Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan Luka pada Tikus

ABSTRAK
TIZANI QISTHINA. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle
Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan pada Tikus. Dibawah bimbingan
BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas ekstrak daun sirih
hijau untuk proses persembuhan luka eksisional kulit pada tikus Sprague-Dawley
berdasarkan pengamatan makroskopis dan mikroskopis (termasuk histopatologi
dan preparat sentuh). Dalam keadaan aseptis,empat buah luka paravertebral
dengan luas 1cm2 dilakukan pada punggung 9 ekor tikus jantan. Setiap luka
diobati dengan perlakuan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah kontrol,
plasebo, salep komersial, dan ekstrak etanol daun sirih hijau. Potongan
histopatologi dari spesimen jaringan diwarnai oleh hematoxylindan eosin dan
dievaluasi pada hari ketujuh minggu pertama dan hari ketujuh minggu kedua
setelah operasi. Preparat sentuh diwarnai oleh Giemsa dan dievaluasi pada hari
ketiga dan kesepuluh setelah operasi. Parameter dari histopatologi adalah
reepitelisation, fibroblas, kongesti, perdarahan, pembentukan keropeng, infiltrasi
sel radang, pembentukan folikel rambut, dan edema. Setelah itu, specimen
dikelompokkan dalam fase persembuhan luka. Parameter dari preparat sentuh
adalah kehadiran sel-sel radang. Data disajikan secara deskriptif sebagai data
kuantitatif. Pengamatan makroskopis menunjukan bahwa diameter luas luka
ekstrak etanol daun sirin hijau mengecil lebih cepat dibandingkan perlakuan

lainnya. Hasil skoring pada luka ekstrak etanol daun sirih hijau pada hari ketujuh
minggu pertama dan hari ketujuh minggu ke dua menunjukan luka telah
memasuki fase maturasi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Preparat sentuh
menunjukan bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau
menghadirkan sel radang pada hari pertama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau sembuh lebih
cepat dari pada pengobatan lainnya.
Kata kunci: ekstrak etanol daun sirih hijau, tikus, persembuhan luka.

ABSTRACT
TIZANI QISTHINA. Activity of Betel Leaf Extract (Piper betle Linn.) in
Accelerating Wound Healing Process of Rats. Under the direction of BAYU
FEBRAM PRASETYO and MAWAR SUBANGKIT.
The aim of this study was to examine the activity of betel ethanol extract for
abration skin wound healing process in Sparague-Dawley rats based on gross and
microscopic observation (including histopatological and touch specimen). Under
aseptic conditions four paravertebral full thickness skin incision performed on the
back of 9 male rats. Every wounds were treated with different treatments. The
treatments were control, placebo, commercial ointment, and extract betel.
Histopatological section from tissue specimens were stained by hematoxylin and

eosin and evaluated on first seven days and second seven days after surgery.
Touch specimens were stained by Giemsa and evaluated on fourth and tenth day
after surgery. The parameters of histopatological are reepitelization, fibroblas,
congestion, bleeding, scrab formation, infiltration of inflammatory cell, hair
follicle formation, and edema. Afterward, the specimens were grouped in phase of
wound healing. Specimens touch parameter was the presence of inflammatory
cells. The data were presented descriptively as quantitative data. Macroscopic
appearances show that diameter extensive of betel ethanol extract wounds were
decrease faster than other treatments. Scoring results of wounds who treated with
betel ethanol extract in first seven days and second seven days show that wounds
have entered maturation phase compared to other treatment. The specimens touch
show that wounds who treated with betel ethanol extract were presenting
inflammatory cells in first seven days. The results of this study show that wounds
who treated with betel ethanol extract were recover faster than other treatment.
Keywords: betel ethanol extract, rats, wound healing.

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU
(Piper betle Linn.)DALAM MEMPERCEPAT PROSES
PERSEMBUHAN LUKA PADA TIKUS


TIZANI QISTHINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Ekstrak
Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Proses
Persembuhan Luka pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Tizani Qisthina

NIM B04080087

ABSTRAK
TIZANI QISTHINA. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle
Linn.) dalam Mempercepat Proses Persembuhan pada Tikus. Dibawah bimbingan
BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR SUBANGKIT.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas ekstrak daun sirih
hijau untuk proses persembuhan luka eksisional kulit pada tikus Sprague-Dawley
berdasarkan pengamatan makroskopis dan mikroskopis (termasuk histopatologi
dan preparat sentuh). Dalam keadaan aseptis,empat buah luka paravertebral
dengan luas 1cm2 dilakukan pada punggung 9 ekor tikus jantan. Setiap luka
diobati dengan perlakuan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah kontrol,
plasebo, salep komersial, dan ekstrak etanol daun sirih hijau. Potongan
histopatologi dari spesimen jaringan diwarnai oleh hematoxylindan eosin dan
dievaluasi pada hari ketujuh minggu pertama dan hari ketujuh minggu kedua
setelah operasi. Preparat sentuh diwarnai oleh Giemsa dan dievaluasi pada hari
ketiga dan kesepuluh setelah operasi. Parameter dari histopatologi adalah
reepitelisation, fibroblas, kongesti, perdarahan, pembentukan keropeng, infiltrasi
sel radang, pembentukan folikel rambut, dan edema. Setelah itu, specimen
dikelompokkan dalam fase persembuhan luka. Parameter dari preparat sentuh

adalah kehadiran sel-sel radang. Data disajikan secara deskriptif sebagai data
kuantitatif. Pengamatan makroskopis menunjukan bahwa diameter luas luka
ekstrak etanol daun sirin hijau mengecil lebih cepat dibandingkan perlakuan
lainnya. Hasil skoring pada luka ekstrak etanol daun sirih hijau pada hari ketujuh
minggu pertama dan hari ketujuh minggu ke dua menunjukan luka telah
memasuki fase maturasi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Preparat sentuh
menunjukan bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau
menghadirkan sel radang pada hari pertama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun sirih hijau sembuh lebih
cepat dari pada pengobatan lainnya.
Kata kunci: ekstrak etanol daun sirih hijau, tikus, persembuhan luka.

