Dampak Land Acquisition di Pulau Padang

C. Dampak Land Acquisition di Pulau Padang

Lihatlah, kelapa kami mulai satu per satu mati, kebun karet kami kebanjiran, tanah-tanah kami kekeringan, kami sudah minum air sungai yang sebelumnya belum pernah kami lakukan. Kalau sagu kami juga kena serangan hama, maka habislah kami, tak ada lagi yang bisa kami makan. 29

Beroperasinya RAPP tentu saja bukan suatu yang menggembirakan, “kami terancam dan bahaya bencana ekologi menanti pula. Setelah kami berjuang bertahun-tahun dan kini di antara kami saling curiga pula karena sebagian menjadi bagian perusahaan, padahal hanya sebagian kecil dari kami yang bekerja di perusahaan”. Setelah pasca konflik dan terbit negosiasi, semua gerakan perlawanan kepada RAPP “mati”, tidak ada lagi aksi-aksi yang bersifat masif. Namun gerakan perlawanan secara sporadis masih terjadi. Pairan menuturkan, “kami masih terus memantau dan melakukan kontrol terhadap kegiatan RAPP, namun kami tidak lagi melawan keberadaan mereka melainkan kami melawan setiap pelanggaran dari kesepakatan yang kita sepakati bersama”.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 180/2013 yang merevisi SK 327 memang mengeluarkan beberapa desa dari wilayah konsesi RAPP, namun tidak dengan Desa Lukit. Desa yang paling luas di Pulau Padang. Salah satu fokus penulis untuk melihat dampak atas keberadaan RAPP ada di desa ini, karena dampaknya paling serius akibat operasi RAPP dibanding dengan desa lainnya. Sebagaimana disampaikan Pairan, Ketua Sarikat Tani Riau Kabupaten Meranti, keberadaan RAPP setelah beroperasi selama 3 tahun, perlahan tapi pasti dampak ekologi dan lingkungan terjadi. Memang benar, ketika kami melakukan protes kami tidak memiliki data ilmiah, karena kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu, namun indikasi

29 Diskusi dengan Yahya dan Mukhti, di Pulau Padang.

Mereka yang Dikalahkan 181

yang kami sampaikan menunjukkan RAPP harus bertanggung jawab. Sejauh ini, ada 3 hal dampak langsung yang dirasakan warga Desa Lukit atas operasi RAPP: 1. Banjir; 2. Serangan hama mematikan; 3, Kekeringan yang parah. Tiga hal ini saja yang ingin penulis soroti dengan penjelasan dan logika warga, bukan logika ilmiah dengan pembuktian hasil kajian mendalam, karena warga secara teliti mengalami sehari-hari dan menandai bentuk perubahannya. Hingga hari ini tidak ada yang melakukan penelitian secara ilmiah terhadap

3 keluhan di atas yang kini diresahkan oleh warga Lukit. Sementara dampak lain, misalnya konflik sosial, ketegangan hubungan antar warga dan perusahaan masih bisa diatasi dengan komunikasi yang guyub antar warga. Beberapa memang menaruh curiga dengan menandai, “itu orang perusahaan, dia bermain di dua kaki, harus hati-hati kalau bicara dengannya, itu harus diwaspadai”, dan lain sebagainya.

Banjir melanda Lukit begitu serius, bahkan hampir semua warga mengakui, banjir yang terjadi di Lukit saat ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kebun karet yang sebelumnya aman, kini juga terkena banjir, bahkan ada lahan yang terkena banjir selama lebih dari dua bulan, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Tidak ada yang bisa menyanggah kalau banjir kali ini dampak dari pembangunan kanal-kanal di Pulau Padang di mana Lukit masuk area terdampak cukup luas atas luberan air dari kanal ketika musim hujan dan tidak diantisipasi, sehingga kebun karet warga tidak bisa digarap. Kesaksian Yahya menunjukkan data yang valid, “kebun kami di Lukit sudah lebih dari dua bulan tidak bisa dikerjakan, karena terkena banjir lebih selutut. Kami dengan kawan-kawan sudah melakukan protes, dan perusahaan sudah meninjau, tetapi tetap saja mereka tidak peduli, paling hanya janji akan membantu kami warga-warga yang terkena banjir, itu pun yang bersepadan saja dengan area konsesi mereka.”

