Pengelolaan organisme pengganggu tanaman pada budidaya tomat di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi serta nilai ekonominya

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN
PADA BUDIDAYA TOMAT DI KABUPATEN
BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI
SERTA NILAI EKONOMINYA

SATRIO HARJONO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK

SATRIO HARJONO. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman pada
Budidaya Tomat di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi serta Nilai
Ekonominya. Dibimbing oleh ALI NURMANSYAH dan GEDE SUASTIKA.
Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dalam budidaya tanaman
tomat ini dapat menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas produksi,
sehingga diperlukan tindakan pengendalian. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui praktek pengelolaan OPT pada budidaya tanaman tomat yang
dilakukan petani di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi serta menghitung
nilai ekonominya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei, yaitu
wawancara secara langsung dengan petani tomat dan melalui pengamatan
langsung di lapangan. Wawancara dilakukan secara perorangan dengan
mengajukan pertanyaan yang tersusun dalam satu paket kuisioner. Jumlah
responden sebanyak 60 petani, dipilih dari yang paling mudah dijumpai
(convenience sampling). Pengamatan OPT di lapangan meliputi pengambilan foto
hama dan gejala penyakit serta pengambilan hama dan sampel tanaman yang
sakit. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menghitung
persentase dan nilai rataan hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik yang
meliputi grafik lingkaran dan batang menggunakan program Microsoft Office
Excel 2007. Disamping itu, khusus data ekonomi dianalisis dengan rasio biayamanfaat (benefit–cost ratio). Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek
pengelolaan OPT pada budidaya tanaman tomat yang dilakukan petani di
Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi masih mengandalkan sepenuhnya pada
penggunaan pestisida kimia sintetis dengan frekuensi 5 hari sekali. Alasan utama
yang menjadi penyebabnya, yaitu untuk menjamin keberhasilan panen, lebih
ampuh dan cepat membunuh serangan OPT, sudah terbiasa sejak dahulu, dan
tidak mengetahui cara lain untuk mengendalikan OPT. Alternatif pengendalian
yang lebih ramah lingkungan seperti penggunaan musuh alami dan pestisida

botani masih sangat jarang dipraktekkan oleh petani tomat di wilayah penelitian.
Kurangnya minat petani terhadap pengendalian ramah lingkungan disebabkan
petani takut mengalami gagal panen dan hasilnya tidak langsung terlihat. Biaya
pengendalian yang dikeluarkan petani menyumbang 65% total biaya produksinya
dan keuntungan yang diperoleh petani dari hasil penjualan produksinya mencapai
130% dari total biaya produksi.

Kata kunci : Pengelolaan OPT, OPT tomat, nilai ekonomi

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN
PADA BUDIDAYA TOMAT DI KABUPATEN
BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI
SERTA NILAI EKONOMINYA

SATRIO HARJONO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman


DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Penelitian

: Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman pada
Budidaya Tomat di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi serta nilai ekonominya.

Nama Mahasiswa

: Satrio Harjono

NIM

: A34060178


Program Studi

: Proteksi Tanaman

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr.Ir. Ali Nurmansyah, MSi.
NIP. 19630212 199002 1 001

Dr.Ir. Gede Suastika, MSc.
NIP. 19620607 198703 1 003

Mengetahui,
Ketua Departemen

Dr.Ir. Dadang, MSc.

NIP. 19640204 199002 1 002

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Oktober 1988 di Tangerang, Banten.
Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Singgih
Harsoyo dan Tri Wahyuwulan.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal dari SMAN 1 Sindang di
Kabupaten Indramayu pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di
IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai
mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB pada tahun
2007. Selama di IPB penulis aktif di dalam BEM Fakultas Pertanian divisi
Kominfo (komunikasi dan informasi) periode 2007-2008 dan juga divisi Kajian
Strategis periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif di organisasi mahasiswa
daerah Ikatan Keluarga dan Mahasiswa Indramayu (IKADA) tahun 2006-2009.

PRAKATA


Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Pengelolaan
Organisme Pengganggu Tanaman pada Budidaya Tomat di Kabupaten Bogor,
Cianjur, dan Sukabumi serta Nilai Ekonominya” sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ali Nurmansyah, MSi dan
Dr. Ir. Gede Suastika, MSc yang telah banyak membimbing, membantu, serta
memberikan saran dan masukan kepada penulis selama melakukan penelitian
hingga penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Abdjad Asih
Nawangsih, MSi sebagai dosen penguji tamu atas saran dan masukannya dalam
penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga kepada para petani tomat di daerah
Bogor, Cianjur, dan Sukabumi atas partisipasinya sebagai responden.
Terima kasih kepada kedua orang tua (Singgih Harsoyo dan Tri
Wahyuwulan) dan semua keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, kasih
sayang, dan kesabaran. Terima kasih kepada Rr. Laras Anjarsari, Lara
Hikmahayati, Ahmad Sifa, Ahmad Faishol, Kristiana, dan Haryanto yang telah
membantu selama penelitian dan memberikan motivasi, serta teman-teman di
Departemen Proteksi Tanaman IPB terutama angkatan 43 dan OMDA Indramayu,
terima kasih atas doa dan motivasinya selama ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

pembaca, petani, pemerhati bidang pertanian, dan menjadi masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, 9 Agustus 2011

Satrio Harjono

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan Penelitian ..............................................................................
Manfaat Penelitian ............................................................................

1

2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Tomat ...............................................................................................
Hama Tanaman Tomat .....................................................................
Penyakit Tanaman ............................................................................
Pengendalian OPT ............................................................................
Analisis Usaha Tani ..........................................................................

3
3
5
8
9

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Analisis Data .....................................................................................


11
11
12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani dan Teknik Budidaya .......................................
Organisme Pengganggu Tanaman ....................................................
Tindakan Pengendalian .....................................................................
Analisis Ekonomi Pengendalian OPT ..............................................

13
15
19
20

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................
Saran .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

23
23

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Distribusi pengalaman berusahatani tomat pada ketiga kabupaten ...

13

2.

Distribusi tingkat pendidikan petani tomat .......................................

14


3.

Distribusi keikutsertaan petani dalam pelatihan pengendalian OPT

15

4.

Jenis OPT tanaman tomat berdasarkan hasil wawancara petani
(n = 60 petani) ...................................................................................

16

Gejala serangan ulat buah H. armigera (a), pengorok daun
Liriomyza sp. (b), dan imago kutukebul Bemisia tabaci (c) .............

17

Gejala penyakit layu Fusarium (a), klorosis (b), kuning (c),
bercak daun Alternaria (d), dan hawar daun (e) ...............................