ABSTRACT
TIZANI QISTHINA. Activity of Betel Leaf Extract (Piper betle Linn.) in
Accelerating Wound Healing Process of Rats. Under the direction of BAYU
FEBRAM PRASETYO and MAWAR SUBANGKIT.
The aim of this study was to examine the activity of betel ethanol extract for
abration skin wound healing process in Sparague-Dawley rats based on gross and
microscopic observation (including histopatological and touch specimen). Under
aseptic conditions four paravertebral full thickness skin incision performed on the

back of 9 male rats. Every wounds were treated with different treatments. The
treatments were control, placebo, commercial ointment, and extract betel.
Histopatological section from tissue specimens were stained by hematoxylin and
eosin and evaluated on first seven days and second seven days after surgery.
Touch specimens were stained by Giemsa and evaluated on fourth and tenth day
after surgery. The parameters of histopatological are reepitelization, fibroblas,
congestion, bleeding, scrab formation, infiltration of inflammatory cell, hair
follicle formation, and edema. Afterward, the specimens were grouped in phase of
wound healing. Specimens touch parameter was the presence of inflammatory
cells. The data were presented descriptively as quantitative data. Macroscopic
appearances show that diameter extensive of betel ethanol extract wounds were
decrease faster than other treatments. Scoring results of wounds who treated with
betel ethanol extract in first seven days and second seven days show that wounds
have entered maturation phase compared to other treatment. The specimens touch
show that wounds who treated with betel ethanol extract were presenting
inflammatory cells in first seven days. The results of this study show that wounds
who treated with betel ethanol extract were recover faster than other treatment.
Keywords: betel ethanol extract, rats, wound healing.

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU

(Piper betle Linn.) DALAM MEMPERCEPAT PROSES
PERSEMBUHAN LUKA PADA TIKUS

TIZANI QISTHINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

JudulSkripsi :Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam
Mempercepat Proses Persembuhan Luka pada Tikus
Nama
: Tizani Qisthina
NIM

: B04080097

Disetujui oleh

Bayu Febram P Msi Ssi Apt
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit
Pembimbing II

Diketahuioleh

drh H Agus Setyono MS PhD APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Aktivitas Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn) dalam Mempercepat
Proses Persembuhan Luka pada Tikus”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Rasa terima kasih penulis berikan kepada Bapak Bayu Febram P MSi SSi
Apt dan drh Mawar Subangkit sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan,
masukan, ilmu, dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan
skipsi ini. Disamping itu, penulis juga berterima kasih kepada drh Dewi Ratih
Agungpiyono PhD APVet selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan
dan arahan selama ini.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada
keluarga tercinta (mama, papa, Senna, Reizel, dan bude Ira) atas segala dukungan,
kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan setiap saat. Terima kasih
kepada Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, dan Bibi atas waktu, bantuan, ilmu,
dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skipsi ini dilakukan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pkan dan sahabat-sahabat
tercinta yakni: Irene (yang juga sebagai teman sepenelitian), Eva, Keisya, Cece,
Arini, Vivit, Ayu, Yayuk, Anita, d’Kandang 186 (Adya, Ismi, Gadiez).temanteman serumah tersayang (Haney, Dhia, Afifah, Kak Fiza, Nisa, Kak Timi), dan
teman-teman Avenzoar 45 atas segala kebersamaan.
Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
Penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan

selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Januari 2013
Tizani Qisthina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Daun sirih hijau
Persembuhan Luka
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Hewan Percobaan dan Perlakuan

Ekstraksi Daun sirih hijau
Pembuatan Histopatologi dan Preparat Sentuh
Pengamatan Patologi Anatomi dan Histopatologi
Analisa Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Minggu Pertama
Pengamatan Minggu Kedua
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
1
1
2
2
3
4
4
4
5
5
5
6
6
6
7
12
16
16
16
17
19

DAFTAR TABEL
1 Tabel Hasil Pengamatan Minggu Pertama pada Tikus
2 Tabel Hasil Pengamatan Minggu Kedua pada Tikus

8
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Daun sirih hijau hijau
Fase persembuhan luka
Jadwal perlakuan pada tikus
Kandang modifikasi
Elisabeth collar
Luka pada punggung tikus
Preparat sentuh
Grafik presentasi fase persembuhan luka minggu pertama
Grafik skoring persembuhan luka minggu pertama
Histopatologi keberadaan sel radang minggu pertama
Histopatologi persembuhan luka minggu pertama
Grafik presentasi fase persembuhan luka minggu kedua
Grafik skoring persembuhan luka minggu kedua
Histopatologi fase persembuhan luka minggu kedua

2
4
6
7
7
7
7
8
8
9
11
13
13
14

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Persembuhan luka merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan
yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Perlukaan banyak terjadi di bagian
permukaan tubuh yakni kulit. Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan terluar
dari tubuh yang berfungsi sebagai pelindung tubuh. Kerusakan kulit atau jaringan
yang menimbulkan bekas permanen merupakan masalah yang membutuhkan
penanganan serius. Berbagai jenis obat dengan berbagai jenis merek dagang telah
memberikan solusi terhadap penanganan luka. Obat luka yang beredar di pasaran
merupakan obat yang berasal dari bahan kimia yang dapat menimbulkan efek
samping yang kurang menguntungkan seperti alergi. Obat luka tersebut tidak
jarang pula menimbulkan efek tidak nyaman dan rasa perih ketika digunakan.
Obat-obatan yang sering digunakan umumnya berupa desinfektan yakni iodine
dan sediaan salep yang berisi antibiotik seperti neomycin sulfat. Harganya yang
relatif mahal dengan ukuran yang minimalis dari obat luka tersebut sangat
memberatkan masyarakat.
Sejak dulu masyarakat Indonesia banyak menggunakan bahan alam sebagai
obat untuk berbagai penyakit termasuk persembuhan luka. Tanaman sirih (Piper
betle Linn.) sudah lama digunakan sebagai obat. Bagian tanaman yang digunakan
adalah daunnya, kandungan daun sirih antara lain saponin, polifenol, minyak
atsiri, dan flavonoid (Widiastuti 2001). Saponin, flavonoid, alkaloid, dan tanin
merupakan senyawa yang diperlukan dalam menunjang proses persembuhan luka.
Manfaat sirih sebagai obat persembuhan luka sendiri belum banyak dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian mengenai peran sirih dalam
mempercepat persembuhan luka.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah manfaat ekstrak
daun sirih terhadap proses persembuhan luka melalui pengamatan patologi
anatomi dan histopatologi, serta membandingkan efektifitasnya terhadap sediaan
komersil terhadap kecepatan persembuhan luka.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan membuktikan
bahwa sirih memiliki efektivitas untuk mempercepat proses persembuhan luka.
Selain itu, diharapkan ekstrak daun sirih ini dapat menjadi obat alternatif yang
efektif, aman bagi lingkungan, dan terjangkau masyarakat umum dalam
menangani luka.


