Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada Pengadilan Negeri Medan)

(1)

EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN

WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM 090200475

WAHYU SYAH ALAM TAMPUBOLON

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN

WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM 090200475

WAHYU SYAH ALAM TAMPUBOLON

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH

NIP. NIP.

Maria Kaban, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai ... 13

B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan ... 19

C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata... 22

D. Perjanjian Damai Dalam HIR/ RBG ... 33

E. Perjanjian Damai Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ... 34

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF


(4)

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 38

B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 41

C. Mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 54

D. Latar Belakang Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 57

E. Kebaikan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 63

BAB IV EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN) A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Damai (Akta Van Dading) Bagi Para Pihak Yang Berdamai ... 67

B. Akibat Hukum Atas Akta Van Dading ... 69

C. Pelaksanaan Eksekusi Akta Van Dading ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(5)

ABSTRAK

Konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan masyarakat, dalam hai ini elit bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis, polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban. Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah dengan alternative

dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat

dan berbiaya murah. Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan menggunakan alternative dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan adalah mediasi, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung. Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai kekuatan mengikat perjanjian damai (acte van dading) bagi para pihak yang berdamai, akibat hukum atas acte van dading bagi para pihak yang berdamai, dan pelaksanaan eksekusi atas acte van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

Kesimpulan yang dapat di tarik dari penulisan skripsi ini adalah dalam hal kekuatan hukum perjanjian perdamaian tertuang pada Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan.” Proses perdamaian melalui bantuan mediator dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian berhasil maka berakibat dituangkan ke dalam suatu “acte van dading”, kemudian dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”, yang sama kekuatannya dengan suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan


(6)

hukum tetap (in kracht van gewijsde), karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Eksekusi riil merupakan eksekusi terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi.


(7)

ABSTRAK

Konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan masyarakat, dalam hai ini elit bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis, polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban. Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah dengan alternative

dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat

dan berbiaya murah. Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan menggunakan alternative dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan adalah mediasi, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung. Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai kekuatan mengikat perjanjian damai (acte van dading) bagi para pihak yang berdamai, akibat hukum atas acte van dading bagi para pihak yang berdamai, dan pelaksanaan eksekusi atas acte van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

Kesimpulan yang dapat di tarik dari penulisan skripsi ini adalah dalam hal kekuatan hukum perjanjian perdamaian tertuang pada Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan.” Proses perdamaian melalui bantuan mediator dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian berhasil maka berakibat dituangkan ke dalam suatu “acte van dading”, kemudian dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”, yang sama kekuatannya dengan suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan


(8)

hukum tetap (in kracht van gewijsde), karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Eksekusi riil merupakan eksekusi terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini berbagai macam konflik atau sengketa sering timbul dalam masyarakat. Penyebabnya sangat beragam dan multidimensi, seperti karena masalah ekonomi, politik, agama, suku, golongan, harga diri, dan sebagainya yang kemudian menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).1

Konflik menjadi hal yang penting untuk dibahas mengingat semakin meningkatnya jumlah dan kadar konflik dari hari ke hari, baik yang disertai kekerasan maupun tidak. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan masyarakat. Elit di sini bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis, polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, Konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, maka perselisihan itu tidak ada atau berakhir ketika ketidak benaran dan ketidak berhakkannya disadari.

1

Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2007, hlm. 279


(10)

konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban. Masing-masing konflik yang terjadi belum tentu sama cara penyelesaiannya. Dalam hal ini setiap masyarakat umumnya mempunyai cara sendiri dalam menyelesaikan setiap sengketa atau konflik yang dihadapi, mulai dari cara-cara yang sederhana sampai yang lebih kompleks.

Sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pedesaan dimana mereka merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya (alam semesta). Dengan kata lain, penduduk senantiasa harus menyesuaikan perilakunya dengan tata hidup alamiah untuk mencapai kebahagiaan. Sehubungan dengan hal tersebut, mereka dalam berperilaku memperhitungkan ketentuan-ketentuan gaib yang tidak tampak. Jika timbul sengketa di antara mereka, jarang sekali dibawa ke pengadilan negeri untuk diselesaikan. Mereka lebih suka dan dengan senang hati membawa sengketa ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di hadapan kepala desa atau hakim adat.

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict

of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidak puasannya


(11)

pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.2

Penyelesaian perkara dengan menggunakan alternatif dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan maraknya kegiatan perdagangan dunia yang tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antar pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perdagangan tersebut.

Dalam kehidupan sosial adanya konflik sudah menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan sehari-hari, banyaknya kepentingan menyebabkan lebih banyak konflik, apalagi dalam keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen dan merupakan salah satu negara nerpenduduk paling padat di dunia. Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan sengketa yag muncul adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli non hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (dispute resolution). Berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan kemaslahatan. Pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non litigasi (di luar pengadilan) dengan menggunakan alternatif dispute resolution, sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan.

