KONSEP KEBENARAN CORNELIUS VAN TIL

BAB III KONSEP KEBENARAN CORNELIUS VAN TIL

Di dalam bab ini penulis akan membahas konsep kebenaran Cornelius Van Til. Untuk memahami konsep kebenaran Van Til penulis akan menguraikan secara singkat latar belakang pemikiran Van Til dan konsep-konsep epistemologisnya. Kemudian di bab selanjutnya penulis akan mengaplikasikan konsep kebenaran Van Til pada problem- problem pascamodernisme.

Di dalam kondisi pascamodern kita perlu membela dan mempertahankan konsep kebenaran dan bukan hanya isi dari klaim-klaim kebenaran itu sendiri. Bagaimana kita dapat membela suatu klaim kebenaran jika konsep kebenaran itu sendiri dipertanyakan oleh kalangan pascamodernisme? Untuk itu kita perlu kembali menegaskan suatu konsep kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan ditengah-tengah kondisi pascamodern ini. Kondisi pascamodern memberikan kepada kita tantangan pada waktu kita ingin menegaskan konsep kebenaran tersebut. Tantangan tersebut dapat kita ringkas dalam tiga tantangan. Tiga tantangan tersebut adalah: pertama, tantangan masalah perspektif dan masalah keberpihakan/bias. Apa yang seseorang lihat dan pahami dipengaruhi oleh faktor-faktor di mana ia berdiri, di mana ia hidup, siapa dia, apa yang ia upayakan untuk pahami, dan mengapa ia berupaya untuk memahami. Selama manusia masih hidup di dalam ruang dan waktu maka tidak ada seorang manusiapun yang bebas dari bias ini. Kedua, tantangan masalah kuasa. Pada umumnya, praktek-praktek kehidupan sosial

suatu masyarakat dipandang sebagai sarana pembenaran terhadap proposisi maupun proses pengesahan proposisi tersebut menjadi pengetahuan. Bahasa dan ide-ide bersilangan dengan, bahkan dibuat lebih rumit dengan, relasi-relasi dominasi kuasa. Bahkan pengetahuan merupakan produk dari jaringan kekuasaan. Ketiga, tantangan masalah kemajemukan. Bagi orang yang hidup dalam dalam zaman pascamodern satu ide yang jelas dan tidak dapat dibantah adalah adanya persaingan dan konflik klaim- klaim kebenaran yang menandai situasi pascamodern ini. Kita hidup di dalam zaman yang plural (majemuk). Di dalam situasi majemuk ini maka bagi beberapa orang klaim- klaim kebenaran bersifat eksklusivistik dan dengan demikian juga bersifat menindas. Tetapi bagi yang lain kebenaran harus bersifat inklusivistik, merangkul semua klaim- klaim kebenaran. 183 Di tengah-tengah kondisi seperti ini kita, kalangan injili, harus menegaskan kembali klaim kebenaran. Karena manusia perlu percaya bahwa apa yang ia percayai adalah benar dan manusia memiliki hak untuk percaya apa yang benar. Untuk itu kita mencari dari epistemologi tradisi Calvinis Belanda yaitu dari Cornelius Van Til untuk menjawab tantangan tersebut. Mengapa memilih Van Til? Pertama, dan ini yang terpenting, adalah karena ia berupaya secara konsisten mengembangkan suatu epistemologi yang bersumber dari dan mengacu kepada Alkitab. Alkitab bagi Van Til menjadi sumber pembenaran pengetahuan manusia bahkan epistemologi manusia. Alkitab menjadi titik awal epistemologis bagi iman Kristen. Pandangan seperti ini sesuai dengan keyakinan injili sehingga tepat bila kita memilih Van Til untuk menjadi sumber di dalam menghadapi tantangan epistemologi dari pascamodernisme. Kedua, Van Til, sebagai seorang epistemolog, mengembangkan suatu epistemologi yang berkaitan dengan kepercayaan teistik. Ia juga mengembangkan suatu keyakinan bahwa Alkitab (sebagai

183 Kevin Vanhoozer, First Theology (Downers Grove: InterVarsity, 2002) 338.

suatu kepercayaan teistik) bukan hanya perlu bagi keyakinan religius tetapi juga bagi pengetahuan manusia pada umumnya. 184

Ketiga, pemikiran Van Til sangat berpengaruh—melalui murid-muridnya seperti Francis Schaeffer, John Frame, dan Greg Bahnsen—dikalangan reformed injili baik di Amerika maupun di Indonesia sendiri.

Pilihan kepada Van Til tentu menimbulkan pertanyaan: “Dapatkah konsep kebenaran Van Til, atau lebih luas lagi epistemologinya, menghadapi tantangan pascamodernisme? Dapatkah konsep kebenaran Van Til memuat hal-hal yang positif dari pascamodernisme sambil menghindari, bahkan melengkapi, hal-hal yang merupakan kelemahan-kelemahan dari pascamodernisme?”

Pada bab ini kita hanya akan menguraikan konsep kebenaran Van Til. Pada bab keempat kita mencoba mengkaitkan konsep kebenaran Van Til ini dengan tantangan dari pascamodernisme seperti yang telah diringkas di atas. Namun sebelum kita membahas konsep kebenaran Van Til kita akan melihat sejenak latar belakang pemikiran Van Til dan karya-karyanya.

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN VAN TIL DAN KARYA-KARYANYA Cornelius Van Til lahir tanggal 3 Mei 1895 di desa Grootegast, Belanda. Ia adalah anak keenam dari Ite dan, istrinya, Klazina Van Til. Ite adalah seorang peternak hewan, yang memelihara dan menjual hewan-hewan. 185 Pada usia sepuluh tahun Cornelius Van Til dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat tepatnya di Highland, Indiana. Di sana ia mempelajari bahasa Inggris dengan cepat. Pada tahun 1919, ketika ia berusia sembilan belas tahun, Van Til melanjutkan studi ke Calvin Preparatory School dan meneruskan studinya di Calvin College. Pada tahun 1921 ia meneruskan studinya ke

184 Paul Pardi, “Can Epistemology be Saved?” http://www.biblicaldefense.org/Research_Center /Philosophy/Can%20Epistemology%20Be%20Saved.htm#_ednref6.

185 William White, Jr., Van Til: Defender of the Faith (Nashville: Thomas Nelson, 1979) 19-20.

Calvin Theological Seminary. Karena studinya di Calvin College dan Seminary maka Van Til sangat akrab dengan karya-karya Abraham Kuyper (1837-1920) dan Herman Bavinck (1854-1921). Di Calvin Seminary ia belajar teologi dari Louis Berkhof dan filsafat Kristen dari W. H. Jellema. Tetapi Van Til hanya satu tahun berstudi di sana karena pada tahun 1922 ia pindah ke Princeton Theological Seminary, sebuah seminari Calvinis yang ortodok pada masa itu. Ia menyelesaikan M.Th-nya pada tahun 1925 dan menikah dengan Rena Klooster. Pada tahun 1927 ia menyelesaikan Ph.D-nya di bidang filsafat dengan disertasi God and the Absolute. Van Til sempat menjadi pendeta jemaat pada tahun 1927 setelah ia lulus dari Princeton University dan menjadi dosen apologetika pada tahun 1928-1929 di Princeton Theological Seminary. Namun Van Til kemudian mengajar apologetika di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, mulai dari tahun 1929 sampai pada masa pensiunnya tahun 1972. Di Westminster Theological Seminary Van Til menjadi terkenal dengan apologetika prasuposisionalismenya. Ia meninggal pada tanggal 17 April 1987 pada usia 92 tahun. 186

Van Til banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformed Belanda seperti Abraham Kuyper dan Herman Bavinck. Mereka mempengaruhi Van Til sehingga dalam apologetika Van Til lebih banyak bersandar kepada tradisi reformed Belanda daripada reformed Amerika yang lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat akal sehat (common sense) dari Skotlandia. Tradisi reformed Amerika di dalam teologi Old Princeton banyak menghasilkan apologetika yang bersifat evidensialisme, sebuah apologetika yang berupaya menerima tantangan evidensialisme 187 dengan cara memperlihatkan bahwa

186 Bahnsen, Van Til’s 7-20. 187 Evidensialisme merupakan klaim bahwa kepercayaan religius adalah irasional, tidak masuk akal,

pelanggaran terhadap kewajiban epistemik kita, kecuali jika didukung oleh eviden-eviden atau argumen-

kekristenan memiliki dasar bukti dan argumen yang kuat. Sedangkan tradisi reformed Belanda banyak menghasilkan apologetika yang bersifat prasuposisionalisme seperti Herman Dooyeweerd, H. G. Stoker, dan D. Th. Vollenhoven. Selain tokoh-tokoh reformed Belanda, nama-nama seperti Benjamin B. Warfield, Charles Hodge, dan Geerhardus Vos juga turut mempengaruhi teologi Van Til. Mereka adalah orang-orang yang mengajar di Princeton Theological Seminary dan berada dalam tradisi Calvinis. Selain itu Van Til juga mempelajari filsafat idealisme 188 di Princeton University. Pengaruh filsafat idealisme nampak pada istilah-istilah yang sering digunakan Van Til seperti prasuposisi, universal konkrit, problem tunggal dan jamak, sistem absolut, metode implikasi, konsep pembatas. 189 Van Til mengambil apa yang benar dari idealisme (karena anugerah umum) dan mencangkokannya ke dalam iman Kristen reformed. Bagi Van Til konsep-konsep idealisme yang benar tersebut hanya dapat berkembang di dalam kerangka iman Kristen. Sehingga ketika Van Til menggunakan argumen, istilah-istilah, dan metode idealisme maka kita harus memandangnya sebagai transplantasi dan pencangkokan ke dalam terang kebenaran Alkitab. Namun Van Til juga menolak pemikiran idealisme yang menyamakan Pencipta dengan ciptaan dan menempatkan

argumen yang cukup (Merold Westphal, “A Reader’s Guide to ‘Reformed Epistemology,’” Perspectives 7/9 [November 1992] 10).

188 Pada umumnya idealisme dapat didefinisikan sebagai pandangan yang mengatakan bahwa obyek, suatu obyek material partikular, tidak dapat eksis secara independen dari kesadaran (subyek yang

sadar) terhadap mereka. Tidak ada sesuatu yang eksis kecuali ide-ide di dalam pikiran seseorang. Pandangan ini menempatkan pikiran dan nilai-nilai spiritual lebih tinggi dari pada hal-hal yang material. Tokoh-tokoh yang termasuk ke dalam filsafat ini antara lain: Berkeley (1685-1753), Fichte (1762-1814), Hegel (1770-1831). (Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy [Grand Rapids: Baker, 1980] 143).

