Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus

ABSTRAK
IRENE FIRMINATHA ALFARES. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau
(Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus
aureus pada Tikus. Dibawah bimbingan BAYU FEBRAM PRASETYO dan
MAWAR SUBANGKIT.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas ekstrak etanol daun
sirih hijau (Piper betle Linn.) pada proses persembuhan luka infeksi
Staphylococcus aureus melalui pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil,
dan gambaran mikroskopis. Penelitian ini menggunakan 9 ekor tikus strain SD
dan diberi perlakuan yang berbeda yaitu salep komersil, akuades, ekstrak etanol
daun sirih, dan tanpa perlakuan. Semua tikus dilukai berbentuk kotak dengan
ukuran 1x1 cm2 pada daerah punggung kemudian ditetesi Staphylococcus aureus
pada hari ke 1, 4, 7, dan 11. Perlakuan diberikan selama 2 minggu. Semua data
yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif. Hasil skoring
menunjukkan pada minggu pertama luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun
sirih berada pada fase proliferasi sedangkan pada minggu kedua telah berada pada
fase maturasi. Luka yang diberi ekstrak etanol daun sirih memperlihatkan
persembuhan luka yang lebih baik pada minggu pertama dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa ekstrak sirih
dapat membantu persembuhan luka infeksi Staphylococcus aureus.
Kata kunci: ekstrak, daun sirih, persembuhan luka, Staphylococcus aureus.


ABSTRACT
IRENE FIRMINATHA ALFARES. Activity of Piper betle Leaves Ethanol
Extract on The Wound Healing Process with Staphylococcus aureus Infection in
Rat. Under the direction of BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR
SUBANGKIT.
This research was aimed to prove the wound healing activity of Piper betle
leaves ethanol extract against Staphylococcus aureus infection in rat skin.
Various parameters such as pathology anatomy, netrofil presence, and
microscopic observation were studied to evaluate the wound healing activity of
Piper betle. Nine rats Sprague Dawley strain were used through our the study and
each rat was given four treatments. Treatments were control, commercial
ointments, akuadest, and Piper betle leaves ethanol extract. The experiment were
given for fourteen days. Each of rats was aseptically wounded with four wounds
in 1x1 cm2 square shape at the back of rats. Every wound was spilled by
Staphylococcus aureus at 1st, 4th, 7th, and 11th day. All data were analyzed with
descriptive semiquantitative method. Scoring results show that the first week of
wounds treated with piper betle leaves ethanol extract had shown proliferative
phase, while the second week treated with betle leaves extract had shown
maturation phase. Wound treated with Piper betle leaves extract were healed

better than others in the first week. Bassed on the results, Piper betle leaves
extract can be used to heal bacterial wound in the skin.
Keywords : extract, betel leaf, wound healing, Staphylococcus aureus.

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU (Piper
betle Linn.) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA
INFEKSI Staphylococcus aureus PADA TIKUS

IRENE FIRMINATHA ALFARES

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Ekstrak
Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka
Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus adalah benar karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Irene Firminatha Alfares
NIM B04080081

ABSTRAK
IRENE FIRMINATHA ALFARES. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau
(Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus
aureus pada Tikus. Dibawah bimbingan BAYU FEBRAM PRASETYO dan
MAWAR SUBANGKIT.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan aktivitas ekstrak etanol daun
sirih hijau (Piper betle Linn.) pada proses persembuhan luka infeksi
Staphylococcus aureus melalui pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil,
dan gambaran mikroskopis. Penelitian ini menggunakan 9 ekor tikus strain SD
dan diberi perlakuan yang berbeda yaitu salep komersil, akuades, ekstrak etanol

daun sirih, dan tanpa perlakuan. Semua tikus dilukai berbentuk kotak dengan
ukuran 1x1 cm2 pada daerah punggung kemudian ditetesi Staphylococcus aureus
pada hari ke 1, 4, 7, dan 11. Perlakuan diberikan selama 2 minggu. Semua data
yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif. Hasil skoring
menunjukkan pada minggu pertama luka yang diobati dengan ekstrak etanol daun
sirih berada pada fase proliferasi sedangkan pada minggu kedua telah berada pada
fase maturasi. Luka yang diberi ekstrak etanol daun sirih memperlihatkan
persembuhan luka yang lebih baik pada minggu pertama dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa ekstrak sirih
dapat membantu persembuhan luka infeksi Staphylococcus aureus.
Kata kunci: ekstrak, daun sirih, persembuhan luka, Staphylococcus aureus.

ABSTRACT
IRENE FIRMINATHA ALFARES. Activity of Piper betle Leaves Ethanol
Extract on The Wound Healing Process with Staphylococcus aureus Infection in
Rat. Under the direction of BAYU FEBRAM PRASETYO dan MAWAR
SUBANGKIT.
This research was aimed to prove the wound healing activity of Piper betle
leaves ethanol extract against Staphylococcus aureus infection in rat skin.
Various parameters such as pathology anatomy, netrofil presence, and

microscopic observation were studied to evaluate the wound healing activity of
Piper betle. Nine rats Sprague Dawley strain were used through our the study and
each rat was given four treatments. Treatments were control, commercial
ointments, akuadest, and Piper betle leaves ethanol extract. The experiment were
given for fourteen days. Each of rats was aseptically wounded with four wounds
in 1x1 cm2 square shape at the back of rats. Every wound was spilled by
Staphylococcus aureus at 1st, 4th, 7th, and 11th day. All data were analyzed with
descriptive semiquantitative method. Scoring results show that the first week of
wounds treated with piper betle leaves ethanol extract had shown proliferative
phase, while the second week treated with betle leaves extract had shown
maturation phase. Wound treated with Piper betle leaves extract were healed
better than others in the first week. Bassed on the results, Piper betle leaves
extract can be used to heal bacterial wound in the skin.
Keywords : extract, betel leaf, wound healing, Staphylococcus aureus.

AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU(Piper
betle Linn.) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA
INFEKSI Staphylococcus aureus PADA TIKUS

IRENE FIRMINATHA ALFARES


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Institut pertanian Bogor

KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.)
dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus
pada Tikus
Nama
: Irene Firminatha Alfares
NIM
: B04080081


Disetujui oleh

Bayu Febram Prasetyo, Msi Ssi Apt
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh H Agus Setyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Aktivitas Ekstrak Etanol
Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) dalam Proses Persembuhan Luka Infeksi
Staphylococcus aureus pada Tikus” telah diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Bayu Febram Prasetyo, Msi Ssi
Apt dan drh Mawar Subangkit sebagai dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan ilmu dan menyediakan waktunya untuk membimbing penulis.
Disamping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pak Kasnadi,
pak Endang, pak Soleh, Bibi yang telah membantu selama penelitian berlangsung.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta, ayah
Thomas Alfares, ibu Martha Retong, Sr. Renatha, kakak Anita, adik Rina Alfares
dan Rischa Alfares atas cinta, doa, dan dukungannya. Terima Kasih penulis
ucapkan kepada sahabat-sahabat (Cece, Zani, Eva, Keisya, Arini, Yayuk) dan
teman-teman Avenzoar 45 atas kebersamaannya.
Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan
selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013
Irene Firminatha Alfares

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sirih

2

Luka

4

Infeksi

5


METODE

6

Bahan dan Alat

6

Perlakuan pada Tikus

7

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

8
18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Hasil evaluasi gambaran patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan
keberadaan netrofil luka tikus pada minggu pertama.
2 Hasil evaluasi gambaran patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan
keberadaan netrofil luka tikus pada minggu kedua

10
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Penyebaran sirih di dunia
Tahap persembuhan luka
Jadwal penelitian
Kandang tikus berbahan dasar plastik yang diberi panggung dan tikus
yang diberi elizabeth collar
Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama
Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu pertama
Gambaran keberadaan netrofil pada luka
Diagram persembuhan luka tikus pada minggu kedua
Patologi anatomi luka tikus pada minggu kedua
Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu kedua

3
5
8
9
11
12
13
15
16
17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aktivitas yang dilakukan baik oleh hewan maupun manusia seringkali
menimbulkan luka pada permukaan kulit. Hal ini dikarenakan kulit merupakan
lapisan terluar dari tubuh yang berfungsi sebagai pelindung tubuh. Luka
merupakan hilangnya integritas kulit sebagai bagian pelindung utama dari tubuh
yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi jaringan normal (Enoch dan
John 2008). Kehilangan integritas kulit ini dapat membuka jalan bagi bakteri
untuk masuk ke dalam tubuh sehingga memperlambat proses persembuhan luka.
Menurut Harahap (2002) salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada
luka adalah bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi oleh bakteri yang terjadi pada
luka kulit biasanya menimbulkan nanah, kemerahan dan bengkak di sekeliling
luka, terjadi peningkatan suhu, dan sakit jika disentuh.
Secara umum luka pada kulit biasanya diberi obat kimia yang mengandung
ekstrak plasenta atau antibiotik. Obat untuk persembuhan luka ini masih menjadi
pilihan utama di pasaran karena efek penyembuhan yang dapat dirasakan
langsung dan mudah diperoleh. Namun harga yang semakin tinggi dengan ukuran
yang minimalis sangat memberatkan masyarakat. Saat ini masyarakat dunia
khususnya masyarakat Indonesia sudah mulai mengutamakan penggunaan obat
secara alami (back to nature). Obat yang berasal dari alam ini diminati karena
memiliki harga yang relatif terjangkau dan sedikit menimbulkan efek samping.
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman tanaman.
Kardono et al. (2003) menyatakan bahwa Indonesia memiliki 25.000-30.000 jenis
tanaman dan sekitar 6.000 diantara jenis tanaman tersebut memiliki potensi untuk
dijadikan tanaman obat (herbal medicine). Dengan semakin berkembangnya obat
herbal dan ditambah dengan gema back to nature telah meningkatkan popularitas
obat herbal.
Salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat herbal adalah sirih.
Secara tradisional, daun sirih telah digunakan untuk menyembuhkan mata merah
atau iritasi dan menghentikan perdarahan akibat mimisan dengan menggulung
daun sirih menyerupai rokok dan ujungnya yang runcing dimasukkan ke dalam
lubang hidung. Sirih merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis, mudah
didapat, dan memiliki harga yang terjangkau. Sirih mengandung 4.2 % minyak
atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol,
karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpran, dan tanin (Moeljanto 2003). Minyak
atsiri yang terkandung dalam daun sirih digunakan sebagai antibakteri sehingga
dapat mencegah berkembangnya bakteri pada luka. Minyak atsiri dapat
menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Escherichia coli,
Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pasteurella, dan dapat
mematikan Candida albicans (Agusta 2000, Hariana 2007). Selain itu, menurut
Shetty dan Vijayalaxmi (2012) kandungan daun sirih terdiri dari alkaloid, steroid,
tanin, fenol, saponin, flavonoid, dan asam amino. Tanin, Saponin, dan flavonoid
yang terkandung dalam sirih berfungsi sebagai antimikroba dan merangsang
pertumbuhan sel-sel baru pada luka.

2
Daun sirih juga mengandung saponin (Widayat et al. 2008 dalam Wardani
2009) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan
dalam proses reepitelisasi. Senyawa saponin juga dapat bekerja sebagai
antimikroba dengan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan kajian secara ilmiah
mengenai efektivitas ekstrak sirih sebagai obat luka infeksi bakteri yang murah
dan aman.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efektivitas sirih
sebagai obat persembuhan luka infeksi bakteri dengan melihat gambaran
makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan
ekstrak etanol daun sirih sebagai obat luka infeksi bakteri dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Sirih
Sirih merupakan tanaman herbal paranial, berdaun tunggal dengan letak
daun alternet, bentuk bervariasi dari bundar telur sampai oval, ujung runcing,
pangkal daun berbentuk jantung, dan agak bundar asimetris (Rosman dan
Suhirman 2006). Berdasarkan jurnal Adate et al. 2012, tanaman ini termasuk
dalam famili Piperaceae dengan superordo Nymphaeiflloraea, ordo Piperales, dan
genus Piper. Sirih merupakan tanaman yang dapat dijumpai di daerah Sri Lanka,
India, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Timur Afrika.