2

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase – Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000, hlm. 34


(12)

Penyelesaian sengketa secara litigasi (melalui pengadilan) dianggap terlalu lama dalam proses penyelesaian perkara yang dalam dunia bisnis dianggap tidak menguntungkan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah dengan alternatif dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan berbiaya murah (quick and lower in time and money to the

parties). Oleh karena sistem penyelesaian sengketa melalui alternatif dispute

resolution yang diatur dalam regleman on de rechtvording tidak sesuai lagi

dengan kebutuhan perdagangan saat ini, maka dipandang perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baru, yang sesuai dengan kondisi zaman.

Pada 12 Agustus 1999 Pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sebelumnya masalah ini diatur dalam reglement on de bergerlijke rechtsvordering S. 1847-52 juncto 1849-63. Ketentuan ini diberlakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 untuk mengisi kekosongan hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak hanya mengatur tentang arbitrase salah satu alternatif penyelesaian sengketa, tetapi diatur juga tentang alternatif penyelesaian perkara dalam bentuk yang lain seperti negosiasi, konsiliasi dan mediasi. Sedangkan yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi dipengadilan negeri. Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi, dapat pula melalui bantuan pihak ketiga yang netral di luar para pihak yang


(13)

disebut mediasi, lembaga damai atau konsiliasi dan dapat pula dilaksanakan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar adil yang berarti meletakkan sesuatu pada semestinya. Kata peradilan dan pengadilan mempunyai arti yang berbeda akan tetapi terkadang dipakai untuk arti yang sama. Peradilan adalah sebuah sistem aturan yang mengatur agar supaya kebenaran adan keadilan bisa ditegakkan, sedangkan pengadilan asalah sebuah perangkat organisasi penyelenggaraan peradilan, dan pengadilan inilah yang biasa disebut lembaga peradilan.

Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan menggunakan alternatif dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung.

Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan.3

3

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 66

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulisan skripsi ini akan diberi judul “Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada Pengadilan Negeri Medan).”


(14)

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian damai (akta van dading) bagi para pihak yang berdamai?

2. Bagaimana akibat hukum atas akta van dading bagi para pihak yang berdamai?

3. Bagaimana pelaksanaan eksekusi atas akta van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai?

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur tentang hukum perdata dan hukum acara perdata di Indonesia. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian damai (akta van dading) bagi para pihak yang berdamai?

2. Untuk mengetahui akibat hukum atas akta van dading bagi para pihak yang berdamai?

3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi atas akta van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai?


(15)

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:

1. Manfaat secara teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum keperdataan. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada setiap perjanjian damai yang terjadi di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:

a. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di


(16)

perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).4

b. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.5

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) dan penelitian yuridis empiris.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, HIR, RBg, maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum perdata dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sema Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian, Perma Nomor 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur

4

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81

5


(17)

Mediasi Di Pengadilan, Keputusan Ketua MA-RI Nomor 26/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan lain-lain.

3. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut data sekunder.6

6

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 24

Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Di samping itu ada pun metode pengumpulan data yang lain yaitu Data Primer, data yang diperoleh langsung dari objek penelitian seperti Wawancara, dan sebagainya.


(18)

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada Pengadilan Negeri Medan)” adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti judul skripsi yang hampir sama, namun dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara juga telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam lima bab, yang sistematikanya sebagai berikut:


(19)

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM

HUKUM PERDATA

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian perjanjian dan perjanjian damai, perjanjian damai menurut adat dan kebiasaan, perjanjian damai dalam KUH Perdata, perjanjian damai dalam HIR/ RBg, perjanjian damai dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYELESAIAN

SENGKETA ALTERNATIF

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian penyelesaian sengketa alternatif, jenis-jenis penyelesaian sengketa alternatif, mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, latar belakang Perma Nomor 1 Tahun 2008, kebaikan Perma Nomor 1 Tahun 2008

BAB IV EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM

PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM


(20)

PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang kekuatan mengikat perjanjian damai (akta van dading) bagi para pihak yang berdamai, akibat hukum atas akta van dading, pelaksanaan eksekusi akta van dading

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang kesimpulan dan saran


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai

Kata perdamaian artinya penghentian permusuhan, tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan.7 Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace,

tranquility. Berdamai dipadankan dengan kata be peaceful, be on good terms.

Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve,

peacefully.8 Dalam bahasa Belanda, kata dading diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata vergelijk dipadankan dengan kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara.9

Perdamaian merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Dalam

7

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Diolah Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 259

8

John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, Jakarta: PT.Gramedia, 1994, hlm. 129

9

Fockema Andrea, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1983, hlm. 87, hlm. 616


(22)

persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak menyelesaikanya sendiri tanpa melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula terjadi dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati, untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian.

