Struktur Isi Buku

D. Struktur Isi Buku

Buku ini tidak didisain sebagai sebuah karya yang harus dibaca secara berurutan, akan tetapi bisa dipahami secara terpisah, karena di dalamnya walau tidak berdiri sendiri tiap babnya, akan tetapi ia mendudukkan tiap persoalan secara mandiri. Ada garis yang tegas bahwa semua persoalan saling terkait namun ia menjadi penggalan sebuah tema lanjutan yang mencoba memahami persoalan dari

58 Tsegaye Moreda, Op. Cit., hlm. 524. 59 Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Murrai Li, Powers of Exclusion:

Land Dilemmas in Southeast Asia. (Singapore and Manoa: NUS Press and University of Hawaii Press, 2011).

60 Tsegaye Moreda, Loc.Cit.

Mereka yang Dikalahkan 29

sudut yang berbeda. Namun demikian, membaca secara keseluruhan per bab akan memudahkan di dalam memahami maksud dan tujuan dari keseluruhan buku ini.

Diawali dengan bab pendahuluan sebagai pengantar alasan mengapa kajian Pulau Padang penting untuk dihadirkan, dan mengapa persoalan agraria perlu dilihat dari persoalan hulu? Tesis awal dalam buku ini adalah mengapa negara melakukan liberalisasi kebijakan sumber daya alam dan mengapa konsekuensi dari kebijakan itu melahirkan banyak persoalan. Persoalan hilir sebenarnya tidak menjadi kunci kajian buku ini, akan tetapi hulu adalah utamanya.

Adanya kebijakan pembangunan yang membuka kran seluas mungkin terhadap akses sumber daya alam menjadi titik poinnya. Jika kemudian ekses dari kebijakan itu melahirkan perlawanan, kerusakan ekologi, dan konflik di sana sini, ia adalah bagian dari konsekuensi logis lahirnya kebijakan di hulu. Mengapa? Persoalan dasarnya ada dua hal, pertama negara tidak memahami peta persoalan lapangan secara memadai di mana hadirnya sebuah kebijakan akan diikuti munculnya persoalan sebagai akibat- akibatnya, dan ini menjadi persoalan serius karena negara lemah di dalam antisipasi serta kemampuan untuk merevisi sebuah kebijakan. Kedua, konsep pembangunan yang dikembangkan oleh negara tidak dalam rangka untuk menyejahterakan masyarakat tempatan, akan tetapi pemenuhan kebutuhan nasional, di mana Jakarta ditempatkan sebagai pusat dari kegiatannya. Alhasil, kebijakan itu melahirkan kesenjangan-kesenjangan yang semakin lebar dan masyarakat tempatan bukan saja miskin permanen melainkan dikorbankan. Ini yang banyak ahli menyebut sebagai piramida pengorbanan, atau mengorbankan masyarakat untuk pembangunan.

Bab berikut penulis sengaja berselancar jauh ke belakang untuk melihat fenomena dan tren untuk menunjukkan bahwa liberalisasi kebijakan yang diterapkan oleh negara dalam bidang

30 M. Nazir Salim

sumber daya alam nyata dan berlaku. Data-data yang penulis dapatkan mengkonfirmasi tesis penulis bahwa sumber daya alam kita menjadi objek paling penting di dalam melakukan eksploitasi yang menyediakan ruang secara bebas kepada pemilik modal. Habisnya hutan Indonesia dan hancurnya hutan alam menegaskan bahwa negara sedang bertaruh untuk masyarakat tempatan atas nama pembangunan, bukan pembangunan ekonomi warga dan infrastrukturnya, melainkan melayani pasar, dan pusat menjadi fasilitator terbaik untuk mimpi tersebut.

Pada bab III kisah lanjutan setelah liberalisasi kebijakan yang dimulai dari eksploitasi hutan Indonesia, fase berikutnya adalah pembangunan kebun kayu (HTI) dan kebun sawit (HGU). Dua entitas komoditi yang berada di wilayah dua kementerian ini dalam praktiknya adalah fase kebijakan lanjut. Pada periode pertama adalah eksploitasi kayu untuk kepentingan pasar global, langkah berikut adalah pembangunan perkebunan yang juga senafas, untuk kepentingan pasar global. Di fase awal setelah lahir kebijakan dengan Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada korporasi, kemudian terjadi penggundulan hutan alam dan perusakan secara masif. Dalam konteks ini, kemudian muncul eufimisme bahasa bagi korporasi, “kami tidak melakukan deforestasi atau penghancuran hutan, kami hanya menebang dan menggantinya dengan tanaman lain”.

Di Indonesia, suatu kemewahan jika perkebunan baik kebun kayu maupun sawit dan tanaman lain dibangun dengan pola partisipatif dengan masyarakat, suatu yang nyaris tidak ditemui. Kejadiannya, di banyak tempat pola pembangunan perkebunan skala luas justru dengan cara perampasan lahan. Praktiknya, large-scale land acquisitions, memiliki pola-pola yang memaksakan kehendak, sehingga muncul tindakan-tindakan refresif dari korporasi dengan menggunakan fasilitas alat negara. Pemaksaan ini menghentikan semua aktivitas warga di sekitar lahan terakuisisi: tanahnya diambil,

Mereka yang Dikalahkan 31

masyarakatnya diusir, mata pencahariannya dimatikan. Maka praktik di hilir ini menimbulkan banyak persoalan, konflik dan perlawanan adalah sebuah keniscayaan, tak terkecualikan apa yang terjadi di Pulau Padang.

Pada Bab IV penulis melanjutkan bagaimana pola dan resistensi warga Pulau Padang dan sikap mereka dalam melihat akuisisi tanah secara luas yang nyaris sempurna sebagai perampasan. Tindakan korporasi yang secara masif dan memaksa mengambilalih lahan menyebabkan perlawanan sporadis menjadi terorganisir. Puncaknya adalah tindakan warga yang sudah laten dan terus menghadang setiap upaya korporasi untuk menguasai jengkal demi jengkal lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai masyarakat dan lahan hutan di sekitar warga tinggal. Dan tentu, semua tindakan korporasi dilindungi, difasilitasi, dan didukung penuh oleh negara.

Bab terakhir sebagai penutup yang menghadirkan beberapa catatan refleksi penulis di dalam melihat persoalan Pulau Padang.

Sekaligus penulis tarik lebih jauh, Pulau Padang hanya sampel, sejatinya pola yang sama terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Statemen penutupnya, liberalisasi kebijakan negara atas sumber daya alam telah melahirkan petaka di mana-mana, dan negara “tak pernah bermimpi” untuk menghentikannya.