189 Frame, Cornelius Van Til 21. Bagi Van Til, istilah–istilah tersebut diberi pengertian yang baru. Prasuposisi merupakan komitmen hati seseorang yang paling mendasar yang akan membentuk wawasan

dunia seseorang. Universal konkrit merupakan istilah yang menunjukan suatu konsep atau ide yang bersifat universal sekaligus konkrit dan bukan bersifat abstrak. Tunggal dan jamak merupakan problem filsafat Barat tentang bagaimana mengkaitkan yang partikular dengan yang universal. Sistem absolut merupakan sistem pengetahuan yang mencakup segala sesuatu. Metode implikasi merupakan metode mengkaitkan fakta partikular dengan suatu sistem pengetahuan yang absolut. Konsep pembatas merupakan konsep-konsep yang membatasi konsep-konsep lain di dalam sebuah sistem pengetahuan.

mereka di bawah struktur universal yang bersifat impersonal. 190 Pemikiran filsafat yang banyak mempengaruhi Van Til adalah filsafat Kristen seperti yang di kembangkan oleh

Abraham Kuyper. Kuyper sendiri mengembangkan konsep wawasan dunia Kristen yang harus mengatur dan menguasai pemikiran orang Kristen. Bagi Kuyper, Kristus adalah Tuhan atas semua aspek kehidupan manusia oleh sebab itu semua pemikiran dan kehidupan manusia harus tunduk di bawah penguasaan Kristus. Pikiran yang tunduk kepada Kristus ini diperlihatkan melalui pengembangan pemikiran yang bersifat kristiani. Pemikiran yang bersifat kristiani ini diwarnai oleh wawasan dunia Kristen. Bagi Kuyper, wawasan dunia Kristen berasal dari Alkitab yang adalah penyataan Allah. Murid-murid Kuyper, seperti Herman Dooyeweerd dan D. Th. Vollenhoven, mengembangkan pemikiran Kuyper ini menjadi filsafat Kristen yang dikenal dengan nama filsafat Ide Kosmonomik (Cosmonomic Idea). Pada awal karirnya (setelah pertengahan 1930-an), Van Til mendapatkan pengaruh yang cukup signifikan dari filsafat Kosmonomik ini meski pada masa-masa berikutnya (pada tahun 1960-an) Van Til berbeda pandangan dengan tokoh-tokoh filsafat Kosmonomik ini berkaitan dengan peranan Alkitab di dalam filsafat Kristen serta perbedaan antara pengalaman naif dan pemikiran teoritis. 191

Karya-karya Van Til sangat banyak. Ia menulis sekitar 30 buku dan silabus, serta 220 artikel dan tinjauan buku. Di antara buku-bukunya yang sangat terkenal adalah: The Defense of The Faith (1955), A Survey of Christian Epistemology (1969), A Christian Theory of Knowledge (1969), Christian Theistic Ethics (1971), An Introduction to Systematic Theology (1974), Christian Apologetics (1975), Christian-Theistic Evidences (1976).

190 Ibid. 191 Ibid. 22.

PENGETAHUAN MANUSIA: PENGETAHUAN ANALOGIS Pemikiran Van Til mengenai epistemologi sangat berlawanan dengan epistemologi Immanuel Kant. Kant menyatakan bahwa pikiran manusia seharusnya tidak pernah menundukan dirinya sendiri kepada otoritas di luar dirinya. Kant menolak ide penyataan Allah yang berotoritas dan mengembangkan konsep otonomi pikiran manusia. Pikiran manusia menjadi otoritas tertinggi bagi dirinya sendiri, menjadi kriteria kebenaran bagi dirinya sendiri, dan menjadi standar kebenaran etis bagi dirinya sendiri.

Kant juga mengatakan, di dalam upayanya menyatukan empirisisme dan rasionalisme, bahwa apa yang membuat pengalaman manusia dapat dimengerti adalah kategori-kategori di dalam pikiran manusia. Pikiran manusia yang menjadikan pengalaman manusia bermakna. Namun pikiran manusia tidak dapat menjangkau benda di dalam dirinya sendiri (thing in it’s self). Pikiran manusia hanya beroperasi sebatas persepsi indrawi manusia. Dengan cara demikian maka pikiran manusia bukan hanya bertindak sebagai otoritas tertinggi tetapi juga menggeser posisi Allah sebagai pencipta dan perencana inteletual alam yang di alami oleh manusia. Tentu saja peranan pikiran manusia sedemikian tidak dibuktikan dengan cara tradisional. Maka Kant mengajukan metode transendental yaitu metode yang berupaya mencari syarat bagi pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan manusia memprasuposisikan otonomi manusia. Filsafat Kant dengan jelas memprasuposisikan otonomi manusia. 192

Apa yang diupayakan oleh Van Til merupakan pembalikan dari upaya Kant. Jika Kant mengajarkan agar manusia jangan tunduk kepada otoritas di luar dirinya maka Van Til mengajarkan bahwa jalan kepada kebenaran adalah tunduk kepada firman Allah yang

192 Ibid. 45; lihat juga Colin Brown, Christianity and Western Thought (2 jilid; Downers Grove: IVP, 1990) I.327-328.

berotoritas. Jika Kant memprasuposisikan otonomi manusia sebagai syarat pengetahuan dan mengajukan filsafatnya secara transedental maka Van Til mengajarkan bahwa firman Allah merupakan prasuposisi yang membuat pengalaman manusia menjadi masuk akal dan pengetahuan menjadi mungkin.

Di dalam metafisikanya Van Til menekankan dua konsep yang sangat prinsipil. Pertama, perbedaan kualitas maupun kuantitas antara Pencipta dengan ciptaan. Bagi Van Til, Allah adalah Allah yang menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Allah adalah Pencipta dan manusia adalah ciptaan. Allah cukup di dalam diri-Nya sendiri dan di dalam segala hal sedangkan manusia tidak cukup di dalam dirinya sendiri. Manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya untuk menciptakan dia dan menopang dirinya. Kedua, Allah berdaulat atas segala sesuatu baik alam maupun manusia. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan rencana Allah. Ini nampak jelas di dalam pemeliharaan (providensia) Allah dan pemilihan (predestinasi) Allah atas manusia yang berdosa.

Dua konsep metafisika tersebut memiliki dampak terhadap pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia harus memperlihatkan perbedaan dengan pengetahuan Allah. Pengetahuan Allah adalah pengetahuan Pencipta dan pengetahuan manusia adalah pengetahuan ciptaan. Pengetahuan manusia juga harus tunduk kepada kontrol dan otoritas Allah. Van Til mengatakan:

Christians believe in two levels of existence, the level of God’s existence as self- contained and the level of man’s existence as derived from the level of God’s existence. For this reason, Christians must also believe in two levels of knowledge, the level of God’s knowledge which is absolutely comprehensive and self- contained, and the level of man’s knowledge which is not comprehensive but is derivative and re-interpretative. 193

193 Van Til, An Introduction 12.

Van Til menggunakan istilah “analogi” untuk menggambarkan dampak konsep metafisika tersebut terhadap pengetahuan manusia. Van Til mengatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan analogi pengetahuan Allah. Di dalam istilah ini terdapat pengertian bahwa pengetahuan manusia bersifat ciptaan sehingga berbeda dari Allah sebagai Pencipta dan pengetahuan manusia ini tunduk kepada kontrol dan otoritas Allah. 194 Van Til menjelaskan analogi demikian:

The system [of knowledge] that Christians seek to obtain may, by contrast, be said to be analogical. By this is meant that God is the original and that man is derivative. God has absolute self-contained system within himself. What comes to pass in history happens in accord with that system or plan by which he orders the universe. But man, as God’s creature, cannot have a replica of that system of God. He cannot have a reproduction of that system. He must, to be sure, think God’s thought after him; but this means that he must, in seeking to form his own system, constantly be subject to the authority of God’s system to the extent that this is revealed to him. 195

Dengan istilah analogi ini Van Til ingin menekankan persetujuan, korespondensi, keserupaan, atau kesamaan (relasi analogis) antara pengetahuan Allah dan manusia. Pada saat yang sama istilah analogi juga ingin menekankan adanya unsur-unsur perbedaan antara cara Allah mengetahui dan cara manusia mengetahui. 196 Bagi Van Til, karena Allah adalah sumber kebenaran dan pengetahuan maka pengetahuan Allah bersifat orisinil sedangkan pengetahuan manusia sebagai ciptaan bersifat derivatif atau turunan. Hasilnya adalah pengetahuan manusia yang terbatas dan merupakan tiruan dari Allah. Pengetahuan manusia bukan pengetahuan Allah. Pengetahuan manusia tidak berada pada

194 Frame, Cornelius Van Til 89. Istilah analogi yang digunakan oleh Van Til berbeda dengan istilah analogi yang digunakan oleh Thomas Aquinas. Bagi Aquinas istilah analogi digunakan untuk

masalah keberadaan (being) dan masalah bahasa manusia terhadap Allah. Sedangkan bagi Van Til istilah analogi lebih berkaitan dengan masalah proses berpikirnya manusia apakah tunduk kepada Allah atau tidak. Weaver menyimpulkan demikian: “For [Van Til] analogy applies not to terms, but to overall process of human thought: man is God’s created analogue in both his being and his knowledge” (Gilbert Weaver, “Man: Analogue of God,” dalam Jerusalem and Athens [ed. E. R. Geehan; Philadelphia: P & R, 1971] 327). Artikel ini adalah artikel yang membahas mengenai perbedaan konsep analogi antara Van Til dan Aquinas.

195 Van Til, A Christian Theory 16. Penekanan oleh Van Til. 196 Bahnsen, Van Til’s 225.

garis yang berkesinambungan dengan pengetahuan Allah. Pengetahuan manusia bersifat terbatas, diciptakan, dan berada pada level ciptaan. Namun demikian, meski pengetahuan manusia terbatas, tetapi pengetahuan manusia ini adalah tiruan yang terbatas dari pengetahuan Allah. Sehingga pengetahuan manusia yang terbatas tersebut tetap benar karena ia merupakan cerminan dari pengetahuan Allah.

Untuk mendapatkan pengetahuan ini maka manusia harus berpikir dengan cara analogis. Manusia harus berpikir sesuai dengan pikiran Allah (think God’s thought after Him).

