orang petani responden yang merupakan anggota kelompok lembaga Ekonomi Masyarakat LEM kakao sejahtera yang terdiri atas 4 kelompok tani dan masing-masing diwakili 4 orang pada setiap kelompok. Komponen Teknologi Alat Pengering Biji Kakao Buah kakao masak setelah panen difermentasi selama 24 –36 jam, dilanjutkan dengan fermentasi biji pada kotak fermentasi selama kurang lebih 120 jam. Kemudian, sebanyak 100 kg biji kakao hasil fermentasi, masing-masing dikeringkan menggunakan empat tipe pengering yang berbeda : a. Tipe BPTP-II Sultra b. Para-para dengan sinar matahari, c. Solar cell , dan d. Blower dengan bahan bakar kayu dan solar Adapun lama waktu pengeringan pada masing-masing tipe pengering disesuaikan, sampai kadar air biji kakao mencapai 6 – 8. Setelah itu, biji kakao kering dianalisa sifat fisiko-kimianya. Metode Analisis Biji kakao yang telah memenuhi syarat kadar air 6 – 8, diangkat dari pengering, ditimbang per jenis pengering yang digunakan untuk kemudian dihitung rendemennya wet basis dengan rumus : Rendemen : Bobot akhir x 100 Bobot awal Kemudian dilakukan pengujian sampel untuk mengetahui kadar air, bobot biji kering, kadar kotoran, kandungan lemak dan katekin pada biji kakao. Data yang diperoleh dari pengujian ini dikelompokkan 245 ke dalam data primer. Survey mengenai respon petani terhadap teknologi dan hasil yang diperoleh dari kegiatan pengkajian. Dari segi sosial ekonomi, dilakukan pula survey dengan melakukan wawancara langsung menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai tujuan penelitian, untuk mengukur respon petani kakao terhadap pelaksanan kegiatan pengkajian. Survey dilakukan terhadap para petani kakao di daerah kajian. dianalisis dengan mengidentifikasi masalah di lokasi terhadap perilaku petani untuk peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani diukur dengan melakukan identifikasi dan analisis. Adapun cara menggali Aspek Perilaku petani dengan cara menyusun pertanyaan yang berkaitan dengan prioritas masalah yang akan dibuat materi penyuluhan yang meliputi aspek Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan. Dari Hasil Wawancarapenggalian Instrument kemudian direkapitulasi dengan cara menghitung Persentase Jawaban yang benar . Setelah itu kita beri kriteria Tinggi, Sedang dan Rendah. Tabel 1. Rumusan Tingkat Perilaku Tinggi, Sedang dan Rendah No. Pengetahuan dan Sikap Kategori 1. 2. 3. Lebih Besar 60 31 sd 60 0 sd 30 Tinggi Sedang Rendah Keterampilan 1. 2. 3. Lebih Besar 40 21 sd 40 0 sd 20 Tinggi Sedang Rendah Sumber: PPMKP Ciawi 2013. Analisis data digunakan pada pengkajian ini adalah Rancangan Acak Kelompok RAK, yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada empat perlakuan pengeringan sebanyak 5 lima kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Responden Identitas petani responden yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden yang meliputi : umur petani responden, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan petani responden. Karakteristik petani responden terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Petani Responden No Uraian Persentase 1. Umur - 15-30 Tahun - 31-50 tahun - 51 tahun 18,75 68,75 12,5 2. Pendidikan - SD - SMP - SLTA 56,25 12,50 31,25 3. Pengalaman berusahatani - 5-10 tahun - 11-20 tahun 68,75 31,25 4.. Luas Lahan Ha - 1-2 Ha - 2,5 – 4 Ha - 4,5 -7 Ha 44,25 42,75 13,00 Sumber : Data primer yang diolah, 2015. Umur petani akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kerja dan sikap petani responden dalam mengelola usahatani, terutama dalam hal pengambilan keputusan petani responden yang umurnya masih tergolong muda memiliki kemampuan untuk maju dan kemampuan menerima inovasi baru dari luar yang sifatnya membangun lebih besar dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Petani yang berusia muda lebih berani untuk mengambil resiko dalam mengambil keputusan untuk kemajuan usahataninya, dibanding petani yang berusia tua yang cenderung bersifat terlalu hati- hati, terutama dalam hal menerima teknologi baru Soekartawi 2005. Bahwa makin muda petani 246 biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun biasanya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.umur petani responden di Desa Andomesinggo berada pada klasifikasi tenaga kerja produktif yaitu seluruh responden 100 berada pada tingkat kerja produktif 31-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden di Desa Andomesinggo masih dalam usia produktif. Dengan usia yang masih produktif responden masih bisa meningkatkan usahataninya, karena masih memiliki tenaga yang cukup kuat dan mampu menerima dan menerapkan inovasi baru dalam bidang teknologi pertanian Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berfikirnya sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas cara berfikirnya. Tingkat pendidikan petani responden tergolong dalam kategori rendah karena 56,25 berada pada kisaran 0-6 tahun atau setingkat hanya tamatan sekolah dasar SD. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memahami permasalahan mereka dan kurang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Tingkat pendidikan mempengaruhi keterbukaan seseorang dalam menerima beberapa inovasi, dalam hal ini inovasi teknologi pertanian. Menurut Saridewi 2010, tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Pengalaman Berusahatani. Pengalaman usahatani petani berdasarkan hasil penelitian memiliki pengalaman lebih dari 5-10 tahun yaitu 68,75, hal ini menunjukkan bahwa petani sangat berpengalaman dalam budidaya kakao Hal ini menunjukan bahwa pengalaman usahatani petani responden sudah cukup lama sehingga petani responden di Desa Andomesinggo lebih matang dengan berbagai pengalaman dalam berusahatani, baik usaha yang dapat meningkatkan maupun yang dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Luas lahan. Luas lahan petani berdasarkan hasil kajian rata-rata berada pada luasan 1-2 Ha yaitu 44,25, namun tergolong kurang luas.Hal ini menunjukkan bahwa produksi yang dicapai juga terbatas sesuai dengan luas lahan yang dimiliki. Menurut Hernanto 1993, luas lahan usahatani dapat menentukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga petani. Luas kepemilikan lahan dapat berpengaruh terhadap adopsi teknologi, karena semakin luas lahan usahatani, semakin tinggi hasil produksi sehingga ikut meningkatkan pendapatan petani. Penanganan Pasca Panen Penanganan pascapanen kakao dengan menggunakan