182 M. Nazir Salim

Gambar 21. Kanal dan airnya yang meluap (atas), kebun sagu dan karet warga yang terkena banjir luapan air dari kanal RAPP (bawah). (Sumber foto: Koleksi

Yahya/Kutik)

Keluhan Yahya yang kemudian di survey oleh perusahaan hanya kebetulan saja ia bersuara keras kepada perusahaan, namun tidak semua warga berani dan nekat seperti dirinya. Warga lain yang terdampak banjir di lahan-lahan karetnya lebih banyak yang diam, karena argumen RAPP cukup rasional, banjir bukan disebabkan oleh pembangunan kanal, tetapi memang curah hujan sedang tinggi, sementara air laut pasang sehingga masuk ke lahan-lahan warga. Tentu saja penjelasan itu ditolak, karena jelas-jelas air laut masuk lewat kanal. Sebelum ada kanal tidak pernah terjadi hal demikian.

Dampak berikut yang cukup meresahkan warga adalah serangan hama mematikan yang memangsa pohon kelapa. Hampir semua warga yang penulis temui mengeluhkan hal ini, karena kelapa-kelapa

Mereka yang Dikalahkan 183

mereka mati secara cepat setelah dimakan hama. Orang kampung Lukit menyebut kumbang hitam. Darimanakah kumbang hitam itu datang? Tidak ada yang tahu, “Bapak lihat sendiri, kelapa itu tingginya sudah 30an meter, artinya sudah berumur puluhan tahun, baru sekarang mati setelah RAPP datang, sebelumnya tidak pernah. Ini benar-banar musibah bagi kami, karena kelapa itu kebutuhan pokok bagi kami orang kampung. Kalau tidak punya kelapa, susah

kami”, begitu kata ibu-ibu yang menjelaskan pada penulis di Lukit. 30 Yang paling ditakutkan oleh warga, jika hama itu menyerang sagu, karena itu akan menghancurkan ekonomi warga yang tersisa, karena sagu begitu penting bagi warga Pulau Padang, selain dikonsumsi juga untuk menopang kebutuhan hidup mereka.

Pertanyaannya darimana kumbang hitam itu? Penjelasan warga dan Pairan yang kami temui mengatakan, kumbang itu akibat RAPP menebang kayu hutan lalu ditanam di tanah, karena pemerintah sedang melarang mengeluarkan kayu dari hutan alam (moratorium). Untuk mengolah tanah menjadi bubur sebagai lahan atau media tanam akasia, mereka harus menebang kayu hutan alam yang ada, namun kayu-kayu itu tidak bisa dikeluarkan, akhirnya ditanam di tanah. “Seharusny kayu-kayu ini dikirim ke kilang kertas, namun karena ada larangan membuat kayu-kayu itu berakhir di dalam tanah. Kayu-kayu yang ditanam di tanah inilah yang menurut warga kemudian membusuk dan mengeluarkan hama”. Benar kami tidak punya bukti kongkrit, dan itu juga yang kami adukan ke perusahaan, dan mereka selalu berkilah, “belum ada bukti ilmiah bahwa kumbang itu datang dari lahan RAPP”. Namun warga berkeras, selalu belajar dari pengalaman, kayu-kayu yang membusuk di tanah dalam jumlah besar sudah pasti memunculkan banyak hama dari tumpukan itu, dan kumbang datang dari sana. “Dari mana lagi kumbang itu datang?