Bagi Van Til, pemikiran manusia harus mengikuti atau meniru pemikiran Allah pada levelnya sebagai ciptaan, dengan cara ini maka manusia berpikir dengan cara analogi dan menyadari adanya dua level proses mengetahui, yaitu level Allah yang bersifat orisinil dan absolut serta level manusia yang bersifat derivatif dan tiruan. Manusia mengetahui apa yang dapat ia ketahui (apakah dunia, diri sendiri, atau Allah) dengan cara berpikir secara analogis (analogously) terhadap pikiran Allah. Menurut Van Til, Allah dan manusia mengetahui obyek yang sama atau kebenaran-kebenaran yang sama dan standar kebenaran bagi Allah dan manusia adalah serupa yaitu pikiran Allah (God’s thought) tentang segala sesuatu yang kita ketahui. Sehingga Van Til mengatakan:

since the human mind is created by God and is therefore in itself naturally revelational of God, the mind may be sure that its system is true and corresponds on a finite scale to the system of God. That is what we meant by saying that it is analogical to God’s system. 197

Bagi Van Til pengetahuan yang benar hanya dihasilkan jika pikiran manusia berkorespondensi dengan pikiran Allah. Van Til mengatakan:

197 Van Til, An Introduction 181. Van Til memang mengatakan bahwa kita tidak mungkin memiliki tiruan dari sistem pengetahuan yang dimiliki Allah (seperti dalam kutipan 193). Pikiran manusia

tidak mungkin menjadi versi yang lebih kecil dari pikiran Allah (ingat perbedaan kualitatif Pencipta dan ciptaan). Tetapi Van Til mengakui bahwa manusia dapat memiliki tiruan yang terbatas dari sistem pengetahuan Allah. Manusia yang pikirannya berfungsi dengan baik dapat memiliki pemikiran yang sejajar dengan Allah dalam skalanya sebagai ciptaan.

when we think of human knowledge, correspondence is of primary importance. If there is to be true coherence in our knowledge there must be correspondence between our ideas of fact and God’s idea of these facts. Or rather we should say that our ideas must correspond to God’s ideas. 198

Bagaimana manusia dapat mempunyai korespondensi dengan pikiran Allah? Bagaimana manusia dapat berpikir sesuai dengan pikiran Allah? Di sini peran dari penyataan (revelation) Allah menjadi penting. Manusia dapat berpikir sesuai dengan pikiran Allah jika manusia menerima informasi yang telah Allah nyatakan melalui penyatan diri-Nya sendiri di dalam alam dan Alkitab. Di dalam konteks penyataan Allah tersebut maka manusia menggunakan kemampuan rasional dan empirisnya, yang Allah telah berikan kepada manusia sebagai gambar dan rupa Allah, untuk mengetahui pikiran Allah. Karena Allah telah menempatkan manusia di dunia dengan panggilan untuk memahami dan mengelola dunia maka kita memiliki kemampuan yang diberikan Allah untuk mengamati (dengan indera kita), menguji, membuat abstraksi (dari data-data partikular), dan menerapkan kebenaran-kebenaran mengenai dunia. Karena rencana dan maksud Allah menentukan apapun yang terjadi maka kita perlu mengeksplorasi, menyelidiki, dan mengumpulkan data-data mengenai alam dan sejarah untuk mengetahui pikiran Allah mengenai alam dan sejarah tersebut. Karena pemikiran Allah itu koheren dan benar maka kita berupaya jelas secara konseptual dan konsisten di dalam pemikiran kita sehingga kita dapat berpikir sesuai dengan pikiran Allah tentang kebenaran-kebenaran dan relasi-relasinya.

Dengan demikian ketika kita belajar sesuatu hal melalui penyelidikan empiris dan penalaran yang logis maka kita berpikir tentang pemikiran-

198 Cornelius Van Til, A Survey of Christian Epistemology (Philadelphia: den Dulk Foundation, 1969) 3. Van Til seringkali menggunakan istilah berpikir sesuai dengan pikiran Allah (thinking God’s

thought after Him) untuk menyebut cara berpikir analogis.

pemikiran Allah, apa yang Allah pikirkan sebagai Pencipta dan Pemelihara dunia ini, pada level kita sebagai ciptaan. 199

Bagi Van Til pemikiran analogis ini menghasilkan suatu kepastian. Memang manusia tidak dapat mengetahui segala sesuatu secara komprehensif, menyeluruh, dan total. Tetapi Allah memiliki pengetahuan yang komprehensif, menyeluruh, dan total. Sehingga meskipun manusia hanya memiliki sebagian kecil pengetahuan tentang Allah, manusia, dan dunia tetapi pengetahuan ini memiliki jaminan kebenarannya di dalam diri Allah. Jaminan ini terdapat di dalam penyataan Allah yang terdapat di dalam alam dan Alkitab. Van Til mengatakan:

When on the created level of existence man thinks God’s thought after him, that is, when man thinks in self-conscious submission to the voluntary revelation of the self-sufficient God, he has therewith the only possible ground of certainty for his knowledge. 200

Di sini muncul pertanyaan sejauh mana pengetahuan manusia serupa dengan Allah dan sejauh mana pengetahuan manusia berbeda dengan Allah? Sejauh mana pikiran manusia serupa dengan Allah dan sejauh mana berbeda? Pertanyaan ini berkaitan dengan hubungan antara pengetahuan Allah dan manusia. 201

Misalnya, ketika Allah memberitahu manusia bahwa Kristus telah bangkit dari kematian dan jika manusia mengetahui bahwa Kristus telah bangkit dari kematian maka muncul pertanyaan apakah Allah mengetahui hal yang sama dengan manusia atau Allah dapat juga mengetahui

199 Bahnsen, Van Til’s 224. 200 Cornelius Van Til, “Nature and Scripture,” dalam The Infallible Word (ed. N. B. Stonehouse

dan Paul Woolley; Philadelphia: P & R, 1946) 278. 201 Pertanyaan ini membawa kita kepada perdebatan Van Til dan Gordon Clark mengenai relasi

pengetahuan Allah dan manusia. Penulis tidak akan membahas perdebatan ini dan hanya akan memaparkan konsep Van Til tentang hubungan pengetahuan manusia dan Allah. Perdebatan antara Van Til dan Gordon Clark telah di dokumentasi dan di analisa dengan baik oleh Frame dalam Cornelius Van Til 97-113.

kebenaran yang sebaliknya yaitu Kristus tidak bangkit? Di dalam hal ini pun Van Til tetap ingin mempertahankan perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Van Til mengatakan:

The Reformed faith teaches that the reference point for any proposition is the same for God and for man. It holds that this identity of reference point can be maintained only on the presupposition that all human predication is analogical re-interpretation of God’s pre-interpretation. Thus the incomprehensibility of God must be taught with respect to any revelational proposition. If it is not so taught there is no identity of reference point between one mind and another mind. 202

Bagi Van Til titik rujukan bagi kedua-duanya, baik Allah dan manusia, adalah sama. Pada waktu Allah berpikir tentang Kristus bangkit dan manusia berpikir Kristus bangkit maka baik pikiran Allah maupun pikiran manusia memiliki titik rujukan yang sama yaitu Kristus yang bangkit. Titik rujukan inilah yang menjadi perantara atau jembatan antara pikiran Allah dan pikiran manusia. Sedangkan perbedaan pikiran Allah dan pikiran manusia adalah perbedaan kualitatif. Maksudnya Allah melihat dan mengetahui kebangkitan Kristus sebagai Tuhan dan Pencipta sedangkan manusia melihat dan mengetahuinya sebagai ciptaan dan hamba Allah. 203 Sehingga manusia tidak mungkin mengetahui dengan lengkap tetapi pengetahuan manusia hanya sebatas yang dinyatakan oleh Allah. Perbedaan kualitatif ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena jika perbedaan ini dapat dijelaskan oleh manusia maka manusia “lupa” akan statusnya dan status Allah. Di sini terletak “incomprehensibilty of God.”

Bagaimana dengan pengetahuan orang non-Kristen? Bagi Van Til hanya pengetahuan analogis yang menghasilkan kepastian. Pengetahuan analogis ini juga menghasilkan pengetahuan yang benar.

Pengetahuan analogis, oleh Van Til, dipertentangkan dengan pengetahuan manusia tidak percaya yang bersifat univokal

202 Van Til, An Introduction 171. 203 Scott Oliphint, “The Consistency of Van Til’s Methodology,” Westminster Theological Journal

(univocal). Pengetahuan univokal merupakan pengetahuan manusia hasil dari proses berpikir yang mandiri. Di dalam proses berpikir yang mandiri manusia memandang perbedaan antara Pencipta dan ciptaan tidak relevan. Manusia yang berpikir univokal menempatkan dirinya sendiri sebagai titik referensi final atau yang ultima di dalam masalah pengetahuan. 204 Manusia yang berpikir univokal memandang alam ciptaan dan pikiran manusia sebagai sesuatu yang ultima. Mereka berpandangan bahwa rasio manusia sekarang ini normal dan tidak dicemari oleh dosa. 205

Sebagai akibat dari pemikiran manusia yang univokal ini adalah manusia tidak dapat menghindari skeptisisme. Cara berpikir yang univokal akhirnya menghasilkan kehancuran dari “unity, universality, causality, community, and moral absolutism—in short, resulting in skepticism.” 206 Kondisi ini jelas diperlihatkan oleh para filsuf pascamodernisme. Foucault mempertanyakan subyek manakah yang mampu memberi makna kepada seluruh sejarah manusia? Derrida mempertanyakan kemampuan rasio manusia untuk keluar dari bahasa dan menemukan dasar yang stabil bagi bahasa dan pikiran manusia? Rorty mempertanyakan kemampuan subyek manusia untuk keluar dari keterbatasannya di dalam sejarah dan budaya. Kondisi pascamodernisme merupakan kondisi teologis, kondisi dari manusia yang meninggalkan Tuhan dan meninggikan dirinya sendiri. Van Til memang tidak membuat analisa secara langsung terhadap kondisi pascamodernisme ini, tetapi analisa teologis yang senada dapat ditemukan di dalam tulisan Kevin Vanhoozer 207 Vanhoozer mengatakan bahwa akar kesalahan modernisme terletak pada konsep Dunn Scotus yang menjadikan “ada” (being) sebuah

204 Van Til, An Introduction 101, catatan kaki 1. 205 Cornelius Van Til, The Defense of the Faith (edisi ketiga; Phillipsburg: P & R, 1967) 48. 206 Bahnsan, Van Til’s 224. 207 Kevin Vanhoozer, “Theology and the Condition of Postmodernity: a Report on Knowledge (of

God)” dalam The Cambridge Companion to Postmodern Theology (ed. Kevin Vanhoozer; Cambridge: Cambridge University Press, 2003) 21-22.

konsep yang univokal, sebuah konsep yang dapat diterapkan sejajar untuk ciptaan dan Pencipta. Akibatnya, secara ontologis konsep tersebut menyangkal transendensi Allah karena membuat “ada” (being) menjadi sesuatu yang sama-sama dimiliki baik oleh ciptaan maupun Pencipta.

Antara “ada” ciptaan dengan “ada” Pencipta ada kesinambungan melalui sebuah garis lurus. Secara epistemologis konsep tersebut membuat rasio manusia menjadi independen di dalam proses mengetahui tanpa perlu bantuan dari penyataan Allah. Hal ini membuat upaya mencari pengetahuan mengenai Allah, dunia, dan manusia melalui rasio semata mendapatkan pengesahannya. Manusia, dengan rasionya semata, membangun konsep tentang Allah, manusia, dan dunia. Namun Allah yang dihasilkan oleh pikiran manusia yang mandiri ini hanyalah berhala. “Allah” ini pula, yang dihasilkan oleh metafisika modernisme, diwartakan oleh Nietzsche sebagai Allah yang mati dan tak dapat dipercayai lagi. Dengan cara demikian maka kita dapat memahami

pascamodernisme dekonstruksionisme yang nihilis merupakan konklusi logis dari modernisme yang dibawa sampai ke titik puncaknya. Sehingga pascamodernisme dekonstruksionisme merupakan akibat dari matinya “Allah” modernisme di dalam sastra dan filsafat manusia.

