Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Sifat-sifat yang
baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-
orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
Profesi Hakim
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Inilah sebabnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara
khusus masalah kekuasaan kehakiman ini yakni dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka independent, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim.
D. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem perasdilan pidana dan pelaksana Putusan Pengadilan Hukum di dalam
kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Bagi Lembaga
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada
intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana sebagai orang yang tersesat dan
mempunyai waktu untuk bertobat. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu di dalam dunia kepenjaraan Indonesia, telah mengemukakan ide
pemasyarakatan bagi terpidana. Lebih jauh Sahardjo mengemukakan bahwa pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita, ialah:
1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup
di luar masyarakat; 3. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi
diusahakan agar mempunyai mata pencaharian. Akan tetapi ide tersebut tampaknya hanya tinggal kenangan belaka,
dimana saat ini tampak jelas bahwa permasalahan mendasar yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan terletak pada beberapa sarana yang mendukung
pembinaan narapidana, yaitu terbatasnya sarana personalia yang profesional yang mampu melakukan pembinaan secara efektif. Sarana administrasi dan keuangan,
dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola suatu lembaga pemasyarakatan. Sarana fisik yang diperlukan untuk penampung narapidana yang memenuhi syarat
kesehatan begitu pula sarana bengkel kerja, yang berguna untuk melatih narapidana agar terampil dalam pekerjaan tertentu. Ketiadaan beberapa sarana
pendukung dan kegagalan lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan akan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan bekas narapidana setelah berada di masyarakat kemabali melakukan kejahatan uang palsu. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit pelaku
kejahatan uang palsu yang residivis. Cap atau stigma yang dibuat oleh masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan maupun bekas narapidana merupakan pertanda
kegagalan lembaga pemasyarakatan pada khususnya dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum atas kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan
pengedarannya ini di dalam perjalanannya mengalami masalah-masalah yang bukan saja disebabkan tidak terdapatnya kerja sama di antara sub sistem, tetapi
tidak kalah pentingnya pengaruh peraturan perundang-undangan yang memberikan kekuasaan maupun wewenang yang melampaui kemampuan
personil, administratif, serta profesionalisme tiap sub sistem, dan hal ini berakibat lebih jauh, yaitu menghambatnya proses peradilan pidana yang sederhana, cepat
dan biaya murah, serta penegakan hukum terhadap kejahatn pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini.
Teknik-teknik penghukuman dengan berdasarkan kepada suatu sanksi, pada hakikatnya kurang efektif bilamana konsistensi penegakan hukum masih
tetap kurang optimal. Penerapan sanksi berat justru akan menambah meningkatnya kolusi perkara antara pelaku kejahatan dengan penegak hukum.
Konsistensi penegakan hukum juga amat dipengaruhi pula oleh sikap transparansi penegakan hukum dan akuntabilitas di depan publik.
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga
penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang amat kontroversial dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak
mengetahui seluk-beluk hukum. Harapan masyarakat agar lembaga penegak hukum lebih transparan, pada hakikatnya adalah supaya menjaga kewibawaan
lembaga penegak hukum itu sendiri sehingga masyarakat semakin menaruh kepercayaan terhadap kinerja penegak hukum. Dampaknya ialah dengan
meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kinerja penegak hukum akan menentukan efektifitas hukum itu sendiri.
Mencermati dari beberapa gejala di atas, dapat dirumuskan persoalannya yaitu penegakan hukum di bidang kejahatan pemalsuan uang
masih belum mampu menjamin keadilan masyarakat. Adapun yang melandasi isu tersebut di atas, sebagai titik sentral masalah pokoknya, ialah:
1. Masih lemahnya peran serta masyarakat dan belum mampu mendukung prevensi kejahatan dalam rangka mengatasi frekuensi dari intensitas
kejahatan pemalsuan uang. 2. Paradigma baru dan idealisme apara penegak hukum belum mampu
memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada masyarakat yang telah memberikan peran serta secara aktif.
Universitas Sumatera Utara
3. Realitas penggunaan teknik penyelidikan dan penyidikan yang belum professional. Demikian pula, masalah fasilitas dukungan anggaran guna
kepentingan teknik penyelidikan dan penyidikan tidak memadai. 4. Etika profesi hukum dari para aparat penegak hukum masih terpengaruh
oleh faktor ekonomis dalam penjatuhan sanksi pidana.
