TUGAS KELOMPOK LAPORAN FIELD TRIP SEKOLA

TUGAS KELOMPOK-LAPORAN FIELD TRIP SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA/NRP

DANANG PRAMUDITA

H152120031 WAHYU DARSONO H152120101 SYAHRIAL H152120111 HAKIM MIFTAKHUL H

H152120181

ARDIANI AGUSTINA R

H152120211 YULIANA SUSANTI H152120221 KASMIATI

H152120261

YELLY REFITA

H152120231

SATRIYO ARDI

H152124101

H152124031 PROGRAM STUDI

TOMMI

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN (PWD)

JUDUL/TOPIK TUGAS

LAPORAN FIELD TRIP FISIK EKONOMI SPASIAL KAWASAN PUNCAK

(KAJIAN KEBERLANJUTAN KAWASAN PUNCAK DAN DAS CILIWUNG DALAM PERSPEKTIF PERENCANAAN TATA RUANG)

MATA KULIAH/KODE

PERENCANAAN TATA RUANG/PWD 639 DOSEN

DR.IR. ERNAN RUSTIADI., M.AGR DITUGASKAN TANGGAL

15 JANUARI 2014

DIKUMPULKAN TANGGAL

27 JANUARI 2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadlirat ALLAH SWT, karena atas berkah limpahan Rahmat dan Karunianya Tulisan tentang Fisik Ekonomi Spasial Kawasan Puncak sebagai sebuah hasil Kajian Keberlanjutan Kawasan Puncak dan DAS Ciliwung dalam Perspektif Perencanaan Tata Ruang, dapat di selesaikan sesuai dengan harapan. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan langsung (observasi) serta Workshop dan Diskusi dengan beberapa pihak terkait, dalam kegiatan Fieldtrip pada tanggal 15-16 Januari 2014 sebagai bentuk Tugas dari Mata Kuliah Perencanaan Tata Ruang (PWD 639).

Kegiatan Fieldtrip yang diawali dengan observasi ke beberapa lokasi di wilayah Desa Cibeureum, Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan memberikan gambaran langsung tentang bagaimana kondisi sesungguhnya penataan ruang di kawasan puncak. Workshop dan Diskusi yang menghadirkan pembicara dari TNGGP, Bappeda Kabupaten Bogor, Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman, Satpol PP, Laboratorium Bangwil IPB, serta Komunitas Peduli Ciliwung Puncak (Ciliwung Institute) semakin melengkapi informasi melalui data-data yang akurat serta pertimbangan soluasi bagaimana sebaiknya Kawasan Puncak ditata. Dari hasil pengamatan dan workshop tersebut kami rumuskan tulisan untuk dapat memberikan informasi dan solusi lebih lanjut bagi penataan ruang di kawasan puncak. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tim Penyusun mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung sehingga kegiatan fieldtrip dan penyusunan tulisan ini dapat terlaksana dengan baik.

Bogor, 25 Januari 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR -- iii DAFTAR ISI-- iv DAFTAR GAMBAR-- v DAFTAR TABEL--v DAFTAR LAMPIRAN--v BAB I

PENDAHULUAN-- 1 BAB II

KONDISI UMUM FISIK DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN --4

2.1. Puncak sebagai Hulu DAS Ciliwung--4

2.2. Puncak sebagai Kawasan Hutan--5

2.3. Puncak sebagai Kawasan Pemukiman--6

BAB III

KONSEP PENATAAN RUANG DI KAWASAN PUNCAK--9

3.1. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Puncak--9

3.2. Peruntukan Tata Ruang Kawasan Puncak--13

BAB IV ISU DAN MASALAH PENATAAN RUANG KAWASAN PUNCAK--15 BAB V PERTUMBUHAN DAN PERLUASAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PUNCAK--17

5.1. RUTR Kawasan Puncak/Jabopuncur--18

5.2. Inkosistensi Pemanfaatan Lahan dan Ruang di Kawasan Puncak--19

BAB VI PERSOALAN TUMPANG TINDIH PEMANFAATAN RUANG KAWASAN PUNCAK--23

6.1 Fenomena Tumpang Tindih Kewenangan--23

6.2. Ketidakserasian Peraturan dan Undang-Undang Terkait Penataan Ruang dan Pertanahan--25

6.3 Motif Ekonomi Pihak yang Berkepentingan (Masyarakat, Pemda, Investor)--26

6.4 Lemahnya Pengawasan dan Izin yang Tidak Sesuai dengan Tata Ruang--27

BAB VII INKONSISTENSI DAN PENYIMPANGAN TATA RUANG DI KAWASAN PUNCAK--28

7.1. Ketidaksesuaian Penggunaan Fungsi Kawasan --28

7.2 Bentuk-bentuk Inkonsistensi Tata Ruang di Kawasan Puncak--29

7.3 Penyimpangan Sebagai Dampak Dominasi Kebijakan Top Down--30

BAB VIII SOLUSI BAGI PERSOALAN PENATAAN RUANG KAWASAN PUNCAK--32

8.1 Penyelesaian Persoalan Tata Ruang Terintegrasi--32

8.2 Solusi Pada Aspek Fisik Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Puncak -3

8.3 Solusi Pada Aspek Ekonomi Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Puncak--34

BAB IX PENUTUP DAN REKOMENDASI UNTUK PIHAK BERWENANG--36

9.1 Sinergi Pemerintah dan Masyarakat dalam Penataan Ruang--36

9.2 Rekomendasi Kebijakan untuk Pihak Berwenang--37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Permukaan Kawasan Puncak --8 Gambar 2.

Rencana Pola Ruang RTRW 2005-2025 Sub DAS Ciliwung --13

Gambar 3. Fungsi Dan Peran Kabupaten Bogor Dalam Konstelasi Jabodetabekjur -- 14 Gambar 4.

Permasalahan Kawasan Puncak terkait Tata Ruang dan Dinamika Pemanfaatan Ruang -- 16

Gambar 5. Penggunaan Lahan di Kawasan Sub DAS Ciliwung --17 Gambar 6.

Pemanfaatan Kawasan Puncak dan Perkembangannya --18 Gambar 7.

Kawasan Taman Nasional yang mengalami Alih Fungsi Lahan --19 Gambar 8.