Pengertian perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Dalam perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan sebagian tuntutan mereka, demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta, karena perjanjian tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Akta perdamaian dapat di bagi dua sebagai berikut:

1. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk.

Pasal 130 HIR menghendaki penyelesaian sengketa secara damai, pasal tersebut berbunyi “jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka


(23)

pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka.” Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, bahwa segala perdamaian di antara pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional.

Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.10

Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mentaati atau tidak melaksanakan isi yang tertuang dalam akta perjanjian perdamaian tersebut tersebut secara sukarela maka dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri, sehingga ketua pengadilan negeri memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Putusan tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, akta perdamaian adalah akta yang memuat isi

10

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 279-280


(24)

kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.

2. Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim atau acta van dading.

Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “dading” adalah suatu perjanjian

(overeenkomst) yang tunduk pada Buku III KUH Perdata, dan oleh karenanya

sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, alinea pertama, dading sebagai suatu perjanjian, asalkan dibuat secara sah (wettiglijk) mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang (strekken degenen die dezelven

hebben aangegaan tot wet). Jadi, asalkan dading tersebut, sebagai suatu

perjanjian, dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, dading hanya dapat dibatalkan atau ditarik kembali bilamana:

a. Para pihak yang terikat oleh dading menyepakati pembatalan atau penarikan kembali kesepakatannya tersebut (met wederzijdsche

toestemming).

b. Atas dasar suatu alasan yang sah yang menurut undang-undang dinyatakan cukup untuk pembatalan atau penarikan kembali tersebut (uit hoofde der

redenen welke de wet daartoe voldoende verklaart) (Pasal 1338 KUH

Perdata, alinea kedua).

Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah acta van dading dan acta van

vergelijk. Kalangan para hakim lebih cenderung menggunakan acta van dading


(25)

pengukuhan dari hakim, sedangkan acta van vergelijk adalah akta yang telah memperoleh pengukuhan dari hakim.

Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi subyek dari perjanjian perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1852, yang berbunyi “untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam perdamaian itu. Wali-wali dan pengampu-pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari bab ke lima belas dan tujuh belas dari buku ke satu kitab undang-undang ini. Kepala-kepala daerah yang bertindak sebagai demikian begitu pula lembaga-lembaga umum tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan acara-acara yang ditetapkam dalam perundang-undangan yang mengenai mereka.”

Obyek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Adapun obyek perjanjian perdamaian adalah:

1) Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan.

2) Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.

Pasal 1851 KUH Perdata, perdamaian yang diadakan di antara para pihak harus dibuatkan dalam bentuk tertulis, sehingga dapat di simpulkan bahwa bentuk


(26)

tertulis dari perjanjian perdamaian yang dimaksudkan undang-undang adalah bentuk tertulis yang otentik yaitu yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, yang dalam hal ini adalah notaris. Perjanjian perdamaian secara tertulis ini dapat dijadikan alat bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim (pengadilan), karena isi perdamaian telah mempunya kekuatan hukum yang tetap.

Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak. Perdamaian yang tidak diperbolehkan adalah:

a) Perdamaian tentang telah terjadinya kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perkara.

b) Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan atau paksaan. c) Perdamaian mengenai kekeliruan duduknya perkara tentang suatu alas hak

yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.

d) Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu.

e) Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akan tetapi, jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.


(27)

f) Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hak itu. Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.11

B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan

Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.

Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu memorandum of understanding yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. Perjanjian perdamaian tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam Pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”, dan meskipun tidak menyebut kata adat, Pasal 1.1.7 tentang pembentukannya lembaga wali nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses, revitalisasi lembaga adat di Aceh.

Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk meng implementasikan memorandum of understanding helsinki, pemerintah indonesia

11

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 94


(28)

telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang lembaga wali nanggroe dan memposisikan wali nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di aceh. Bab XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan12

Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus di bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat agar tersedianya mekanisme perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara, proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah proses damai. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun jika penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan

12

Juniarti, Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal, Badan Litbang Pusat Analisis Perubahan Sosial (PASPAS) Aceh, hlm. 2451


(29)

anak dalam proses penyelesaian perkara tersebut merupakan suatu keharusan sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan untuk menerima sebuah keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut mesti berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang dituangkan dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan agar pelaku tidak lagi melakukan tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara berulang maka pemangku adat harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk melaporkan perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut.

Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau korbannya adalah perempuan, seperti perkelahian antar perempuan atau pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga maka laporan tersebut dapat saja disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh perempuan setempat, dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat bahwa penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan, namun jika langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua laki-laki, maka pemangku adat harus menyerahkan perkara tersebut kepada istri-istrinya atau tokoh perempuan agar melakukan penanganan awal. Upaya ini menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan untuk perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat membantu untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan persoalan yang bersifat sangat pribadi akan lebih nyaman dilakukan sesama


(30)

perempuan. Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian perkara, maka keterlibatan perempuan di dalamnya proses persidangan dan keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas. Jika tidak ada perempuan dalam struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan yang menjadi korban pada saat persidangan di lakukan.13

C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata

Jadi dapat disimpulkan perjanjian damai menurut adat dan kebiasaan adalah perjanjian persetujuan damai antara para pihak yang bersengketa yang didamaikan oleh pemangku adat setempat, dimana pihak yang bersengketa berjanji didepan pemangku adat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan mereka yang merugikan masing-masing pihak dan jika perbuatan tersebut di ulangi maka pemangku adat akan mengambil jalur hukum untuk menyelesaiakan perselisihan para pihak.

Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perdata. Perdamaian adalah suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 KUH Perdata).14

13

Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam, hlm. 21

14

Salim, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan, Cetakan Ke-8, Jakarta: Sinar Gragika,2008, hlm. 92

Definisi lain dari perdamaian adalah persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya


(31)

suatu sengketa. Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut perjanjian formal dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat menurut suatu formalitas tertentu.15 Oleh karena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara. Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya.16

Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Dari rumusan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perdamaian merupakan suatu perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan tujuan mengakhiri suatu perkara yang sedang dalam proses, atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Menurut Subekti, perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah.17

1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.

Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam KUH Perdata Pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut empat unsur, yaitu:

15

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 177

16

Victor M. Situmorang, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 3

17


(32)

Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama menyetujui dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam Pasal1320 KUH Perdata:

a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming).

b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid).

c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp). d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah).

Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap unsur, seperti kekeliruan/kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan

(bedrog). Sedangkan dalam Pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat

dibatalkan jika terjadi kekhilafan mengenai orangnya, dan mengenai pokok yang diperselisihkan. Kemudian dalam Pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalah pahaman perdamaian, seperti kesalahpahaman tentang duduknya perkara, dan kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.

2. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa.

Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan.

3. Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang dalam bentuk tertulis.


(33)

Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus bersifat tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan perjanjian perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian, yakni putusan perdamaian dan akta perdamaian.

4. Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara (sengketa).

Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa, karena menurut Pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan dan sudah nyata wujud dari persengketaan perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perdamaian, namun dalam Pasal 1852 KUH Perdata telah ditentukan orang yang berwenang untuk melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk melakukannya adalah para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam buku kesatu KUH Perdata, dan kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga hukum.

Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Objek perjanjian perdamaian adalah mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian


(34)

sekali-kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya, sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.

Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.18

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak dijelaskan secara rinci tentang mekanisme perdamaian yang harus dilaksanakan oleh hakim, hanya disebutkan bahwa dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak, terlebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkara. Sebenarnya kata-kata ini kurang tepat sebab pada permulaan sidang umumnya para hakim belum mengetahui secara pasti bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya dan baru diketahuinya apabila pemeriksaan sudah berjalan, disinilah hakim baru mempunyai gambaran yang jelas tentang duduknya Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah

“dading” dalam praktik hukum acara perdata, yakni persetujuan dalam perjanjian

yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan kepada Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG dan Pasal 1851 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini hanya memuat kewajiban bagi hakim untuk mengadakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memulai memeriksa pokok perkara.

18

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 92


(35)

perkara dalam sengketa yang disidangkan. Pada saat itulah, waktu yang tepat untuk mendamaikan kedua belah pihak, hal ini dapat dilaksanakan secara terus menerus sebelum perkara itu diputus sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 31 RV. Oleh karena mekanisme dan teknik usaha perdamaian tersebut diserahkan kepada hakim yang bersangkutan, maka berhasil atau tidaknya usaha perdamaian tersebut dengan sendirinya akan tergantung pada usaha maksimal dari hakim yang bersangkutan.

Hakim yang menyidangkan perkara itu harus berusaha semaksimal mungkin agar para pihak mau berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung. Tidaklah cukup bila hakim yang menyediakan perkara itu hanya sekedar menanyakan kesediaan berdamai kepada masing-masing pihak. Bila hakim tersebut aktif memberikan motivasi kepada para pihak yang berperkara, maka besar kemungkinan usaha perdamaian itu akan berhasil mencapai kesepakatan. Jika damai berhasil dilaksanakan maka dibuat akta damai yang selanjutnya bila para pihak memerlukannya dapat ditetapkan sebagai putusan perdamaian yang mengikat para pihak seperti putusan yang telah inkrah. Dalam melaksanakan usaha damai persidangan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan oleh hakim dalam melaksanakannya antara lain:

1. Harus ada persetujuan kedua belah pihak

Kedua belah pihak yang bersengketa hendaknya menyetujui secara sukarela untuk mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan. Persetujuan sukarela itu timbul dari kehendak yang murni kedua belah pihak yang bersengketa bukan kehendak sepihak atau karena kehendak hakim. Dalam kaitan


