APLIKASI KONSEP KEBENARAN VAN TIL TERHADAP KONDISI PASCAMODERNISME

BAB IV APLIKASI KONSEP KEBENARAN VAN TIL TERHADAP KONDISI PASCAMODERNISME

Pada bab ini penulis akan mengaplikasikan konsep kebenaran Van Til terhadap kondisi pascamodernisme. Penulis akan menggunakan konsep kebenaran Van Til untuk menganalisa sumber masalah dari pascamodernisme. Dari mana pascamodernisme sampai kepada keadaannya sekarang, yaitu keadaan yang diwarnai dengan relativisme sosial, pluralisme, tribalisme. Penulis juga akan memperlihatkan bagaimana konsep kebenaran Van Til dapat menghindari problem bias, kebenaran sebagai alat untuk membenarkan kekuasaan, dan menghadapi problem kemajemukan.

Van Til sendiri, di dalam apologetika dan teologinya, bukan berhadapan dengan pascamodernisme. Pada zaman Van Til berstudi, filsafat yang berkembang di Amerika adalah idealisme. Filsafat ini tidak populer lagi pada zaman pascamodern dan digantikan dengan filsafat analitik. Di dalam kariernya, ia berjuang membela iman Kristen ortodok—yang bagi Van Til diekspresikan dengan konsisten di dalam iman reformed— melawan teologi-teologi non-reformed seperti liberalisme, neo-ortodok, Katolik Roma, Arminian, dan Calvinisme yang tidak konsisten. Selain itu, Van Til juga berapologetika dan memberikan kritik kepada filsafat non Kristen yang populer pada zamannya seperti: Plato, Kant, Dewey, idealisme, personalisme, filsafat proses. Jika demikian apakah benar mengkaitkan antara Van Til dengan pascamodernisme? Menurut hemat penulis, pascamodernisme ultra-kritis—pascamodernisme yang dibahas di dalam tesis ini— Van Til sendiri, di dalam apologetika dan teologinya, bukan berhadapan dengan pascamodernisme. Pada zaman Van Til berstudi, filsafat yang berkembang di Amerika adalah idealisme. Filsafat ini tidak populer lagi pada zaman pascamodern dan digantikan dengan filsafat analitik. Di dalam kariernya, ia berjuang membela iman Kristen ortodok—yang bagi Van Til diekspresikan dengan konsisten di dalam iman reformed— melawan teologi-teologi non-reformed seperti liberalisme, neo-ortodok, Katolik Roma, Arminian, dan Calvinisme yang tidak konsisten. Selain itu, Van Til juga berapologetika dan memberikan kritik kepada filsafat non Kristen yang populer pada zamannya seperti: Plato, Kant, Dewey, idealisme, personalisme, filsafat proses. Jika demikian apakah benar mengkaitkan antara Van Til dengan pascamodernisme? Menurut hemat penulis, pascamodernisme ultra-kritis—pascamodernisme yang dibahas di dalam tesis ini—

KONDISI PASCAMODERNISME SEBAGAI DAMPAK KEJATUHAN Menganalisa akar pascamodernisme ultra-kritis merupakan pekerjaan yang sukar. Kesukaran ini muncul karena adanya beberapa macam deskripsi mengenai pascamodernisme terutama berkenaan dengan peran Imannuel Kant. Pertanyaannya adalah: “Apakah pemikiran Kant merupakan benih-benih dari pascamodernisme atau justru lawan dari pascamodernisme karena Kant dianggap merupakan bagian dari modernisme?” Penulis tidak akan membahas masalah tersebut, cukup untuk disimpulkan bahwa ada bagian-bagian pemikiran Kant yang menjadi benih-benih pemikiran pascamodernisme dan ada pemikiran Kant yang merupakan bagian dari modernisme. 256 Pemikiran Kant yang menjadi benih dari pascamodernisme adalah epistemologi Kant.

256 Foucault, misalnya, mengatakan bahwa Kant memulai modernitas. Warisan Kant di dalam modernitas menghasilkan dua jalur yang berbeda di dalam modernitas. Jalur pertama mengarah kepada

penyelidikan “kebenaran analitik,” yaitu penyelidikan terhadap kemungkinan pengetahuan. Jalur yang kedua adalah jalur “ontologi kekinian” atau “ontologi diri sendiri.” Jalur kedua ini menyelidiki subyek yang berfilsafat itu sendiri. Jalur ini memperlihatkan historisitas dari semua penalaran mengenai yang universal. Foucault menolak warisan Kant pada jalur pertama. Ia mendekonstruksi subyek transenden yang menjadi subyek pengetahuan. Foucault mengambil jalur kedua dari warisan Kant. Oleh sebab itu, meski Foucault merupakan tokoh pascamodernisme tetapi ia membuat klaim yang mengejutkan bahwa ia berada pada tradisi Kantian, (lihat Paul Lakeland, Postmodernity [Minneapolis: Fortress, 1997] 14-15).

Kant, pada zamannya, berusaha untuk mengamankan Pencerahan dari serangan skeptisisme yang dimunculkan oleh David Hume. Usaha Kant ini membawanya kepada pencarian suatu filsafat tahan gempuran skeptisisme Hume. Pencarian filsafat tersebut sampai kepada suatu konsep epistemologi yang mengajarkan bahwa pikiran manusia memberikan tatanan dan makna kepada pengalaman-pengalaman manusia terhadap alam. Pikiran manusia pula yang memberikan aturan-aturan moral. Bahkan pikiran manusia yang memberikan struktur dan tatanan kepada alam. Benih pemikiran ini, pikiran manusia merupakan unsur utama yang membentuk pengalaman manusia terhadap dunia, akhirnya berakar dan bertumbuh menjadi konsep pascamodernisme. 257 Pascamodernisme mengajarkan bahwa tidak ada realitas di dalam dirinya sendiri yang terlepas dari paradigma (prasuposisi) kita. Paradigma kita bukan hanya berfungsi sebagai lensa yang melaluinya aturan, makna, dan kebenaran dipahami tetapi paradigma merupakan sumber dari hal-hal tersebut. Singkatnya, manusia adalah pengukur realitas karena manusia yang menciptakan realitas.

Pandangan Kant, sebagai benih pemikiran pascamodernisme, dapat kita sebut sebagai anti-realisme kreatif Kantian (Kantian creative anti-realism).

Konsep fundamental dari anti-realisme kreatif Kantian adalah bahwa kita manusia bertanggung jawab bagi struktur dan hakekat dunia ini. Kita, pada dasarnya, adalah arsitek dari dunia ini. Pandangan ini tentu saja tidak menyangkal adanya kuda, gunung, planet, dan bintang-bintang, namun pandangan anti-realisme kreatif ini mengatakan bahwa eksistensi dan struktur fundamental mereka telah diberikan kepada mereka oleh aktivitas konseptual

257 Untuk melihat perkembangan subyektivisme epistemologis Kant menjadi konsep relativisme pascamodernisme lihat Ted Cabal, “An Introduction to Postmodernity: Where are We, How did We Get

Here, and Can We Get Home?” http://www.sbts.edu/resources/sbjt/2001/Postmodernity.pdf; Cooper, “Reformed Apologetics” 113; D. Martin Fields, “Postmodernism,” http://capo.org/premise/95/sep/ p950805.html.

dari manusia bukan oleh aktivitas konseptual Allah yang berpribadi. Menurut pandangan ini seluruh dunia pengalaman kita—dunia pohon-pohon, dinosaurus, bintang— mendapatkan struktur dasarnya dari aktivitas pikiran manusia. Struktur fundamental dunia, seperti ruang, waktu, obyek, bilangan, kebenaran, kemungkinan, eksistensi, dan sebagainya, tidaklah ditemukan dan didapatkan begitu saja di dalam dunia ini tetapi dibangun oleh aktivitas mental atau konseptual kita. Pandangan anti-realisme kreatif ini yang mewarnai filsafat eksistensialisme Sartre, filsafat hermeneutika Heidegger, pascastrukturalisme Perancis, dan Richard Rorty. 258 Pada akhirnya pandangan anti- realisme kreatif ini akan menghasilkan relativisme. Jika setiap orang atau setiap komunitas membangun “dunianya” sendiri maka akan ada kemajemukan “dunia.” Tiap komunitas atau individu tersebut tidak dapat mengklaim bahwa “dunianya” lebih baik daripada “dunia” yang lain. Hasil akhirnya adalah relativisme.

Pada dasarnya pandangan anti-realisme kreatif ini memiliki kesamaan memiliki kesamaan dengan modernisme. Kesamaan ini terletak pada penggunaan rasio yang otonom. Gary Gutting, misalnya, seorang yang bersimpati dengan filsafat Rorty mengatakan bahwa: “Rorty’s pragmatism is certainly critical of classical formulations of the Enlightenment project. But, as I will show, properly clarified and modified, it renews rather than rejects the fundamental Enlightenment idea of human autonomy through reason.” 259 Pada akhirnya pascamodernisme merupakan upaya menjadikan pikiran dan

258 Alvin Plantinga, “Christian Philosophy at the End of Twentieth Century” dalam The Analytic Theist (ed. James F. Sennet; Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 330-332; Alvin Plantinga “On Christian

Scholarship” http://id-www.ucsb.edu/fscf/library/plantinga/OCS.html; lihat juga Scott Oliphint, “Non Sola Ratione: Three Presbyterians and the Postmodern Mind” http://mywebpages.comcast.net/oliphint/ Writings/Davis%20chapter %20cited.htm

259 Gary Gutting, Pragmatic Liberalism and the Critique of Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1999) 8, dikutip dari Oliphint, “Non Sola Ratione” 259 Gary Gutting, Pragmatic Liberalism and the Critique of Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1999) 8, dikutip dari Oliphint, “Non Sola Ratione”

Bagi Van Til motif ini telah ditemukan jauh sebelumnya yaitu pada waktu manusia pertama jatuh dalam dosa. Pada waktu manusia pertama jatuh dalam dosa maka manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai standar utama kebenaran dan kesalahan, tindakan yang benar dan tindakan yang salah. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai titik rujukan final bagi pengetahuannya. 260 Manusia berdosa memprasuposisikan otonomi moral dan intelektual manusia. Van Til menjelaskan:

Man has declared his independence from God. We may therefore call him the would-be autonomous man. This would be autonomous man assumes that he is

ultimate and properly the final reference point in predication, i.e., reality must be interpreted by man in terms of man. 261

Manusia otonomi mencoba menjadi “Tuhan” dan menyangkal kodratnya sebagai ciptaan Allah.

Pengaruh prasuposisi orang non-Kristen ini terhadap pengetahuan adalah skeptisisme di dalam pengetahuan. Orang tidak percaya berupaya membangun pengetahuan ideal yang sempurna dan lengkap. Tentu saja hal ini tidak mungkin karena ia bukan Allah dan dibatasi oleh tempat, waktu, sejarah, dan budaya. Hasilnya adalah skeptisisme yang dimanifestasikan di dalam zaman pascamodern dengan relativisme sosial dan pluralisme. Bahnsen memberikan alasan mengapa prasuposisi non-Kristen ini tidak dapat menjadi jaminan bagi pengetahuannya. Pertama, jika prasuposisi non- Kristen benar maka subyek yang mengetahui tidak berbeda dengan benda-benda lain di alam ini. Subyek pengetahuan tidak dapat dibedakan dari benda-benda lain meskipun ia

260 Van Til, A Christian Theory 47. 261 Cornelius Van Til, The Protestant Doctrine of Scripture (Ripon: den Dulk Foundation, 1967)

125.

memiliki pikiran yang sadar akan dirinya sendiri, memiliki kebebasan untuk mencari kebenaran, mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada, dan membuat komitmen inteletual. Sebab pikiran manusia tidak lain hanya sekedar otak fisik yang, seperti obyek-obyek alam lainnya, ditentukan oleh proses kimia, biologi, dan fisika. Pikiran manusia sebagai produk probabilitas alam tidak dapat menjamin konsep-konsep universal, harus ada (necessary), relasi sebab akibat, atau perintah-perintah moral. Kedua, jika prasuposisi non-Kristen benar maka fakta-fakta yang ditemukan oleh manusia adalah fakta yang tidak memiliki kaitan satu dengan yang lain. Fakta-fakta tersebut merupakan fakta-fakta random dan tidak memiliki relasi dengan fakta-fakta yang lain. Fakta yang demikian tidak dapat membenarkan upaya kategorisasi, pencarian hukum-hukum alam, atau prediksi terhadap alam. Tidak ada jaminan bahwa rasio manusia dapat diterapkan kepada fakta-fakta tersebut sehingga logika manusia tidak memiliki jaminan untuk dapat beroperasi. 262 Para filsuf pascamodernisme melihat hal ini dengan jelas. Bagi filsuf pascamodernisme skeptisisme ini merupakan dampak dari manusia yang berakar di dalam ruang dan waktu. Skeptisisme tersebut disebabkan karena manusia berakar pada sejarah dan budaya di mana ia berada. Tetapi menurut Van Til, pada dasarnya problem ini berakar dari masalah etis, yaitu penolakan manusia terhadap Allah dan penyataan-Nya. Penolakan terhadap Allah dan penyataan-Nya menghasilkan problem pengetahuan dan epistemologis yaitu relativisme sosial dan pluralisme.