Perubahan Fungsi Lahan serta Perluasan Kawasan Puncak dari Tahun ke Tahun di Kawasan Puncak --21

Gambar 9. Peran dan Fungsi Kawasan Puncak Sejarusnya -2 Gambar 10. Rencana Tata Ruang di Jabodetabekpunjur--23 Gambar 11. Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu--26 Gambar 12. Konversi Lahan di Kecamatan Cisarua dan Megamendung

Tahun 1995-2003--27

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rekapitulasi jumlah bangunan yang terdapat di kawasan puncak (kecamatan cisarua, kecamatan megamendung dan kecamatan ciawi)--20

Tabel 2.

Rangkuman Solusi Persoalan Penataan Ruang Kawasan Puncak (Aspek Fisik Ekonomi Spasial)--35

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Zona Penyangga dan Area Transisi Cagar Biosfer Cibodas; Arahan Pengembangan Daerah Aliran Sungai-- 42

Lampiran 2. Peta Cagar Biosfer Cibodas Hasil Kajian 2012-- 43

BAB I PENDAHULUAN

Kawasan Puncak telah lama dikenal sebagai daerah wisata dan pusat rekreasi pegunungan. Berbagai investasi dalam pembangunan perumahan, hotel dan vila muncul untuk mendukung Kawasan Puncak menjadi daerah wisata. Hal ini menyebabkan banyaknya lahan pertanian di Kawasan Puncak yang beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, ataupun villa. Sasaran pembangunan non pertanian tersebut pada umumnya adalah tanah-tanah yang berkualitas baik dan subur. Akibat keadaan tersebut, daerah pertanian yang subur akan semakin berkurang. (Wikantika, 2006)

Saat ini laju konversi lahan di Kawasan Puncak tinggi. Lahan yang umumnya banyak dikonversi adalah lahan hutan. Berkurangnya luas hutan menyebabkan berkurangnya resapan air di daerah tersebut. Luas hutan yang berkurang menyebabkan lahan terbangun meningkat. Lahan terbangun yang meningkat menyebabkan resapan air berkurang. Resapan air yang berkurang menyebabkan aliran permukaan meningkat sehingga membuat volume air meningkat sehingga menjadi banjir.

Penyebab tingginya aliran permukaan di antaranya adalah hilangnya fungsi hutan sebagai penahan aliran permukaan akibat adanya curah hujan di daerah hulu. Salah satu kejadian banjir akibat curah hujan di daerah hulu Sungai 2 Ciliwung yang mengakibatkan banjir di daerah Jakarta. Curah hujan di hulu Sungai Ciliwung terjadi pada bulan April tahun 2006, yaitu 268 mm dalam satu bulan. Hal ini terbukti pada bulan April 2006 penduduk Jakarta yang terkena dampak banjir sebanyak 7 340 Kepala Keluarga atau setara dengan 27 281 jiwa. Jumlah pengungsi terbanyak dan berasal dari Jakarta Timur yaitu sebanyak 1 558 jiwa dengan ketinggian banjir paling parah mencapai 250 cm. Ketinggian banjir di Kotamadya Jakarta Timur merupakan yang tertinggi1. Hal ini membuktikan bahwa konversi lahan di daerah hulu akan mengakibatkan dampak hingga ke hilir. (Astuti, 2011)

Konversi lahan juga dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan akan lahan permukiman meningkat. Kebutuhan lahan permukiman yang meningkat menyebabkan banyak lahan hutan atau pertanian Konversi lahan juga dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan akan lahan permukiman meningkat. Kebutuhan lahan permukiman yang meningkat menyebabkan banyak lahan hutan atau pertanian

Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah yang berada di bawahnya. Seluruh daerah Puncak di Kabupaten Bogor merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi dan Citarum. Lebih khusus lagi, Kawasan Hutan Lindung Puncak menjadi penyedia air utama untuk 3 DAS, yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Citarum. Kawasan ini berperan mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat di Jonggol, Kelapa Nunggal (Kabupaten Bogor), dan terutama persawahan di Pantura (Kabupaten Bekasi dan Karawang). (Forest Watch Indonesia,2011)

PP No 26. Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional menegaskan bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Selanjutnya seperti yang tertera dalam pasal 75e, penetapan KSN ini berdasarkan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup yang dijelaskan secara lebih rinci pada pasal 80 ”... memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara”.

Selanjutnya dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur pada Pasal 2 ayat 1b disebutkan bahwa salah satu tujuan utama dari penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur dari perpres ini adalah mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir. Adapun pembangunan kawasan harus dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi tanah dan air, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan (pasal 8b).

Secara teknis pengejawantahan penting dari PP No 26 Tahun 2008 yang diturunkan dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 ini dapat terwujud jika kawasan lindung, kawasan hutan lindung, dan Secara teknis pengejawantahan penting dari PP No 26 Tahun 2008 yang diturunkan dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 ini dapat terwujud jika kawasan lindung, kawasan hutan lindung, dan

Namun, kenyataannya saat ini pembangunan di kawasan Puncak tidak memperhatikan konservasi air dan tanah. Keberadaan kawasan permukiman, villa, hotel, danpenginapanlain yang terus meningkat mengakibatkan fungsi dari kawasan ini berkurang. Kawasan ini awalnya berfungsi sebagai daerah pengendali banjir karena kawasan ini merupakan hulu dari sungai Ciliwung yang mengalirkan air ke daerah kota Jakarta dan sekitarnya. Fungsi ekologis dari kawasan ini yang berkurang mengakibatkan daerah Jakarta dan sekitarnya sering mengalami kebanjiran pada musim hujan.

Penurunan fungsi ekologis ini diakibatkan oleh pembangunan kawasan permukiman yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungannya. Hal ini harus segera diatasi agar fungsi ekologis kawasan ini dapat berfungsi kembali. Dalam mengatasi masalah ini, harus bisa melibatkan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Masalah ini juga harus menjadi perhatian baik Pemerintah Kabupaten Bogor dan juga Pemerintah DKI Jakarta. Kerjasama antara pemerintah tersebut diharapkan bisa segera mengatasi masalah yang sedang terjadi di kawasan puncak sehingga fungsi ekologis yang rusak dari kawasan Puncak ini dapat segera berfungsi kembali.