19

7.

Alasan petani dalam penggunaan pestisida .....................................

20

8.

Biaya pengendalian OPT dan total biaya produksi selama satu

5.
6.

musim tanam .....................................................................................

20

9.

Hasil panen selama satu musim tanam .............................................

21

10.

Biaya produksi dan hasil panen per hektar selama satu musim tanam

22

11.

Nilai rasio biaya-manfaat usahatani tomat pada ketiga kabupaten ...

22

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tomat merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai prospek
pasar yang cerah. Hal ini terlihat dari meningkatnya konsumsi domestik terhadap
komoditas ini dari tahun ke tahun. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
konsumsi tomat nasional meningkat dari 1.25 kg perkapita pada tahun 2004
menjadi 22.32 kg perkapita pada tahun 2008 (BPS 2009). Meningkatnya
kebutuhan masyarakat terhadap buah tomat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti peningkatan jumlah penduduk, pendidikan, kesadaran gizi, dan
peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, kemajuan di bidang industri
pengolahan bahan makanan dan bidang transportasi juga memiliki peran yang
cukup penting terhadap besarnya permintaan buah tomat serta pemasarannya
(Cahyono 2008).
Produksi buah tomat di Indonesia secara kuantitas dan kualitas masih
rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produksi ini antara lain
kurangnya pemahaman petani mengenai teknis budidaya, adanya pemupukan
yang tidak seimbang, perubahan cuaca dan iklim yang ekstrim, dan adanya
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Cahyono 2008). Diantara semua
faktor tersebut, serangan OPT menjadi faktor pembatas utama dalam budidaya
tomat. Hama utama yang menyerang tanaman tomat adalah ulat buah
(Helicoverpa armigera), lalat pengorok daun (Liriomyza sp.), dan kutukebul
(Bemisia tabaci), sedangkan penyakit utamanya adalah bercak cokelat (Alternaria
solani), hawar daun (Phytophthora infestans), layu Fusarium (Fusarium
oxysporum), dan penyakit kuning (Geminivirus). Pada umumnya, serangan hama
dominan terjadi pada musim kemarau, sebaliknya serangan penyakit terjadi pada
musim hujan.
Serangan OPT yang melampaui ambang ekonomi dapat menimbulkan
kerugian besar pada petani sehingga diperlukan tindakan pengendalian. Salah satu
tindakan pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan
pestisida sintetis karena aplikasinya mudah dan praktis serta mampu

2
mengendalikan hama dan penyakit dalam waktu singkat. Intensitas pemakaian
pestisida tersebut meningkat terutama di musim hujan. Penggunaan pestisida yang
berlebihan, selain mahal juga dapat menimbulkan banyak dampak negatif seperti
timbulnya resistensi hama, resurjensi, hama sekunder, dan bahaya residu pada
bahan pangan. Petani tidak peduli terhadap efek samping negatif yang
ditimbulkan oleh aplikasi bahan kimia dari pestisida tersebut. Di lain pihak, cara
pengendalian OPT yang ramah lingkungan seperti pemanfaatan musuh alami
(predator dan parasitoid) dan agens antagonis sampai saat ini masih sangat rendah
penerapannya di lapangan. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi tentang hal
tersebut di tingkat petani dan belum tersedianya informasi tentang keefektifan dan
efisiensi serta nilai ekonomi dari alternatif cara pengendalian OPT tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek pengelolaan OPT pada
budidaya tanaman tomat yang dilakukan petani di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi serta menghitung nilai ekonominya.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini tentang
pengelolaan OPT oleh petani tomat di wilayah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Tomat (Lycopersicum esculentum)
Tomat adalah sayuran yang penting dan terkenal secara luas di semua negara
berkembang. Tomat termasuk dalam kelompok sayuran yang paling utama
berdasarkan wawancara

ilmuwan dalam sebuah studi yang dilansir TAC

(Technical Advisory Committee) dari CGIAR (Consultative Group on
International Agricultural Research) (AVRDC 1991). Dalam ilmu botani,
tanaman tomat (Lycopersicum esculentum) termasuk ke dalam famili Solanaceae
dan ordo Tubiflorae dari kelas Dicotyledonae dalam divisi Spermatophyta
(subdivisi Angiospermae).
Tanaman tomat termasuk tanaman semusim (berumur pendek), artinya
tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat
berbentuk perdu yang panjangnya mencapai ± 2 meter. Oleh karena itu tanaman
tomat perlu diberi penopang atau ajir dari turus bambu atau kayu agar tidak roboh
di tanah dan tumbuh secara vertikal (Rubatzky et al. 1999).
Jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah tanah
yang mengandung lempung (pH kisaran 5.5 sampai 6.5) dengan sistem tata air
yang baik (air tidak boleh tergenang), karena akar tanaman tomat rentan terhadap
kekurangan oksigen. Suhu optimum untuk tanaman tomat antara 20 oC dan 30 oC
(Jones 2008).

Hama dan Penyakit Tomat
Hama tanaman tomat
Ulat buah. Ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera) merupakan hama
perusak buah dengan cara memakan bagian dalamnya. Hama pada ini bersifat
polifag dan cenderung lebih menyukai buah, walaupun dapat ditemukan pada
daun tembakau. Di Indonesia, hama ini dapat ditemukan di dataran rendah hingga
dataran tinggi dengan ketinggian 2000 mdpl. Larva yang lebih tua mempunyai
corak warna yang bervariasi, kuning-kehijauan, hijau, kecoklatan hampir hitam,
dengan sebuah garis terang melintang, tubuhnya tertutup oleh rambut-rambut