PRASUPOSISI: KOMITMEN KEPADA PENYATAAN ALLAH Van Til menjelaskan bahwa manusia harus tunduk kepada otoritas Allah di dalam masalah pengetahuan. Bagi Van Til penyataan Allah memiliki otoritas yang absolut terhadap pikiran manusia. Jika manusia ingin berpikir sesuai dengan pikiran Allah maka ia harus tunduk kepada penyataan Allah. Bagi Van Til, penyataan Allah harus menjadi PRASUPOSISI: KOMITMEN KEPADA PENYATAAN ALLAH Van Til menjelaskan bahwa manusia harus tunduk kepada otoritas Allah di dalam masalah pengetahuan. Bagi Van Til penyataan Allah memiliki otoritas yang absolut terhadap pikiran manusia. Jika manusia ingin berpikir sesuai dengan pikiran Allah maka ia harus tunduk kepada penyataan Allah. Bagi Van Til, penyataan Allah harus menjadi

Apa pengertian Van Til tentang prasuposisi? Apologetika Van Til terkenal dengan sebutan prasuposisionalisme sehingga prasuposisi memainkan peranan penting di dalam teologi dan apologetikanya. Van Til menggunakan istilah prasuposisi untuk menunjukkan peran yang harus dimainkan oleh penyataan Allah di dalam proses berpikir dan di dalam pikiran manusia. Van Til memang tidak pernah mendefinisikan prasuposisi secara tegas dan eksplisit di dalam tulisan-tulisannya. 208 Namun ia banyak memberikan pengertian-pengertian implisit mengenai apa itu prasuposisi. Frame menjelaskan bahwa bagi Van Til prasuposisi memiliki tiga pengertian. 209 Pertama, prasuposisi memiliki pengertian sebagai komitmen mendasar hati seseorang. 210 Bagi orang percaya komitmen tersebut adalah kepada Allah sebagaimana Ia menyatakan diri-Nya di dalam firman-Nya. Bagi orang-orang tidak percaya prasuposisinya adalah ilah lain, dirinya sendiri, kenikmatan, uang, rasionalitas, dan lain sebagainya yang menjadi komitmen hati mereka yang paling mendasar dan yang mengatur kehidupan termasuk pikiran mereka. Komitmen mendasar ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam pengetahuan manusia. Prasuposisi ini yang akan menentukan kriteria kebenaran dan kesalahan dalam pengertian epistemologis serta benar dan salah dalam pengertian etis. Prasuposisi mengontrol bagaimana seseorang bernalar dan bagaimana ia menginterpretasi dan menilai pengalaman dan eviden. Prasuposisi berfungsi sebagai titik acuan atau rujukan

208 Frame, Cornelius Van Til 136. 209 Ibid. 136-137. 210 Van Til menyebutnya sebagai “the most basic presupposition,” (Van Til, The Defense 83, 216).

Bahnsen menjelaskan prasuposisi Van Til sebagai kepercayan-kepercayaan atau asumsi-asumsi mendalam (deeper beliefs or assumptions), sebagai “most fundamental or basic philosophical assumptions” (Bahnsen, Van Til’s 465).

bagi penalaran seseorang. 211 Prasuposisi seseorang akan menata segala pengalaman manusia terhadap obyek dan mengkaitkannya satu dengan yang lain di dalam suatu

sistem pemikirannya yang konsisten. Kedua, ada beberapa contoh yang memperlihatkan bahwa Van Til menggunakan kata prasuposisi dengan cara yang berbeda. Misalnya, Van Til menganjurkan agar para pembela iman Kristen memperlihatkan kepada orang non-Kristen bahwa “even in his virtual negation of God, he is still really presupposing God.” 212 Tentu saja pengertian prasuposisi di sini berbeda dengan pengertian di atas. Orang non-Kristen tidak memiliki komitmen hati yang mendasar kepada Allah. Jika demikian apa pengertian prasuposisi di atas? Prasuposisi di sini memiliki pengertian bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang memperlihatkan, di dalam level tertentu dari kesadarannya, adanya kesadaran akan realitas Allah dan signifikansinya. Jadi meskipun orang tidak percaya secara eksplisit menyangkal Allah tetapi secara implisit mengakui keberadaan Allah di dalam ia mengasumsikan bahwa dunia ini dapat dipahami.

Ketiga, prasuposisi seseorang juga berfungsi untuk menjadi syarat atau prakondisi agar pengalaman dan proses berpikir seseorang menjadi bermakna atau dengan kata lain prasuposisi merupakan syarat atau kondisi yang memungkinkan pengetahuan manusia. 213 Frame menjelaskan hal ini:

211 Cornelius Van Til, Christian Apologetics (Philipsburg: P & R, 1976) 45. Di sini prasuposisi dijelaskan sebagai “the final reference point in interpretation,” atau “the final reference point in

predication.” Interpretasi di sini dipahami dalam pemahaman epistemologis sebagai cara manusia mengetahui bukan sebagai sinonim hermenutika atau ilmu menafsir teks Alkitab.

212 Van Til, A Christian Theory 13. 213 Pertanyaan ini diajukan oleh Immanuel Kant (1724-1804) di dalam upayanya menyatukan

tradisi rasionalisme (yang menekankan pengetahuan a priori) dan tradisi empirisisme (yang menekankan pengetahuan a posteriori). Syarat atau kondisi apa yang diperlukan oleh manusia sehingga pengetahuan manusia menjadi mungkin. Pencarian Kant ini menyebabkan filsafatnya seringkali disebut sebagai filsafat transendental. Filsafat yang berupaya mencari syarat pengetahuan. Bagi Van Til syarat atau kondisi yang memungkin pengetahuan manusia ada pada Allah. Sehingga Allah yang seharusnya menjadi prasuposisi manusia.

There are also passages in Van Til in which the word presuppose is used, not of persons, but of things: arguments, methods, knowledge, academic discipline, state of affair (like the intelligibility of the universe). In such context, that which is presupposed is a necessary condition or that which legitimizes. Perhaps we can relate these uses to our basic definition by saying that if x presupposes y, then y is that to which a person must be committed if he is to give an intelligible account of x. 214

Di sini dapat kita simpulkan bahwa prasuposisi bagi Van Til memiliki pengertian sebagai kondisi atau syarat bagi pengetahuan, kesadaran akan realitas Allah, dan juga sebagai kepercayaan mendasar yang merupakan komitmen hati seseorang.

Dengan pemahaman seperti ini maka prasuposisi memainkan fungsi yang sangat penting di dalam pengetahuan manusia. Prasuposisi ini yang menentukan kriteria ultima atau yang terutama di dalam menentukan kebenaran atau kesalahan (epistemologis), benar atau salah (etis). Prasuposisi yang akan menentukan konsep seseorang mengenai sains, rasionalitas, bukti (proof), eviden, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu orang tidak akan menggunakan prosedur ilmiah, pemikiran yang abstrak, atau verifikasi empiris untuk membuktikan prasuposisi seseorang. Pengertian tentang bukti itu sendiri mendapatkan maknanya dari prasuposisi tersebut. Van Til menjelaskan:

The Reformed method of apologetics . . . would “presuppose” God. . . . Before seeking to prove that Christianity is in accord with reason and in accord with fact, it would ask what is meant by “reason” and what is meant by “fact.” It would argue that unless reason and fact themselves interpreted in term of God they are unintelligible. . . . Reason and fact cannot be brought into fruitful union with one another except upon the presupposition of the existence of God and his control over the universe. 215

214 Frame, Cornelius Van Til 136-137. 215 Van Til, A Christian Theory 18.

Oleh sebab itu prasuposisi memiliki otoritas terbesar di dalam pemikiran seseorang, memiliki kekebalan yang kuat terhadap perubahan, dan dianggap sebagai kepercayaan yang paling mendasar sehingga sukar untuk ditawar-tawar lagi.

Van Til menggunakan istilah prasuposisi dengan cara yang berbeda dengan Francis Schaeffer, Edward J. Carnell, atau Gordon Clark. Gordon Clark disebut sebagai prasuposisionalisme deduktif. 216 Clark memperlakukan prasuposisi sebagai sebuah aksioma, seperti sebuah aksioma di dalam ilmu geometri. Semua kebenaran-kebenaran yang lain diturunkan secara deduktif dari prasuposisi (dalam hal ini dari Alkitab). Tetapi aksioma ini sendiri tidak dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya. Aksioma ini diterima begitu saja sebagai prinsip pertama di mana tidak ada pembuktian dan pembenaran lain yang dapat diberikan kepadanya. Konsep seperti ini jelas bukan konsep Van Til. Bagi Van Til prasuposisi Kristen berdasarkan kepada dasar rasional yang paling kuat yaitu penyataan Allah itu sendiri. Penyataan Allah menjadi dasar rasional bagi iman Kristen. Iman Kristen adalah satu-satunya iman yang rasional.

Konsep prasuposisi Van Til juga berbeda dengan konsep prasuposisi Francis Schaeffer dan Edward J. Carnell. Bagi mereka prasuposisi hanya merupakan sebuah hipotesis yang harus diuji dengan oleh pertimbangan-pertimbangan dan rasio yang independen, seperti: prinsip non-kontradiksi, prinsip ketepatan dengan fakta empiris, prinsip relevansi dengan pengalaman pribadi.

Bagi mereka prinsip-prinsip ini independen. 217 Namun Van Til menolak konsep ini. Bagi Van Til prasuposisi bukan

sekedar sebuah hipotesis tetapi bersifat kategoris (sesuatu yang pasti) dan lebih mendasar dari hipotesis. Bagi Van Til, jika seorang apologet menempatkan prasuposisi kepada

216 Ronald H. Nash, Faith and Reason: Searching for a Rational Faith (Grand Rapids: Zondervan, 1988) 60.

217 Bahnsen, Van Til’s 466.

ujian yang independen sama dengan mengakui otonomi manusia yang berdosa. Hal ini berarti ada sesuatu yang lebih tinggi dari prasuposisi tersebut dalam hal ini prinsip- prinsip konsistensi, korespondensi, dan prinsip pragmatis menjadi lebih tinggi dari Allah itu sendiri.

Konsep prasuposisi Van Til juga berbeda dengan konsep kalangan epistemologi reformed 218 tentang kepercayaan mendasar (basic belief) dan kepercayaan pengontrol

kepercayaan yang lain (control belief). Kalangan epistemologi reformed mengatakan bahwa kepercayaan kepada Allah ini rasional meskipun tidak memiliki dasar argumen karena percaya pada Allah termasuk ke dalam kategori kepercayaan langsung (immediate beliefs) tanpa perantara atau kepercayaan yang bukan akibat dari kesimpulan logis. Kepercayaan kepada Allah menjadi pengontrol kepercayaan-kepercayaan yang lain. Konsep prasuposisi Van Til lebih kuat karena ia berfungsi juga secara transendental, sebagai syarat pengetahuan dan penggunaan rasio manusia. Prasuposisi berfungsi sebagai prakondisi ontologis yang memungkinkan pengetahuan manusia.

