KONSEP KEBENARAN TOKOH-TOKOH PASCAMODERNISME ULTRA-KRITIS

BAB II KONSEP KEBENARAN TOKOH-TOKOH PASCAMODERNISME ULTRA-KRITIS

Bab ini akan memaparkan pandangan tokoh-tokoh pascamodernisme ultra-kritis mengenai kebenaran. Setelah memaparkan pandangan para tokoh ini, penulis akan membuat penilaian positif maupun negatif mengenai konsep kebenaran mereka. Bab ini meletakan landasan untuk melihat bagaimana konsep kebenaran Cornelius Van Til memperhatikan keabsahan dari pascamodernisme dan bagaimana konsep kebenaran Van Til memperbaiki pandangan para tokoh pascamodernisme ini. Dengan kata lain, bab ini bertujuan untuk menjadi dasar bagi bab selanjutnya yaitu melihat bagaimana konsep kebenaran Van Til dapat diaplikasikan untuk menghadapi tantangan pascamodernisme.

Tentu saja tidak semua konsep dari para tokoh ini akan dipaparkan. Hanya konsep-konsep para tokoh pascamodernisme yang berkaitan dengan masalah epistemologis khususnya konsep kebenaran mereka yang akan diperhatikan.

MICHEL FOUCAULT: MURID NIETZSCHE YANG SEJATI Michel Foucault (1926-1984) merupakan penerus Friedrich Nietzsche yang sejati di abad ke-20. Ia disebut sebagai murid Nietzsche yang sejati karena menggunakan kecurigaan Nietzsche secara ekstrim terhadap semua klaim-klaim kebenaran, nilai-nilai etis, bahkan hidupnya sendiri merupakan sebuah praktik gaya berfilsafat Nietzsche. 55 Ia

55 Grenz, A Primer 124.

hidup dengan membongkar segala sesuatu yang dianggap sebagai kodrat, yang membungkus eksistensi manusia. Kehidupan Foucault memperlihatkan bahwa yang kodrati tersebut merupakan hasil dari konsep berpikir pada masa atau zaman tertentu. Kehidupan Foucault yang membongkar hal-hal yang kodrati tersebut akhirnya berujung kepada kematiannya sendiri akibat dari penyakit AIDS. 56

Karya-karya Michel Foucault sangat berpengaruh di bidang ilmu-ilmu sosial. Karya-karya ini dapat dibagi ke dalam tiga tahapan, karena karya-karya Michel Foucault mengalami perkembangan dari waktu ke waktu akibat perkembangan pemikirannya. Tahap pertama adalah tahap di mana Foucault berkonsentrasi pada wacana atau displin mengenai pengetahuan. Pada masa ini, ia berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologis. Dalam tahap kedua, Foucault banyak berbicara tentang kuasa dan cara kuasa tersebut digunakan untuk mengontrol sebuah populasi baik di institusi rehabilitasi mental, rumah sakit, atau di penjara. Tahap terakhir adalah masa di mana Foucault berkonsentrasi untuk merekonstruksi teori tentang subyek atau tentang diri (self). 57 Namun pada tahap apapun sebenarnya pemikiran Foucault pada dasarnya memanifestasikan suatu keinginan yang konstan untuk melucuti subyek dari kuasa-kuasa yang tidak layak dan hak-hak khususnya. Foucault memperlakukan subyek tersebut sebagai fenomena bahasa. Dengan jalan demikian Foucault menempatkan klaim-klaim kebenaran dari manusia Pencerahan yang rasionalis pada tempatnya, yaitu sebagai klaim yang bergantung pada sejarah. Klaim tersebut muncul pada periode tertentu di dalam

56 Millard J. Erickson, Truth or Consequences (Downers Grove: InterVarsity, 2001) 134. 57 Ibid. 134-135.

sejarah. Akibatnya subyek transenden yang berdiri di atas sejarah dipandang sebagai produk dari zaman tertentu saja yang dalam hal ini adalah zaman Pencerahan. 58

Sebelum penulis membahas lebih lanjut pemikiran Foucault, penulis akan memaparkan terlebih dahulu riwayat hidup dan karya-karya Foucault secara ringkas, karena kehidupan dari Foucault sangat mempengaruhi pemikirannya. Pemikiran- pemikiran Foucault tidak dapat dimengerti lepas dari kehidupannya.

Riwayat Hidup dan Karya-Karya Foucault Sesuai dengan pemikiran Foucault maka ia tidak pernah mengisahkan riwayat hidupnya. Bahkan ia enggan untuk menyampaikan data biografis tentang dirinya sendiri walaupun beberapa orang melakukannya setelah Foucault meninggal. 59 Michel Foucault dilahirkan tanggal 15 Oktober 1926 di kota Poitiers, Prancis. Ia tertarik dengan filsafat, sejarah, dan psikologi khususnya psikopatologi. Pada tahun 1945, ia masuk Ecole Normale Superieure dan belajar di bawah bimbingan G. Canguilhem, G. Dumezil, dan J. Hyppolite. Kemudian Foucault mendapat gelar Licence de Philosophie tahun 1948, gelar Licence de Psychologie tahun 1950, dan mendapat diploma dalam psikopatologi tahun 1952. 60

Ia menjadi anggota partai komunis pada tahun 1950 tetapi tiga tahun kemudian ia keluar dari partai tersebut setelah Stalin meninggal. Pada tahun 1952 ia menjadi asisten pengajar di Universitas Lille. Ia menerbitkan buku Mental Illness and Psychology pada tahun 1954 yang memetakan perbedaan metode-metode psikologi fenomenologi, eksistensial, dan Marxis. Selama enam tahun (1954-1960) ia melakukan serangkaian

58 Christopher Norris, The Truth about Postmodernism (Oxford: Blackwell, 1993) 31. 59 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (2 jld.; ed. revisi; Jakarta: Gramedia, 2001) II.297. 60 Ibid.

pekerjaan di Upsalla, Warsawa, dan Hamburg. Pada tahun 1960 ia kembali ke Prancis untuk mengajar filsafat dan psikologi di Universitas Clermont–Ferrand. Pada tahun 1963 ia menerbitkan buku Madness and Civillization yang merupakan ringkasan dari disertasinya. Buku tersebut memaparkan tentang sejarah ketidakwarasan. Pada tahun yang sama ia menerbitkan buku The Birth of Clinic. Pada tahun 1966 ia menulis buku The Order of Things: An Archeology of The Human Sciences yang membuatnya menjadi terkenal. Tujuan Foucault di dalam buku ini adalah untuk mengetahui bagaimana manusia menjadi obyek pengetahuan dalam budaya Barat. Sejak terbitnya buku ini maka Foucault dianggap filsuf muda terpenting di dalam aliran strukturalisme, tetapi Foucault sendiri menolak disebut sebagai filsuf strukturalisme. Tahun 1966 sampai 1968 ia mengajar filsafat di Tunisia. Pada akhir 1968 ia kembali ke Prancis dan mengajar di Vincennes tetapi ia keluar dan mengajar di College de France tahun 1970. Pada tahun 1969 terbit bukunya yang berjudul The Archeology of Knowledge yang berbicara tentang penelitian metodologis tentang pengetahuan, sejarah, wacana, dan sekaligus kritik terhadap buku-bukunya yang terdahulu. Pada tahun 1975 ia menerbitkan buku Discipline and Punish yang mempelajari asal-usul historis dari lembaga pemasyarakatan dan sistem hukuman. 61

Dari College de France ini Foucault aktif menulis, terlibat dengan aktivitas politik dan mengajar di beberapa negara termasuk di Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1970-an ia mengajar di Universitas California di Berkeley sebagai dosen tamu. Selama waktu- waktu tersebut ia terlibat aktif di dalam komunitas homoseksual termasuk cabang kebudayaan sado-masochisme dan dalam penggunaan obat-obat terlarang di California. 62

61 Ibid. 300. 62 Erickson, Truth or Consequences 134.

Ia selalu berupaya untuk mengubah tekstur kehidupan sehari-harinya. Karena itu ia mencari kesenangan total yang lengkap dan pengalaman perbatasan yang ia asosiasikan dengan kematian.

Melalui pengalaman perbatasan—yang ia asosiasikan dengan pengalaman di dekat kematian—di California Foucault berusaha meneguhkan secara dramatis tesisnya bahwa tubuh (seperti juga jiwa) merupakan konstruksi sosial sehingga secara prinsip dapat diubah. 63

Pada masa-masa ini Foucault menerbitkan buku mengenai History of Sexuality di mana jilid pertamanya terbit tahun 1976. Buku-buku ini direncanakan terbit enam jilid tetapi sampai pada kematiannya pada tahun 1984 ia hanya menerbitkan tiga jilid. Jilid kedua terbit tahun 1982 dengan judul The Use of Pleasure, kemudian disusul jilid ketiga tahun 1984, sebelum ia meninggal, dengan judul The Care of The Self. Ia meninggal di Paris pada tanggal 25 Juni 1984 karena penyakit AIDS yang menghinggapinya. 64

Epistemologi Michel Foucault Konsep-konsep Foucault sukar dipaparkan secara sistematis. Kesukaran ini diakibatkan karena Foucault sendiri tidak berupaya untuk membangun sebuah sistem pemikiran komprehensif yang menjelaskan segala sesuatunya, bahkan kadangkala ia membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataannya yang lain. 65 Oleh sebab itu kita hanya dapat merekonstruksi konsep-konsepnya dari tulisan-tulisannya.

63 Grenz, A Primer 125-126. 64 Bertens, Filsafat Barat II.301. 65 Erickson, Truth or Consequences 135.

Menurut Foucault setiap upaya untuk membuat tatanan 66 —upaya untuk mengklasifikasi benda-benda atau obyek suatu upaya pengelompokan, pemisahan, analisa,

mencocokkan, dan menempatkan benda-benda tersebut di dalam kategori-kategorinya yang dapat dimengerti—memerlukan adanya dasar yang koheren, standar kriteria di dalam pikiran manusia, yang Foucault sebut sebagai jaringan (grid) identitas, kesamaan, dan analogi. Jaringan ini merupakan jaringan yang koheren yang tidak bersifat a priori atau harus ada (necessary), serta tidak pula berdasar persepsi langsung terhadap obyek. Jaringan ini merupakan suatu sistem unsur (a system of elements) yaitu definisi dari unsur-unsur yang diperbandingkan, tipe-tipe variasi yang diperhatikan, dan ambang batas kesamaan dan perbedaan. Sebagai contoh ketika kita mengelompokkan obyek-obyek bersama-sama atau membedakan mereka satu dengan yang lain maka kita melakukannya berdasarkan kesamaan atau perbedaan karakteristik/sifat obyek-obyek tersebut. Sistem sifat/karakteristik inilah yang membentuk jaringan tersebut.

Tidak ada klasifikasi/penataan bahkan yang paling sederhana sekalipun, atau sesuatu yang dapat dikenali tanpa adanya jaringan tersebut sebelumnya. Foucault mengatakan: “A ‘system of elements’ . . . is indispensable for the establishment of even the simplest form of order.” 67

Manusia membuat realitas menjadi dapat dimengerti dan masuk akal tidak hanya dengan satu jaringan tetapi dengan sistem unsur yang kompleks, yang tertata di dalam

66 Maksud Foucault dengan tatanan adalah, “at one and the same time, that which is given in things as their inner law, the hidden network that determines the way they confront one another, and also that

which has no existence except in the grid created by a glance, an examination, a language; and it is only in the blank spaces of this grid that order manifests itself in depth as though already there, waiting in silence for

Order of Things” http://textz.gnutenberg.net/textz/foucault_michel_the_order_of_things.tmp:// xx).

the moment of its

Di dalam konsep tersebut kita melihat bahwa tatanan adalah sesuatu yang “diberikan” oleh manusia kepada benda-benda sebagai hukum yang inheren di dalam benda-benda. Tatanan pula yang menentukan bagaimana benda- benda tersebut dihubungkan. Tatanan juga dapat terjadi tanpa obyek-obyek diluar dari diri manusia. Tatanan justru ada di dalam jaringan atau sistem unsur yang terdapat didalam cara berpikir kita.

67 Foucault, “The Order of Things” xx.

tiga level. Pada level yang paling mendasar adalah kode-kode dasar (primary codes) atau kode-kode fundamental dari sebuah kebudayaan yang termasuk di dalamnya jaringan bahasa (kata-kata yang kita gunakan untuk benda-benda atau obyek), skema persepsi indera, serta berbagai macam praktek, teknik, dan nilai-nilai kultural. Jaringan ini disebut mendasar karena jaringan ini yang menentukan hal-hal yang empiris dan mendasar yang kita amati sehari-hari. Jaringan ini membantu mata kita menguraikan kode-kode kebudayaan yang mendasar sehingga kita melihat realitas “apa adanya.” 68 Kode-kode fundamental dari kebudayaan ini, paling tidak pada awalnya, adalah jelas. Misalnya perbedaan antara manusia dan binatang, antara binatang-binatang itu sendiri, antara tumbuhan dan mineral, antara yang hidup dan yang mati, yang kita anggap jelas sebagai realitas dan bukan sebagai jaringan kode-kode.

Pada level yang paling atas adalah teori-teori saintifik atau interpretasi filosofis terhadap tatanan itu sendiri, misalnya mengapa tatanan itu ada, hukum-hukum apa yang dipatuhinya, prinsip-prinsip apa yang dapat menjelaskan tatanan tersebut, serta mengapa

tatanan ini yang berkembang dan diterima bukan tatanan yang lainnya. 69 Jaringan di level ini berbicara pada aras tatanan logika dan bukan pada tatanan empiris lagi, akibatnya pengetahuan yang dihasilkan oleh tatanan ini bersifat reflektif. Jaringan ini berkenaan dengan skema pemahaman konseptual, sistem kategori, teori saintifik, dan refleksi filosofis.

Pada level menengah adalah terdapat jaringan yang paling fundamental dan penting tetapi yang juga paling sukar untuk dipahami. Jaringan ini disebut Foucault sebagai episteme.

Episteme sebenarnya berarti “pengetahuan,” tetapi Foucault

68 David L. Potts, “Knowledge and Power in Foucault’s History of Sexuality,” http://www. objectivistcenter.org/obj-studies/cyber/DPFouc.asp/www.