Pola kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan, menurut Barda Nawawi Arief, 1996:48 dapat ditempuh dengan tiga elemen
pokok, yakni penerapan hukum pidana criminal law application, pencegahan tanpa pidana prevention without punishment dan mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa influencing views of society on crime. Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi dua, yakni: 1 lewat jalur penal hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada sifat repressive; dan 2 lewat jalur non-penal,
lebih mendekatkan pada sifat preventive atau pencegahan sebelum kejadian itu terjadi. Penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal, yaitu sasaran pokoknya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung
dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Sedangkan cara penal digunakan untuk menangani kejahatan pemalsuan uang yang telah terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Mata Uang
Dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan mata uang, kegiatan yang dilakukan dengan pola :
1. Pre Emtif Penyuluhan Sosialisasi
a Melaksanakan kegiatan penyuluhansosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan mengenal ciri-ciri uang yang asli
baik uang logam maupun uang kertas. Dengan mengetahui dan mengenal uang yang asli diharapkan adanya partipasi dan kekebalan dan masyarakat
agar jangan sampai mudah dilibatkan dalam kegiatan kejahatan terhadap pemalsuan mata uang sehingga dapat terwujud sikap partisipasi dalam
menanggulangi kejahatan pemalsuan terhadap mata uang dan sebagai upaya kegiatan berkaitan dengan uang palsu.
b Kegiatan tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara terpadu antar fungsi maupun koordinasi lintas sektoral dalam bentuk ceramah, pameran,
mass media iklan tayangan 3 D dan media cetak serta elektronik lainnya
2. Preventif Kegiatan preventif dilakukan melalui kegiatan :
a Pengawasan dan pengamanan di tempat mencetak uang asli dan pabrik kertas yang memproduksi security paper.
b Pengawasan terhadap perusahaan percetakan maupun toko alat dan tinta cetak.
c Pengawasan terhadap tempat-tempat transaksi yang menggunakan uang
Universitas Sumatera Utara
cash. d Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan Perbankan dan Money
Changer. e Pengawasan dan pemeriksaan secara ketat terhadap orang yang masuk ke
wilayah Negara Republik Indonesia dengan bekerja sama dengan instansi terkait.
f Meningkatkan penanganan dan pengembangan terhdap setiap laporan tentang uang palsu sehingga masyarakat terlindungi.
g Melakukan study banding dan kunjungan ke Luar Negeri.
3. Represif Kegiatan represif dilakukan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan
terhadap para pelaku kejahatan pemalsuan mata uang guna mengungkap jaringan pembuatan maupun pendistribusian uang palsu. Kegiatan tersebut
dilakukan secara terpadu antar fungsi Reserse, Intel. Labfor, NCB Interpol dan Instansi terkait lainnya.
Dalam rangka penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang di Indonesia dilakukan oleh Polri sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Namun dalam penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1971, Botasupal
dapat mengkoordinasikan instansi-instansi dan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka melakukan kegiatan operasi dan pembinaan baik di dalam maupun
di luar negeri dalam rangka menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang.
Universitas Sumatera Utara
Kerjasama Kepolisian baik Regional maupun Internasional dapat dilakukan melalui Interpol, Badan-badan Pemerintah lainnya atau secara langsung.
64
64
http:sumaryono.blog.friendster.com200708uang-palsu
“
Uang Palsu Perkembangan Dan Penyelesaian Masalahnya” , makalah oleh Sumaryono.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN
Beberapa kelemahan dan hambatan dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah saat ini termasuk di wilayah hokum
Kotamadya Medan, yaitu:
65
Sebagai contoh dalam proses pidana yang dikeanal dengan adanya “Criminal Justice System” dalam praktek, ternyata KUHAP tidak mengatur
jangka waktu penyidik harus mengembalukan berkas perkara yang dikembalikan oleh Penuntut Umum untuk dilengkapi prapenuntutan. Oleh
karena itu dalam prakteknya banyak perkara yang dikembalikan untuk dilengkapi oleh penyidik, tidak dikembalikan kepada penuntut umum, dengan
berbagai alasan, misalnya, kaena tersangka atau saksi yang akan diperiksa tidak di tempat dan sebagainya. Hal ini seharusnya ada pengaturannya dalam
KUHAP, sehingga ada kepastian hukum untuk penyelesaian kasus tersebut. 1. Belum sempurnanya perangkat hukum.