(36)

ini berlaku sepenuhnya Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kata sepakat secara sukarela antara kedua belah pihak, cara membuat persetujuan itu objek persetujuan mengenai hal tertentu dan didasarkan alasan yang diperbolehkan atau causa yang halal.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam persetujuan damai yang dibuat itu tidak boleh ada cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Dalam persetujuan itu tidak boleh terkandung unsur-unsur kekeliruan, paksaan dan penipuan. Apabila suatu persetujuan yang dibuat itu mengandung cacat formil, maka berdasarkan Pasal 1859 KUH Perdata, persetujuan damai yang dibuat itu dapat dibatalkan apabila terjadi kekhilafan mengenai orangnya atau pokok yang diperselisihkan. Demikian juga tentang faktor kesalahfahaman sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1860 KUH Perdata, yaitu salah paham mengenai duduknya perkara atau kesalahan dalam menentukan atas hak yang batal dapat merupakan alasan yang membatalkan putusan perdamaian.

2. Putusan perdamaian harus mengakhiri sengketa

Apabila perdamaian terjadi, maka perdamaian yang sudah terjadi itu harus mengakhiri semua sengketa menyeluruh dan tuntas. Bila tidak tuntas dan tidak menyeluruh semua objek yang disengketakan maka persetujuan damai itu tidak memenuhi syarat formil sahnya suatu putusan perdamaian. Apabila pelaksanaan damai dilaksanakan secara menyeluruh dan tuntas, dikhawatirkan di kemudian hari di antara kedua belah pihak yang berperkara akan mengalami sengketa yang sama untuk diselesaikan di pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum. Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan majelis hakim itu harus


(37)

betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara para pihak yang berperkara secara tuntas dan harus betul-betul mengakhiri sengketa secara keseluruhan.

Agar putusan perdamaian itu sah dan mengikat para pihak yang berperkara, maka putusan perdamaian itu dibuat dengan sukarela dan formulasi perdamaian itu bagi para pihak. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik maka peranan hakim sangatlah menentukan dalam mengajak para pihak untuk berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan.

3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada

Dalam Pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa syarat untuk dapat dijadikan dasar suatu putusan perdamaian adalah sengketa para pihak yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa isi Pasal 1851 KUH Perdata, bahwa perdamamain itu dapat lahir dari suatu sengketa perdata yang sedang diperiksa di pengadilan maupun yang belum diajukan ke pengadilan, atau perkara yang sedang tergantung di pengadilan sehingga persetujuan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat mencegah terjadinya perkara di pengadilan.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan perdamaian itu hanya terjadi dalam sengketa perdata dan persengketaannya secara nyata telah terwujud secara resmi. Format perdamaian yang diajukan kepada pengadilan dapat dibuat bentuk akta notaris atau juga akta di bawah tangan.


(38)

4. Bentuk perdamaian harus tertulis

Dalam Pasal 1851 KUH Perdata juga dikemukakan bahwa persetujuan perdamaian itu sah jika dibuat secara tertulis. Syaratnya adalah imperatif tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan di hadapan pejabat yang berwenang. Akta perdamaian harus dibuat secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Sesuai tahap dibuatnya persetujuan perdamaian, dikenal 2 (dua) macam bentuk persetujuan:

a. Bentuk putusan perdamaian

Dikatakan persetujuan perdamaian berbentuk putusan perdamaian apabila terhadap persetujuan dituangkan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini perselisihan antara kedua belah pihak sudah diajukan ke pengadilan berupa gugatan perdata. Apabila para pihak sepakat berdamai, persetujuan perdamaian yang dibuat dimintakan kepada hakim untuk menjadi acuan putusan pengadilan. Tidak menjadi soal apakah persetujuan itu tercapai sebelum atau sesudah perkara itu diperiksa pengadilan di persidangan. Pada dasarnya para pihak boleh meminta putusan perdamaian pada saat permulaan pemeriksaan, pertengahan atau pada akhir pemeriksaan. Hakim yang dimintakan untuk menjatuhkan putusan perdamaian haruslah terlebih dahulu memperhatikan adanya persetujuan perdamaian yang dirumuskan dalam suatu akta, dan persetujuan perdamaian itu tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari pokok perkaranya. Meskipun yang merumuskan materi isi persetujuan perdamaian adalah inisiatif para pihak, namun tidaklah mengurangi peran hakim untuk memberikan bantuannya. Hakim dapat


(39)

memberikan petunjuk dan dapat berperan sebagai pendamping ketika isi persetujuan dirumuskan. Adalah penting untuk diperhatikan hakim ada tidaknya tanda tangan kedua belah pihak dibubuhkan dalam akta persetujuan yang dibuat. Sekiranya didapati salah satu pihak enggan untuk menandatangani, hakim haruslah menolak permintaan putusan perdamaian, dan melanjutkan pemeriksaan perkaranya. Apabila ternyata para pihak telah bersama-sama menandatangani akta persetujuan dan isi persetujuan perdamaian itu tidak menyimpang dari pokok perkara yang dipersengketakan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan perdamaian dengan mengambilalih sepenuhnya isi persetujuan dan dictum atau amar putusan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian. b. Berbentuk akta perdamaian

Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.19

19

Ibid.