beberpa tipe alat pengering biji kakao terhadap bobot 100 biji sebelum dikupas, bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak dapat dilihat pada tabel 2. alat pengering oven tipe BPTP II Sultra dilakukan dengan fermentasi sejak pada saat buah di panen hingga pada kotak fermentasi. Fermentasi buah selama 2-3 malam dan fermentasi biji pada kotak fermentasi selama 5 hari. Pelaksanaan fermentasi biji kakao dilakukan sesuai dengan standar. Tabel 2. Penagaruh aplikasi beberapa alat pengering biji kakao terhadap bobot 100 biji sebelum dikupas, 100 bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak Perlakuan Rataan bobot 100 biji sebelum dikupas g Rataan bobot 100 biji setelah dikupas g Rataan rendemen Rataan kadar lemak Para-para dengan sinar matahari 95,20a 76,40a 31,22b 40,16a Oven tipe BPTP II Sultra 102,40a 81,80a 36,76a 43,08a Solar cell Solar system 99,00a 78,00a 35,14a 34,31b System Blower 102,80a 80,20a 35,29a 31,83b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama, dan angka-angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan pada α = 0.05. Dari tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengeringan bobot 100 biji kakao sebelum dan setelah dikupas dengan penggunaan Oven tipe BPTP II Sultra lebih tinggi, efektif dan efisien walaupun tidak berbeda nyata dengan alat pengering lainnya. Pada rendemen biji kakao terbaik dan berbeda nyata pada penggunaan alat pengering oven tipe BPTP II Sultra, solar cell Untuk kadar lemak biji kakao tertinggi dan berbeda nyata pada penggunaan alat oven tipe BPTP II Sultra dan para-para. Selain itu hasil pengering biji kakao dengan penggunaan oven tipe BPTP II Sultra memunculkan khas aroma dan cita rasa khas cokelat dan menekan rasa pahit serta sepat yang ada dalam biji kakao. Hasil penelitian bahwa perbaikan mutu biji kakao rakyat menggunakan pengering tipe BPTP II Sultra membentuk cita 247 rasa khas cokelat, menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Biji kakao yang dilakukan melalui proses fermentasi dengan menggunakan alat oven tipe BPTP II Sultra dapat menurunkan kadar air biji kakao hingga 7 selama kurang dari 80 jam dibandingkan dengan para-para selama 60- 84 jam. Baharuddin, dkk 2014. Produk-produk hasil olahan coklat yang utama saat ini adalah lemak dan tepung coklat. Kandungan lemak pada biji kakao berkisar 55-60. Proses pemisahan lemak dan tepung ini dilakukan terhadap biji kakao yang telah terfermentasi. Pemisahan lemak coklat dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya ekstraksi dengan menggunakan pelarut atau dengan pengepresan Venter dkk., 2007. Selain kadar lemak, ukuran berat biji juga turut menentukan mutu biji kakao. Ukuran berat biji sering dinyatakan dalam jumlah biji per 100 gram. Suhendi dkk. 2004 menyatakan bahwa ukuran berat biji kakao yang dikehendaki adalah lebih dari 1 g per biji. Dengan demikian, jelas bahwa biji kakao dengan penggunaan alat pengering mampu menghasilkan mutu ukuran berat biji standar dikehendaki. Mulato dkk. 2009 menyatakan bahwa ukuran berat biji sangat dipengaruhi oleh jenis klon tanaman, kondisi lingkungan curah hujan selama perkembangan buah dan tindak agronomis pada tanaman. Respon Petani terhadap alat pengering kakao Respon petani terhadap suatu invoasi baru perlu dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisis perilaku petani kakao. Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian akan mempengaruhi sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan keterampilan. Dengan adanya wawasan petani dengan baik tentang teknologi alat pengering, akan mendorong adanya perubahan perilaku. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao di DesaAndomesinggo Kec. Besulutu Kabupaten Konawe Tahun 2015 No. Uraian Respon Petani Mengetahui Pengetahuan Menerima Sikap Melakukan Keterampilan 1. papa-para dengan sinar matahari 91,50 81,25 56,25 2. Oven Tipe BPTP II 85,20 75,00 35,10 3. Solar cell Solar system 84,25 75,10 34,25 4. Blower dengan bahan bahkar kayu dan solar 70,75 50,20 26,05 Rataan 82,93 70,38 37,91 Pada Tabel 3 diketahui bahwa respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao tertinggi pada alat pengering para-para dengan masing-masing pengetahuan 91,50 sikap 81,25 dan keterampilan 56,25. Respon petani tertinggi pada teknologi pengeringan dengan menggunakan para- para karena murah dan mudah dilakukan terutama pada musim kemarau. Penggunaan oven tipe BPTP II Sultra respon petani untukpengetahuan sebesar 85,20, sikap 75.00 dan keterampilan 35.10, terutama dapat digunakan pada musim penghujan.Pada kondisi ini walaupun sebagian petani memiliki pendidikan formal yang rendah, tetapi pemahaman tentang teknologi penggunaan alat pengering kakao khususnya pada alat pengering para-para dan oven tipe BPTP II Sultra sudah cukup tinggi karena teknologi eksisting petani yaitu menggunakan alat pengering para-para dengan sinar matahari selain menghemat bahan bakar, mutu biji kakao lebih baik dan memunculkan aroma cita rasa cokelat.Sebaliknya dengan menggunakan alat pengering solar cell dan blower selain bahan bakar yang digunakan banyak serta mutu biji kakao yang dihasilkan kurang baik. Penggunaan Solar cell pada musim penghujan terlalu panjang tidak dapat mengeringkan biji kakao bahkan terserang penyakit dan berjamur sedangkan penggunaan system blower sulit digunakan petani karena menggunakan dua bahan bakar kayu dan solar dan membutuhkan waktu yang lama sehingga biaya yang dikeluarkan lebih mahal. 