Perangkat hukum yang tidak jelas, serta terdapatnya kekosongan atau rancu, dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Sistem hukum
harus dapat menampung dan memecahkan permasalahan yang terjadi atau yang timbul dalam praktek penegakan hukum.
65
H. Chairuman Harahap, SH, Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, Citapustaka Media, Bandung, 2003, hlm.32.
113
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula halnya terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang sangat diharapkan untuk segera dikeluarkan undang-undang tentang mata uang.
Hal ini dikarenakan dengan melihat begitu besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan ini jangan sampai benar-benar dapat membahayakan
negara oleh karena tidak ditangani dari sekarang. Hai ini nampak dari semakin maraknya kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun, termasuk di kota
Medan. 2. Masih rendahnya moral integritas aparat penegak hukum
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, aparat penegak hukum, yang merujuk pada kesatuan kelompok penegak hukum sering disebut catur wangsa
yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara. Keempatnya telah dianggap sebagai orang-orang yang menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan
kadang-kadang mereka disebut juga dengan pendekar hukum. Setiap aparat dalam komponen Catur Wangsa wajib peduli dan langsung
berkepentingan pada perkembangan mutakhir negara. Kepedulian itu terutama berkenaan dengan cita-cita reformasi sebagaimana yang telah tumbuh dalam
masyarakat luas. Oleh karena itu, harus dijadikan acuan bagi pembinaan dan rekrutmen aparat penegak hukum, agar aparat penegak hukum polisi, jaksa, dan
hakim terdiri dari orang-orang yang tangguh dalam menghadapi godaan dan tantangan yang mungkin timbul dalam proses penegakan hukum.
3. Penegak hukum yang kurang professional Dalam proses penegakan hukum, profesionalisme dalam arti kecakapan
dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam bidang tugasnya, sangat
Universitas Sumatera Utara
diperlukan bagi setiap apaat penegak hukum, agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat, tuntas, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Namun dalam kenyataannya harus diakui bahwa masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang professional,
sehingga penanganan kasus sering terlambat dan bahkan karena ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam
penuntutan di pengadilan. Ini menyebabkan kadangkala timbul reaksi dari pencari keadilan pada saat perkara digelar di pengadilan. Upaya mengatasinya
di samping penyempurnaan, rekrutmen pegawai, juga perlu dilaksanakan pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum.
4. Masih rendahnya penghasilan Aparat Penegak Hukum Terdapat suatu hal yang dilematis pada diri aparat penegak hukum, di satu
sisi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, seorang penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan jujur, adil dan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, penghasilan yang diterimanya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga dengan alasan gaji
atau penghasilan yang tidak cukup aparat penegak hukum melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Rendahnya gaji pegawai negeri
pada umumnya, termasuk penegak hukum polisi, jaksa dan hakim oleh Andi Hamzah dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya korupsi.
5. Masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat Kesadaran hukum masyarakat di wilayah hukum Kotamadya Medan yang
masih rendah dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga masyarakat untuk menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses
penegakan hukum. Memang diakui bahwa hal di atas tidak semata-mata menggambarkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat, karena masih adanya
faktor lain, seperti belum terlaksananya secara maksimal jaminan perlindungan terhadap saksi meskipun telah ada lembaga perlindungan saksi dan korban
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan tetapi jika kesadaran hukum masyarakat tinggi, maka
di satu pihak diharapkan akan timbul kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan di lain pihak akan ada peran serta masyarakat untuk membantu aparat
penegak hukum dalam menegakkan hukum. 6. Kurangnya sarana dan prasarana
Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dalam menciptakan kepastian hukum. Sarana
dan prasarana yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan globalisasi, yang telah mempengaruhi tingkat kecanggihan
kriminalitas, seperti kejahatan pembobolan bank, dengan menggunakan teknologi computer, kejahatan pemalsuan uang dengan menggunakan peralatan
canggih, kejahatan pencucian uang money laundring dan lain sebagainya. Semua jenis kejahatan di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan kerah putih
white colour crime, sehingga penanganannya pun memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
7. Terjadinya campur tangan pemerintah dalam proses peradilan
Universitas Sumatera Utara
Di masa lalu sudah menjadi opini publik, bahwa campur tangan perintah eksekutif terhadap proses peradilan sangat kuat. Pengaruh eksekutif terhadap
proses pengadilan terjadi disebabkan belum adanya kemandirian instansi penegak hukum, terutama instansi pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam
perundang-undangan masih ada celah yang memungkinkan tidak mandirinya instansi pengadilan.
