METODE PENELITIAN

4.2.1. Perhitungan Modulus Cor

Dengan menggunakan persamaan (2.1) dapat dihitung nilai modulus cor dari produk dan riser sebagai berikut :

1. Modulus cor produk Spesimen produk cor berupa balok dengan silinder di bagian permukaan bawah seperti ditunjukkan pada gambar 4.2 (a) dan 4.2 (b). Ukuran balok 140 mm x 140 mm x 10 mm dan ukuran silinder diameter 50 mm dengan tinggi 50 mm. Sehingga nilai modulus cor produk adalah :

2. Modulus cor riser Contoh perhitungan (ukuran variasi I) Diameter neck : 25 mm Tinggi neck

: 5 mm

Diameter riser : 30 mm Tinggi riser

: 100 mm

commit to user

Hasil perhitungan modulus cor riser semua variasi ukuran saluran penambah (riser) ditunjukkan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Nilai modulus cor saluran penambah (riser)

Modulus (mm)

Diameter

(mm)

Tinggi

(mm)

Diameter

(mm)

Tinggi

(mm)

1 30 100

25 5 6,51

2 40 56 25 5 7,33

3 50 36 25 5 7,33

Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh nilai modulus cor riser yang lebih besar dari nilai modulus cor produk cor. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan pembekuan logam ke arah saluran penambah (riser).

4.2.2. Persentase Penyusutan Produk Cor

1. Data hasil pengukuran volume produk cor.

Tabel 4.3 Volume produk cor Variasi Spesimen

Volume

(mm 3 )

1 191.250

2 202.500

3 191.250

4 191.250

5 191.250

II

1 202.500

2 202.500

3 191.250

4 191.250

5 202.500

III

1 202.500

2 202.500

3 191.250

4 202.500

5 202.500

commit to user

2. Perhitungan persentase penyusutan Perhitungan persentase penyusutan dengan menggunakan persamaan (3.1) sebagai berikut : Contoh perhitungan (spesimen 1, variasi I)

V mold

: 215.630 mm 3

V produk : 191.250 mm 3

Hasil perhitungan persentase penyusustan semua variasi ukuran saluran penambah (riser) ditunjukkan pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil perhitungan persentase penyusutan

Variasi Spesimen V mold (mm 3 )

V produk (mm 3 )

S (%)

1 215.630 191.250

11,30

2 215.630 202.500

6,09

3 215.630 191.250

11,30

4 215.630 191.250

11,30

5 215.630 191.250

11,30

Rata-rata

10,26

II

1 215.630 202.500

6,09

2 215.630 202.500

6,09

3 215.630 191.250

11,30

4 215.630 191.250

11,30

5 215.630 202.500

6,09

Rata-rata

8,17

III

1 215.630 202.500 6,09

2 215.630 202.500 6,09

3 215.630 191.250

11,30

4 215.630 202.500 6,09

5 215.630 202.500 6,09

Rata-rata

7,13

commit to user

Gambar 4.3 Hubungan antara persentase penyusutan – variasi ukuran riser

Gambar 4.3 menunjukkan hubungan antara persentase penyusutan dengan variasi ukuran saluran penambah (riser). Nilai yang ditampilkan merupakan nilai rata-rata dari lima spesimen dari setiap variasi ukuran saluran penambah (riser). Nilai persentase penyusutan untuk variasi I sebesar 10,26%, untuk variasi II sebesar 8,17%, dan untuk variasi III sebesar 7,13%. Berdasarkan data di atas, ukuran saluran penambah (riser) mempengaruhi nilai persentase penyusutan yang terjadi pada produk cor.

Perbedaan nilai persentase penyusutan tersebut disebabkan oleh perbedaan ukuran saluran penambah (riser) dari setiap variasi. Perbedaan ukuran ini berpengaruh terhadap nilai modulus cor riser pada setiap variasi. Nilai modulus cor ini mempengaruhi laju pembekuan logam cair selama proses pembekuan. Semakin tinggi nilai modulus cor maka waktu pembekuan logam akan semakin lama dan sebaliknya semakin rendah nilai modulus cor maka waktu pembekuan akan semakin cepat.