Kejatuhan manusia pertama dalam dosa memiliki dampak yang lain. Kejatuhan memiliki dampak terhadap struktur berpikir orang tidak percaya. Menurut Van Til, struktur pemikiran orang tidak percaya pada dasarnya adalah penolakan terhadap Allah Alkitab. Pada waktu manusia menyangkal Allah maka struktur berpikir manusia jatuh ke

262 Bahnsen, Van Til’s 112.

dalam rasionalisme dan irasionalisme. Rasionalisme dan irasionalisme ini nampak pada kejatuhan Adam dan Hawa.

Pada waktu kejatuhan Adam dan Hawa, mereka mempertanyakan apakah Allah sungguh-sungguh mengetahui kebenaran tentang buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Bagi mereka, Adam dan Hawa, belum ada seorangpun yang memiliki pengalaman memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat tersebut, tidak ada pula penyelidikan secara induktif yang memperlihatkan adanya kejahatan di dalam penggunaan buah pengetahuan yang baik dan jahat tersebut. Menurut Van Til, ini merupakan metode induktif dengan asumsi misteri ultima (ultimate mystery), bahwa misteri berlaku bagi Allah dan manusia. Ada kemungkinan-kemungkinan yang belum diketahui oleh baik Allah maupun oleh manusia. Strategi ini merupakan penyangkalan terhadap kemampuan Allah untuk mengidentifikasikan diri-Nya sendiri. Baik Allah maupun manusia tidak dapat mengetahui siapa dirinya sendiri sesungguhnya. Ini merupakan irasionalisme. 263

Asumsinya bahwa realitas dikontrol oleh nasib/kebetulan (chance), epistemologi dikuasai oleh misteri. Van Til menjelaskan: “Abstract possibility in metaphysics and ultimate mystery in epistemology are involved in one another.” 264

Namun ada sisi lain dari kejatuhan Adam dan Hawa. Bagaimana manusia dengan aman mengabaikan perintah Allah? Bagaimana mereka mengetahui bahwa Allah tidak mengetahui apa yang akan terjadi ketika manusia tersebut memakan buah terlarang tersebut?

Manusia, waktu mereka makan buah pengetahuan baik dan jahat, mengasumsikan bahwa hukuman yang mengancam mereka tidak akan terjadi. Setan memberi tahu manusia bahwa realitas tidak seperti yang dikatakan Allah. Realitas perlu

263 Van Til, A Christian Theory 48. 264 Ibid.

dipahami oleh manusia maupun oleh Allah. Sebab itu manusia tidak perlu hidup di bawah otoritas perintah Allah. Manusia dapat menyelidiki apa yang terjadi di dalam sejarah dengan penyelidikannya yang independen. Manusia dapat menyelidiki hukum- hukum alam dengan hukum-hukum rasionalitas penalarannya. Hukum-hukum alam dapat diselidiki oleh hukum-hukum berpikir manusia. Hukum-hukum berpikir ini diterapkan baik kepada Allah maupun kepada manusia. Ini merupakan asumsi monistik, yaitu Allah dan manusia setara dan dapat diperlakukan sama. Strategi ini merupakan segi rasionalisme manusia berdosa. Asumsinya adalah realitas diatur oleh hukum-hukum yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. 265

Menurut Van Til, struktur pemikiran rasionalis dan irasionalis ini merupakan upaya manusia berdosa yang sia-sia dan saling menghancurkan dirinya sendiri. Jika irasionalisme benar maka ia salah. Jika semua pemikiran adalah produk dari kebetulan dan nasib bagaimana pikiran manusia dapat disandari untuk menghasilkan irasionalisme? Rasionalisme berjuang untuk mengatasi kebenaran yang sudah umum bagi semua orang yaitu bahwa pikiran manusia tidak mandiri dan tidak tepat menjadi kriteria final kebenaran. Karena itu rasionalis hanya dapat membela posisinya dengan membatasi rasionalismenya pada kebenaran-kebenaran tertentu yang, menurut rasionalis, nampak jelas dan terbukti dengan sendirinya. Kebenaran-kebenaran tersebut, misalnya, “kita ada,” “kita berpikir,” dan lain sebagainya. Dari kebenaran-kebenaran ini, orang rasionalis berupaya mendeduksi semua kebenaran lain dari kebenaran-kebenaran yang jelas tersebut dan menyangkal kebenaran-kebenaran lain yang tidak dapat dideduksi dari

265 Ibid. 48-49. Struktur rasionalistik cenderung memandang pikiran manusia mampu menggambarkan realitas dengan akurat dan pikiran manusia berfungsi sebagai otoritas final semua klaim pengetahuan. Struktur irasionalistik di dalam filsafat cenderung berwujud pengakuan akan keterbatasan dan kelemahan intelektual manusia, ketidaksanggupan rasio manusia untuk memahami segala sesuatu, dan kurangnya kepastian di dalam menghadapi skeptisisme dan misteri. (Bahnsen, Van Til’s 316, catatan kaki 109).

sana. Akibatnya pikiran manusia hanya mengetahui dirinya sendiri atau hanya mengetahui pikirannya sendiri. Namun bila ada kebenaran-kebenaran lain yang muncul maka kepastian rasionalisme menjadi goyah. Sebab itu rasionalis yang konsisten akan, pada akhirnya, menyangkal akan adanya hal-hal yang lain kecuali “pikiran yang murni” (pure thought). Namun apakah “pikiran murni” ini yang bukan berbicara pemikiran tentang sesuatu? Apakah ide “pikiran murni” memiliki makna? Pengetahuan yang diagungkan oleh rasionalis adalah pengetahuan mengenai kekosongan. 266 Orang tidak percaya menjadi irasionalistik dengan menyangkal satu-satunya sumber aturan dan makna di dalam alam semesta ini, mereka menjadi rasionalistik dengan menempatkan dirinya di tempat Allah sebagai penentu kebenaran dan kesalahan.

Struktur pemikiran rasionalis dan irasionalis meskipun nampak bertentangan tetapi saling membutuhkan satu dengan yang lain. Irasionalis tidak dapat dengan konsisten mempertahankan posisinya. Ia memerlukan rasionalis dengan otonominya. Sedangkan rasionalis memerlukan irasionalis untuk dapat memasukan pengetahuan baru ke dalam sistemnya. Struktur pemikiran ini mewarnai seluruh filsafat Barat. Pada filsafat kuno motif rasionalis yang dominan sedangkan pada zaman modern motif irasionalis yang dominan. Dalam skema struktur pemikiran ini beberapa pemikir Barat yang relativis dan skeptis berada pada struktur pemikiran irasionalis. Mereka, antara lain, adalah sofis Yunani. Namun mereka ini, para sofis, juga bersifat rasionalistik karena mereka secara dogmatik membenarkan sikap skeptisisme mereka. Filsuf-filsuf yang lain, seperti Parmenides, Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Hegel, berada pada struktur pemikiran rasionalis. Mereka percaya bahwa pikiran manusia yang mandiri merupakan standar final kebenaran. Namun mereka gagal membangun sebuah sistem pengetahuan

266 Frame, The Doctrine 60-61.

yang komprehensif berdasarkan rasio manusia mandiri. Pembelaan mereka terhadap rasionalisme memerlukan adanya mitos-mitos tertentu (dalam kasus Parmenides), asumsi yang tanpa argumen lagi (Descartes dan Spinoza), atau suatu dialektika penyangkalan diri (Hegel). Filsuf-filsuf yang besar, seperti Plato, Aristoteles, dan Kant, mencoba menggabungkan struktur pemikiran rasionalistik dengan irasionalistik. Mereka mencoba menjadi rasionalis di satu sisi—dengan konsep dunia (bentuk bagi filsuf Yunani, dunia fenomena bagi Kant)—dan irasionalistik mengenai hal yang lain (materi bagi para filsuf Yunani atau noumena bagi Kant). 267

Di mana tempat para filsuf pascamodernisme di dalam struktur pemikiran orang non-Kristen ini? Mereka ini berada pada struktur pemikiran yang irasionalis. Mereka menyangkal kebenaran obyektif, pemikiran ilmiah, bahasa sebagai alat komunikasi rasional, adanya metanarasi, mengarah kepada relativisme, dan makna bergantung kepada pembaca. Namun mereka ini juga bersifat rasionalistik karena mereka bersikap pasti mengenai pandangan mereka. Pada waktu para filsuf pascamodern ini mengklaim bahwa pengetahuan merupakan alat pembenaran kuasa, bahwa tidak landasan bagi bahasa manusia, bahwa pembenaran hanya ada di dalam komunitas, maka klaim-klaim ini bersifat pasti dan merupakan kebenaran. Mereka berupaya mengajak dan membujuk orang lain untuk menganut pandangan mereka dengan cara menerbitkan konsep-konsep mereka di dalam bentuk tulisan. Hal ini merupakan sikap yang bertentangan dengan konsep mereka sendiri yang menyangkal kebenaran obyektif dan tunggal. Sehingga pada

267 John M. Frame, “Presuppositional Apologetics” dalam Views on Apologetics (Ed. Steven B. Cowan; Grand Rapids: Zondervan, 2000) 213. Bagaimana dengan agama-agama non-Kristen? Bagi Van

Til, orang tidak percaya terutama menunjuk kepada sistem filsafat sekuler di Barat meski mencakup pula orang-orang dari agama-agama lain. Frame merevisi struktur pemikiran irasionalis dan rasionalis ini hingga menjangkau seluruh pemikiran non-Kristen termasuk agama non-Kristen. Ia membagi dua kategori pemikiran yaitu ateisme, penyembahan berhala, dan kategori ketiga adalah gabungan keduanya. Agama- agama non-Kristen di tempatkan dalam kategori penyembahan berhala karena menjadikan ilah lain sebagai Allah mereka. (Lihat John M. Frame, Apologetics to the Glory of God [Phillipsburg: P & R, 1994) 193-202.

dasarnya pascamodernisme merupakan pemikiran yang menghancurkan dirinya sendiri. 268

PROBLEM BIAS/PERSPEKTIF Di dalam kondisi pascamodern, menjadi jelas bahwa setiap manusia, bahkan komunitas, memiliki perspektif, paradigma, atau prasuposisinya masing-masing. Karena pengaruh prasuposisi maka tidak ada wilayah yang obyektif baik berupa fakta maupun dalam penggunaan rasio. Semua fakta diinterpretasi menurut prasuposisi masing-masing dan penggunaan rasio bergantung kepada prasuposisi seseorang. Jika tidak ada yang obyektif bahkan setiap orang tidak dapat keluar dari prasuposisinya maka yang ada adalah relativisme baik personal maupun sosial. Ini merupakan problem perspektif atau bias.

Bagi kalangan pascamodernis problem bias atau perspektif manusia merupakan hasil dari keterbatasan manusia. Manusia adalah makhluk yang berakar di dalam ruang dan waktu sehingga sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, struktur ekonomi, semangat zaman, dan kebudayaan di mana ia hidup. Dengan kata lain problem perspektif dan bias berakar kepada masalah metafisik yaitu keterbatasan manusia dan oleh sebab itu bersifat inheren di dalam diri manusia. Tidak ada upaya yang dapat dilakukan manusia untuk mengatasi masalah perspektif atau bias ini. Bahkan, bagi filsuf pascamodernis, upaya untuk mengatasi bias atau perspektif ini, dengan cara membuat kebenaran obyektif dan sistem pemikiran yang komprehensif, dianggap sebagai sebuah kekerasan karena “memotong” konsep atau fakta yang tidak sesuai dengan konsep dan sistem berpikir yang

268 Ibid. 213, 226-228.

hendak mereka buat tersebut. Bagi filsuf pascamodernis mengatasi perspektif atau bias seseorang sama dengan melakukan tindakan kekerasan terhadap “yang lain.” 269

Bagi Van Til masalah prasuposisi dan interpretasi merupakan bagian yang inheren di dalam diri manusia. Pada waktu manusia pertama belum jatuh ke dalam dosa, mereka memprasuposisikan Allah di dalam pengetahuan mereka. Prasuposisi ini tertanam di dalam diri mereka sebagai ciptaan. Manusia pertama menginterpretasi segala sesuatu sesuai dengan interpretasi Allah terhadap segala sesuatu tersebut. Manusia menerima penyataan Allah dari dalam dirinya sendiri, dari alam di sekelilingnya, dan dari Allah sendiri. Mereka receptively reconstructive. 270 Pengetahuan yang manusia dapatkan adalah pengetahuan analogis. 271 Pengetahuan yang memprasuposisikan perbedaan Penciptan dan ciptaan dan otoritas penyataan Allah atas pengetahuan mereka. Meskipun pengetahuan mereka tidak lengkap tetapi pengetahuan itu benar karena bergantung kepada Allah. Pengetahuan yang mereka dapatkan tentang fakta juga bersifat obyektif karena fakta dipahami dengan prasuposisi yang benar. Mereka juga menginterpretasi

269 Lihat skema yang diajukan oleh James K. A. Smith, The Fall of Interpretation (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 23. Smith membahas masalah hermeneutika sebagai epistemologi. Ia memasukkan

hermeneutika Derrida (seorang filsuf pascamodernis) ke dalam kategori hermeneutika sebagai mediasi kekerasan (violent mediation). Hermeneutika mediasi kekerasan berpandangan bahwa hermeneutika (interpretasi) sebagai bagian yang inheren di dalam diri manusia bahkan bersifat kekerasan. Interpretasi tidak dapat diatasi dan juga kekerasannya. Tokoh yang termasuk ke dalam kategori ini, selain Derrida, adalah Heidegger.