4
halus. Setengah dari abdomen larva instar akhir biasanya keluar dari lubang
gerekan buah yang masih muda, tetapi larva yang lebih muda juga ditemukan
pada daun tanaman (Kalshoven 1981).
Telur H. armigera berbentuk bulat dan jumlahnya banyak, biasanya
diletakkan pada bagian tanaman yang tinggi. Setelah menetas, larva instar awal
bergerak turun dan menggerek bagian buah yang masih muda, kemudian bekas
gerekan menimbulkan infeksi sekunder oleh mikroorganisme. Larva jarang
ditemukan melebihi 2 ekor pada bagian yang sama. Larva instar akhir kemudian
bergerak turun ke tanah untuk berpupa. Lama siklus hidup H. armigera dari telur
sampai imago berkisar 35 hari. Imago makan dan meletakan telur pada tanaman
yang sedang berbunga. Imago betina mampu menghasilkan 1,000 telur
(Kalshoven 1981).
Lalat pengorok daun. Lalat pengorok daun Liriomyza sp. termasuk
subfamili Phyomyzinae, famili Agromyzidae dan ordo Diptera (Spencer &
Steyskal 1986). Liriomyza sp. merupakan hama penting yang menyerang tanaman
sayuran dan tanaman hias di Indonesia. Hama ini diperkirakan masuk ke
Indonesia sekitar tahun 1991-1992 melalui jalur pengiriman bunga potong krisan
(Rauf 1995). Gejala berupa liang korokan beralur warna putih bening pada bagian
mesofil daun. Jumlah alur korokan pada satu daun kedelai bervariasi, bergantung
pada jumlah larva yang menetas. Pada serangan lanjut, liang korokan berubah
warna menjadi kecoklatan dan di dalamnya larva berkembang. Gejala tersebut
merupakan ciri khas serangan lalat pengorok daun (Minkenberg dan van Lenteren
1986; Tapahillah 2002). Selama ini, upaya pengendalian yang umumnya
dilakukan terhadap hama lalat pengorok daun oleh petani adalah penggunaan
insektisida dengan frekuensi penyemprotan 2-3 kali perminggu (Rauf 1999).
Kutukebul. Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan kelompok
serangga yang berukuran kecil berwarna putih dan bertubuh lunak. Kutukebul
mampu mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus yang ada
di bagian abdomen. Nimfa maupun imago kutukebul biasanya memiliki lapisan
lilin dengan berbagai bentuk. Lapisan lilin ini dapat digunakan untuk identifikasi
karena penampilan dan pola dari lapisan lilin dapat berbeda antara satu spesies
dengan spesies lain (Botha et al. 2000).

5
Serangga ini merupakan hama penting karena serangga ini tidak hanya dapat
menyebabkan kerusakan langsung, tetapi juga karena kerusakan tidak langsung.
Kerusakan langsung yang dimaksud adalah selain menghisap bahan makanan,
kutukebul juga menginjeksikan racun ke dalam jaringan tanaman (Watson 2007)
yang dapat menyebabkan tanaman inang layu, kerdil dan bahkan mati (Botha
et al. 2000). Sedangkan kerusakan tidak langsung adalah adanya beberapa spesies
juga dapat berperan sebagai vektor penyakit yang dapat menyebabkan tanaman
inang menguning dan mengeriting (Hodlle 2004).

Penyakit tanaman tomat
Hawar daun (Phytophthora infestans). Hawar daun merupakan penyakit
yang penting, khususnya pada musim hujan. penyakit ini disebabkan oleh
P. infestans. Gejalanya adalah pada daun bercak hitam kecoklatan mulai timbul
pada anak daun, tangkai atau batang dan akan meluas dengan cepat, sehingga
dapat menyebabkan kematian. Bagian bercak paling luar akan berwarna kuning
pucat yang beralih ke bagian yang berwarna hijau biasa. Perkembangan bercak
akan terhambat bila kelembaban berkurang, tetapi bercak akan berkembang
kembali bila kelembaban meningkat. Pada buah, penyakit juga dapat timbul pada
semua stadia perkembangan. Bercak yang berwarna hijau kebasah-basahan
meluas menjadi bercak yang bentuk dan tidak beraturan (Semangun 2000).
Usaha pengendalian penyakit di pegunungan hanya terbatas pada pemilihan
waktu tanam dan pemakaian fungisida. Sampai saat ini, belum ada varietas tomat
komersial yang mempunyai ketahanan cukup terhadap hawar daun. Serangan
hawar daun menurun pada musim kemarau (Semangun 2000).
Bercak cokelat (Alternaria solani). Penyakit bercak cokelat, atau bercak
kering, merupakan penyakit daun yang umum dan tersebar luas di berbagai
negara. Gejala yang ditimbulkan mula-mula pada daun timbul bercak-bercak
kecil, bulat atau bersudut cokelat tua sampai hitam sebesar kepala jarum sampai
diameter ±4 mm. Jaringan nekrotik sering tampak seperti kulit, mempunyai
lingkaran-lingkaran terpusat sehingga tampak seperti papan sasaran (target
board). Di sekitar bercak nekrotik biasanya terdapat jalur klorotik (halo) sempit.

6
Meskipun bercak sangat terbatas, tampak bahwa penyakit mempunyai pengaruh
fisiologi di luar bercak, daun akan cepat menjadi tua, layu, atau gugur sebelum
waktunya (Semangun 2000).
Cendawan A. solani mempertahankan diri dari musim ke musim pada
tanaman sakit, sisa-sisa tanaman sakit, atau biji. Di dalam jaringan daun sakit
miselium dapat bertahan selama satu tahun atau lebih. Dalam suhu kamar
konidium dapat tetap hidup selama 17 bulan. Konidium dapat berkecambah pada
suhu 6-34°C. Suhu optimumnya adalah 28-30ºC, didalam air pada suhu ini
konidium sudah berkecambah dalam waktu 35-45 menit. A. solani menginfeksi
daun atau batang dengan langsung menembus kutikula. Pembentukan konidium
terjadi pada bercak yang bergaris tengah ±3 mm dan diperlukan banyak embun
atau hujan yang sering (Semangun 2000).
Tanaman harus diberi pupuk yang seimbang agar menjadi lebih tahan.
Untuk mencegah terbawanya penyakit oleh biji dan agar tidak terjadi banyak
infeksi pada bibit, pembibitan jangan terlalu lembap atau rapat (Semangun 2000).
Penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporum). Di Indonesia penyakit
layu Fusarium mulai mendapat perhatian pada tahun 1970-an. Gejala pertama dari
penyakit ini adalah menjadi pucatnya tulang-tulang daun, terutama daun-daun
sebelah atas, kemudian dengan tangkai merunduk dan akhirnya tanaman menjadi
layu secara keseluruhan (Anonim 1976). Kadang-kadang kelayuan didahului
dengan menguningnya daun, terutama daun bagian bawah. Jika tanaman sakit itu
dipotong dekat pangkal batang atau dikelupas dengan kuku atau pisau akan
terlihat suatu cincin cokelat dari berkas pembuluh. Pada serangan berat, gejala
terdapat pada bagian tanaman bagian atas juga. F. oxysporum dapat bertahan lama
dalam tanah. Tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan kembali dari jamur
ini. Cendawan menginfeksi pada akar, terutama melalui luka-luka, lalu menetap
dan berkembang di berkas pembuluh. Akibatnya, pengangkutan air dan hara tanah
terganggu yang menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun 2000).
Penyakit berkembang pada suhu tanah 21-33°C. Suhu optimumnya adalah
28°C. Kelembaban tanah yang membantu tanaman, ternyata juga membantu
perkembangan patogen. Seperti kebanyakan F. oxysporum, patogen ini dapat
hidup pada pH tanah yang luas variasinya (Semangun 2000).