BAB II KONDISI UMUM FISIK DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Kawasan Puncak merupakan hulu dari Sungai Ciliwung. Kawasan ini merupakan daerah dataran tinggi karena berada pada daerah pegunungan. Secara astronomis daerah ini terletak pada kedudukan 6° 37’ 48” - 6° 46’ 12” Lintang Selatan (LS) dan 106° 49’ 48” - 107° 00’ 00” Bujur Timur (BT). Sub DAS Ciliwung Hulu di Kabupaten Bogor mencakup 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Megamendung, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi. Kawasan ini memiliki luas 14.587,06 Ha yang meliputi 27 desa untuk 4 kecamatan. Kawasan Puncak telah dianggap sebagai wilayah hinterland, sebagai wilayah penyangga kehidupan penduduk di wilayah DAS bagian hilir, yaitu Bogor, Depok dan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Kesinambungan fungsi Bogor, Depok dan DKI Jakarta sebagai suatu ekosistem sangat tergantung pada kawasan ini, terutama dalam hal ketersediaan sumberdaya air. Ketersediaan sumberdaya air ini terutama sangat ditentukan oleh DAS Ciliwung Hulu. (Lisnawati & Wibowo, 2010)

2.1. Puncak sebagai Hulu DAS Ciliwung

Sub DAS Ciliwung Hulu terletak di ketinggian 1.530 mdpl, kelas lereng 2,7%-74% dengan panjang lereng 500-700 m. Topografi kawasan ini umumnya berbukit dan berupa pegunungan karena letaknya berada di kaki gunung Gede Pangrango. Kondisi topografi tersebut membuat kawasan ini memiliki panorama yang indah, udara yang sejuk, dan banyak keanekaragaman hayati. Kondisi tersebut membuat tumbuh berbagai macam aktifitas kehidupan manusia. Aktifitas yang paling berkembang tentunya adalah pariwisata dengan beraneka ragam usaha. Usaha pariwisata yang terus berkembang ini membuat lahan permukiman meningkat.

Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andosol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48% dan 2,1%. Tanah di kawasan ini umumnya berasal dari letusan gunung api dari Gunung Gede Pangrango. Jenis tanah ini membuat kawasan ini cukup subur untuk daerah pertanian. Kondisi tanah yang cukup subur ini membuat masyarakat di sekitar kawasan ini banyak yang melakukan usaha pertanian. Usaha Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andosol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48% dan 2,1%. Tanah di kawasan ini umumnya berasal dari letusan gunung api dari Gunung Gede Pangrango. Jenis tanah ini membuat kawasan ini cukup subur untuk daerah pertanian. Kondisi tanah yang cukup subur ini membuat masyarakat di sekitar kawasan ini banyak yang melakukan usaha pertanian. Usaha

Curah hujan tahunan di kawasan ini cukup tinggi yaitu berkisar 3000 – 4000 mm/tahun. Curah hujan yang cukup tinggi di wilayah ini membuat potensi lahan pertanian cukup tinggi di wilayah ini. Namun, curah hujan yang tinggi membuat debit aliran di DAS Ciliwung cukup tinggi ketika musim hujan. Selain itu dengan hutan yang semakin berkurang juga akan menambah tingginya laju debit air di sungai Ciliwung. Debit air yang sangat tinggi ini membuat daerah hilir mengalami banjir ketika musim hujan.

2.2. Puncak sebagai Kawasan Hutan

Kawasan puncak juga memiliki hutan yang khas. Keanekaragaman hayati sangat banyak ditemukan di dalam hutan kawasan puncak. Hutan tersebut memiliki fungsi ekologis yang sangat tinggi yaitu sebagai penyangga lingkungan dan pengendali banjir. Selain itu juga berfungsi untuk mencegah erosi dan tanah longsor di daerah sekitar. Topografi kawasan puncak yang berbukit mempunyai kemungkinan erosi dan longsor yang cukup besar sehingga keberadaan hutan sangat diperlukan. Hutan juga sangat diperlukan dalam memperkecil aliran permukaan sehingga debit maksimum akan dapat diperkecil sedangkan disisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak sehingga debit minimum akan dapat diperbesar untuk dapat menjaga ketersediaan air tetap terjamin sepanjang tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain daya dukung dan daya tampung lingkungan dan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1985 Tanggal 6 Desember 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak menjelaskan bahwa fungsi utama dari kawasan puncak ini sebagai kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budi daya pertanian. Adapun kawasan lindung terdiri atas hutan lindung, suaka alam, dan areal lindung ainnya di luar hutan. Kemudian kawasan penyangga meliputi peruntukan ruang untuk perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi terbatas. Sedangkan kawasan budi Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain daya dukung dan daya tampung lingkungan dan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1985 Tanggal 6 Desember 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak menjelaskan bahwa fungsi utama dari kawasan puncak ini sebagai kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budi daya pertanian. Adapun kawasan lindung terdiri atas hutan lindung, suaka alam, dan areal lindung ainnya di luar hutan. Kemudian kawasan penyangga meliputi peruntukan ruang untuk perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi terbatas. Sedangkan kawasan budi

Kawasan Puncak telah dianggap sebagai wilayah hinterland, yaitu sebagai wilayah penyangga kehidupan penduduk di wilayah DAS bagian hilir, yaitu wilayah Bogor, Depok dan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Kesinambungan fungsi Bogor, Depok dan DKI Jakarta sebagai suatu ekosistem sangat tergantung pada kawasan ini, terutama dalam hal ketersediaan sumberdaya air. Ketersediaan sumberdaya air ini terutama sangat ditentukan oleh DAS Ciliwung Hulu (Lisnawati dan Wibowo, 2010).