69 Foucault, “The Order of Things” xx.

menggunakannya dalam arti khusus. Menurut Foucault tiap-tiap zaman mempunyai pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, dan cara-cara pendekatan tertentu. Dengan kata lain tiap-tiap zaman mempunyai apriori historis tertentu. Keseluruhan pengandaian-pengandaian tersebut membentuk suatu sistem yang kokoh. Semuanya ini tidak disadari oleh orang-orang yang hidup pada zaman tertentu tersebut tetapi ia secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan orang-orang pada zaman tertentu. 70 Episteme merupakan prinsip dari tatanan itu sendiri, ia bisa dipandang serupa dengan wawasan dunia (world view). Foucault mendefinisikan episteme sebagai berikut:

Yang kita maksud dengan episteme ini adalah keseluruhan relasi-relasi yang menyatukan praktek diskursif, pada satu masa, yang memunculkan pola-pola epistemologis, sains-sains dan sistem-sistem formal; cara-cara di mana masing- masing formasi diskursif, transisi menuju epistemologisasi, keilmiahan dan formulasi-formulasi ditempatkan dan beroperasi; penyebaran ambang batas- ambang batas yang dibicarakan tadi yang bisa saja bersamaan, tersubordinasi oleh ambang batas lain atau terpisahkan satu sama lain akibat adanya pergeseran dalam waktu; relasi-relasi sampingan yang barangkali terdapat di antara pola-pola epistemologis atau sains-sains sejauh relasi-relasi tersebut menjadi bagian dari praktek-praktek diskursif tetangganya, namun sama sekali berbeda dari praktek diskursifnya sendiri. Episteme bukanlah suatu bentuk pengetahuan (connaissance) atau tipe rasionalitas yang memanifestasikan kesatuan kokoh dari subyek, spirit atau periode ketika dia berhasil melewati batas-batas berbagai sains yang ada; episteme adalah totalitas relasi-relasi yang bisa ditemukan, di dalam masa tertentu, di antara sains-sains saat seseorang menganalisa sains tersebut pada level regularitas diskursifnya. 71

Episteme bukan pengetahuan itu sendiri (connaissance) tetapi episteme merupakan sebuah kondisi/syarat yang memungkinkan semua pengetahuan bisa terjadi. Episteme menjadi fondasi kokoh bagi pengetahuan atau teori-teori umum. Episteme menyediakan

70 Bertens, Filsafat Barat II.215. 71 Michel Foucault, Menggugat Sejarah Ide (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002) 274. Connaissance

merujuk pada disiplin-disiplin imu tertentu, misalnya biologi, ekonomi, dan sebagainya. Connaissance adalah relasi antara subyek dengan obyek dan aturan-aturan yang membentuk relasi tersebut (ibid. 22, catatan kaki 3).

standar referensi di mana pengetahuan dibangun dan berdasarkan episteme tersebut pengetahuan dievaluasi, sehingga ia lebih pasti dan kokoh dari segala teori. Dengan kata lain, di dalam episteme ini teori-teori dan konsep-konsep mendapatkan eksistensinya, dievaluasi, dan tanpa episteme mereka tidak dapat “hidup.” 72 Dengan demikian maka episteme ini mendahului kata, persepsi, dan sikap tubuh manusia.

Namun episteme bukan dibangun di dalam kesadaran kita seperti kategori- kategori formal dari Kant. Jika kategori-kategori formal dari Kant bersifat bawaan dan apriori sehingga tidak relatif dan sama pada setiap orang, 73 maka sebaliknya, episteme ditentukan dan dibentuk di dalam kesadaran kita secara kultural dan historis sehingga tidak disadari oleh orang-orang yang hidup dengan episteme tertentu. Di antara zaman dan kebudayaan yang berbeda-beda terdapat episteme yang berbeda-beda. Akibatnya episteme ini bersifat kontingen, bergantung kepada sejarah dan kebudayaan orang-orang, serta merupakan hasil dari konstruksi sosial.

Foucault memaparkan ada tiga episteme di dalam kebudayaan Barat. Pertama, episteme renaisans. Pada zaman ini kata-kata dan benda-benda dianggap serupa dan disatukan. Kata kunci di dalam episteme ini adalah “kemiripan” (resemblance). Episteme ini berakhir kira-kita tahun 1650. Kedua, episteme klasik yaitu periode dari tahun 1650 sampai 1800. Pada zaman ini keserupaan runtuh, dan klasifikasi dibuat untuk mengukuhkan identitas dan perbedaan. Kata kunci pada zaman ini adalah representasi (representation). Ketiga, episteme modern dari tahun 1800 sampai sekarang. Pada zaman ini konsep-konsep yang penting adalah “perkembangan,” “evolusi,” dan

72 Potts, “Knowledge and Power” 73 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (London: J. M. Dent & Sons, 1934) 72-81.

“kontuinitas historis.” 74 Episteme-episteme ini membentuk lapisan-lapisan pemikiran bukan berbentuk sebuah sejarah ide yang berkesinambungan. Upaya Foucault untuk

mencoba memahami episteme tiap zaman ini disebut dengan “arkeologi.” 75 Dari paparan di atas maka dapat kita katakan bahwa Foucault sukar melihat

adanya perkembangan atau pertumbuhan di dalam sejarah pengetahuan dalam pengertian penemuan lebih banyak kebenaran. Yang ada adalah pergantian episteme dengan episteme yang lain. Jika episteme ini yang menguasai suatu zaman maka tidak ada zaman yang bebas dari episteme sehingga tidak ada teori atau pengetahuan yang bersifat netral yang dapat memandang dunia apa adanya. Episteme ini merupakan “ciptaan” zaman yang dapat ditinggalkan dan digantikan oleh episteme yang lain. 76

Konsep Kuasa dan Pengetahuan Salah satu tema yang mendominasi pemikiran Michel Foucault pada tahapan

berikutnya adalah tentang kuasa dan relasinya dengan pengetahuan. Bagi Foucault kuasa bukan sesuatu yang dapat kita miliki sehingga kuasa dapat kita peroleh, pertahankan, bagi, tambah, atau kurangi. 77 Jika kita melihat bahwa ada orang, institusi, atau kelompok masyarakat tertentu yang memegang kuasa itu terjadi karena kita bertindak sedemikian rupa untuk mendukung orang, institusi, atau kelompok yang berkuasa tersebut sehingga mereka terlihat memiliki kuasa. Kuasa bukan pula sesuatu yang tunduk pada kepentingan ekonomi dan melayani kepentingan tersebut.

74 Bertens, Filsafat Barat II.216. 75 Untuk memahami konsepnya tentang arkeologi ini lihat Foucault, Menggugat Sejarah 9, 188,

196-198, 236-253. 76 Potts, “Knowledge and Power.” Konsep episteme Foucault ini mirip dengan konsep paradigma

dari Thomas Kuhn. Perbedaannya adalah paradigma terbatas pada teori saintifik yang menentukan teori- teori ilmiah tertentu sedangkan episteme lebih luas pada semua pengetahuan di dalam kebudayaan manusia dan yang menentukan pengetahuan apa yang mungkin (ibid.).

77 Bertens, Filsafat Barat II.320.

Bagi Foucault kuasa tersebut tersebar luas di dalam masyarakat melalui jaringan kerja di dalam masyarakat dan melalui interaksi-interaksi antar individual. Jaringan kerja kuasa ini seumpama pembuluh-pembuluh darah di dalam tubuh manusia meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat. Foucault menjelaskan bahwa analisis kekuasaan seharusnya tidak memusatkan perhatian pada tingkat atau level tujuan yang memiliki kesadaran tetapi pada mekanisme kuasa, strategi kuasa, atau penerapan kuasa. 78 Hal ini disebabkan karena kuasa dipraktekkan di dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami

pergeseran. 79 Kuasa beroperasi di mana saja, di mana terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi. Kuasa bekerja di mana ada manusia yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain dan dengan dunia sekelilingnya.

Mekanisme kuasa ini tidak datang dari luar mekanisme itu sendiri tetapi mekanisme kuasa ini justru bekerja dari dalam mekanisme itu sendiri. Mekanisme kuasa tersebut yang menentukan susunan, aturan-aturan, hubungan-hubungan antar manusia, dan hubungan manusia dengan dunia, bahkan mekanisme kuasa tersebut yang memungkinkan semua itu terjadi dan berlangsung. Mekanisme kuasa yang menentukan dan memungkinkan, misalnya, hubungan sosial ekonomis, hubungan keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan bahkan ilmu pengetahuan. 80

Dengan demikian maka kekuasaan menciptakan realitas, kuasa menciptakan domain obyek dan ritual kebenaran. Pelaksanaan kuasa menciptakan dan melahirkan obyek pengetahuan yang baru. 81 Kuasalah yang menghasilkan dan

78 Madan Sarup, Post-Structuralism and Postmodernism (Yogyakarta: Jendela, 2003) 126. 79 Bertens, Filsafat Barat II.320. 80 Ibid. 81 Sarup, Post-Structuralism 127.

mengontrol epistemologi, struktur teoritis, taksonomi pengetahuan formal, kode-kode kultural yang melaluinya orang-orang menjalankan peran mereka, diskursus sosial yang lancar antar etnik dan kelas masyarakat. 82

Dengan konsep kuasa seperti di atas maka kuasa akan menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan tidak berasal dari subyek yang mengetahui tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subyek tersebut. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa bagi Foucault tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Namun Foucault juga mengatakan bahwa tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Kuasa memerlukan pengetahuan untuk menjalankan pengaruh dan kontrolnya. Tanpa pengetahuan kuasa tidak mungkin dijalankan. Di sini terdapat korelasi antara kuasa dan pengetahuan yang bersifat resiprokal (timbal balik). Foucault mengatakan:

Power produces knowledge. . . . Power and knowledge directly imply one another; . . . there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relations. These ‘power-knowledge relations’ are not to be analysed, therefore, not on the basis of a subject of knowledge who is or is not free in relation to the power system, but, on the contrary, the subject who knows, the objects to be known and the modalities of knowledge must be regarded as so many effects of these fundamental implications of power-knowledge and their historical transformations. In short, it is not the activity of the subject of knowledge that produces a corpus of knowledge, useful or resistant, but power- knowledge, the processes and struggles that traverse it and of which it is made up, that determines the form and possible domains of knowledge. 83

Dari pernyataan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Foucault: “pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Kuasa

82 Koray Velibeyoglu, “Post-structuralism and Foucault,” http://www.angelfire.com/ar/corei/ foucault.html.

83 Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (New York: Vintage, 1979) 27- 28, dikutip dari Erickson, Truth or Consequences 142-143.

dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang sama. Tidak mungkin pengetahuan itu netral atau murni.” 84

Selanjutnya Foucault menjelaskan bahwa kebenaran bukan dipahami dalam pengertian tradisional sebagai korespondensi atau koherensi. Ia menolak konsep kebenaran yang obyektif. Bagi Foucault kebenaran adalah hasil buatan atau fiksi. Kebenaran adalah: “a system of ordered procedures for the production, regulation,

distribution, circulation and operation of statement.” 85 Kebenaran ini sangat berkaitan erat dengan kuasa karena kuasa yang menghasilkan dan menopang prosedur tersebut. Ia, mengikuti perspektif Nietzschean, menjelaskan lebih lanjut bahwa klaim kebenaran adalah produk kehendak untuk berkuasa yang tersebar luas di dalam bahasa, wacana, atau reprentasi. Foucault berkata:

The important thing here, I believe, is that truth isn’t outside power, or lacking in power: contrary to a myth whose history and functions would repay further study, truth isn’t the reward of free spirits, the child of protracted solitude, nor the privilege of those who have succeeded in liberating themselves. Truth is a thing of this world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. 86

Kelompok di dalam masyarakat yang dapat mengontrol pengetahuan dan bagaimana mengggunakan pengetahuan tersebut akan memiliki kemampuan untuk menentukan apa itu kebenaran. Dengan kata lain institusi, aliran pemikiran, universitas, pemimpin yang berkharisma, orang tua, dan guru-guru semuanya dapat berkoloborasi untuk menciptakan sebuah konteks di mana sebuah wacana atau diskursus diteguhkan sebagai “benar.” Kebenaran adalah sesuatu yang hanya muncul didalam sekumpulan aturan tertentu, ia hanya muncul di dalam sebuah struktur aturan yang mengontrol bahasa dan wacana.

84 Bertens, Filsafat Barat II.321. 85 Michel Foucault, “Truth and Power,” dalam Power/Knowledge (ed. Colin Gordon; New York:

Pantheon, 1980) 133, dikutip dari Erickson, Truth or Consequences 146-147. 86 Foucault, “Truth and Power,” 133 dikutip dari ibid. 143.

Oleh sebab itu kebenaran dapat mendukung sistem penindasan dengan mengidentifikasi standar-standar yang harus dipatuhi dan diikuti oleh orang-orang. Apa yang disebut “gila” atau “kriminal” bukan bergantung kepada kriteria obyektif tetapi berdasarkan standar-standar dan kepentingan-kepentingan sistem yang berkuasa.

Tiap-tiap masyarakat memiliki “rejim kebenaran” atau “politik kebenaran yang umum” yang menjalankan kepentingan masyarakat tersebut. 87 Kebenaran melayani kepentingan masyarakat dengan cara melestarikan ideologinya, dan menyediakan pembenaran rasional bagi pemenjaraan dan penyingkiran mereka yang menentang pandangan umum masyarakat. Oleh sebab itu kebenaran merupakan konsep yang luwes dan bukan konsep yang statis atau permanen. Ia dapat berubah dan diganti karena perubahan relasi kuasa di dalam masyarakat.

Konsep Diri (Self) Foucault Michel Foucault menolak konsep diri (self) dari Pencerahan, di mana diri atau subyek merupakan subyek pengetahuan yang otonom.

Subyek pengetahuan ini memandang dunia sebagai sebuah obyek yang dapat diakses oleh pengetahuan manusia. Subyek rasional ini berhadapan dengan dunia obyek dan berusaha merepresentasi dunia obyek tersebut. Melalui representasi tersebut, subyek pengetahuan berupaya untuk menguasai dunia obyek tersebut. 88 Asumsi pandangan ini adalah bahwa persepsi dari

87 McGrath, A Passion 193. Rejim kebenaran merupakan fungsi dari kuasa yang memproduksi dan mempertahankan kebenaran. Ia tidak bersifat ideologis atau suprastruktural tetapi meresap di dalam

masyarakat bersama relasi kuasa sehingga dipandang bagian dari masyarakat untuk mengabsahkan kuasa yang ada.

88 Thomas McCarthy, “The Critique of Impure Reason,” http://www.geocities.com/mllora3/ impure_reason.htm. Subyek ini biasanya disebut sebagai subyek Cartesian karena berawal dari filsafat

rasionalisme Rene Descartes yang mengangkat subyek menjadi penentu kebenaran, makna, dan bersifat transendental.

manusia dapat memberikan representasi yang akurat mengenai dunia luar dan menjadi dasar yang valid bagi pengetahuan mengenai dunia luar tersebut.