7
Cara pengendalian penyakit layu Fusarium adalah dengan penanaman
varietas yang tahan. Usaha untuk mengendalikan penyakit dengan meningkatkan
suhu tanah dengan menggunakan mulsa plastik memberikan banyak harapan,
namun masih memerlukan banyak penelitian untuk dapat dianjurkan dalam
praktek di lapangan (Djauhari 1987).
Penyakit kuning. Penyakit kuning pada tanaman tomat disebabkan oleh
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) yang termasuk genus patogen
Geminivirus. Virus ini ditularkan oleh kutukebul Bemisia tabaci. Gejala penyakit
kuning berupa daun muda menjadi kekuningan dan keriting, sedangkan daun yang
lebih tua akan menggulung ke atas dan mengalami malformasi. Gejala kuning
berkembang dari bagian atas ke bagian bawah tanaman. Pada umumnya daun
yang terserang menjadi kerdil dan buah akan masak lebih awal. Penyakit ini dapat
menimbulkan kerusakan berat pada pertanaman tomat di Indonesia, dengan
persentase kehilangan hasil berkisar antara 20-100% (Sudiono dan Yasin 2006).
Peningkatan epidemiologi penyakit kuning di lapangan disebabkan oleh beberapa
faktor seperti transportasi bagian tanaman yang terinfeksi ke lokasi baru,
ekstensifikasi pertanian ke area baru, serta migrasi vektor yang dapat menularkan
virus dari satu tanaman ke tanaman lainnya (Semangun 2000).
Pengelolaan penyakit ini, lebih ditekankan pada pengelolaan vektor
B. tabaci. Beberapa teknik pengendalian B. tabaci yang dapat dilakukan adalah
secara budi daya dengan cara sanitasi lahan, penggunaan mulsa plastik, dan
varietas resisten (kerapatan bulu daun rendah). Parasitoid yang berpotensi
mengendalikan B. tabaci antara lain: Encarsia formosa, E. lutea, Eretmocerus
mundus, dan E. haldemani. Sedangkan predator yang cukup potensial adalah dari
famili Anthocoridae dan Miridae (Hemiptera), Chrysopa (Chrysopidae),
Syrphidae, Formicidae, Coccinellidae, dan Araneida (laba-laba). Cendawan
entomopatogen yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci

antara lain:

Verticillium lecanii, Paecilomyces fumosoroseus, P. farinosus, dan Beauveria
bassiana (Indrayani 2005).
Penyakit klorosis. Penyakit klorosis pada tanaman tomat dilaporkan telah
banyak menyerang di beberapa sentra produksi tomat seperti Cianjur, Garut,
Sukabumi, dan Malang (Fitriasari 2010; Anjarsari 2011). Penyakit klorosis telah

8
menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan karena kualitas buah tomat
menjadi menurun dan masak sebelum waktunya. Gejala awal penyakit klorosis
yakni terdapatnya warna klorosis dan kekuningan di jaringan antara tulang daun
(Hirota et al. 2010), kemudian berkembang menjadi bintik-bintik nekrotik kecil
dan berwarna keunguan (Wisler et al. 1998). Pada gejala lanjutan daun akan
menjadi kaku dan agak menggulung ke bawah. Perkembangan gejala dimulai dari
bagian bawah ke bagian atas tanaman. Penyakit klorosis disebabkan oleh patogen
berupa virus, yaitu TICV (Tomato infectious chlorosis virus) dan ToCV (Tomato
chlorosis virus). TICV ditularkan ke dalam jaringan tanaman oleh kutukebul
Trialeurodes vaporariorum (Duffus et al. 1996) sedangkan vektor ToCV adalah
B. tabaci, T. abutilonea (Wisler et al. 1998), dan T. vaporarium (Wintermantel &
Wisler 2006). TICV dan ToCV dapat menginfeksi tanaman tomat secara tunggal
maupun bersamaan (Fitriasari 2010).

Pengendalian OPT
Pada umumnya, pengendalian OPT dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu pengendalian secara konvensional dan pengendalian bersifat ramah
lingkungan. Pengendalian OPT dengan cara konvensional yaitu hanya
menggunakan pestisida kimia sintetis sedangkan pengendalian OPT yang bersifat
ramah lingkungan yaitu teknik yang lebih memperhatikan keamanan lingkungan
dalam pengendalian, dengan membatasi penggunaan pestisida sintetis serta
memadukannya

dengan

pengendalian

hayati

(Perum

Perhutani

KPH

Randublatung 2009).
Terdapat beberapa keuntungan maupun kerugian dari kedua tindakan
pengendalian

tersebut.

Pada

pengendalian

OPT

secara

konvensional,

keuntungannya yaitu mudah dalam mengaplikasikan, ampuh dalam menurunkan
populasi hama, serta mudah diperoleh, sedangkan kerugiannya antara lain: dapat
menimbulkan resistensi hama sasaran terhadap pestisida, mematikan organisme
bukan sasaran, mencemari lingkungan, serta dapat menimbulkan keracunan bagi
manusia. Tindakan pengendalian OPT yang bersifat ramah lingkungan memiliki
beberapa keuntungan antara lain: tidak mencemari lingkungan, dapat melestarikan

9
agroekosistem, serta keuntungan hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan pestisida kimia sintetis, sedangkan kerugiannya yaitu sulit
memastikan akan keberhasilannya, memerlukan waktu untuk memperlihatkan
keberhasilannya, serta terbatas penyebarannya (Oka 1995).
Konsep PHT merupakan perpaduan yang serasi dari berbagai macam
metode pengendalian yang bertujuan untuk mengelola populasi hama dalam
tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Strategi PHT lebih menekankan
pada penerapan teknik pengendalian nonkimiawi. Menurut Oka (1995), strategi
atau langkah dari beberapa metode pengendalian dapat dilakukan yaitu: (1)
penggunaan varietas resisten, (2) penggunaan kultur teknis dengan memanipulasi
ekologi melalui pergiliran tanaman, sanitasi selektif, pengelolaan air dan (3)
penggunaan musuh alami berupa predator dan parasitoid.
Pengembangan dan penerapan PHT memerlukan tiga komponen utama
yaitu teknologi PHT, jalinan informasi, dan proses pengambilan keputusan.
Teknologi PHT meliputi berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola
agrosistem agar sasaran PHT dapat tercapai. Proses pengambilan keputusan
pengendalian hama harus dilakukan dengan menggunakan informasi yang cukup
lengkap, monitoring dan memperhatikan ambang pengendalian (Arifin 1992).
Preferensi petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan
bagian penting dalam keberhasilan pengendalian hama dan penyakit secara
terpadu.