270 Van Til, The Defense 48-49. 271 Van Til, An Introduction 25. Apakah pengetahuan Adam dapat salah? Apakah ada perbedaan

perspektif di dalam pengetahuan Adam dan Hawa? Pertanyaan ini tidak dapat kita jawab dengan pasti. Penulis hanya bisa mengatakan bahwa kesalahan pengetahuan bukan suatu dosa dan dapat pula akibat dari keterbatasan manusia.

Mengenai perspektif di dalam pengetahuan, kita dapat mangatakan bahwa Allah adalah ultimate one dan ultimate many, ada kemajemukan dan keesaan di dalam diri Allah yang masing-masing bersifat ultima. Realitas dengan demikian juga mencerminkan hakekat Allah ini. Terdapat temporal one and many di dalam ciptaan yang sama-sama setara. Tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya, (lihat Van Til, The Defense 27). Konsekuensinya di dalam pengetahuan adalah ada satu perspektif yang tunggal ada pula perspektif yang jamak. Sebagai contoh adalah kitab-kitab Injil tentang Kristus yang ditulis oleh empat penulis, yang mewakili empat perspektif yang berbeda.

fakta dengan benar karena mereka menginterpretasinya di bawah interpretasi Allah terhadap fakta tersebut yaitu di dalam rencana Allah yang menentukan segala sesuatu.

Problem bias atau perspektif muncul ketika manusia jatuh dalam dosa. Manusia yang tidak percaya memprasuposisikan kemandirian dirinya sendiri dan memproklamasikan bahwa manusia harus berfungsi sebagai otoritas intelektual yang ultima, bukan Allah. Ia menyangkal Allah Alkitab. Penyangkalan ini membuat manusia berdosa mengembangkan suatu teori pengetahuan yang dikontrol oleh pemberontakannya kepada Allah. Ia memandang pikirannya sebagai otonom, otoritas final interpretasi. Orang tidak percaya mengasumsikan kebebasannya dan personalitasnya (bahwa ia adalah makhluk berpribadi). Sedangkan lingkungan di mana ia hidup bersifat impersonal. Bagi orang tidak percaya, alam semesta, ruang dan waktu dapat ada tanpa Allah. Apa yang terjadi bersifat random, fakta tidak diinterpretasi sebelumnya dan dikontrol oleh Allah. Nilai-nilai etis datang dari manusia itu sendiri atau inheren di dalam alam itu sendiri dalam bentuk hukum kodrat. Karena itu pikiran manusia yang menyediakan koneksi antara dirinya sendiri, obyek, peristiwa, atau pikiran lain (other mind). 272 Pikiran manusia berdosa ini pula yang menyediakan hukum-hukum atau prinsip-prinsip formal untuk berpikir dan menilai fakta-fakta serta untuk menata dan menginterpretasi pengalaman-pengalamannya.

Manusia berdosa memandang keutamaan (ultimacy) pikiran manusia dan alam semesta ini. Karena itu manusia berdosa membangun pengetahuan tanpa Allah. Mereka mengembangkan konsep kebenaran, keindahan, dan kebaikan tanpa Allah. Sebagai akibatnya mereka mengembangkan pengetahuan ideal yang palsu. Mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk menginterpretasi fakta dengan benar. Mereka menginterpretasi fakta dan alam semesta dengan cara yang salah.

272 Bahnsen, Van Til’s 312-313.

Prasuposisi dan interpretasi manusia berdosa tersebut dikembangkan oleh orang tidak percaya menjadi sistem pemikiran dan sistem filsafat yang beraneka ragam. Hal ini terlihat di dalam sejarah filsafat Barat. Di dalam sejarah filsafat kita melihat ada idealisme Plato, empirisisme Aristoteles, rasionalisme, empirisisme, Hume, Kant, idealisme

filsafat analitik, pascastrukturalisme, dan lain sebagainya. Namun di balik semua sistem filsafat ini terdapat satu prasuposisi dasar yaitu berpusat pada manusia. Van Til mengatakan:

There are many school of philosophy with which the college student has to make his acquaintance. The textbooks speak of some of them as objective and of others as subjective. Some are spoken of as monistic and others as pluralistic. Some are said to be pantheistic and others deistic, some rationalist and others irrationalist. Recently we have existential, analytical and positivist system of philosophy. But all schools must be seen in the light of the analysis made of them in Scripture. The main question that can be asked about any system of thought is whether it is man-centered or God-centered. Does it make the Creator-Redeemer or the creature the final reference point in predication? 273

Dengan demikian hanya ada dua prasuposisi yang terutama di dalam dunia pemikiran yaitu memprasuposisikan Allah atau memprasuposisikan kemandirian manusia. Melalui prasuposisi otonomi manusia maka muncul berbagai sistem pemikiran, filsafat, serta agama.

Jika demikian bagaimana menunjukan kepada orang tidak percaya bahwa mereka berada pada prasuposisi yang menentang Allah dan mengagungkan otonomi manusia? Jika ada berbagai macam prasuposisi maka prasuposisi mana yang benar? Dapatkah Van Til menghindari relativisme prasuposisi atau perspektif?

Bagi Van Til, pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab di luar prasuposisi Kristen. Bagi Van Til, hanya prasuposisi Kristen yang menjadikan semua fakta dapat dipahami dan pengetahuan menjadi mungkin. Jadi fakta harus dibaca dengan prasuposisi Kristen.

273 Van Til, A Christian Theory 49.

Adakah cara untuk membenarkan prasuposisi Kristen? Apakah prasuposisionalisme Van Til dapat menghindari relativisme? Bagi Van Til relativisme dapat dihindari dengan mempertanyakan kondisi atau syarat apa yang harus ada (necessary) bagi beroperasinya persepsi, konsepsi, penalaran itu sendiri. Pertanyaan ini mengarah kepada pembenaran prasuposisi Kristen melalui argumen transendental di dalam apologetika Van Til. Bagaimana kita memilih prasuposisi yang benar? Bagi Van Til adalah dengan jalan menunjukan kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan (the impossibility of the contrary). Kita akan melihat apa maksud Van Til dengan argumen transendental dan kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan.

Argumen transendental dan argumen kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan merupakan satu paket. Argumen kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan merupakan aspek negatif dari argumen transendental. Apakah argumen transendental itu? Argumen transendental ini sering juga disebut sebagai metode implikasi, argumen dengan prasuposisi, argumen ad hominem. Semua nama-nama argumen tersebut menyatakan hal yang sama yaitu bahwa segala sesuatu harus diinterpretasi di bawah terang Allah Tritunggal. 274 Menurut Van Til argumen transendental yang benar “takes any fact of experience which it wishes to investigate, and tries to determine what the presupposition of such a fact must be, in order to make it what

274 Argumen ad hominem merupakan argumen yang menunjukan cacat pada diri orang yang berargumen daripada cacat pada proposisi atau pernyataan yang didiskusikan. Argumen ad hominem

merupakan nama lain bagi argumen kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan (lihat Van Til, A Survey 205).

Argumen transendental berasal dari Kant yang mempertanyakan kondisi atau syarat yang memungkinkan pengetahuan manusia. Argumen transendental Van Til berbeda dengan argumen Kant dan memiliki keunikannya sendiri. Pertama, argumen transendental Van Til mulai dengan kepercayaan pada Allah yang hidup dan benar. Argumen ini mulai dengan otoritas Allah. Kedua, argument Van Til bersifat konkrit dan bukan formal atau abstrak. Argumen ini berargumen dengan posisi orang tidak percaya yang konkrit. Ketiga, argumen ini memiliki cakupan yang sangat luas. Karena argumen ini berargumen terhadap seluruh wawasan dunia seseorang (Bahnsen, Van Til’s 506-510).

it is.” 275 Lebih lanjut: “Thus the transcendental argument seeks to discover what sort of foundation the house of human knowledge must have, in order to be what it is. It does not seek to find whether the house has a foundation, but it presuppose that it has one.” 276 Argumen transendental ini disebut juga dengan argumen dengan prasuposisi. Van Til mengatakan: “To argue by presupposition is to indicate what are the epistemological and metaphysical principles that underlie and control one’s method.” 277

Alasan mengapa Van Til mendukung argumen ini, seperti yang telah kita lihat, adalah karena perdebatan di dalam apologetika antara dua sistem filsafat atau agama yang berbeda adalah perdebatan masalah wawasan dunia atau prasuposisi. Di dalam perdebatan antara dua sistem wawasan dunia yang berbeda tersebut membuat rujukan kepada eviden atau fakta menjadi upaya yang tidak banyak menolong menyelesaikan perdebatan karena masalah perbedaan epistemologis di antara mereka. Satu-satunya cara, secara prinsip, untuk menyelesaikan perdebatan adalah menunjuk kepada fakta bahwa mereka sedang terlibat di dalam perdebatan. Kemungkinan adanya perdebatan itu sendiri, menurut satu pihak, memprasuposisikan kesalahan pihak lainnya.

Hal inilah yang ingin dicapai melalui argumen transendental. Argumen ini berupaya untuk memperlihatkan kondisi apa yang diperlukan agar berbagai macam aktivitas yang bertujuan—seperti persepsi, memahami, mengetahui, menerapkan

275 Van Til, A Survey 10. 276 Ibid. 11. 277 Van Til, The Defense 99. Bagi Van Til argumen transendental memiliki empat karakteristik.

Pertama, argumen ini hanya satu argumen. Meski memiliki banyak sub bagian tetapi argumen transendental ini hanya satu argumen. Kedua, argumen transendental ini menghasilkan kesimpulan yang membenarkan bukan hanya teisme yang umum tetapi kekristenan itu sendiri. Argumen ini untuk membenarkan keberadaan Allah dan kebenaran kekristenan. Ketiga, argumen ini menghasilkan kepastian, bukan hanya kemungkinan. Orang yang mencoba menyangkal argumen ini akan jatuh kepada irasionalitas. Keempat, argumen ini bersifat transendental. (James Anderson, “If Knowledge then

God: The Epistemological Theistic Arguments of Plantinga and Van Til,” http://www.ccir.ed.ac.uk/~jad/papers/ IfKnowledgeThenGod.pdf. Uraian yang lengkap tentang perkembangan argumen transendental di dalam tulisan-tulisan Van Til, lihat Oliphint, “The Consistency” 27-49).

predikat—menjadi mungkin. Strategi Van Til ini memberikan argumen bahwa jika posisi lawan benar maka akan mengakibatkan perdebatan menjadi tidak mungkin. Karena posisi lawan menyangkal kemungkinan (baik secara eksplisit maupun implisit) adanya fondasi yang menjaga bahasa, pengetahuan, dan penalaran manusia. Van Til sendiri mengatakan:

It is the firm conviction of every epistemologically self-conscious Christian that non human being can utter a single syllable, whether in negation or in affirmation, unless it were for God’s existence. Thus the transcendental argument seeks to discover what sort of foundation the house of human knowledge must have, in order to be what it is. 278

Menurut Van Til, argumen ini dapat diterapkan kepada sistem apapun yang melawan kekristenan apakah itu naturalisme, panteisme, deisme, atau bahkan agama-agama lain. Jika argumen transendental ingin menjadi argumen yang dapat memberikan suatu tumpuan rasional untuk menyelesaikan perdebatan antara berbagai sistem metafisik maka argumen tersebut harus membela kekristenan secara keseluruhan (sebagai suatu sistem). Jika tidak maka yang akan terjadi adalah masing-masing akan bertahan dengan prasuposisinya apalagi jika ada sistem yang juga memiliki kredibilitas transendental yang cukup tinggi. Argumen ini harus memberikan kepada kita konklusi yang mutlak dan pasti karena konklusi ini memanifestasikan kondisi yang harus ada bagi kemungkinan penalaran itu sendiri. Jika argumen tersebut benar dan konklusinya dapat dipahami maka orang yang meragukan konklusi tersebut sama dengan meragukan kemungkinan untuk ragu-ragu.