2.3. Puncak sebagai Kawasan Pemukiman

Pertumbuhan penduduk di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) yang cepat dan berkembangnya wilayah Puncak sebagai salah satu tujuan wisata, menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya lahan di DAS Ciliwung hulu. Besarnya arus wisata ke Puncak dan meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarananya seperti jalan, pertokoan, villa dan penginapan menyebabkan terjadinya konversi lahan yang semula merupakan lahan bervegetasi menjadi bangunan. (Pramono, 2005)

Kondisi tersebut membuat Kawasan Puncak sudah kehilangan fungsi ekologisnya. Luas lahan terbangun yang terus meningkat seperti permukiman, hotel, villa, dan lain-lain menyebabkan luas lahan hutan terus berkurang. Potensi wisata yang terdapat di Kawasan Puncak ini menarik banyak investor untuk mengembangkan usaha penginapan sehingga peningkatan lahan terbangun tidak terkendali. Pertumbuhan Permukiman dan perkotaan yang tak terkendali di sepanjang dan di sekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal-kanal dan tidak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, yang mengakibatkan Jakarta dan kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir. Permasalahan DAS Ciliwung lainnya adalah penurunan kualitas dan kuantitas air sungai, pemanfatan ruang di sempadan sungai, yang menimbulkan permukiman kumuh, perubahan tata guna lahan, penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan, kekeringan dan erosi/longsor (Djakapermana, 2009).

Daerah Aliran Sungai dan tutupan hutan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Daerah tangkapan air yang tertutup hutan, terutama yang berada di daerah ketinggian menjadi penyangga utama tata air. Secara alami, air yang muncul ke permukaan akan membentuk sebuah ekosistem yang saling menunjang dan mendukung bentukan-bentukan kehidupan yang ada. DAS

Ciliwung dengan luas total mencapai hampir 39.000 ha, dan 29.000 ha bagiannya ada di Kabupaten Bogor. Tutupan hutan berupa hamparan yang tersisa hanya 9,2%, terletak di bagian hulu, yaitu Kawasan Puncak. Sangat kecil dan masih akan mengecil. Pada periode tahun 2000- 2009 tutupan hutan yang musnah di DAS Ciliwung mendekati 5.000 ha, sedikit lebih luas daripada Kota Sukabumi. Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Bogor, yang sebagian besar berada di Kecamatan Megamendung dan Cisarua, hanya 2.500 ha tertutupi hutan. Bisa dikatakan, Ciliwung adalah satu - satunya daerah aliran sungai yang terbaik untuk menyangga Jakarta.

Keberadaan kebun teh juga harus dipertahankan karena mempunyai peran yang khas yaitu sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi. Pohon teh mempunyai sifat perakaran yang dalam, akar serabut panjang, dan kerapatan akar tinggi, sehingga baik untuk tindakan konservasi tanah dan air, yaitu sebagai pencegah erosi. Apabila laju pengurangan kebun teh tidak dapat ditekan, akan berdampak negatif terhadap lingkungan, baik yang dirasakan oleh wilayah tersebut maupun wilayah hilirnya. Berdasarkan hasil konfirmasi lapangan, bahwa warga sekitar kebun teh sudah merasakan mulai berkurangnya sumber air, seiring dengan banyaknya kebun teh yang terkonversi menjadi penggunaan lainnya seperti villa. Kebun campuran ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal. Jenis tanaman yang dominan adalah tanaman tahunan. Sehingga keberadaannya sama dengan hutan dan kebun teh yang harus dipertahankan untuk menjaga tata air di kawasan Puncak sehingga frekwensi kejadian banjir di kawasan hilirnya dapat ditekan.

Adanya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dimana pada saat pembukaannya menggunakan alat berat yang bertujuan meratakan tanah dapat membuat lapisan tanah yang subur hilang sehingga mempengaruhi sifat fisik tanah. Selain itu juga dapat merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau terhambat. Keberadaan lahan pertanian di kawasan Puncak disatu sisi adalah untuk meningkatkan produksi pangan, namun di sisi lain apabila keberadaannya kurang dapat dikendalikan akan dapat menurunkan fungsi hidrologis mengingat kondisi topografi kawasan

Puncak yang sebagian besar bergelombang, berbukit dan bergunung dengan kecuraman lereng antara 8 - 45 persen.

Adanya penambahan pemukiman yang berlangsung dengan cepat di kawasan Puncak mengakibatkan bertambahnya daerah kedap air sehingga mengurangi daya serap atau infiltrasi air ke dalam tanah. Apabila perluasan areal pemukiman tidak dapat dikendalikan maka setiap terjadi curah hujan yang cukup besar intensitasnya maka dapat lebih meningkatkan nilai debit maksimum dan sebaliknya bila curah hujan rendah debit minimum akan semakin turun sehingga banyak daerah di hilir mengalami kekeringan.

Gambar 1. Gambaran Permukaan Kawasan Puncak (Bappeda Kab. Bogor, 2014)

BAB III KONSEP PENATAAN RUANG DI KAWASAN PUNCAK

Penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk mewujudkan tujuan pembangunan yang bersifat kewilayahan. Dalam konteks ini, rencana tata ruang merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Penataan

ruang termasuk pengendalian dan penertiban dimaksudkan untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup lebih parah akibat perkembangan pesat di kawasan hulu, sekaligus memberi perlindungan di kawasan hilir Jakarta dan sekitarnya.Sasarannya, antara lain, meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, fauna dan flora serta tetap mengembangkan fungsi budidaya seperti pariwisata dan pertanian.

3.1. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Puncak

Berdasarkan atas uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa penataan ruang selain merupakan proses mewujudkan tujuan pembangunan, sekaligus juga instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah. Berdasarkan UU No. 24/1992, khususnya pasal 3, tujuan penataan ruang adalah terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan budidaya dan kawasan lindung. Di samping itu, termuat sasaran penataan ruang, yakni (1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, (2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatandengan memperhatikan sumber daya manusia, (3) meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, (4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, serta (5) mewujudkan keseimbangan kepentingan antara kesejahteraan dan keamanan.

Penataan ruang memiliki peran strategis dalam perwujudan konsep pengembangan wilayah. Penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami fenomena sosial Penataan ruang memiliki peran strategis dalam perwujudan konsep pengembangan wilayah. Penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami fenomena sosial

Kawasan Puncak atau Jabopunjur memiliki kedudukan unik dalam sejarah sejarah penataan ruang Indonesia. Kawasan bermasalah pelik - ditandai oleh ancaman kerusakan lingkungan dan berdampak mengirim banjir ke Jakarta ini - mulai ditata serius sejak Presiden Soekarno, diintensifkan semasa Presiden Soeharto, dilanjutkan pada masa singkat pemerintahan Presiden BJ Habibie, hingga pemerintah saat ini (Tiendas, 2000). Jabopunjur menjadi wilayah non perkotaan pertama yang memiliki legalisasi tata ruang.