Foucault mendekonstruksi konsep subyek pengetahuan yang transenden. Foucault melakukannya dengan memaparkan kondisi realitas. Foucault—mengikuti Nietzsche—menjelaskan bahwa realitas sangat kaya dan majemuk. Wacana rasional dan rasio membuat kemajemukan realitas tersebut tersingkirkan dengan cara “memotong” kemajemukan agar menjadi homogen dan pas dengan konsep-konsep kita. Dengan demikian maka wacana rasional mengangkat kesamaan dan universalitas dengan

mengorbankan perbedaan atau “yang lain.” 89 Akibatnya, tindakan mengetahui sama dengan kekerasan karena menyingkirkan “yang lain” dan memaksa “yang lain” menjadi sama dengan konsep-konsep kita.

Selain realitas yang mejemuk, dekonstruksi subyek dilakukan dengan mengatakan bahwa subyek pengetahuan tidak lain hasil dari produk zaman dan masyarakat tertentu. Foucault, menggunakan alat strukturalisme dan geneologi Nietzschean, mengatakan bahwa subyek pengetahuan dibentuk oleh ideologi masyarakat dan bergantung kepada episteme masyarakat. Bahkan pengalaman subyektif manusia ditentukan secara sosial dan historis oleh faktor-faktor yang kita internalisasi tanpa kita sadari. 90 Oleh sebab itu subyek pengetahuan merupakan makhluk sosial yang perbuatan dan pemikirannya mencerminkan situasi, kepentingan, dan relasi kuasa masyarakatnya. Ini merupakan serangan Foucault terhadap klaim kebenaran dan nilai-nilai Pencerahan. Christopher Norris meyimpulkan:

Foucault . . . extends and radicalizes this attack on the truth-claims and values of Enlightenment critique. And he will do so chiefly by exposing the subject in its

89 Grenz, A Primer 127. 90 Ibid.

various guises (whether the ‘transcendental’ subject of Kantian philosophy, the writing subject as discussed in his essay ‘What Is An Author?’, or the autonomous self of humanist ethical discourse) to a full-scale process of rhetorical deconstruction whereby its existence is supposedly revealed as the merest of contingent historical episodes or superinduced ideological effect. 91

Foucault juga memperlihatkan bahwa subyek pengetahuan sebagai subyek yang transenden merupakan penemuan baru, penemuan pada abad ke-19 dan ke-20. Maksudnya bukan pada zaman sebelumnya tidak ada manusia. Tetapi baru pada abad ke-

18 dan ke-19 Allah kehilangan tempat-Nya sebagai pusat kokoh segala sesuatu, yang menjadikan pengetahuan menjadi mungkin yang mengakibatkan manusia ditinggalkan seorang diri dan menjadi pusat segala sesuatu. Ia menjadi sumber pengetahuan dan sekaligus menjadikan manusia sebagai obyek pengetahuan pula sehingga muncul pengetahuan tentang manusia seperti psikologi, sosiologi, dan studi mengenai kesusastraan. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia yang muncul sebagai subyek dan obyek adalah hasil dari suatu perubahan episteme. Karena adanya perubahan pada manusia (karena menyejarahnya manusia) maka ilmu-ilmu tentang manusiapun akan kehilangan obyektifitasnya. Oleh sebab itu, menurut Foucault, manusia sebagai subyek transenden ini tidak berlangsung lama, karena kita sekarang menyaksikan akhir dari periode tersebut. Menurut Foucault manusia akan mengalami kematian. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam seluruh kultur. 92 Manusia sebagai sumber tingkah laku yang otonom akan hilang. Manusia tidak lagi merupakan titik pusat. Jika demikian maka manusia bukan lagi subyek yang transenden, ia juga tidak memiliki prinsip yang menyatukan manusia karena manusia tiap zaman berbeda. Foucault sendiri mengatakan:

91 Norris, The Truth 31. 92 Bertens, Filsafat Barat II.217.

One thing in any case is certain: man is neither the oldest nor the most constant problem that has been posed for human knowledge. Taking a relatively short chronological sample within a restricted geographical area—European culture since the sixteenth century—one can be certain that man is a recent invention within it. . . . In fact, among all the mutation that have affected the knowledge of things and order, . . . only one, that which begun a century and a half ago and is now perhaps drawing to a close, has made it possible for the figure of man to appear. And that appearance was not the liberation of an old anxiety, the transition into luminous consciousness of an age-old concern, the entry into objectivity of something that had long remained trapped within beliefs and philosophies: it was the effect of a change in the fundamental arrangements of knowledge. As the archaeology of our thought easily shows, man is an invention of recent date. And one perhaps nearing its end. If those arrangements were to disappear as they appeared . . . then one can certainly wager that man would be erased, like a face drawn in sand at the edge of the sea. 93

Kesimpulan Memang pemikiran Foucault tidak dapat direduksi ke dalam suatu sistem yang memang ia sendiri menolaknya. Tetapi kumpulan tema-tema pemikirannya dapat kita amati. Bagi Foucault subyek pengetahuan bukanlah subyek yang transenden tetapi hasil

dari sistem kuasa, ideologi, dan episteme suatu masyarakat. Subyek ini didefinisikan oleh masyarakat melalui relasi kuasa yang bekerja di dalam masyarakat tersebut. Masyarakat dan zaman yang berbeda akan mendefinisikan subyek pengetahuan secara berbeda. Hal ini mengakibatkan produk-produk yang dihasilkan manusia—seperti definisi kegilaan, klinik, bahkan pengetahuan—adalah hasil dari suatu episteme dan relasi kuasa bahkan keberadaan dan kelangsungan produk-produk manusia tersebut bergantung kepada mereka. Jika demikian maka realitas, pengetahuan dan kebenaran adalah produk dari suatu zaman tertentu. Zaman dan masyarakat tertentu yang mendefinisikan kebenaran dan akan menyingkirkan atau mengabaikan pandangan atau pengetahuan

93 Foucault, “The Order of Things” 386-387.

minoritas. 94 Konsep kebenaran seperti ini adalah konsep kebenaran yang cair bukan statis dan permanen bergantung kepada zaman dan masyarakat.

JACQUES DERRIDA: SANG PEMBONGKAR Konteks filosofis pascamodernisme yang paling kuat terletak di dalam teori sastra (literary theory) yaitu pada teori dekonstruksionisme di mana Jacques Derrida merupakan salah satu pendukungnya. Jacques Derrida merupakan puncak dari hermeneutika pascamodern. Apa yang Derrida kerjakan di dalam karya-karyanya bukan membuang hermeneutika tetapi membuatnya lebih radikal. 95

Riwayat Hidup dan Karya-Karyanya Jacques Derrida dilahirkan pada tahun 1930 dari keluarga Yahudi Sephardic di El Biar, Alzajair. Ia lahir ke dalam lingkungan yang menjalankan diskriminasi terhadap

orang-orang Yahudi. Ia pernah keluar dari sekolah atau dipaksa keluar dari sekolah hanya karena ia orang Yahudi. Ia pernah dikeluarkan dari sebuah sekolah karena kebijaksanaan batas 7% populasi orang Yahudi di sekolah. Ia juga pernah keluar dari sebuah sekolah karena suasana sekolah yang anti-semitisme. Meskipun Derrida seringkali menolak kaitan antara biografinya dengan karya-karyanya namun kita dapat melihat bahwa pengalaman Derrida tersebut memainkan peranan penting di dalam pemikiran Derrida tentang kaum marjinal dan “yang lain (the other).” 96

Pada tahun 1949 ia pindah ke Perancis dan belajar di Ecole Normale Superiuere di Paris. Ia belajar fenomenologi di bawah bimbingan Jean Hyppolite bersama dengan

94 Erickson, Truth or Consequences 149. 95 Thiselton, New Horizon 103, 51. 96 Jack Reynolds, “Derrida, Jacques” http://www.iep.utm.edu/d/derrida.htm.

Emmanuel Levinas dan Paul Ricouer. Pada masa ini ia sampai pada kesadaran bahwa filsafat sebenarnya merupakan salah satu jenis genre sastra. Pada tahun 1955 ia memulai karier akademiknya sebagai filsuf akademis. Ia menjadi dosen di Ecole Normale

Superieure dan Sorbonne. 97 Pada tahun 1960-an Derrida muncul sebagai seorang intelektual muda yang menulis untuk jurnal yang memiliki pemikiran progresif Tel Quel. Pada tahun 1962 ia menerbitkan karya pertamanya yaitu terjemahan tulisan Edmund Husserl (1859-1938), seorang fenomenologis, yang berjudul Origin of Geometry bersama

dengan suatu kata pengantar kritis yang cukup panjang. 98 Derrida mulai mendapat perhatian publik pada akhir tahun 1965 ketika ia menerbitkan dua artikel panjang yang membahas buku-buku tentang sejarah dan bentuk penulisan di jurnal Critique, sebuah jurnal yang terbit di Paris. Karya-karya ini menjadi landasan bagi buku Derrida selanjutnya yaitu of Grammatology. 99

Pada tahun 1967 Derrida menerbitkan tiga buku sekaligus. Buku pertamanya berjudul Writing and Difference, buku kedua berjudul Speech and Phenomena and other Essays on Husserl’s theory of Sign, yang merupakan kritik terhadap teori makna Husserl. Buku ketiga berjudul of Grammatology yang merupakan bukunya yang paling terkenal.

Pada tahun 1972, Derrida mulai mengajar di berbagai universitas di Amerika Serikat, termasuk John Hopkins dan Yale. Derrida sangat berpengaruh di kalangan intelektual pantai timur Atlantik seperti New York, Baltimore, dan Cambridge. Tetapi lama kelamaan hampir seluruh daratan Amerika Serikat mendapatkan pengaruhnya. Pada tahun 1972 ini pula Derrida menerbitkan tiga buku lagi. Buku pertama berjudul

97 Grenz, A Primer 139. 98 Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003)

10. 99 John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 2001) 169.

Margins of Philosophy yang berisi rangkaian studi tentang Heidegger, Hegel, Husserl, Valery (seorang penyair Perancis), Aristoteles, Austin (seorang filsuf analitik), dan lain- lainnya. Buku kedua berjudul Dissemination yang berisi studi tentang Plato dan Mallarme (seorang sastrawan Perancis). Buku ketiga berjudul Position yang berisi wawancara beberapa tokoh dengan Derrida. 100

Pada tahun 1973 Derrida menulis sebuah pengantar untuk buku Essai sur l’origene des connaissances humaines yang akhirnya diterbitkan sebagai sebuah buku (1976) dengan judul L’archeologie du frivole (Arkeologi tentang Yang Sembrono). 101 Berikutnya ia menerbitkan karya monumentalnya Glas (1974) di mana tiap halaman di dalam buku tersebut terdiri dari dua kolom yang sejajar. Kolom yang sebelah kiri memberikan komentar terhadap teks Hegel tentang keluarga, sedangkan kolom sebelah kanan menganalisa teks Jean Genet (seorang sastrawan Perancis). Buku ini dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dari kiri ke kanan dengan menggabungkan teks Hegel dan Genet. Buku-bukunya yang lain adalah The Truth in Painting (1978), Spurs: Nietszche’s Style (1978), The Post Card: From Socrates to Freud and Beyond (1980), Off Spirit: Heidegger and the Question (1990), Specters of Marx (1993). 102 Pada saat ini Derrida menjadi dosen di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris.

Derrida sendiri mendapat pengaruh dari Friedrich Nietszche (1844-1900), Sigmund Freud (1856-1939), Martin Heidegger (1889-1976), dan Edmund Husserl. Derrida menyebut Nietzsche, Freud, dan Heidegger sebagai:

. . . proto-gramatolog. Nietzsche adalah seorang filosof yang mencabik-cabik lapangan yang dijadikan landasan pengetahuan. Freud adalah psikholog yang

100 Bertens, Filsafat Barat II.326. 101 Ibid. II.327. 102 Ibid.

mempertanyakan psikhe. Heidegger adalah seorang ontolog yang meletakkan Mengada di bawah tanda silang. 103

Mereka ini yang memberikan pengaruh kepada Derrida dan menolong Derrida untuk menemukan Gramatologi. Thiselton menyimpulkan bahwa dekonstruksionisme yang dibangun oleh Derrida merupakan gabungan antara teori semiotika dan pandangan dunia pascamodern dalam hal ini pandangan dunia yang dipengaruhi oleh Nietzsche, Freud dan dibantu oleh filsafat Heidegger akhir (late Heidegger). 104

Derrida berusaha—dengan metode tekstual analisis yang canggih—untuk meruntuhkan usaha filsafat Barat yang bersifat logosentris untuk membangun fondasi kesadaran manusia, suatu fondasi pengetahuan manusia. Menurut Derrida upaya untuk membangun epistemologi pengetahuan atau suatu hermeneutika adalah upaya yang sia- sia. Upaya tersebut telah dikerjakan oleh filsafat Barat selama berabad-abad. Untuk menunjukan kesia-siaan upaya tersebut ia menggunakan kritik metafisika Barat yang dilakukan oleh Nietzsche dan Heidegger. Derrida ingin memperlihatkan bahwa filsafat merupakan suatu bagian dari interpretasi. Ia juga memperlihatkan “tekstualitas” semua jenis wacana sehingga perbedaan antara filsafat dan literatur menjadi kabur. Kevin J. Vanhoozer mengomentari upaya Derrida ini dengan mengatakan:

Derrida, like Bacon, is an iconoclastic thinker, though the idols that he seeks to overthrow concern meaning and interpretation. We might term these the idols of the sign: the idol of reliability (the sign corresponds to the reality), the idol of determinacy (the sign has a single, fixed sense), and the idol of neutrality (the sign is a descriptive, not prescriptive or political, instrument). Derrida is an unbeliever in the reliability, decidability, and neutrality of the sign. He seeks to “undo” their privileged place in Western culture through another reflection on sign that focuses on their instability, undecidability, and partiality. 105

103 Spivak, Membaca Pemikiran 97-98. Gramatologi merupakan ilmu tentang tulisan atau sains tentang tulisan.

104 Thiselton, New Horizon 21, 47, 51, 91-92. 105 Kevin Vanhoozer, Is There a Meaning in this Text? (Grand Rapids: Zondervan, 1998) 39.

Penekanan oleh penulis buku.