Pada tabel 4.2 ditampilkan nilai modulus cor riser dari setiap variasi. Nilai modulus cor riser untuk variasi I sebesar 6,51 mm, untuk variasi II sebesar 7,32 mm, dan untuk variasi III sebesar 7,33 mm. Berdasarkan nilai tersebut maka variasi I memiliki nilai persentase penyusutan terbesar. Hal ini disebabkan oleh waktu pembekuan logam di dalam riser pada variasi I lebih cepat bila

Variasi I (ø=30 mm, t=100 mm)

Variasi II (ø=40 mm, t=56 mm)

Variasi III (ø=50 mm, t=36 mm)

Variasi Ukuran Riser

commit to user

dibandingkan dengan variasi II dan III sebagai akibat dari besarnya laju pembekuan logam di dalam riser. Sehingga, riser tidak dapat berfungsi dengan baik untuk menyuplai logam cair ketika terjadi penyusutan.

Pada variasi II dan variasi III memiliki modulus cor riser yang nilainya sama besar tetapi memiliki nilai persentase penyusutan yang berbeda. Pada gambar 4.3 diketahui nilai persentase penyusutan variasi II lebih besar dibandingkan nilai persentase penyusutan variasi III. Hal ini disebabkan oleh ukuran diameter riser pada variasi III lebih besar dibandingkan ukuran diameter riser pada variasi II. Dengan diameter yang besar menyebabkan bidang pembekuan yang bergerak dari arah tepi dinding cetakan lebih lambat untuk bertemu di daerah pusat sumbu simetri riser. Sehingga riser dapat berfungsi dengan baik untuk menyuplai logam cair ketika terjadi penyusutan.

4.2.3. Pengamatan Rongga Penyusutan

Gambar 4.4 Cacat rongga penyusutan pada produk cor (a) variasi I (b) variasi II (c) variasi III

commit to user

Gambar 4.4 menunjukkan terjadinya cacat rongga penyusutan produk cor. Cacat rongga penyusutan pada ketiga variasi terjadi di bagian perubahan penampang. Pada gambar di atas rongga penyusutan terbesar terjadi pada variasi I, sedangkan rongga penyusutan terkecil terjadi pada variasi III.

Pada variasi I terjadinya rongga penyusutan disebabkan oleh ukuran tinggi riser yang besar yaitu 100 mm dan diameter riser kecil yaitu 30 mm. Ukuran diameter yang kecil menyebabkan jarak antara tepi dinding cetakan ke pusat sumbu simetri riser kecil, sehingga logam cair di dalam riser semakin cepat membeku. Ukuran tinggi riser yang besar mengakibatkan riser kesulitan untuk mengisi kekurangan logam cair karena jarak tempuh menuju rongga cetakan cukup jauh.

Pada variasi II ukuran rongga penyusutan yang terjadi sudah berkurang. Hal ini disebabkan oleh ukuran diameter riser yang lebih besar dibandingkan ukuran diameter riser pada variasi I yaitu sebesar 40 mm. Sehingga logam cair di dalam riser dapat dipertahankan dalam kondisi cair lebih lama. Selain itu ukuran tinggi riser variasi II lebih rendah dibandingkan tinggi riser variasi I yaitu sebesar

56 mm. Dengan demikian jarak tempuh logam cair dari riser menuju rongga cetakan lebih pendek. Pada variasi III ukuran rongga penyusutan jauh lebih kecil dibandingkan pada variasi I dan II. Hal ini disebabkan ukuran diameter riser variasi III lebih besar yaitu 50 mm. Dengan diameter yang besar menyebabkan bidang pembekuan yang bergerak dari arah tepi dinding cetakan lebih lambat saling bertemu di daerah pusat sumbu simetri riser. Selain itu, jarak tempuh logam cair dari riser menuju rongga cetakan lebih pendek karena tinggi riser hanya 36 mm.

