Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012- 2013)

ANALISIS DAMPAK PENATAAN DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI OMSET PEDAGANG KAKILIMA
DI KOTA BOGOR
(PERIODE TAHUN 2012-2013)

KARLINA PRATIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak
Penataan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di
Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Karlina Pratiwi
NIM H14090048

ABSTRAK
KARLINA PRATIWI. Analisis Dampak Penataan dan Faktor-faktor yang
Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 20122013). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.
Pedagang kakilima sebagai sektor informal sering menjadi permasalahan
perkotaan yang tidak ada habisnya karena kelebihan dan kekurangan yang
dimilikinya. Keberadaan Pedagang kakilima seringkali memberikan dampak yang
negatif seperti mengurangi keindahan, kebesihan dan estetika suatu lokasi,
mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan arus pejalan kaki serta mengganggu
fungsi prasarana kawasan perkotaan. Disamping sebagai pembawa masalah,
sebenarnya ada sisi lain Pedagang kakilima yaitu sebagai penyelamat ekonomi
rakyat, menyerap tenaga kerja, mendorong bergeraknya perekonomian daerah dan
sumber retribusi. Penataan Pedagang kakilima dilakukan sebagai solusi untuk
menekan dampak negatif dan mendorong dampak positif. Penelitian ini dilakukan

untuk melihat dampak penataan pedagang kakilima dan faktor-faktor yang
memengaruhi omset pedagang. Uji-t berpasangan menunjukkan bahwa rata-rata
omset sebelum penataan pedagang kakilima dengan setelahnya tidak jauh berbeda.
Berdasarkan uji regresi linear berganda, faktor yang berpengaruh secara signifikan
terhadap omset adalah usia, lama usaha, jam operasional dan jumlah pembeli.
Kata kunci: pedagang kakilima, penataan, omset

ABSTRACT
KARLINA PRATIWI. The Analysis of The Street Trader’s Arrangement
Effect and The Factors That Influence The Trader’s Earning in Bogor (Years
Periode 2012-2013). Supervised by MUHAMMAD FINDI A.
The street treaders as informal sector often become the city’s problem that
never end because of the advantages and disadvantages. The existence of the
street treaders often gives the negative effects, such as lack of beauty, the
cleanliness and the estique of the location, distrubing the traffic and pedestrians
and also distrubing the function of the city’s facilities. Besides, the street treaders
also save of the public economy, give the people jobs, support the economy of the
country and as the source of retribution. The right arrangement of the street
treaders can be a solution to decrease the negative effects and support the positive
effects. This reseach was done to know the effect of the arrangement of street

treaders and the factors that influence the treader’s earning. The paired t-tes
showed that the average of their earning before and after arrangement is not so
different. Based on multiple linear regression analysis test, the factors which
influence the earning significantly are age, the working period, the operational
hour and the number of buyers.
Key words: street treader, arrangement, earning

RINGKASAN
KARLINA PRATIWI. Analisis Dampak Penataan dan Faktor-faktor yang
Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 20122013). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.
Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional,
maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting pula.
Peranan sektor perdagangan antara lain telah berhasil memperlancar arus barang
dan jasa, mengusahakan dan menjaga tingkat harga menjadi relatif lebih stabil,
dan peningkatan nilai tambah yang dihasilkan serta kemampuannya menyerap
tenagakerja yang cukup besar. (LEMHANNAS, 1995).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor tahun 2012,
proporsi tertinggi kedua penduduk bekerja di Kota Bogor adalah dibidang
perdagangan, rumah makan dan hotel dengan jumlah total tenagakerja yang dapat
diserap oleh sektor ini sekitar 112.774 orang. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor

pada tahun 2011 pun tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran
dengan kontribusi sebesar 36,65 persen dari total PDRB Kota Bogor dengan laju
pertumbuhan sebesar 5,28 persen.
Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 banyak sekali
kegiatan ekonomi yang cenderung beralih pada sektor informal. Kegiatan
ekonomi sektor informal salah satunya adalah pedagang kakilima (Yunus, 2011).
Di sejumlah daerah di Indonesia sampai saat ini keberadaan pedagang kakilima
masih menjadi permasalahan yang banyak menimbulkan pro dan kontra
khususnya di daerah perkotaan. Mereka seringkali dianggap melanggar aturan
yang berakibat terhadap kekumuhan, kebersihan, ketertiban, kesehatan, keindahan
dan yang lainnya yang tentunya berpengaruh terhadap wajah kota sehingga
keberadaan pedagang kakilima dianggap memiliki stigma negatif di kalangan
masyarakat. Disamping sebagai pembawa masalah, sebenarnya terdapat sisi
positif dari adanya pedagang kakilima yaitu sebagai penyelamat ekonomi rakyat,
pangsa pasar home industry dan pertanian, alternatif pekerjaan, benteng krisis
moneter, penyerapan tenagakerja dan sumber retribusi yang signifikan.
Di Kota Bogor, salah satu lokasi yang banyak dipilih oleh pedagang
kakilima adalah di Jalan Nyi Raja Permas karena letaknya yang berada di
kawasan Stasiun Kereta Api Bogor. Adanya pedagang kakilima mengganggu arus
transportasi sehingga sering terjadi kemacetan dan juga mengganggu arus pejalan

kaki disamping lokasi tersebut menjadi terlihat kumuh dan kotor. Penertiban
pedagang kakilima di lokasi ini mengacu pada Peraturan Daerah Pemerintah Kota
Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kakilima.
Program pembenahan pedagang kakilima tidak hanya dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bogor, namun juga dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia
(PT. KAI) di Jalan Nyi Raja Permas yang lokasinya terdapat di lahan milik
Stasiun Kereta Api Bogor. Menurut Undang-Undang Perkeretaapian, di Stasiun
Kereta Api dapat dilakukan usaha penunjang angkutan kereta dengan syarat tidak
mengganggu fungsi stasiun (Pasal 55 Undang-undang nomor 23 Tahun 2007).
Dampak dari menjamurnya pedagang kakilima di areal ini yaitu selasar stasiun
kereta api menjadi terlihat kumuh dan kotor disamping itu juga mengganggu
aktifitas pejalan kaki khususnya penumpang pengguna kereta api karena luasnya