Jika persetujuan perdamaian terjadi tanpa campur tangan hakim disebut persetujuan dalam bentuk akta perdamaian. Apabila yang disengketakan para pihak sudah atau belum diajukan sebagai gugatan kepengadilan. Misalnya sengketa sudah diajukan sebagai gugatan ke pengadilan, lalu campur tangan hakim para pihak menghadap notaris membuat persetujuan damai dalam bentuk akta perdamaian dan dengan adanya akta perdamaian itu para pihak mencabut perkaranya dari pengadilan dan tidak meminta persetujuan itu dikukuhkan dengan putusan pengadilan.


(40)

Putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian tidak melekat kekuatan eksekutorial, dan sewaktu-waktu masih terbuka hak para pihak untuk mengajukan sebagai gugatan perkara. Seperti telah dikemukakan terdahulu pada putusan perdamaian melekat kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Dari bunyi Pasal 1858 KUH Perdata demikian pun dari isi Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBG dapat ditarik kesimpulan:

1) Putusan perdamaian disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya hukum baik banding maupun kasasi dan peninjauan kembali, hal ini sejalan dengan pengertian yang melekat pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Suatu putusan disebut sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat diajukan banding atau kasasi. 3) Dalam putusan perdamaian melekat kekuatan hukum mengikat para pihak

atau kepada orang yang memperoleh hak dari mereka. Para pihak tidak dapat membatalkan putusan perdamaian secara sepihak, dan para pihak wajib mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi putusan perdamaian. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Nopember 1976 No. 1245.K/Sip/1974 bahwa ”pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta


(41)

tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Uraian tersebut di atas menunjukkan apabila ternyata salah satu pihak mengingkari isi putusan perdamaian, maka pihak yang lain dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri, supaya pihak yang inkar itu dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, dan jika perlu dapat diminta bantuan alat negara. Dalam hal ini semua ketentuan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian.20

D. Perjanjian Damai Dalam HIR/RBG

Hukum acara perdata yang berlaku dalam perjanjian damai diatur baik dalam Pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun Pasal 154

Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), mendorong para pihak untuk menempuh

proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. Dalam ketentuan Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak, meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta perdamaian yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, dan perdamaian diluar persidangan dengan terlebih dahulu mencabut gugatan (tidak mengikat karena hanya sebagai persetujuan dan dapat diajukan gugatan kembali). Jika pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim harus berusaha mendamaikan mereka. Pada saat inilah hakim dapat berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR/ RBg. Untuk keperluan

20

Mahyuni, Lembaga Damai Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 16 Oktober 2009, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkuran Banjarmasin, 2009, hlm. 543


(42)

perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya, yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan dan usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan. Dalam hal perdamaian gagal, maka hakim akan melanjutan proses pemeriksaan perkara dengan pemeriksaan perkara biasa, namun hakim dalam setiap lanjutan persidangan harus tetap mengupayakan proses perdamaian.

E. Perjanjian Damai Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.21

21

Pasal 1Ayat 6 Dan 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum, yang dimana hakim dalam


(43)

pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara tersebut telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator yang bersangkutan.22

Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak pengggugat melalui uang panjar biaya perkara. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan. Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah.23

1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Tahapan pra mediasi dalam hukum acara perdata menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dimana terdapat kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum, yakni:

2. Ketidak hadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.

3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

22

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

23


(44)

6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

7. Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.24

Setelah adanya tahap pra mediasi ini, maka akan dilakukan tahap selanjutnya adalah mediasi antara kedua belah pihak yang dimediatori oleh hakim maupun non hakim. Tahapan mediasi tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.

b. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

c. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6).

d. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.

24


(45)

e. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.

f. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.25

Setelah dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut berhasil maka dibuatlah akta atau putusan perdamaian untuk bukti perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/ Pasal 155 RBg).

Khusus untuk gugatan perceraian, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut, apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang tertutup untuk umum.