Apa yang ingin dicapai melalui pembongkaran filsafat ini oleh Derrida adalah pembebasan terhadap tradisi, kebenaran, otoritas, dan penindasan sosial. Derrida mengklaim bahwa dekonstruksi membebaskan dengan cara membongkar realitas, atau membongkar klaim-klaim yang menyatakan telah menginterpretasi realitas dengan benar. Sebab klaim-klaim ini merupakan belenggu yang membatasi kebebasan dan kreativitas manusia. 106

Dasar Filsafat Barat: Logosentrisme dan Fonosentrisme Seperti yang telah kita lihat di atas, Derrida ingin membongkar rasionalisme Barat

dan ingin masuk ke dalam pemikiran yang bersifat pascamodern. Berbeda dengan Heidegger yang juga ingin meninggalkan filsafat Barat dan melampaui filsafat Barat dengan menggunakan metode “destruksi metafisika,” 107 maka Derrida memberi nama baru untuk upaya ini yaitu “dekonstruksi” dan memberi nama baru untuk metafisika Barat yang ingin dikritiknya dengan nama-nama yang bersifat linguistik seperti fonosentrisme dan logosentrisme.

Derrida melanjutkan pembongkaran terhadap metafisika Barat dengan istilah-istilah linguistik struktural (berdasarkan filsafat bahasa pascastrukturalisme). Ia mengkritik metafisika Barat lewat studi bahasa. 108

Di balik tradisi filsafat Barat ini terdapat sebuah konsep yang mendasari seluruh tradisi filsafat Barat. Konsep ini oleh Derrida disebut sebagai logosentrisme. Istilah ini merupakan istilah yang elastis. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan minat para

106 Ibid. 40. 107 Destruksi metafisika ini tampil sebagai kritik atas rasio yang berpusat pada subyek yang berasio.

Bagi Derrida, Heidegger adalah contoh terbaik dari seseorang yang telah mencoba menulis filsafat secara tidak filosofis, untuk berfilsafat di luar filsafat, dan menjadi pemikir pasca filsafat. Tetapi upaya Heidegger ini gagal (Sugiharto, Postmodernisme 48).

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, & Postmodernisme menurut Jurgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 1993) 207.

It could be shown that the names related to fundamentals, to principles, or to the center have always designated an invariable presence—eidos, arche, telos, energeia, ousia, (essence,

existence, substance, subject), aletheia, transcendentality, consciousness, God, man, and so forth. 109

Logosentrisme adalah kepercayaan bahwa kenyataan yang pertama dan yang terakhir adalah logos, Sang Firman, Pikiran Ilahi, pemahaman Tuhan yang tak terbatas, subyektifitas kreatif tak terbatas, dan, yang berkembang di zaman kita ini, kesadaran-diri sempurna yang menghadirkan dirinya sendiri. 110 Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa logosentrisme merupakan kepercayaan bahwa “there is some stable point outside language—reason, revelation, Platonic Ideas—from which one can ensure that one’s words, as well as the whole system of distinction that order our experience, correspond to the world.” 111 Logosentrisme merupakan suatu keinginan untuk meletakan keyakinan- keyakinan dan nilai-nilai kita pada sebuah pusat, pada satu titik referensi, dan pada suatu asal yang terutama sehingga keyakinan dan nilai-nilai tersebut memiliki dasar dan benar. Dengan kata lain, logosentrisme merupakan prasuposisi dasar atau fundamental bahwa

109 Jacques Derrida, Writing and Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1978) 279-280, dikutip dari Erickson, Truth or Consequences 115.

110 Spivak, Membaca Pemikiran 134. 111 Vanhoozer, Is There a Meaning 53.

kita dapat berbicara dengan benar, bahwa percakapan kita adalah mengenai realitas bukan percakapan tentang percakapan itu sendiri. 112

Logosentrisme merupakan konsep filsafat yang mewarnai filsafat Barat dari sejak Plato, Aristoteles, Kant, Hegel, hingga Wittgenstein dan Heidegger.

Konsep logosentrisme ini terdapat dengan jelas di dalam filsafat Plato yang menjadi paradigma filsafat Barat dan yang hendak dibongkar atau didekonstruksi oleh Derrida. Plato memandang bahwa ada suatu wilayah kebenaran-kebenaran, yaitu Bentuk-bentuk yang kekal (eternal Forms), yang berbeda dengan dunia temporal dan partikular. Dunia temporal adalah cerminan dari dan memiliki jangkarnya pada dunia Ide atau Bentuk- bentuk kekal. Oleh sebab itu dunia temporal ini, meski terbatas dan tidak sempurna, memiliki sauh di dalam dunia Ide yang kekal sebagai jaminan kebenaran dunia temporal. Sebagai jalan masuk ke dalam dunia Ide tersebut adalah rasio manusia. Rasio manusia dapat memasuki dunia Ide kekal tersebut secara langsung tanpa melalui perantaraan bahasa karena rasio manusia pernah ada di dalam dunia Ide tersebut sebelum rasio tersebut lahir dan terperangkap dalam tubuh manusia. Di sini rasio manusia berperan sebagai penjamin bahwa apa yang manusia percakapkan tidak menyimpang dari kebenaran karena sesuai dengan realitas Ide dan realitas temporal. Apa fungsi bahasa atau tanda-tanda bagi Plato di sini? Bagi Plato tanda-tanda (sign) bermakna karena mereka berhubungan dengan realitas dengan cara mewakili, menyerupai, dan merepresentasi hal-hal temporal atau pikiran-pikiran manusia. Hal-hal temporal dan pikiran-pikiran manusia ini merepresentasi Ide-Ide kekal (eternal Ideas). Dengan demikian maka bagi Plato tanda-tanda merupakan kehadiran yang menggantikan baik hal-hal temporal maupun pikiran-pikiran manusia itu sendiri. Maka bahasa bersifat

112 Ibid.

derivatif dan bukan orisinal. Bahasa adalah tanda kehadiran meskipun ia bukan benda itu sendiri. 113 Bagi Plato bahasa dapat mengatakan kebenaran asal bahasa tersebut menggambarkan realitas atau pikiran manusia dengan baik. Konsep bahasa Plato ini juga muncul di dalam aliran positivisme logis dan Ludwig Wittgenstein awal yang mengajukan teori bahasa sebagai gambar. Bagi mereka bahasa berfungsi untuk memberi nama, untuk menggambarkan, untuk menunjukkan obyek, fakta, dan dunia.

Plato kemudian membedakan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan. Tulisan bagi Plato bergeser dua langkah dari dasar realitas (Ide-Ide kekal) karena tulisan merupakan imitasi dari dunia temporal dan pikiran manusia yang, pada giliran selanjutnya, merupakan imitasi dari dunia Ide yang kekal. Tulisan bergeser dua langkah dari kebenaran. Tulisan juga bergeser selangkah dari pikiran manusia. Akibatnya tulisan memiliki resiko disalahpahami dan tulisan juga dapat bersifat ambigu. Dengan demikian, bagi Plato, bahasa tulisan kurang kehadiran langsung dari pengarang.

Sedangkan bahasa lisan lebih dekat kepada pikiran manusia. Bahasa lisan lebih dekat kepada kebenaran karena di dalam bahasa lisan pembicara hadir untuk menjamin bahwa kata-katanya akan dihubungkan dengan dunia realitas sebagaimana yang pembicara tersebut maksudkan. Di dalam bahasa lisan makna hadir secara langsung tanpa diperantarai. Dalam bahasa lisan makna tampak imanen terutama ketika kita menggunakan suara batin kesadaran yaitu ketika kita berbicara pada diri kita sendiri. Pada saat kita berbicara, kita tampak memahami makna karena kehadiran langsung dari pembicara terhadap dirinya sendiri sehingga makna dan kebenarannya tidak dipengaruhi oleh sesuatu di luar pembicara dan hadir secara langsung. Selain itu, di dalam sebuah

113 Ibid. 53-54. Lihat juga David R. Keller, “Deconstruction: Fad or Philosophy?” http://www. uvsc.edu/admin/ academics/kellerda/old/HumanitasXIV2%282002%2958-75.pdf 113 Ibid. 53-54. Lihat juga David R. Keller, “Deconstruction: Fad or Philosophy?” http://www. uvsc.edu/admin/ academics/kellerda/old/HumanitasXIV2%282002%2958-75.pdf

Oleh sebab itu Plato lebih memprioritaskan bahasa lisan daripada bahasa tulisan. Derrida menyebut prioritas ini sebagai fonosentrisme. 114 Fonosentrisme di dalam filsafat Barat, mulai dari Plato sampai Heidegger dan Levi-Strauss, menyebabkan bahasa tulisan dipandang sebagai turunan bahasa lisan. Bahasa tulisan hanya transkripsi dari bahasa lisan. Di balik fonosentrisme ini terdapat suatu konsep manusia tertentu.

Konsep bahwa manusia dapat mengekspresikan diri dan bahwa manusia dapat menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan kebenaran tentang diri mereka. Oleh sebab itu dapat kita lihat bahwa fonosentrisme ini sendiri muncul sebagai akibat dari logosentrisme.

Logosentrisme berkaitan dengan metafisika kehadiran. Derrida menyebut metafisika sebagai sains tentang kehadiran. Filsuf-filsuf Barat mengasumsikan bahwa di fondasi bahasa kita terdapat suatu kehadiran dari keberadaan (a presence of being) atau suatu esensi yang dapat kita ketahui. Para filsuf tersebut yakin bahwa bahasa (sistem “tanda” linguistik) dapat menandai atau merepresentasi realitas di dalam hakekatnya yang paling esensial. Akibatnya mereka mencari beberapa kata, kehadiran, esensi, kebenaran, atau realitas yang paling utama untuk berfungsi sebagai fondasi bagi pemikiran, bahasa, dan pengalaman manusia. Kata, kehadiran, esensi, kebenaran, atau realitas yang terutama ini disebut juga sebagai petanda transendental (the transcendental signified), sebuah referensi di luar bahasa yang dapat menghindar dari permainan bahasa tanpa akhir. Para filsuf tersebut memberikan beragam label bagi fondasi ini seperti Allah, Ide Platonik, Roh Dunia (the World Spirit), Diri (the Self). Label-label ini sendiri disebut sebagai penanda transendental (transcendental signifier). Para filsuf tersebut juga menyatakan

114 Sarup, Post-Structuralism 58.

bahwa kita memiliki akses terhadap logos yang berotoritas tersebut (pikiran ilahi, pemahaman Allah yang tidak terbatas, subyektivitas kreatif yang tak terbatas, atau kesadaran diri sempurna yang menghadirkan dirinya sendiri) untuk menjamin korespondensi bahasa dengan realitas. 115

Logosentrisme dan fonosentrisme sebagai turunannya sangat berkaitan dengan sentrisme. Sentrisme ini merupakan upaya manusia untuk menempatkan kehadiran yang sentral di awal dan akhir. Kerinduan pada pusat ini yang kemudian menjadi kekuatan pengekang yang melahirkan konsep oposisi yang bersifat hirarkis, seperti surga/bumi, baik/jahat, ada/tidak ada, suara/tulisan, jiwa/tubuh. Pengertian yang lebih tinggi kedudukannya di dalam oposisi tersebut masuk ke dalam kategori kehadiran dan logos, sementara pengertian yang lebih rendah berfungsi meneguhkan status pengertian yang superior tersebut dan menandai adanya kejatuhan (Fall) dari status superior tersebut. 116

Dekonstruksi Metafisika Barat: Membongkar Logosentrisme Derrida tidak menyukai logosentrisme ini. Bagi Derrida klaim-klaim kepastian

rasio adalah tirani yang hanya dapat ditegakkan oleh penindasan atau peniadaan terhadap apa yang tidak pasti, apa yang tidak sesuai, apa yang berbeda. Klaim-klaim rasio tidak tertarik kepada “yang lain” (the other). Bagi Derrida sebuah sistem kepercayaan akan menyingkirkan perbedaan dan mengakibatkan politik otoritarianisme. Ini yang dialami oleh Derrida di mana ia harus keluar atau dikeluarkan dari sekolah karena keyahudiannya. Oleh sebab itu ia berupaya membongkar logosentrisme. Di dalam upaya Derrida untuk membongkar metafisika Barat dengan logosentrismenya ia menggunakan strategi

115 Grenz, A Primer 142. 116 Spivak, Membaca Pemikiran 134-135.

dekonstruksi. Melalui strategi ini Derrida ingin membongkar pandangan bahwa filsafat merupakan ilmu murni yang obyektif. Derrida ingin menempatkan filsafat pada tempatnya dengan menunjukan batas-batas filsafat. Melalui strategi ini pula Derrida ingin membantah pemahaman umum bahwa ada korespondensi langsung antara bahasa manusia dan dunia eksternal. 117 Derrida menyatakan bahwa para filsuf tidak dapat, baik dengan refleksi maupun refleksi diri, melampaui batasan sudut pandang mereka untuk melihat dunia bahkan diri mereka sendiri seperti yang dilakukan Allah.