248 Analisis Usahatani Harga kakao tergantung pada kadar air dan alat pengering yang digunakan serta lamanyadalam pengeringan biji kakao. Secara umum kebiasaan petani dalam menjual biji kakao dengan kadar air 12- 14, sehingga harga jual biji kakao dapat lebih murah. Analisis usahatani penggunaan alat pengering biji kakao disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis usahatani alat pengering kakao di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Tahun 2015 Uraian Alat pengering biji kakao Para-para + Sinar Matahari Oven BPTP II Sultra Solar cell Sistem Blower Total Biaya Rp 1.220.000 1.594.000 2.440.000 1.440.000 Produktfitas kgha 1.500 1.500 1.500 1.500 HargaKg 38.000 38.000 38.000 38.000 Penerimaan 5.700.000 5.700.000 5.700.000 5.700.000 pendapatan 4.480.000 4.106.000 3.260.000 4.260.000 BC ratio 3,67 3,16 2,05 2,96 RC Ratio 4,07 3,57 2,34 3,96 Keterangan : Data primer yang diolah, 2015 Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani tertinggi yaitu dengan penggunaan alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dengan BC ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96. dibandingkan dengan alat pengering solar cell karena total biaya yang dikeluarkan lebih rendah, juga dapat digunakan untuk mengantisipasi pada saat musim penghujan dalam meningkatkan mutu biji kakao.Dalam analisis usahatani pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa penggunaan alat pengering kakao layak digunakan untuk meningkatkan mutu biji kakaodengan BC ratio l di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe. Penggunaan alat pengering dengan solar cell walaupun kurang menguntungkan masih tetap digunakan terutama pada saat musim penghujan tidak tinggi, sedangkan tipe BPTP II dapat digunakan oleh petani setiap saat jika dibutuhkan. Alat pengering para-para dengan sinar matahari dan solar cell tetap digunakan setiap saat namun jika pada saat musim penghujan tinggi tidak bisa digunakan karena banyak biji kakao rusak akibat terserang penyakitpathogen pada saat pengeringanpenjemuran . KESIMPULAN 1. Penanganan pasca panen kakao penggunaan oven tipe BPTP II Sultra lebih efektif dan efisien dibanding dengan alat pengering lainnya. 2. Respon petani tertinggi adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II, Solar cell, dibanding dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven Tipe BPTP II Sultra, prodak akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan aroma dan cita rasa cokelat. 3. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dan layak diusahakan dengan BC ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96 sedangkan terendah pada alat pengering solar cell. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Anonim. 2010a. Potensi Kakao Indonesia. http:lrptn.co.potensi-kakao-indonesia .Diakses pada tanggal 29 Desember 2014. Anonim. 2010b. Industri Pengolahan Kakao MengajakKerjasama. Agrobost. Portal Agrobisnis danPertanian. Diakses pada tanggal 29 Desember 2014. Afoakwa, E., 2010, Chocolate Science and Technology, Blackwell publishing, John Wiley Sons Ltd, West Sussex. United Kingdom Beckett, T. S., 2009, Industrial Chocolate Manufacture and Use, 4 ed., Blackwell Publishing,UK Bemaert, H., Camu, N., Lohmueller, T., 2011, Method for Processing Cocoa Beans, US Patent 20110070332A1 249 BPS Sulawesi Tenggara. 2012. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2012. __________________. 2013. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2013. __________________. 2014. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2014. Camu, N., Tom, D.W., Addo, S.K., Jemmy, S.T., Herwig, B., Luc, D.V., 2008, Fermentation of cocoa beans: influence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavor of chocolate, Jurnal of Science of Food and Agriculture, vol. 88, no. 13, pp. 2288-2297 Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Penerbit swadaya. Jakarta. Irawan, Y., Baharudin, M. Taufiq Ratule. 2013. Kajian Peningkatan Mutu Biji Kakao Melalui Penggunaan Beberapa Tipe Alat Pengering. [tidak dipublikasi] Karmawati, E., Zainal Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K.Adiana, dan Rubino. 2010. Budidaya dan PascaPanen Kakao. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perkebunan. KementerianPertanian. Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi dan Suharyanto, E., 2009. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Napitupulu, F.H., Putra Mora Tua. 2012. Perancangan dan Pengujian Alat Pengering Kakao dengan Tipe Cabinet Dryer untuk Kapasitas 7,5 kg Per-Siklus. Jurnal Dinamis, Vol. II, No. 10, Januari 2012. Padmowihardjo,S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta Universitas Terbuka. PPMKP Ciawi 2013. Mengemas Materi dan Media Penyuluhan sesuai Kebutuhan. Badan Pengembangan SDM Pertanian. PPMKP Ciawi Bogor 2013. Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya, Raja Grafindo Persada : Jakarta. Baharuddin, Yudi Irawan, 2014. Di download 19 Oktober 2016 http:sultra.litbang.pertanian.go.idindindex.php?option com_contennt dan view peningkatan-produktivitas dan mutu kakao melalui penggunaan alat engering tipe BPTP II Sultra. Venter, M. J., Kuipers, N. J. M., de Haan, A. B. 2007 Modelling and experimental evaluation of high pressure expression of cocoa nibs, Journal of Food Engineering, 80, 1157-1170. 250 PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK PADAT POP TERHADAP PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHA TANI KUBIS DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU PRODUCTION AND FINANSIAL ANALYZE CABBAGE FARMER INFLUENCE OF USING SOLID ORGANIC FERTILIZER POP IN REJANG LEBONG DISTRICT-BENGKULU PROVINCE Yulie Oktavia dan Umi Puji Astuti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kota Bengkulu Telp. 0736 23030 Fax. 0736 345568 Email : yo_alieyahoo.com ABSTRAK Dalam budidaya tanaman kubis, petani biasanya melakukan eksploitasi penggunaan bahan kimia terutama dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Menyikapi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanianorganik. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui dosis penggunaan Pupuk Organik Padat POP terhadap produksi tanaman kubis dan menganalisis kelayakan Usaha Tani UT kubis dengan mengunakan POP. Pengkajian dilakukan di lahan petani kooperator kegiatan Model Sistem Pertanian Bio-Industri Tanaman-Ternak di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK dengan faktor tunggal yaitu dosis POP dengan 4 taraf perlakuan yaitu I : Tanpa Kompos, II : dosis 5 tonha, III : dosis 10 tonha dan IV : dosis 15 tonha dengan 5 kali ulangan. Varietas kubis yang digunakan adalah varietas Grand 11. Data dikumpulkan pada saat panen yaitu : 1 Data teknis tinggi tanaman, berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun, 2 Data UT kubis. Analisis data dilakukan dengan : 1 Analisis of Variance ANOVA dan dianjutkan dengan uji lanjut DMRT dan 2 Analisis finansial Usaha Tani Kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP. Penggunaan dosis POP sebanyak 15 tonha pada tanaman kubis memberikan hasil yang lebih baik dari dosis 0,5,10 tonha dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP layak untuk diusahakan yang ditunjukan dengan nilai BC 1 dengan kondisi harga jual pada saat pengkajian yang cukup tinggi Rp. 4000,-kg. Kata Kunci : Kubis, POP, Produksi ABSTRACT Usually conventional farmingusing