areal bagi pejalan kaki menjadi semakin sempit. Penataan pedagang kakilima
dilakukan sebagai solusi menekan kontribusi negatif dan mendorong kontribusi
positif. Dengan adanya penataan, ruang dagang menjadi lebih bersih, rapih dan
nyaman yang tentunya ikut mendukung estetika dari suatu lokasi dan pedagang
pun tidak kehilangan pekerjaannya untuk mencari nafkah. Disamping itu adanya
penataan dapat menekan terganggunya kenyamanan para pejalan kaki.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak penataan dan faktorfaktor yang memengaruhi omset pedagang Stasiun Kereta Api Bogor setelah

dilakukan penataan pedagang kakilima. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dari hasil wawancara dan data sekunder mengenai tenaga kerja
dan PDRB dari BPS Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalag uji-t
berpasangan dan regresi linear berganda dengan menggunakan lima variabel,
yaitu usia, tingkat pendidikan, lama usaha, jam operasi dan jumlah pembeli .
Hasil Penelitian menggunakan uji-t berpasangan menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara omset pedagang kakilima sebelum dan
sesudah dilakukan penataan pedagang kakilima. Rata-rata omset sebelum
penataan pedagang kakilima dengan setelahnya tidak jauh berbeda. Dari lima
variabel yang digunakan, dengan menggunakan regresi linear berganda diperoleh
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang kakilima secara
signifikan ada empat yaitu, usia, lama usaha, jam operasi dan jumlah pembeli.
Responden yang usianya lebih tua cenderung memperoleh omset lebih kecil dari
pedagang yang usianya lebih muda. Semakin lama responden berjualan sebagai
pedagang kakilima maka omset yang dapat diperoleh semakin besar. Semakin
lama waktu kerja responden dalam sehari maka omset yang diperoleh semakin
besar. Semakin tinggi peningkatan jumlah pembeli maka omset yang diperoleh
semakin besar. faktor lainnya yaitu pendidikan pedagang, berdasarkan uji statistik
tidak memengaruhi omset pedagang.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebenarnya penataan pedagang

kakilima tidak selalu meningkatkan omset pedagang meskipun kondisi tempat
berjualan menjadi lebih baik. Pedagang kakilima dengan usia yang sudah tua
disarankan untuk dapat mempekerjakan pegawai baru yang tingkat usianya lebih
muda untuk meningkatkan produktifitas serta daya saing. Peningkatkan jam kerja
pun disarankan dengan buka lebih pagi dan tutup lebih lama. Penataan barang
dagangan yang menarik dengan tempat yang terbatas sangat direkomendasikan
serta peningkatan pelayanan kepada pengunjung dengan bersikap lebih ramah
serta menetapkan harga yang relatif murah. Pedagang kakilima yang ingin
memperoleh peningkatan omset diusahakan tetap konsisten dalam berdagang.
Dengan lamanya pengalaman yang diperoleh sebagai pedagang kakilima, maka
strategi yang diperoleh dalam melakukan usaha dagang akan semakin baik.
Kata kunci: pedagang kakilima, penataan, omset

ANALISIS DAMPAK PENATAAN DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI OMSET PEDAGANG KAKILIMA
DI KOTA BOGOR
(PERIODE TAHUN 2012-2013)

KARLINA PRATIWI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 20122013)
Nama
: Karlina Pratiwi
NIM
: H14090048

Disetujui oleh


Dr. Muhammad Findi A, M.E.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala karunia dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 20122013).
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi atas
segala masukannya yang membangun serta kepercayaan dan kesabarannya
dalam membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.

2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. selaku dosen penguji utama yang telah
banyak memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Salahuddin El Ayyubi, Lc. M.A. selaku dosen penguji komisi
pendidikan yang memberikan banyak masukan mengenai penyusunan
penulisan yang baik.
4. Bapak Undang di BPS Kota Bogor dan Pedagang kakilima Stasiun Kereta Api
Bogor Jalan Nyi Raja Permas, khususnya anggota paguyuban awning selatan
dan paguyuban padasuka atas segala bantuannya dalam pengumpulan data.
5. Kedua orang tua yang luar biasa, Ibu Maemunah dan Bapak Kamsa atas segala
do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak terhinggga. Adik Yenni dan Siti
serta keluarga besar tercinta atas segala do’a dan dukungannya kepada penulis.
6. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat berharga dan
segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuannya selama ini.
7. Sahabat seperjuangan Tamiyah, Ovilla, Desy, Malla, Wida, Stannia, Assrianti,
Vita, Lira dan shin yuu Mutia Anggraeni atas kebersamaan, perhatian, motivasi
dan dukungannya kepada penulis.
8. Teman-teman satu bimbingan Meutia, Syafira, Ari, Ovilla, Tamiyah atas
bantuan, dukungan dan kerjasamanya.
9. Kepada Syifa, Mayda dan Alfi atas motivasi dan bantuannya. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas

kebersamaannya selama ini dan juga atas do’a serta dukungannya kepada
penulis. IE, uhuy!
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2013
Karlina Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Sektor Informal di Perkotaan
Pedagang Kakilima Sebagai Sektor Informal
Teori Eksternalitas
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Dampak Penataan Terhadap Perubahan Omset
Definisi Operasional Variabel
Pengujian Statistik Analisis Regresi
Pengujian Asumsi Klasik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kota Bogor
Gambaran Umum Stasiun Kereta Api Bogor
Kondisi Usaha Pedagang Kakilima di Stasiun Kereta Api Bogor
Karakteristik Responden Pedagang Kakilima Stasiun Kereta Api Bogor
Analisis Uji-t Berpasangan
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
5
7
7
7
8
8
10
12
14
15
16
16
16
16
17
18
19
20
22
22
23
23
24
29
30
33
33
34
35
37
44