Dekonstruksi merupakan istilah yang diciptakan oleh Derrida. Dekonstruksi bukanlah destruksi karena dekonstruksi tidak membongkar sesuatu dengan kekuatan eksternal tetapi dengan cara melepaskan satu persatu unit-unit suatu bangunan atau sistem dari dalam sistem itu sendiri. Dekonstruksi merupakan upaya melepaskan atau melucuti berbagai lapisan—baik itu lapisan historis, retorikal, maupun ideologis—dari sebuah konsep, perbedaan, teks, dan seluruh filsafat. Tujuan dari pelepasan atau pembongkaran ini adalah memperlihatkan hakekat linguistik yang sembrono dari konstruksi orisinil hal-hal tersebut. Dekonstruksi merupakan metode analitis yang intens sehingga mengakibatkan rubuhnya semua apa yang metode ini analisa dari dalam. Dekonstruksi merupakan semacam pembongkaran (undoing) dengan semua pengertian yang tercakup di dalamnya seperti: melepaskan ikatan, membongkar, dan meruntuhkan. 118

Dekonstruksi ini kemudian diarahkan kepada metafisika Barat yang diwarnai oleh logosentrisme serta fonosentrisme. Upaya dekonstruksi ini kemudian menjadi upaya yang radikal sebagaimana dikatakan oleh Vanhoozer: “Deconstruction is radical

117 Grenz, A Primer 148. 118 Vanhoozer, Is There a Meaning 52.

because it cuts at the root of traditional Western thought and theology: the logos (‘speech,’ ‘word,’ ‘reason’).” 119

Derrida membongkar logosentrisme dengan menggunakan strukturalisme Ferdinand de Saussure (1857-1913). Derrida mengikuti Saussure dengan mengatakan bahwa makna adalah suatu fungsi dari perbedaan di antara tanda-tanda. Makna tidak inheren di dalam tanda, juga tidak di dalam benda-benda yang ditunjuk oleh tanda tersebut. Makna muncul semata-mata akibat hubungan di antara tanda-tanda tersebut yang dalam hal ini adalah hubungan perbedaan. 120 Makna sebuah tanda (signifier) bukanlah hal-hal aktual yang ditunjuk oleh tanda tersebut tetapi suatu konsep (signified) yang secara arbitrer diasosiasikan dengan tanda tersebut. Misalnya huruf-huruf k-u-d-a menandai konsep seekor binatang berkaki empat daripada sebuah konsep batu hanya karena konvensi atau kesepakatan yang bersifat arbitrer di dalam masyarakat Indonesia. Lebih jauh lagi sebuah kata tidaklah menyerupai sesuatu benda tetapi hanya menyerupai kata yang lain. Misalnya “luka” mendapatkan makna “luka” hanya karena ia bukan “buka,” “duka,” “cuka,” atau “rupa,” dan juga karena “luka” bukan “sakit,” “pusing,” “demam,” atau “terkilir.” Dengan kata lain “luka” merupakan tanda yang bersifat arbitrer yang mendapatkan maknanya dari kedudukannya di dalam suatu sistem perbedaan linguistik. Sehingga bagi Derrida bahasa pada dasarnya adalah suatu sistem tanda-tanda yang mendapatkan maknanya dengan cara pembedaan dengan tanda-tanda yang lain. Sebuah tanda bermakna karena ia, di dalam sistem tanda, berbeda dengan tanda-tanda yang lain. 121

119 Ibid. 53. 120 Richard Appignanesi, et.al., Mengenal Posmodernisme (Bandung: Mizan, 1998) 79. 121 Vanhoozer, Is There a Meaning 61.

Di dalam strukturalisme dibedakan antara sistem bahasa (la langue) dengan manifestasi aktual bahasa dalam percakapan atau tulisan (la parole). Sistem bahasa berbicara mengenai aturan dan konvensi dasar (tata bahasa, infrastruktur bahasa) yang memungkinkan sebuah bahasa digunakan. Pemikiran dan percakapan manusia bersifat sekunder dan derivatif sedangkan sistem bahasa lebih utama dan pertama. Tanpa bahasa maka pemikiran manusia bersifat kaos/kacau seperti yang dikatakan Saussure dan disetujui oleh Derrida: “No ideas are established in advance, and nothing is distinct, before the introduction of linguistic structure.” 122 Bagi Saussure struktur bahasa bersifat arbitrer karena bahasa yang berbeda akan menggunakan seperangkat oposisi dan pembedaan yang berbeda. Bahasa membentuk suatu sistem pembedaan yang dialami oleh pembicara sebagai hal yang alamiah namun sebenarnya merupakan hasil konvensi dan bersifat arbitrer. Akibatnya dunia kita—jumlah total kategori-kategori, perbedaan- perbedaan, dan koneksi-koneksi—tidak bersifat kodrati tetapi ditulis oleh manusia. Seorang pembelajar bahasa mempelajari sekumpulan konsep-konsep pembedaan yang menandai makna-makna yang dikonstruksi secara sosial bukan menandai entitas kodrati. 123 Bahkan segala sesuatu merupakan bagian dari suatu sistem pertandaan, termasuk obyek-obyek natural telah “ditulis,” atau telah diklasifikasi oleh sistem-sistem bahasa tertentu. Konsep ini dibawa oleh Derrida lebih lanjut dengan mengatakan bahwa makna bukan benda-benda yang ditunjuk tanda akan tetapi sebuah pergantian satu tanda dengan tanda yang lain tanpa akhir, suatu permainan tanda tanpa akhir yang tidak pernah berhenti kepada sesuatu di luar bahasa (dunia eksternal). Jika demikian maka makna bukan bersifat vertikal dan transenden (menunjuk kepada sesuatu di atas bahasa) tetapi

122 Ferdinand Saussure, Course in General Linguistics (New York: McGraw-Hill, 1959) 110, dikutip dari ibid.

123 Ibid.

horisontal dan imanen di dalam bahasa. Derida menolak dengan tegas adanya transcendental signified (makna transendental) yaitu suatu referensi di luar bahasa yang dijadikan jangkar untuk kestabilan bahasa dan mengakhiri permainan bahasa tanpa henti. Bagi Derrida tidak ada makna yang melebihi bahasa dan hadir bagi pemikiran yang terlepas dari bahasa. Makna selalu terjalin dan tertanam di dalam bahasa. 124 Dengan ini Derrida membongkar asumsi fundamental metafisik bahwa ada akses kepada logos yang berotoritas sebagai penjamin korespondensi bahasa dengan realitas.

Derrida mengatakan bahwa tulisan mendahului bahasa lisan. Tulisan di sini dipahami Derrida lebih luas sebagai semua sistem komunikatif selain vokal. Derrida menjelaskan: “We say ‘writing’ for all that gives rise to . . . cinematography, choreography . . . pictorial, musical, sculptural ‘writing.’” 125 Tulisan di sini dipahami sebagai sistem bahasa yang mendahului percakapan bahkan pemikiran. Oleh sebab itu bagi Derrida subyek yang berbicara dan berpikir selalu didahului oleh kode-kode budaya dan sistem bahasa. Subyek yang berpikir adalah subyek yang berpikir di dalam bahasa. Pikiran manusia tidak dapat menjangkau dunia luar sehingga subyek yang berpikir terperangkap di dalam dunia yang semuanya adalah bahasa. Semua konsep-konsep manusia terkontaminasi oleh bahasa. Tidak ada realitas yang dipahami oleh subyek di luar bahasa. Bahkan kesadaran subyek itu sendiri terstruktur oleh bahasa. Subyek tidak pernah sepenuhnya sadar diri (self-conscious). Akibatnya di dalam tulisan kita hidup dan bergerak. 126

124 Bertens, Filsafat Barat II.333. 125 Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: John Hopkins University Press, 1976) 9, dikutip

dari Thiselton, New Horizon 109. 126 Vanhoozer, Is There a Meaning 62-63.

Oleh sebab itu Derrida menyatakan bahwa kita harus meninggalkan pencarian logosentris terhadap makna yang eksis di luar dan melampaui permainan bahasa tanpa akhir tersebut. Pencarian terhadap petanda transendental (transcendental signified) harus ditinggalkan. Dekonstruksi mengingatkan kita bahwa asal bahasa terdapat pada tulisan dan bukan pada pengalaman langsung terhadap korespondensi pikiran dengan obyek. 127

Differance: Suatu Kemustahilan Pengetahuan Istilah differance merujuk pada dua pengertian yaitu “membedakan” (to differ)— menjadi berbeda atau tidak sama dalam sifat, kualitas, atau bentuk—dan “menangguhkan” (to defer)—menunda, memundurkan. 128 Konotasi kata ini adalah bagaimana tanda-tanda berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana tanda menunda kehadiran. Konsep yang melatarbelakangi kata differance adalah prinsip arbitrariness dan difference dari Saussure yang diradikalisasi oleh Derrida menjadi sebuah pandangan anti metafisik tentang bahasa, pemikiran, dan dunia. 129 Bagi Derrida differance merupakan kategori fundamental di dalam kritiknya terhadap rasio.

Derrida menggunakan differance sebagai penjelasan akan kemustahilan pengetahuan. Differance merupakan wujud nyata penolakan Derrida terhadap proyek Husserl. Derrida, mengggunakan prinsip difference Saussure, menjelaskan bahwa bahasa merupakan lingkaran penanda (signifier) yang tidak berujung. Bila petanda transendental tidak ada maka penanda akan menunjuk kepada penanda yang lain yang pada gilirannya

127 Grenz, A Primer 150. 128 Sarup, Post-Structuralism 73. 129 Thiselton, New Horizons 83. Prinsip arbitrariness adalah prinsip yang mengatakan bahwa

tanda (signifier) berkaitan dengan petanda (signified) secara arbitrer bukan karena esensi pada petanda. Kaitan antara tanda dan petanda adalah hasil kebiasaan, konvensi, dan kemudahan. Prinsip difference menyatakan bahwa setiap tanda-tanda linguistik membawa makna karena relasi perbedaan di dalam sistem bahasa (ibid. 85).

menunjuk kepada penanda yang lain lagi. Dengan demikian bahasa merupakan permainan pembedaan yang diciptakan oleh penanda dan bahasa merupakan hasil dari pembedaan itu. Maka makna selalu tertunda dan tidak pernah pasti dan stabil. 130 Makna selalu berubah setiap waktu dan sesuai dengan perubahan konteks. Perubahan makna ini seperti perubahan makna pada perubahan posisi buah-buah catur. Tiap pergerakan buah catur membuat perubahan makna buah catur. Jika makna dipahami seperti ini maka kita harus terus menerus menunda pemberian makna kepada sesuatu sebagai makna yang final dan stabil. Lebih lanjut Derrida menjelaskan bahwa tanda-tanda yang kita gunakan untuk mengungkapkan maksud kita terperangkap di dalam jaringan relasi perbedaan bahasa. Akibatnya makna tidak terletak di dalam kesadaran yang menyadari dirinya sendiri (self-reflective consciousness) serta yang terisolasi. Kesadaran dan subyek bukan bersifat mandiri dan kodrati tetapi subyek dan kesadaran muncul dari relasi pembedaan dan penyamaan dengan unsur-unsur lain.

Derrida juga menjelaskan bahwa ada kesamaan antara makna dan kesadaran manusia yaitu bahwa mereka sama-sama bergantung kepada bahasa. Bagi Derrida ada keterkaitan antara penanda dan petanda. Tidak ada petanda (signified) atau konsep mental yang eksis tanpa penanda (signifier) atau kata. Karena adanya keterkaitan ini maka differance berfungsi sebagai kritik terhadap konsep bahwa diri (self) dapat eksis sebagai sebuah entitas yang berdiri di luar dari konteksnya. Bahkan tidak ada subyek/diri yang mendahului aktivitas linguistik. 131

Kesimpulan

130 Sarup, Post-Structuralism 73-74. 131 Grenz, A Primer 144.

Dekonstruksi Derrida terhadap logosentrisme menghasilkan ketidakstabilan makna. Makna menjadi tertunda dan hasil dari relasi perbedaan. Tidak ada makna final dan stabil. Namun kita tidak boleh secara prematur menyimpulkan bahwa Derrida menolak kemungkinan kebenaran. Lebih tepat untuk mengatakan bahwa Derrida menghindari pernyataan tentang hakikat kebenaran. Ia mengkritik konsep kebenaran yang tanpa perkecualian, kebenaran yang tidak relatif, kebenaran yang tidak memiliki oposisi. 132 Dengan kata lain Derrida mengajak kita melihat bahwa manusia tidak mungkin memiliki perspektif Allah.

Derrida juga melihat implikasi dari kematian Allah terhadap pengetahuan manusia dan interpretasi. Manusia yang tanpa Allah hanya memiliki pengetahuan manusia (yang dapat salah) dan hanya kebenaran manusia (yang ada selalu ada perkecualian, oposisi dan relatif). Manusia yang terjebak di dalam dunia bahasanya sendiri dan tidak memiliki jalan masuk ke dalam realitas di luar dirinya secara langsung. Bahkan Derrida melihat hilangnya Allah akan membawa keterhilangan subyek pengetahuan yang merupakan pahlawan modernisme. 133 Karena subyek merupakan hasil dari jaringan sistem bahasa dan terstruktur oleh bahasa.

Derrida dapat kita katakan sebagai nihilis. Ia percaya pada ketiadaan (nothing). Ia tidak percaya pada kebenaran-kebenaran kekal dan kepada batas-batas mengenai apa yang dapat kita katakan tentang dunia dan bagaimana kita dapat membuat pembedaan terhadap dunia kita. Tidak ada batas yang menghalangi kita untuk menggambarkan dunia dan bagaimana membuat pembedaan di dunia kita. Namun ia percaya bahwa manusia dapat menciptakan nilai dan kebenaran. Vanhoozer menyebut nihilisme Derrida sebagai

132 Erickson, Truth or Consequences 131. 133 Vanhoozer, Is There a Meaning 52.

“nihilism with a human face,” 134 suatu kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu apapun di dunia dan di dalam teks yang tidak diciptakan oleh seseorang atau suatu komunitas.

RICHARD RORTY: NEO-PRAGMATISME Richard Rorty adalah seorang filsuf yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat dan mantan ketua American Philosophical Association. Ia sangat dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme sehingga Stanley Grenz menyebutnya sebagai “the protege of John Dewey.” 135 Rorty juga disebut sebagai figur sentral yang ada di balik munculnya kembali tradisi pragmatisme. Tapi tradisi pragmatisme yang dikembangkan oleh Rorty bukanlah pragmatisme lama. Tradisi pragmatisme ditangan Rorty dipoles sehingga menjadi pragmatisme yang pascamodernis.

Ia sendiri pernah menyebut dirinya sebagai liberalisme yang borjuis dan pascamodernis. 136

Latar Belakang dan Karya-Karyanya Richard Rorty dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1931 di kota New York. Ia meraih gelar B. A (1949) dan M. A (1952) di University of Chicago. Ia melanjutkan studinya di Yale University dan mendapatkan gelar Ph. D. (1956). Ia mengajar filsafat di Princeton University dari tahun 1961 hingga 1982. Ia kemudian pindah ke University of Virginia dan diangkat menjadi guru besar filsafat dari tahun 1982 hingga 1998. Tahun

134 Ibid. 58. 135 Grenz, A Primer 151. Rorty sendiri di dalam berfilsafat menggunakan tradisi Wittgenstein

akhir, Heidegger, Dewey, C. S. Pierce, dan Josiah Royce. Tiga nama belakangan adalah orang-orang yang memulai dan berada di dalam tradisi filsafat pragmatisme dan memang pengaruh pragmatisme Amerika sangat fundamental di dalam filsafatnya (Thiselton, New Horizons 394-395).

136 Rorty memilih frase ini sebagai judul dari artikelnya “Postmodernist Bourqeois Liberalism” dalam Objectivity, Relativism, and Truth (Cambridge: Cambridge University Press, 1991) 201, dikutip dari

Grenz, A Primer 194.

1998 ia pindah ke Department of Comparative Literature di Stanford University. Ia mengajar di sana sampai sekarang.