Gambar 1 Penyebaran sirih di dunia
(Kumar et al. 2010)

Syukur dan Hernani (2002) mendeskripsikan tanaman sirih sebagai tanaman
menjalar dan merambat dibatang pohon di sekelilingnya dengan batang lunak,

3
bentuk bulat, beruas-ruas, beralur-alur, berwarna hijau abu-abu. Letak daun
berseling, bentuk bervariasi dari bundar sampai oval, ujung runcing, pangkal
berbentuk jantung atau bundar asimetris, tepi rata, permukaan rata, dan
pertulangan menyirip. Warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, dan
bau aromatis.
Menurut Kumar et al. (2010) senyawa aktif yang dapat diisolasi dari daun
sirih antara lain hidroksikavikol, alipirokatekol, kavibetol, piperbetol,
metilpiperbetol, piperol A, dan piperol B. Kandungan senyawa aktif ini
mempunyai fungsi sebagai antiinflamatori, antikanker, dan imunomodulatori.
Menurut Shetty dan Vijayalaxmi (2012) daun sirih terdiri dari alkaloid, steroid,
tanin, fenol, saponin, flavonoid, dan asam amino. Fenol memberikan bau khas
daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari fenol biasa
(Moeljanto 2003). Tanin, saponin, dan flavonoid yang terkandung dalam sirih
berfungsi sebagai antimikroba dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada
luka.
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar sehingga
mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton.
Flavonoid berfungsi sebagai antialergi, antikanker, dan antiinflamasi. Sedangkan
tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi
sebagai antioksidan kuat, antikanker, dan antiinflamasi. Tanin juga dikenal
sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tanin yang utama yaitu
sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam
kosmetika atau estetika (Olivia et al. 2004). Tanin dalam konsentrasi rendah dapat
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin
bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan
protoplasma kuman karena terbentuk ikatan yang stabil dengan protein kuman.
Sirih juga mengandung 4.2 % minyak atsiri yang terdiri dari hidroksikavikol,
kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen,
fenilpran, dan tanin (Moeljanto 2003). Minyak atsiri dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis bakteri antara lain Escherichia coli, Salmonella sp,
Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pasteurella, dan dapat mematikan Candida
albicans (Agusta 2000, Hariana 2007). Selain itu, sirih mengandung saponin
(Widayat et al. 2008 dalam Wardani 2009) yang memacu pembentukan kolagen,
yaitu protein struktur yang berperan dalam proses persembuhan luka. Saponin
juga bersifat sebagai imunostimulator yang menggertak tanggap kebal inang
sehingga mempercepat proses kontraksi dan reepitelisasi.
Luka
Luka pada kulit didefinisikan sebagai hilangnya integritas kulit sebagai
bagian pelindung utama dari tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan
fungsi jaringan normal (Enoch dan John 2008). Menurut Alam et al. (2011) luka
diklasifikasikan berdasarkan fisiologis persembuhan dan penyebab terbentuknya
luka. Berdasarkan fisiologis persembuhan, luka dibagi menjadi luka akut dan luka
kronis. Luka akut adalah cedera jaringan yang biasanya melalui proses reparasi
dan mengalami persembuhan yang cepat baik secara anatomi maupun integritas
fungsionalnya. Luka akut biasanya disebabkan oleh pemotongan atau bedah
sayatan. Sedangkan luka kronis adalah luka yang telah gagal melalui tahap

4
persembuhan normal dan merupakan suatu keadaan patologis, memerlukan waktu
persembuhan yang lama. Penyebab luka kronis adalah infeksi lokal, hipoksia,
trauma, benda asing, dan masalah sistemik seperti diabetes melitus, malnutrisi,
imunodefisiensi atau obat-obatan (Menke et al. 2007).
Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi luka terbuka dan luka
tertutup. Luka terbuka adalah keluarnya darah dari dalam tubuh yang terlihat
dengan jelas. Contoh luka terbuka adalah luka gores, laserasi atau luka robek, luka
tusuk, dan luka tembak. Luka tertutup adalah keluarnya darah dari sistem
peredaran darah tetapi masih berada di dalam tubuh. Contohnya adalah luka
memar dan hematom (Alam et al. 2011).
Mekanisme persembuhan luka merupakan proses regenerasi yang tidak
hanya terjadi secara lokal tetapi juga dipengaruhi faktor endogen dan faktor
eksogen (Sedlarik 2004). Mekanisme persembuhan luka terbagi atas tiga fase
yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Fase inflamasi
menyebabkan luka membengkak dan sakit, sehingga gerakan menjadi terbatas.
Fase proliferasi membangun kembali struktur dan tahap maturasi memberikan
bentuk akhir.
Fase awal adalah fase inflamasi yang dimulai segera setelah cedera dan
biasanya berlangsung antara 24 - 48 jam, namun untuk beberapa kasus luka dapat
bertahan hingga dua minggu. Pada fase ini terjadi respon vaskular yang terlihat
dengan adanya perubahan pada pembuluh darah, perubahan aliran darah,
diapedesis dari eritrosit dan respon seluler yang terlihat berupa adanya
peningkatan aktivitas dari leukosit. Fase ini juga ditandai dengan adanya
vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk mendorong pembekuan darah
kemudian vasodilatasi dan fagositosis untuk menghasilkan peradangan pada luka
(Li et al. 2007). Gejala klinis yang teramati berupa tanda-tanda peradangan yaitu
rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsi laesa.
Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang diikuti oleh
melambatnya sirkulasi darah. Kejadian ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular sehingga keluarnya protein plasma ke jaringan interstitial
dan membentuk edema. Vasodilatasi juga menyebabkan terjadinya migrasi
netrofil dan monosit ke jaringan luka. Netrofil merupakan pertahanan pertama
terhadap infeksi dan memfagositosis debris serta mikroorganisme (Mackay dan
Miller 2003). Migrasi netrofil akan berhenti jika tidak terjadi kontaminasi. Jika
fase inflamasi berlanjut yang disebabkan oleh hipoksia, infeksi, malnutrisi,
penggunaan obat maka monosit akan dikonversi menjadi makrofag yang
membunuh bakteri, memfagositosis debris dan menghancurkan netrofil yang
masih tersisa. Selain itu, fungsi makrofag juga untuk mensintesis kolagen,
pembentukan jaringan granulasi, memproduksi growth factor yang berperan
dalam reepitelisasi, dan pembentukan neovaskularisasi atau angiogenesis.
Fase kedua adalah fase proliferasi. Pada fase ini proses persembuhan luka
yang berlangsung dua hari sampai tiga minggu setelah fase inflamasi. Fase ini
terdiri dari tiga tahap yaitu granulasi, kontraksi, dan epitelialisasi (Perdanakusuma
2008). Dalam tahap granulasi, fibroblas membentuk kolagen dan terbentuk kapiler
baru. Fibroblas menghasilkan berbagai zat penting untuk perbaikan luka, termasuk
glikosaminoglikan dan kolagen. Kemudian langkah kontraksi, menarik tepi luka
bersama-sama untuk mengurangi cacat pada jaringan epitel. Tahap ketiga yaitu
epitelialisasi terbentuk selama luka.