Hasil pengamatan cacat rongga penyusutan pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Tjitro (2001). Dimana rongga penyusutan akan semakin menurun seiring meningkatnya ukuran diameter riser. Pada penelitian Tjitro (2001) ukuran diameter riser adalah 10 mm, 25 mm, dan 100 mm, ukuran diameter leher riser tetap 10 mm, sedangkan ukuran tinggi riser juga tetap yaitu 60 mm. Riser model 1 berbentuk silinder sedangkan riser model 2 dan 3 berbentuk kerucut terpancung. Volume logam cair di dalam riser berbeda pada setiap variasi. Dimana volume logam cair di dalam riser semakin bertambah

commit to user

siring meningkatnya ukuran diameter riser. Pertambahan volume ini berpengaruh terhadap nilai modulus cor riser. Karena volumenya bertambah maka nilai modulus cor riser juga semakin bertambah dan laju pembekuan logam di dalam riser semakin lambat. Sehingga, riser dapat berfungsi dengan baik untuk menyuplai logam cair ke dalam rongga cetakan pada saat terjadi penyusutan. Ukuran diameter leher riser juga mempengaruhi berhasil tidaknya logam cair di dalam riser turun untuk menyuplai penyusutan pada rongga cetakan. Ukuran diameter leher riser yang kecil memungkinkan bidang pembekuan pada riser sudah saling bertemu dan menutupi jalannya logam cair ke arah rongga cetakan. Penelitian Tjitro (2001) ini akan lebih menarik jika ditambahkan pengaruh ukuran riser terhadap persentase penyusutan yang terjadi dengan volume logam cair pada riser sama untuk setiap variasi. .

4.3. Persentase Porositas

Sebelum melakukan perhitungan nilai persentase porositas, dilakukan perhitungan true density. Berdasarkan data komposisi kimia pada tabel 4.1 dapat dihitung nilai true density dari produk cor. Dalam melakukan perhitungan true density berpedoman kepada standar ASTM E-252. Data perhitungan true density ditampilkan pada tabel 4.5.

Gambar 4.5 Sampel uji densitas

commit to user

Tabel 4.5 Data perhitungan true density sesuai ASTM E-252

Unsur

1/densitas

(m 3 /Mg)

Persentase

berat

1/densitas X persentase

berat

(m 3 /Mg)

Fe 0,1271

0,73

0,09

Si

0,4292

12,00

5,15

Mn

0,1346

0,06

8,1 x 10 -3

Mg

0,5522

0,05

0,03

Zn

0,1401

0,31

0,04

Ni

0,1123

0,04

4,3 x 10 -3

Cr

0,1391

0,01

2,1 x 10 -3

Ti

0,2219

0,01

2,2 x 10 -3

Pb

0,0882

0,13

0,01

V 0,1639

0,01

1,6 x 10 -3

B 0,4274

Be 0,5411

2 x 10 -4 1,1 x 10 -4

Zr

0,1541

0,64

0,10

Ga 0,1693

Bi

0,102

Sn

0,1371

0,05

6,8 x 10 -3

Cd 0,1156

Co

0,1130

Li

1,8727

JUMLAH

15,04

5,56

Al

0.3705

84,98

31,48

JUMLAH

37,05

Perhitungan true density =

100 37,05 = 2,70

= 2,70

Untuk perhitungan apparent density sebelumnya dilakukan pemotongan sampel spesimen. Bagian yang dipotong adalah daerah di sekitar riser. Kemudian sampel pengujian ditimbang massanya dan diukur volumenya. Pengukuran massa sampel menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 2 angka di belakang koma. Pengukuran volume sampel menggunakan gelas breker dengan kapasitas 100 ml. Hasil perhitungan apparent density ditampilkan pada tabel 4.6.

commit to user

Tabel 4.6 Hasil perhitungan apparent density

Variasi Sampel

(g/cm 3 )