Apa prasuposisi orang Kristen? Bagi orang Kristen prasuposisinya haruslah Allah yang kita kenal lewat penyataan-Nya, prasuposisi orang Kristen adalah kebenaran dari apa yang Alkitab katakan tentang Allah. 219 Bagi Van Til tanpa prasuposisi Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab maka semua pengalaman manusia dan penalaran manusia menjadi tidak berdasar dan tidak bermakna. Hal ini disebabkan rasio manusia hanya

218 Epistemologi reformed menunjuk kepada sebuah gerakan di kalangan para filsuf Kristen Amerika Utara yang menentang fondasionalisme dan evidensialisme di dalam masalah religius yang

menempatkan iman religius sebagai iman yang tidak memiliki bukti sehingga tidak layak untuk dipercayai. Bagi kalangan epistemologi reformed kepercayaan kepada eksistensi dan hakekat Allah merupakan kepercayaan mendasar (properly basic belief) dan berfungsi menjadi pengontrol kepercayaan yang lain. Filsuf-filsuf yang termasuk ke dalam kalangan epistemologi reformed adalah: Alvin Plantinga, Nicholas Wolterstorff, William Alston, dan Kelly Clark. (Lihat Westphal, “A Reader’s Guide” 10-13). Locus classicus dari epistemologi reformed terdapat di buku Faith and Rationality (ed. Alvin Plantinga dan N. Wolterstorff; Notre Dome: University of Notre Dome Press, 1983).

219 Van Til, A Survey 117.

dapat berfungsi di dalam kerangka penciptaan oleh Allah. Kemampuan rasio manusia yang menghasilkan pengetahuan perlu pembenaran untuk dapat membenarkan penggunaan rasio tersebut. Hanya prasuposisi Kristen yang dapat menyediakan pembenaran tersebut. Allah yang menciptakan dunia dan semua fakta yang ada di dunia ini terjadi karena rencana Allah. Allah pula yang menciptakan kemampuan kognitif manusia. Dengan dasar penciptaan ini maka manusia memiliki dasar metafisik untuk kemampuan kognitifnya. Metafisika penciptaan oleh Allah Alkitab menyediakan dasar bagi kemampuan manusia mengetahui. Lebih lanjut, semua relasi antar fakta hanya dapat diketahui dengan sempurna dan lengkap oleh Allah. Tanpa dasar pengetahuan yang sempurna dan lengkap terhadap hal-hal yang partikular maka hal-hal yang partikular tidak dapat diketahui dengan benar. Sehingga hanya dengan penyataan Allah maka manusia mungkin untuk memiliki pengetahuan. Tanpa penyataan Allah yang mengetahui segalanya pengetahuan manusia tidak memiliki dasar. Konsep ini memiliki dasar pemahaman ontologis bahwa hanya Allah yang merupakan keberadaan yang ada dengan sendirinya sedangkan hal-hal yang lain bergantung kepada rencana dan topangan Allah untuk keberadaannya. Sehingga setiap hal dan benda memiliki alasan keberadaannya di dalam diri Allah. Untuk mengetahui segala sesuatu ini maka kita memerlukan penyataan Allah.

Apa prasuposisi orang non-Kristen? Orang tidak percaya menjadikan dirinya mandiri dan otonom dengan menolak Allah. Pada posisi ini ia memilih sesuatu yang lain, selain Allah, untuk menjadi prasuposisinya. Prasuposisi ini bisa dirinya sendiri, bisa pula ilah lain, atau hal-hal lain yang menempati posisi “Allah” di dalam kehidupannya. Akibat prasuposisi ini terhadap pengetahuan manusia adalah manusia mencoba Apa prasuposisi orang non-Kristen? Orang tidak percaya menjadikan dirinya mandiri dan otonom dengan menolak Allah. Pada posisi ini ia memilih sesuatu yang lain, selain Allah, untuk menjadi prasuposisinya. Prasuposisi ini bisa dirinya sendiri, bisa pula ilah lain, atau hal-hal lain yang menempati posisi “Allah” di dalam kehidupannya. Akibat prasuposisi ini terhadap pengetahuan manusia adalah manusia mencoba

Manusia menyalahkan hal ini kepada keterbatasannya. Manusia mengacaukan keterbatasan dengan dosa. Manusia mencampurbaurkan aspek metafisik dan etis dari realitas. Ia tidak mau mengakui dosanya tetapi menyalahkan kegagalannya membentuk pengetahuan menyeluruh kepada dunia di sekelilingnya atau kepada keterbatasan dirinya.

Namun demikian orang tidak percaya juga memprasuposisikan Allah di dalam penolakannya terhadap Allah. Van Til menjelaskan: “the non Christian that even in his virtual negation of God, he is still really presupposing God. . . . he cannot deny God unless he first affirm him.” 222 Orang tidak percaya hidup dengan dua prasuposisi yang bertentangan.

Di satu sisi, secara epistemologis ia dengan segala kemampuan kognitifnya menentang keberadaan Allah namun di sisi lain, secara metafisik prasuposisi orang non-Kristen tidak dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan keefektifan kemampuan kognitifnya. Sehingga untuk dapat menjalankan kemampuan kognitifnya orang tidak percaya “meminjam,” tanpa menyadarinya, kebenaran-kebenaran Kristen tentang penciptaan dan providensia Allah. Ilustrasi yang sering digunakan Van Til untuk menggambarkan keadaan ini adalah ilustrasi seorang anak yang duduk di pangkuan

220 Van Til, The Defense 15. 221 Ibid. Penekanan oleh Van Til. 222 Van Til, A Christian Theory 13.

ayahnya dan menampar ayahnya. Anak tersebut mampu menampar ayahnya karena ayahnya menopang anak tersebut.

PRASUPOSISI DAN FAKTA Apa kaitan antara prasuposisi, fakta, dan pengetahuan manusia? Kita akan mencoba memahami konsep Van Til tentang fakta dan kaitannya dengan prasuposisi. Bagi Van Til obyek pengetahuan adalah fakta. Fakta ini dapat ditemukan di dunia fisik, psikologis, matematika, dan bahkan dunia “spiritual.” 223 Karena fakta adalah obyek pengetahuan maka ketika seorang subyek mengetahui sesuatu atau percaya sesuatu maka yang ia ketahui atau percayai itu adalah fakta. Paul Pardi menjelaskan bahwa fakta bagi Van Til memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(a) they are extra-mental entities, (b) they are not propositional in nature, (c) they can be apprehended by the mind, (d) they must be interpreted to be known, (e) facts, in some sense, just are objects and states of affairs (O/SA) and are not to be distinguished from them. 224

Pada dasarnya fakta adalah obyek pengetahuan atau suatu situasi (state of affair) yang membentuk dunia kita ini. Fakta juga merupakan kualitas-kualitas obyek atau situasi (state of affair) yang dapat berhubungan dengan pikiran manusia dengan cara tertentu. Secara ontologis, fakta tidak dapat dipisahkan dari obyek atau suatu situasi (sebagai entitas yang ada di luar pikiran manusia) meskipun tidak mencakup semua kualitas atau ciri-ciri dari obyek atau suatu situasi tersebut.

Van Til berpandangan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk mengetahui dunia disekelilingnya dan Allah menciptakan dunia dengan kualitas- kualitas atau ciri-ciri di mana kemampuan kognitif manusia dapat cocok dengan kualitas-

223 Van Til, A Survey 116-117. 224 Paul Pardi, “Can Epistemology?” 223 Van Til, A Survey 116-117. 224 Paul Pardi, “Can Epistemology?”

Allah juga telah memberikan hukum-hukum keberadaan (law of being) di dalam alam yang berdasarkan hukum-hukum tersebut alam berfungsi. 225 Hukum-hukum berpikir dan hukum-hukum keberadaan memiliki kecocokan sehingga hukum-hukum berpikir dapat diterapkan kepada hukum-hukum keberadaan. Hal ini disebabkan karena sumber kedua hukum tersebut adalah sama yaitu Allah sendiri. Hukum-hukum Allah ini yang menjamin kemungkinan pengetahuan manusia. Di sini kita melihat hukum-hukum Allah tertanam di seluruh ciptaan-Nya. Hukum-hukum Allah ini merupakan wujud nyata rencana Allah terhadap ciptaan-Nya.

Namun bagi Van Til, fakta tidaklah berdiri sendiri. Fakta ini berada dalam relasi dengan fakta-fakta lain dan pada akhirnya berada di dalam relasi dengan rencana Allah. Fakta adalah bagian dari rencana Allah dan melayani maksud Allah. Segala sesuatu dan semua peristiwa pada akhirnya berkaitan dengan Allah yang mengontrol relasi antara obyek benda dan peristiwa-peristiwa. Oleh sebab itu semua obyek dan peristiwa merupakan bagian dari sebuah sistem yang koheren dan rasional. Sistem ini ada pada Allah dan rencana-Nya. Dengan kata lain fakta bersifat kontingen (bergantung kepada sesuatu yang lain) sedangkan Allah, di mana keberadaan Allah merupakan suatu keniscayaan (a necessary being), adalah keberadaan yang mendasari fakta yang lain. Sehingga seseorang tidak mungkin benar-benar mengetahui suatu fakta terlepas dari relasi-relasi tersebut. Fakta tidak mungkin diketahui dengan benar tanpa relasinya dengan Allah. Bagi Van Til relasi fakta dengan fakta lain dan dengan rencana Allah

225 Van Til, A Survey 1.

harus memainkan peranan penting di dalam proses epistemik. Van Til mengatakan: “[I]t may be said that for human mind to know fact truly, it must presuppose the existence of God and his plan for the universe.” 226 Lebih lanjut Van Til mengatakan bahwa rencana Allah ini hanya dapat diketahui melalui Alkitab sehingga hanya melalui Alkitab kita dapat melihat fakta sebagaimana mereka adanya: “no ‘fact’ can be truly known, . . . without the special revelation of Scripture, because it is only trough Christ and the Scriptures that ‘facts’ are seen as they are, that is, as theistic ‘facts.’” 227

Sebagai konsekuensi pemahaman di atas maka semua fakta bersifat penyataan (revelational). Semua fakta di segala tempat bukan hanya menyatakan keberadaannya sendiri tetapi juga menyatakan Allah Alkitab dan hukum-hukum Allah. Segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini memiliki karakter imanensi (menyatakan dirinya sendiri) dan juga transendensi (menyatakan Penciptanya). Van Til mengatakan: “the Reformed believer should stress with Calvin that every fact of history, here and now actually is a revelation of God. Hence any fact and every fact proves the existence of God and therefore the truth of Scriptures.” 228 Lebih lanjut, bagi Van Til segala sesuatu di dalam alam semesta ini memperlihatkan fakta bahwa alam semesta tersebut dikontrol oleh Allah. Alam semesta mendapatkan maknanya karena ia merupakan bagian dari rencana Allah. 229 Jika manusia dikelilingi oleh fakta-fakta yang menunjuk kepada Allah maka manusia harus menggunakan fakta-fakta dengan bertanggung jawab dan untuk kemuliaan Allah. Sikap manusia di dalam menggunakan fakta juga memperlihatkan apakah manusia

