INKONSISTENSI DAN PENYIMPANGAN TATA RUANG DI KAWASAN PUNCAK

BAB VII INKONSISTENSI DAN PENYIMPANGAN TATA RUANG DI KAWASAN PUNCAK

7.1 Ketidaksesuaian Penggunaan Fungsi Kawasan

Sebagian besar kawasan puncak peruntukan awalnya sebagai kawasan non budidaya yang berfungsi bagi pengaturan air, pencegahan erosi dan banjir, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah. Secara ekologis dan ekonomis kawasan puncak juga merupakan kawasan penyangga daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dalam konsep tata ruang, kawasan puncak terdapat pembagian kawasan berdasarkan fungsinya, yaitu budidaya dengan kawasan lindung. Terkait dengan penataan ruang di Kawasan Puncak, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah menerbitkan berbagai peraturan yang mengikat dalam pembangunan kawasan Puncak. Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-punjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur) mengatur tentang struktur dan pola ruang yang akan dikembangkan. Perpres tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 (Perda no. 19 tahun 2008) kawasan lindung ditetapkan sebesar 44,69 % (133.548,41 Hektar) dari luas wilayah Kabupaten Bogor (298.838,304 Hektar), meliputi kawasan hutan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan terdiri dari Hutan Konservasi (HK) sebesar 14,24 % (42.559,72 Hektar) dan Hutan Lindung (HL) sebesar 2,93 % (8.745,06 Hektar) dari luas wilayah daerah. Berdasarkan pada perda tersebut, kegiatan di kawasan puncak diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lindung. Sebagian besar kawasan Puncak seharunya menjadi kawasan yang berfungsi lindung baik dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan, tetapi kondisi yang ada justru di kawasan puncak banyak terdapat aktivitas pembangunan yang tidak mendukung fungsi lindung.

Sekitar 40 persen Kawasan Puncak peruntukannya tidak sesuai dengan konsep tata ruang. Sebagian besar Kawasan Puncak seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan, sementara lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan Sekitar 40 persen Kawasan Puncak peruntukannya tidak sesuai dengan konsep tata ruang. Sebagian besar Kawasan Puncak seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan, sementara lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan

7.2 Bentuk-bentuk Inkonsistensi Tata Ruang di Kawasan Puncak

Inkonsistensi tata ruang yang terjadi di kawasan puncak meliputi : 1) 39 % lahan pertanian yang dijadikan pemukiman di wilayah Puncak tidak sesuai dengan tata ruang, 2) penyimpangan lahan hutan lindung sebesar 34% atau sekitar 900 ha, yang dijadikan perkebunan di kawasan tersebut tidak sesuai RTRW. Sedangkan lahan hijau yang masih tersisa saat ini hanya sekitar 36 persen atau seluas 5.200 hektare. Jumlah ini tidak cukup untuk mengkoservasi wilayah hulu Jabodetabek, ketidak sesuaian daya dukung tersebut yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, dan akhirnya penyimpangan tersebut menjadikan peluang menciptakan banjir cukup tinggi. (Rustiadi, 2014).

Penyimpangan lahan di kawasan Puncak, ternyata tidak hanya disebabkan oleh perambahan yang dilakukan masyarakat setempat. Masyarakat kelas menengah dan atas yang tinggal di wilayah DKI Jakarta juga berkontribusi terhadap kerusakan fungsi kawasan puncak. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Tim P4W, para pemilik vila kebanyakan orang dari Jakarta. Pesatnya pembangunan di Puncak merujuk data Satpol PP Kabupaten Bogor, dimana sampai dengan tahun 2013 jumlah bangunan di Kawasan Puncak (Kec. Cisarua, Megamendung dan Ciawi) terdapat 3.980 vila (304 diantaranya berada di atas tanah negara), 113 hotel, 999 ruko/rukan, 42 minimarket, 177 rumah makan dan beberapa bangunan yang lain. Banyaknya jumlah bangunan yang ada di kawasan Puncak diperparah dengan banyaknya bangunan yang menyalahi batas koefisien dasar bangunan (KDB) sehingga mengurangi fungsi kawasan Puncak sebagai daerah resapan air, kondisi ini bila tetap dibiarkan akan menjadi ancaman besar bagi wilayah Jabodetabek. Selain itu, pelanggaran tata ruang terjadi di sekitar DAS Ciliwung dimana tidak jarang ditemui bangunan yang berhimpitan dengan sempadan sungai. Pendirian bangunan di sekitar DAS akan mengganggu aliran air sungai dan tidak jarang berperan besar sebagai faktor pendorong terhadap pembuangan limbah di sungai.