DAFTAR TABEL
1 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut
lapangan usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2011
2 Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha
atas dasar harga konstan tahun 2007-2011
3 PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan
(juta rupiah) tahun 2007-2011
4 Hubungan antara usia dengan omset responden
5 Hubungan antara tingkat pendidikan dengan omset responden
6 Hubungan antara lama usaha dengan omset responden
7 Hubungan antara jam operasional dengan omset responden
8 Hubungan antara jumlah pembeli dan omset responden
9 Faktor-faktor yang memengaruhi omset setelah dilakukan penataan
pedagang kakilima

2
2
3
25
26
27
28
29
31

DAFTAR GAMBAR
1 Kontribusi Subsektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Terhadap PDRB
Kota Bogor Atas Dasar harga Konstan (Juta Rupiah) Tahun 2007-2011
2 Presentase kelompok usia responden
3 Presentase tingkat pendidikan responden
4 Presentase lama usaha responden bekerja sebagai pedagang kakilima
5 Presentase jam operasional responden
6 Presentase jumlah pembeli setelah dilakukan penataan

3
25
26
27
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Hasil output uji-t berpasangan
Hasil output analisis regresi linear berganda
Hasil output uji normalitas
Hasil output uji heteroskedastisitas
Hasil output uji autokolerasi
Data primer responden pedagang kakilima
Kuisioner penelitian

38
38
39
40
40
40
42

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa titik berat
pembangunan jangka panjang adalah pembangunan bidang ekonomi. Sedangkan
pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi
bidang ekonomi tersebut. Pembangunan di luar bidang ekonomi dilaksanakan
seirama dan serasi dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang
ekonomi. Dengan peningkatan hasil-hasil yang diperoleh dari sumber ekonomi itu,
maka tersedialah sumber-sumber pembangunan yang lebih luas lagi bagi
kepentingan pembangunan di bidang-bidang sosial-budaya, politik dan pertahanan
keamanan nasional (Kamaluddin, 1995).
Masalah yang dihadapi negara berkembang dalam usaha untuk
mewujudkan pembangunan yang lebih pesat dan terutama untuk meningkatkan
taraf kemakmuran masyarakat merupakan masalah yang kompleks. Di satu pihak
usaha seperti itu harus menghadapi kenyataan bahwa hambatan-hambatan yang
perlu dihadapi dalam usaha untuk mempercepat lajunya tingkat pembangunan
cukup pelik. Dilain pihak, sumber daya yang tersedia untuk menghadapi masalah
tersebut relatif terbatas (Sukirno, 2006)
Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi
nasional, maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin
penting pula. Peranan sektor perdagangan antara lain telah berhasil memperlancar
arus barang dan jasa, mengusahakan dan menjaga tingkat harga menjadi relatif
lebih stabil, dan peningkatan nilai tambah yang dihasilkan serta kemampuannya
menyerap tenagakerja yang cukup besar. Perkembangan kegiatan di sektor
perdagangan juga telah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha
bagi seluruh anggota masyarakat dengan imbalan penghasilan yang cukup
memadai serta memberikan nilai tambah (LEMHANNAS, 1995).
Pertumbuhan penduduk mengalami laju yang sangat pesat. Setiap
tahunnya terjadi peningkatan jumah penduduk baik dikawasan pedesaan maupun
di kawasan perkotaan. Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan
permintaan akan barang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagimana caranya masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sementara jumlah penawaran tenagakerja sedikit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor tahun 2012,
jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2011 adalah 967.398 orang dengan rincian
493.761 laki-laki dan 473.637 perempuan. Pada tahun tersebut di Kota Bogor
terdapat 463.206 orang angkatan kerja dengan 89,69 persen sudah bekerja.
Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) tahun 2011 adalah 61,92 persen dan
tingkat pengangguran 10,31 persen. Berdasarkan Tabel 1.1 proporsi tertinggi
kedua penduduk bekerja di Kota Bogor adalah dibidang perdagangan, rumah
makan dan hotel dengan jumlah total tenagakerja yang dapat diserap oleh sektor
ini sekitar 112.774 orang.

2
Tabel 1.1 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan
usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2011
Lapangan Usaha

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan
Perikanan

4. 703

-

4. 703

Industri Pengolahan
38. 706
Perdagangan, Rumah Makan, Hotel
62. 729
Jasa Kemasyarakatan
67. 117
Lainnya
(Pertambangan
dan
penggalian, Listrik, Gas dan Air,
86. 491
Keuangan,
Asuransi,
Usaha
Persewaan Bangunan/Tanah dan Jasa
Perusahaan)
Jumlah
259. 746
a
Sumber : BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).

22. 151
50. 045
46.580

60.857
112. 774
113.697

12. 669

99.190

131. 473

391. 221

Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha
atas dasar harga konstan. Laju pertumbuhan ekonomi 2011 Kota Bogor mencapai
6,19 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor pada tahun 2011 tetap didominasi
oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 36,65
persen dari total PDRB Kota Bogor dengan laju pertumbuhan sebesar 5,28 persen.

Tabel 1.2 Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar
harga konstan tahun 2011 (persen)
No.
1.

Lapangan Usaha
Pertanian

2007
3,19

2008
3,18

2009
3,19

2010*
3,22

2011**
2,84

1,78

1,88

1,20

1,54

-9,47

6,34

6,32

6,34

6,38

6,20

3.

Pertambangan dan
Penggalian
Industri Pengolahan

4.

Listrik, Gas dan Air Bersih

6,77

6,82

6,87

6,95

6,99

5.

Bangunan

4,08

4,09

4,10

4,12

4,15

6.

Perdagangan, Hotel dan
Restoran

5,70

5,18

5,08

4,98

5,28

7,07

7,17

7,29

7,44

7,21

7,23

7,44

7,65

8,36

8,47

5,20

5,22

5,28

5,36

5,42

2.

8.

Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan

9.

Jasa-jasa

7.

a

Sumber : BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).
Keterangan: * Angka sementara.
** Angka sangat sementara

b

3
Tabel 1.3 PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan
(juta rupiah) tahun 2007-2011
No.

Lapangan Usaha

1.

Pertanian
Pertambangan dan
Penggalian
Industri
Pengolahan
Listrik, Gas dan
Air Bersih

2.
3.
4.
5.