30 Disampaikan oleh Purwati, aktivis jahit mulut Pulau Padang dari Desa Lukit, Pulau Padang.

184 M. Nazir Salim

Tidak mungkinkan kumbang datang dari kampung-kampung kami”, demikian jelas Pairan.

Fenomena ini meluas di Lukit, dan pohon-pohon mulai mati satu per satu. Ketika penulis singgah di rumah Yahya, dan diajak berkeliling di belakang rumahnya, penulis dapati pohon-pohon kelapa belakang rumah Yahya juga mengalami nasib yang sama, mengering dan mati setelah di makan kumbang hitam.

Gambar 22. Pohon kelapa yang mati dimakan kumbang hitam. (Sumber foto:

Koleksi Pribadi penulis, diambil di Desa Lukit)

Dampak berikut yang sangat menyedihkan bagi warga Pulau Padang khususnya Desa Lukit adalah kekeringan yang parah. Salah satu karakteristik lahan gambut adalah rentan kekeringan ketika musim kemarau tiba dan mudah banjir ketika musim hujan datang. Kondisi itulah sebenarnya sedari awal masyarakat Pulau Padang bersikeras RAPP tidak layak beroperasi di Pulau Padang. Benar bahwa masyarakat secara umum berpendidikan rendah, namun pengetahuan lokal dan kearifan lokal mereka merupakan intelijensia tersendiri bagi wilayahnya. Mereka paham betul dengan potensi dan kerentanan lahan mereka. Bahwa mereka berkampanye ke mana- mana dengan menegaskan bahwa Pulau Padang bisa tenggelam jika RAPP dizinkan beroperasi bukanlah kampanye negatif, tetapi berdasar pengalaman dan kejelian mereka mengamati wilayahnya selama bertahun tahun. RAPP dengan membangun kanal-kanal besar akan banyak menimbulkan bencana. Belajar dari Pelalawan yang

Mereka yang Dikalahkan 185

bukan tanah gambut saja setelah RAPP membangun kanal panjang dan besar, mereka sering banjir dasyat, apalagi tanah gambut ketika dibuat kanal maka dampak buruk bukan saja mengancam, namun di depan mata. “Sudah menjadi sifat air akan mencari yang rendah, air-air yang selama ini tersingkap di balik tanah gambut akan turun menuju kanal yang posisinya lebih di bawah/rendah”.

Kini, kekhawatiran itu bukan ungkapan kosong dan mengada- ada. Setelah 3 tahun RAPP beroperasi, sedikit saja hujan lahan warga kebanjiran, kurang dari sebulan musim panas kampung kami kekeringan. Air memiliki hukum alam yang pasti akan mencari tempat yang lebih rendah, dan tanah gambut yang gembur dan penuh rongga di dalamnya memudahkan larinya air-air yang tersembunyi di dalamnya. Akibatnya, jika musim panas tiba, sumur- sumur mereka mengering. Dan yang mengenaskan sebagaimana diceritakan Mukhti, Yahya, Pairan, dkk., “warga Lukit sekarang memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika air laut surut, air sungai tidak tercampur dengan air masin, tetapi jika air laut pasang, maka rasa air itu sudah masam karena tercampur air masin”. Sebelumnya air sungai digunakan juga oleh warga, namun hanya untuk mandi dan mencuci, tidak untuk konsusmsi. Problem ini tentu saja terus dikomunikasikan kepada pihak perusahaan, lagi- lagi warga berfikir, “sebelum RAPP beroperasi kami tidak punya masalah dengan air di sumur-sumur kami, dan kini kami terpaksa harus mengambil air sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup kami’. Sementara air tadah hujan tidak mencukupi karena warga hanya menampung dengan tandon kecil, paling besar 1000 liter, dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga sehari-hari.

186 M. Nazir Salim

Gambar 23. Sungai yang dijadikan sumber air kebutuhan sehari-hari warga. (Sumber foto: Koleksi Pribadi penulis, diambil di Desa Lukit)