exploitation of chemicals, especially the use of fertilizers and pesticides. It`s too many negative impacts from conventional farming. the attention of the world community began slow to move to the organic farming. The assessment aims to determine the dosage of Solid Organic Fertilizer SOF on the production of cabbage and analyze the Feasibility Farming UT of Cabbage. The assessment was done in the land farmer cooperators in Farming System Model Bio-Industrial Plant-Animal activities in Air Meles Village. Subdistrict East Curup District Rejang Lebong in March through June 2016. This study used randomized block design RBD with a single factor, namely POP dosage with 4 levels of treatment. Cabbage varieties used is Grand 11 varieties. Data collected during the harvest,: 1 Technical data height, weight wet crop, crop net diameter and number of leaves, 2 the data of Farming system. Data analyze is done by 1 Analysis of Variance ANOVA and DMRT Analyze and 2 A financial analysis Farming Cabbage. SOF doses up to 15 tonsha on cabbage gives better results than other doses with production of 34.286 tons. The use of multiple doses of SOF shown the B C1 for condition of the selling price at the time the assessment is quite high Rp. 4000,- kg . Keywords : cabbage, SOF, income, production 251 PENDAHULUAN Menyikapi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser menuju pertanian yang ramah lingkungan. Salah satu upaya alternatif yang dapat dilakukanadalah dengan mengembangkan pertanian organik yang merupakan suatu sistem yang mampu menjaga keselarasan diantara komponen ekosistem secara berkesinambungan dan lestari. Pertanian organik ini mengandalkan kebutuhan hara melalui penggunaan pupuk organik. Pertanian ramah lingkungan merupakan konsep model pertanian yang bertujuan agar kegiatan ekonomi tidak merusak lingkungan, dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara ekologi, ekonomi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Usaha tani sayuran biasanya menggunakan input yang tinggi terutama dalam penggunaan pupuk anorganik, untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Penggunaan input kimia yang tinggi jika dipakai terus menerus akan dapat merusak kondisi tanah Puspita et al, 2015. Alternatif bijaksana yang dapat dipilih dengan menggunakan kompos. Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme bakteri pembusuk yang bekerja didalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan dan lain-lain. Penggunaan kompos bukan hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman namun dapat menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan porositas, aerase dan komposisi mikroorganisme tanah sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah, menghemat pemakaian pupuk kimia, menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah, dan ramah lingkungan Murbandono,2000. Menurut Simanungkalit et al. 2006 kompos merupakan sumber hara makro dan mikro mineral secara lengkap meskipun dalam jumlah relatif kecil N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si. Selain itu, kompos banyak mengandung mikroorganisme fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga. Variasi dalam kuantitas macam-macam nutrien esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sangat besar. Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu kabupaten di provinsi bengkulu yang mempunyai potensi yang cukup luas dalam pengembangan tanaman sayuran. Salah satu tanaman sayuran yang dikembangkan diantaranya adalah tanaman kubis. Pada tahun 2015, tercatat pengembangan areal kubis mencapai 2.517 ha dengan produksi 914.792 kuintal Statistik Pertanian Rejang Lebong, 2015. Kubis merupakan tanaman yang banyak digemari untuk digunakan sebagai sumber protein, vitamin A, Vitamin C, Vitamin B1, Vitamin B2 dan Niacin Setiawati et al, 2001. Dalam budidaya tanaman ini petani biasanya mengeksploitasi penggunaan bahan kimia terutama penggunaan pupuk dan pestisida. Suatu usahatani memiliki tujuan untuk menghasilkan manfaat bagi pelakunya,untuk mengevaluasi manfaat atau keuntungan petani dalam melakukan budidaya tanaman perlu dilakukan analisis finansial untuk melihat jumlah biaya yang dikeluarkan dan diterima oleh petani Herdiyansyah dan Rohayana, 2014.Untuk mengkaji kelayakan usahatani kubis dengan menggunakan POP, dilakukan analisis finansial.Hal ini untuk menepis keraguan petani sayuran konvensional untuk beralih menjadi petani sayuran organik. POP yang dikembangkan merupakan campuran dari pemanfaatan limbah kulit kopi. Penambahan bahan organik berupa pemberian kompos kulit kopi dapat memenuhi nutrisi untuk pembentukan daun. Secara umum pengomposan dengan sistem aerobik termasukpengomposan limbah kulit kopi adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi dengan kehadiran oksigen Sahputra et al, 2013. Pengkajian bertujuan untuk : 1 mengetahuipengaruh dosis POP terhadap produksi tanaman kubis dan 2 menganalisis kelayakan Usaha Tani pada beberapa dosis POP yang digunakan dalam pengkajian. 252 METODE PENELITIAN Pengkajian dilakukan di lokasi kegiatan Model Sistem Pertanian Bio-Industri Tanaman- Ternak Spesifik Lokasi di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016 dilahan petanikooperator. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kondisi tanah di lokasi pengkajian mempunyai kandungan hara sebagai berikut: N-total 0,47 , P 2 O 5 3,94 , K 2 O 0,51 dan pH 6,18. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK dengan faktor tunggal yaitu dosis POP dengan 4 perlakuan, yaitu : perlakuan I : Tanpa Kompos, perlakuan II : dosis 5 tonha, perlakuan III : dosis 10 tonha dan perlakuan IV : dosis 15 tonha dengan 5 kali ulangan. Penggunaan dosis POP dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kubis terhadap pupuk an organik yang direkomendasikan. Varietas kubis yang digunakan adalah Grand 11. Data yang dikumpulkan pada saat panen yaitu : tinggi tanaman yang diukur dari permukaan tanah, berat basah krop; krop dibersihkan dari daun-daun yang kuning dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, diameter bersih krop; diukur dengan cara membersihkan daun yang tidak layak, krop dipotong dua bagian yang sama diameter diukur dengan menggunakan mistar dan jumlah daun; dihitung dengan cara memisahkan satu persatu daun lalu dihitung.Data kelayakan usaha tani yang dikumpulkan antara lain : biaya input produksi, produksi dan harga produksi, data yang ambil merupakan data Usaha Tani UT yang diterapkan pada penggunaan dosis POP. Data teknis dianalisis dengan Analisis of Variance ANOVA. Rerata antar perlakuan diuji lanjut dengan DMRT. Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis finansial rumus Oetama et al, 2014 : Benefit Cost Ratio BC BC = � − � � Dimana : Pd = Pendapatan Usahatani Kriteria uji : Apabila BC 0, maka usahatani dikatakan menguntungkan Apabila BC 0, maka usahatani dikatakan tidak menguntungkan Apabila BC = 0, maka usahatani dikatakan tidak untung dan tidak rugi atau impas. Break Event Point BEP BEP harga RpKg = BEP produksi Kg = � � TC = Total Biaya Y = Produksi PY = Harga Produksi HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi Beberapa Dosis POP pada Tanaman Kubis Aplikasi penggunaan POP pada tanaman kubis menunjukkan pertumbuhan yang beragam terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah daun dan tinggi tanaman.. Hasil analisis sidik ragam dari aplikasi beberapa dosis POP pada tanaman kubis yang dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT menunjukkan hasil sebagai berikut : 253 Tabel 1. Pengaruh beberapa dosis pemberian POP terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah daun dan tinggi tanaman. No. Dosis POP Berat Basah Krop g Diameter Krop cm Jumlah Daun helai Tinggi Tanaman cm 1 Tanpa Kompos 294,0 c 13,8 c 29,3 ab 29,0 a 2 5 tonha 319,2 c 14,7 bc 27,2 b 29,2 a 3 10 tonha 706,0 b 15,0 b 28,2 ab 29,5 a 4 15 tonha 1161,2 a 18,4 a 31,0 a 29,7 a Sumber : Pengamatan Th. 2015 Pada Tabel 1. menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pemberian POP terhadap parameter berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun. Pada parameter tinggi tanaman tidak menunjukkan terdapat beda nyata, tinggi merupakan salah satu parameter pertumbuhan tanaman. Tanaman setiap waktu terus tumbuh yang menunjukkan telah terjadi pembelahan dan pembesaran sel. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisiologi dan genetik tanaman. Berat basah krop pada perlakuan dosis pemupukan POP 15 tonha menunjukkanperbedaan yang sangat nyata terhadap ke 3 perlakuan dosis lainnya, perlakuan kontrol menunjukkan berat basah krop yang terendah yaitu294 g, sedangkan pada perlakuan dosis POP 15 tonha menunjukkan berat 1.161 gram. Penggunaan dosis POP 15 tonha mampu menghasilkan produktivitas sebanyak 34,3 tonha. Kandungan unsur hara yang ada pada POP yang dihasilkan menunjukkan bahwa N yang tersedia sebanyak 6,06 , P2O5 4,09 , K2O 0,40 dan pH H2O 8,9 lebih tinggi dibandingkan hasil analisis kompos dari penelitian Isroi 2005jika menggunakan kompos yang matang kandungan haranya kurang lebih mengandung 1,69 N, 0,34 P2O5, dan 2,81 K. Pada penggunaan dosis kompos 15 tonha memiliki kandungan N dan P yang cukup tinggi. Setiawatiet al, 2007, memberikan rekomendasi sebagai berikut untuk tanaman kubis: Urea sebanyak 100 kgha, ZA 250 kgha, TSP atau SP-36 250 kgha dan KCl 200 kgha. Dengan menggunakan dosis kompos 10-15 ton dapat memenuhi kebutuhan N dan P pada tanaman kubis.Namun demikian POP yang digunakan belum dapat memenuhi kebutuhan unsur K untuk tanaman kubis karena unsur K yang dihasilkan relatif sedikit 0,40 . Pada perlakuan kompos 15 tonha, berat basah krop berkorelasi positif dalam menghasilkan diameter dan jumlah daun dibandingkan perlakuan yang lain. Berat basah krop, diameter dan jumlah daun berturut-turut sebagai berikut 1.116,2 kg, 18,4 cm dan 31,0 helai daun, diduga pada kondisi 10- 15 tonha merupakan kondisi yang optimal dalam ketersediaan unsur hara.Suatu tanaman akan tumbuh subur apabila segala unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dan dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman Dwidjoseputro, 1983. Waktu penanaman pada kegiatan pengkajian dilakukan pada musim kering dengan curah hujan yang relatif sangat terbatas, namun tanaman dapat bertahan dengan produktivitas 8 tonha. Beberapa hasil penelitian lain seperti Suriadikarta 2006 berpendapat bahwa bahwa bahan organik khususnya pupuk kompos dan urine kelinci juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam menyediakan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba. Selain mendapatkan kebutuhan akan unsur hara dari POP, pada tanaman kubis juga ditambahkan penggunaan POC, yang diberikan dengan konsentrasi 1:15 yang diaplikasikan langsung ke tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap unsur harajuga dapat diperoleh melalui pemberian pupuk cair Arinong et al. 2011 Aplikasi biourine juga dapat ikut membantu memberikan tambahan makanan pada pertumbuhan tanaman. Aplikasi biourine dengan disemprot ke daun akan secara langsung diserap oleh stomata daun, dikarenakan didalam biourine terdapat zpt jenis auksin seperti IAA Indol Asetic Acid yang dapat menginisiasi pemanjangan sel dengan cara mempengaruhi pengendoran atau pelunturan dinding sel Rao, 1994. Kajian Bilad 2011 tentang dosis pupuk organik dan konsentrasi biourine menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi biourine dan dosis pupuk organik secara tunggal mampu meningkatkan N-total tanah, peningkatan N dalam tanah kemungkinan disebabkan oleh 254 mikroorganisme yang terdapat dalam biourine yang mampu merombak senyawa organik yang terdapat dalam biourine. Analisis Kelayakan Finansial Penggunaan POP Pada Tanaman Kubis Untuk mengetahui kelayakan Usaha Tani dengan penggunaan POP pada beberapa dosis dilakukan analisis Benefit Cost Ratio BC ratio dan Break Event Point BEP. Hasil analisis kelayakan finansial penggunaan POP pada tanaman kubis pada lahan petani seluas 1 ha di Desa Air Meles Atas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Analisis kelayakan finansial UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP. No Uraian Dosis POP tonha 5 10 15 1. Biaya Input a. Sarana Produksi Rp 2.500.000 6.270.000 9.300.000 13.770.000 b. Tenaga kerja Rp 6.930.000 6.930.000 6.930.000 6.930.000 c. Total Biaya Rp 9.430.000 13.200.000 16.230.000 20.700.000 2. Produksi Kubis Kg 8.400 9.114 20.172 34.286 3. Harga Jual RPkg Current 4.000 4.000 4.000 4.000 4. Penerimaan UT Rp 33.600.672 36.457.872 80.687.328 137.145.600 5. Keuntungan UT Rp 24.170.672 23.257.872 64.457.328 116.445.600 6. BC 3,56 2,76 4,97 6,63 7. BEP HargaRp 1.123 1.448 805 604 BEP Produksi tonha 2.358 3.300 4.058 5.175 Sumber : Data primer diolah, 2015 Dari hasil analisis UT kubis dengan menggunakan POP menunjukkan bahwa pada setiap penggunaan dosis POP memiliki