Bangunan
Perdagangan,
Hotel dan
Restoran
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan,
Persewaan dan
Jasa Perusahaan

6.
7.
8.
9.

Jas-jasa
a

2007

2008

2009

2010*

2011**

12.717,26

13.121,58

13.539,61

13.975,80

14.372,40

118,31

120,53

121,98

123,85

112,12

1.126.541,95

1.197.768,02

1.273.762,00

1.35.090,75

1.439.103,05

128.090,57

136.829,56

146.236,51

156.395,94

167.329.85

288.023,99

299.804,17

312.096,14

324.954,50

338.436,87

1.205.111,94

1.267.518,19

1.331.874,52

1.398.254,93

1.472.079,83

394.451,07

422.723,25

453.533,15

487.253,72

522.364,70

560.780,48

602.517,87

648.625,82

699.701,41

762.347,03

296.970,60

312.418,61

328.811,32

346.556,29

365.336,85

Sumber: BPS Kota Bogor, 2012 (diolah).
Keterangan: * Angka sementara.
** Angka sangat sementara.

b

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran
cenderung memiliki kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bogor bila
dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya pada periode 2007-2011.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran itu sendiri dibagi menjadi tiga subsektor
yaitu subsektor pedagang besar dan eceran, subsektor hotel dan subsektor restoran.
Dari ketiga subsektor tersebut yang memberikan kontribusi terbesar adalah
pedagang besar dan eceran seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.2.

Gambar 1.1

Kontribusi subsektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap
PDRB Kota Bogor atas dasar harga konstan (juta rupiah) tahun
2007-2011

1.500.000,00
2007

1.000.000,00

2008

500.000,00

2009

0,00

2010*

Perdagangan
besar dan eceran
a

Hotel

Sumber: BPS Kota Bogor, 2013 (diolah).
Keterangan: * Angka sementara.
** Angka sangat sementara.

b

Restoran

2011**

4
Sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 banyak sekali
kegiatan ekonomi yang cenderung beralih pada sektor informal. Kegiatan
ekonomi sektor informal salah satunya adalah pedagang kakilima. Dapat dilihat
hampir semua kota-kota besar di Indonesia berkembang sangat pesat. Terlebih
selama krisis moneter menyebabkan industri gulung tikar, sehingga banyak terjadi
pemutusan hubungan kerja. Hal ini pada gilirannya menambah pengangguran baru,
yang nantinya muncul fenomena-fenomena baru pedagang kakilima sebagai jalan
keluarnya dari pengangguran (Yunus, 2011). Menurut Chandrakirana dan Sadoko
(1995), syarat-syarat untuk memasuki kegiatan-kegiatan sektor informal relatif
minimal dintaranya:
1) Beberapa kegiatan informal tidak membutuhkan modal apapun karena
pemilik usaha menyediakan alat-alat usaha, makanan dan tempat tinggal
(seperti taoke dan lapak).
2) Dalam kegiatan-kegiatan informal yang sifatnya adalah wirausaha mandiri,
dibutuhkan sejumlah modal, walaupun tidak terlalu besar.
3) Tidak adanya keharusan untuk mendapatkan izin resmi bagi pendirian
suatu unit usaha.
4) Kelancaran mobilitas antar pekerjaan dimana dalam pergantian dari satu
pekerjaan ke yang lain sehingga masa pengangguran yang harus dilalui
relatif singkat.
5) Kemudahan untuk memasuki pekerjaan baru dalam sektor informal,
termasuk dalam proses perolehan akses ke pekerjaan informal tertentu
adalah masa pelatihan dan magang.
Sektor informal telah membuktikan kemampuannya dalam menciptakan
lapangan kerja dan pendapatan bagi angkatan kerja di daerah-daerah perkotaan.
Paling tidak sektor informal telah menyerap sekitar 50 persen angkatan kerja di
daerah-daerah perkotaan. Beberapa studi mengungkapkan bahwa sesungguhnya
sektor informal selama ini telah berjasa membuahkan hampir sepertiga dari total
nilai pendapatan daerah perkotaan secara keseluruhan. Akan tetapi, sektor ini pun
mengandung beberapa macam masalah atau kelemahan. Pertama, berkaitan
dengan hubungan yang begitu erat antara migrasi desa-kota dan penyerapan
tenagakerja oleh sektor tersebut. Para pendatang dari pedesaan akan lebih mudah
dan lebih cepat memperoleh pekerjaan, oleh karena itu dorongan bagi tenagakerja
yang masih berada di pedesaan untuk berurbanisasi semakin besar. Hal ini bisa
mengakibatkan masalah ketenagakerjaan yang lebih pelik diperkotaan dengan
menarik tenagakerja yang lebih banyak daripada yang dapat diserap oleh sektor
formal maupun sektor informal. Kedua, bila sektor informal berkembang
terlampau besar, maka kondisi lingkungan di perkotaan semakin buruk, seperti
polusi dan kemacetan lalu lintas yang akan menggangu kenyamanan warga kota
lain. Ketiga, mendorong semakin menjamurnya pemukiman kumuh dan
lingkungan berpendapatan rendah, yang jika dipadukan dengan kualitas pelayanan
umum yang buruk akan dapat mengakibatkan berbagai permasalahan baru di
perkotaan (Todaro dan Smith, 2006).
Gerak maju dalam penanganan sektor ekonomi informal salah satunya
adalah pertimbangan tempat dalam perencanaan kota. Ekonomi informal akan
terus menjadi momok bagi pemerintah kota selama usaha-usaha informal yang
telah diakui manfaatnya bagi ekonomi kota tidak diintegrasikan ke dalam

5
perencanaan dan tata kota. Penanganan kegiatan-kegiatan informal, seperti
kegiatan pemulung dan lapak, jasa angkutan becak, dan usaha kakilima, akan
berjalan optimal bila pemerintahan kota secara seksama mengalokasikan tempat
yang layak dan rasional baginya dalam penataan kota. Hal ini bisa dilakukan,
misalnya, dengan mengadakan peruntukkan bagi usaha-usaha kakilima pada
gedung-gedung perkantoran, pemberian izin bagi usaha-usaha kecil di daerah
pemukiman, atau pengukuhan daerah opsi becak. Keprihatinan pemerintah kota
tentang kepatuhan usaha informal pada aturan-aturan kota tentang kebersihan
lokasi, kelancaran lalu lintas dan higiene makan yang dijual, misalnya, dapat
diperpanjang jika syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi dengan baik
(Chandrakirana dan Sadoko, 1995).