278 Van Til, A Survey 11. Di sini Van Til tidak bermaksud membuat pernyataan metafisik meski benar jika Allah tidak ada maka manusia tidak akan memiliki kemampuan berbahasa. Tetapi maksud Van

Til disini adalah mengenai masalah epistemologis. Allah harus diprasuposisikan agar kemungkinan dan aktualitas komunikasi manusia dapat dipahami dan masuk akal (Bahnsen, Van Til’s 517, catatan kaki 120).

Van Til memang tidak pernah pernah menyatakan argumennya secara formal dengan cara yang detail seperti yang dilakukan oleh para filsuf kalangan analitik. Namun argumen transendental ini tersebar di dalam tulisan-tulisan Van Til sehingga kita perlu mengumpulkannya agar argumen ini nampak dalam kesatuannya. 279 Kita akan melihat sub-sub argumen tersebut.

Pertama, argumen tunggal-jamak. Argumen ini mendapatkan inspirasinya dari problem tunggal dan jamak di dalam filsafat. Bagi Van Til, hanya kekristenan yang

sanggup memecahkan problem ini. Ia mengatakan: As Christians, we hold that in this universe we deal with a derivative one and

many, which can be brought into fruitful relation with one another because, back of both, we have in God the original One and Many. If we are to have coherence in our experience, there must be a correspondence of our experience to the eternally coherent experience of God. Human knowledge ultimately rest upon the internal coherence within the Godhead; our knowledge rest upon the ontological Trinity as its presupposition. 280

Namun apa persoalan tunggal dan jamak ini? Persoalan ini berkaitan dengan pertanyaan realitas ini tunggal atau jamak? Jika realitas jamak bagaimana menemukan kesatuan di tengah-tengah kemajemukan? Untuk menemukan kesatuan maka yang jamak harus dikaitkan dengan yang lain. Namun muncul masalah bagaimana kita tahu bahwa yang jamak merupakan yang partikular di dalam relasi satu dengan yang lain? Jika realitas tunggal bagaimana kita dapat mencapai kesatuan tanpa menghancurkan yang partikular? 281 Mana yang lebih mendasar kemajemukan atau ketunggalan?

Bagi Van Til, hanya kekristenan yang dapat menghindari problem ini. Realitas adalah tunggal maupun jamak. Ini karena Pencipta realitas adalah baik tunggal dan

279 Argumen transendental Van Til secara lengkap dapat dilihat di Anderson, “If Knowledge then God.” Artikel ini merupakan artikel yang akan diterbitkan di Calvin Theological Journal (April 2005).

Pada bagian ini (poin-poin tentang argumen) penulis banyak bersandar pada tulisan Anderson. 280 Van Til, An Introduction 23.

281 Van Til, The Defense 25-26.

jamak. Allah adalah ultimate one and many. Di dalam Allah baik tunggal maupun jamak bersifat ultima. Allah satu esensi dan tiga pribadi. Kesatuan di dalam Allah tidak lebih mendasar daripada kemajemukan dan kemajemukan tidak lebih mendasar daripada kesatuan. Realitas mencerminkan kesatuan maupun kemajemukan Allah di dalam cara yang derivatif. Sehingga realitas adalah tunggal dan jamak. Tidak ada yang lebih fundamental satu dari yang lain. Bagi Van Til hanya ontologi yang menekankan kemajemukan dan ketunggalan yang bersama-sama ultima dapat menjamin kemungkinan pengetahuan. Ontologi seperti ini memberikan kemungkinan bagi epistemologi untuk menghasilkan pengetahuan. Karena Allah memiliki perspektif yang menyeluruh terhadap realitas maka kita dapat memiliki pengetahuan yang benar karena Allah menyediakan pengetahuan tersebut bagi kita manusia meski pengetahuan tersebut derivatif dan parsial. 282

Kedua, argumen dari kesatuan pengetahuan. Argumen ini memiliki pemahaman mendasar bahwa segala sesuatu saling terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu jika

seseorang ingin memiliki pengetahuan yang benar maka ia harus memiliki pengetahuan yang komprehensif. Jika tidak, maka ada kemungkinan munculnya fakta baru yang merubuhkan dan menyangkal pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Bagi Van Til, hanya Allah yang memiliki pengetahuan yang komprehensif ini dan yang menyatakannya kepada kita manusia. 283 Allah yang mengetahui bagaimana pengetahuan manusia terhadap suatu fakta dapat cocok dengan pengetahuan manusia terhadap fakta yang lain. Allah pula yang menata struktur kognitif manusia agar cocok untuk semua

282 Untuk melihat secara lengkap sumbangsih Van Til terhadap problem tunggal dan jamak lihat Rousas John Rushdoony, “The One and Many Problem—The Contribution of Van Til” dalam Jerusalem

and Athens 339-348. 283 Van Til, The Defense 41.

fakta yang telah dirancang oleh Allah di dalam rencana-Nya. Kemampuan kognitif ini bukan dirancang untuk tahu semua fakta tetapi fakta-fakta yang dirancang Allah di dalam kehidupan manusia.

Ketiga, argumen dari keseragaman alam semesta. Argumen ini berasal dari problem induksi. Problem induksi ini berkaitan dengan masalah generalisasi yaitu menarik hukum dari kejadian-kejadian atau hal-hal partikular. Menarik suatu hukum dari peristiwa-peristiwa masa lampau atau hal-hal partikular berarti mengasumsikan bahwa

alam ini memiliki keseragaman. Apa yang terjadi kemarin dapat terjadi lagi besok, atau hal-hal yang partikular di tempat ini sama dengan hal-hal partikular ditempat lain. Namun membenarkan asumsi tersebut dengan cara induksi adalah hal yang mustahil dan jatuh ke dalam argumen melingkar yang tak habis-habisnya. Bagi Van Til persoalan ini hanya dapat dijawab oleh kekristenan. Ia mengatakan (dan layak dikutip secara lengkap):

Says A. E. Taylor in discussing the question of the uniformity of nature, “The fundamental thought of modern science, at any rate until yesterday, was that there is a ‘universal reign of law’ throughout nature. Nature is rational in the sense that it has everywhere a coherent pattern which we can progressively detect by the steady application of our own intelligence to the scrutiny of natural processes. Science has been built up all along on the basis of this principle of the ‘uniformity of nature,’ and the principle is one which science itself has no means of demonstrating. No one could possibly prove its truth to an opponent who seriously disputed it. For all attempts to produce ‘evidence’ for the ‘uniformity of nature’ themselves presuppose the very principle they are intended to prove.” Our argument as over against this would be that the existence of the God of Christian theism and the conception of his counsel as controlling all things in the universe is the only presupposition which can account for the uniformity of nature which the scientist need. 284

Keempat, argumen dari skema konseptual. Argumen ini mendapatkan inspirasinya dari Kant. Kant mengatakan bahwa data-data yang masuk lewat indera kita diatur dan ditata sedemikian rupa oleh kategori-kategori di dalam rasio kita agar data-data

284 Ibid. 103.

tersebut menjadi pengetahuan. Kategori-kategori Kant ini adalah: kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan), kualitas (realitas, negasi, pembatasan), relasi (substansi dan aksidens, sebab dan akibat [kausalitas], interaksi), modalitas (mungkin/mustahil, ada/tiada, keperluan/kebetulan). 285 Kategori-kategori ini disebut juga skema konseptual yang bersifat a priori. Skema konseptual Kant ini memiliki kebenaran meski tidak sepenuhnya. Kita memiliki skema konseptual di dalam rasio kita untuk membuat pengetahuan menjadi mungkin. Namun skema konseptual ini menimbulkan skeptisime. Pertama, jika kita memiliki skema konseptual maka ada dunia luar yang di luar jangkauan skema konseptual kita (yang disebut oleh Kant sebagai dunia noumena). Apakah dunia noumena ini memiliki koherensi dan struktur relasional yang independen dari skema konseptual kita? Apakah ada dunia noumena tersebut? Apa yang sebenarnya kita ketahui? Dunia luar atau persepsi kita semata? Kedua, jika dunia luar ada dan memiliki struktur yang koheren apa yang menjamin bahwa skema konseptual kita dapat cocok dengan struktur koheren dunia luar? Ketiga, apa jaminan bahwa kita memiliki skema konseptual yang sama dan tunggal? Jika kita tidak memiliki skema konseptual yang sama maka komunikasi dan perpindahan pengetahuan menjadi harapan yang sia- sia. 286 Bagi Van Til tanpa Allah maka situasi skeptis yang akan terjadi. Van Til menjelaskan demikian:

If God is left out of the picture it is up to the human mind to furnish the unity that must bind together the diversity of factual existence. It will not do to think of laws existing somehow apart from the mind. And even if this were possible it would not help matters any, because even these laws would be thought of as independent of God and as just there somehow. In other words, the only alternative to thinking

285 S. P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 37.

286 Anderson, “If Knowledge then God” 286 Anderson, “If Knowledge then God”

Lebih lanjut Van Til mengatakan: It is clear that upon pragmatic basis, and for that matter upon antitheistic basis in

general, there can be no object-object relation, i.e., there can be no philosophy of nature, so that the sciences become impossible, and no philosophy of history, so that the past cannot be brought into relation with the present nor the future with the present. Then there can be no subject-object relation, so that even if it were conceivable that there were such a thing as nature and history, I would be doomed to ignorance of it. In the third place, there can be no subject-subject relation, so that even if there were such a thing as nature and history, and even if

I knew about it, I could never speak to anyone about it. There would be Babylonian confusion. 288

Argumen tersebut dengan jelas mengatakan bahwa tanpa Allah maka relasi obyek dengan obyek, relasi subyek dengan obyek, dan relasi subyek dengan subyek menjadi mustahil. Tanpa Allah maka yang ada adalah kebingungan model Babel, di mana orang tidak dapat berbicara satu dengan yang lain karena kekacauan. Tetapi karena Allah ada maka relasi- relasi tersebut menjadi mungkin. Kalimat-kalimat di atas seolah-olah menjadi sebuah klaim profetik bagi zaman pascamodern ini.

Namun bagi Van Til ada sisi lain dari argumen transendental ini yaitu argumen kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan. Apa maksud Van Til dengan argumen ini? Van Til menjelaskan:

We must point out to [our opponent] that univocal reasoning itself leads to self- contradiction, not only from a theistic point of view, but from a non-theistic point of view as well. It is this that we ought to mean when we say that we must meet our enemy on their ground. It is this that we ought to mean when we say that we reason from the impossibility of the contrary. The contrary is impossible only if it is self-contradictory when operating on the basis of its own assumptions. 289

287 Van Til, A Survey 216. 288 Ibid. 217. 289 Ibid. 205.

Berargumentasi dari kemustahilan pandangan yang bertentangan dengan kekristenan berarti menempatkan diri kita sendiri pada posisi lawan kita untuk memperlihatkan ketidakkonsistenannya dan pertentangan di dalam dirinya sendiri. Akan tetapi bagi Van Til ketidakkonsistenan atau kontradiksi pada dirinya sendiri ini tidak dipandang sebagai akhir di dalam dirinya sendiri. Orang tidak percaya juga dapat menunjukan kontradiksi yang nampak pada kekristenan. Inkonsistensi ini merupakan penyangkalan terhadap posisi lawan berdasarkan asumsi konsistensi logis dari posisi lawan. Dengan kata lain tidak cukup dengan hanya menunjukan kontradiksi yang nampak di dalam sistem tersebut tetapi juga harus memperlihatkan bahwa posisi lawan inkonsisten dengan asumsinya sendiri (dengan prasuposisinya sendiri). Ini yang merupakan bagian dari argumentasi transendental. Argumen transendental bukan hanya memperhatikan masalah konsistensi tetapi memperlihatkan bahwa dengan prasuposisi orang non-Kristen maka mereka menjadi tidak konsisten dan bertentangan dengan dirinya sendiri. Oliphint menjelaskan posisi Van Til ini: “He is concerned with laying bare the presupposition of all non- Christian thought and with showing, on the basis of these presupposition, how their opposites are also affirmed within the system itself. 290

Argumen kemustahilan posisi non-Kristen ini hanya dapat diterapkan di dalam posisi yang konkrit dengan asumsi yang konkrit dari sebuah sistem. Argumen ini memperlihatkan bahwa setiap posisi non-Kristen adalah bertentangan dengan dirinya sendiri karena posisi tersebut mengasumsikan ketidakadaan Allah di dalam alam semesta ciptaan Allah. Argumen ini adalah argumen transendental karena memperlihatkan sebuah sistem pemikiran kontradiksi pada dirinya sendiri berdasarkan asumsinya sendiri.