 

TINJAUAN PUSTAKA
Daun Sirih
Sirih (Piper betle Linn.) merupakan tanaman herbal paranial, berdaun
tunggal dengan letak daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai
oval, ujung runcing, pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris
(Rosman dan Suhirman 2006). Berdasarkan Pallavi et al. (2012), sirih (Piper betle
Linn.) adalah tanaman yang termasuk dalam keluarga Piperaceae, subordo
Nymphaeiflloraea, ordo Piperale, dan genus Piper. Genus piper terdiri dari
sekitar 10 genus, dan 2000 spesies. Genus Piper sebagian besar tersebar di daerah
tropis dan subtropis. Syukur dan Hernani (2002) mendeskripsikan tanaman sirih
sebagai tanaman yang berbatang lunak, bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur,
dan berwarna hijau abu-abu. Daun berbentuk tunggal, letak daun berseling,
bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal berbentuk
jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan pertulangan
menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan bau aromatis.

Gambar 1 Daun sirih hijau yang digunakan sebagai sediaan ekstrak (sumber:
http://www.fay-potatos.co.cc/2010/09/manfaat-daun-sirih.html)

Piper betle Linn. dibudidayakan di India, Srilanka, Malaysia, Indonesia,
Filipina, dan Afrika Timur. Bagian dari tanaman sirih yang digunakan adalah
daun, akar, batang, tangkai, dan buah (Vikash et al. 2012). Di Indonesia terdapat
beberapa jenis sirih yaitu sirih jawa, sirih kuning, sirih banda, sirih cengkih, dan
sirih hitam atau sirih keling (Moeljanto dan Damayanti 2003). Daun sirih
mengandung minyak atsiri yaitu fenol (eugenol, kavikol, estragol), kavibetol, dan
alkaloid (Teo dan Banka 2000). Selain itu daun sirih juga mengandung tanin,
gula, dan amilum (Syukur dan Hernani, 2003). Daun sirih memiliki aktivitas
seperti antidiabetes, antiulcer, agregasi antiplatelet, antifertilitas, kardiotonik,
antitumor, antimutagenik, depresant pernapasan, dan anthelmentik, segala macam
yang dibutuhkan dalam persembuhan luka (Vikash et al. 2012). Saponin dalam
sirih berfungsi sebagai pemacu pembentukan kolagen, sedangkan flavonoid dalam
sirih berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri (Prahastuti dan Tambunan
2004). Flavonoid juga berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga
perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat
diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Peningkatan jumlah makrofag dapat
disebabkan oleh kandungan flavonoid yang berfungsi meningkatkan sistem imun
tubuh (imunostimulator) (Mills dan Bone 2000) dan juga karena kandungan
saponin adalah senyawa surfaktan yang mempunyai sifat imunostimulator

3
 

(Widowati 2004). Flavonoid mempunyai respon biologi secara alami. Flavonoid
juga dapat berfungsi juga sebagai anti inflamasi (peradangan) dan antioksidan
yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Selain itu flavonoid juga
dilaporkan dapat meningkatkan fungsi sel pertahanan (Middelton et al. 2000).

Persembuhan Luka
Persembuhan luka melibatkan serangkaian komplek interaksi antara jenis
sel yang berbeda, seperti sitokin mediator, dan matriks ekstraseluler (MacKay dan
Miller 2003). Persembuhan luka dimulai dari saat cedera dan dapat berlanjut
menjadi berbagai periode waktu, tergantung pada derajat perlukaan. Pada setiap
kejadian luka, normalnya mekanisme tubuh akan mengupayakan mengendalikan
komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur
baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Namun banyak faktor
yang mempengaruhi proses persembuhan luka antara lain : (1) kemampuan tubuh
untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan
keadaan umum kesehatan tiap orang; (2) respon tubuh pada luka lebih efektif jika
nutrisi yang tepat tetap dijaga; (3) respon tubuh secara sistemik pada trauma; (4)
aliran darah kedalam dari jaringan yang luka; (5) keutuhan kulit dan mukosa
membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari
mikroorganisme; dan (6) penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas
dari benda asing tubuh termasuk bakteri. Persembuhan luka dapat diganggu oleh
adanya benda asing atau jaringan nekrotik di dalam luka, adanya infeksi pada
luka, dan perpindahan serta pendekatan tepi luka yang tidak sempurna (Tawi
2008).
Tujuan dalam manajemen luka adalah untuk mempercepat proses
persembuhan luka, meminimalkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, dan
menghilangkan jaringan parut pada pasien. Dalam proses persembuhan luka, gizi
berperan dalam proses persembuhan dan penting bagi persembuhan luka.
Berbagai penelitian dilakukan mengenai berbagai nutrisi pendukung bagi
persembuhan luka. Nutrisi pendukung yang terlibat dalam regenerasi jaringan
yaitu, vitamin A, vitamin C, vitamin E, seng, arginin, glutamin, dan glukosamin
(MacKay dan Miller 2003).
Proses persembuhan luka dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu inflamasi,
proliferasi, dan akhirnya tahap renovasi (maturasi) yang menentukan potensi dan
penampilan yang disembuhkan jaringan (Enoch dan Leaper 2008). Tahap
inflamasi dimulai segera setelah cedera yang biasanya berlangsung antara 24 dan
48 jam dan mungkin bertahan sampai 2 minggu dalam beberapa kasus. Fase ini
ditandai dengan vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong darah
pembekuan dan kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan
peradangan pada situs luka (Alam et al. 2011). Respon inflamasi meningkatkan
permeabilitas vaskular, sehingga menyebabkan migrasi netrofil dan monosit ke
jaringan sekitarnya. Netrofil menelan sel debris dan mikroorganisme, memberikan
garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Netrofil migrasi berhenti setelah
beberapa hari pertama pasca-cedera jika luka tidak terkontaminasi (MacKay dan
Miller 2003).