Karya-karya Rorty yang cukup penting di antaranya adalah: Philosophy and the Mirror of Nature (1979), Consequences of Pragmatism (1982), Contingency, Irony, and Solidarity (1988), Objectivity, Relativism, and Truth (1991), Essays on Heidegger and Others (1991), dan Truth and Progress (1998).

Karya-karya Rorty, sebagai pragmatisme pascamodernis, bergerak pada dua poros utama. Poros pertama, adalah poros negatif yaitu diagnosa kritis terhadap proyek-proyek filsafat modern. Di dalam poros ini ia menyerang ide filosofis pengetahuan sebagai representasi, pengetahuan sebagai hasil pikiran yang mencerminkan dunia ekternal. Poros kedua, membangun sebuah kebudayaan intelektual yang bebas dari konsep pikiran (mind) dan pengetahuan yang menjadi sumber problem metafisik dan epistemologi modernisme. Rorty menyebut kebudayaan intelektual ini sebagai “post-philosophical culture” atau “post-epistemological intelectual culture,” sebagai sebuah tanda bahwa filsafat yang ia kembangkan lepas dari konsep filsafat dan epistemologi modernisme. 137

Melawan Epistemologi Modernisme Rorty mengupayakan suatu proyek yang melawan teori pengetahuan (epistemologi) modernisme. Epistemologi modernisme ini dikenal dengan sebutan epistemologi representasionalisme, yaitu suatu konsep bahwa pikiran manusia itu berfungsi seperti cermin. Cermin yang mampu menggambarkan dunia eksternal secara obyektif dan tepat di dalam pikiran. Epistemologi ini telah muncul pada abad ke-17 dan ke 18 dan muncul di dalam filsafat bahasa abad ke-20. Epistemologi ini muncul bukan

137 Bjorn Ramberg, “Richard Rorty,” http://plato.stanford.edu/entries/rorty/.

hanya karena ingin membenarkan (justify) klaim-klaim tentang pengetahuan tetapi juga untuk menjawab tantangan dari sains yang mencari pengetahuan yang pasti dan obyektif. Epistemologi modernisme ini biasanya disebut dengan epistemologi Cartesianisme suatu epistemologi yang berakar dari Descartes yang ingin mencari pengetahuan yang pasti dan lolos dari ujian keragu-raguan (methodological doubt). 138

Epistemologi modernisme ini memiliki ciri realis, esensialis, dan representasionalis. 139 Realis beroperasi berdasarkan asumsi bahwa kita memiliki akses

langsung kepada dunia eksternal tanpa perantaraan bahasa dan bahasa kita hanya mencerminkan pengamatan kita terhadap dunia obyektif dan alami tersebut. Sehingga pada waktu kita mengatakan: “Plato adalah pria” karena memang pada kenyataannya orang yang bernama Plato adalah pria dan bukan wanita. Oleh sebab itu kebenaran dipahami sebagai suatu korespondensi antara bahasa/pengetahuan dengan realitas. Kebenaran merupakan sebuah istilah metafisik yang berarti “apa yang merepresentasikan dunia obyektif dengan akurat.” 140

Epistemologi modernisme ini juga berciri esensialis. Epistemologi ini berasumsi bahwa obyek atau benda-benda memiliki kualitas-kualitas internal yang dimiliki oleh obyek atau benda-benda tersebut di dalam dirinya sendiri. Kualitas-kualitas ini tidak ditambahkan dari luar tetapi memang inheren di dalam benda-benda tersebut sebagai sesuatu yang alami dan kodrati. Sehingga pada waktu manusia menyebut dan menamai suatu obyek pengetahuan maka nama tersebut sesuai dengan kualitas internal tersebut. Di samping itu epistemologi ini juga percaya bahwa obyek dan benda-benda tersebut memiliki kualitas relasional yaitu kualitas atau ciri-ciri yang dimiliki oleh obyek akibat

138 Ibid. 139 Grenz, A Primer 152-153. 140 Ibid. 152.

relasinya dengan benda atau obyek-obyek yang lain khususnya dengan kepentingan dan keinginan manusia. 141

Epistemologi modernisme ini juga berciri representasionalis. Epistemologi ini berpandangan bahwa dunia realitas dan bahasa manusia merupakan entitas yang obyektif. Dunia realitas merupakan sesuatu yang obyektif sehingga siapapun dapat mengenali dunia realitas dan memeriksa pengetahuan dan kepercayaannya dengan dunia realitas tersebut. Bukan hanya dunia realitas yang obyektif tetapi bahasa manusia juga obyektif. Pengertian konsep ini adalah wacana kita dan tuturan kita dapat merepresentasikan dunia realitas sebagaimana adanya. Sebuah proposisi disebut benar bila proposisi tersebut mampu menggambarkan dunia realitas dengan tepat dan akurat. Proposisi tersebut menghadirkan kembali, kepada subyek atau penutur, apa yang telah proposisi tersebut gambarkan. Sehingga pengetahuan merupakan kumpulan dari kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi yang tepat. 142

Rorty mengatakan epistemologi model ini lebih baik ditinggalkan saja. Ia mengambil contoh tiga filsuf yang pada awal karier mereka mencari filsafat yang bersifat fondasional (filsafat model Cartesian). Mereka adalah Wittgenstein, Heidegger, dan Dewey. Para filsuf ini meninggalkan pencarian tersebut karena mereka menemukan bahwa upaya ini merupakan sebuah upaya yang menipu diri sendiri. Ketiga filsuf tersebut, menurut Rorty, mendapati bahwa fondasi pengetahuan “consist in nothing more than contextual social practice, language games, or even social self-images.” 143

Untuk memperlihatkan bahwa fondasi pengetahuan merupakan praktek sosial maka Rorty menggunakan konsep-konsep Wilfrid Sellar dan Willard Van Orman Quine.

141 Ibid. 142 Ibid. 153. 143 Thiselton, New Horizons 396.

Mengikuti Sellar, Rorty menyerang mitos kodrat, konsep bahwa apa yang ada di dunia dan alam merupakan sesuatu yang kodrati. Rorty mengatakan bahwa apa yang nampak alami (natural) sebetulnya ditentukan oleh suatu proses non-alami yaitu oleh tindakan- tindakan yang non-reflektif manusia (tindakan-tindakan tanpa pemikiran mendalam) hasil dari manusia tersebut berada di dalam sebuah konteks praktek-praktek sosial tertentu. Konteks praktek-praktek sosial ini dibentuk oleh formasi sosial. 144

Rorty menggabungkan kritik Sellar ini dengan kritik Quine tentang kebenaran yang kontingen dan harus ada (necesssary). Quine mengkritik perbedaan antara kebenaran yang muncul sebagai hasil dari pengamatan terhadap dunia eksternal (kebenaran niscaya) dan kebenaran hasil dari struktur pemikiran manusia (kebenaran kontingen). Kebenaran dari pengamatan dunia eksternal dan kebenaran hasil kontruksi pikiran manusia sulit untuk dibedakan sehingga kita tidak dapat membedakan lagi kebenaran hasil dari alam dan kebenaran konstruksi pikiran manusia. Gabungan kritik Sellar dan Quine ini digunakan oleh Rorty untuk menyerang konsep epistemologi modernisme dan menghasilkan suatu konsep epistemologi yang ia sebut sebagai “epistemological behaviorism.” 145 Di dalam pandangan epistemological behaviorism konsep kebenaran menjadi berbeda dengan konsep kebenaran filsafat tradisonal. Menurut Rorty akses kita kepada dunia eksternal diperantarai oleh bahasa kita. Jika kita mengatakan “Plato adalah laki-laki” itu hanya karena kita memilih kategori-kategori “pria” dan “wanita” dengan cara seperti itu. Jadi kalimat tersebut lebih mencerminkan konvensi masyarakat daripada menggambarkan

144 Ibid. 395. 145 Richard Rorty, Philosophy and The Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press,

1979) 174, dikutip dari Ramberg, “Richard Rorty” 1979) 174, dikutip dari Ramberg, “Richard Rorty”

Lebih lanjut, menurut Rorty kita tidak dapat membicarakan hakekat benda di dalam dirinya sendiri atau esensi dari sesuatu. Kita hanya dapat membicarakan suatu benda di dalam relasinya dengan benda-benda lain. Sehingga obyek adalah apa yang kita pandang berguna untuk mengatasi dan menjalani hidup kita manusia, untuk mengatasi stimulasi-stimulasi yang menghadang di jalan hidup kita. Di sini Rorty, bersama-sama dengan Saussure, Wittgenstein akhir, dan Derrida, menyatakan bahwa bahasa pun tidak memiliki hakekat intrinsik. Rorty mengatakan:

kita harus menghentikan cara berpikir yang menganggap bahwa kata-kata adalah representasi realitas dan mulai berpikir dengan asumsi bahwa kata-kata tidak lebih sebagai isyarat-isyarat (node) dalam jejaring kerja kausal yang mengikat organisme dengan lingkungannya. 147

Rorty menyatakan bahwa bahasa mendapatkan maknanya karena relasi perbedaan di dalam sistem bahasa demikian pula dengan pikiran manusia mendapatkan maknanya dari relasi pikiran tersebut di dalam suatu sistem kepercayaan. Maka baik bahasa dan pikiran manusia sangat bergantung kepada konteks sosial manusia tersebut. Akibatnya tanda- tanda linguistik dan pikiran manusia bukanlah benda-benda atau sesuatu dengan nilai- nilai atau esensi yang instrinsik di dalam dirinya sendiri tetapi hanya sebuah titik di dalam jaringan relasi-relasi. 148 Rorty juga menyangkal kemampuan bahasa manusia untuk merepresentasikan dunia eksternal kepada pikiran manusia. Menurut Rorty tidak ada hal-hal linguistik yang dapat merepresentasi hal-hal non linguistik. 149 Pandangan

146 Grenz, A Primer 152. 147 Richard Rorty, “Tantangan Relativisme,” dalam Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer

(ed. Jozef Niznik dan John T. Sanders; Yogyakarya: Qalam, 2002) 56-57. 148 Grenz, A Primer 152.

149 Erickson, Truth or Consequences 155.

Rorty mengenai kebenaran ini dapat disebut sebagai konsep kebenaran seorang pragmatis yang non realis, non esensialis, dan non representasionalis. 150 Bagi Rorty kebenaran merupakan masalah apa yang berguna daripada apa yang benar. Sehingga Rorty mendefinisikan kebenaran sebagai “what is good for us to believe,” 151 bukan lagi korespondensi antara kepercayaan dan dunia realitas.

yang bersifat anti representasionalisme. Di dalam konsep ini relasi subyek dan obyek menjadi kabur. Rorty memang mengakui ada realitas di luar manusia tetapi manusia tidak lagi memiliki kemampuan untuk membedakan apa yang berasal dari luar dirinya sendiri dan apa yang dari dalam dirinya sendiri. Sehingga pada waktu kita mengklaim memiliki pengetahuan tentang obyek maka tidak jelas unsur-unsur mana yang dari obyek dan unsur-unsur mana yang berasal dari diri kita. Rorty menjelaskan: “Kami tidak bisa memformulasikan pemikiran-pemikiran kami dengan membedakan antara yang di luar dan yang di dalam diri kami (outside vs inside).” 152 Rorty menolak perbedaan antara benda di-dalam- dirinya-sendiri dengan benda seperti yang nampak pada kita. Perbedaan ini tidak dapat kita lakukan dan pertahankan lagi. Konsekuensinya adalah tidak ada perantara antara pikiran kita dan dunia luar. Pikiran manusia dan dunia luar merupakan suatu kesinambungan. Kita tidak perlu lagi mencari pengetahuan yang “benar” dengan menguji dan memeriksa pengetahuan kita dengan dunia luar. Pengetahuan hanya interaksi terus menerus antara manusia dengan dunia luarnya sebagai upaya manusia

Rorty mengembangkan

konsep

pengetahuan

150 Grenz, A Primer 153. 151 Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth (Cambridge: Cambridge University Press,

1991) 22, dikutip dari Timothy Mark Mosteller “Epistemological Relativism: MacIntyre, Putnam, and Rorty” http://www.geocities.com/mostellers/dissertation.htm.

152 Rorty, “Tantangan Relativisme” 49.

untuk mengatasi dunia sekitarnya. 153 Pengetahuan bukan “a matter of getting reality right, but rather as a matter of acquiring habits of action for coping with reality.” 154

Rorty memandang pengetahuan sebagai sebuah entitas sosial. Pengetahuan lebih sebagai masalah percakapan 155 dan praktek-praktek sosial daripada sebagai cermin alam.

Pengetahuan muncul dari dalam tradisi sosial tertentu di mana konteks konvensi (kesepakatan) akan menentukan apa yang dapat diterima sebagai sesuatu yang “rasional” dan apa yang “tidak rasional.” Pengetahuan harus dipahami di dalam konteks percakapan di mana kita memiliki hak untuk percaya (believe) terhadap apa yang diizinkan oleh standar yang berlaku (praktek-praktek yang diperlihatkan di masyarakat) di masyarakat kita sekarang untuk kita percayai. Rasionalitas dan otoritas epistemik merupakan masalah apa yang diizinkan oleh suatu masyarakat untuk dikatakan. Pemahaman dan konsep-konsep dari sebuah masyarakat di mana seseorang hidup akan menentukan apapun yang seseorang katakan mengenai kebenaran atau rasionalitas.

Bahkan pembenaran (justification) terhadap suatu pengetahuan hanya mungkin terjadi di dalam suatu masyarakat. Pembenaran pengetahuan menjadi suatu fenomena sosial semata. Rorty sendiri mengatakan: “Nothing count as justification unless by reference to what we already accept. . . . There is no way to get outside our beliefs and our language so as to find some test other than coherence.” 156 Dengan konsep seperti ini maka tidak ada pembenaran suatu pengetahuan, rasionalitas, atau kebenaran yang dapat dilakukan di luar

153 Konsep ini berakar pada asumsi dasar Darwinian yang mengatakan bahwa umat manusia adalah binatang yang akan melakukan apa saja untuk menguasai lingkungannya—melakukan hal-hal terbaik untuk

mengembangkan alat yang memungkinkan mereka menikmati sebanyak mungkin kesenangan dan sesedikit mungkin kesusahan (ibid. 56). Salah satu alat yang dikembangkan manusia untuk menguasai lingkungan ini adalah pengetahuan dan bahasa.

154 Rorty, Objectivity, Relativism 1, dikutip dari Vanhoozer, Is There a Meaning 55. 155 Pemahaman Rorty mengenai percakapan “just means ways of talking about something, ways of

using a vocabulary to describe or redescribe the subject matter at hand” (Mosteller “Epistemological Relativism”).