290 Oliphint, “The Consistency” 39.

Namun argumen kemustahilan pandangan non-Kristen ini harus didasarkan pada prasuposisi Kristen yaitu berdasarkan perbedaan Pencipta dan ciptaan. Sehingga pada waktu berargumentasi kita tetapi berpijak kepada prasuposisi Kristen. Karena itu kita bukan hanya menunjukan bahwa posisi seseorang bertentangan dengan asumsinya sendiri tetapi juga berdasarkan asumsi kebenaran posisi Kristen. Sehingga orang non-Kristen bukan hanya melihat kontradiksi di dalam posisinya tetapi juga posisinya berkontradiksi dengan kebenaran posisi Kristen. Ini yang dimaksud dengan argumen kemustahilan posisi yang bertentangan dengan kekristenan (the impossiblity of the contrary). 291

Argumen transendental ini, yang berbeda dengan argumen evidensialis dan rasionalis, dapat menyelesaikan perdebatan antara dua posisi dan dua prasuposisi yang berbeda. Sehingga posisi Kristen tidak perlu lari kepada relativisme prasuposisi, masing- masing berargumen dengan prasuposisinya tanpa ada penyelesaian rasional. Argumen ini dapat mulai dari hal apa saja dan dilanjutkan dengan mempertanyakan prasuposisi apa yang memungkinkan hal tersebut. Bagi Van Til argumen transendental merupakan argumen yang absolut dan menghasilkan kepastian. Bahkan argumen ini merupakan argumen yang terbaik dan satu-satunya argumen yang absolut dan pasti. Ini yang merupakan keyakinan Van Til: “The best, the only, the absolutely certain proof of the truth of Christianity is that unless its truth be presupposed there is no proof of anything. Christianity is proved as being the very foundation of the idea of proof itself.” 292

Argumen transendental berbeda dengan argumen teistik Plantinga. Jika argumen teistik Plantinga hanya membuktikan kebenaran teisme semata atau teisme yang sederhana (mere theism) maka argumen transedental Van Til membuktikan kebenaran

291 Ibid. 40-41. 292 Van Til, The Defense 298.

teisme Kristen. Argumen Plantinga hanya memberikan alasan yang baik untuk mempercayai adanya Pencipta yang maha baik, maha kuasa, dan maha tahu. Sehingga argumen Plantinga dapat dipakai oleh Muslim, Yahudi, atau teisme yang lain. Sedangkan argumen Van Til memiliki tujuan lebih jauh lagi yaitu memperlihatkan bahwa hanya teisme Kristen yang menyediakan kemungkinan bagi rasionalitas dan pengetahuan manusia.

PROBLEM KUASA DAN PENGETAHUAN: ETIKA PENGETAHUAN Pada bagian ini kita akan membahas permasalahan kuasa dan pengetahuan. Apakah tujuan dari pengetahuan manusia menurut Van Til? Apakah pengetahuan dipakai untuk melayani pemegang kuasa? Apakah kebenaran, menurut Van Til, bersifat menindas? Karena kebenaran dipakai untuk menyingkirkan yang lain? Van Til tidak pernah secara langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena problem ini muncul dalam zaman pascamodern yang belum dihadapi oleh Van Til. Namun kita akan mencoba mengembangkan konsep-konsepnya yang dapat diaplikasikan kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan bantuan Van Tillian yang lain dan teolog reformed lainnya.

Bagi Van Til pengetahuan bukan dipakai untuk melayani penguasa dan menjadi alat pelestari kekuasaan. Pengetahuan manusia diletakan di dalam kerangka pemahaman mandat budaya yang Tuhan berikan bagi manusia. Van Til mengatakan bahwa manusia berperan sebagai nabi, imam, dan raja di dalam relasinya dengan alam. Van Til mengatakan:

According to Scripture man was set as king over nature. He was to subdue it. Yet

he was to subdue it for God. He was priest under God as well as king under God.

In order to subdue it under God man had to interpret it; he was therefore prophet as well as priest and king under God. 293

Allah menempatkan manusia sebagai raja di bumi ini. Sebagai raja di bumi maka ia harus menguasai bumi dan alam. Tetapi ia harus menguasainya di bawah Allah dan untuk Allah. Sebagai raja yang merupakan wakil Allah, manusia menggali dan mengolah ciptaan Allah untuk digunakan sebagai pelayanan bagi Allah. Konsep manusia dalam jabatan sebagai raja merupakan konsep yang umum di dalam teologi reformed. Hoekema, 294 misalnya, mengatakan bahwa manusia dipanggil untuk mengeksplorasi sumber daya di bumi, mengolah tanahnya, dan untuk mengelola sumber-sumber alamnya. Manusia dipanggil oleh Allah untuk mengembangkan potensi-potensi yang ia temukan di alam dan di dalam umat manusia sebagai bagian dari ciptaan. Manusia harus mengembangkan bukan hanya agrikultural, hortikultural, peternakan, tetapi juga sains, teknologi, dan seni. Ini merupakan mandat budaya yang Tuhan berikan kepada manusia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengembangkan kebudayaan yang memuliakan Allah. Di sini pengetahuan manusia harus dipakai dalam tugasnya sebagai seorang raja yang menguasai dan mengelola bumi ini. Dengan demikian pengetahuan bagi Van Til tidak berakhir pada dirinya sendiri tetapi digunakan untuk menjalan tugas manusia sebagai raja di muka bumi ini mewakili Allah.

293 Ibid. 27. Konsep manusia di dalam jabatan sebagai raja, nabi, dan imam berakar dari John Calvin. Bagi Calvin konsep ini dikaitkan dengan jabatan Yesus Kristus sebagai raja, imam, dan nabi.

Kritus bertindak sebagai Adam kedua. Dengan bertindak sebagai Adam kedua, Kristus merestorasi apa yang dimiliki oleh Adam pertama kepada manusia percaya, yang di dalamnya termasuk jabatan-jabatan tersebut.

Konsep ini dikembangkan oleh Abraham Kuyper di dalam tradisi reformed Belanda. Bagi Kuyper jabatan manusia ini didefinisikan secara teologis, sosiologis, dan kosmologis. Secara teologis manusia adalah hamba Tuhan; secara sosiologis, manusia adalah penjaga kehidupan baik sesama maupun dirinya sendiri; secara kosmologis, manusia adalah penatalayan dari alam ini dibawah Tuhan, (lihat Gordon J. Spykman, Reformational Theology [Grand Rapids: Eerdmans, 1992] 230-231).

294 Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image (Grand Rapids: Eerdmans, 1986) 79.

Selain itu manusia juga terlibat kovenan dengan Allah. Van Til sangat menekankan kovenan di dalam masalah pengetahuan. Ia mengatakan: “Basic to the whole activity of philosophy and science is the idea of the covenant.” 295 Bagi Van Til ide kovenan bukan hanya berlaku di dalam dunia teologi tetapi juga di dalam dunia filsafat dan sains. Pengertian dari kovenan adalah di dalam segala sesuatu manusia senantiasa berhadapan dengan Allah. Bahwa di manapun kita berada, kita berhadapan dengan Allah dan apapun yang kita lakukan—apakah kita makan, minum atau melakukan apapun juga—kita melakukannya untuk kemuliaan Allah. Ini pengertian dari kovenan. Konsep kovenan menjadi sangat inklusif. Ide kovenan meliputi apapun yang kita perbuat (termasuk perbuatan berpikir) harus diperbuat untuk kemuliaan Allah. Di manapun kita berada kita berhadapan dengan Allah.

Konsep kovenan berakar dari konsep penciptaan oleh Allah dan providensia Allah. Konsep kovenan memiliki implikasi bahwa setiap fakta dan prinsip (hukum-hukum alam) mencerminkan atau menunjuk kepada Allah. Dengan kata lain alam semesta, sejarah, bahkan manusia itu sendiri merupakan penyataan Allah. Manusia di manapun ia berada berhadapan dengan Allah yang bersifat personal. Van Til menjelaskan: “Covenant theology is the only form of theology which gives a completely personalistic interpretation to reality.” 296

Jika demikian maka obyek penelitian sains dan filsafat juga memperlihatkan keberadaan Allah. Tidak ada obyek penelitian yang tidak menyatakan Allah atau merupakan fakta tanpa interpretasi. Manusia, yang berhadapan dengan Allah kovenan, harus bereaksi dengan penyataan Allah ini. Apakah ia menggunakan penyataan Allah

295 Van Til, Christian Apologetics 26. 296 Van Til, A Survey 128-129.

untuk kemuliaan Allah atau menggunakannya untuk melawan Allah. Manusia harus bertindak sebagai penjaga kovenan atau pelanggar kovenan. Manusia yang bertindak sebagai penjaga kovenan harus mengerjakan apapun juga untuk kemuliaan Allah. Ide kovenan ini harus menjadi latar belakang tindakan epistemologis manusia. Semua tindakan manusia mengetahui, menganalisa, dan mempersepsi segala sesuatu harus sesuai dengan ide kovenan yaitu untuk kemuliaan Allah. Manusia harus bertindak sebagai receptively recontructive terhadap fakta-fakta di dunia milik Allah daripada bertindak cretively contructive.

Implikasi ide kovenan terhadap epistemologi sangat luas. 297 Ide kovenan memperlihatkan bahwa pengetahuan yang manusia dapatkan dari penyataan Allah merupakan pengetahuan tentang keberadaan dan hakekat Allah sebagai Pencipta dan pemelihara alam semesta. Pengetahuan yang benar akan menunjukan Allah semakin jelas. Filsuf dan saintis yang mempelajari pengetahuan yang benar akan membawanya semakin dekat kepada Allah. Tentu saja pengetahuan yang benar ini akan ditindas oleh orang tidak percaya karena pengaruh dosa terhadap proses mengetahuinya. Manusia tidak percaya bertindak sebagai pelanggar kovenan.

Ide kovenan juga memperlihatkan bahwa aktivitas epistemik manusia harus tunduk kepada penyataan Allah. Aktivitas epistemik manusia (mengetahui, berpikir, berteori, mempersepsi) merupakan aktivitas intelektual manusia. Semua aktivitas manusia harus tunduk kepada otoritas Allah. Tidak ada aktivitas epistemik manusia yang bebas dari penyataan dan otoritas Allah. Dengan demikian epistemologi juga melibatkan etika dan tunduk kepada norma-norma yang Allah berikan kepada manusia melalui Alkitab.

297 Lihat Frame, The Doctrine 40-48.

Ide kovenan ini juga memperlihatkan bahwa pengetahuan manusia harus dipakai untuk kemuliaan Allah. Van Til memperjelas konsep kemuliaan Allah dengan memaparkan konsep tujuan tertinggi manusia (man’s summum bonum). Bagi Van Til tujuan tertinggi manusia adalah kerajaan Allah. Orang percaya harus mengupayakan agar kerajaan Allah direalisasikan di bumi ini. Bagi Van Til, kerajaan Allah merupakan realisasi program Allah bagi manusia. Program Allah ini adalah agar manusia menjadi wakil Allah di dalam sejarah: “man should realize himself as God’s vicegerent in history.” 298 Manusia diciptakan sebagai wakil Allah dan harus merealisasikan dirinya sebagai wakil Allah. Orang percaya, menurut Van Til, harus mengambil program Allah ini sebagai tujuan idealnya yang harus ia capai. Orang percaya juga harus memelihara program Allah ini dengan kekuatannya agar program Allah bagi alam dan manusia yang telah dirancang bagi manusia dapat terlaksana. Di dalam kerajaan Allah, kebenaran (righteousness) merupakan kekuatan dari kerajaan Allah. Dengan mencari kebenaran, manusia mencari kerajaan Allah. Kebenaran manusia merupakan reproduksi dari kebenaran Allah. Kebenaran manusia memiliki pengertian subordinasi dirinya sendiri kepada Allah dan koordinasi dirinya sendiri dengan sesamanya manusia. Menurut Van Til, manusia yang mencari kebenaran sama dengan: (1) menjadi lebih sensitif kepada makna relasi subordinasi dan koordinasi dan berupaya mempertahankan relasi tersebut; (2) keinginan yang semakin kuat untuk mewujudkan dan mengembangkan relasi tersebut; dan (3) bertambah dalam kemampuan untuk mempertahankan relasi tersebut. 299 Van Til memahami kebenaran sebagai masalah relasi yang benar di antara ciptaan, dan relasi

298 Cornelius Van Til, Christian Theistic Ethics (Ripon: den Dulk Foundation, 1971) 44. 299 Ibid. 47.

yang benar antara ciptaan dengan Penciptanya. Ini tugas manusia di dalam mengembangkan program Allah. Pengetahuan manusia harus melayani tujuan tertinggi manusia. Manusia— dengan segala apa yang ada pada dia, termasuk pengetahuannya—harus mengupayakan terwujudnya program Allah di muka bumi ini. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa pengetahuan, bagi Van Til, tidak perlu melayani penguasa bahkan komunitas. Karena relasi di antara sesama manusia perlu diatur dengan kebenaran dari Allah. Manusia perlu mewujudkan kebenaran Allah di dalam relasi koordinasi dengan sesama manusia. Selain itu, manusia, baik sebagai individu dan komunitas, harus bertanggung jawab kepada Allah sebagai penguasa tertinggi. 300

Pertanyaan berikutnya adalah: apakah kebenaran itu bersifat menindas? Apakah, karena menyingkirkan “yang lain,” maka kebenaran bersifat kekerasan? Pertama-tama jelas bagi Van Til bahwa tidak ada “yang lain” di dalam sistem pemikiran Van Til. Karena “yang lain” ini telah diketahui dengan sempurna dan lengkap oleh Allah. Allah di dalam karya penciptaan dan pemeliharaan-Nya mengenal dan menentukan setiap fakta. Bahkan fakta-fakta masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Allah juga mengenal manusia di dalam perbedaan-perbedaan mereka. Allah pula yang menciptakan manusia dan menopang hidup manusia. 301 Dengan demikian tidak ada “yang lain” bagi Allah. Tidak ada misteri bagi Allah. Segala fakta di alam semesta ini mendapatkan maknanya

300 Kekristenan mengakui bahwa orang percaya masih hidup dengan tidak konsisten. Mereka masih dapat bersalah dan berdosa oleh sebab itu pengetahuan dan kebenaran dapat menjadi alat untuk

menindas mereka yang berbeda dengan pandangan yang dianggap “umum” atau “ortodok.” Sejarah dogma memperlihatkan bagaimana orang-orang Kristen tertentu menindas dan membunuh yang lain demi mempertahankan “ortodoksi.” Namun di dalam sistem pemikiran Kristen hal tersebut tidak harus terjadi dan harus dihindari.