226 Van Til, An Introduction 22. 227 Van Til, A Survey 124. 228 Van Til, An Introduction 17. Penekanan oleh Van Til. 229 Van Til, The Defense 195 226 Van Til, An Introduction 22. 227 Van Til, A Survey 124. 228 Van Til, An Introduction 17. Penekanan oleh Van Til. 229 Van Til, The Defense 195

Dengan pemahaman di atas maka Van Til menolak fakta yang tidak diinterpretasi oleh Allah (brute fact). Fakta tanpa interpretasi (brute fact) merupakan fakta yang eksis tanpa Allah dan tanpa interperetasi Allah terhadapnya. Filsuf dan ilmuwan kadang- kadang berupaya mencari dasar bagi pemikiran mereka pada fakta yang tanpa interpretasi. Motivasi mereka adalah mereka berupaya mencari titik pijak bagi pemikiran manusia di luar dari penyataan Allah. Menurut para filsuf dan saintis ini pikiran manusia itu ultima dan tidak harus bersandar kepada pemikiran Allah. Pikiran manusia harus di sandarkan kepada sesuatu yang ada sebelum semua pemikiran manusia bekerja yaitu pada fakta. Fakta tanpa interpretasi ini haruslah bebas dari hukum-hukum pemikiran atau kategori- kategori yang ditanamkan oleh pemikiran manusia jika fakta tersebut mau menjadi dasar pemikiran manusia. Namun fakta tersebut merupakan fakta tanpa makna. Fakta yang tidak dapat diketahui manusia. Van Til sendiri mengatakan: “Fact without God would be brute fact. They would have no intelligible relation to one another. As such they could not be known by man.” 230 Fakta yang tanpa interpretasi Allah tidak dapat diketahui dengan benar oleh manusia. Van Til melihat bahwa semua fakta telah diinterpretasi oleh Allah di dalam rencana-Nya. Lebih lanjut, tidak ada fakta yang lepas dari interpretasi. Setiap fakta yang diketahui oleh manusia telah diinterpretasi oleh manusia. Setiap fakta bersifat terkait kepada teori yang menyelidikinya.

Jika semua fakta sudah diinterpretasi Allah maka fakta mendapatkan maknanya di dalam rencana Allah. Di sinilah peranan prasuposisi orang percaya kepada Allah dan

230 Cornelius Van Til, Christian-Theistic Evidences (Unpublished Syllabus; Westminster Theological Seminary, 1961) ii.

penyataan-Nya memainkan peranan penting dalam proses mengetahui fakta. Tanpa penyataan Allah maka manusia tidak mungkin memahami rencana Allah. Van Til mengatakan:

We hold that the meaning of any one finite fact is exhausted by its relation to the plan of God. Hence this same thing will hold for any two or three facts. And it follow that no other facts can stand in any possible relation to these facts unless they too are related to this one comprehensible plan of God. In other words, only Christian facts are possible. For any fact to be a fact at all, it must be what Christ in Scripture says it is. 231

Di sini peran Alkitab menjadi penting. Fakta eksistensi Allah dan rencana-Nya merupakan hal yang fundamental di dalam mengetahui fakta secara benar. Namun eksistensi Allah ini berfungsi dengan benar hanya di dalam penyataan Allah di dalam Alkitab. Penyataan Allah yang memberitahu kepada manusia bahwa Allah ada dan Allah yang menjadi dasar dari semua fakta. Penyataan Allah di dalam Alkitab memperlihatkan bahwa Allah yang menjadi dasar fakta dan mengizinkan manusia untuk mengetahui hal ini. Van Til mengatakan: “There can therefore be no fact which is ultimately out of accord with the system of truth set forth in Scripture. Every fact in the universe is what it is just because of the place that it has in this system.” 232 Bahkan van Til mengatakan bahwa Alkitab memiliki kebenaran ultima mengenai fakta: “It [the Bible] claims to have the ultimate truth about all facts.” 233

Bagaimana sikap manusia terhadap fakta bahwa fakta sudah memiliki makna di dalam rencana Allah? Kita dapat mengatakan bahwa bagi Van Til, Allah merupakan interpretator yang ultima. Ia menjadi interpretator final terhadap segala fakta. Oleh

231 Van Til, A Survey 8. 232 Van Til, A Christian Theory 35. 233 Van Til, A Survey 124.

sebab itu manusia harus bertindak sebagai re-interpretator Allah yang terbatas. 234 Apa yang manusia lakukan sebagai ciptaan adalah menginterpretasi ulang interpretasi Allah.

Manusia menginterpretasi sesuatu yang telah diinterpretasi oleh Allah. Manusia tidak menentukan makna dan hakekat dunia ini. Sebaliknya manusia telah dilahirkan ke dalam dunia yang telah ditata oleh Allah. Manusia, mau atau tidak mau, hidup di dalam dunia yang telah terstruktur oleh Allah. Manusia menginterpretasi ulang apa yang diinterpretasi Allah. Dengan bertindak sebagai re-interpretator Allah maka manusia telah bertindak sebagai nabi yaitu menginterpretasi dunia sesuai dengan interpretasi Allah, manusia harus bertindak sebagai nabi Allah yang baik.

NETRALITAS DAN TITIK PIJAK BERSAMA (COMMON GROUND) Van Til menolak adanya daerah titik netral untuk mengevaluasi dan menilai

segala sesuatu. Netralitas epistemologis bagi Van Til merupakan hal yang tidak mungkin bahkan merupakan bias atau prejudis yang melawan Allah. Bagi Van Til, siapa yang tidak berpihak kepada Allah, ia melawan Allah dan tidak ada posisi ketiga atau posisi netral.

Karena pada waktu seseorang mau bersikap netral maka ia telah mengenyampingkan Allah dan sudah bergeser pada posisi melawan Allah. Hal ini diperlihatkan oleh Hawa pada waktu ia mau menjadi hakim antara Allah dan iblis. Pada waktu ia mau bersikap netral pada Allah dan iblis sebenarnya ia sudah mengangkat dirinya sebagai hakim antara Allah dan iblis. Pada waktu Hawa mengangkat diri sebagai

234 Ibid. 203-204.

hakim maka ia telah berpihak pada iblis dengan cara menempatkan Allah (sebagai Pencipta) di bawah penilaian Hawa (sebagai ciptaan). 235

Bagaimana dengan rasio manusia, bukankah rasio netral? Bagi Van Til rasio manusia hanya merupakan sarana intelektual dan alat untuk mencapai pengetahuan. Rasio bukan standar utama kebenaran dan pengetahuan sehingga lebih berotoritas daripada Allah. Fungsi rasio manusia dipengaruhi oleh kondisi spiritual seseorang. Kondisi spiritual seseorang diletakkan oleh Van Til di dalam kerangka Penciptaan- Kejatuhan-Penebusan. Di dalam kerangka PKP (Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan) ini Van Til membedakan tiga jenis rasio manusia. 236 Pertama, rasio Adam (atau Adamic consciousness). Rasio Adam merupakan rasio manusia sebelum kejatuhan Adam dalam dosa. Rasio Adam bersifat derivatif yaitu bergantung kepada penyataan Allah. Pengetahuan manusia, sebagai ciptaan, tidak lengkap namun pengetahuan ini benar. Rasio Adam ini berada dalam kovenan dengan Allah, ia tidak berada dalam posisi melawan Allah. Di Firdaus pengetahuan manusia bersifat analogis. Manusia berupaya untuk mengetahui fakta alam semesta untuk memenuhi panggilannya sebagai pemelihara kovenan dengan Allah. 237

Kedua, rasio manusia yang jatuh dalam dosa atau rasio yang belum lahir baru (unregenerate consciousness). Manusia yang belum lahir baru ini mati di dalam dosa- dosa dan pelanggaran-pelanggarannya. Manusia berdosa ini memiliki motivasi ingin menyerupai Allah yaitu sebagai hakim antara baik dan jahat, dan sebagai standar

kebenaran. Ia menyangkal kondisinya sebagai ciptaan dan menganggap dirinya normal.

235 Cornelius Van Til, Why I Believe in God (Philadelphia: Committee on Christian Education, OPC, t.t) 8.

236 Van Til, An Introduction 25-30; bnd. Van Til, The Defense 48-50. Van Til mengkaitkan kesadaran seseorang dengan penggunaan rasio di sini.

237 Ibid. 25.

Bagi manusia berdosa makna alam semesta ini imanen di dalam dirinya sendiri, yaitu terkandung di dalam alam semesta itu sendiri tanpa perlu interpretasi dari Allah. Manusia berdosa menjadikan dirinya sendiri sebagai interpretator final dan ultima bukan sebagai interpretator yang rendah hati di hadapan Allah. Van Til menyebut manusia berdosa ini sebagai “natural man” yang berupaya menjadi “creatively constructive,” ia berupaya untuk menjadikan pikirannya sebagai standar kebenaran yang asali. 238 Manusia berdosa berupaya untuk menginterpretasi dunia tanpa Allah menjadikan interpretasinya ultima. Orang berdosa ini menindas kebenaran Allah. Di sini kita melihat pengaruh dosa terhadap fungsi rasio manusia (noetic effect of sin). Meskipun demikian orang berdosa masih dapat memiliki pengetahuan yang benar karena masih adanya penyataan umum Allah di alam dan di dalam dirinya sendiri. Menurut Van Til: “The actual situation is therefore always a mixture of truth with error. Being ‘without God in the world’ the natural man yet knows God, and, in spite of himself, to some extent recognizes God.” 239

Ketiga, rasio dari manusia yang diperbaharui (regenerate consciousness). Rasio dari manusia yang diperbaharui ini merupakan rasio Adam yang direstorasi. Namun restorasi hanya pada prinsipnya saja bukan pada dalam derajatnya. Manusia yang diperbaharui menyadari bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan telah jatuh ke dalam dosa. Ia menyadari bahwa ia diselamatkan karena anugerah. Oleh karena itu manusia yang telah diperbaharui ini menyadari karakter rasio manusia sebagai ciptaan yaitu bersifat derivatif. Ia dapat menyadari dan memahami apa yang baik dan jahat serta memiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan. Kemampuan ini berasal dari Allah yang bekerja di dalam dirinya. Manusia yang telah diperbaharui ini juga tidak lagi

238 Ibid. 26. 239 Ibid. 27.

diperbudak oleh dosa. Namun demikian ia masih bergumul dengan dosa-dosa di dalam perjalanan hidupnya (Rom. 7). 240

Dengan melihat perbedaan kesadaran manusia ini maka kita melihat bahwa manusia yang telah diperbaharui dan manusia berdosa berada dalam posisi antitesis. Manusia berdosa menggunakan rasionya sebagai standar kebenaran ultima. Ia beroperasi di dalam asumsi monistik yaitu asumsi yang menyejajarkan Allah, dunia, dan manusia. Sedangkan manusia yang telah diperbaharui menyadari dirinya adalah ciptaan dan berupaya menggunakan rasionya di bawah bimbingan penyataan Allah. Perbedaan ini tentu saja menimbulkan perbedaan di dalam epistemologi seseorang dan, akhirnya, kepada pengetahuan seseorang dan konsep kebenaran seseorang. Sehingga penggunaan rasio manusia tidak dapat netral. Ia digunakan untuk melawan Allah atau bersama-sama dengan Allah. Pada masa pasca kejatuhan hanya ada dua rasio manusia yang beropreasi yaitu rasio manusia yang telah diperbaharui dan rasio manusia berdosa. Rasio Adam yang tanpa dosa sudah tidak ada lagi.