156 Rorty, Philosophy and the Mirror 178, dikutip dari Thiselton, New Horizons 396.

dari suatu komunitas. Akibatnya tidak ada dasar di luar dari suatu tradisi komunitas untuk menilai tradisi komunitas lain. Setiap penilaian selalu berada di dalam tradisi komunitas tertentu. Tidak ada wilayah netral untuk melakukan penilaian terhadap suatu tradisi filsafat, pengetahuan, rasionalitas, atau kebenaran.

Jika demikian bagaimana suatu filsafat atau konsep dapat menggantikan filsafat atau konsep yang lain? Di sini Rorty mengikuti konsep paradigma dari Thomas Kuhn. Suatu teori baru diterima dan toeri yang lama ditinggalkan bukan karena teori yang baru lebih rasional dan lebih benar tetapi karena teori yang baru lebih mampu menyelesaikan masalah dan anomali (kejanggalan-kejanggalan dan masalah-masalah) dari teori lama. Pertimbangannya lebih kepada kemampuan menyelesaikan masalah, estetika, dan daya persuasi teori baru tersebut daripada kepada argumen rasional ataupun kebenaran dari teori baru tersebut. Konsep Rorty seperti ini disebut Thiselton sebagai: “social pragmatism because everything depends on the nature of the community in which given or acquired social norms of expectation assume the role normally ascribed to rationality and to argument in traditional epistemology.” 157

Pendekatan Rorty terhadap pengetahuan tentu saja akan menghasilkan pluralisme. Bagi Rorty tidak ada suatu dasar netral untuk menilai suatu tradisi komunitas dan tiap penilaian berada dalam suatu tradisi tertentu. Tiap tradisi komunitas tersebut benar di dalam tradisinya masing-masing. Maka akibatnya adalah pluralisme yang bergandengan dengan sosio-pragmatisme. 158 Hal ini berkaitan dengan penolakan Rorty terhadap upaya Jurgen Habermas dan Karl-Otto Apel mencari dasar transenden untuk melakukan kritik sosial. Habermas dan Apel menemukan bahwa parktek-praktek masyarakat itu tumpang

157 Thiselton, New Horizons 397. Penekanan oleh pengarang buku. 158 Ibid. 395-397.

tindih dan saling berinteraksi. Namun bagi Rorty tidak ada dasar transenden yang transkontekstual yang melampaui komunitas-komunitas. Masing-masing komunitas terisolasi di dalam praktek-praktek, bahasa, dan pembenarannya masing-masing.

Jika ada yang menuduh pemahaman Rorty ini sebagai relativisme maka Rorty akan menjawab bahwa orang yang menuduh tersebut seolah-olah mampu berada di luar dari tradisi komunitas tertentu untuk melakukan penilaian terhadap tradisi-tradisi komunitas yang ada. Penuduh tersebut, dengan demikian, mengklaim posisi di atas komunitas-komunitas dan sejarah. Penuduh tersebut mengklaim memiliki “God’s eye view of the world.” Padahal posisi inilah yang ditolak oleh Rorty. Tidak ada manusia yang memiliki sudut pandang Allah. 159

Komunitas Neo-Pragmatisme: Solidaritas dan Etnosentrisme Rorty berpandangan bahwa kemanusiaan (humanity) tidak memiliki esensi. Ia

tidak percaya bahwa ada esensi yang serupa pada tiap manusia. Rorty menolak konsep esensi atau kualitas intrinsik yang melekat pada sesuatu atau benda-benda. Rorty berpendapat sesuatu atau benda tidak memiliki hakekat atau esensi di dalam dirinya sendiri. 160 Rorty juga menolak konsep modern tentang diri (self). Ia menolak pandangan Pencerahan mengenai diri yang otonomi atau mandiri. Sebaliknya ia memandang diri sebagai jaringan kepercayaan dan keinginan yang selalu berubah dan tidak berpusat. Jaringan kepercayaan dan keinginan ini pada gilirannya akan menghasilkan tindakan atau aksi. Rorty juga menolak pencarian Kantian terhadap diri (self) manusia yang universal. Pencarian ini mengambil bentuk dalam upaya membentuk gambaran koheren tentang diri

159 Grenz, A Primer 159. 160 Erickson, Truth or Consequences 157.

yang akan sesuai dengan seluruh spesies manusia. Menurut Rorty, seseorang akan membuat identitas personal yang koheren bagi dirinya sendiri yang dapat berfungsi sebagai landasan untuk setiap tingkah lakunya. Seseorang akan mendapatkan identitas diri yang koheren jika ia memandang kehidupannya sebagai suatu bagian dari narasi historis yang lebih luas. Di sini narasi mengkaitkan identitas personal yang koheren dengan konteks sosial di mana orang tersebut hidup. Narasi memberi identitas diri kepada seseorang dengan jalan menempatkan orang tersebut di dalam narasi sebuah komunitas. Dengan demikian cara hidup dan bertindak seseorang sepenuhnya tertanam dalam-dalam di dalam konteks kultural dan historis orang tersebut. 161 Konsekuensi pandangan ini terhadap pengetahuan sudah kita ketahui di atas bahwa tidak ada pengetahuan, kebenaran, dan pembenaran pengetahuan yang dapat dilakukan di luar dari sebuah komunitas. Pengetahuan, kebenaran, dan pembenaran selalui dimulai dari dalam komunitas di mana kita hidup. 162

Rorty sendiri tidak memiliki suatu konsep komunitas yang jelas karena ia tidak berupaya untuk memberikan dasar filosofis bagi konsep komunitas. Bagi Rorty komunitas bukan hanya sekelompok orang yang hadir di dalam sejarah tetapi juga termasuk karakter yang historis maupun yang fiksi. 163 Namun demikian komunitas yang Rorty sebut dengan eksplisit adalah “the community of the liberal intellectuals of the

161 Grenz, A Primer 156. 162 Pandangan Rorty ini dikenal dengan sebutan etnosentrisme, suatu pandangan tentang

pengetahuan, kebenaran, dan pembenaran yang berpusat pada konteks sosial atau komunitas seseorang. Konsep ini merupakan pengakuan bahwa kita tidak memiliki sudut pandang Allah di dalam pengetahuan, kebenaran, dan pembenaran. Kita hanya memiliki sudut pandang manusia di dalam sebuah komunitas. Kita, kelompok manusia, yang berada di dalam konteks historis dan kultural tertentu (Ramberg, “Richard Rorty”).

163 Dean Geauras, “Richard Rorty and the Postmodern Rejection of Absolute Truth,” http://www.leaderu.com/aip/docs/geuras.html.

secular modern West.” 164 Menurut Rorty di dalam komunitas liberal intelektual yang ideal terdapat dukungan terhadap kesepakatan umum (general agreement) yang tidak dipaksakan di antara para anggota komunitas dan toleransi terhadap ketidaksepakatan. Solidaritas masyarakat tersebut terletak pada kepercayaan liberal yang dianut oleh masyarakatnya dan sikap toleransi masyarakatnya. Bagi Rorty solidaritas harus dikembangkan dan diperdalam di dalam masyarakat. Menurut Rorty solidaritas merupakan identifikasi dengan sebuah komunitas yang lebih luas. Solidaritas ini bukan berdasarkan kesamaan yang esensial di dalam diri manusia karena tidak ada kemanusiaan yang esensial. Solidaritas memiliki pengertian kita memiliki kewajiban moral untuk sepenanggungan dengan semua manusia yang lain. Perasaan solidaritas ini akan semakin kuat jika berpikir bahwa mereka, yang kepadanya solidaritas kita ditujukan, dipandang sebagai “kita.” “Kita” di sini adalah kelompok masyarakat yang bersifat lokal dan lebih kecil daripada umat manusia. Solidaritas merupakan kemampuan untuk memandang manusia yang lain, dari komunitas yang lain dengan berbagai macam perbedaannya, sebagai bagian dari “kita.” Solidaritas ini berdasarkan kepada kesamaan kita dengan manusia-manusia yang lain di dalam “pain and humiliation.” Kesadaran bahwa “kita” sepenanggungan di dalam penderitaan dan penghinaan dengan “mereka” yang lain menciptakan kewajiban terhadap manusia yang lain. Kewajiban ini pada gilirannya menciptakan solidaritas di dalam komunitas. Bagi Rorty solidaritas inilah yang merupakan dasar kewajiban moral terhadap manusia yang lain. 165

Solidaritas bukan hanya dipahami dari segi moral tetapi ia juga memiliki sisi epistemologis. Rorty menjelaskan kaitan ini demikian:

164 Rorty, Objectivity, Relativism 29, dikutip dari ibid. 165 Rorty, “Tantangan” 72-73; bnd. Mosteller, “Epistemological relativism.”

Those who wish to reduce objectivity ['a special relation between beliefs and objects which will differentiate true beliefs from false beliefs'] to solidarity—call them ‘pragmatists’ . . . view truth as . . . what is good for us to believe . . . [and] do not need an account of a relation between beliefs and objects called ‘correspondence.’ 166

Rorty mengidetifikasi obyektivitas dengan solidaritas. Hal ini berkaitan dengan konsepnya tentang kebenaran sebagai kesepakatan bersama dalam sebuah komunitas. Kesepakatan antar anggota komunitas inilah yang memungkinkan anggota komunitas berbicara dengan bahasa yang sama dan membangun realitas yang diterima bersama. Solidaritas juga yang membuat kita menerima suatu pernyataan dan kepercayaan sebagai seuatu yang benar. Dengan pemahaman di atas maka obyektivitas menjadi solidaritas. Maka konsep kebenaran Rorty menjadi konsep kebenaran sebagai konsensus.

Kesimpulan 167 Kita melihat bahwa pemikiran Rorty merupakan pemikiran yang nonesensialisme.

Rorty memang tidak menyangkal keberadaan dunia eksternal tetapi ia menolak ide adanya kebenaran di luar yang siap ditemukan oleh manusia. Ia menolak adanya hakekat atau kualitas intrinsik yang terdapat pada benda, dunia eksternal, atau bahkan pada pikiran manusia itu sendiri. Manusia yang menciptakan dunia eksternal dengan proses tindakan-tindakan manusia yang berakar di dalam praktek-praktek masyarakat. Dengan demikian apa yang nampak alami sebenarnya adalah hasil dari konvensi suatu masyarakat.

166 Rorty, Objectivity, Relativism 22, dikutip dari Mosteller, “Epistemological relativism.” Penambahan oleh Mosteller.

167 Untuk kesimpulan ini penulis banyak bersandar kepada Erickson, Truth or Consequences 165- 166.

Rorty juga menganut konsep bahasa yang anti realisme dan anti representasionalisme. Bahasa tidak dapat merepresentasi dunia luar kepada pikiran manusia karena makna bahasa muncul di dalam suatu relasi perbedaan di dalam jaringan sistem bahasa. Bahasa membawa makna bukan dengan menunjuk dunia eksternal tetapi dengan membedakan dirinya dari tanda-tanda bahasa yang lain.

Rorty juga mengakui bahwa pemahaman tentang dunia, diri (self), bahasa, dan komunitas dipengaruhi oleh kondisi sejarah dan oleh sebab itu bersifat kontingen dan bukan suatu keniscayaan. Pemahaman tentang dunia, diri, bahasa, dan komunitas merupakan produk dari suatu komunitas.

Kebenaran bukan kesepakatan antara ide kita atau bahasa kita dengan dunia luar tetapi kesepakatan di antara anggota-anggota komunitas. Kebenaran merupakan alat untuk mengatasi lingkungan di mana manusia hidup. Sehingga apa yang benar adalah apa yang berhasil menolong manusia mengatasi lingkungannya.

Solidaritas merupakan dasar bagi kewajiban moral. Karena dengan solidaritas maka manusia memiliki kemampuan untuk melihat kesamaan dan perasaan sepenanggungan terhadap manusia yang lain. Kesamaan itu terletak pada nasib manusia yang sama menghadapi penderitaan dan penghinaan martabat manusia. Manusia perlu memperluas dan memperdalam solidaritas ini sampai mencakup umat manusia yang lebih luas.

Apa yang dikembangkan oleh Rorty ini lebih baik disebut sebagai neo- pragmatisme. Sebuah pragmatisme yang meninggalkan aspek-aspek modernisme dan menjadi pragmatisme pascamodern.