 

Gambar 2 Fase Persembuhan Luka. (Sumber: Gradisa 2011)

Tahap kedua adalah fase fibroblas atau proliferasi yang berlangsung
selama 2 hari sampai 3 minggu setelah fase inflamasi. Fase ini terdiri dari tiga
langkah yaitu, granulasi, kontraksi, dan epitelisasi. Pada tahap granulasi, fibroblas
membentuk kolagen dasar dan kapiler baru (Alam et al. 2011). Faktor kemotaktik
dan pertumbuhan yang dilepaskan dari trombosit dan makrofag merangsang
migrasi dan aktivasi fibroblas yang menghasilkan berbagai zat penting untuk
perbaikan luka, termasuk glycosaminoglycans (terutama asam hyaluronic,
chondroitin- 4-sulfat, sulfat dermatan, dan sulfat heparan) dan kolagen (MacKay
dan Miller 2003). Tahap terakhir adalah maturasi. Tahap terakhir ini berlangsung
selama 3 minggu sampai 2 tahun. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini.
Kekuatan regangan jaringan ditingkatkan dari kolagen melalui vitamin-C
bergantung hidroksilasi. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi 80%
sekuat aslinya (Alam et al. 2011).

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan
Agustus 2012 di Laboratorium Patologi dan Laboratorium Farmasi, Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain kandang panggung disertai kawat
penutup, peralatan bedah minor, dan kertas film untuk Elizabeth collar. Peralatan
untuk membuat sediaan histopatologi yaitu automatic tissue processor, pencetak
parafin, blok parafin, tissue cassette, penangas air, gelas objek, gelas penutup, dan
mikrotom. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop.
Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sirih yang diperoleh
melalui metode ekstraksi dengan pelarut etanol 70%, sediaan komersial berisi
klorampenikol, plasebo dari akuades, rivanol, eter untuk euthanasia, larutan

5
 

buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk fiksasi kulit, ketamin dan xylazine
untuk anastesi, dan kapas. Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan
histopatologi yaitu larutan Mayer’s Haematoksilin, larutan Eosin, xylene, etanol
dengan konsentrasi bertingkat, larutan lithium carbonate, dan parafin.

Hewan Percobaan dan Perlakuan
Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan dengan strain
Sparague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dan memiliki
bobot badan 200-250 g. Sebanyak 9 ekor tikus dibagi dalam 3 kandang. Sebelum
perlukaan, seluruh tikus dibebaskan dari bakteri dan parasit dengan memberikan
obat antibiotik, antiprotozoa, dan anthelmentik. Pada hari pertama tikus diberikan
albendazole secara peroral melalui minuman kemudian diberikan kembali pada
hari kedelapan. Pada hari kedua sampai dengan hari keenam tikus diberikan
amoxan® yang juga diberikan secara peroral melalui air minum. Pada hari ketujuh
tikus diberikan metronidazole kemudian diistirahatkan selama seminggu dan
kemudian diberikan ivermectin.
Perlukaan dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan ketamin dan
xylazine terlebih dahulu, kemudian rambut di punggung tikus digunting sampai
bersih. Perlukaan dilakukan dengan menggunting kulit dengan pola persegi
berukuran 1 cm2 hingga subkutan. Masing-masing tikus dilukai sebanyak 4 buah
luka yakni 2 buah luka di bagian kiri dan kanan. Perlukaan dilakukan pada kulit
punggung dengan tujuan sulit dijangkau tikus, sedikit jumlah otot, pembuluh
darah, dan saraf sehingga perlukaan dapat diorientasikan pada kulit karena
umumnya luka pada otot memiliki waktu persembuhan yang lebih lama dari pada
kulit. Kemudian tikus diberikan Elizabeth collar. Keempat luka diberikan
perlakuan yang berbeda. Luka pada bagian kiri atas merupakan kontrol. Luka
pada kanan atas diberikan plasebo berupa akuades. Obat komersial diberikan pada
luka bagian kiri bawah sedangkan ekstrak etanol daun sirih diberikan pada luka
bagian kanan bawah. Obat diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore
secara topikal di bagian luka selama 2 minggu. Pengambilan sampel dilakukan
pada hari ke7 sebanyak 4 ekor tikus dan ke 14 sebanyak 5 ekor tikus. Preparat
sentuh diambil pada hari ke 3 dan ke 10.

Ekstraksi Daun Sirih
Ekstraksi daun sirih hijau dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat (Balittro). Pembuataan sediaan ekstrak daun sirih meliputi proses
sortasi, penjemuran daun sirih hingga kering, maserasi menggunakan pelarut
etanol 70%, dan evaporasi. Ekstrak didapat sebanyak 31 g/20ml (atau setara
dengan 1,55 g/ml) dari 1 kg daun sirih kering.
Pembuatan Histopatologi dan Preparat Sentuh
Pembuatan histopat dilakukan melalui tiga tahap yakni fiksasi, dehidrasi,
dan pewarnaan. Fiksasi dilakuan dengan merendam potongan organ kedalam BNF


 

10% selama kurang lebih 24 jam. Kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan
etanol bertingkat, xylene, dan dimasukan kedalam paraffin dan diblok. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan pewarnaan haematoxylin and eosin. Preparat
sentuh diambil dengan menekankan object glass pada setiap luka kemudian
direndam dalam metanol selama 5 menit dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa.
Pengambilan preparat ini bertujuan untuk mengamati keberadaan netrofil pada
setiap luka.

Gambar 3 Jadwal Perlakuan pada Tikus

Pengamatan Patologi Anatomi dan Histopatologi
Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari ke 1
hingga hari ke 14 setelah perlukaan pada semua tikus perlakuan dan kontrol
dengan metode deskriptif semikuantitatif. Kondisi luka diamati dengan parameter
luka kering atau basah. Pengamatan dilakukan dengan mengukur luas
persembuhan luka pada hari ke 14, mengamati kondisi luka, dan pengamatan
mikroskopis yang meliputi pengamatan histopatologi dan kehadiran netrofil.
Pengamatan histopatologi menggunakan metode skoring dengan mengelompokan
proses persembuhan yang telah dilewati oleh luka tersebut.

Analisis Data
Data pengamatan patologi anatomi dan histopatologi dianalisis dengan
metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hewan coba tikus jantan
strain Sprague-Dawley. Pemilihan tikus sebagai hewan coba dilakukan
berdasarkan pertimbangan utama yaitu tikus merupakan hewan coba laboratorium
yang mudah diperoleh dan relatif mudah dalam pemeliharaannya. Selain itu tikus
memiliki daya tahan yang tinggi terhadap lingkungan yang kurang
menguntungkan. Sedangkan penggunaan tikus jantan dilakukan untuk
menghindari adanya pengaruh siklus estrus dan hormonal terhadap persembuhan
luka. Tikus kemudian dipelihara dalam kandang panggung dengan bagian bawah

7
 

panggung diberi sekam. Hal ini bertujuan agar tikus tidak berkontak langsung
dengan urin atau kotoran yang mungkin akan mengkontaminasi luka yang akan
mempengaruhi hasil penelitian. Masing-masing tikus diberikan Elizabeth Collar
untuk mencegah tikus menjilati luka.
Luka yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis luka terbuka. Luka
diberikan dengan bentuk persegi berukuran 1 cm2 pada punggung sebanyak 4 buah
yakni 2 buah luka di bagian kiri dan kanan. Perlukaan dilakukan pada kulit
punggung dengan tujuan sulit dijangkau tikus, sedikit pembuluh darah, dan saraf
sehingga perlukaan dapat diorientasikan pada kulit. Bentuk luka berupa kotak
dilakukan untuk memperjelas luas persembuhan luka. Luka pada masing-masing
tikus diberikan sebanyak empat buah bertujuan untuk mencegah respon
individual.