301 Penulis tidak akan memasuki perdebatan masalah kehendak bebas dan predestinasi Allah, serta masalah pengetahuan Allah. Cukup untuk penulis katakan bahwa kehendak Allah yang bersifat dekrit

mencakup segala sesuatu yang terjadi, bahkan kehendak manusia. Sehingga Allah tidak pernah “terkejut” dengan perbuatan dan pikiran manusia bahkan pada masa yang akan datang.

di dalam penciptaan dan rencana Allah yang komprehensif. Problem “yang lain” adalah problem manusia yang mandiri.

Manusia, berbeda dengan Allah, bertumbuh di dalam hal pengetahuan. Ia perlu belajar hal-hal yang baru, mengubah pandangannya yang salah, terkondisi di dalam ruang dan waktu. Selain itu manusia juga telah jatuh ke dalam dosa. Oleh sebab itu manusia perlu penyataan khusus Allah untuk mengetahui fakta-fakta dengan benar. Penyataan khusus Allah terdapat di dalam tulisan yang diinspirasikan oleh Allah yaitu Alkitab. Alkitab memiliki cakupan terhadap segala sesuatu. Van Til mengatakan:

The Bible is thought of as authoritative on everything of which it speaks. Moreover, it speaks of everything. We do not mean that it speaks of football games, of atoms, etc., directly, but we do mean that it speaks of everything either directly or by implication. It tells us not only of Christ and his work, but it also tells us who God is and where the universe about us has come from. It tells us about theism as well as about Christianity. It gives us a philosophy of history as well as history. Moreover, the information on these subjects is woven into an inextricable whole. 302

Bagi Van Til Alkitab berbicara tentang segala sesuatu. Alkitab selain berbicara tentang teologi juga berbicara tentang psikologi, logika, matematika, sejarah, sains, seni, filsafat, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun Alkitab berbicara dengan cara yang langsung maupun dengan cara implikasi atau tidak langsung. 303 Alkitab memberikan

302 Van Til, Christian Apologetics 2. 303 Frame memberikan penjelasan bagaimana Alkitab dapat membenarkan pengetahuan manusia.

Pertama, Alkitab membenarkan pengetahuan kita secara eksplisit. Sebagai contoh, pengetahuan kita bahwa Allah mengasihi dunia ini dan mengaruniakan anak-Nya yang Tunggal merupakan pengajaran Alkitab yang eksplisit dari Yohanes 3:16. Kedua, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia secara deduktif. Sebagai contoh pengetahuan manusia mengenai Allah Tritunggal tidak secara eksplisit muncul di dalam Alkitab tetapi secara deduktif dapat ditarik kesimpulan tentang konsep Allah Tritunggal dari doktrin- doktrin Alkitab lain yang eksplisit. Ketiga, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia sebagai aplikasi dari kebenaran-kebenaran Alkitab. Sebagai contoh, “jangan mencuri pajak penghasilanmu,” tidak dapat dibenarkan oleh premis Alkitab semata-mata. Di sini diperlukan data-data di luar Alkitab mengenai hakekat dari pajak pendapatan sehingga hukum kedelapan dapat diterapkan kepada pajak pendapatan. Karena itu “jangan mencuri pajak pendapatan,” merupakan kebenaran aplikasi dari kebenaran Alkitab. Keempat, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia dengan cara koherensi dengan seluruh pengajaran Alkitab. Setiap pengetahuan manusia harus konsisten dengan pengajaran Alkitab. Namun bagaimana dengan klaim “Malang adalah ibu kota Jawa Timur?” Klaim ini nampaknya konsisten dan koheren dengan Pertama, Alkitab membenarkan pengetahuan kita secara eksplisit. Sebagai contoh, pengetahuan kita bahwa Allah mengasihi dunia ini dan mengaruniakan anak-Nya yang Tunggal merupakan pengajaran Alkitab yang eksplisit dari Yohanes 3:16. Kedua, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia secara deduktif. Sebagai contoh pengetahuan manusia mengenai Allah Tritunggal tidak secara eksplisit muncul di dalam Alkitab tetapi secara deduktif dapat ditarik kesimpulan tentang konsep Allah Tritunggal dari doktrin- doktrin Alkitab lain yang eksplisit. Ketiga, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia sebagai aplikasi dari kebenaran-kebenaran Alkitab. Sebagai contoh, “jangan mencuri pajak penghasilanmu,” tidak dapat dibenarkan oleh premis Alkitab semata-mata. Di sini diperlukan data-data di luar Alkitab mengenai hakekat dari pajak pendapatan sehingga hukum kedelapan dapat diterapkan kepada pajak pendapatan. Karena itu “jangan mencuri pajak pendapatan,” merupakan kebenaran aplikasi dari kebenaran Alkitab. Keempat, Alkitab membenarkan pengetahuan manusia dengan cara koherensi dengan seluruh pengajaran Alkitab. Setiap pengetahuan manusia harus konsisten dengan pengajaran Alkitab. Namun bagaimana dengan klaim “Malang adalah ibu kota Jawa Timur?” Klaim ini nampaknya konsisten dan koheren dengan

Apakah wawasan dunia yang disediakan oleh Alkitab bersifat menindas karena wawasan dunia ini komprehensif? Wawasan dunia kekristenan tidak perlu bersifat menindas. Wawasan dunia Kristen—pandangan mengenai realitas, epistemologi, etika— tidak menindas karena wawasan dunia ini berdasarkan kepada apa yang Allah telah lakukan bukan berdasarkan apa yang manusia lakukan atau kerjakan. Wawasan dunia yang dibangun oleh manusia tidak dapat mencakup “yang lain” sehingga bersifat menindas. Tetapi wawasan dunia yang berasal dari penyataan Allah adalah komprehensif dan mencakup “yang lain.” Wawasan dunia Kristen diterima oleh orang Kristen berdasarkan otoritas Allah melalui Alkitab. Karena kita menerima wawasan dunia Alkitab sebagai sebuah kabar baik dari Allah yang membebaskan manusia secara epistemologis dan soteriologis maka orang Kristen didorong untuk membagikan kabar baik ini kepada orang tidak percaya.

Wawasan dunia Kristen tidak perlu bersifat menindas karena hakekat dari wawasan dunia Kristen itu sendiri. Bagi Van Til, hanya wawasan dunia yang berpusat

seluruh pengajaran Alkitab. Alkitab memerintahkan kita agar menggunakan kerja keras dan ketekunan untuk menemukan kebenaran dan hidup di dalam kebenaran. Di dalam pengertian seperti ini maka Alkitab menyalahkan klaim di atas dan membenarkan klaim “Surabaya adalah ibu kota Jawa Timur.” Dengan pemahaman di atas maka Alkitab membenarkan semua pengetahuan manusia. Semua upaya mengetahui adalah upaya berteologi. (Lihat Frame, The Doctrine 128).

pada pribadi dan karya Kristus yang dapat membuat fakta dapat dimengerti oleh orang berdosa. Van Til mengatakan: “Every fact in the universe must be Christologically interpreted. . . . all the facts of the universe are what they are because of the work of Christ. For it is through the work of Christ that God accomplishes his plan for the world.” 304 Di dalam rencana Allah, Kristus menunjukan kasih-Nya kepada manusia. Kehidupan dan kematian Kristus memanifestasikan kasih Allah bagi manusia. Sebagai respons kepada kasih Kristus maka orang percaya harus mengasihi sesamanya sama seperti Allah mengasihi manusia. Dengan demikian wawasan dunia Kristen, jika dihidupi sungguh-sungguh, tidak perlu bersifat menindas sebaliknya wawasan dunia Kristen mengharuskan orang Kristen menunjukan kasih kepada sesama manusia. Oleh sebab itu menaklukkan atau memanipulasi orang tidak percaya demi nama Kristus merupakan perbuatan yang bertentangan dengan wawasan dunia Kristen itu sendiri. Jadi klaim kebenaran Kristen tidak perlu bersifat menindas karena hakekat wawasan dunia Kristen yang diperlihatkan oleh Kristus di dalam karya penebusan-Nya dan sumber dari wawasan dunia Kristen sendiri yang berasal dari penyataan Allah bukan dari manusia.

PROBLEM KEMAJEMUKAN: KEBENARAN YANG INKLUSIF Di dalam kondisi pascamodern ini kita menemukan berbagai macam klaim kebenaran baik di dalam tradisi kekristenan atau di antara kekristenan dengan sistem- sistem non-Kristen. Bagaimana Van Til menjawab masalah kemajemukan klaim-klaim kebenaran tersebut?

Kita perlu membedakan antara kemajemukan di antara orang percaya dan kemajemukan antara orang percaya dan tidak percaya. Pertama-tama bagi Van Til hal

304 Van Til, A Christian Theory 31.

yang mendasar bagi iman Kristen ortodoks adalah prasuposisi keberadaan Allah oleh diri-Nya sendiri (self-existence of God) dan penyataan diri-Nya sendiri yang tak dapat salah kepada manusia di dalam Alkitab. Pandangan Kristen ortodoks tersebut terekspresi atau dimanifestasikan secara konsisten di dalam iman reformed. Pandangan Kristen ortodoks mendapatkan perwujudannya yang paling konsisten di dalam iman reformed. 305

Bagaimana pandangan Van Til tentang pandangan-pandangan lain atau aliran- aliran lain di dalam kekristenan itu sendiri? Van Til cenderung untuk menerapkan konsep antitesis 306 kepada aliran-aliran lain di dalam kekristenan di luar iman reformed. Van Til menerapkan antitesis kepada orang tidak percaya pada umumnya, kepada liberalisme, dan kepada neo-ortodoks. Van Til, senada dengan Machen dalam hal ini, mengatakan bahwa liberalisme merupakan ketidakpercayaan kepada Allah di dalam jubah Kristen. Namun Van Til juga menerapkan konsep antitesis ini kepada kalangan- kalangan lain seperti Katolik Roma, Lutheran, Arminian, dan bahkan kepada Calvinis yang “kurang konsisten.” Van Til menuduh mereka berkompromi dengan kemandirian, yang merupakan prasuposisi orang tidak percaya, sebagai antitesis kekristenan. Van Til menuduh Katolik Roma, sebagai contoh, mengabaikan perbedaan Pencipta dan ciptaan di dalam pemikirannya. Akibatnya Katolik Roma “has therefore a half-Christian and half non-Christian view of God. Similarly it has a half-Christian and half non-Christian view

305 Van Til, An Introduction 1. 306 Konsep antitesis merupakan konsep yang menjelaskan bahwa antara orang percaya dan tidak

percaya terdapat jurang perbedaan yang dalam. Perbedaan ini nampak dalam prasuposisi, epistemologi, metafisika, dan etika. Prasuposisi orang percaya adalah kepada Allah dan penyataan diri-Nya di dalam Alkitab. Prasuposisi orang tidak percaya adalah kepada kemandiriannya. Bagi Van Til dua prasuposisi ini bertentangan dan bersifat antitesis. Kedua-duanya bukan komplementer dan oleh sebab itu tidak dapat menuju sintesis. Bagi Van Til karena prasuposisi orang percaya dan tidak percaya bersifat antitesis maka sistem atau wawasan dunia yang dibangun oleh mereka juga bersifat antitesis. Kedua wawasan dunia tersebut bertentangan secara diametris.

of man.” 307 Van Til menuduh John Warwick Montgomery, seorang teolog Lutheran yang menentang apologetika Van Til, sebagai “straddling the fence.” 308 Bahkan Van Til menggunakan bahasa antitesisnya lebih keras lagi kepada Stuart Hackett, seorang Arminian yang kritis terhadap apologetika Van Til. Van Til mengatakan:

Indeed, the issues between us are total. There are no “fundamentals” in common between us: we will necessarily understand creation-providence, the fall of man, the atonement of Christ, his sinlessnes and his resurrection, his second coming and his ultimate triumph, the doctrine of Scripture, the nature of saving faith—we will necessarily understand, I say, these doctrine in different ways. Hackett’s Christian faith and my Christian faith, which we both desire non-Christian to accept, are radically different. They are different not only in their content but also in the very method of their construction. 309

Van Til bahkan mengaplikasikan konsep antitesis ini kepada Gordon Clark, seorang teolog dan filsuf reformed yang terlibat perdebatan dengan Van Til mengenai topik incomprehensibililty of God (Allah yang tak dapat dipahami sepenuh-penuhnya). Van Til, di dalam perdebatan tersebut, menuduh Clark “hopelessly involved in the coils of the non- Christian view of predication.” Van Til mengatakan: “Dr. Clark rejects this [qualitative difference between the knowledge of God and the knowledge of man] and assumes, in agreement with non-Christian, that there can be no identity of reference point unless there is also identity of content.” 310 Dari contoh-contoh di atas kita melihat bahwa Van Til seringkali menerapkan konsep antitesisnya kepada sesama orang Kristen yang berkompromi dengan prasuposisi orang tidak percaya. Kompromi ini dianggap melemahkan apologetika Kristen.