Analisis Usaha Tani
Menurut (Soekartawi 2002) ilmu usaha tani biasanya diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada
secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada
waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan
sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila
pemanfaatan sumber daya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi
masukan (input).

10
Efisiensi usaha tani dapat diukur dengan cara menghitung efisiensi teknis,
efisiensi harga, dan efisiensi ekonomis. Umumnya petani tidak mempunyai usaha
tani, sehingga sulit bagi petani untuk melakukan analisis usaha taninya. Petani
hanya mengingat-ingat cash flow (anggaran arus uang tunai) yang mereka lakukan
walaupun sebenarnya ingatan itu tidak terlalu jelek, karena mereka masih ingat
bila ditanya beberapa output yang mereka peroleh dan beberapa input yang
mereka gunakan. Tentu saja teknik pengumpulan datanya harus baik dan benar
(Soekartawi 2002).
Perlunya analisis usaha tani memang bukan untuk kepentingan petani saja
tetapi juga untuk penyuluh pertanian seperti Penyuluh Pertanian Lapang (PPL),
Penyuluh Pertanian Madya (PPM) dan Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), serta
mahasiswa atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk analisis usaha tani
(Soekartawi 2002). Dalam banyak pengalaman analisis usaha tani yang dilakukan
petani atau produsen memang bertujuan mengetahui atau meneliti (Soekartawi
1990).
Usaha tani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar,
berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial, dan
sebaliknya usaha tani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya
tradisional, lebih bersifat usaha tani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta
lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan
sehari-hari (Soekartawi 2002).

11
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di 5 desa di Kabupaten Bogor, 5 desa di Kabupaten
Cianjur, dan 3 desa di Kabupaten Sukabumi pada bulan Maret sampai dengan
September 2010. Kelima desa di Kabupaten Bogor yaitu: Desa Sukamanah pada
Kecamatan Megamendung dan Desa Cibeureum, Citeko, Tugu Utara, dan Tugu
Selatan pada Kecamatan Cisarua. Kelima desa di Kabupaten Cianjur yaitu: Desa
Cipeundawa pada Kecamatan Pacet, Desa Gekbrong pada Kecamatan Gekbrong,
Desa Ciloto dan Cimacan pada Kecamatan Cipanas dan Desa Galudra Kecamatan
Cugenang. Ketiga desa di Kabupaten Sukabumi yaitu: Desa Perbawati pada
Kecamatan Sukabumi, Desa Langansari pada Kecamatan Sukaraja dan Desa Pasir
Datar Indah pada Kecamatan Caringin.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara survei dengan melakukan wawancara
langsung kepada petani atau pemilik kebun tomat dan pengamatan jenis-jenis
OPT di lapangan. Wawancara dilakukan secara perorangan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan yang tersusun dalam suatu kuisioner. Banyaknya petani
responden yang diwawancarai adalah sebanyak 60 orang, yaitu 15 petani dari
Kabupaten Bogor, 15 petani dari Kabupaten Cianjur, dan 30 petani dari
Kabupaten Sukabumi. Pemilihan ke-60 responden tersebut dilakukan secara
convenience sampling atau memilih responden yang paling mudah ditemui di
lahan. Pertanyaan yang diajukan meliputi karakteristik petani, teknik budidaya,
jenis-jenis OPT, teknik pengendalian OPT, dan aspek ekonomi. Pengamatan OPT
di lapangan bertujuan untuk mengklarifikasi kebenaran jenis OPT yang diberikan
oleh petani. Kegiatan ini meliputi pengambilan foto gejala serangan hama dan
penyakit dan pengambilan sampel tanaman yang terserang hama dan/atau
penyakit. Sampel spesies hama dan tanaman terserang selanjutnya diidentifikasi di
Klinik Tanaman dan Laboratorium Biosestematika Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.

12
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisis secara deskriptif
dengan menghitung persentase dan nilai rataan hasil analisis disajikan dalam
bentuk grafik yang meliputi grafik lingkaran dan batang menggunakan program
Microsoft Office Excel 2007. Selain itu, khusus data ekonomi dianalisis dengan
rasio biaya-manfaat (benefit – cost ratio).

13
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani dan Teknik Budidaya
Secara umum, rata-rata luas lahan yang dikelola petani di tiga kabupaten
yang disurvei adalah 7,682 m², dengan luas lahan yang lebih sempit dikelola oleh
petani Kabupaten Bogor dan Cianjur. Rata-rata luas lahan di Kabupaten Bogor
dan Cianjur masing-masing adalah 4,356 m² dan 2,813 m², sedangkan rata-rata
luas lahan di Kabupaten Sukabumi adalah 15,380 m². Kepemilikan lahan paling
sempit dimiliki oleh petani di Kabupaten Bogor, yaitu seluas 140 m² dan lahan
paling luas dimiliki oleh petani yang berada di Kabupaten Sukabumi, yaitu seluas
10 ha. Petani tomat biasanya merupakan penyewa dan jarang sekali yang memiliki
lahan sendiri. Rata-rata petani menyewa lahan dengan biaya Rp 3,769,000/ha
selama setahun, dengan biaya sewa paling mahal terdapat di Kabupaten
Sukabumi, yaitu sebesar Rp 6,000,000/ha selama setahun.
Sebanyak 60% petani menanam tomat secara monokultur dan sisanya (40%
petani) menanam secara tumpang sari dengan cabai rawit, cabai keriting, bawang
daun, buncis, kol, selada, sawi putih, atau pakcoy. Tumpang sari dilakukan petani
untuk pengoptimalan lahan, penghematan biaya, pengoptimalan pendapatan, dan
pengantisipasian terjadinya fluktuasi harga saat panen. Dalam melakukan
usahatani tomat tersebut, sebagian besar (80%) petani telah mempraktekkannya
lebih dari 5 tahun dan umumnya berkisar antara 5 sampai 15 tahun (Gambar 1).
Data tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan petani tomat di ketiga
kabupaten di atas sudah cukup berpengalaman dalam berusahatani.
8%
9%