Gambar 5 (A) Kandang tikus yang telah dimodifikasi menggunakan panggung, (B) penggunaan
Elisabeth collar untuk mencegah tikus menjilati punggungnya, (C) tikus yang telah
dilukai di punggung sebanyak 4 buah, dan (D) pengambilan preparat sentuh.

Pengamatan Minggu Pertama
Pengamatan pada minggu pertama dilakukan dengan mengamati patologi
anatomi, keberadaan netrofil, dan pengamatan mikroskopis. Patologi Anatomi
dilakukan dengan menghitung luas luka pada hari pertama dengan menggunakan
aplikasi MacBiophotonic ImageJ® dan kondisi luka. Keberadaan netrofil dilihat
dengan menggunakan preparat sentuh yang diambil pada hari ke 3. Metode ini
digunakan karena luka yang terjadi tidak sistemik. Sedangkan gambaran
makroskopis dilakukan dengan mengamati histopatologi. Parameter yang diamati
adalah keberadaan netrofil, makrofag, edema, kerusakan epitel, fibroblas,
neovaskularisasi, reepitelisasi, dan kontraksi luka. Kemudian hasil pengamatan


 

tiap kelompok perlakuan dihitung dan dikelompokan dalam fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase maturasi. Hasil pengelompokan kemudian diberikan skor.
Tabel 1 Hasil Pengamatan Minggu Pertama pada Tikus
Gambaran Mikroskopis3 (%)

Patologi Anatomi
Perlakuan

Rataan
Luas1
(mm2)

Basah

Kering

Keberadaan
Netrofil2

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

Skoring4

Kontrol
100±0 9/9
0/9
0/9
100
1.00
Sirih
100±0 9/9
0/9
9/9
25
75
2.75
Salep
100±0 9/9
0/9
0/9
100
1.00
Plasebo
100±0 9/9
0/9
0/9
25
75
1.75
Keterangan
: (1) Rataan luas luka dihitung pada hari pertama perlukaan dengan
menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® (National Institute of Mental
Health), (2) Keberadaan Netrofil dilakukan dengan mengamati preparat sentuh
yang diambil pada hari ke 3; (3) Gambaran mikroskopis dilakukan dengan
mengamati preparat histopatologi yang diambil pada hari ke 7; dan (4) Skoring
diberikan berdasarkan standar 0 ≤ x ≤ 0.5 untuk belum sembuh, 0.6 ≤ x ≤ 1.5
untuk inflamasi, 1.6 ≤ x ≤ 2.5 untuk proliferasi, dan 2.6 ≤ x ≤ 3 untuk maturasi.

Secara normal proses persembuhan luka segera dimulai setelah terjadi
perlukaan (Nayak 2006). Proses persembuhan luka dimulai dengan pembentukan
fibrin untuk menutup luka serta infiltrasi sel radang terutama netrofil. Netrofil
akan membersihkan area luka dari benda asing, sel- sel mati, dan bakteri serta
mengeluarkan sitokinin seperti Epidermal Growth Factor (EGF), Plateledderived Growth Factor (GDGF), dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β)
yang mengaktifasi fibroblas lokal dan keratinosit. Infiltrasi netrofil hanya
berlangsung beberapa hari, kemudian netrofil mati dan digantikan oleh makrofag.
Makrofag berfungsi mempercepat persembuhan luka yang menyebabkan
penurunan jumlah netrofil dan peningkatan jumlah makrofag (McGavin dan
Zachary 2007).
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Inflamasi Proliferasi Maturasi
Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Skoring
Kontrol

Sirih

Salep

Maturasi

Grafik 1 Grafik kiri menggambarkan persentasi tahapan persembuhan luka kulit pada tikus di
minggu pertama untuk setiap kelompok percobaan, sedangkan gambar kanan
menggambarkan skoring dari setiap kelompok percobaan.

Proses netrofil memfagositosis adalah kemotaksis, perlekatan, penelanan,
dan pencernaan. Netrofil masuk dalam jaringan yang luka dalam waktu yang
sangat cepat dengan cara diapedesis dan bergerak melewati jaringan dengan

9
 

gerakan ameboid dan gerakan netrofil ke area jaringan yang meradang di bawah
pengaruh rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini tidak hanya datang dari
growth factors released yang berasal dari degranulasi platelets tetapi dari
rangsangan yang dilepaskan oleh protein bakteri, dan rangsangan produk yang
bersala dari proteolysis fibrin dan semua komponen matriks. Pada hasil
pengamatan minggu ke 1, netrofil pada kelompok kontrol, plasebo, dan salep
komersil sudah tidak terlihat. Hal ini dikarenakan luka telah memasuki fase
proliferasi. Pada masa ini jumlah netrofil dan makrofag telah berkurang. Namun
hasil berbeda nyata pada kelompok ekstrak etanol daun sirih. Pada kelompok ini
keberadaan netrofil dapat ditemukan pada kesembilan pengulangan sediaan
namun luka telah memasuki fase maturasi. Hal ini terjadi karena pada ekstrak
etanol daun sirih terdapat flavonoid yang berfungsi dalam meningkatkan sistem
imun (imunostimulator) yang ditandai dengan peningkatan jumlah netrofil dan
makrofag (Mills dan Bone 2000) dan juga karena kandungan saponin adalah
senyawa surfaktan yang mempunyai sifat imunostimulator (Widowati 2004).
Kedua senyawa ini mempengaruhi rangsangan migrasi netrofil ke luka. Selain itu,
kehadiran netrofil pada daerah luka dapat dipengaruhi oleh adanya produkproduk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel- sel yang rusak atau mati (Kalangi
2004).