Perumusan Masalah

Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional,
maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting. Dari
sembilan sektor perekonomian, sektor perdagangan di Kota Bogor tetap
memberikan kontribusi yang paling besar meskipun laju pertumbuhannya
menempati urutan keenam. Subsektor yang menjadi penyumbang terbesar sektor
ini adalah perdagangan besar dan eceran yang termasuk di dalamnya sektor formal
dan informal. Pedagang kakilima merupakan salah satu jenis perdagangan sektor
informal yang memiliki peran penting bagi kehidupan ekonomi rakyat dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
Dalam kegiatan ekonomi sering kali timbul akibat-akibat sampingan yang
dirasakan oleh masyarakat. Akibat sampingan (side effects) yang dimaksud bisa
bersifat positif, sehingga turut dinikmati oleh masyarakat yang tidak terlibat dalam
pengadaannya atau bersifat negatif, sehingga secara tak sengaja terpaksa harus
ditanggung oleh masyarakat. Akibat-akibat sampingan atau dampak positif dan
dampak negatif dikenal sebagai dampak eksternalitas. Untuk dampak yang positif,
biasanya tidak masalah. Akan tetapi tidak begitu halnya dengan dampak negatif.
Masyarakat, walaupun tidak mau berkorban secara pribadi untuk menanggulangi,
cenderung akan mengeluhkannya. Dalam kasus seperti itu, kembali pemerintah
harus turun tangan mengatasi (Dumairy, 1996). Ada dua syarat terjadinya
eksternalitas, yaitu adanya pengaruh dari suatu tindakan dan tidak adanya
kompensasi yang dibayarkan atau diterima (Mangkoesubroto, 1991).
Pedagang kakilima di sejumlah daerah di Indonesia sampai saat ini masih
menjadi permasalahan yang banyak menimbulkan pro dan kontra khususnya di
daerah perkotaan. Mereka seringkali dianggap melanggar aturan yang berakibat
terhadap kekumuhan, kebersihan, ketertiban, kesehatan, keindahan dan yang
lainnya yang tentunya berpengaruh terhadap wajah kota sehingga keberadaan
pedagang kakilima dianggap memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat.
Disamping sebagai pembawa masalah, sebenarnya terdapat sisi positif dari
adanya pedagang kakilima yaitu sebagai penyelamat ekonomi rakyat, pangsa
pasar home industry dan pertanian, alternatif pekerjaan, benteng krisis moneter,
penyerapan tenagakerja dan sumber retribusi yang signifikan.

6
Berdasarkan pertimbangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia nomor 14 tahun 2012, peningkatan jumlah pedagang kakilima
berdampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan serta
fungsi prasarana kawasan perkotaan maka diperlukan penataan pedagang kakilima.
Banyaknya pedagang kakilima ditempat-tempat yang bukan peruntukkannya
membuktikan bahwa penataan kakilima masih belum berjalan efektif.
Pedagang kakilima merupakan salah satu bentuk sektor ekonomi informal
yang aktifitasnya banyak dijumpai di pusat-pusat perkotaan. Salah satu lokasi
yang banyak dipilih oleh pedagang kakilima di Kota Bogor adalah di Jalan Nyi
Raja Permas karena letaknya yang berada di kawasan Stasiun Kereta Api Bogor.
Adanya pedagang kakilima mengganggu arus transportasi sehingga sering terjadi
kemacetan dan juga mengganggu arus pejalan kaki disamping lokasi tersebut
menjadi terlihat kumuh dan kotor. Penertiban pedagang kakilima di lokasi ini
mengacu pada Peraturan Daerah Pemerintah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005
tentang Penataan Pedagang Kakilima. Setelah dilakukannya penataan oleh
Pemerintah Kota Bogor, kini di kawasan Jalan Nyi Raja Permas berubah menjadi
ruang terbuka hijau yang bebas dari aktifitas kendaraan maupun pedagang
kakilima. Ruang terbuka hijau adalah areal memanjang atau jalur yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Program pembenahan pedagang kakilima tidak hanya dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bogor, namun juga dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (PT.
KAI) yang berlokasi di Jalan Nyi Raja Permas yang lokasinya terdapat di lahan
milik Stasiun Kereta Api Bogor. Banyaknya pedagang kakilima yang berjualan di
lokasi ini disebabkan karena letaknya yang strategis terutama karena banyaknya
penumpang kereta api yang berjalan kaki melewati areal ini. Dampak dari
menjamurnya pedagang kakilima di areal ini yaitu selasar stasiun kereta api
menjadi terlihat kumuh dan kotor disamping itu juga mengganggu aktifitas
pejalan kaki khususnya penumpang pengguna kereta api karena luasnya menjadi
semakin sempit. Berbeda halnya setelah dilakukan penataan pedagang kakilima,
lokasi ini terlihat lebih bersih, lebih rapih dan lebih nyaman.
Berdasarkan pembahasan diatas, seharusnya penataan pedagang kakilima
dapat menekan dampak negatif yang ditibulkan dan mendorong perubahan tingkat
ekonomi pedagang kakilima yang salah satunya dapat dilihat dari omset yang
diterima pedagang.
Permasalahan yang akan dibahas dalan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana dampak penataan pedagang kakilima Stasiun Kereta Api
Bogor terhadap omset pedagang?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi omset pedagang Stasiun Kereta
Api Bogor setelah dilakukan penataan pedagang kakilima?