1 2,57

2 2,44

3 2,61

4 2,58

5 2,60

II

1 2,52

2 2,57

3 2,47

4 2,45

5 2,47

III

1 2,45

2 2,41

3 2,42

4 2,55

5 2,47

Setelah dilakukan uji densitas maka diperoleh nilai apparent density. Untuk menghitung nilai persentase porositas digunakan persamaan (3.3). Contoh perhitungan (data variasi I, spesimen 1) ρ o = 2,70 g/mm 3 ρ s = 2,57 g/mm 3 Persentase porositas

%=

2,70

− 2,57

2,70

100 % = 4,67 %

Hasil perhitungan persentase porositas semua variasi ukuran saluran penambah (riser) ditunjukkan pada tabel 4.7.

commit to user

Tabel 4.7 Persentase porositas Variasi Sampel

(g/cm 3 )

(g/cm 3 )

2 2,44

2,70

9,47

3 2,61

2,70

3,39

4 2,58

2,70

4,31

5 2,60

2,70

3,64

Rata-rata

5,10

II

1 2,52

2,70

6,82

2 2,57

2,70

4,74

3 2,47

2,70

8,43

4 2,45

2,70

9,40

5 2,47

2,70

8,47

Rata-rata

7,57

III

1 2,45

2,70

9,25

2 2,41

2,70

10,70

3 2,42

2,70

10,49

4 2,55

2,70

5,67

5 2,47

2,70

8,35

Rata-rata

8,89

Gambar 4.6 Hubungan antara persentase porositas – variasi ukuran riser

Variasi I (ø=30 mm, t=100 mm)

Variasi II (ø=40 mm, t=56 mm)

Variasi III (ø=50 mm, t=36 mm)

Variasi Ukuran Riser

commit to user

Gambar 4.6 menunjukkan hubungan antara persentase porositas dengan variasi ukuran saluran penambah (riser). Nilai yang ditampilkan merupakan nilai rata-rata dari lima spesimen dari setiap variasi ukuran saluran penambah (riser). Nilai persentase porositas untuk variasi I sebesar 5,10%, untuk variasi II sebesar 7,57%, dan untuk variasi III sebesar 8,89%. Berdasarkan data di atas, ukuran saluran penambah (riser) mempengaruhi nilai persentase porositas yang terjadi pada produk cor.

Pada cetakan pasir yang digunakan terdapat uap air karena cetakan yang digunakan cetakan pasir basah. Pada temperatur tinggi uap air ini akan bereaksi dengan aluminium ketika aluminium cair dituang ke dalam cetakan, reaksinya adalah :

2Al + 3H 2 O

Al 2 O 3 + 3H 2 (gas hidrogen)

Gas hidrogen yang terperangkap bersama aluminium cair akan menimbulkan cacat porositas pada aluminium cor.

Pada variasi I nilai persentase porositasnya paling kecil yaitu sebesar 5,10%. Hal ini disebabkan oleh laju pembekuan logam di dalam riser besar sehingga logam lebih cepat membeku. Sehingga, jumlah gas hidrogen yang larut di dalam riser jumlahnya sedikit karena kemampuan larut hidrogen pada kondisi cair lebih besar bila dibandingkan dengan pada kondisi solid.

Pada variasi II nilai persentase porositasnya lebih besar dibandingkan persentase porositas pada variasi I yaitu sebesar 7,57%. Hal ini disebabkan oleh laju pembekuan logam di dalam riser lebih kecil dibandingkan pada variasi I, sehingga proses pembekuan logam di dalam riser menjadi lebih lama. Dengan demikian jumlah gas hidrogen yang terlarut di dalam logam cair semakin banyak.

Pada variasi III yang memiliki laju pembekuan riser yang nilainya sama besar dengan variasi II ternyata memiliki nilai persentase porositas yang berbeda. Nilai persentase porositas pada variasi II nilainya 7,57% sedangkan pada variasi

III nilainya 8,89%. Perbedaan ini terjadi karena ukuran diameter riser pada variasi

III lebih besar dari ukuran diameter riser variasi II. Dengan diameter yang besar menyebabkan bidang pembekuan yang bergerak dari arah tepi dinding cetakan

commit to user

lebih lambat saling bertemu di daerah pusat sumbu simetri riser. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya gas hidrogen yang terlarut di dalam riser.