Gambar 7 Gambaran preparat sentuh pada tikus di minggu pertama (hari keempat). (A)
Tidak ditemukan adanya netrofil pada kontrol, (B) hasil negatif juga
ditemukan pada plasebo, (C) terdapat infiltrasi sel radang yang di dominasi
oleh netrofil pada sirih, dan (D) tidak ditemukan adanya infiltrasi sel radang
pada salep. (1) Miofibrin, (2) netrofil, dan(3) makrofag. (Pewarnaan Giemsa,
Bar = 200 µm).

Hasil pengamatan HP pada minggu pertama didapati kelompok kontrol dan
salep komersil berada dalam fase inflamasi. Pada kedua kelompok perlakuan ini

10 
 

masih ditemukan kongesti, perdarahan, dan netrofil. Netrofil mempunyai fungsi
memfagositosis benda-benda asing seperti bakteri, fungi, protozoa, virus, dan selsel yang rusak atau mati. Netrofil mempunyai sifat memfagositosis secara cepat,
tetapi cepat lelah (mati setelah memfagositosis) sehingga sering dianggap garis
pertahanan pertama (McGavin dan Zachary 2007). Tahap inflamasi dimulai
segera setelah cedera yang biasanya berlangsung antara 24 dan 48 jam dan
mungkin bertahan sampai 2 minggu dalam beberapa kasus. Fase ini ditandai
dengan vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah
dan kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada
situs luka (Alam et al. 2011).
Kelompok kontrol merupakan kelompok perlakuan yang mengalami
persembuhan luka secara fisiologis sehingga memerlukan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan kelompok perlukaan lainnya. Sedangkan pada kelompok
salep komersil, salep yang digunakan adalah salep antibakteri sehingga pada
minggu pertama salep ini berperan dalam menghambat kontaminasi yang
mungkin terjadi. Respon inflamasi meningkatkan permeabilitas vaskular,
sehingga menyebabkan migrasi netrofil dan monosit ke jaringan sekitarnya.
Netrofil menelan sel debris dan mikroorganisme, memberikan garis pertahanan
pertama terhadap infeksi. Netrofil migrasi berhenti setelah beberapa hari pertama
pasca-cedera jika luka tidak terkontaminasi (MacKay dan Miller 2003).
Pada kelompok perlakuan plasebo dan ekstrak etanol daun sirih, masing
masing telah memasuki fase proliferasi dan maturasi. Pada plasebo terlihat
gambaran HP luka yang mulai menutup dan peningkatan jumlah fibroblas. Fase
fibroblas atau proliferasi secara normal berlangsung selama 2 hari sampai 3
minggu setelah fase inflamasi. Fase ini terdiri dari tiga langkah yaitu, granulasi,
kontraksi, dan epitelisasi. Pada tahap granulasi, fibroblas membentuk kolagen
dasar dan kapiler baru (Alam et al. 2011). Faktor kemotaktik dan pertumbuhan
yang dilepaskan dari trombosit dan makrofag merangsang migrasi dan aktivasi
fibroblas yang menghasilkan berbagai zat penting untuk perbaikan luka (MacKay
dan Miller 2003). Pada kelompok plasebo, tahap proliferasi yang terjadi adalah
awal dari tahapan kontraksi. Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang
merupakan sel kontraktil. Miofibroblas memperantarai kontraksi pada jaringan
yang terlihat seperti otot (Kalangi 2004). Sedangankan pada kelompok perlakuan
ekstrak etanol daun sirih, persembuhan luka terjadi sangat cepat. Hal ini diduga
karena kandungan sirih yakni saponin dan flavonoid yang berperan dalam
persembuhan luka. Saponin memiliki fungsi sebagai immunostimulator bagi
persembuhan luka. Sedangkan flavonoid mempunyai respon biologi secara alami.
Flavonoid juga dapat berfungsi juga sebagai antiinflamasi (peradangan) dan anti
oksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Selain itu flavonoid juga
dilaporkan dapat meningkatkan fungsi sel pertahanan (Middelton et al. 2000).
Flavonoid juga berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan
kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat diperbaiki
(Wardhana et al. 2001).

11
 

Gambar 5 Gambaran hiistopatologi persembuhan luka
l
kulit padda tikus di miinggu pertamaa (hari
ke-7). (A) Gambaran
G
HP dengan perb
besaran 40 paada kelompokk perlakuan kontrol
k
mengalami fase
f
inflamasi, (B) gambarran HP dengaan perbesaran 40 pada kelo
ompok
perlakuan plaasebo mengalaami fase proliferasi, (C) gam
mbaran HP deengan perbesaaran 40
pada kelomppok perlakuann ekstrak etan
nol daun sirihh mengalami fase maturassi, (D)
gambaran HP
P dengan perbbesaran 40 paada kelompok salep mengalami fase infllamasi,
(E) gambarann HP dengan perbesaran 20
00 pada kelom
mpok plaseboo, dan (F) gam
mbaran
HP dengan perbesaran
p
2000 pada kelom
mpok ekstrak etanol daun sirih. (1) Kerropeng
yang menutuupi epitel yaang hilang, (2)
( koloni neetrofil yang terdapat di bagian
b
subepidermall kulit, (3) pennebalan epitel (epitelisasi),, (4) perdarahhan pada epiteel yang
hilang, (5) akkumulasi daraah di pembuluh darah (konggesti), (6) akuumulasi jaringaan ikat
(fibroblas), (7)
( pembentukan pembulu
uh darah baruu (neovaskulaarisasi). (Pewarnaan
hematoxylin and
a eosin, Baar = 200 µm).