5
Fase terakhir adalah fase maturasi. Fase ini berlangsung selama tiga minggu
sampai dua tahun. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya
jaringan baru. Kolagen baru terbentuk dalam fase ini dan terjadi cross-linking
kolagen antar molekul. Bekas luka merata dan jaringan bekas luka menjadi seperti
aslinya.

Gambar 2 Tahap persembuhan luka
(Goldstein et al. 2005)

Ada 2 faktor yang mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu faktor
lokal dan general. Faktor lokal meliputi suplai pembuluh darah yang kurang,
denervasi, hematoma, infeksi, iradiasi, stres mekanik, teknik bedah, irigasi,
elektrokoagulasi, suture materials, dressing materials, antibiotik, dan tipe
jaringan. Faktor general meliputi usia, anemia, obat-obat anti peradangan, diabetes
melitus, hormon, infeksi sistemik, jaundice, penyakit menular, malnutrisi,
obesitas, temperatur, trauma, hipovolemia, hipoksia, uremia, vitamin C dan A,
serta trace metals (Perdanakusuma 2008).

Infeksi
Infeksi merupakan hadirnya berbagai mikroorganisme dalam luka yang
ditandai dengan gejala klinis sehingga dapat mengganggu proses persembuhan
luka (Kingsley 2001). Infeksi luka terjadi ketika mikroorganisme mengalahkan
pertahanan host dan adanya faktor lingkungan yang mendukung terjadinya
proliferasi mikroba. Hal ini mengakibatkan persembuhan luka akan tertunda
(Green 2012). Menurut Patel (2010) infeksi yang terjadi pada luka memiliki gejala
yang khas yaitu adanya pireksia atau febris, odema, sakit, peningkatan eksudat,
gangguan persembuhan luka, dan diskolorasi jaringan granulasi. Infeksi yang
terjadi pada luka dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: besar dan
kedalaman luka, jenis luka, lokasi luka pada tubuh, ada penyakit vaskular,
malnutrisi, diabetes melitus, adanya benda asing, radioterapi, dan keadaan

6
imunosupresi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh Streptococcus sp.,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Candida sp., Aspergilus sp.,
dan Proteus sp. (Collier 2004). Menurut Stephens et al. (2003) bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sering ditemukan pada luka.
Bakteri ini diperkirakan hadir dalam jaringan lebih dari 50% pada luka kronis.
Efek umum dengan hadirnya bakteri adalah penurunan kemotaksis dan deplesi
platelet, fungsi leukosit akan terganggu, peningkatan metabolit vasikonstriksi
dapat menyebabkan keadaan hipoksia sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2012 di kandang
hewan dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan antara lain kandang tikus yang diberi panggung,
elizabeth collar, syringe, balok kayu berukuran 1x1 cm2, dan mikroskop cahaya.
Bahan-bahan yang digunakan adalah tikus jantan, ekstrak etanol daun sirih,
akuades, eter, ketamin dan xylazine, magnesium sulfat (MgS04), Neutral Buffered
Formaldehyde (NBF) 10%, Staphylococcus aureus atcc 6538 105 cfu/ml, metanol,
Giemsa, dan obat luka komersil.

Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan strain
Sprague-Dawley (SD) sebanyak 9 ekor yang berumur ± 2 bulan dengan bobot
badan 150-200 gram.

Ekstraksi Tanaman Obat
Ekstrak daun sirih dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (Balittro) dan didapatkan ekstrak dengan berat 31 gram dari 1 kg daun sirih
kering. Prosedur pembuatan ekstrak yaitu sortasi, pengeringan, pencacahan,
ekstraksi menggunakan etanol 70%, dan dievaporasi (BPOM 2005).

Perlakuan pada Tikus

7
Tikus dipelihara di kandang hewan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Tikus diberi pakan dan minum secara ad libitum dan
dilakukan aklimatisasi dengan tujuan untuk menyamaratakan kondisi dari setiap
tikus.
Perlukaan pada tikus dilakukan dengan menganastesi tikus menggunakan
ketamin dan xylazine secara intraperitoneal. Kemudian rambut di daerah
punggung digunting sampai bersih dan dilukai berbentuk kotak berukuran 1x1
cm2 sebanyak 4 luka. Keadaan infeksi luka dilakukan dengan meneteskan bakteri
Staphylococcus aureus atcc 6538 sebanyak 0.1 ml pada hari ke 1, ke 4, ke 7, dan
ke 11.
Keempat luka diberikan perlakuan berbeda yaitu pemberian ekstrak sirih,
pemberian salep komersil, pemberian akuades, dan kontrol. Pemberian ekstrak
sirih dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya menggunakan kapas
steril sampai hari ke 14 pasca perlukaan sebanyak 2 kali sehari.

Pembuatan Preparat Sentuh
Gelas objek ditempelkan pada permukaan luka tikus, direndam dalam
metanol selama 5 menit kemudian diangkat dan dikeringkan. Preparat
dibenamkan dalam larutan Giemsa selama 25 menit, dimasukkan kedalam
inkubator 45.7-45.8 oC, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pembuatan
preparat sentuh dilakukan pada hari ke 3 dan hari ke 10.

Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel luka dilakukan pada hari ke 7 dan ke 14 pasca
perlukaan dengan mengambil empat ekor tikus pada pengambilan pertama dan
lima ekor tikus pada pengambilan kedua. Tikus dianastesi menggunakan eter dan
diinjeksi dengan magnesium sulfat secara intrakardial. Kulit di daerah punggung
digunting dan direndam dalam NBF 10%.

Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampel organ yang telah difiksasi mengunakan NBF 10% dipotong dan
dimasukkan ke dalam keranjang jaringan kemudian didehidrasi menggunakan
etanol bertingkat, dijernihkan dengan xylene, dan dimasukkan ke dalam parafin
cair dengan tujuan agar jaringan terisi oleh parafin. Pembuatan blok dilakukan
dengan cara membenamkan sample organ ke dalam parafin cair dan didinginkan
dengan suhu 5 oC. Blok dipotong setebal ± 3-5 µm menggunakan mikrotom dan
ditempelkan pada gelas objek kemudian diwarnai.
Pewarnaan Haematoxylin Eosin diawali dengan deparafinisasi dalam
inkubator dengan suhu 57-58 oC dan dibersihkan dengan 3 larutan xylene
selanjutnya dihidrasi menggunakan etanol (100%, 96%, dan 70%). Kemudian
preparat dibilas dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam larutan Mayer’s
Haematoksilin, dibilas kembali dengan air mengalir, dicuci dengan lithium

8
carbonate, dan dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dicelupkan ke
dalam pewarna Eosin. Preparat kemudian dicelupkan ke dalam etanol bertingkat
mulai 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Terakhir, preparat dimasukkan dalam
empat larutan xylene. Dibiarkan mengering dan ditetesi PermountTM kemudian
ditutup dengan cover glass.

Gambar 3 Jadwal penelitian.

Parameter yang Diamati
Pengamatan patologi anatomi yaitu dengan mengukur luas luka pada hari
pertama dan hari ke 14 serta melihat keadaaan luka. Pengamatan histopatologi
menggunakan metode skoring dengan melihat proses persembuhan yang telah
dilewati oleh luka tersebut. Pengamatan preparat sentuh dilakukan dengan melihat
keberadaan netrofil.

Analisis Data
Data pengamatan patologi anatomi, histopatologi, dan preparat sentuh
dianalisis dengan metode deskriptif semikuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Luka pada kulit didefinisikan sebagai hilangnya integritas kulit sebagai
bagian pelindung utama dari tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan
fungsi jaringan normal (Enoch dan John 2008). Berdasarkan penyebabnya, luka
tikus pada penelitian ini termasuk dalam luka terbuka yaitu keluarnya darah dari
dalam tubuh yang terlihat dengan jelas. Luka dibuat pada punggung tikus tetapi
tidak mengenai otot. Setiap tikus mendapat perlakuan empat luka pada daerah
punggung. Hal ini bertujuan agar menghindari respons individual dari tikus dan
meminimalkan penggunaan hewan coba. Tikus dipelihara dalam kandang
panggung agar tidak secara langsung menyentuh sekam yang tercemar urin dan
feses serta tikus diberi elizabeth collar yang dibuat dari kertas film. Hal ini
dilakukan agar meminimalisir terjadinya infeksi bakteri dari lingkungan terhadap
luka.

9

Gambar 4 Kandang tikus berbahan dasar plastik yang diberi panggung dengan ukuran 30x15 cm
(gambar A dan B) dan tikus yang diberi elizabeth collar untuk menghindari tikus
menjilati luka (gambar C dan D).

Penelitian aktivitas ekstrak daun sirih dalam proses persembuhan luka
infeksi bakteri ini menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan pertimbangan
cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, mudah diusahakan, dan
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Pelarut yang digunakan adalah etanol
70% karena kapang dan kuman sulit tumbuh dan lebih selektif. Penggunaan
pelarut etanol juga bertujuan agar golongan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin
yang terkandung dalam daun sirih terikat dengan gula membentuk glikosida
sehingga larut dalam pelarut polar seperti etanol (Sastroamijoyo 1967).
Pengamatan luka pada penelitian ini dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan menghitung luas
luka menggunakan MacBiophotonic ImageJ® (National Institute of Mental
Health) dan mengamati keadaan luka. Sedangkan pengamatan mikroskopis
dilakukan dengan melihat keberadaan netrofil pada preparat sentuh dan
melakukan skoring gambaran histopatologi menggunakan mikroskop cahaya.
Pada pengamatan gambaran histopatologi luka dilakukan dengan melihat rata-rata
kualitas luka dari setiap ulangan menggunakan preparat yang diwarnai dengan
pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Kualitas luka dilihat dengan mengamati lesiolesio yang terjadi pada daerah luka yaitu pendarahan, kongesti, adanya sel radang,
pembentukan epitelisasi, neovaskularisasi, adanya fibroblas dan kontraksi pada
luka, dan pembentukan folikel rambut serta kelenjar sebaceous. Lesio ini
digunakan untuk menentukan proses persembuhan luka yang sudah dilalui oleh
masih-masing luka.

10
Menurut Reddy et al. (2002) persembuhan luka merupakan mekanisme
kompleks yang melibatkan proses peradangan, koagulasi, pembentukan jaringan
granulasi, pembentukan matriks, remodelling jaringan ikat, dan kolagenasi. Proses
ini terdiri dari tiga tahap yaitu inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Pada tahap
inflamasi lesio yang diamati terdiri dari adanya pendarahan dan edema, sel radang,
terdapat keropeng dan pusat netrofil, serta sedikit fibroblas. Pada tahap proliferasi
parameter yang diamati adalah reepitelisasi mulai terjadi, terdapat fibroblas,
terjadi kontraksi pada luka, dan neovaskularisasi. Sedangkan pada tahap maturasi
parameter yang diamati adalah reepitelisasi terjadi sempurna, terbentuk folikel
rambut dan kelenjar sebaceous, dan kontraksi luka bagus.

Hasil Pengamatan Luka pada Minggu Pertama
Pada minggu pertama dilakukan pengamatan pada tiga parameter yaitu
pengamatan patologi anatomi, keberadaan netrofil pada luka, dan gambaran
mikroskopis yang diamati menggunakan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan
gambaran patologi anatomi, keberadaan netrofil, dan gambaran mikroskopis pada
minggu pertama disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Hasil evaluasi patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan
netrofil luka tikus pada minggu pertama.
Perlakuan

Patologi Anatomi

Netrofil

Kering

Basah

Kontrol

Luas
(mm2)
100±0

0/9

9/9

Sirih

100±0

0/9

Salep

100±0

Akuades

100±0

Gambaran Mikroskopis

Skoring

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

0/9

33.33%

50%

16.67%

1.83

9/9

5/9

40%

40%

20%

1.8

0/9

9/9

4/9

75%

0

25%

1.5

0/9

9/9

0/9

0

50%

50%

2.5

Keterangan: Angka pembilang menunjukkan jumlah sampel yang positif (+). Angka penyebut
menunjukkan jumlah luka yang diamati. Keberadaan netrofil diamati pada hari ke-3.
Luas luka diamati pada hari pertama. Gambaran mikroskopis dan keadaan luka
diamati pada hari ke 7. Pada skoring mikroskopis angka 0-0.5 menunjukkan luka
belum sembuh, 0.6-1.5 menunjukkan luka inflamasi, 1.6-2.5 menunjukkan luka
proliferasi, dan 2.6-3 menunjukkan luka maturasi.