Konsep penataan ruang kawasan Jabopunjur pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1963. Lingkup wilayah yang ditangani melalui Perpres ini adalah 200 meter kiri-kanan jalur jalan Jakarta-Bogor-Cianjur serta seluruh Ciawi dan Pacet. Kemudian pada tahun 1983, Presiden Soeharto mengintensifkan penataan ruang kawasan puncak melalui eppres No. 48/1983 meluaskan cakupan wilayah penanganan menjadi 14 kecamatan (11 di Kabupaten Bogor, 2 di Kabuapten Cianjur dan 1 di Kabupaten Tangerang). Kemudian Keppres No.48/1983 digantikan oleh Keppres No. 114/1999 yang menambahkan satu kecamatan yaitu Bojonggede.

Pada tahun 1985 ditetapkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak/Jabopunjur melalui Keppres No. 75/1985. RUTR Kawasan Puncak/Jabopunjur meliputi rencana alokasi peruntukan ruang yang membedakan wilayah sesuai dengan fungsinya, menjadi 4 bagian yaitu:

1. Kawasan Lindung, meliputi hutan lindung dan suaka alam;

2. Kawasan Penyangga, meliputi perkebunan karet, perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi;

3. Kawasan Budidaya Pertanian, meliputi tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman tahunan;

4. Kawasan Budidaya Non Pertanian, meliputi permukiman perkotaan, lokasi industri dan bahan baku semen, lokasi industi tanpa polusi air, lokasi industri yang dibatasi dan lokasi pariwisata.

Pemerintah daerah dengan mengacu kepada RUTR, kemudian menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak/Jabopunjur. Penyusunan RDTR Kawasan Pariwisata Puncak merujuk pada persoalan yang dihadapi akibat kepesatan pembangunan, antara lain:

1. Persoalan yang berkaitan dengan konservasi tanah, air, flora dan fauna, meliputi perluasan ladang liar yang tidak memperhatikan fungsi konservasi dan pertambahan areal bangunan pada kelerengan >40% yang seharusnya dilindungi;

2. Persoalan yang berkaitan dengan perusakan keindahan alam meliputi penambahan bangunan dan fasilitas pariwisata di sepanjang jalan raya serta pengelompokkan bangunan yang menggangu keindahan alam;

3. Persoalan perubahan / meningkatnya suhu udara;

4. Persoalan meluasnya perkebunan teh yang terlantar sehingga memungkinkan alih fungsi padahal perkebunan teh merupakan ciri unik (keindahan alam);

5. Persoalan gangguan lalu lintas berupa kemacetan lalu lintas pada jalur jalan raya. Dalam mengatasi persoalan di atas dan dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang

telah ditetapkan dalam Keppres No.48/1983 dan Keppres No.75/1985, penyusunan RDTR Kawasan Pariwisata Puncak menganut konsepsi dasar pengembangan yang pada dasarnya adalah:

1. Melestarikan lingkungan alam dengan prinsip mempertahankan hutan dan perkebunan teh sebagai pengendali keseimbangan pelestarian lingkungan alam (khususnya berkaitan dengan pelestarian sumber mata air dan pengatur kesejukan udara) serta pembentuk ciri unik keindahan alam Kawasan Pariwisata Puncak;

2. Mengembangkan “Kawasan Dalam” dengan prinsip mengembangkan potensi pariwisata dan pusat kegiatan di “Kawasan Dalam” guna mengatasi gangguan lalu lintas dan kecenderungan perkembangan linier di sepanjang jalan raya Bogor-Puncak-Cianjur.

Seiring dengan semakin tidak terkendalinya pembangunan di kawasan puncak, semakin tingginya konversi hutan, dan bencana banjir dan longsor yang selalu terjadi setiap musim hujan, membuat pemerintah semakin peduli terhadap penataan kawasan Jabodetabekpunjur. Dalam Undang-Undang No 26. Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Salah satu tujuan penetapan kawasan ini Seiring dengan semakin tidak terkendalinya pembangunan di kawasan puncak, semakin tingginya konversi hutan, dan bencana banjir dan longsor yang selalu terjadi setiap musim hujan, membuat pemerintah semakin peduli terhadap penataan kawasan Jabodetabekpunjur. Dalam Undang-Undang No 26. Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Salah satu tujuan penetapan kawasan ini

Sebagai tindak lanjut dari UU No.26 Tahun 2007, pemerintah menyusun Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Pada pasal (2) dituangkan bahwa tujuan Penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur adalah:

1. Mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan;

2. Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; dan

3. Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan

karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan .

Pola pemanfaatan ruang untuk kawasan Puncak, ditentukan oleh struktur pengembanganya yaitu:

1. Kawasan Puncak didominasi fungsi lindung

2. Pengembangan prasarana wilayah khususnya jalan raya, relatif terbatas dengan maksud

tidak merangsang perkembangan budidaya yang ada

3. Pola pengelolaan kawasan parawisata, pengaturan alokasi kawasan wisata harus menunjang

fungsi Kawasan Utama Puncak sebagai kawasan konservasi air dan alam serta sosial budaya, adat istiadat dan karakteristik fungsi lingkungan setempat.

4. Bangunan yang diperkenankan di kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata hanya

bangunan yang berfungsi penunjang kawasan tersebut dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum 5 persen.

Penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya Penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya

Gambar 2. Rencana Pola Ruang RTRW 2005-2025 Sub DAS Ciliwung (Bangwil IPB, 2014)

3.2. Peruntukan Tata Ruang Kawasan Puncak

Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2006 dan Perpres No.54 Tahun 2008 dapat disimpulkan bahwa kawasan puncak sejatinya diperuntukkan sebagai kawasan yang mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan, dan menjamin air tanah dan air permukaan, serta mencegah banjir. Fungsi perlindungan keseimbangan tata-guna air pada kedua peraturan di atas tidak dapat dipisahkan dengan ada/tidaknya daerah berhutan dalam suatu wilayah, yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

Sebagai Pemerintah Daerah yang membawahi Kawasan Puncak, Pemerintah Kabupaten Bogor kemudian menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa kawasan puncak merupakan kawasan hutan lindung. Tetapi pada tahun 2010 Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat (Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010) menyatakan bahwa kawasan puncak bukan kawasan hutan lindung tetapi merupakan kawasan hutan produksi. Peraturan daerah ini kemudian menimbulkan opini bahwa Kabupaten Bogor akan mencabut Perda Nomor 19 Tahun 2008 untuk menyesuaikan dengan Perda RTRW Provinsi Jawa Barat.