12 
 

Pengamatan Minggu Kedua
Pada minggu kedua, pengamatan Patologi Anatomi dilakukan dengan
menghitung luas persembuhan luka pada hari ke 14 dengan menggunakan aplikasi
MacBiophotonic ImageJ® dan kondisi luka. Keberadaan netrofil dilihat dengan
menggunakan preparat sentuh yang diambil pada hari ke 10. Gambaran
makroskopis dilakukan dengan mengamati histopatologi. Parameter yang diamati
sama seperti minggu pertama.
Tabel 1 Hasil Pengamatan Minggu Kedua pada Tikus
Gambaran Mikroskopis3 (%)

Patologi Anatomi
Perlakuan

Rataan
Luas1
(mm2)

Basah

Kering

Keberadaan
Sel Radang2

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

Skoring4

Kontrol
23.39±4.15 0/5
5/5
0/5
66,67
33,33
2.33
Sirih
10.12±3.51 0/5
5/5
0/5
11,11
88,89
2.89
Salep
19.19±0.45 0/5
5/5
0/5
40
60
2.60
Plasebo
8.54±2.98 0/5
5/5
0/5
50
50
2.50
Keterangan
: (1) Rataan luas luka dihitung pada hari ke 14 perlukaan dengan
menggunakan aplikasi MacBiophotonic ImageJ® (National Institute of Mental
Health); (2) Keberadaan Netrofil dilakukan dengan mengamati preparat sentuh
yang diambil pada hari ke 10; (3) Gambaran mikroskopis dilakukan dengan
mengamati preparat histopatologi yang diambil pada hari ke 14; dan (4)
Skoring diberikan berdasarkan standar 0 ≤ x ≤ 0.5 untuk belum sembuh, 0.6 ≤
x ≤ 1.5 untuk inflamasi, 1.6 ≤ x ≤ 2.5 untuk proliferasi, dan 2.6 ≤ x ≤ 3 untuk
maturasi.

Berdasarkan perhitungan rataan luas luka hasil panen minggu kedua (hari ke
14), didapati bahwa keempat kelompok perlukaan menunjukkan terjadinya
penutupan luka. Semakin kecil hasil perhitungan luas persembuhan luka
menunjukkan penutupan luka yang semakin baik. Hal ini dapat dilihat dari
perbandingan luas luka awal dengan luas luka minggu ke 2. Luas luka pada
kontrol minggu ke 2 menunjukkan nilai yang cukup besar dibandingkan dengan
luas persembuhan luka kelompok yang lain, yakni 23.39mm2. Hal ini dikarenakan
pada kelompok kontrol persembuhan luka terjadi secara fisiologis tanpa bantuan
obat-obatan yang dapat mempercepat proses persembuhan luka. Menurut Tawi
(2008), Pada setiap kejadian luka, normalnya mekanisme tubuh akan
mengupayakan mengendalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut
dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan
sebelumnya.

13
 

100%

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

80%
60%
40%
20%
0%
Inflamasi Proliferasi Maturasi
Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Skoring
Kontrol

Sirih

Salep

Placebo

Grafik 2 Grafik kiri menggambarkan persentasi tahapan persembuhan luka kulit pada tikus
di minggu kedua untuk setiap kelompok percobaan, sedangkan gambar kanan
menggambarkan skoring dari setiap kelompok percobaan.

Luas luka dipengaruhi oleh kepadatan jaringan ikat yang akan membantu
kontraksi luka untuk membuat kedua sisi luka tertarik dan luka menjadi semakin
mengecil. Menurut Ama (2011) fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk jaringan baru (connective tissue matrix). Produksi yang berkurang
akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Tawi
2008). Pada luka kelompok plasebo, luas persembuhan menunjukkan
persembuhan terbaik dari keempat kelompok lainnya, yakni 8.54 mm2. Namun
penampakan luas luka secara makroskopis tidak menjamin kualitas dari
persembuhan luka itu sendiri. Sehingga perlu ditinjau lebih lanjut dengan preparat
histopatologi untuk mengetahui fase persembuhan yang telah dicapai. Selain itu,
kualitas persembuhan luka juga dipengaruhi berbagai faktor seperti, jaringan yang
terlibat, vaskularisasi, infeksi, gizi, umur, suhu, dan ukuran jaringan yang rusak.
Vaskularisasi yang cukup merupakan hal yang penting dalam reaksi radang dan
persembuhan, sedangkan daerah yang terhambat pasokan darahnya akan
mengalami hambatan persembuhan (Chen et al. 2005).
Pada kelompok ekstrak etanol daun sirih dan salep komersil, luas
persembuhan luka menunjukkan nilai sebesar 10.12mm2 dan 19.19mm2. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirih memiliki kualitas untuk
mempercepat persembuhan luka. Ekstrak etanol daun sirih mengandung sejumlah
besar molekul bioaktif seperti polifenol, alkaloid, steroid, saponin, dan tanin.
Daun sirih memiliki aktivitas seperti antidiabetes, antiulcer, agregasi antiplatelet,
antifertilitas, kardiotonik, antitumor, antimutagenik, depresant pernapasan, dan
anthelmentik, segala macam yang dibutuhkan dalam persembuhan luka (Vikash et
al. 2012). Saponin dalam sirih berfungsi sebagai pemacu pembentukan kolagen,
sedangkan flavonoid dalam sirih berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri
(Prahastuti dan Tambunan 2004). Saponin dan tannin bersifat sebagai antiseptik
pada luka permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan
untuk infeksi pada kulit, mukosa dan melawan infeksi pada luka. Flavonoid selain
berfungsi sebagai bakteriostatik juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Tanin
merupakan senyawa yang mudah larut dalam air. Senyawa ini berkhasiat sebagai
astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan, dan
mengurangi peradangan (Prahastuti dan Tambunan 2004)

14 
 

Gam
mbar 8 Gambbaran histopaatologi perseembuhan luk
ka kulit pada tikus di minnggu ke dua
(hari ke-14). (A)) Gambarann HP dengaan perbesaraan 40 padaa kelompok
perlakkuan kontroll mengalam
mi fase proliiferasi, (B) gambaran H
HP dengan
perbessaran 40 padda kelompokk perlakuan plasebo
p
menngalami fase proliferasi,
(C) gaambaran HP
P dengan perbesaran 40 pada kelom
mpok perlakuuan ekstrak
etanoll daun sirihh mengalam
mi fase matturasi, (D) gambaran H
HP dengan
perbessaran 40 padda kelompokk salep meng
galami fase maturasi,
m
(E
E) gambaran
HP dengan perbeesaran 200 pada kelom
mpok ekstrakk daun siriih, dan (F)
gambaaran HP deengan perbessaran 200 pada
p
salep. (neovaskulaarisasi). (1)
Folikeel rambut yaang mulai teerbentuk, (2
2) epitel baruu yang telahh terbentuk
sempuurna, (3) keeratinisasi, (4)
( penebalaan epitel (eepitelisasi). (Pewarnaan
hemattoxylin and eosin)
e
(Bar = 200 µm).