nilai BC 1, nilai ini menunjukan bahwa pada setiap penggunaan dosis POP pada UT kubis layak untuk diusahakan. Kondisi ini terjadi karena harga jual di tingkat petani pada saat pengkajian relatif cukup tinggi yaitu Rp. 4000,-kg. Dari pemantauan harga pasar, Laporan Dinas Pertanian Kab. Rejang Lebong, pada kondisi harga 3 tahun terakhir th 2014- 2016, harga jual kubis di tingkat petani yang terendah pada harga jual Rp. 357,-kg dan harga tertinggi mencapai Rp. 4.286,-kg. Harga jual pada saat dilakukan pengkajian merupakan harga yang memberikan keuntungan yang cukup besar pada kurun waktu 3 tahun terakhir, berikut merupakan trend harga jual kubis di tingkat petani di Kabupaten Rejang Lebong Grafik 1. Apabila dilihat dari rata-rata harga kubis selama tiga tahun maka pada harga Rp. 2.126,-kg, maka usahatani kubis pada saat itu masih menguntungkan karena BEP harga pada setiap perlakuan pemberian kompos lebih kecil dari harga rata-rata. Grafik 1. Trend harga jual kubis di tingkat petani pada tahun 2014-2016 Rpkg Produksi yang diperoleh dari ke-4 dosis POP dan harga jual pada saat itu, menunjukkan nilai BC yang tinggi, sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang cukup tinggi. Menurut Soekartawi 1991 semakin tinggi BC rasio dari suatu UT, maka usaha tersebut semakin layak dan keuntungan yang di dapat juga semakin besar. 2014 2015 2016 255 BEP UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP 15 tonha menunjukkan BEP dengan harga terendah Rp. 604,- dengan produksi sebanyak 5,2 tonha. Artinya agar UT kubis tidak mengalami kerugian, dengan produksi 34,286 tonha petani harus menjual produknya minimal dengan harga Rp. 604,-kg dan apabila harga jual kubis Rp.4.000,-kg petani harus dapat memproduksi kubis sebanyak 5,2 ton. KESIMPULAN Penggunaan dosis POP sebanyak10 dan 15 tonha pada tanaman kubis memberikan hasil yang lebih baik dari dosis lainnya dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP layak untuk diusahakan yang ditunjukan dengan nilai BC 1 dengan kondisi harga jual pada saat pengkajian yang cukup tinggi Rp. 4000,-kg. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Wahyu Wibawa, MP yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Arinong. A. R dan Chrispen Dalrit Lasiwua. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi liquid organic fertilizer application on growth and production of mustard. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No. 1. Bilad 2011,http:www.ipard.com, diakses 10 Juni 2016. Dwidjoseputro. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta Gardner, F.P., R. B. Pearce dan R. I. Mitchell. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 428 hlm. Herdiansyah, E dan Rohayana, D. 2014. Analisis ekonomi dan kendala pada budidaya kedelai lahan sawah di Desa Rejo Binangun Kabupatrn Lampung Timur. Prosiding Temu Teknis Jabatan Fungsional Non Peneliti, Bogor. Hal. 159-1. Murbandono, Hs., 2000. Membuat Kompos . Penebar Swadaya , Jakarta Oetama. D.S. N, Emy Kernalis dan Arnoldy Arby. 2014. Analisis usahatani padi sawah dan usahatani kedelai di Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sosio Ekonomika Bisnis Vol 17. 2. Rao, S. N. S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman, Edisi Kedua,UI-Press, Jakarta. Sahputra. A., Asil Barus dan Rosita Sipayung. 2013. Pertumbuhan dan produksi bawang merah allium ascalonicum .l terhadap pemberian kompos kulit kopi dan pupuk organik cair. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.2, No.1: 26-35. Setiawati. W., Rini Murtiningsih., Gina Aliya Sopha dan Tri Handayani. 2001. Petunjuk Teknis budidaya sayuran. Balitsa. Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta, R., Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati:Organik fertilizer and biofertilizer.Balai Penelitian dan Pengembangan Lahan Pertanian, Bogor. Soekartawi. 1991. Agribisnis teori dan aplikasi. Rajawali Press. Suriadikarta 2006, D.A. Hartatik dan G. Syamsidi,2003. Penerapanpengelolaan hara terpadu pada lahan sawah irigasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional PERHIMPI. Biotrop, 9-10 September 2003. Yamin, A. 2014. Pengaruh pemberian urin kelinci dan kompos terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisim Brassica juncea, L. Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya. 256 PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI DALAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN HAYATI PADA USAHATANI CABAI DI MOJO REJO KABUPATEN REJANG LEBONG KNOWLEDGE IMPROVEMENT OF FARMER FOR BIOLOGICAL CONTROL PEST PLANT DISEASES AT CHILI FARMING IN MOJO REJO REJANG LEBONG Herlena Bidi Astuti dan Rudi Hartono Balai Pengkajian Teknologi pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 38119. Telp 0736 345568.Website : www.bengkulu.litbang.pertanian.go.id Email: bidizafirahyahoo.co.id ABSTRAK Tingkat pengetahuan petani dalam pengendalian hama penyakit secara hayati masih sangat kurang ditambah lagi dengan masifnya promosi berbagai merek dagang pestisida membuat informasi tentang pengendalian HPT secara hayati semakin jarang terdengar. Penelitian ini bertujuan untu mengetahui peningkatan pengetahuan petani sebelum dan setelah di lakukan penyuluhan tentang pengendalian HPT cabai secara hayati. Metode yang digunakan adalah pre-test post-test one group design dengan jumlah responden sebanyak 31 orang yang ditentukan secara purposive. Peningkatan pengetahuan responden diuji dengan menggunakan statistic paired sample t test. Hasil uji analisis diketahui nilai signifikansi kurang dari 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Kata kunci : peningkatan, pengetahuan, hpt hayati, usahatani cabai ABSTRACT The level of knowledge of farmers in biological pest management are still lacking coupled with more promotion of various trademarks of pesticides to make information about biological countermeasures of pests and diseases are more rarely heard. This study aims to determine the increase in farmers knowledge before and after doing counseling on prevention of pests and diseases biologically chili. The method used is the pre -test post-test design one group with the number of respondents as many as 31 people were determined by purposive. Increased knowledge of the respondents tested using statistical paired sample t-test. Test results analysis showed significance values less than ≤ 0.05 , which means there is a real difference between farmers knowledge before and