25


(46)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Alternatif

Suatu konflik atau sengketa tidak akan selesai sampai konflik atau sengketa tersebut terselesaikan. Sebenarnya penyelesaian sengketa secara damailah yang diinginkan, dimana bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar individu, kelompok, organisasi, lembaga bahkan antar negara sekalipun. Namun dengan cara perdamaian haruslah dengan hati yang lapang menerima segala kesepakatan yang disetujui dan dengan cara damai haruslah adil dimana yang berhak mendapatkan dialah yang berhak mendapatkan, dan yang tidak berhak mendapatkan haruslah menerima kalau hal yang dipermasalahkan bukan menjadi haknya.26

Penyelesaian sengketa sifatnya adalah segera, karena jika tidak segera ditanggapi dengan tanggap maka permasalahan atau sengketa akan semakin memuncak dan masalah bisa menjadi semakin besar dan mengakibatkan adanya kekerasan diantara kedua belah pihak tersebut. Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya. Secara umum pengertian

26

Cara Penyelesaian Sengketa,


(47)

penyelesaian sengketa adalah rangkaian proses untuk menyesaikan suatu sengketa dengan suatu cara atau metode yang digunakan untuk mencari akar permasalahan dan juga untuk mencari solusi atas permasalahan yang telah menjadi sengketa. Metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa ini biasanya bisa berbentuk penyelesaian sengketa secara melalui lembaga peradilan maupun melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa.

Seiring dengan reformasi di lembaga-lembaga peradilan yang tidak lain untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan yang ada, untuk memaksimalkan proses penyelesaian sengketa, maka dikembangkan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) yang merupakan pengembangan budaya dari masyarakat dalam upaya-upaya penyelesaian konflik, yang kemudian diatur tentang pengembangan kelembagaannya melalui landasan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut tidak mengatur bagaimana jika kesepakatan alternative dispute resolution tersebut ternyata kemudian hari diingkari oleh salah satu pihak. Ketentuan dalam undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat diantara para pihak dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum diharapkan mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. Sebagaimana judulnya yang lebih menekankan pada arbitrase dapat dilihat bahwa pada dasarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah banyak mengatur


(48)

mengenai ketentuan arbitrase sedangkan ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa selain arbitrase itu sendiri hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 6.27

Model penyelesaian konflik melalui alternative dispute resolution di Indonesia bukan hal yang baru lagi karena sudah membudaya dan lama dipraktekkan oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketa. Pada masyarakat Amerika Serikat, banyak sekali pengusaha yang lebih memilih menyelesaikan sengketa kontrak di luar pengadilan. Alternatif dispute resolution yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti penyelesaian sengketa alternatif adalah suatu proses penyelesaian sengketa non litigasi dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu aatau dilibatkan dalam penyelesaian persengketaan tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral.

28

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengartikannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penialaian ahli (Pasal 1 Ayat 10). Undang-undang ini juga menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian

27

Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2001, hlm.1

28

Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 38


(49)

sengketa alternatif, hanya sayangnya undang-undang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbitrase.29

Pada dasarnya alternatif dispute resolution keberadaan telah diakui sejak tahun 1970 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, penjelasan Pasal 3 undang-undang ini menyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbiter) tetap diperbolehkan, selain itu Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini juga menyatakan bahwa ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perdata secara perdamaian.30

B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Alternatif

Pada intinya yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi, dapat pula melalui bantuan pihak ketiga yang netral di luar para pihak yang disebut mediasi, lembaga damai atau konsiliasi dan dapat pula dilaksanakan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Penyelesaian atas suatu sengeta merupakan hal yang harus segera dilaksanakan, mengingat adanya kepentingan berbeda dari para pihak yang bersengketa, maka sengketa yang terjadi harus segera didamaiakan dan

29

Ibid., hlm. 13

30


(50)

diselesaikan. Dalam melaksanakan proses penyelesaian sengketa bagi para pihak, dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yang berbeda, adapun dua metode tersebut yaitu:

1. Metode penyelesaian melalui lembaga peradilan (litigasi)

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan definisi litigasi tidak diatur secara eksplisit didalam peraturan perundang-undangan. Namun dalam dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.”31

Berdasarakan rumusan undang-undang tersebut dapat dirumuskan bahwa litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.

32

Kebaikan dari sistem ini adalah ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini.

31

Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

32

Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan


(51)

Biaya yang relatif lebih murah. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya kepastian hukum, karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung, dimana jika pengadilan negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi atau kasasi ke mahkamah agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap.

Selain itu terdapat pengetahuan hakim yang awam dimana pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.

Frans Hendra Winarta, mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi


(52)

merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.33

Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan alternative dispute

resolution atau alternatif penyelesaian sengketa.