Inkonsistensi penataan ruang di kawasan Puncak yang tidak sesuai dengan Perpres No.

54 tahun 2008 dan RTRW Kab. Bogor harus segera direduksi. Dalam Perpres 54 tahun 2008 disebutkan bahwa dalam hutan lindung dilarang melakukan pemanfaatan ruang yang 54 tahun 2008 dan RTRW Kab. Bogor harus segera direduksi. Dalam Perpres 54 tahun 2008 disebutkan bahwa dalam hutan lindung dilarang melakukan pemanfaatan ruang yang

Dalam mengatasi masalah inkonsistensi dan penyimpangan tata ruang, perlu ada tindakan tegas sebagai bentuk shock therapy bagi para pelanggar peraturan. Salah satu aparat yang mempunyai wewenang dalam penertiban kawasan Puncak adalah satpol PP. Berdasarkan Perda 22 tahun 2011 Kab. Bogor Pasal 4 ayat (1) Satpol PP mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam menegakkan Peraturan Daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Salah satu langkah nyata Satpol PP dalam penertiban kawasan Puncak yaitu melakukan upaya pembongkaran vila yang tidak berijin terutama yang berada di atas tanah negara dan berada di kawasan hutan lindung. Satpol PP pada tahun 2013 telah membongkar 211 bangunan vila di wilayah Kec. Cisarua dan Megamendung. Penegakan perda khususnya terkait RTRW di kawasan Puncak oleh satpol PP sementara ini terkendala dengan minimnya sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial. Keterbatasan yang dimiliki oleh satpol PP sebagai penegak perda juga menjadi faktor pendorong terjadinya pemanfaatan areal lahan di kawasan Puncak tidak sesuai dengan RTRW yang ada. Belum maksimalnya peran satpol PP tidak jarang diartikan sebagai restu/pembiaran pelanggaran pemanfaatan areal yang tidak sesuai.

7.3

Pemerintah kerap menyebut berbagai hambatan yang dihadapi seperti luasnya cakupan dan sebaran kawasan konservasi dan terbatasnya sumber daya manusia maupun dana, sehingga pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan selama ini berjalan agak tersendat. Namun jika dilihat persoalan mendasar lainnya, adalah kuatnya ego sektoral, baik di dalam (intern) instansi pemerintah yang membawahi pengelolaan kawasan konservasi sendiri, maupun dari instansi lain yang berkepentingan untuk mengeksploitasi kawasan konservasi. Banyaknya peraturan pemerintah yang dibuat dan pelimpahan kewenangan pengelolaan kawasan puncak yang tumpang tindih antar instansi menyebabkan ketidakpastian peraturan

Faktor lain yang berpengaruh terhadap penyimpangan tata ruang adalah lemahnya penegakan hukum, serta pengelolaan yang sentralistik dan tidak diakomodirnya masyarakat sebagai kekuatan riil dan potensial di lapangan. Kebijakan terpusat telah mematikan potensi dari pemerintah daerah, masyarakat lokal atau adat, maupun potensi jangka panjang dari keberlanjutan dan kelestarian sumber daya alam dan kawasan konservasi itu sendiri (ICEL, 1998). Selain matinya potensi masyarakat dalam pengelolaan kawasan secara mandiri. Kebijakan yang disusun secara makro tanpa pelibatan masyarakat yang intensif justru memicu pelanggaran di lapangan. Masyarakat tidak mengetahui dengan baik proses perencanaan yang dilakukan di kawasan puncak, padahal tujuan perencanaan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dari pantauan yang dilakukan di wilayah Kecamatan Cisarua ditemukan bahwa kawasan lindung di wilayah tersebut rata-rata kini telah berubah menjadi areal perkebunan dan rumah-rumah peristirahatan. Ironisnya, perubahan fungsi kawasan lindung ini terus terjadi karena seolah diberikan kemudahan oleh pemerintah setempat, misalnya dengan dibangunnya akses menuju kawasan hutan. Di lokasi lainnya, juga ditemukan banyak lahan hutan yang sudah dibabat, dan sebagian diberi patok (batas) yang menandakan kepemilikan, disinyalir lahan itu milik pihak-pihak tertentu (mafia tanah), bukan milik pemerintah atau warga sekitar.