Hasil pengamatan secara patologi anatomi pada minggu pertama
menunjukkan luka pada setiap perlakuan masih dalam keadaan basah. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
keluarnya protein-protein plasma dan terakumulasi dalam pembuluh jaringan
interstitial (Tawi 2008). Pada gambaran mikroskopis terlihat hampir semua
perlakuan masih berada dalam tahap inflamasi dan proliferasi. Hal ini sesuai
dengan Keast dan Orsted (1998) yang menyatakan bahwa proses inflamasi terjadi
pada hari ke-1 sampai ke-4 dan tahap proliferasi yang mulai pada hari ke-4.

11
80%

Tahap persembuhan luka
pada minggu pertama

70%
60%

Kontrol

50%

Aquades

40%

Sirih

30%

Salep

20%

3
2.5

Hasil rata-rata skoring pada
minggu pertama

2
1.5
1

Rata-rata
skoring

0.5

10%
0%

0

Gambar 5 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu pertama

Hasil skoring gambaran histopatologi luka kulit tikus pada minggu
pertama menunjukkan bahwa luka yang diberi akuades memperlihatkan
persembuhan luka yang lebih baik yaitu telah mencapai tahap proliferasi dengan
rata-rata skoring histopatologi yaitu 2.5, diikuti oleh kontrol dan ekstrak sirih
yang juga berada pada tahap proliferasi dengan rata-rata skoring histopatologi
yaitu 1.83 dan 1.8 serta salep yang masih pada tahap inflamasi dengan rata-rata
skoring histopatologi yaitu 1.5. Tahap proliferasi terjadi pada kelompok luka
akuades diduga disebabkan oleh penetesan akuades pada luka dapat
membersihkan bakteri yang ada pada luka sehingga tahap persembuhan luka dapat
berjalan dengan normal. Luka yang diberi akuades juga menyebabkan luka dalam
keadaan lembab sehingga ujung epitel yang terkoyak luruh secara langsung dapat
difagosit oleh netrofil.
Luka yang diberi ekstrak sirih juga sudah mencapai awal tahap proliferasi.
Hal ini disebabkan oleh kandungan flavonoid, saponin, alkaloid, dan tanin yang
berfungsi sebagai antimikroba dan antiinflamasi sehingga tahap inflamasi terjadi
dalam waktu yang singkat (Shetty dan Vijayalaxmi 2012). Luka yang diberi salep
mengalami tahap inflamasi yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan kloramfenikol dalam salep
merupakan antibiotik yang berfungsi sebagai bakteristatik (Tjay dan Rahardja
2007) sehingga meningkatkan tahap inflamasi untuk melawan bakteri. Selain itu,
persembuhan luka dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yang
mempengaruhi proses persembuhan luka yaitu lingkungan yang bersih, nutrisi,
usia, dan imunitas (Perdanakusuma 2008).
Pada gambaran histopatologi dapat terlihat bahwa luka kelompok kontrol,
akuades, dan ekstrak sirih menunjukkan kualitas yang hampir sama yaitu telah
mencapai tahap proliferasi yang ditandai dengan reepitelisasi yang mulai terjadi,
terdapat fibroblas, dan adanya neovaskularisasi yang merupakan ciri khas pada
tahap proliferasi. Neovaskularisasi merupakan pembentukan buluh darah yang
baru. Keberadaan neovaskularisasi pada luka memiliki peranan yang penting
untuk memberikan asupan nutrisi dan oksigen bagi jaringan yang sedang
beregenerasi. Tunas-tunas pembuluh darah ini muncul disebabkan oleh aktivitas

12
mitosis pada sel-sel endotel pembuluh darah tertua diikuti oleh migrasi kearah
luka (Spector dan Spector 1993). Nayak (2006) menyatakan persembuhan luka
tergantung pada sirkulasi darah di daerah yang mengalami luka serta
pembentukan dan deposisi kolagen. Jumlah buluh darah yang baru dipengaruhi
oleh adanya makrofag yang berfungsi mensintesis faktor angiogenesis.

Gambar 6 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu pertama. (A) tahap proliferasi pada luka
kontrol, (B) tahap proliferasi pada luka akuades, (C) tahap proliferasi pada luka sirih,
(D) tahap inflamasi pada luka salep. Kotak menunjukkan pembentukan buluh darah
baru dan tanda panah menunjukkan kumpulan netrofil.

Luka yang diberi salep pada minggu pertama masih menunjukkan tahap
inflamasi yang ditandai dengan adanya titik-titik perdarahan, edema, adanya sel
radang dalam jumlah besar, dan masih terlihat kumpulan netrofil. Sel radang yang
dapat ditemui pada gambaran histopatologi yaitu netrofil, makrofag, dan limfosit.
Limfosit merupakan sel darah putih yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh.

13
Sel limfosit melepaskan limfokin yang berfungsi untuk merangsang agregasi
makrofag dan juga sebagai chemoattractant bagi makrofag.

Gambar 7 Gambaran keberadaan netrofil pada luka. (A) runtuhan epitel pada luka kontrol,
(B)runtuhan epitel pada luka akuades, (C) netrofil pada preparat sentuh luka sirih, (D)
netrofil pada preparat sentuh luka salep. Lingkaran menunjukkan proses fagositosit
dan koloni bakteri.