20%

1-5 tahun
5-10 tahun
10-15 tahun

28%

15-20 tahun
35%

> 20 tahun

Gambar 1 Distribusi pengalaman berusahatani tomat pada ketiga kabupaten

14
Tingkat pendidikan petani tomat di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan
Sukabumi umumnya hanya sampai tamatan SD, yakni sebanyak 64%, dan sisanya
tersebar pada tamatan SMP, SMA, Perguruan Tinggi (Akademi dan Universitas),
dan tidak tamat SD. Petani yang tidak tamat SD jumlahnya lebih banyak daripada
yang lulus Perguruan Tinggi dengan persentase sebanyak 3% (Gambar 2).
Banyaknya petani yang berpendidikan maksimum tamatan SD ini menunjukkan
rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani tomat dan petani pada
umumnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran petani akan pentingnya
pengetahuan dalam meningkatkan keterampilannya dalam berusahatani.
3%

8%

13%

12%
64%

Tak tamat SD
SD
SMP
SMA
PT

Gambar 2 Distribusi tingkat pendidikan petani tomat

Sebagian besar (65%) petani tomat tidak pernah mengikuti pelatihan tentang
pengendalian OPT, baik yang diadakan oleh pemerintah maupun pihak swasta dan
sisanya (35%) pernah mengikuti pelatihan tersebut (Gambar 3). Alasan petani
tidak mengikuti pelatihan pengendalian OPT adalah karena mereka sudah merasa
cukup dengan ilmu yang dimiliki, baik dengan belajar sendiri (berdasarkan
pengalaman) atau bertanya kepada petani lain dan penjual pestisida tentang cara
pengendalian OPT tomat.

15

35%
Pernah
Tidak pernah
65%

Gambar 3 Distribusi keikutsertaan petani dalam pelatihan pengendalian OPT

Organisme Pengganggu Tanaman
Hama dan penyakit tanaman yang menyerang lahan petani responden tidak
sama jenisnya antara lahan responden yang satu dengan responden lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara, hama yang paling sering dijumpai adalah hama ulat
buah. Ulat buah yang ditemukan telah menyerang lahan tomat milik 80%
responden, sedangkan hama kutukebul menyerang lahan milik 38.3% responden,
dan pengorok daun menyerang lahan milik 18.3% responden. Selain hama,
penyakit juga menjadi kendala yang dihadapi oleh petani tomat di lokasi
penelitian. Penyakit yang paling sering ditemukan di lahan adalah hawar daun.
Penyakit ini menyerang lahan tomat milik 81.7% responden. Tingginya serangan
penyakit hawar daun tersebut disebabkan oleh tingginya frekuensi hujan selama
penelitian. Penyakit lainnya yang juga ditemukan di lahan responden adalah layu
Fusarium (53.3% responden), penyakit kuning (30% responden), penyakit
klorosis (25% responden), dan bercak daun Alternaria (21.7% responden)
(Gambar 4).

16

Bercak daun Alternaria
Penyakit klorosis
Penyakit kuning
Layu Fusarium
Hawar daun
Pengorok daun
Kutukebul
Ulat buah
0

20

40

60

80

100

% Responden

Gambar 4 Jenis OPT tanaman tomat berdasarkan hasil wawancara petani
(n = 60 petani)

Beberapa jenis hama yang dijumpai pada saat pengamatan di lahan adalah
ulat buah, kutukebul, dan pengorok daun. Pada saat tanaman tomat mulai berbuah,
hama yang banyak menyerang adalah ulat buah Helicoverpa armigera
(Lepidoptera: Noctuidae). Gejala serangan yang tampak pada buah adalah adanya
lubang dan kemudian buah tersebut membusuk karena infeksi sekunder oleh
organisme lain (Gambar 5a).
Kutukebul Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyroridae) banyak terdapat di
Kabupaten Bogor dan Cianjur. Menurut Semangun (2000), kutukebul dapat
berperan sebagai vektor Geminivirus penyebab penyakit kuning yang dapat
menyebabkan daun tanaman inang menguning dan keriting. Kejadian penyakit
kuning yang masih rendah cenderung diabaikan oleh petani atau tidak
dikendalikan karena tidak terlalu mempengaruhi tanaman tomat. Padahal tanaman
tomat yang terinfeksi dapat menjadi sumber inokulum bagi tanaman tomat lain
yang sehat.
Lalat pengorok daun Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae) ditemukan di
beberapa tanaman tomat. Gejala serangan Liriomyza sp. berupa liang korokan

17
berwarna putih pada bagian mesofil daun. Larva lalat makan dan berkembang di
dalam liang korokan tersebut. Pada serangan lanjut, liang korokan akan berubah
warna menjadi kecokelatan sehingga menyebabkan luasan fotosintesis daun
berkurang (Gambar 5b).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Gejala serangan ulat buah H. armigera (a), pengorok daun Liriomyza
sp. (b), dan imago kutukebul Bemisia tabaci (c)

Beberapa penyakit tomat yang dijumpai di lapangan adalah penyakit layu
Fusarium, hawar daun, kuning, klorosis, dan bercak daun Alternaria. Penyakit
layu Fusarium disebabkan oleh F. oxysporum. Penyakit ini banyak ditemukan di
lahan tomat Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Gejala yang ditemukan di lapangan
adalah tulang-tulang daun yang memucat, terutama daun di bagian atas tanaman.
Daun kemudian menjadi kekuningan, tangkai merunduk, dan akhirnya tanaman
menjadi layu secara keseluruhan (Gambar 6a). F. oxysporum merupakan patogen
tular tanah yang menyerang jaringan pembuluh xilem, sehingga menghambat
transportasi air dan unsur hara dari akar ke daun. Berdasarkan hasil wawancara,
petani mengalami kesulitan dalam mengendalikan penyakit ini karena setelah
dilakukan aplikasi pestisida kimiawi ternyata tidak berpengaruh pada penyakit ini.
Penyakit paling penting menurut petani tomat adalah penyakit hawar daun.
Penyakit ini disebabkan oleh Phytophthora infestans. Gejala hawar daun yang
terdapat di lapangan yaitu adanya bercak hitam berwarna cokelat dan kebasahan
pada daun (Gambar 6e). Bercak tersebut kemudian berkembang menjadi banyak
dan mengurangi area fotosintetis, sehingga mengganggu proses fisiologis