after counseling. Where in the know the average value of knowledge before the extension was 3, 52 and after the extension was 7, 23 . Keywords : improvement, knowledge, biological pests and plant diseases, chili farming PENDAHULUAN Budidaya cabai hingga kini masih sangat diminati oleh petani walaupun harga komoditas ini sangat fluktuatif. Kebutuhan akan cabai yang terus meningkat menjanjikan keuntungan bagi usahatani cabai, banyak petani yang mendapatkan keutungan berlipat namun banyak juga yang gagal karena harga yang murah atau serangan hama penyakit yang masif. Hama dan penyakit tanaman menjadi faktor penyebab utama turunnya produktivitas tanaman, Puluhan tahun lamanya hingga sekarang para petani mengendalikan hama dan penyakit dengan bahan-bahan kimia buatan pabrik seperti insektisida, fungisida, bakterisida, dan masih banyak lainnya dengan harga yang relatif mahal. Untuk mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani cabai petani sering menggunakan berbagai macam pestisida dalam jumlah yang besar tanpa memperhatikan keberlangsungan hayati ataupun keamanan pangan dari cabai yang di hasilkan. Tingkat pengetahuan petani akan cara penanggulangan hama penyakit secara hayati masih sangat kurang di tambah lagi dengan gencarnya promosi produk berbagai merek dagang pestisida membuat informasi akan pengendalian hama secara hayati semakin tidak terdengar. Pada kondisi inilah diperlukan sosialisasi dan diseminasi teknologi agar berbagai inovasi penanggulangan hama penyakit dapat tersampaikan ke petani sebagai pengguna. Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian, diseminasi tidak bisa dipisahkan dengan penelitian dan pengkajian sehingga berbagai hasil 257 penelitian dapat tersebar keberbagai kalangan khususnya petani sebagai pengguna karena diseminasi merupakan penyebaran teknologi kepada pengguna sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal pada masyarakat. Basuno,2003 Peningkatan pengetahuan petani akan mempengaruhi keputusan dalam penerapan suatu teknologi pertanian sehingga diperlukan diseminasi inovasi teknologi untuk itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan petani dalam peanggulangan HPT hayati pada usahatani cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. Sampel penelitian adalah anggota kelompok tani cabai di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong. Jumlah sampel adalah 31 orang petani yang diambil secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan pendekatan pre-test post-test one group design yaitu eksperimen yang dilakukan pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding. Arikunto 2002 mengungkapkan “pre-test post- test one group design adalah penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen pre-test dan sesudah ekperimen post-test dengan satu kelompok subjek. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang harus di jawab oleh petani responden sebelum dilakukan penyuluhan. Untuk melihat peningkatan pengetahuan petani responden, kuesioner yang sama di bagikan kembali setelah penyuluhan selesai . Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dilakukan uji statistik digunakan statistic paired sample t test . rumus t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi dengan rumus sebagai berikut Sugiyono, 2011 t = − √ � � + � � − � √� � √� Dimana : X 1 X 2 S 1 S 2 S 1 2 S 2 2 r = = = = = = = Rata - rata sampel 1 Rata – rata sampel 2 Simpangan baku sampel 1 Simpangan baku sampel 2 Varians sampel 1 Varians sampel 2 Korelasi antara dua sampel HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden Petani responden rata-rata berusia 36, 9 tahun usia yang masih sangat muda dan berada pada usia yang produktif. Pada usia yang masih relatif muda, masih sangat besar peluang untuk menerima inovasi untuk perbaikan teknologi usahatani yang di terapkan seperti di jelaskan dalam Soekartawi 1988 bahwa usia yang muda petani akan lebih mudah untuk menerima informasi dan menerapkan inovasi baru. Pengalaman rata-rata petani responden yaitu 7 tahun, dimana setiap petani responden sudah lebih dari 5 kali musim tanam melakukan usahatani cabai sehingga sudah banyak melihat dan mengalami berbagai kondisi iklim, serangan hama dan juga fluktuasi harga. Pengalaman ini akan membuat petani belajar cara yang paling efektif dalam penerapan usahatani cabai dan juga mempelajari kondisi yang paling menguntungkan dalam kegiatan usahataninya. Rata-rata pendidikan formal petani responden 9,1 tahun artinya sudah berada di atas wajib belajar pemerintah 9 tahun. Lama pendidikan seseorang akan mempengaruhi wawasan dan kemampuan nalar serta berpikir seseorang sehingga akan mempengaruhi kemampuan dalam manajemen usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sejalan dengan hasil penelitian Hutuaruk 2009 bahwa lama pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap produktifitas hasil pertanian yang di lakukan. 258

b. Tingkat Pengetahuan Petani

Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan keterampilan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilak Astuti dan Honorita, 2013 Table. Pengetahuan petani terhadap pengendalian hama dan penyakit secara hayati. No Item pengetahuan Nilai rata Keterangan 1 Pengendalian busuk buah 9 99 mengetahui 2 Pembuatan tanaman penghalang border 100 tidak mengetahui Benih berlabel 1 90 tidak mengetahui 3 Pengelolaan lahan dan trichoderma 8 80 mengetahui 4 Perangkap hama 2 80 tidak mengetahui 5 Pergiliran Pestisida 100 tidak mengetahui Pengetahuan petani terhadap penyebab busuk buah sudah cukup baik, petani dominan menjawab penyebab busuk buah adalah lalat buah dan jamur. Sebagaimana diketahui bahwa penyebab utama busuk buah pada cabai adalah lalat buah cendawan Colletotrichum sp. Untuk mencegah dan menangani penyakit busuk buah petani dominan 99 menjawab dengan sanitasi atau pembersihan lahan, menggunakan lem perangkap dan melakukan penyemprotan pestisida. Dari jawaban petani bisa dilihat bahwa petani sudah menyadari akan cara –cara pencegahan dan penanganan busuk buah namun lahan yang bersih sanitasi dimaksud bukan hanya membersihkan gulma atau rumput pengganggu tanaman melainkan juga petani harus membuang sisa buah yang jatuh disekitar tanaman karena ketika buah cabai busuk tidak segera dibuang maka larva yang ada di dalam buah akan segera berubah menjadi pupa dan menetas menjadi lalat buah baru. Pengetahuan petani akan pembuatan tanaman penghalangpagar