Bagaimana dengan fakta? Tidak adakah fakta yang netral, fakta yang terlepas dari komitmen religius atau teori seseorang? Bagi Van Til, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak ada fakta yang netral dalam pengertian bebas dari interpretasi, teori, atau komitmen religius seseorang. Semua fakta telah diinterpretasi Allah. Orang Kristen harus menginterpretasi fakta di bawah bimbingan interpretasi Allah. Orang non-Kristen menginterpretasi fakta dari komitmen religiusnya yang mandiri atau otonom. 241

Jika tidak ada fakta netral dan semua fakta diinterpretasi menurut komitmen religius seseorang, apakah tidak ada obyektivitas?

Seorang Kristen akan

240 Ibid. 28. 241 Bnd. Thom Notaro, Van Til & the Use of Evidence (Phillipsburg: P & R, 1980) 48.

menginterpretasi fakta secara berbeda dengan orang non-Kristen. Jika demikian masih adakah obyektifitas? Van Til mengatakan masih ada obyektifitas: “If the Christian position with respect to creation, that is, with respect to the idea of the origin of both the subject and the object of human knowledge is true, there must be objective knowledge.” 242 Bagi Van Til obyektifitas pengetahuan didapat melalui prasuposisi Kristen. Allah menciptakan rasio manusia dan alam sedemikian rupa sehingga rasio dan alam dapat berinteraksi dengan tepat untuk menghasilkan pengetahuan. Allah juga menentukan apa yang akan terjadi sehingga fakta memiliki makna di dalam rencana Allah. Manusia dapat memiliki pengetahuan yang obyektif jika manusia tersebut memiliki prasuposisi yang benar untuk memahami fakta. Notaro menyimpulkan: “Objective knowledge depend’s on God’s prior interpretation of the objects.” 243 Fakta ciptaan Allah menuntut kerangka interpretasi tertentu untuk memahaminya dengan benar. Tanpa prasuposisi Kristen ini maka tidak mungkin ada pengetahuan yang obyektif. Tanpa prasuposisi Kristen semua fakta di dalam dunia menjadi tidak ada kaitannya satu dengan yang lain dan tidak dapat memiliki kontak yang menghasilkan pengetahuan.

Konsep-konsep Van Til di atas menimbulkan pertanyaan lebih lanjut yaitu: “Apakah Van Til menyingkirkan kemungkinan menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai klaim-klaim religius dengan cara yang obyektif dan rasional? Apakah tidak ada titik pijak bersama (common ground) yang menjadi dasar untuk menyelesaikan perbedaan pendapat secara rasional?” Di sini kita berhadapan dengan konsep Van Til tentang titik pijak bersama (common ground). Van Til membedakan antara titik pijak bersama ontologis (metafisik), titik pijak bersama psikologis, dan titik pijak bersama

242 Van Til, The Defense 43. 243 Notaro, Van Til 49.

epistemologis. Bagi Van Til titik pijak bersama ontologis adalah dunia realitas di mana manusia itu hidup. Dunia realitas ini termasuk Pencipta dan ciptaan-Nya. Hal-hal ini yang merupakan titik pijak bersama. Van Til mengatakan: “Metaphysically speaking then, both parties, believers and unbelievers, have all things in common; they have God in common, they have every fact in the universe in common. And they know they have them in common.” 244 Manusia baik yang percaya maupun yang tidak percaya tinggal di dunia yang sama, melihat realitas yang sama, dan masih memiliki kemampuan kognitif yang bekerja dengan baik secara psikologis. Karena kemampuan kognitif ini masih bekerja dengan baik maka manusia yang tidak percaya masih dapat memiliki pengetahuan yang benar. Pada waktu mereka mengetahui bahwa “Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa” maka pengetahuan mereka itu benar. Di sini Van Til juga mengakui bahwa ada titik pijak bersama secara psikologis. Maksud titik pijak bersama psikologis adalah proses berpikir dan bernalar di dalam diri orang yang tidak percaya. Proses berpikir dan bernalar orang tidak percaya masih berfungsi dengan baik hanya saja orang tidak percaya menggunakannya dengan arah yang salah.

Namun demikian Van Til menyangkal adanya titik pijak bersama secara epistemologis. Van Til mengatakan bahwa orang tidak percaya menindas kebenaran dengan kelaliman. Prinsip otonomi yang bertentangan dengan kekristenan bekerja pada diri orang tidak percaya. Maka secara epistemologis mereka menentang orang percaya sehingga tidak memiliki titik pijak bersama. Pada saat Van Til berbicara tentang titik pijak epistemologis maka yang dimaksud di sini adalah teori yang dimiliki oleh orang yang tidak percaya mengenai epistemologi, subyek pengetahuan, proses mengetahui, dan lain sebagainya. Secara epistemologis orang tidak percaya tidak memiliki dasar untuk

244 Van Til, The Defense 153.

membenarkan kegiatan kognitif dan rasionya. Van Til mengatakan: “That all men have all things in common metaphysically and psychologically, was definitely asserted, and further, that the natural man has epistemologically nothing in common with the Christian.” 245 Namun Van Til menambahkan memang secara epistemologis tidak ada titik pijak bersama tetapi ketiadaan titik pijak bersama secara epistemologis tersebut hanya di dalam prinsip. Prinsip orang-orang non-Kristen adalah kemandirian mereka. Tetapi orang-orang non-Kristen tidak konsisten menjalankan wawasan dunia dan teori mereka. Jika orang tidak percaya menjalankan wawasan dunia mereka, yang mandiri dan menentang Allah, dengan konsisten maka tidak mungkin ada pengetahuan yang benar. Tidak ada kesamaan dalam pengetahuan dan kebenaran antara orang percaya dan tidak percaya. Van Til menjelaskan:

As far as the principle of the natural man is concerned, it is absolutely or utterly, not partly, opposed to God. That principle is Satanic. It is exclusively hostile to God. If it could it would destroy the work and plan of God. So far then men self- consciously work from this principle they have no notion in common with the believer. Their epistemology is informed by their ethical hostility to God. 246

Tetapi karena masih ada anugerah umum, masih ada karya Roh Kudus kepada orang- orang tidak percaya yang menahan kejahatan manusia maka orang-orang tidak percaya tidak menjalankan prinsip mereka secara konsisten. Orang-orang tidak percaya memiliki pertentangan di dalam diri mereka antara prinsip mandiri dan anugerah umum Allah di dalam dirinya. Sehingga secara praktis orang-orang tidak percaya “meminjam” teori- teori dan kebenaran-kebenaran dari kekristenan.

Mereka juga masih memiliki pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan Allah di dalam diri orang-orang tidak percaya inilah yang dapat menjadi titik pijak bersama antara orang Kristen dan non-Kristen.

245 Ibid. 169. 246 Ibid. 170-171. Penekanan oleh Van Til.

Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Van Til ada titik pijak bersama antara orang percaya dan tidak percaya. Namun titik pijak bersama ini tidak netral. Meski ada pengetahuan yang dimiliki bersama-sama oleh orang percaya dan tidak percaya (yang berfungsi sebagai titik kontak [point of contact] bagi argumen rasional) tetapi pengetahuan ini tidaklah netral secara religius.

Pengetahuan bersama ini memprasuposisikan kebenaran kekristenan. Dengan kata lain ada titik pijak bersama yang di atasnya orang percaya dan tidak percaya berdiri tetapi titik pijak bersama ini adalah titik pijak Kristen. Orang tidak percaya meminjam kebenaran-kebenaran Kristen agar mereka dapat hidup di dalam dunia milik Allah. Tugas orang Kristen dalam apologetika adalah memberitahu orang-orang tidak percaya bahwa mereka telah berdiri di atas titik pijak Kristen ini.

KONSEP KEBENARAN Di dalam epistemologi kita dapat melihat ada berbagai macam teori tentang kebenaran. Ada teori kebenaran korespondensi. Teori kebenaran ini merupakan teori yang dominan di dalam pemikiran Barat. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran merupakan suatu korespondensi dengan sebuah fakta. Suatu proposisi atau ide benar bila ia berkorespondensi atau sesuai dengan realitas. Teori kebenaran koherensi mengatakan bahwa suatu proposisi disebut benar bila ia koheren atau tidak bertentangan dengan sekumpulan proposisi lain yang telah diketahui benar. Jika sebuah sistem pemikiran tidak bertentangan di dalam dirinya sendiri maka sistem pemikiran tersebut benar. Teori kebenaran pragmatis mengatakan suatu ide atau proposisi adalah benar jika ide atau proposisi tersebut menghasilkan akibat praktis yang diinginkan. Kebenaran bergantung KONSEP KEBENARAN Di dalam epistemologi kita dapat melihat ada berbagai macam teori tentang kebenaran. Ada teori kebenaran korespondensi. Teori kebenaran ini merupakan teori yang dominan di dalam pemikiran Barat. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran merupakan suatu korespondensi dengan sebuah fakta. Suatu proposisi atau ide benar bila ia berkorespondensi atau sesuai dengan realitas. Teori kebenaran koherensi mengatakan bahwa suatu proposisi disebut benar bila ia koheren atau tidak bertentangan dengan sekumpulan proposisi lain yang telah diketahui benar. Jika sebuah sistem pemikiran tidak bertentangan di dalam dirinya sendiri maka sistem pemikiran tersebut benar. Teori kebenaran pragmatis mengatakan suatu ide atau proposisi adalah benar jika ide atau proposisi tersebut menghasilkan akibat praktis yang diinginkan. Kebenaran bergantung

Bagaimana konsep kebenaran Van Til sendiri? Van Til mencoba merangkul teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi di dalam epistemologinya. Van Til menyebut epistemologinya sebagai epistemologi penyataan (revelational epistemology). Allah menyatakan diri-Nya di dalam ciptaan-Nya, di dalam alam, dan di dalam pikiran manusia. Pikiran manusia tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik kecuali di dalam konteks penyataan. Setiap pikiran manusia yang berfungsi dengan normal di dalam konteks penyataan ini akan menghasilkan kebenaran yang telah Allah letakan di dalam ciptaan. 248

Epistemologi penyataan ingin menegaskan bahwa Allah telah menyatakan diri- Nya sendiri kepada manusia. Penyataan Allah ini juga berisi penyataan tentang manusia, dunia, sejarah, dan lain sebagainya. Penyataan Allah berotoritas atas semua pengetahuan manusia. Epistemologi penyataan menegaskan bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya bersifat penyataan. Pada dasarnya manusia dapat mengetahui segala sesuatu di dalam alam melalui penyataan dan cara manusia mengetahui segala sesuatu adalah melalui penyataan.