Peredaran uang palsu di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Hal ini didorong oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pemerintah
dalam rangka mengurangi peredaran uang palsu. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang. Bila mereka mendapatkan uang
palsu, mereka cenderung membelanjakannya. Hal ini tidak dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu. Masyarakat justru ikut berperan dalam mengedarkan
uang palsu. Pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasarana yang diperlukan
oleh Polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang terjadi di kota Medan. Selain itu, kurangnya kesadaran
masyarakat untuk segera melaporkan apabila mengetahui tentang uang palsu yang beredar di kota Medan merupakan faktor penting yang terus menjadikan semakin
maraknya pemalsuan uang terjadi di kota Medan. Peran serta masyarakat serta perhatian pemerintah atas sarana dan
prasarana yang dibutuhkan pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan pemalsuan mata uang di kota Medan. Serta koordinasi antara instansi-instansi
Universitas Sumatera Utara
terkait lainnya untuk saling bekerja sama dan memberikan informasi akan atas adanya uang palsu yang ditemukan atau atas diketahuinya adanya praktek
pembuatan uang palsu pada suatu tempat serta hal-hal lain yang berkaitan. Pedagang kecil menjadi sasaran empuk bagi beredarnya uang palsu,
apalagi kalau pedagang itu berada di pinggiran kota, atau bahkan pedesaan, yang tidak akrab dengan berbagai informasi tentang peredaran uang palsu.
66
Teknik percetakan yang semakin berkembang pun turut mendukung kualitas uang palsu yang beredar di masyarakat. Pecahan seratus ribuan yang
semula diperkirakan tidak akan mungkin dipalsukan karena menggunakan bahan dasar plastik, ternyata sudah ditemukan di pasaran dan menyerupai aslinya.
Perkembangan teknologi juga ikut berperan dalam melancarkan tindak pidana pemalsuan uang. Perkembangan teknologi disalahgunakan oleh sekelompok orang
orang untuk melakukan tindakan kriminal. Apalagi peralatan pendukung kegiatan tersebut sangat mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau pula. Tentu saja
kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada perkembangan teknologi, karena dalam hal ini faktor perilaku manusia sangat menentukan. Upaya pencegahan
telah dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencantumkan sticker anti Akan
tetapi, dari hasil pantauan tim surat kabar Sinar Harapan SH, ternyata sasaran peredaran uang palsu bukan hanya berada di kalangan bawah, tetapi juga para
pejabat dan orang-orang kaya. Bagi ukuran kelas kakap seperti demikian, tentu saja bukan lembaran uang dua puluh ribuan yang dipasarkan, tetapi mulai dari
pecahan seratus ribuan sampai mata uang asing.
66
http:www.sinarharapan.co.idberita020415sh05.html
Universitas Sumatera Utara
pemalsuan uang pada printer berwarna. Namun hal tersebut kurang efektif dan justru menimbulkan protes dari kalangan produsen.
Canggihnya teknologi percetakan yang berkembang juga menjadi salah satu kendala memberantas peredaran uang palsu. Peralatan percetakan semakin
mudah didapat, bahkan dengan harga murah sehingga pencetakan uang palsu tidak perlu melibatkan percetakan yang besar tetapi bisa dimodali sendiri dengan
membeli peralatan cetak digital. Dari informasi yang diperoleh Sinar Harapan, peredaran uang palsu sudah
menyerupai jaringan peredaran narkoba. Pada umumnya, para pengedar uang palsu tidak saling mengenal baik antara sesama pengedar maupun antara pengedar
dengan pencetak uang palsu. Sistem sel yang digunakan dalam peredaran uang palsu ini jelas menyulitkan aparat keamanan dalam memberantas peredaran uang
palsu. Berbeda dengan jaringan peredaran narkoba yang selalu memanfaatkan orang-orang kalangan atas sebagai anggota jaringan, peredaran uang palsu
biasanya melibatkan orang-orang yang perekonomiannya sulit yang berada di pinggiran kota, atau pensiunan yang tidak lagi memiliki aktivitas rutin. Karena
tidak saling kenal, polisi pun kesulitan melacak jaringan yang lebih besar. Tersangka pengedar uang palsu yang ditangkap, pada umumnya menyatakan baru
mengenal si pemilik uang palsu hanya ketika melakukan transaksi. Dalam catatan Bank Indonesia, sampai 27 Februari 2002, uang kartal yang
diedarkan UYD mencapai Rp 79,05 triliun. Dari jumlah itu, 42,2 persennya merupakan pecahan seratus ribuan, menyusul pecahan lima puluh ribuan sebanyak
30,7 persen, sedangkan pecahan di bawah seribuan hanya 1,84 persen. Kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
uang pecahan besar itu terutama di kota-kota besar. Dari jumlah UYD itu, temuan uang palsu mencapai Rp 3,878 miliar. Sehingga rasionya 1:1 juta. Artinya,
terdapat satu lembar uang palsu dalam satu juta lembar. Temuan uang palsu yang beredar itu lebih dari separuhnya adalah pecahan lima puluh ribuan.
Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan orang awam mencetak uang palsu dengan scanner dan printer warna. Plastik polimer seperti untuk uang
seratus ribu bahkan bisa didapatkan dengan mudah di pasaran. Akan tetapi, yang sampai saat ini belum bisa dilakukan para pemalsu adalah penanaman benang
pengaman yang ada dalam bubur kertas uang banknote paper dan tanda air watermark.
Oleh karena itu, Bank Indonesia harus bertindak lebih cepat dan canggih dari para pemalsu uang. Sayangnya, dari lima proses produksi uang, empat di
antaranya di tangan BI, sementara satu yang menyangkut pencetakan menjadi kewenangan Perusahaan Umum Percetakan Uang Perum Peruri. Banyaknya
kasus penipuan uang palsu ini, ternyata tidak mudah di bawa ke meja hijau. Kalau pun berhasil dimejahijaukan, hukuman yang harus ditanggung tidak setimpal
dengan perbuatan yang dilakukannya. Kendala lain yang dihadapi dalam pemberantasan uang palsu juga
disebabkan minimnya anggaran untuk operasional pemberantasan uang palsu. Sekalipun Bank Indonesia menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari nilai
uang palsu yang berhasil digerebek, menurut sumber Sinar Harapan di Kepolisian, kenyataannya dana tersebut tidak sampai ke petugas polisi yang
melakukan penggerebekan dan penyidikan. Dana operasional dari BI justru jatuh
Universitas Sumatera Utara
ke pihak lain yang sebenarnya hanya bertugas untuk mencatat jumlah uang palsu yang berhasil di temukan.
Olah karena itu, sepanjang masalah uang palsu tidak dianggap sebagai masalah serius yang harus ditangani secara integrated, Bank Indonesia dan aparat
penegak hukum hanya berkejar-kejaran dengan para pemalsu uang. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Poltabes
MS dalam hal pemberantasan uang palsu yaitu di mana orang yang memalsukan jarang tertangkap dan yang dapat diketahui hanyalah yang mengedarkan saja. Hal
demikian dikarenakan sistem jaringan yang mereka gunakan sangat rapi sehingga bisa terputus dan tidak sampai kepada si pembuat atau si pencetak.
67
· Pemerintah perlu menyiapkan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu
Faktor yang menyebabkan timbulnya kendala demikian adalah kurangnya sarana dan prasarana dalam pengungkapan uang palsu yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian. Sarana dan prasarana tersebut antara lain biaya, perlengkapan, dan lain-lain.
Terdapat beberapa saran untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang, antara lain :
· Pemerintah harus memproses kasus pemalsuan uang secara tuntas seakar- akarnya supaya tidak muncul kasus pemalsuan uang.
· Pemerintah harus lebih tegas, berkomitmen, dan konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat untuk memberantas tindak pidana pemalsuan uang.
67
Wawancara penulis dengan Aipda Jikri Sinurat, Unit Ekonomi Sat Reskrim Poltabes MS.
Universitas Sumatera Utara
mengadakan kerja sama dengan masyarakat. Dalam kasus pemalsuan uang, sikap dan sifat masyarakat memegang kunci penting. Kesadaran masyarakat akan
tindak pidana tersebut perlu diperbaiki. Sehingga bila masyarakat menemukan uang palsu, mereka cenderung akan melaporkan kepada pihak yang berwajib
daripada membelanjakannya. Pada akhirnya, uang palsu yang beredar di masyarakat dapat ditekan.
68
68
http:paskakurniajati.blogspot.com200902pemalsuan-uang.html
Universitas Sumatera Utara
BAB V STUDI KASUS
A. Kasus Posisi