34

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal sangat banyak namun lazimnya penyelesaian sengketa alternatif yang dilaksanakan di Indonesia adalah seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dapat ditemui sekurang-kurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum dan arbitrase.35

Jika negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersama-sama antara para pihak yang bersengketa dengan konsultan atau ahli hukumnya sendiri, selanjutnya mediasi dan konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa, dalam mediasi fungsi pihak ketiga dibatasi hanya sebagai penyambung, sedangkan dalam konsiliasi pihak ketiga terlibat secara aktif dalam memberikan usulan solusi atas sengketa yang

33

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional (Edisi 2), (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 1-2

34

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori & Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 8

35

Abdul Halim, Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution), Tulisan Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI, hlm. 17


(53)

terjadi, sedangkan arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan swasta dengan arbitrase sebagai hakim swasta yang memutus untuk kedua belah pihak yang bersengketa.36

2. Metode penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi

Alternative Dispute Resolution sebagai lembaga penyelesaian sengketa

atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penialaian ahli. UU Arbitrase juga menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian sengketa alternatif, hanya undang-undang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbitrase.37 Pada dasarnya

alternatif dispute resolution pada Pasal 3 dinyatakan bahwa penyelesaian perkara

di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbiter) tetap diperbolehkan, selain itu Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini juga menyatakan bahwa ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perdata secara perdamaian.38

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

36

Gunawan Wijaya, Op. Cit., hlm. 86

37

Ibid., hlm. 13

38


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai perjanjian damai diatas, maka dapat disimpulkan beberapa point penting dari pembahasan tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Mengenai kekuatan hukum perjanjian perdamaian, Pasal 1858 ayat (1)

KUH Perdata menyebutkan “segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan.” Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1193/K/Sip/1973, menurunkan abstraksi hukum sebagai berikut “berdasarkan Pasal 1858 KUH Perdata suatu perdamaian atau dading di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan dalam tingkat akhir dan tidak dapat dibatalkan dengan alasan adanya kerugian.” Tegasnya, perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan suatu putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

2. Proses perdamaian melalui bantuan mediator dilakukan melalui dua tahap,

yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian

berhasil maka dituangkan ke dalam suatu “acte van dading”, kemudian

dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”,


(2)

berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Demikian ditentukan oleh KUH Perdata Pasal 1858 menyebutkan segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan

bahwa salah satu pihak dirugikan. Jadi acte van vergelijk mempunyai

kekuatan eksekutor sebagai konsekuensi yuridisnya, maka apabila isi perjanjian perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan berhak menggunakan prosedur eksekusi yang telah diatur dalam hukum acara perdata.

3. Eksekusi riil terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian

pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang

terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi

yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi. Selanjutnya ketua pengadilan

negeri mengeluarkan penetapan aanmaning/ teguran terhadap pihak yang

kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pihak yang kalah dipanggil


(3)

hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBg). Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan, dimana perintah menjalanan eksekusi ditujukan kepada panitera atau jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum yang dilengkapi dengan berita acara pelaksanaan isi putusan.

B. Saran

1. Sebaiknya dalam hal kekuatan mengikat perjanjian damai yang bersifat

ekskutorial, bagi para pihak diharap menjalankan isi perjanjian damai agar isi dari kesepakatan damai dapat berjalan dengan baik.

2. Sebaiknya bagi para pihak yang berdamai segera melaksanakan putusan

akta van dading selama dalam masa perdamaian, sebab jika salah satu pihak merasa perjanjian damai tidak dilaksanakan dengan baik, maka pihak tersebut dapat meminta eksekusi atas perjanjian damai tersebut.

3. Dalam masa aanmaning dari pengadilan, sebaiknya pihak yang

diperingatkan segera memenuhi kewajibannya memenuhi isi perjanjian damai sebelum ketua pengadilan memerintahkan eksekusi kepada juru sita pengadilan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdul Halim, Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution), Tulisan Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI.

Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, Tulisan

Calon Hakim Agama Mahkamah Agung.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta: Chandra

Pratama, 1996.

Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan

Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh

Darussalam.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2007

Fockema Andrea, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Bina

Cipta, 1983.

Juniarti, Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan

Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal, Badan Litbang Pusat Analisis

Perubahan Sosial (PASPAS) Aceh.

Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2001.

John M. Echols Dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXV,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990

John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, Jakarta:

PT.Gramedia, 1994.

Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahyuni, Lembaga Damai Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata

Di Pengadilan, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 16 Oktober 2009, Fakultas Hukum

Universitas Lambung Mangkuran Banjarmasin, 2009.

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan


(5)

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Pembuktian Dan Putusan Pengadilan,

Cetakan Ketujuh, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung, Rangkuman Yurisprudensi

Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, Jakarta,

1977.

Proceedings, Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan Dan

Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum Kerjasama

Dengan Pusdiklat Mahkamah Agung Dan Konsultan Hukum EY Ruru & Rekan, 2002.

Rahmat Rosyadi Dan Ngatino, Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam

Dan Hukum Positif, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000.

Salim, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan, Cetakan Ke-8,

Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 3,

Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Siwi Nursusanti, Kekuatan Hukum Akta Van Dading, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2008.

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 1986.

Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan

Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2007.

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase:

Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Cetakan I, Jakarta: Ghalia Indonesia,


(6)

Victor M. Situmorang, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Bandung: Vorkink Van Hoeve, 1959.

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

Diolah Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata HIR

RBg

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Sema Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian, Perma Nomor 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan,

Keputusan Ketua MA-RI Nomor 26/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan

C. Internet

Latar Belakang Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008,