307 Van Til, Christian Apologetics 16. 308 Cornelius Van Til, “Response to John Warwick Montgomery ‘Once Upon an A Priori . . . ’”

dalam Jerusalem and Athens 403. 309 Cornelius Van Til, “My Credo” dalam ibid. 15-16. Penekanan oleh Van Til.

310 Van Til, An Introduction 171, 172.

Kita dapat menyimpulkan di sini bahwa bagi Van Til perbedaan di antara kekristenan itu sendiri merupakan akibat dari dosa dan prasuposisi yang keliru. Perbedaan di dalam kekristenan karena orang percaya memilih prasuposisi yang kurang tepat dan tidak konsisten dengan prasuposisinya yang tepat. Jika orang percaya memilih prasuposisi yang tepat dan konsisten dengannya maka mereka akan sampai pada pemahaman yang sama. Selain itu campuran dengan konsep non-Kristen yang cenderung mengabaikan perbedaan Pencipta dan ciptaan di dalam masalah metafisika, epistemologi, dan etika menyebabkan kompromi.

Namun sikap Van Til ini menimbulkan pertanyaan apakah konsep antitesis ini tepat diterapkan kepada berbagai aliran di dalam kekristenan itu sendiri (Lutheran, Arminian, Calvinis “kurang konsisten,” apologetika non-Van Tillian, dan tradisi-tradisi lain di dalam kekristenan historis ortodoks)? Apakah di dalam zaman pascamodern, yang menekankan penghargaan kepada perbedaan, sikap Van Til ini dapat diterima? Di dalam zaman pascamodern ini sukar untuk mengaplikasikan konsep antitesis ini kepada sesama aliran Kristen. Frame 311 mengatakan bahwa konsep antitesis Van Til pada dasarnya lebih baik dipahami sebagai antitesis antara kepercayaan pada Allah dan ketidakpercayaan daripada digunakan untuk aliran-aliran lain atau variasi-variasi di antara orang Kristen. Harus diakui bahwa di dalam kalangan Arminian dan non Van Tillian terdapat kesalahan- kesalahan di dalam teologi dan apologetika mereka tetapi mereka pada level yang terdalam merupakan saudara seiman dan memiliki banyak kesamaan dengan iman reformed. Sehingga tidak tepat mengeritik mereka dengan cara yang sama mengeritik orang tidak percaya. Antitesis tersebut merupakan penggunaan antitesis yang ekstrim oleh Van Til.

311 Frame, Cornelius Van Til 212.

Apakah ada cara lain untuk melihat perbedaan di dalam tubuh Kristus ini? Teologi Van Til menyediakan pencerahan dan titik terang untuk melihat perbedaan tersebut. Perbedaan di dalam tubuh Kristus perlu dilihat dari sudut pandang pengetahuan yang bersifat Trinitarian (Trinitarian knowledge). Konsep ini berakar dari doktrin Allah Tritunggalnya Van Til.

Doktrin Allah Tritunggal Van Til merupakan penjabaran doktrin Allah Tritunggal yang ortodoks. Ia tidak bermaksud membuat doktrin Allah Tritunggal yang baru atau menggantikan rumusan tradisional mengenai Allah Tritunggal. Di dalam rumusan tradisional kita mengenal rumusan “satu esensi dan tiga pribadi.” Namun Van Til mengatakan bahwa Allah Tritunggal pada dasarnya adalah satu pribadi dan Allah juga adalah tiga pribadi. Van Til ingin menghadapi impersonalisme pada zamannya, di mana alam semesta dan isinya diatur oleh prinsip-prinsip yang impersonal (ide platonis, energi semesta, pikiran absolut, nasib). Bagi Van Til, Allah bukan satu “esensi” dalam pengertian ada satu prinsip atau keberadaan yang impersonal yang menyatukan Allah Tritunggal tersebut.

Allah sepenuh-penuhnya bersifat pribadi sehingga Van Til mengatakan bahwa seluruh keallahan bersifat pribadi. Karena itu ia mengatakan bahwa Allah satu pribadi. Van Til ingin menegaskan bahwa kesatuan di dalam Allah adalah kesatuan yang bersifat personal dan bukan impersonal. Tentu saja konsep ini merupakan terobosan yang sangat berani. Van Til menjelaskan konsepnya demikian:

We do assert that God, that is the whole Godhead, is one person. We are compelled to maintain this in order to avoid the notion of an uninterpreted being of some sort. In other words, we are bound to maintain the identity of the attributes of God with the being of God in order to avoid the specter of brute fact. In a similar manner we have noted how theologians insist that each of the persons of Godhead is co-terminous with the being of the Godhead. But all this is not to say that the distinctions of the attributes are merely nominal. Nor is it to say that the distinctions of the three persons are merely nominal. We need both the We do assert that God, that is the whole Godhead, is one person. We are compelled to maintain this in order to avoid the notion of an uninterpreted being of some sort. In other words, we are bound to maintain the identity of the attributes of God with the being of God in order to avoid the specter of brute fact. In a similar manner we have noted how theologians insist that each of the persons of Godhead is co-terminous with the being of the Godhead. But all this is not to say that the distinctions of the attributes are merely nominal. Nor is it to say that the distinctions of the three persons are merely nominal. We need both the

Dengan demikian konsep Van Til tentang Allah Tritunggal adalah bahwa Allah adalah satu pribadi dan tiga pribadi. Tentu saja konsep seperti ini menimbulkan pertanyaan apakah konsep Van Til tersebut menyalahi logika yaitu hukum non-kontradiksi? Konsep Van Til berkontradiksi jika konsep “tiga pribadi” dan “satu pribadi” memiliki pengertian yang sama, tetapi pengertian “satu pribadi” dengan “tiga pribadi” memiliki pengertian yang berbeda. Bagaimana tepatnya perbedaan antara pribadi di dalam “satu pribadi” dengan pribadi dalam “tiga pribadi?” Kita tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Bagi Van Til hal tersebut merupakan misteri di mana rasio manusia tidak dapat menjangkaunya.

Di dalam diri Allah tiga tidaklah lebih ultima dari satu atau satu daripada tiga. Allah adalah ultimate one and many. Di dalam diri Allah baik kesatuan dan kemajemukan adalah sama-sama ultima dan saling berintegrasi di dalam kesimbangan yang sempurna. Karena Allah adalah sekaligus tunggal dan jamak maka ciptaan-Nya mencerminkan kenyataan tersebut. Sehingga di dalam alam kita menemukan temporal one and many yang diciptakan oleh Allah. Ketunggalan dan kemajemukan di dalam ciptaan sama-sama ultima. Ketunggalan tidak lebih ultima dari kemajemukan demikian pula kemajemukan tidak lebih ultima dari ketunggalan. Van Til mengatakan:

All aspects being equally created, no one aspect of reality may be regarded as more ultimate than another. Thus the created one and many may in this respect

312 Van Til, An Introduction 229. Penulis tidak akan membahas doktrin Allah Tritunggal Van Til lebih mendalam lagi. Pembahasan tentang doktrin Allah Tritunggal Van Til yang lebih mendalam dapat

ditemukan di Frame, Cornelius Van Til 63-78; Ralph Allan Smith, “Van Til’s Insights on The Trinity,” http://www.trinitarianism.com/pdf/Van%20Til's%20Insights%20on%20the%20Trinity.pdf.

be said to be equal to one another; they are equally derived and equally dependent upon God who sustain them both.” 313

Sebab itu kita menolak pluralisme, dualisme, atau monisme di dalam realitas. Sebaliknya kita mengakui kekayaan realitas yang sekaligus tunggal dan jamak.

Konsep Allah tritunggal Van Til membawa pengaruh terhadap konsep kebenaran dan pengetahuan. 314 Karena segala peristiwa dan fakta mendapatkan maknanya di dalam diri dan rencana Allah maka setiap peristiwa dan fakta berada dalam relasi dengan Allah. Karena itu di dalam pengetahuan dan kebenaran kita juga mengakui adanya kesetaraan ketunggalan dan kemajemukan. Kita mengakui bahwa perspektif terhadap kebenaran sekaligus tunggal dan jamak. Karena Allah adalah esa maka ada kesatuan di dalam perspektif Allah. Namun karena Allah adalah tiga pribadi yang berbeda maka ada ada tiga perspektif yang berbeda dari Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Allah Bapa mengasihi dan mengenal Allah Putra dan karena itu mengetahui segala sesuatu. Allah Anak mengasihi dan mengenal Allah Bapa dan karena itu mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan personal bukan sekedar pengetahuan proposisional. Pengetahuan Bapa terhadap Anak merupakan pengetahuan dari perspektif Bapa demikian pula pengetahuan Anak terhadap Bapa adalah dari perspektif Anak. Konsep ini memberikan kepada kita kesadaran bahwa kebenaran bukan jamak tetapi kaya dengan berbagai dimensi. Konsep tersebut juga memberikan kepada kita keabsahan dari adanya berbagai macam perspektif di dalam teologi dan gereja Tuhan didalam memandang dan memahami kebenaran Allah.

313 Van Til, The Defense 27. 314 Vern Sheridan Poythress mengaplikasikan konsep Allah Tritunggal Van Til ke dalam masalah

pengetahuan di dalam bukunya Symphonic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1987) 47-54. Bagian ini banyak bersandar kepada Poythress.

Kemajemukan perspektif ini nampak dalam penulisan kitab-kitab Injil. Kita mengakui bahwa fakta tidak jamak. Tuhan Yesus hanya satu. Namun kita mengakui bahwa ada beberapa interpretasi terhadap Tuhan Yesus yang diizinkan oleh Allah. Karena itu kita mendapatkan ada empat kitab Injil yang mencatat tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Tuhan Yesus. Kemajemukan perspektif juga muncul di dalam dunia teologi. Kita menemukan adanya Lutheran, Arminian, Pentakosta, Kharismatik, amilenialisme, pascamilenialisme, dan lain sebagainya.

Selain adanya kemajemukan kita juga mengakui adanya ketunggalan di dalam perspektif. Alkitab memberikan kepada kita suatu perspektif komprehensif terhadap segala sesuatu yaitu suatu wawasan dunia. Alkitab mengajar kita pandangan tentang Allah Tritunggal, manusia yang diciptakan oleh Allah tetapi jatuh ke dalam dosa. Kristus yang datang dan mati untuk menyelamatkan kita manusia berdosa. Kristus bangkit dan akan datang lagi untuk menghakimi dunia dan memperbaharui dunia ini. Ini merupakan pandangan partikular yang diajarkan oleh Alkitab dan menjadi wawasan dunia orang Kristen. Ini merupakan perspektif yang menyatukan seluruh orang Kristen. 315

Ketunggalan dan kemajemukan perspektif juga muncul di dalam gereja sebagai tubuh Kristus. Di dalam gereja sebagai tubuh Kristus kita juga menemukan kesatuan dan kemajemukan (1Kor. 12:12-26). Sehingga di dalam gereja kita juga menemukan adanya perspektif terhadap kebenaran dan pengetahuan. Tidak ada seorangpun yang sanggup memiliki seluruh perspektif dan pengetahuan akan Allah bahkan pengetahuan yang Allah nyatakan kepada manusia. Demikian pula dengan tradisi teologi, tidak ada satu tradisi teologi pun yang sanggup untuk memuat seluruh kebenaran Allah dalam pengertian proposisi dan perspektif terhadap pengetahuan.