Netrofil merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi bakteri dan
berfungsi memfagositosis sel debris serta mikroorganisme. Oleh karena itu
netrofil sering disebut sebagai pertahanan seluler yang pertama. Cara kerja netrofil
dalam memberikan respon imun adalah dengan menggunakan enzim lisosom yang
dapat mencerna dinding sel bakteri. Sebuah sel netrofil dapat memfagosit 5-20

14
bakteri sebelum sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton dan Hall
1997). Pengamatan keberadaan netrofil pada preparat sentuh yang diwarnai
dengan pewarnaan Giemsa memperlihatkan luka yang diberi akuades dan kontrol
ditemukan runtuhan-runtuhan epitel (Gambar 7) sedangkan luka yang diberikan
salep dan ekstrak sirih menunjukkan hasil yang positif dimana adanya netrofil.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses fagositosis bakteri yang lebih cepat
dibandingkan dengan luka kontrol dan luka akuades.
Hasil evaluasi luka pada kulit tikus baik secara histopatologi dan
keberadaan netrofil pada minggu pertama menunjukkan bahwa ekstrak sirih
mempunyai efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Hal ini ditunjukkan dengan tahap inflamasi yang berlangsung dengan cepat tetapi
memiliki efikasi yang sama dengan obat salep. Efektivitas ekstrak sirih ini diduga
diakibatkan oleh kandungan senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan alkaloid yang
berfungsi sebagai antimikroba dan antiinflamasi, sehingga mempercepat
peradangan dan meningkatkan netrofil pada luka.

Hasil pengamatan luka pada minggu kedua
Pada minggu kedua dilakukan pengamatan pada tiga parameter yaitu
patologi anatomi luka, skoring gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil
pada preparat sentuh yang diwarnai oleh Giemsa. Hasil pengamatan luas patologi
anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan netrofil pada minggu kedua
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Hasil evaluasi patologi anatomi, gambaran mikroskopis, dan keberadaan
netrofil luka tikus pada minggu kedua.
Perlakuan

Patologi Anatomi

Netrofil

Luas (mm2)

Kering

Basah

Kontrol

9.026±5.30

5/5

0/5

Sirih

13.138±7.89

5/5

Salep

8.686±5.01
34.848±28.89

Akuades

Gambaran Mikroskopis

Skoring

Inflamasi

Proliferasi

Maturasi

0/5

42.86%

28.57%

28.57%

1.85

0/5

0/5

0

11.11%

88.89%

2.89

5/5

0/5

0/5

0

0

100%

3

3/5

2/5

2/5

57.14%

14.28%

14.28%

1.71

Keterangan: Angka pembilang menunjukkan jumlah sampel yang positif (+). Angka penyebut
menunjukkan jumlah luka yang diamati. Keberadaan netrofil diamati pada hari ke-10.
Luas luka, gambaran mikroskopis, dan keadaan luka diamati pada hari ke 14. Pada
skoring mikroskopis angka 0-0.5 menunjukkan luka belum sembuh, 0.6-1.5
menunjukkan luka inflamasi, 1.6-2.5 menunjukkan luka proliferasi, dan 2.6-3
menunjukkan luka maturasi.

Pada minggu kedua gambaran mikroskopis luka yang diberi ekstrak sirih
dan salep dominan berada pada tahap maturasi sedangkan luka kontrol dan luka
akuades dominan berada pada fase inflamasi dan proliferasi. Hal ini disebabkan
oleh kandungan dalam salep dan daun sirih dapat mempercepat proses
persembuhan luka. Hasil pengamatan patologi anatomi memperlihatkan bahwa
kelompok luka yang diberi akuades mempunyai luasan tertinggi, kelompok luka

15
yang diberi ekstrak sirih berada pada urutan kedua diikuti kontrol dan salep.
Sedangkan berdasarkan pengamatan gambaran histopatologi terlihat bahwa luka
yang diberi salep memperlihatkan hasil yang lebih baik diikuti luka yang diberi
ekstrak sirih, kontrol, dan akuades. Kandungan kloramfenikol dalam salep
mempunyai mekanisme kerja yaitu menghambat sintesa protein bakteri (Tjay dan
Rahardja 2007). Keadaan ini menyebabkan bakteri dapat dieliminasi dengan cepat
sehingga proses reepitalisasi luka terjadi lebih cepat. Pada luka yang diberi
ekstrak sirih mempunyai luasan luka yang kurang bagus secara makroskopis tetapi
mempunyai kualitas yang sama dengan luka salep. Hal ini menunjukkan bahwa
luka yang mengecil secara makroskopis belum tentu mempunyai kualitas luka
yang baik secara mikroskopis.

Tahap persembuhan luka
pada minggu kedua

120%
100%

80%
60%

Kontrol

3.5
3

Hasil rata-rata skoring
pada minggu kedua

2.5

Aquades
2
Sirih
Salep

1.5

40%

Rata-rata
skoring

1
20%
0.5
0%
0

Gambar 8 Diagram persembuhan luka tikus pada minggu kedua

Pada pengamatan keberadaan netrofil, luka akuades yang diberi akuades
memperlihatkan hasil positif. Pemberian akuades pada luka menyebabkan luka
dalam keadaan lembab sehingga jaringan yang rusak karena perlukaan lebih
mudah luruh. Jaringan luka yang luruh dapat merangsang datangnya netrofil untuk
memfagositosit luruhan sel-sel tersebut. Selain itu, luka yang diberi akuades
menciptakan lingkungan yang lembab pada luka dan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri sehingga merangsang datangnya netrofil untuk
memfagositosit bakteri tersebut.

16

Gambar 9 Patologi anatomi luka tikus pada minggu kedua

Pada gambaran mikroskopis menunjukkan bahwa luka yang diberi salep
dan ekstrak sirih telah mencapai tahap maturasi yang ditandai dengan adanya
pembentukan folikel rambut dan kelenjar sebaceous dan daerah luka mulai
mengecil. Daerah luka yang mulai mengecil disebabkan oleh adanya fibroblas
yang terlihat seperti garis-garis berwarna ungu pada preparat yang diwarnai
dengan Hematoxylin-Eosin. Semakin banyaknya jaringan ikat pada luka, semakin
besar daya kontraksi luka sehingga sisi luka akan tertarik dan menyebabkan besar
luka menjadi mengecil. Pada luka yang diberi akuades masih dalam tahap
proliferasi dimana masih terlihat adanya keropeng dan kumpulan netrofil. Luka
yang selalu ditetesi akuades akan menyebabkan luka tetap dalam keadaan basah
sehingga keropeng yang terbentuk akan menjadi lunak dan mudah hancur
sehingga dapat memanggil sel-sel radang untuk memfagositnya. Hal ini didukung
oleh keadaan patologi anatomi yang masih basah dan keberadaan netrofil pada
preparat sentuh yang diwarnai dengan Giemsa.