Ukuran tinggi riser memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya cacat porositas pada produk cor. Bila ukuran tinggi riser besar maka riser mempunyai kemampuan yang besar untuk mendorong logam cair mengisi rongga-rongga porositas pada produk cor. Sehingga pada variasi I yang memiliki ukuran tinggi riser terbesar yaitu 100 mm memiliki nilai persentase porositas yang terkecil dibandingkan pada variasi II dan variasi III yang memiliki ukuran tinggi riser secara berurutan sebesar 56 mm dan 36 mm.

Struktur mikro dari aluminium hasil pengecoran ditampilkan pada gambar 4.7, 4.8, dan 4.9 sebagai berikut. Pada gambar nampak bagian berwarna hitam yang merupakan cacat porositas yan terjadi pada sampel pengujian. Pada variasi I cacat porositas terjadi pada area tertentu saja. Sedangkan pada variasi II dan variasi III cacat porositas yang terjadi lebih merata pada permukaan sampel uji.

Gambar 4.7 Struktur mikro sampel uji variasi I (perbesaran 200X)

commit to user

Gambar 4.8 Struktur mikro sampel uji variasi II (perbesaran 200X)

Gambar 4.9 Struktur mikro sampel uji variasi III (perbesaran 200X)

commit to user

47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan kesimpulan yang dapat diambil adalah untuk menghasilkan produk cor dengan nilai persentase penyusutan dan persentase porositas yang rendah digunakan riser dengan ukuran diameter besar dan tinggi.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dapat disarankan untuk melakukan penelitian terhadap variasi ukuran leher riser (neck).

Dokumen yang terkait

PERUMUSAN STRATEGI DAN ROADMAP STRATEGI HOTEL XYZ MENGGUNAKAN PENDEKATAN QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX (QSPM) STRATEGY FORMULATION AND STRATEGY ROADMAP HOTEL XYZ USING APPROACH QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX (QSPM)

0 0 10

PERBAIKAN KUALITAS PELAYANAN PRODUK T-CASH DI KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN INTEGRASI METODE E-SERVICE QUALITY DAN MODEL KANO QUALITY IMPROVEMENT OF T-CASH PRODUCT SERVICE IN BANDUNG CITY USING INTEGRATION OF E-SERVICE QUALITY METHOD AND KANO MODEL

0 0 10

PERANCANGAN USULAN PENGELOLAAN SPAREPART DAN KEBIJAKAN MAINTENANCE PADA MESIN ILA-0005 MENGGUNAKAN METODE RELIABILITY CENTERED SPARES (RCS) DAN RELIABILITY CENTERED MAINTENANCE (RCM) DI PT.XYZ DESIGN OF SPAREPART PROPOSAL MANAGEMENT AND MAINTENANCE POLICY

1 5 7

PERANCANGAN SISTEM PENGISI DAN PENYALUR DAYA BATERAI PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA HYBRID DESIGN OF CHARGE AND DISCHARGE BATTERY SYSTEM FOR HYBRID POWER PLANT

0 0 12

PENGARUH EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava, Linn) TERHADAP MORTALITAS Ascaris suum, GOEZE IN VITRO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 54

PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) ANTARA PEREMPUAN YANG MEMASAK DENGAN KAYU BAKAR DAN

0 0 57

SKRIPSI KARAKTERISASI MORFOLOGI TANAMAN DURIAN PETRUK DAN DURIAN LOKAL BRONGKOL (Durio zibethinus Murr.) DI JAWA TENGAH Irfian Trias Yunanto H 0708118

1 3 61

PERANCANGAN SISTEM PENGENDALI SUHU DAN KELEMBABAN UNTUK BUDIDAYA JAMUR KUPING

0 1 32

PERBEDAAN NILAI APE ANTARA PEKERJA PEMBUAT BATU - BATA DAN PETANI DI DESA SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 49

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI ANTARA SISWA KELAS II SMA BERBASIS AGAMA DAN SMA REGULER SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 62