Pengetahuan mengenai segala fakta (alam, sejarah, manusia, dan lain sebagainya), di dalam epistemologi penyataan, memprasuposisikan eksistensi dan pengetahuan Allah yang telah menciptakan fakta-fakta tersebut dan Kristus yang telah menginterpretasi fakta

247 James Emery White, What is Truth? A Comparative Study of the Position of Cornelius Van Til, Francis Schaeffer, Carl F. Henry, Donald Bloesch, Millard Erickson (Nashville: Broadman & Holman,

1994) 5-6. 248 Van Til, A Survey 1.

tersebut di dalam Alkitab. Manusia yang ingin mengetahui fakta dengan benar harus melihat fakta tersebut dengan tuntas di dalam relasinya dengan rencana Allah. Allah— yang telah menciptakan fakta tersebut—mengetahui fakta tersebut dengan tuntas termasuk relasi-relasi fakta tersebut dengan fakta-fakta lain dan dengan rencana Allah sendiri. 249 Metode untuk mendapatkan pengetahuan ini adalah metode implikasi (method of implication). Metode ini berupaya “to implicate ourselves more deeply into a comprehension of God’s plan in and with every fact that we investigate.” 250 Metode ini ingin menekankan proses mengkaitkan fakta-fakta yang kita temukan dengan rencana Allah. Proses mengkaitkan fakta ini dapat dilakukan bila kita melihat Allah sebagai prasuposisi di balik semua fakta.

Di dalam konteks epistemologi penyataan Van Til memaparkan tentang konsep kebenarannya. Van Til mengatakan bahwa kriteria kebenaran yang terutama (ultimate) adalah pikiran Allah (God’s thought). Bagi Van Til kebenaran pada hakekatnya adalah korespondensi dengan pengetahuan dan hakekat Allah yang cukup di dalam dirinya sendiri. 251 Pengetahuan manusia yang benar berkorespondensi dengan pengetahuan yang Allah miliki tentang diri-Nya sendiri dan dunia-Nya. Bagi Van Til kebenaran bukan hanya korespondensi antara ide di dalam pikiran manusia dengan dunia eksternal di luar pikiran manusia—seperti yang diajarkan teori kebenaran korespondensi epistemologi sekuler—tetapi juga korespondensi pikiran manusia dengan pikiran Allah. Van Til mengambil contoh pengetahuan manusia tentang sapi. Bagi Van Til pengetahuan manusia tentang sapi (dunia eksternal) adalah benar jika pengetahuan ini berkorespondensi dengan pengetahuan Alah tentang sapi tersebut. Van Til menyebut

249 Ibid. 4-5. 250 Ibid. 7. Penekanan oleh Van Til. 251 Van Til, Christian Apologetics 10.

teori kebenarannya sebagai “Corrrespondence Theory of Truth.” 252 Perbedaan teori ini dengan teori kebenaran korespondensi pada umumnya adalah adanya penambahan unsur

korespondensi pikiran manusia dengan pikiran Allah dalam teori kebenaran Van Til. Lebih lanjut Van Til mengatakan ada unsur koherensi di dalam pemikiran orang Kristen. Jika pemikiran kita tentang suatu fakta berkorespondensi dengan ide Allah tentang fakta tersebut maka kita memiliki koherensi di dalam pemikiran kita karena pemikiran Allah adalah koheren. Ada koherensi di dalam diri Allah. Ada koherensi di dalam rencana Allah sebelum adanya fakta yang kepadanya pengetahuan Allah berkorespondensi. Karena adanya koherensi di dalam diri dan rencana Allah maka orang Kristen memiliki koherensi yang sejati. Van Til menyebut teori kebenaran ini sebagai “Coherence Theory of Truth.” Perbedaan teori kebenaran Van Til dengan teori kebenaran sekuler adalah adanya unsur koherensi Allah sebagai dasar koherensi pemikiran Kristen.

Selanjutnya, Van Til mengatakan bahwa “coherence must be the basis of correspondence.” 253 Di sini Van Til berbicara prioritas di dalam masalah pengetahuan.

Koherensi terletak di dalam diri Allah. Sehingga koherensi di dalam diri Allah menjadi basis pengetahuan manusia.

Pada waktu manusia mencoba mengetahui fakta (korespondensi) maka dasar pengetahuan itu terletak pada koherensi diri dan rencana Allah. Korespondensi manusia memiliki dasar pada koherensi Allah.

Jika Van Til mengakui teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi maka teori mana kebenaran yang lebih fundamental? Van Til mengatakan hal ini bergantung kepada pengetahuan siapa yang kita bicarakan. Jika pengetahuan Allah

252 Van Til, A Survey 2. 253 Cornelius Van Til, “God and the Absolute” (Disertasi Ph. D; Princeton University, 1927) 37,

dikutip dari Oliphint, “Van Til’s Methodology” 35.

yang kita bicarakan maka koherensi datang lebih dulu. Di dalam diri dan rencana Allah ada koherensi yang menjadikan segala fakta dunia temporal hadir. Fakta dunia temporal tersebut berkorespondensi dengan rencana Allah tersebut. Jika pengetahuan manusia yang kita bicarakan maka korespondensi lebih penting. Jika mau memiliki koherensi di dalam pengetahuan manusia maka harus ada korespondensi lebih dulu antara ide manusia tentang fakta dengan ide Allah tentang fakta tersebut.

Ide-ide manusia harus berkorespondensi dengan ide-ide Allah. 254

Perlunya korespondensi pikiran manusia dengan pikiran Allah agar manusia dapat memiliki pengetahuan yang benar membuat Alkitab memainkan peranan penting di dalam masalah kebenaran. Kita memiliki penyataan Allah kepada orang percaya hanya di dalam Alkitab dan Kristus dari Alkitab. Oleh sebab itu hanya Alkitab yang dapat memberikan kepada manusia pengertian-pengertian tentang koherensi Allah dan menentukan apakah ide-ide kita tentang suatu fakta sudah berkorespondensi dengan ide- ide Allah tentang fakta tersebut. Sebab itu kriteria kebenaran Alkitab harus menjadi kriteria kebenaran orang percaya. Alkitab menjadi standar kebenaran kita yang paling ultima.

Van Til memberi nama untuk seluruh teori kebenarannya sebagai teori kebenaran korespondensi. Pilihan nama ini menurut Van Til karena epistemologi sekuler secara eksklusif berbicara tentang pengetahuan manusia. Pada waktu kita berbicara tentang pengetahuan manusia maka yang fundamental adalah korespondensi. Selain itu, pada

254 Van Til, A Survey 3. Korespondensi ide-ide Allah dengan ide-ide kita membuat pengetahuan menjadi mungkin. Allah dan manusia dapat mengetahui obyek dan kebenaran yang sama dan standar

kebenaran bagi keduanya (Allah dan manusia) adalah sama yaitu pikiran Allah. Namun perlu diperhatikan masalah perbedaan Pencipta dan ciptaan di dalam masalah korespondensi pengetahuan manusia ini. Adanya perbedaan ini membuat pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia berbeda bukan hanya secara kuantitas tetapi juga secara kualitas. Allah mengetahui sebagai Pencipta sedangkan manusia mengetahui sebagai ciptaan.

zaman Van Til, teori korespondensi telah memudar dan mulai digantikan oleh teori koherensi. Van Til ingin menekankan bahwa teorinya tentang kebenaran berbeda dengan teori kebenaran koherensi yang sedang populer sehingga ia memberi nama teorinya tentang kebenaran sebagai teori kebenaran korespondensi. 255

Berikutnya Van Til memaparkan jalan mencapai pengetahuan yang benar tersebut. Metode yang diajukan oleh Van Til adalah metode implikasi. Metode implikasi ini disebut juga sebagai metode transendental. Metode transendental berupaya mencari prasuposisi suatu fakta agar fakta tersebut menjadi fakta sebagaimana ia adanya. Metode transendental ini merupakan kombinasi elemen-elemen induktif dan deduktif sebagaimana elemen-elemen tersebut dipahami di dalam konteks Kristen. Penyelidikan deduktif secara a priori mengakui bahwa semua fakta yang diselidiki harus dilihat sebagai fakta yang diciptakan oleh Allah dan oleh sebab itu telah diinterpretasi oleh Allah. Dengan demikian kita melihat bahwa yang umum mengontrol yang partikular. Ini berarti ketika kita menyelidiki suatu fakta kita telah banyak mengetahui kebenaran mengenai fakta tersebut. Di dalam penyelidikan kita secara deduktif kita mengetahui bahwa kita tidak dapat sampai kepada suatu “kebenaran” yang tidak berkorespondensi dengan kebenaran Allah. Kita juga mengetahui bahwa fakta tersebut dan semua relasinya telah diketahui dengan sempurna oleh Allah. Inilah yang disebut dengan unsur deduktif dalam metode transendental.

Secara induktif, ketika kita menyelidiki suatu fakta maka kita harus mengkaitkannya dengan fakta-fakta lain yang pada akhirnya semua fakta-fakta tersebut berkaitan dengan Allah. Misalnya, Van Til memberi contoh, penyelidikan tentang katak. Untuk sampai kepada pengetahuan yang benar maka penyelidikan tentang katak yang

255 Ibid.

partikular ini harus dikaitkan dengan katak-katak yang lain, kemudian dari katak-katak kepada binatang-bintang yang lain, dari binatang yang lain kepada kehidupan manusia, dan dari kehidupan manusia sampai kepada konsep Allah yang kita miliki. Penyelidikan ini mulai dengan yang partikular sampai kepada yang umum atau penyelidikan dari bawah sampai ke atas. Ini merupakan aspek induktif di dalam metode transendental. Penyelidikan induktif dan deduktif di dalam metode transendental ini memprasuposisikan Allah Alkitab. 256 Bagi Van Til tidak menjadi masalah apakah penyelidikan deduksi atau induksi yang dilakukan untuk mencapai pengetahuan yang benar asal kedua penyelidikan tersebut memprasuposisikan Allah maka mereka dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan yang benar. Kedua-duanya, dengan prasuposisi yang benar, dapat mencapai kebenaran.

Kita telah melihat bahwa konsep kebenaran Van Til berakar kepada epistemologi penyataan. Epistemologi ini membuat teori kebenaran Van Til memiliki dasar yang kokoh di dalam penyataan Allah. Dengan dasar yang kokoh ini kita akan melihat bagaimana konsep kebenaran Van Til menghadapi tantangan pascamodernisme. Untuk itu kita akan melihat pada bab berikutnya bagaimana konsep kebenaran Van Til ini menghadapi tantangan pascamodernisme.

256 Ibid. 7, 10.