17

Gambar 10 Gambaran mikroskopis luka tikus pada minggu kedua. (A) tahap proliferasi pada luka
kontrol, (B) tahap proliferasi pada luka akuades, (C) tahap maturasi pada luka sirih,
(D) tahap maturasi pada salep. Kotak menunjukkan kontraksi luka.

Secara makroskopis luas luka yang diberi ekstrak sirih menunjukkan sedikit
perubahan pada minggu pertama dan minggu kedua. Tetapi perubahan luas luka
yang terjadi tidak lebih bagus dibandingkan pemberian obat salep. Pada gambaran
histopatologi menunjukkan bahwa pada minggu pertama kualitas luka yang diberi
ekstrak sirih menunjukkan hasil yang baik dimana pada minggu pertama luka
yang diberi ekstrak sirih telah mengalami tahap proliferasi. Hal ini menunjukkan
bahwa ekstrak sirih mampu mempercepat tahap inflamasi karena mempunyai
kandungan flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin yang berfungsi sebagai
antimikroba dan antiinflamasi (Shetty dan Vijayalaxmi 2012). Sedangkan pada
minggu kedua, gambaran histopatologi luka yang diberi ekstrak sirih telah
mencapai tahap maturasi. Hal ini tidak berbeda jauh dengan luka yang diberi salep
yang juga telah mencapai tahap maturasi. Pengamatan keberadaan netrofil luka
yang diberi ekstrak sirih pada minggu pertama menunjukkan adanya netrofil yang
tinggi. Hal ini menunjukkan adanya proses fagositosis yang cepat sehingga dapat
mempercepat proses inflamasi.

18
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penggunaan ekstrak
sirih sebagai obat luka infeksi bakteri mempunyai efektivitas lebih baik pada
minggu pertama dibandingkan dengan obat salep karena ekstrak sirih dapat
mempercepat tahap inflamasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin, flavonoid,
saponin, dan alkaloid yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan antibakteri.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan pengambilan kulit
secara berkala yaitu pada hari 1, 3, 5, 7 dan ke 14.

DAFTAR PUSTAKA
Adate PS, Parmesawaran S, Chauhan Y. 2012. In vitro anthelmintic activity of
stem extracts of Piper betle linn. against Pheritima posthuma.
Pharmacognosy Journal. 4(29): 61-66.
Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: ITB Press.
Alam G, Singh MP, Singh A. 2011. Wound healing potential of some medicinal
plants. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and
Research. 9(1): 136-145.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Monografi Ekstrak
Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1. Jakarta: BPOM RI
Collier M. 2004. Recognition and management of wound infections.
http://www.worldwidewounds.com/2004/january/Collier/Management-ofWound-infections.html [11 September 2012].
Enoch S dan John LD. 2008. Basic science of wound healing. Surgery (Oxford).
26(2):31-37.
Goldstein AL, Hannappel E, Kleinman HK. 2005. Thymosin β4: actinsequestering protein moonlights to repair injured tissues. Trends in
Moleculer Medicine. 11(9): 421-429.
Green B. 2012. Getting it right: wound assessment and management. Prof Nurs
Today. 16(1): 35-42.
Harahap M. 2002. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Ed ke-3. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Kardono LBS, N Artanti, ID Dewiyanti, T Basuki, K Padmawainata. 2003.
Selected Indonesian Medicinal Plants. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Keast DH dan Orsted HL. 1998. The basic principles of wound healing. originally
published. 44(8):24-30.

19
Kingsley A. 2001. A proactive approach to wound infection. Nurs Stand. 15(30):
50-58.
Kumar N, Misra P, Dube A, Bhattacharya S, Madhu D, Ranade S. 2010. Piper
betle Linn a maligned Pan-Asiatic plant with an array of pharmacological
activities and prospects for drug discovery. Current Science. 99(7): 922932.
Li J, Chen J, Kirsener R. 2007. Phatophysiology of acute wound healing. Clinics
in Dermatology. 25(1): 9-18.
Mackay D dan Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Altern
Med Rev. 8(4): 359-377.
Menke NB, Ward KR, Witten TM, Bonchev DG, Diegelmann RF. 2007. Impaired
wound healing. Clin Dermatol. 25: 19-25.
Moeljanto RD. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih: Obat Mujarab dari Masa ke
Masa. Jakarta :Agromedia Pustaka.
Nayak S. 2006. Influence of ethanol extract of Vinca rosea on wound healing in
diabetic rats. J of biological Sci. 6(2): 51-55.
Olivia F, Syamsir A, Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Patel S. 2010. Wound infection. Wound Essentials. 5 : 40-47.
Perdanakusuma GS. 2008. Anatomi fisiologi kulit dan penyembuhan. [Artikel].
http://www.surabayaplacticsurgery.blogspot.com/2008/05/.html.
[15
Februari 2012].
Reddy JS, Rao PR, Reddy MS. 2002. Wound healing effects of Heliotropium
indicum, Plumbago zeylanicum and Acalypha indica in rats. J
Ethnopharmacol. 79 (2): 51-249.
Rosman R dan Suhirman S. 2006. Sirih tanaman obat yang perlu mendapat
sentuhan teknologi budaya. Warta Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri. 12(1): 13-15.
Sastroamijoyo AS. 1967. Obat Asli Indonesia. PT Dian Rakyat. Hal 524-525.
Sedlarik KM. 2004. Wound healing. The self-harm support community.
http://www.recoveryourlife.net/Fun_Stuff/potw/19339.aspx. [15 Februari
2012].
Shetty S dan Vijayalaxmi KK. 2012. Phytochemical investigation of
extract/solvent fractions of Piper ningrum linn. seeds and Piper betle linn.
leaves. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 3(2): 344-349
Stephens P, Wall IB, Wilson MJ, Hill KE, Harding KG, Davies CE, Hill CM,
Thomas DW. 2003. Anaerobic cocci populating the deep tissue of chronic
wounds impair cellular wound healing responses in vitro. British Journal
of Dermatology. 148(3): 456-466.
Syukur C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka. [Artikel]. http://syehaceh. wordpress.com
[5 November 2012].
Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Wardani LP. 2009. Efek penyembuhan luka bakar gel ekstrak etanol daun sirih
(Piper betle) pada kulit punggung kelinci [skirpsi]. Surakarta: Universitas
Muhammahdiyah Surakarta.

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Maumere, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada tanggal 1 Mei 1990 dari Ayah Thomas Alfares dan Ibu
Martha Loran Retong. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis dibesarkan di