18
tanaman. Penyakit ini banyak terjadi saat musim hujan. Hal tersebut disebabkan
kelembaban tinggi yang sesuai untuk perkembangan P. infestans.
Penyakit lain yang juga terdapat di lapangan adalah penyakit kuning yang
disebabkan oleh virus dari golongan Geminivirus. Menurut Agrios (1988),
Geminivirus hanya ditularkan oleh vektor kutukebul B. tabaci. Kutukebul ini
biasanya sudah menyerang tanaman tomat sejak berada di persemaian (fase bibit).
Serangan Geminivirus di lapangan menyebabkan daun tomat berwarna
kekuningan, tulang daun menebal, dan daun menggulung ke atas. Gejala lanjut
dari penyakit kuning menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning
cerah (Gambar 6c). Selain itu, tanaman menjadi kerdil, dan tidak berbuah.
Menurut Semangun (2000), pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan
cara membasmi gulma atau tanaman lain yang dapat menjadi sumber inokulum di
sekitar tanaman tomat. Penyakit lain yang disebabkan oleh virus dijumpai di
ketiga kabupaten adalah penyakit klorosis. Gejala penyakit klorosis di lapangan
yaitu berupa daun yang klorosis berkembang dari bagian bawah ke atas tanaman
kemudian berwarna agak cokelat keunguan, lebih tebal, lebih kaku, dan agak
menggulung (Gambar 6b).
Penyakit bercak cokelat atau bercak kering disebabkan oleh A. solani,
sehingga juga disebut penyakit bercak Alternaria. Gejala bercak Alternaria di
lapangan yaitu adanya bercak nekrotik kecil berbentuk bulat atau bersudut yang
berwarna cokelat tua sampai hitam. Bercak ini mempunyai lingkaran-lingkaran
terpusat di bagian tengah (Gambar 6d). Berdasarkan pengamatan di lapangan,
penyakit ini ditemukan di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur dalam jumlah
yang sedikit sekali, sehingga cenderung diabaikan oleh petani.

19

(a)

(b)

(c)

(e)

(d)

Gambar 6 Gejala penyakit layu Fusarium (a), klorosis (b), kuning (c), bercak
daun Alternaria (d), dan hawar daun (e)

Tindakan Pengendalian
Dalam hal pengendalian OPT, seluruh responden hanya mengandalkan
pengendalian secara kimiawi dan tidak satupun responden yang melakukan
alternatif pengendalian yang ramah lingkungan. Pada umumnya, petani
menyemprotkan pestisida dengan frekuensi 5 hari sekali. Akan tetapi jika terdapat
OPT yang cukup merugikan, maka penyemprotan dapat dilakukan hampir setiap
hari dalam kurun waktu tertentu. Terdapat empat alasan utama yang menjadi
penyebabnya, yaitu: (1) untuk menjamin keberhasilan panen (37.5% responden);
(2) lebih ampuh dan cepat membunuh serangan OPT (31.2% responden); (3)
sudah terbiasa sejak dahulu (15.6% responden); dan (4) tidak mengetahui cara lain
untuk mengendalikan OPT (9.4% responden) (Gambar 7). Hal ini membuktikan
kurangnya kesadaran petani akan pengendalian yang lebih ramah lingkungan.

20
Selain itu juga kurangnya peran pemerintah dan instansi terkait dalam
mensosialisasikan pengendalian OPT yang ramah lingkungan kepada petani.
Kurangnya minat petani terhadap pengendalian hayati disebabkan petani takut
mengalami gagal panen dan hasil pengendalian hayati tidak langsung terlihat.

Tidak tahu alternatif lain
Sudah terbiasa
Lebih ampuh dan membunuh
Tidak gagal panen
0

10

20

30

40

% Responden

Gambar 7 Alasan petani dalam penggunaan pestisida

Analisis Ekonomi Pengendalian OPT
Biaya pengendalian OPT merupakan komponen terbesar dari biaya produksi
dalam budidaya tomat, semakin besar biaya pengendaliannya maka biaya
produksinya pun akan semakin besar. Besarnya rata-rata biaya pengendalian OPT
adalah sebesar Rp 17,171,399/ha atau sebesar 65% dari biaya produksi selama
semusim yaitu sebesar Rp 26,507,246/ha (Gambar 8). Biaya pengendalian
tersebut terdiri dari biaya untuk pestisida dan tenaga kerja.

Biaya (Juta Rupiah)

30
25
20
15

Biaya pengendalian

10

Biaya produksi

5
Bogor

Cianjur Sukabumi

Total

Gambar 8 Biaya pengendalian OPT dan total biaya produksi selama satu musim
tanam

21
Hasil panen yang dijual petani adalah buah tomat yang sudah merah dan
matang. Pada umumnya petani sudah dapat memanen tanamannya pada umur 90
hari setelah tanam (HST) dan rata-rata petani melakukan panen selama semusim
sebanyak 9 kali. Rata-rata hasil panen adalah 20 ton/ha selama satu musim tanam.
Hasil panen di Kabupaten Sukabumi dengan biaya pengendalian 50% dari total
biaya produksi menghasilkan 15 ton/ha (Gambar 9). Hasil panen di Kabupaten
Sukabumi lebih sedikit daripada kabupaten lain karena di Kabupaten Sukabumi
populasi tanaman lebih sedikit daripada daerah lainnya yaitu 15,698 tanaman
sedangkan di Kabupaten Bogor sebanyak 21,000 tanaman/ha dan di Kabupaten
Cianjur sebanyak 19,675 tanaman/ha.
30

Produksi (ton/ha)

25
20
15
10
5
0
Bogor

Cianjur

Sukabumi

Total

Gambar 9 Hasil panen selama satu musim tanam

Sebagian besar 53.6% petani menjual tomat hanya kepada tengkulak.
Sebesar 33.4% petani menjual hasil panennya pada tengkulak dan pasar
tradisional, dan sisanya 13% petani menjual kepada tengkulak, pasar tradisional
dan supermarket. Besarnya penerimaan dari hasil panen adalah rata-rata sebesar
Rp 53,649,725/ha dengan mengurangkan biaya produksi seperti yang telah di
uraikan

di

atas,

rata-rata

keuntungan

yang

didapat

petani

adalah

Rp 28,725,740/ha. Keuntungan yang didapat petani di Kabupaten Bogor adalah
paling besar dibandingkan dengan petani pada dua kabupaten lainnya, yaitu
sebesar Rp 41,034,614 sedangkan di Kabupaten Cianjur sebesar Rp 39,482,356
dan di Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 24,150,577 (Gambar 10). Dengan biaya
pengendalian 65% dari total biaya produksi, kuantitas dan kualitas buah tomat
yang diproduksi petani di Kabupaten Bogor lebih baik dibandingkan dengan
petani kabupaten lainnya, sehingga harga jual tomat lebih tinggi di Kabupaten

22
Bogor daripada daerah lainnya. Petani Bogor mendapat keuntungan lebih besar
daripada petani Sukabumi dan Cianjur karena hasil penjualan produksinya jauh