RTRW Provinsi Jawa Barat tentu saja bertentangan dengan peraturan perundangan sebelumnya. Perubahan kawasan puncak dari kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi berarti menghilangkan fungsi resapan air daerah puncak, yang tentu saja berarti dapat menyebabkan bencana banjir di daerah DKI Jakarta. Untuk mengatasi hal tersebut, konsep penataan ruang kawasan puncak harus dikembalikan menjadi kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pencegah banjir.

Gambar 3. Fungsi Dan Peran Kabupaten Bogor Dalam Konstelasi Jabodetabekjur

(Bappeda Kab. Bogor, 2014)

BAB IV ISU DAN MASALAH PENATAAN RUANG KAWASAN PUNCAK

Isu dan permasalahan dikawasan puncak secara umum terbagi atas dua yakni isu yang terkait dengan persolan fisik ruang dan isu sosial politik dan budaya. Isu yang meliputi persoalan fisik ruang adalah sebagai berikut :

1. Isu Perbedaan penetapan luas kawasan hutan antara Kementerian Kehutanan (KEMENHUT) dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor . Kondisi ini tidak hanya menyebabkan terjadinya

perbedaan secara adminstrasi tapi namun juga menyebabkan permasalahan pada kondisi aktual dilapangan. Diantaranya bisa terjadi pergeseran atau perbedaan fungsi kawasan hutan, selain itu akan menyebabkan kesulitan menjaga kawasan pinggiran hutan, hingga berdampak pada pemberian isin penggunaan lahan.

2. Banya lahan yang terkonversi, ada kawasan yang harusnya merupakan area perkebunan, tapi pada kenyataanya menjadi kawasan pemukiman atau tempat mendirikan villa atau

penginapan. Selain itu dikawasan puncak juga sangat banyak bangunan yang didirikan tanpa izin, tanah yang dijual dibawah tangan sehingga terjadi tumpang tindih kepemilikan. Maraknya calo tanah dikawasana puncak juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi lahan yang tdiak sesuai dengan perunttukkan yang seharusnya.

3. Perumahan yang didirikan di bantaran sungai menajdi slaah satu permasalhan tata ruang di kawasan puncak. Harusnya antara perumahan dan inggiran sungai ada jarak tertentu tapi

kenyataanya adalah sangat banyak rumah-rumah yang didirikantepat dipinggir sungai.

4. Persolan tempat pembuangan sampah menajdi salah stu permasalahn dalam tata ruang puncak. Bebrapa titik yang bahkan tidak termaksud sebagai Tempat pembuangan sampah

sembarangan (TPS) tapi pada kenyataanya berfungsi sudah seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Selain itu lokasinya tepat berada di pinggirna sungai sehingga merembes kesungai dan mempengaruhi ekosistem dan ekologi sungai.

5. Pedagang kaki lima yang berada ditempat-tempat umum, dipinggiran jalan dan beberapa tempat area yang diajdikan sebagai lokasi penjualan sebenanya tidak sesui dengan

peruntukkan dan kondisi pedagang kaki lim aini turut serta mempengaruhi kondisi tata ruang peruntukkan dan kondisi pedagang kaki lim aini turut serta mempengaruhi kondisi tata ruang

tentu salah satu yang akn terjadi.

Gambar 4. Permasalahan Kawasan Puncak terkait Tata Ruang dan Dinamika Pemanfaatan Ruang

(Bappeda Kab. Bogor, 2014)

BAB V PERTUMBUHAN DAN PERLUASAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PUNCAK

Kawasan Puncak terletak di Kabupaten Bogor, terbentang mulai dari pertigaan Ciawi Kabupaten Bogor sampai Cimacan Kabupaten Cianjur, yang terdiri dari tiga kecamatan yaitu Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Kawasan Puncak merupakan kawasan penyangga sumber air

sekaligus pengendali banjir bagi Ibu kota Jakarta, karena merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang hilirnya terletak di Jakarta. Selain itu, di kawasan puncak, juga terdapat kawasan konservasi yang menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Gambar 5. Penggunaan Lahan di Kawasan Sub DAS Ciliwung (Bangwil IPB, 2014)

5.1. RUTR Kawasan Puncak/Jabopuncur

Kawasan puncak, secara umum menurut RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) Kawasan Puncak/Jabopunjur, meliputi rencana alokasi peruntukan ruang yang membedakan wilayah sesuai dengan fungsinya, menjadi 4 bagian yaitu:

1. Kawasan Lindung, meliputi hutan lindung dan suaka alam;

2. Kawasan Penyangga, meliputi perkebunan karet, perkebunan teh, tanaman tahunan dan hutan produksi;

3. Kawasan Budidaya Pertanian, meliputi tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman tahunan;

4. Kawasan Budidaya Non Pertanian, meliputi permukiman perkotaan, lokasi industri dan bahan baku semen, lokasi industi tanpa polusi air, lokasi industri yang dibatasi dan lokasi pariwisata. (Tiendas,2007)

Gambar 6. Pemanfaatan Kawasan Puncak dan Perkembangannya (Bappeda Kab. Bogor, 2014)

Saat ini kawasan puncak secara umum termasuk TNGGP, tengah mengalami berbagai masalah dan konflik, sebagaimana dikutip dari Adiwibowo, dkk (2009), dikatakan bahwa tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang sama sekali bebas dari konflik. Konflik utama

yang dihadapi kawasan puncak yaitu masalah penataan ruang, pemanfaatan ruang. kepemilikan, pemukiman dan pertanian. Kondisi tata ruang di kawasan puncak saat ini baik dari sisi penataan dan pemanfaatan ruang, banyak dilakukan pendirian bangunan baru tanpa ijin, hal tersebut diakibatkan karena lemahnya pengawasan dari instansi terkait, serta kurangnya koordinasi antar instansi yang khusus menanganani kawasan puncak.