7
Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dampak penataan pedagang kakilima Stasiun Kereta Api
Bogor terhadap omset pedagang.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang Stasiun
Kereta Api Bogor setelah dilakukan penataan pedagang kakilima.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada mahasiswa peneliti
atau penulis dan semua kalangan akademisi di lingkungan kampus Institut
Pertanian Bogor khususnya, Pemerintah Kota Bogor, P.T. Kerata Api, pedagang
kakilima, serta di lingkungan masyarakat luas pada umumnya. Manfaat yang
diperoleh diantaranya adalah:
1. Menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi penelitian lebih
lanjut.
3. Bagi pemerintah maupun P.T. Kereta Api diharapkan penelitian ini dapat
berguna sebagai referensi dalam membuat kebijakan mengenai penataan
pedagang kakilima yang lebih baik lagi.
4. Bagi pedagang kakilima diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai
referensi dalam rangka meningkatkan omset dan meningkatkan
kemandirian menjadi seorang pedagang kakilima.
5. Bagi penulis sendiri, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk
menerapkan ilmu ekonomi yang dimiliki.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada analisis mengenai
dampak dari adanya penataan dan faktor-faktor yang memengaruhi omset
pedagang kakilima di Kota Bogor, tepatnya yang berada di Stasiun Kereta Api
Bogor Jalan Nyi Raja Permas. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber secara
mendalam yaitu bersama para pedagang. Data sekunder diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor.

8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Sektor Informal di Perkotaan

Menurut Todaro dan Smith (2006), keberadaan sektor informal (informal
sector) yang umumnya tidak terorganisir dan tertata secara khusus melalui
peraturan, resminya baru dikenal pada tahun 1970-an sesudah diadakannya
serangkaian observasi di beberapa negara-negara berkembang yang sejumlah
besar tenagakerja perkotaannya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor
modern yang formal. Di kota-kota besar tersebut, para tenagakerja pendatang baru
yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau
bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga. Bidang-bidang kerja
kecil-kecilan seperti itu sangat banyak jenisnya, mulai dari pedagang keliling,
pedagang asongan di jalan dan trotoar, penulis papan nama, pemulung, dan
sebagainya.
Tenagakerja yang memiliki keterampilan khusus akan mencari nafkah
sebagai mekanik, tukang kayu, seniman kecil-kecilan, tukang cukur dan pembantu
pribadi keluarga kaya. Beberapa penduduk perkotaan lainnya berhasil menjadi
pengusaha kecil yang memiliki beberapa pegawai (sebagian besar masih
berhubungan keluarga) dan memperoleh penghasilan cukup tinggi. Beberapa dari
mereka bahkan dapat beralih menjadi sektor formal yang terdaftar secara hukum
serta diikat oleh peraturan tenagakerja dari pemerintah.
Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan di negaranegara berkembang dan sehubungan dengan semakin terbatasnya daya serap
sektor formal terhadap total angkatan kerja yang ada, maka diperlukan langkahlangkah yang lebih serius dalam menangani peran sektor informal dan
meningkatkan fungsinya sebagai suatu katup darurat terhadap masalah ledakan
angkatan kerja.
Dalam mendefinisikan sektor informal itu sendiri, berdasarkan Laporan
Ketenagakerjaan di Indonesia tahun 2010 dituliskan bahwa tidak ada definisi baku
untuk sektor informal. Definisi yang umum merujuk pada kegiatan ekonomi yang
berada di luar aturan dan lembaga legal sebuah negara. Di negara maju hal ini
sering kali merujuk pada bisnis tak terdaftar yang tidak membayar pajak atau
memberikan tunjangan bagi pekerjanya.
Masih menurut Todaro dan Smith, sektor informal ditandai oleh beberapa
karakteristik seperti berikut:
1) Sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa.
2) Kegiatannya berskala kecil.
3) Unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga.
4) Banyak menggunakan tenagakerja (padat karya).
5) Teknologi yang dipakai relatif sederhana.
6) Para pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor
informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal.
7) Pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus dan sangat
kekurangan modal kerja.

9
8) Produktifitas dan pendapatannya cenderung lebih rendah daripada
kegiatan-kegiatan bisnis yang ada disektor formal.
9) Tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitas kesejahteraan
seperti yang dinikmati rekan-rekan mereka disektor formal misalnya
tunjangan keselamatan kerja dan pensiun.
10) Umumnya yang berada disektor informal adalah pendatang baru dari
daerah pedesaan atau kota kecil yang gagal memperoleh tempat disektor
informal.
11) Motivasi kerja terbatas pada upaya untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, agar bisa makan pada hari ini atau esok, dan bukan untuk
menumpuk keuntungan apalagi kekayaan.
12) Satu-satunya yang dapat dan bisa diandalkan adalah diri sendiri.
13) Bila pendatang terdiri dari sebuah keluarga, maka hampir semua
anggotanya termasuk wanita dan anak-anak harus turut mencari nafkah.
14) Sebagian tinggal di pusat pemukiman sangat sederhana dan kumuh yang
fasilitas kesejahteraannya sangat minim seperti listrik, air bersih, fasilitas
pembuangan limbah, transportasi, fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan untuk sektor informal perkotaan dijelaskan oleh Todaro dan
Smith (2006) sebagai berikut. Sektor informal terkait dengan sektor pedesaan
dalam pengertian kawasan atau sektor pedesaan merupakan sumber tenagakerja
miskin yang berlebih, yang kemudian mengisi sektor informal di daerah perkotaan
guna menghindari kemiskinan dan pengangguran di desa, walaupun sebenarnya
kondisi kerja dan kualitas hidup di kota belum tentu lebih baik. Selain itu, sektor
informal juga terikat erat dengan sektor formal perkotaan; yaitu sektor formal
bergantung pada sektor informal dalam penyediaan input-input produksi dan
tenagakerja murah, sedangkan sektor informal sangat bergantung pada sektor
formal dalam kedudukannya sebagai pasar utama dari sebagian besar pendapatan
yang mereka terima.
Secara presisten, pendapatan sektor informal selalu melampaui pendapatan
di kawasan pedesaan yang paling miskin walaupun migrasi dari desa ke kota terus
mengalir. Keprihatinan mengenai bias perkotaan berawal dari tulisan yang cukup
berpengaruh dari seorang pemenang Nobel, Sir Arthur Lewis pada tahun 1950-an.
Lewis memandang bahwa para pekerja sektor tradisional, pedagang kakilima
seperti para penjual koran, adalah orang-orang yang tidak produktif dan
mengalihkan perhatian dari pekerjaan kota yang utama, yaitu industrilisasi.
Namun jika upahnya ternyata selalu lebih tinggi dalam berbagai aktifitas yang
sangat kompetitif seperti pekerjaan sektor informal, tentunya pekerjaan di sektor
ini mencerminkan produktifitas yang tinggi juga.
Sektor informal memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan
sumber pendapatan bagi penduduk miskin. Sektor informal sendiri telah
membuktikan kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan pendapatan
bagi angkatan kerja di daerah-daerah perkotaan. Beberapa studi mengungkapkan
bahwa sesungguhnya sektor informal selama ini telah berjasa membuahkan
hampir sepertiga dari total nilai pendapatan daerah perkotaan secara keseluruhan.
Ada argumen lain yang turut menggaris bawahi pentingnya promosi sektor
informal:

10
1) Sektor informal mampu menciptakan surplus ditengah-tengah lingkungan
yang kurang bersahabat sekalipun, yang menghalangi akses untuk
mendapatkan berbagai fasilitas yang biasa ditawarkan kepada sektor
formal seperti tersedianya fasilitas keredit, valuta asing dan konsesi pajak.
Jadi, surplus yang dihasilkannya terbukti menjadi pendorong yang amat
positif bagi pertumbuhan ekonomi perkotaan.
2) Sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal
hanya memerlukan atau menyerap sebagian kecil modal dari jumlah modal
yang diperlukan oleh sektor formal untuk mempekerjakan sejumlah
tenagakerja yang sama. Ini merupakan suatu cara penghematan yang
cukup besar bagi negara-negara berkembang yang sering menghadapi
kesulitan atau kekurangan modal.
3) Sektor informal mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan
biaya yang sangat murah apabila dibandingkan dengan biaya yang dituntut
oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor formal dapat
memainkan peranan yang penting dalam rangka formasi atau pembentukan
dan pembinaan sumberdaya manusia.
4) Sektor informal menciptakan tenagakerja semi terlatih dan kurang ahli
yang jumlahnya secara absolut maupun relatif (presentase terhadap total
angkatan kerja) terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh
sektor formal yang hanya mampu menerima tenagakerja terampil.
5) Sektor informal lebih banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat
guna serta memanfaatkan segenap sumberdaya lokal, sehingga
memungkinkan alokasi sumberdya yang lebih afisien.
6) Sektor informal memainkan peranan yang sangat penting dalam proses
daur ulang limbah atau sampah. Disektor ini segala macam barang yang
sudah dibuang dapat dimanfaatkan kembali, mulai dari kaleng-kaleng
bekas, kertas sisa, plastik gelas atau botol minum dan sebagainya. Barangbarang yang sudah masuk kedalam tempat sampah tersebut kemudian
terbukti masih bisa masuk ke sektor industri dan dijadikan komoditi pokok
bagi kalangan berpenghasilan rendah.
7) Promosi sektor informal akan memeratakan distribusi hasil-hasil
pembangunan kepada penduduk miskin, yang kebanyakan terpusat di
sektor informal.

Pedagang Kakilima Sebagai Sektor Informal

Istilah pedagang kakilima merupakan peninggalan zaman penjajahan Inggris.
Saat itu Gubernur Jendral Raffles mengeluarkan peraturan lalu lintas yang
menyatakan bahwa jalur jalan yang berukuran 5 (lima) feet (1 feet kira-kira 31 cm
lebih sedikit) disepanjang kiri kanan jalan ditetapkan sebagi jalur bagi pejalan
kaki. Kemudian tumbuh pedagang yang menjajakan barang dagangannya dengan
gerobak dorong, gelaran dan lainnya. Pedagang yang berjualan di sepanjang
trotoar tersebut kemudian disebut pedagang kakilima (An Nal dalam Zakik, 2006).

11
Berdasarkan ketentuan umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia nomor 14 tahun 2012, yang dimaksud dengan pedagang kakilima yang
selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan bangunan
milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara. Sedangkan penataan
pedagang kakilima adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui
penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan
penghapusan lokasi pedagang kakilima dengan memperhatikan kepentingan
umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan
lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Chandrakirana dan sadoko (1995), menjelaskan bahwa
pedagang kakilima berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan gelar.
1) Pedagang gelar menghamparkan barang-barangnya di atas trotoar atau
lantai dengan satu alas, atau menjajakannya diatas peti-peti yang ditumpuk
sehingga berfungsi sebagai meja. Pedagang gelar mudah memindahkan
barang dagangannya ke lokasi lain meskipun terkadang sering menetap
pada suatu lokasi. Pedagang gelar dapat menyesuaikan lokasi dan waktu
berjualannya dengan kondisi keramaian suatu tempat, tetapi sering pula
harus menghadapi penggusuran oleh aparat ketertiban atau petugas pasar
karena menempati lokasi yang tidak semestinya (misalnya trotoar).
2) Pedagang yang berjualan dengan tenda, menggunakan meja ataupun rak
dengan waktu berjualan yang dibatasi oleh petugas lokal, seperti aparat
pemerintah kota, pengelola pasar, pengelola terminal bis, dan sebagainya.
Diluar waktu berjualan yang dijanjikan, tenda digulung dan lokasi mereka
dipakai untuk kegiatan lain (seperti parkir mobil) ataupun dibebaskan
untuk lalu-lintas pejalan kaki.
3) Pedagang kios menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding
semi permanen. Dinding kios umumnya terbuat dari papan kayu, tripleks,
atau setengah tembok. Pedagang-pedagang ini relatif lebih bebas
menentukan waktu berjualannya karena tidak menduduki tempat-tempat
dengan peruntukkan lain, sehingga tidak mengenal pembatasan waktu
usaha.
Para pedagang kakilima tersebut dapat ditemukan beroperasi di berbagai
jenis lokasi, termasuk di halaman (tetap diluar gedung) pasar, disepanjang sisi luar
pagar pasar; di lokasi-lokasi resmi kakilima, dan di tempat-tempat non-pasar
seperti terminal bis, pemukiman ataupun perkantoran. Pedagang yang memakai
sarana kios kebanyakan ditemukan dilokasi-lokasi yang telah diizinkan
pemerintah kota (disebut lokasi resmi) dan dilokasi non-pasar. Pedagang tenda
umumnya berada disekitar pasar, lokasi resmi dan non-pasar. Sedangkan
pedagang gelaran kebanyakan ditemukan di lokasi pasar, baik di halaman maupun
disekitarnya. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh
terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya, makin jauh dari tempat penjual,
konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi
tempat penjual semakin mahal (Priyarsono, 2007).