Biaya dan penerimaan (Juta Rupiah)

lebih tinggi.
70
60
50

40
Biaya produksi

30

Hasil panen

20
10
0
Bogor

Cianjur

Sukabumi

Total

Gambar 10 Biaya produksi dan hasil panen per hektar selama satu musim tanam

Berdasarkan analisis biaya manfaat, perbandingan antara keuntungan
dengan biaya produksi yang dikeluarkan atau nilai benefit-cost ratio (B/C),
diperoleh nilai rata-rata sebesar 1.258 (Gambar 11). Hasil ini menunjukkan bahwa
secara umum petani akan memperoleh keuntungan sebesar 1.3 kali lipat dari total
biaya produksi. Nilai B/C di Kabupaten Bogor lebih tinggi daripada nilai rasio
biaya-manfaat pada dua daerah lainnya, yaitu dengan rasio 1.512 dibandingkan
dengan yang terdapat di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi dengan rasio berturut-

Nilai rasio biaya-manfaat

turut sebesar 1.115 dan 0.893.
1,600
1,400
1,200
1,000
0,800
0,600
0,400
0,200
0,000
Bogor

Cianjur

Sukabumi

Total

Gambar 11 Nilai rasio biaya-manfaat usahatani tomat pada ketiga kabupaten

23
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Praktek pengelolaan OPT pada budidaya tanaman tomat yang dilakukan
petani di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi masih mengandalkan
sepenuhnya pada penggunaan pestisida kimia sintetis dengan frekuensi 5 hari
sekali. Manfaat dari penggunaan alternatif pengendalian yang lebih ramah
lingkungan masih belum banyak disadari oleh petani tomat di wilayah penelitian
karena kurangnya informasi tentang penggunaan alternatif pengendalian tersebut.
Biaya pengendalian yang dikeluarkan petani menyumbang 65% total biaya
produksinya dan keuntungan yang diperoleh petani dari hasil penjualan
produksinya mencapai 130% dari total biaya produksi.

Saran
Perlu kajian sejenis lebih lanjut yang dapat membandingkan berbagai cara
pengendalian OPT sehingga diperoleh informasi yang lebih bermanfaat bagi
petani tomat dalam melakukan pengendalian OPT.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1988. Plant Pathology. San diego: Academic Press Inc.
Anjarsari L. 2011. Trialeurodes vaporariorum Westwood (Hemiptera:
Aleyrodidae) pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.):
Panjang Rostrum dan Sayap di Beberapa Ketinggian Tempat Berbeda serta
Periode Retensi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) [skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 1976. Penyakit Layu pada Tanaman Tomat di Indonesia. Di dalam:
Semangun H. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-3. Yogyakarta: UGM Press.
Arifin Z. 1992. Penerapan pengendalian hama terpadu petani sayuran di
Kecamatan Pacet.[Skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian,Institut Pertanian
Bogor
[AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center.
1991.
Vegetables Research and Development in the 1990s: A Strategic Plan.
Taipei: AVRDC.
Botha J, Hardie D, Power G. 2000. Spiraling whitefly Aleurodicus dispersus,
Exotic Threat to Western Australia. Fact Sheet no. 18/2000.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik pertanian. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Cahyono B. 2008. Tomat Usahatani dan Penanganan Pascapanen. Ed ke-5.
Yogyakarta: Kanisius.
Djauhari S. 1987. Upaya pengendalian penyakit layu Fusarium pada tomat
dengan pemulsaan menggunakan plastik sebelum tanam. Di dalam:
Semangun H. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-3. Yogyakarta: UGM Press.
Duffus JE, Liu HY, Wisler GC. 1996. Tomato infectious chlorosis virus-a new clostero-like
virus transmitted by Trialeurodes vaporariorum. European Journal of Plant
Pathology 102: 219-226.
Fitriasari ED. 2010. Keefektifan kutukebul dalam menularkan virus penyebab
penyakit kuning pada tanaman tomat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Hirota T, Natsuaki T, Sayama H, Atarashi H, Okuda S et al. 2010. Yellowing
disease of tomato caused by Tomato chlorosis virus newly recognized in
Japan. J Gen Plant Pathol 76: 168-171.

25
Hodlle MS. 2004. The biology and management of silverleaf whitefly, Bemisia
argentifolii Bellos and Perring (Homoptera : Aleyrodidae) on greenhouse
grown
ornamentals.
Applied
Biological
Control
Research.
http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html#biologi [10 November 2010].
Indrayani IGAA. 2005. Studi pustaka bioekologi dan teknik pengendalian lalat
putih Bemisia spp. (Hemiptera: Aleyrodidae). Departemen Pertanian.
http.//balittas.litbang.deptan.go.id/ind/images/lamongan/study%20pustaka.p
df [24 Agustus 2011].
Jones Jr B. 2008. Tomato Plant Culture: in the field, greenhouse, home garden.
USA: CRC-Press
Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah mada University Press.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen
van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Minkenberg OPJM, Lenteren VJC. 1986. The leafminers Liriomyza bryoniae and
L. trifolii (Diptera: Agromyzidae), their parasites and host plants: a review.
Agricultural University, Wageningen, The Netherlands. hlm 50.
Perum Perhutani KPH Randublatung. 2009. Pelatihan Pembuatan Pestisida
Ramah Lingkungan di KPH Randublatung.
www.kphrandublatung.perumperhutani.com [24 November 2010]
Rauf A. 1995. Liriomyza: hama pendatang baru di Indonesia. Bul HPT 8 (1) : 4648.
Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani kentang terhadap lalat pengorok
daun, Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromizydae). Bul
HPT 11(1): 1-13.
Rubatzky, Vincent E, Yamaguchi M. 1999. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi,
dan Gizi. Herison Catur, penerjemah. Bandung: ITB Press. Terjemahan
dari: World Vegetables: Principles, Production, and Nutritive Values.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-3. Yogyakarta: UGM Press.
Soeharto I. 1999. Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional) jilid
I. Ed ke-2. Jakarta: Erlangga.
Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Di dalam: Soekartawi.
Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

26
Spencer KA, Steyskal BC. 1986. Manual of Agromyzidae (Diptera) of United
States. USDA Agricultural Handbook. No. 638. New York: USDA.
Sudiono, Yasin N. 2006. Karakteristik kutukebul (Bemisia tabaci) sebagai vektor
virus gemini dengan teknik PCR-RAPD. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika 6(2):113-119.
Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC
Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs in Malaysia, 16-26 April
2007.
Wintermantel WM, Wisler GC. 2006. Vector specificity, host range, and genetic
diversity of Tomato chlorosis virus. Plant Disease 90: 814-819.
Wisler GC, Li RH, Liu HY, Lowry DS,