atau border sangat rendah 100 karena petani belum mengetahui tentang pembuatan border. Petani masih beranggapan penyemprotan sebelum terserang penyakit adalah cara pencegahan yang paling baik padahal tanaman pagar bisa mencegah tertularnya tanaman dari hama penyakit yang ada di sekitar lahan. Penggunaan border dapat di lakukan dengan menanam jagung 5-6 baris rapat 15-20 cm sekeliling kebun 2-3 minggu sebelum tanam cabai dengan tujuan membuat penghalang agar serangga vektor dan penyakit lain dari kebun tetangga tidak masuk ke lahan tanaman cabai. Saat ini petani umumnya menggunakan insektisida untuk pengendalian berbagai serangan hama penyakit yang merusak tanaman terutama pada tanaman yang tidak memiliki ketahanan terhadap hama-ham tersebut. Pengendalian menggunakan bahan kimia seringkali menimbulkan permasalahan baru diantaranya adalah pencemaran lingkungan yang menyebabkan keracunan bagi petani pengguna, matinya musuh alami dari hama yang diharapkan dapat menekan populasi hama secara alamiah dan bisa juga menyebabkan serangga menjadi resisten sehingga penggunaan selanjutnya harus dengan dosis yang lebih tinggi selain itu penggunaan insektisida kimia dapat menimbulkan risurjensi hama atau meningkatnya populasi hama setelah penggunaan insektisida. Hasil penelitian Kusheryani 2006 menjelaskan bahwa tanaman yang diusahakan secara organik dengan menggunakan tanaman penolak hama yaitu tanaman daun bawang, selasih dan tagetes menunjukkan hasil dan pertumbuhan cabang tanaman yang lebih baik daripada cara-cara konvensional. Untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman tentulah tanaman harus sehat sejak di pembibitan atau pemilihan benih karena benih yang terkontaminasi penyakit tanaman akan membuat tanaman tidak sehat dan menyebabkan kegagalan dalam usahatani. Untuk memastikan benih yang dipilih adalah sehat bisa dengan menggunakan benih berlabel dan dominan petani 99 tidak menggunakan benih berlabel dan menganggap benih bisa diambil dari tanaman yang secara kasat mata terlihat sehat. Pengelolaan lahan perlu di jadikan perhatian yang serius karena jamur dan beberapa hama seperti ulat Gangsir Brachytrypes portentosus dapat menyerang tanaman sejak tanaman baru dipindahkan kelahan tanam. 80 petani sudah mengetahui pemanfaatan jamur trikoderma untuk mencegah serangan jamur pada akar dan pangkal batang tanaman. Ismail dan tenrirawe 2012 menjelaskan, Trichoderma spp. mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai agens hayati dalam pengendalian penyakit tanaman, hal ini karenakan sifat Trichoderma spp. sebagai cendawan antagonis yang dianggap aman bagi lingkungan karena cendawan ini berasal dari tanah dan 259 dapat berfungsi sebagai pengurai unsur hara tanaman serta dalam pengendalian penyakit memberikan hasil yang cukup memuaskan. Untuk mencegah serangan hama penyakit tanaman di lakukan dengan pembuatan perangkap, dalam membuat perangkap, kita memanfaatkan sifat phototaksis postitif dalam menangkap serangga. Serangga umumnya tertarik dengan warna merah, biru, hijau, dan kuning. Dari ketiga warna tersebut, warna kuning yang paling banyak serangga yang tertarik, kemudian disusul warna biru, hijau, dan merah. Sebanyak 80 petani responden belum mengetahui pembuatan perangkap dengan menggunakan perangkap berwarna kuning. Perangkap warna dapat dimaksimalkan untuk fokus menangkap serangga tertentu. Misal lalat buah, bisa menggunakan buah tiruan yang berwarna kuning kemudian diberi perekat atau bisa juga papan kuning ditambahkan metil eugenol atau pheromon sebagai zat penarik melalui aroma untuk memperkuat daya tarik. Pemanfaatan pestisida terkadang tidak bisa dihindari selama proses produksi, namun pemanfaatan pestisida yang berimbang dan tidak berlebihan masih harus terus di sosialisasikan kepada petani, 100 atau semua petani responden belum mengetahui bahwa harus dilakukan pergiliran pestisida dalam penyemprotan hama penyakit. Sembayang 2013 menjelaskan beberapa dampak negatif pestisida : 1 timbulnya resistensi hama sasaran, 2 resurjensi timbul lagi hama sasaran, 3 residu pestisida, penggunaan pestisida berlebih pada tanaman cabai dengan perkiraan 30 x penyemprotan permusim, 4 terbunuhnya musuh-musuh alami tanaman penting pada cabai dan 5 terjadinya pencemaran lingungan. Aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkan mencapai ambang ekonomi ambang pengendalian hama sasaran. Jenis pestisida yang digunakan juga hendaknya bersifat efektif dan dosis penggunaannya sesuai dengan rekomendasi penyemprotan.

c. Perubahan Pengetahuan Petani.

Untuk melihat perubahan pengetahuan petani setelah di lakukan penyuluhan tentang penanggulangan hama penyakit secara hayati dilakukan uji t dari skor penilaian setiap point jawaban yang di pilih oleh petani responden dan di dapatkan hasil bahwa nilai signifikansi kurang dari ≤ 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Dimana di ketahui nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indraningsih 2011 bahwa penyuluhan dapat memberikan peningkatan persepsi petani terhadap inovasi teknologi dan akan lebih baik lagi jika materi penyuluhan ini terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal. Peningkatan persepsi petani juga akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat keberanian untuk mengambil resiko dan lebih berorientasi ekonomi. Sejalan pula dengan hasil penelitian Bahua 2015 bahwa kompetensi dan kinerja penyuluh berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam menerapkan teknologi pertanian. Kartasapoetra 1997menjelaskan bahwa, penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan perilaku petani, yaitu dengan mendorong masyarakat petani untuk mengubah perilakunya menjadi petani dengan kemampuan yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan menyadari akan kekurangannya atau kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri dan dapat berperan di masyarakat dengan lebih baik. KESIMPULAN 1. Petani cabai masih berada pada kisaran usia produktif dengan pengalam usahatani cabai selama tujuh tahun dan rata-rata pendidikan juga cukup tinggi yaitu diatas wajib belajar 9 tahun. 2. Statistic uji t diketahui ada perubahan pengetahuan petani setelah dilakukan penyuluhan HPT secara hayati. Pengetahuan petani tentang penanggulangan HPT cabai secara hayati sebelum dilakukan penyuluhan sangat rendah yaitu 3,52 namun setelah dilakukan penyuluhan pengetahuan petani menjadi meningkat menjadi 7,23.