Keberadaaan netrofil di
d minggu kedua
k
pada semua keloompok perlaakuan tidak
ditem
mukan sel netrofil.
n
Hall ini terjadi karena pad
da minggu ke 2 aktivittas netrofil
sudahh tidak terjadi. Aktivittas netrofil terjadi ketik
ka jaringann mengalam
mi inflamasi

15
 

yakni 24-48 jam setelah perlukaan (Enoch dan Leaper 2008). Dapat dilihat dalam
tabel 3 bahwa pada minggu ke-2 semua kelompok telah memasuki fase
proliferasi, pada fase ini terjadi fase reepitelisasi (perbaikan luka). Pada tahap ini,
kulit akan kembali pada integritasnya yang hilang. Perubahan ini akan
memberikan mobilitas pada sel dan badan golgi sehingga sel-sel epidermis akan
kehilangan polaritas basal dan menjulur dari kulit yang bebas menuju luka
(Kalangi 2004).
Hasil pengamatan di minggu kedua untuk HP menunjukkan fase proliferasi
pada kontrol dan plasebo. Tahapan kontraksi dari fase proliferasi pada kedua
kelompok percobaan telah memasuki tahap sempurna. Gambaran HP
menunjukkan jumlah fibroblas yang sedikit lebih berkurang. Hal ini dikarenakan
fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari
jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regenerasi dan serat fibrin
dari kolagen bertambah banyak memperkuat jaringan parut (Tawi 2008). Pada
fase ini juga ditemukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Proses ini
mempunyai arti penting pada fase proliferasi proses penyembuhan luka. Pada fase
ini fibroplasia dan neovaskularisasi merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag yaiyu
growth factors. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka
merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di
daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik atau
turunnya tekanan oksigen (Ama 2011). Selain itu neovaskularisasi juga
mengantarkan sel-sel radang menuju luka, dan diperlukan untuk mensuplai nutrisi
bagi jaringan yang sedang beregenerasi sehingga luka akan sembuh lebih cepat.
Kelompok perlakuan salep dan ekstrak etanol daun sirih pada minggu kedua
menunjukkan fase maturasi. Pada fase ini terlihat jumlah fibroblas yang berkurang
secara berkala. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini. Kekuatan regangan
jaringan ditingkatkan dari kolagen melalui vitamin C bergantung hidroksilasi.
Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi 80% sekuat aslinya (Alam et
al. 2011). Kolagen diproduksi oleh fibroblas. Fibroblas merupakan sel multifungsi
yang sering terlihat ketika jaringan merespon adanya luka. Fibroblas berperan
dalam menjaga keutuhan struktur jaringan dan sintesis kolagen bersama rough
reticulum endoplasm (RER). Fibroblas juga memproduksi extracelullar matrix
(ECM) protein, sitokinin, matriks ekstraselular (Extraselullar Microenvironment)
pada kondisi fisiologis dan patologis (McGavin and Zachary 2007). Kolagen
merupakan bahan penunjang utama dalam kulit, tulang rawan, dan jaringan ikat
(Hidayat 2008).
Persembuhan luka pada ekstrak etanol daun sirih minggu ke 1 dan minggu
ke 2 tidak terlalu berbeda nyata. Pada minggu ke 1, ekstrak daun sirih telah
memasuki fase maturasi dengan nilai skoring 2.75. Sedangkan pada minggu ke- 2,
ekstrak daun sirih masih berada dalam fase maturasi dengan nilai skring 2.89.
Berdasarkan data dapat dilihat bahwa aktivitas ekstrak daun sirih sangat efektif
digunakan pada minggu pertama. Hal ini diduga karena kandungan dalam ekstrak
etanol daun sirih seperti saponin, tanin, dan flavonoid bekerja dengan baik pada
minggu pertama persembuhan luka. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa saponin dan flavonoid berfungsi sebagai immunostimulator dan
antiinflamasi sehingga kedua zat ini berperan aktif dalam menangani inflamasi
yang terjadi pada minggu pertama perlukaan. Kedua zat ini merangsang migrasi

16 
 

netrofil pada fase inflamasi sehingga jumlah netrofil menjadi lebih banyak dari
biasanya. Netrofil ini kemudian memfagositosis sel-sel debri. Selain itu saponin
berfungsi sebagai antibakteri sehingga pada minggu ke 1 zat ini dapat mencegah
terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang dapat memperpanjang masa
persembuhan luka. Tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid
yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antiinflamasi, dan antikanker (Olivia et
al. 2004), sehingga fase inflamasi dapat dilalui dengan cepat. Fase proliferasi juga
berlangsung dengan cepat dari biasanya. Pada fase ini terjadi regenerasi kulit.
Regenerasi jaringan dapat dibantu dengan beberapa nutrisikofaktor yang terlibat
dalam regenerasi jaringan yaitu, vitamin A, vitamin C, vitamin E, seng, arginin,
glutamin, dan glukosamin (MacKay dan Miller 2003). Flavonoid yang terkandung
dalam sirih, dapat berfungsi sebagai antioksidan dan dapat berfungsi sebagai
kofaktor vitamin C. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan
untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, dimana bahan ini
penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C
juga berperan meningkatkan fungsi netrofil dan angiogenesis (Jeffcoate et al.
2004). Hal ini menyebabkan ekstrak daun sirih sangat berperan aktif dalam
memberikan nutrisi dalam fase proliferasi. Fase maturasi yang tejadi pada minggu
ke 1 diduga karena peran saponin sebagai pemacu pembentukan kolagen, yaitu
protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka.Sedangkan pada
minggu ke 2 fase maturasi terus berlanjut hingga luka menutup. Menurut Alam et
al. (2011), fase maturasi dapat berlangsung selama 2 minggu hingga 3 tahun.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol
sirih memiliki efektifitas dalam mempercepat proses persembuhan luka. Hal ini
dikarenakan kandungan ekstrak daun sirih yakni saponin, flavonoid, dan tanin
yang berperan sebagai antiinflamasi, antibakteri, pemicu terbentuknya kolagen,
dan imunostimulator. Berdasarkan penelitian, ekstrak daun sirih baik digunakan
pada awal perlukaan yakni minggu pertama. Ekstrak etanol daun sirih juga
memiliki kemampuan yang hampir sama dengan sediaan komersil lainnya.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan potensi ekstrak
etanol daun sirih dalam bentuk sediaan topikal lainnya seperti salep, gel, dan
krim. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah
ekstrak daun sirih aman bagi kulit bila dipakai dalam waktu lama sertam
dilakukan penelitian serupa untuk melihat efektifitas ekstrak daun sirih apabila
terjadi infeksi sekunder oleh bakteri atau partikel asing dalam luka.

17
 

DAFTAR PUSTAKA
Alam G, Singh MP, Sin