12
Teori Eksternalitas

Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan apa yang disebut
sebagai eksternalitas atau dampak eksternal. Secara umum eksternalitas
didefinisikan sebagai dampak (posiitif atau negatif), atau dalam bahasa formal
ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari tindakan suatu pihak terhadap pihak
lain. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi
dari satu pihak memengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak
diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan konpensasi
terhadap pihak yang terkena dampak. Eksternalitas merupakan fenomena yang
hadapi sehari-hari, yang tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya alam.
Pidato yang terlalu lama, jalan yang macet, musik yang terlalu keras, asap rokok
yang kita hirup dari orang lain yang merokok, adalah beberapa contoh dari
eksternalitas yang kita alami sehari-hari. Dalam kaitannya dengan sumber daya
alam, eksternalitas sangat penting untuk diketahui karena eksternalitas akan
menyebabkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien (Fauzi, 2004).
Suparmoko et al. (2000) mengemukakan bahwa ksternalitas muncul
apabila seseorag melakukan suatu kegiatan dan menimbulkan dampak pada orang
lain. Dapat dalam bentuk manfaat eksternal atau biaya eksternal yang semuanya
tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayaran.
Sedangkan menurut Coparaso dan Levine (2008) istilah eksternalitas merujuk
pada beberapa dampak dari transaksi yang menimpa orang-orang yang bukan dari
bagian transaksi tersebut.
Selanjutnya menurut Yakin (1997), secara umum dapat dikatakan bahwa
eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan ekonomi (pihak
tertentu) terhadap agen ekonomi lain baik dampak yang menguntungkan maupun
dampak yang merugikan. Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi
ekonomi bisa positif (positive external effects, external economies) maupun
negatif (negative external effects, external diseconomies). Secara praktis, dampak
lingkungan atau eksternalitas terjadi ketika suatu variabel yang dikontrol oleh
suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas (fungsi kegunaan) agen
ekonomi lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi
ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau perusahaan
mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi
individu atau perusahaan lain. Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi
konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa
terganggu, jika aktifitas dan tindakan pelaku ekonomi baik produsen maupun
konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun
terhadap pihak lain.
Bahasan mengenai eksternalitas selanjutnya berdasarkan pada tulisan tim
pengajar ekonomi lingkungan (2010). Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak
atau efek samping yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan
ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan oleh pihak lain.
Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau
merugikan (negative externalities). Dengan adanya eksternalitas maka kondisikondisi pareto optimal tidak akan tercapai.

13
Marginal Social Cost
Marginal Private Cost

Ps
Pp

qs

qp

Jumlah output

Gambar 2.1 Tingkat output yang efisien secara sosial

Sebagai gambaran, tingkat output yang optimal yang dapat dicapai oleh
perusahaan dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC.
Namun jika perusahaan itu, misalnya mancemarkan air sungai, maka biaya
marginal perorangan (marginal private cost) bagi perusahaan adalah lebih kecil
daripada biaya marginal masyarakat (marginal social cost) karena perusahaan
tidak mengeluarkan biaya untuk memurnikan air sungai tersebut. Dari sudut
pandang masyarakat, eksternalitas mengakibatkan terlalu banyak barang yang
diproduksi dengan harga lebih rendah. Dengan contoh ini, dapat disimpulkan
bahwa terdapat ketidakefisienan dalam produksi. Jenis-jenis eksternalitas
berdasarkan sebab dan dampak yang dimunculkannya:
1. Pecuniary externality (eksternalitas yang berkaitan dengan uang):
disebabkan oleh naiknya harga. Contoh: di lokasi kompleks perumahan
yang baru dibangun maka harga tanah di sekitarnya akan melonjak tinggi.
2. Multidirectional externality (eksternalitas banyak arah): dampak yang
disebabkan oleh suatu atau sejumlah pihak terhadap pihak lain.
3. Reciprocal externality (eksternalitas reproksikal): terjadi pada situasi
penggunaan common property resources dimana setiap agen memberikan
dampak terhadap semua lainnya yang terlibat dalam penggunaan sumber
daya alam tersebut.
Eksternalitas berdasarkan interaksi agen ekonomi:
1. Producer to producer externality: terjadi jika suatu kegiatan produksi
mengakibatkan perubahan atau pergeseran fungsi produksi dan produsen
lain.
2. Producer to consumer externality: terjadi jika aktifitas suatu produsen
mengakibatkan perubahan atau pergeseran fungsi utilitas rumah tangga
(konsumen).
3. Consumer to consumer externality: terjadi jika aktifitas seseorang atau
sekelompok konsumen memengaruhi fungsi utilitas konsumen lain.
4. Consumer to producer externality: terjadi jika aktifitas konsumen
mengganggu fungsi produksi suatu atau sekelompok produsen.
Masalah eksternalitas pada umumnya disebabkan oleh masalah hak
kepemilikan, keberadaan barang publik, keberadaan sumberdaya bersama, ketidak
sempurnaan pasar atau kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah.

14
Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini tidak merujuk spesifik pada
penelitian terdahulu yang membahas mengenai analisis pedagang kakilima.
Penelitian mengenai pedagang kakilima di Kota Bogor itu sendiri masih terbatas.
Dalam jurnal penyuluhan oleh Sapar, Lumintang RW dan Susanto D yang
berjudul “Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang
Kakilima (Kasus pedagang Kakilima Pemakai Gerobak Usaha Makanan Di Kota
Bogor)” dengan me