315 Ibid. 18.

Namun demikian tidak semua perspektif setara. Di dalam mencari kebenaran dan pengetahuan tidak semua perspektif setara. Van Til mengingatkan bahwa orang Kristen dapat mengadopsi prasuposisi yang tidak konsisten dengan Alkitab sehingga menghasilkan pengetahuan yang keliru karena tidak konsisten dengan prasuposisi Alkitab. Ada perspektif yang lebih mendekati kebenaran daripada perspektif yang lain. Tanpa mengabaikan kebenaran perspektif yang lain, ada perspektif yang lebih konsisten kepada kebenaran Alkitab daripada perspektif yang lainnya. Perspektif tersebut bagi penulis adalah perspektif reformed injili. Kita juga harus waspada terhadap dosa yang membuat kita bersikap arogan terhadap pandangan kita atau tradisi sendiri sehingga membuat “seolah-olah” pengetahuan kita tidak bisa salah. Sejarah memperlihatkan bahkan doktrin reformed dapat keliru. Doktrin kerusakan total mengingatkan kita bahwa kita semua, tanpa kecuali, tercemar oleh dosa dan oleh sebab itu dapat salah.

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa doktrin antitesis Van Til perlu dilengkapi dan dibatasi dengan konsep Allah Tritunggal Van Til dan dampaknya terhadap pengetahuan manusia. Kemajemukan di dalam kekristenan bukan hanya karena dosa, prasuposisi yang salah, tetapi juga karena adanya berbagai macam perspektif di dalam kekristenan.

Bagaimana dengan klaim-klaim kebenaran di dalam agama-agama lain? Pada bagian ini penulis tidak akan membahas konsep Van Til mengenai keselamatan di luar kekristenan tetapi masalah kebenaran di dalam sistem agama atau filsafat orang tidak percaya. Pada masalah ini Van Til sangat terkenal dengan konsep antitesisnya. Menurut Van Til pada dasarnya manusia saat ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu orang percaya yang berusaha memuliakan Allah dan memahami dunia sesuai dengan firman-Nya serta Bagaimana dengan klaim-klaim kebenaran di dalam agama-agama lain? Pada bagian ini penulis tidak akan membahas konsep Van Til mengenai keselamatan di luar kekristenan tetapi masalah kebenaran di dalam sistem agama atau filsafat orang tidak percaya. Pada masalah ini Van Til sangat terkenal dengan konsep antitesisnya. Menurut Van Til pada dasarnya manusia saat ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu orang percaya yang berusaha memuliakan Allah dan memahami dunia sesuai dengan firman-Nya serta

Bagi Van Til pengaruh dosa terhadap pemikiran manusia (noetic effects of sin) sangat radikal. Manusia berdosa berupaya untuk menginterpretasi segala sesuatu tanpa referensi kepada Allah. Ia menginterpretasi segala sesuatu menurut prasuposisi kemandiriannya. Akibatnya orang tidak percaya berdiri dalam posisi antitesis kepada Allah. Namun demikian Van Til mengatakan bahwa ada kebaikan yang relatif di dalam orang tidak percaya yang pada prinsipnya jahat. Meski di dalam prinsip orang tidak percaya menentang Allah tetapi ada kebaikan yang tersisa di dalam diri orang tidak percaya. Ini merupakan pengaruh anugerah umum (common grace) terhadap orang tidak percaya. Van Til mengatakan:

But in the course of history the natural man is not fully self-conscious of his own position. The prodigal cannot altogether stifle his father’s voice. There is a conflict of notion within him. But he himself is not fully and self-consciously aware of this conflict within him. He has within him the knowledge of God by virtue of his creation in the image of God. But this idea of God is suppressed by his false principle, the principle of autonomy. This principle of autonomy is, in turn, suppressed by the restraining power of God’s common grace. Thus the ideas with which he daily works do not proceed consistently either form the one principle or from the other. 316

316 Van Til, The Defense 170.

Karena itu antitesis ini tidak dijalankan secara konsisten oleh orang tidak percaya. Roh Kudus terus bekerja pada orang tidak percaya untuk menahan mereka melaksanakan pemberontakan moral dan intelektual mereka terhadap Allah sampai titik akhir. Karena anugerah umum maka antitesis di dalam jalannya sejarah manusia harus ditambah dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Secara praktis tidak ada antitesis yang tanpa kualifikasi.

Pengaruhnya terhadap pengetahuan orang tidak percaya adalah mereka dapat mengetahui kebenaran sepanjang mereka tidak konsisten dengan prinsip otonomi mereka. Jika mereka konsisten dengan prinsip otonomi mereka maka mereka akan menginterpretasi segala sesuatu sesuai dengan prinsip otonomi ini. Akibatnya mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang benar. 317 Semua pengetahuan yang benar memprasuposisikan keberadaan Allah sebagai dasar eksistensi. Namun orang non- Kristen tidak, seperti kita lihat di atas, konsisten dengan prinsip mereka ini sehingga mereka masih dapat memiliki pengetahuan tentang Allah dan kebenaran.

Kondisi ini—antitesis dan anugerah umum yang bekerja bersamaan di dalam diri orang tidak percaya—membuat kondisi pengetahuan orang tidak percaya menjadi kompleks. Sehingga Van Til mengatakan: “The actual situation is therefore always a mixture of truth with error. Being ‘without God in the world’ the natural man yet knows God, and in spite of himself, to some extent recognizes God.” 318 Bagi Van Til situasi di dalam diri orang tidak percaya merupakan gabungan antara kebenaran dan kesalahan.

317 Van Til seringkali menggunakan bahasa antitesis yang ekstrim ini untuk menggambarkan keadaan orang tidak percaya. Akibatnya para pengeritik Van Til menyimpulkan bahwa di dalam konsep

Van Til orang tidak percaya tidak memiliki kesamaan dengan orang percaya dalam hal pengetahuan, semua pengetahuannya salah, atau orang tidak percaya tidak dapat mengetahui sesuatu, (pandangan ini dapat dilihat, misalnya, pada Kelly Clark, “A Reformed Epistemologist’s Response” dalam Five Views 256; Michael Sudduth memberikan respon kepada kesalahpahaman ini dalam “Van Til and the Knowledge of the Unbeliever,” http://www.vantil.info/articles/sudduth_clark.html; lihat juga analisa Frame mengenai topik ini dalam Cornelius Van Til 189-197).

318 Van Til, An Introduction 27.

Bagi Van Til, orang tidak percaya masih dapat memiliki kebenaran. Orang tidak percaya masih dapat memiliki pengetahuan yang benar. Mereka masih dapat memiliki pengetahuan yang benar tentang keberadaan dan karakter Allah karena Allah menyatakannya melalui alam dan kesadaran manusia. Van Til mengatakan bahwa orang tidak percaya bukan hanya tahu tentang keberadaan Allah tetapi juga hakekat Allah. Allah menyatakan kuasa-Nya dan keilahian-Nya kepada manusia. Karena Allah adalah tunggal (simple) dan tidak terdiri dari bagian-bagian maka penyataan Allah ini juga memperlihatkan hakekat Allah. Orang tidak percaya tahu keberadaan Allah dan hakekat Allah sepanjang yang dinyatakan Allah di alam (Rom. 1:20). Namun penyataan Allah tentang hakekat diri-Nya di alam tidak sejelas di dalam Alkitab. Orang tidak percaya juga mengetahui bahwa dirinya sendiri dan dunia ini adalah ciptaan Allah. Sehingga Van Til mengatakan: “We are well aware of the fact that non-Christians have a great deal of knowledge about this world which is true as far it goes. That is, there is a sense in which we can and must allow for the value of knowledge of non-Christians.” 319 Jadi, menurut Van Til, orang tidak percaya dapat memiliki pengetahuan yang benar.

Karena itu orang percaya masih dapat menyetujui Hume, Kant, Plato, atau Aristoteles mengenai hal-hal tertentu tetapi bukan konsep-konsep mendasar mereka. Van Til tidak ragu-ragu untuk menyetujui adanya problem tunggal dan jamak di dalam filsafat meski problem tersebut dirumuskan oleh filsuf sekuler. 320 Van Til juga menyebut “etika idealisme yang agung” (the lofty ethics of idealism). 321 Ia juga membahas bagaimana kita seharusnya mengaplikasikan metode dari ahli logika idealis di dalam cara yang ahli logika tersebut idak dapat lakukan karena asumsi antiteistiknya. Pernyataan ini tentu saja

319 Ibid. 26. 320 Van Til, The Defense 24. 321 Ibid. 64.

menunjukan persetujuan Van Til dengan idealis mengenai bagaimana konsep-konsep konsisten dan koheren di dalam suatu sistem pemikiran. Van Til sendiri belajar filsafat idealisme di Princeton University. Van Til juga mengakui adanya hal-hal yang “baik,” “indah,” “agung,” dan “benar” secara relatif di dalam kebudayaan Yunani. 322

Dengan pemahaman di atas maka kita dapat mengatakan bahwa orang percaya masih dapat menemukan kebenaran di dalam diri orang tidak percaya. Ada kebenaran di wilayah-wilayah orang tidak percaya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pemahaman sebagian pengikut Van Til yang ekstrim. Mereka mengatakan bahwa kita tidak dapat belajar kebenaran dari orang tidak percaya bahkan dari orang non-reformed. 323 Pengikut Van Til yang demikian menerapkan konsep antitesis Van Til secara ekstrim kepada orang tidak percaya bahkan kepada sesama orang Kristen non-reformed.

Konsep seperti di atas dapat diaplikasikan ke dalam kondisi kemajemukan agama- agama. Pertanyaannya adalah: “bagaimana sikap kita terhadap kebenaran di dalam agama-agama lain?” Bukan lagi: “apakah ada kebenaran di dalam agama-agama non- Kristen?”

Pertama, kebenaran di dalam agama-agama lain dapat mengingatkan orang-orang Kristen mengenai hal-hal yang terbaik dari iman Kristen dan menolong orang Kristen untuk mempertajam pemikiran mereka mengenai kebenaran-kebenaran tersebut. 324 Sebagai contoh, kalangan Budhis menyadari ketidakmampuan pikiran manusia untuk memahami realitas ultima di dalam diri manusia tersebut. Hal ini menolong orang

Kristen untuk lebih konsisten dengan konsep analogi di dalam berpikir. Contoh yang lain

322 Van Til, Christian Theistic Ethics 219. 323 Frame, Cornelius Van Til 212. 324 Gerald R. McDermott, Can Evangelicals Learn From World Religions? (Downers Grove: IVP,

2000) 116-118. Bagian ini banyak bersandar kepada tulisan McDermott.

adalah Martin Luther King Jr., yang mengembangkan konsep nonviolent resistence di dalam perjuangan membela hak-hak orang hitam di Amerika Serikat. Prinsip tersebut di dikembangkan oleh Martin Luther King ketika ia mempelajari Mahatma Gandhi—yang mempelajari hal tersebut dari Khotbah di Bukit. King memang tidak mendapatkan konsep tersebut secara eksklusif dari Gandhi tetapi Gandhi menolong King untuk memahami bagaimana prinsip tersebut dapat diterapkan di dalam sebuah gerakan untuk menghasilkan perubahan sosial.

Kedua, kebenaran di dalam agama-agama lain menolong orang-orang Kristen untuk memahami penyataan khusus Allah secara baru. Kebenaran-kebenaran di dalam agama-agama non-Kristen bukan kebenaran-kebenaran baru yang menambah kebenaran penyataan Allah di dalam Yesus Kristus dan Alkitab. Bagi kita adalah jelas bahwa Yesus Kristus adalah puncak penyataan Allah dan bersifat final. Namun hal ini tidak berarti tidak ada pemahaman baru terhadap penyataan Allah. Ada ide-ide atau kebenaran- kebenaran yang sebelumnya belum pernah dipikirkan atau ditulis tetapi timbul karena orang Kristen berinteraksi dengan orang non-Kristen. Pemahaman ini berakar dari konsep bahwa, meski kita memiliki puncak dari penyataan Allah yang bersifat final, pemahaman kita tentang penyataan Allah tersebut tidak lengkap. Sehingga orang Kristen perlu belajar kebenaran di luar kekristenan untuk menolong orang Kristen memahami kekayaan penyataan Allah. Dengan demikian kebenaran-kebenaran di dalam agama- agama lain menolong kita untuk memahami penyataan Allah tetapi kebenaran-kebenaran tersebut bukan kebenaran-kebenaran baru yang akan mengubah dan mengganti apa yang telah Allah nyatakan di dalam Kristus. 325

325 Ibid. 117.

Sebagai kesimpulan kita dapat mengatakan bahwa ada kebenaran-kebenaran (di dalam pengertian fakta dan interpretasi yang benar) di dalam agama-agama lain. Sebagai orang Kristen kita dapat mempelajari kebenaran-kebenaran tersebut. Tetapi kita tidak dapat menutup mata dengan adanya antitesis di antara kekristenan dengan non-Kristen. Orang Kristen berupaya memuliakan Allah dan tunduk pada otoritas dalam masalah kebenaran sedangkan orang tidak percaya memberontak kepada Allah dan berupaya menjadi otonom (mandiri). Sehingga kita harus dengan kritis, berdasar penyataan Allah dalam Alkitab, untuk menilai kebenaran-kebenaran tersebut dan menerimanya. Tesis ini bersandar kepada aplikasi konsep kebenaran Van Til tersebut.