Adapun persoalan yang paling pelik dihadapi dan berlangsung terus menerus di kawasan puncak, adalah semakin maraknya pembangunan, dimana kondisi tersebut tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, dan sangat erat kaitanya dengan konsistensi penggunaan wilayah, dimana banyak terdapat ruang yang peruntukkannya tidak sesuai, dan telah banyak mengalami alih fungsi, sebagaimana ditunjukan dalam gambar berikut ini.

Kawasan TN Lama dan Alih Fungsi

ALIH FUNGSI,

ALIH FUNGSI,

ALIH FUNGSI,

TN LAMA , 15.196 HA

ALIH FUNGSI, ALIH FUNGSI,

Total luasan :

ALIH FUNGSI, 7.655,03 HA

22.851,03 ha

Gambar 7. Kawasan Taman Nasional yang mengalami Alih Fungsi Lahan (TNGGP, 2014)

5.2. Inkosistensi Pemanfaatan Lahan dan Ruang di Kawasan Puncak

Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan atau ruang di kawasan puncak dapat dilihat dari, semakin bertambahnya kepadatan kawasan puncak. Pada tahun 1960-1980an kawasan puncak, merupakan kawasan hutan lindung dan perkebunan teh, namun seiring dengan perkembangannya kawasan puncak berkembang menjadi kawasan wisata, dimana bangunan dan berbagai fasilitas

pariwisata terus memadati sepanjang jalur Bogor-Puncak-Cianjur. Dapat dilihat dari tepi jalan utama Ciawi-Cimacan sepanjang 29,5 kilometer, sepanjang jalan dipenuhi bangunan, setidaknya

ada 2 rumah sakit dan 20 klinik atau praktik bidan, 7 SPBU, 21 minimarket, serta ratusan rumah makan dan hotel. Ketika menelusuri jalan sempit ataupun gang di kiri dan kanan jalan utama, ditemukan banyak vila- vila yang disewakan. Kawasan terpadat di Kecamatan Cisarua, dengan penduduk sejumlah 113.833 jiwa, terdapat obyek wisata terkenal, seperti Taman Safari Indonesia dan Taman Wisata Matahari.

Tabel 1. Rekapitulasi jumlah bangunan yang terdapat di kawasan puncak (kecamatan cisarua, kecamatan megamendung dan kecamatan ciawi)

Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Permukiman kabupaten Bogor 2014

Banyaknya jumlah bangunan yang tidak berijin dikawasan puncak, merupakan salah satu bukti bahwa adanya kesalahan dalam pemanfaatan dan penyalahgunaan lahan, serta pembangunan yang tidak sesuai dengan ‘site plan” tata ruang yang telah direncanakan, sehingga terjadi perluasan kawasan. Jika kondisi tersebut, terus-menerus dibiarkan berlangsung maka seperti yang dituliskan oleh Soemarwoto (2004) bahwa proses perusakan lingkungan yang berjalan secara

progresif, akan membuat lingkungan bumi makin tidak nyaman bagi manusia, dan akan dapat membuat tidak sesuai lagi untuk kehidupan kita.

Gambar 8. Perubahan Fungsi Lahan serta Perluasan Kawasan Puncak Dari Tahun ke

Tahun di Kawasan Puncak (Bangwil IPB, 2014)

Area yang berwarna merah (gelap) di dalam kawasan, menunjukkan pola perubahan kawasan yang tadinya berupa kawasan hijau (areal hutan, perkebunan dan pertanian) berubah menjadi kawasan merah (kawasan wisata dan pemukiman). Perambahan kawasan lindung, yang dialih fungsikan sebagai lahan pertanian, fasilitas rekreasi dan sebagainya. Ladang dan kawasan terbangun terus merangkak menuju perbukitan yang berlereng > 40%. Tercatat hampir 1.000 hektar lahan yang berfungsi beralih fungsi. Perkebunan teh yang menjadikan kawasan ini istemewa, banyak yang telantar sehingga memberi kemungkinan diserobot baik untuk pertanian yang tidak mengindahkan fungsi konservasi maupun bangunan-bangunan pariwisata. Hutan yang tersisa di kawasan Puncak terus tergerus oleh pembangunan vila dan perluasan pemukiman warga tanpa izin. Menurut data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor 2010, dari 59.486 bangunan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru 12.844 bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan atau sekitar seperlimanya. Disinyalir bahwa dibutuhkan Area yang berwarna merah (gelap) di dalam kawasan, menunjukkan pola perubahan kawasan yang tadinya berupa kawasan hijau (areal hutan, perkebunan dan pertanian) berubah menjadi kawasan merah (kawasan wisata dan pemukiman). Perambahan kawasan lindung, yang dialih fungsikan sebagai lahan pertanian, fasilitas rekreasi dan sebagainya. Ladang dan kawasan terbangun terus merangkak menuju perbukitan yang berlereng > 40%. Tercatat hampir 1.000 hektar lahan yang berfungsi beralih fungsi. Perkebunan teh yang menjadikan kawasan ini istemewa, banyak yang telantar sehingga memberi kemungkinan diserobot baik untuk pertanian yang tidak mengindahkan fungsi konservasi maupun bangunan-bangunan pariwisata. Hutan yang tersisa di kawasan Puncak terus tergerus oleh pembangunan vila dan perluasan pemukiman warga tanpa izin. Menurut data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor 2010, dari 59.486 bangunan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru 12.844 bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan atau sekitar seperlimanya. Disinyalir bahwa dibutuhkan

Bertolak dari kenyataan tersebut, ternyata segala upaya untuk menertibkan pembangunan liar telah dilakukan, antara lain dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, yang selanjutnya diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ternyata Perpres dan Peraturan Pemerintah yang dibuat, belum cukup ampuh untuk dapat mengendalikan pesatnya perkembangan kawasan liar di wilayah tersebut, hal ini dikarenakan belum adanya hukuman atau efek jera bagi para pelanggar tata ruang.

Gambar 9. Peran dan Fungsi Kawasan Puncak Sejarusnya (Bappeda Kab. Bogor 2014)

BAB VI PERSOALAN TUMPANG TINDIH PEMANFAATAN RUANG KAWASAN PUNCAK

6.1 Fenomena Tumpang Tindih Kewenangan

Sampai sejauh ini masih ada tumpang tindih (overlap) kewenangan dalam bidang perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian lingkungan hidup, serta pelayanan pertanahan dan pelayanan administrasi penanaman modal. Di dalam UU Nomor 32/2004 ditegaskan bahwa perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi (pasal 13) maupun kabupaten/kota (pasal 14). Dalam kedua pasal itu, sepintas tidak ada persoalan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi yang terdiri atas kabupaten/kota membuat rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) berdasar kondisi dan potensi provinsinya sebagai acuan penyusunan RTRW kabupaten/kota. Namun, dalam implementasinya banyak RTRW provinsi yang dibuat tumpang tindih dengan RTRW kabupaten/kota karena didorong oleh perbedaan kepentingan dan tujuan.