EVALUASI TERHADAP PASCAMODERNISME: PASCAMODERNISME SEBAGAI KONDISI TEOLOGIS

Di dalam mengevaluasi pascamodernisme, kita mencoba menempatkan pascamodernisme di dalam kerangka teologis. Di sini kita meletakan baik modernisme dan pascamodernisme di dalam kerangka karya penciptaan Allah dan karya penebusan Allah di dalam Yesus Kristus serta aplikasinya oleh Roh Kudus. Di dalam kerangka ini maka modernisme dan pascamodernisme dipahami sebagai sebuah penolakan manusia kepada Allah yang berakar di taman Eden. Di taman Eden manusia menolak Allah sebagai Allah. Pada waktu manusia menolak Allah sebagai Allah di dalam hidupnya maka ia akan menggantikan posisi Allah tersebut dengan dirinya sendiri. Van Til menjelaskan demikian:

Here then is the heart of the matter: through the fall of Adam man has set aside the law of his Creator and therewith has become a law to himself. He will be subject to none but himself. He seeks to be autonomous. . . . He makes himself the final reference point in all predication. 168

Akibat dari penolakan manusia terhadap Allah maka manusia melenyapkan semua kemungkinan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Manusia akan diperhadapkan dengan dilema apakah ia akan menjadi rasionalis atau irasionalis. Di satu sisi orang yang tidak percaya akan menjadi rasionalis seseorang yang sepenuhnya percaya kepada

168 Cornelius Van Til, A Christian Theory of Knowledge (Philipsburg: Presbyterian & Reformed, 1969) 42. Predication merupakan tindakan mental atau verbal yang mengaitkan atau menyangkal suatu ciri

atau karakteristik (suatu predikat) kepada subyek seperti ketika seseorang menyatakan, “Langit itu biru,” atau “Megawati adalah presiden RI yang keempat,” atau “Menyontek tidak diizinkan oleh hukum moral.” Predication menuntut seseorang, dengan cara yang masuk akal, membedakan dan menyeleksi benda-benda individual (hal-hal yang partikular), menjadikannya dapat dipahami dalam konsep-konsep umum dan abstrak (universal, struktur-struktur), membedakan mereka (sehingga tidak mebuatnya identik) dan kadang- kadang mengkaitkannya satu dengan yang lain. Dengan kata lain predication merupakan cara manusia untuk mendapat pengetahuan, (Bahnsen, Van Til’s Apologetic 22).

kemampuan pikiran manusia tetapi di sisi lain ia akan jatuh kepada pola pikiran irasionalis yang tidak dapat menemukan titik pijak yang aman di dalam alam semesta yang berubah atau menolak ancaman skeptisisme yang mematikan. 169 Menurut Frame, Pascamodernisme menekankan sisi irasional dengan menyangkal kebenaran obyektif, pemikiran yang linier dan ilmiah. 170

Dengan demikian pascamodernisme merupakan upaya manusia tanpa Allah, seperti yang dikatakan oleh Gene Edward Veith: Without belief in God, however, it would be difficult to avoid the postmodernist

conclusion. If there is no transcendental logos, then there can be no absolutes, no meaning apart from human culture, no way out of the prison house of language. Such postmodern theories may represent the ultimate development of secular thought—skepticism turning upon itself, human autonomy discovering its own impotence. Postmodernism may represent the dead-end—the implosion, the deconstruction—of human attempts to do without God. 171

Sehingga kita harus menolak kesimpulan-kesimpulan pascamodernisme yang tidak sesuai dengan iman Kristen. Beberapa kesimpulan yang tidak diterima oleh iman Kristen adalah: pertama,

kebenaran korespondensi. Pascamodernisme menyangkal konsep kebenaran obyektif modernisme. Para nabi pascamodernisme di atas (Foucault, Derrida, Rorty) menolak teori kebenaran sebagai korespondensi yaitu suatu keyakinan bahwa proposisi berkorespondensi dengan dunia eksternal. Pendirian seperti ini akan menggoyahkan klaim-klaim Kristen bahwa rumusan

penolakan

terhadap konsep

169 John M. Frame, Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought (Phillipsburg: Presbyterian & Reformed, 1995) 234. Secara sederhana Pratt menjelaskan konsep dorongan rasional dan irasional

demikian: “Pada saat berpaling daripada Allah, orang yang tidak percaya menyatakan keyakinan yang mutlak bahwa fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan-Nya menurut Alkitab adalah tidak benar; oleh karena itu ia memakai topeng ‘keyakinan yang mutlak,’ [dorongan rasional]. Namun pada saat ia berpaling daripada Allah, orang tidak percaya berada pada posisi di mana ia tidak mempunyai dasar yang kuat/kokoh untuk pengetahuan dan oleh karena itu ia harus mengggunakan topeng ‘ketidakyakinan yang mutlak,’ [dorongan irasional].” (Richard Pratt, Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus [edisi revisi; Malang: SAAT, 1998] 68).

170 Frame, Cornelius 237. Namun mereka juga bersikap rasionalistik ketika mereka secara dogmatis membenarkan pandangan mereka.

171 Veith, Postmodern 68.

doktrin-doktrin Kristen menyatakan kebenaran dengan menggambarkan realitas. 172 Kekristenan meyakini bahwa klaim-klaim doktrinal menyatakan kebenaran mengenai

realitas bahkan menggambarkan realitas sebagaimana adanya realitas tersebut. 173 Kedua, kita harus menolak penolakan pascamodernisme terhadap metanarasi.

Metanarasi merupakan narasi dasar atau suatu wawasan dunia yang membimbing praktek-praktek suatu komunitas. Metanarasi merupakan narasi agung yang berfungsi sebagai kerangka kerja komprehensif yang mampu menjelaskan segala sesuatu. Metanarasi merupakan narasi yang mencakup segala sesuatu, “kebenaran” bagi semua orang. Pascamodernisme mengatakan bahwa tidak ada metanarasi yang sanggup mencakup dan menjelaskan segala sesuatu kepada setiap orang. Sebaliknya yang ada adalah narasi-narasi kecil yang diciptakan dan dibangun oleh masing-masing komunitas. Jika yang ada hanya naras-narasi kecil maka kebenaran bukan sesuatu yang universal demikian pula dengan realitas. Tidak ada realitas obyektif dan kebenaran universal yang dapat dipahami dan diterima semua orang. Konsekuensi pandangan ini adalah pluralisme yang mengatakan semua pandangan adalah absah karena mereka semua juga tidak absah.

Pandangan pascamodernisme di atas tentu saja tidak dapat kita terima. Sebagai orang Kristen kita mengakui adanya satu metanarasi bahwa Allah telah bekerja di dalam sejarah umat manusia untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. Kita percaya bahwa fokus metanarasi ini adalah pada pribadi kedua dari Allah Tritunggal yang telah berinkarnasi di dalam Yesus Kristus. Narasi Yesus Kristus merupakan puncak dan fokus karya penebusan Allah terhadap manusia. 174 Kita juga percaya bahwa narasi-narasi lokal

172 Grenz, A Primer 163. 173 Alister McGrath, Studies in Doctrine (Grand Rapids: Zondervan, 1997) 238, 240. 174 Grenz, A Primer 164.

dapat ditampung di dalam metanarasi ini tanpa kekerasan dan paksaan karena metanarasi karya Allah ini berdasar kepada kasih yang mencari manusia yang hilang.

Ketiga, kita menolak kesimpulan pascamodernisme bahwa kebenaran adalah relatif, bergantung kepada komunitas di mana kebenaran tersebut dibangun. Kita tidak dapat menerima konsep kebenaran hanya merupakan konstruksi sosial belaka. Bagi kekristenan kebenaran tidak relatif karena kita percaya bahwa realitas memiliki pusat yang menyatukannya dan kita juga percaya bahwa firman yang kekal sudah berinkarnasi

ditengah-tengah manusia. Meskipun manusia tidak memiliki sudut pandang ilahi tetapi Allah sudah berinkarnasi dan berada di tengah-tengah manusia sehingga kita dapat memiliki dasar bagi pengetahuan.

Namun demikian bukan berarti tidak ada yang dapat kita pelajari dari Pascamodernisme. Allah memberikan anugerah umum-Nya kepada semua orang dan masih ada gambar dan rupa Allah pada diri manusia sehingga orang yang tidak percaya pun (termasuk kalangan pascamodernis) masih dapat mengatakan kebenaran. Van Til sendiri mengakui bahwa: “We are well aware of the fact that non-Christian have a great deal of knowledge about this world which is true as far as it goes. That is, there is a sense in which we can and must allow for the value of knowledge of non-Christian.” 175 Sehingga kalangan pascamodernis memiliki hal-hal yang absah untuk dikatakan kepada orang Kristen. Hal-hal tersebut antara lain:

Pertama, penolakan terhadap fondasionalisme. Kita dapat menyetujui penolakan Pascamodernisme terhadap fondasionalisme dari modernisme.

Epistemologi ini membagi dua kepercayaan (belief) manusia, yaitu kepercayaan mendasar yang tidak

175 Cornelius Van Til, An Introduction to Systematic Theology (Phillipsburg: Presbyterian & Reformed, 1982) 26.

berdasarkan kepercayaan lain serta kepercayaan yang bergantung kepada kepercayaan- kepercayaan yang lain. Kepercayaan mendasar ini menjadi dasar pengetahuan manusia, kebal terhadap “gunting” keragu-raguan, dan terbukti dengan sendirinya. Semua pengetahuan manusia dibangun di atas dasar kepercayaan yang terbukti dengan sendirinya serta kebal terhadap “virus” keragu-raguan.

Pascamodernisme memperlihatkan bahwa tidak ada dasar yang terbukti dengan sendirinya dan tidak ada dasar di dunia ini yang sanggup berfungsi sebagai dasar pengetahuan manusia. Data-data, rasio, diri (self), sejarah, bahkan komunitas umat manusia tidak dapat berfungsi sebagai dasar pengetahuan manusia. Semua hal tersebut terpengaruh dan bergantung kepada konteks kultural dan historis seorang individu dan sebuah komunitas. Manusia tidak dapat mencari dasar di dalam dirinya atau di luar dirinya sebagai dasar pengetahuan. Upaya mencari dasar pengetahuan manusia di luar Allah dan firman-Nya merupakan upaya pencarian berhala. 176

Fondasionalisme juga menyebabkan kepercayaan-kepercayaan religius menjadi tersingkir karena dipandang tidak memiliki fondasi yang kuat baik secara empiris maupun rasional. Fondasionalisme menuntut agar kekristenan menunjukan bukti-bukti yang cukup kuat, baik secara empiris maupun secara rasional, agar dapat diterima sebagai benar. Padahal fondasionalisme itu sendiri tidak mempunyai dasar yang terbukti dengan sendirinya. Posisi fondasionalisme merupakan posisi yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Lebih lanjut, banyak kepercayaan yang termasuk ke dalam kategori mendasar

176 John M. Frame, The Doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg: Presbyterian & Reformed, 1987) 129.

tidak tetapi tidak dapat dibuktikan sesuai permintaan kalangan fondasionalisme. Salah satu kepercayaan tersebut adalah kepercayaan kepada Allah. 177

Kedua, pascamodernisme membuat kita sadar akan pengaruh prasuposisi di dalam segala aktivitas kognitif kita. Kita menyadari bahwa setiap orang memiliki prasuposisi dan prasuposisi tersebut menjadi batasan yang di dalamnya semua aktivitas koginitif dapat beroperasi dan dijalankan. Konsep ini jelas bertentangan dengan konsep modernisme yang mengatakan bahwa manusia dapat bersikap obyektif tanpa prasuposisi

di dalam mengevaluasi fakta dan data. Setiap evaluasi memerlukan kriteria. Kriteria ini sendiri dapat dipertanyakan kebenarannya sehingga kita perlu kriteria yang lebih tinggi untuk menentukan kriteria mana yang kita pakai. Pencarian terhadap kriteria ini tentu saja dapat berlanjut terus tanpa batas. Modernisme berupaya mencari kriteria yang terbukti dengan sendirinya dan universal untuk menghentikan pencarian kriteria yang tanpa batas ini. Tetapi, sebagaimana yang telah kita lihat, kriteria yang terbukti dengan sendirinya ini tidak ada.

Di zaman pascamodernisme pencarian terhadap kriteria universal dan rasionalitas universal telah ditinggalkan. Kita, sebagai orang Kristen, dapat menyetujui hal tersebut karena hal tersebut merupakan akibat dari manusia otonomi yang berupaya mencari kriteria di luar Allah dan firman-Nya. Sebagai manusia terbatas dan ciptaan maka mau tidak mau kita harus mencari sumber pengetahuan yang lebih berotoritas. Sebagai manusia kita bergantung kepada pencipta kita untuk menjadi sumber pengetahuan kita. 178 Dengan demikian maka landasan pengetahuan adalah iman. Iman kepada Pencipta yang menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui sejarah, alam, Alkitab, dan Yesus Kristus.

177 Kelly James Clark, Return to Reason (Grand Rapids: Eerdmans, 1990) 136-143. 178 Pratt, Menaklukkan Segala Pikiran 23.

Bila pengetahuan di pahami dengan cara seperti ini maka kita dapat mengatakan bahwa epistemologi Kristen serupa dengan soteriologi Kristen yang mengatakan bahwa semua hanya anugerah Allah semata. Jika keselamatan adalah anugerah maka pengetahuan juga adalah anugerah Allah. 179

Konsekuensinya semua pengetahuan bergantung kepada prasuposisi yang tidak didapat dari pengalaman, atau dihasilkan oleh manusia itu sendiri tetapi yang semata- mata ada pada manusia ketika ia bertumbuh di dalam sebuah komunitas. Prasuposisi ini berfungsi sebagai kepercayaan mendasar (basic belief) seseorang dan bahkan sebagai kepercayaan yang mengontrol kepercayaan yang lain (control belief).

Ketiga, kita mengakui bahwa pengetahuan kita terkondisi oleh konteks kebudayaan. Kalangan pascamodernisme, terutama kalangan dekontruksionisme, telah memperlihatkan pengaruh waktu, tempat, dan kebudayaan terhadap persepsi kita mengenai apa yang benar dan kesimpulan kita. Hal-hal tersebut mempengaruhi topik-

topik masalah yang muncul dan yang berusaha dijawab. Hal ini, misalnya, paling jelas terdapat di dalam sejarah doktrin-doktrin Kristen. Tiap zaman akan menghasilkan pergumulan doktrin yang berbeda dan akan dijawab sesuai dengan tuntutan zaman itu. Bahkan pemilihan topik diskusi merupakan fungsi dari waktu. 180 Sebagai contoh, asal usul manusia tidak merupakan masalah bagi doktrin-doktrin Kristen sampai kemudian Darwin menelurkan konsep evolusionisme manusia yaitu manusia berevolusi

Lokasi di mana kita berada, lokasi secara kultural dan sosioekonomik, akan mempengaruhi pengertian dan pemahaman kita Sebagai contoh orang yang tertindas dengan seorang pejabat Indonesia akan membaca Roma 13 dan Khotbah di Bukit dengan

179 Daniel Ryan Streett, “Faith without Foundation? Christian Epistemology and Apologetics After Modernity” http://www.faithmaps.org/faithwoutfoundations.htm.

180 Erickson, Truth or Consequences 186.

cara yang berbeda. Seorang yang dididik di sekolah-sekolah Belanda akan akan memahami perang kemerdekaan di Indonesia dengan cara yang berbeda dengan orang Indonesia. Tetapi kita tidak mengarah dan setuju kepada pluralisme atau relativisme sosial. Di sini yang kita tekankan adalah dampak konteks budaya terhadap pengetahuan kita.

Hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif dari pascamodernisme tentu saja menimbulkan tantangan bagi kalangan injili. Jika kita ingin berteologi pada zaman pascamodernisme maka kita tidak dapat mengabaikan konteks pascamodernisme ini. 181 Konteks pascamodernisme memunculkan pertanyaan: “Bagaimanakah kalangan injili mempertahankan konsep kebenarannya di tengah-tengah situasi ini? Mampukah konsep kebenaran injili memperhatikan hal-hal yang positif dari pascamodernisme sambil menghindari hal-hal negatif dari pascamodernisme?”

Untuk itu maka perlu dikembangkan suatu konsep kebenaran yang dapat menjawab tantangan tersebut, mengambil hal-hal yang positif dan menghindari hal-hal yang negatif dari pascamodernisme. Pada bab berikutnya kita akan melihat bagaimana konsep kebenaran dari Cornelius Van Til menghadapi tantangan pascamodernisme ini.

181 Millard Erickson, Christian Theology (edisi kedua; Grand Rapids: Baker, 1998) 168.