Selain tumpang tindih kewenangan, terjadinya tumpang tindih RTRW antara pemprov dan pemkab/pemkot juga disebabkan tidak adanya koordinasi perencanaan. Lemahnya koordinasi terkait dengan kuatnya egowilayah dan egosektoral sehingga pemprov dan kabupaten kota memiliki perencanaan tersendiri.

Lemahnya koordinasi dapat dilihat dari hal mendasar, yaitu tidak seragamnya skala dalam penyusunan RTRW. Tidak seragamnya skala RTRW berdampak terhadap output dan kedetilan informasi yang dihasilkan dari proses perancanaan yang pada akhirnya dapat menyebabkan tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan. Tumpang tindih RTRW antara pemprov dan kabupaten/kota hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok. Masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan disamping pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Fenomena tumpang tindih kewenangan begitu nyata ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 masih berlaku meskipun telah diperbarui oleh UU Nomor

32 tahun 2004, yang akhirnya menyebabkan upaya perbaikan tidak banyak berarti. Tumpang tindih dalam tata ruang disebabkan oleh tumpang tindih kewenangan.

Fenomena tumpang tindih kewenangan masih terus mencuat dan membutuhkan waktu lama untuk mengatasinya. Masing-masing pimpinan di daerah merasa berwenang serta tidak ada ketegasan siapa yang paling berwenang atas yang lain dan harus diikuti. Akibatnya, pelaksanaan rencana tata ruang di setiap daerah tidak menghasilkan pola dan struktur ruang kawasan yang optimal. Pola dan struktur ruang yang ada tidak mampu mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang berkembang secara dimanis. Dalam kondisi ini, Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan fungsi pengendalian dalam pemanfaatan tata ruang yang telah disepakati. Namun, dalam implementasinya tidak mudah memadukan kepentingan pemerintah kabupaten/kota dengan kepentingan nasional.

Kawasan Puncak merupakan wilayah hinterland yang berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan penduduk di wilayah DAS bagian hilir, yaitu Bogor, Depok dan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Keberlanjutan kawasan Bogor, Depok dan DKI Jakarta sebagai suatu ekosistem sangat tergantung pada kawasan ini, terutama dalam hal ketersediaan sumberdaya air. Ketersediaan sumberdaya air ini terutama ditentukan oleh DAS Ciliwung Hulu. DAS ini masuk dalam wilayah kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua di Kabupaten Bogor. Kondisi topografi DAS Ciliwung Hulu dengan panorama yang menarik menyebabkan tumbuhnya berbagai macam pusat kegiatan, terutama pariwisata dengan segala bentuk aneka ragam usahanya, serta daerah pemukiman. Kedua hal tersebut cenderung menimbulkan alih fungsi kawasan hutan dan pertanian yang berfungsi lindung menjadi penggunaan lain (pemukiman, villa).

Persoalan tumpang tindih pemanfaatan ruang di kawasan puncak secara garis besar Persoalan tumpang tindih pemanfaatan ruang di kawasan puncak secara garis besar

6.2 Ketidakserasian Peraturan dan Undang-Undang Terkait Penataan Ruang

dan Pertanahan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional (KSN). Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Dalam Peraturan Presiden ini kawasan Puncak dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Pemerintah Kabupaten Bogor menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor

19 Tahun 2008 yang menetapkan sebagian kawasan puncak sebagai kawasan hutan lindung. Namun, pada tahun 2010 Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat (Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010) menyatakan bahwa di kawasan puncak tidak terdapat kawasan hutan lindung melainkan kawasan hutan produksi. Ditetapkannya Perda RTRW Provinsi Jawa Barat menyebabkan Kabupaten Bogor merevisi Perda Nomor 19 Tahun 2008 untuk menyesuaikan dengan RTRW provinsi. Penyesuaian RTRW ini kemudian memunculkan opini Kabupaten Bogor tidak mendukung fungsi kawasan puncak dalam menjaga keseimbangan ekologis.

Selain perbedaan peraturan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, tumpang tindih kawasan puncak juga disebabkan oleh perbedaan penetapan perencanaan pola ruang RTRW oleh pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (kementrian kehutanan) mengenai fungsi kawasan hutan. Gambar 2 merupakan peta kawasan sub DAS Ciliwung, yang termasuk bagian dari daerah Puncak. Tumpang tindih pola ruang RTRW dengan fungsi kawasan hutan dapat dilihat di Kecamatan Cisarua. Berdasarkan fungsi kawasan hutan yang ditetapkan Menteri Kehutanan bagian utara Kecamatan Cisarua ditetapkan sebagai Hutan Lindung, sementara dalam pola ruang RTRW wilayah tersebut diperuntukkan untuk Hutan Produksi.

Gambar 11. Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu

6.3 Motif Ekonomi Pihak yang Berkepentingan (Masyarakat, Pemda, Investor)

Kawasan puncak berperan sebagai wilayah konservasi tanah dan air bagi wilayah aliran sungai Ciliwung serta konservasi Flora dan Fauna. Kawasan Puncak memiliki keindahan panorama alam, udara bersih dan sejuk. Akses yang mudah mendorong terjadinya aktivitas pariwisata yang massif, serta migrasi dan pertambahan penduduk. Kondisi ini menyebabkan tingginya permintaan untuk memiliki tanah oleh berbagai pihak yang mengakibatkan harga tanah di Kawasan Puncak mahal dan menjadi komoditi ekonomi potensial. Secara fisik, kawasan ini cenderung untuk dieksploitasi melalui pembangunan rumah, vila dan hotel tanpa memperhatikan kriteria lokasi dan standar teknis pembangunan. Pada beberapa kasus bahkan dibuat danau buatan yang diairi dengan cara merombak dan membendung aliran sungai Ciliwung.