Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan organisasi rakyat memintanya untuk dicabut.
Banyak kalangan menilai Perpres No.36 Tahun 2005 berpotensi menindas hak-hak rakyat terutama rakyat miskin. Peraturan tersebut dinilai
jauh lebih kejam dibanding pendahulunya, Keppres No .55 Tahun 1993 yang mengatur tentang hal yang sama. Sebagai contoh, dalam Pasal 1 Ayat 3
Perpres No.36 Tahun 2005, disebutkan definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sedangkan dalam Keppres
No.55 Tahun 1993, definisi kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dari pasal tersebut secara nyata ada penyempitan arti
kepentingan umum, dari yang semula kepentingan seluruh lapisan masyarakat menjadi sebagian lapisan masyarakat.
Belum lagi adanya penambahan item yang dimaksud dengan kepentingan umum. Dari semula 14 item menjadi 21 item dan semua item-
item tersebut hampir tidak mempunyai batasan apapun. Sehingga pengertiannya terlalu luas misalnya jalan tol dan rumah sakit. Dewasa ini
pembangunan jalan tol dan rumah sakit sudah banyak dikomersialkan dan hanya terbatas untuk kalangan tertentu saja. Sehingga peraturan
presiden ini dinilai tidak lagi murni untuk kepentingan pembangunan.
2. Prosedur
Prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut Perpres No.36 Tahun 2005 yang pertama
adalah dilaksanakan oleh PemerintahPemerintah Daerah dengan cara : a. pelepasanpenyerahan hak atas tanah;
b. pencabutan
hak atas
tanah.
Apabila pengadaan tanah selain daripada itu dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Musyawarah
Perpres No.36 Tahun 2005 di dalam Pasal 8 Ayat 1 mengatur mengenai musyawarah yang di fasilitasi oleh Panitia, yang menyebutkan
bahwa pengadaan
tanah bagi
pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka
memperoleh kesepakatan mengenai : a. pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut;
b. bentuk dan besarnya ganti rugi. Dengan demikian, kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi hanya dapat
dilakukan melalui musyawarah. Namun dalam hal musyawarah tidak disepakati bentuk dan besarnya ganti rugi, maka ganti rugi dapat dititipkan
ke Pengadilan Negeri. Musyawarah dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah dan
dilakukan secara langsung antara pemegang hak, instansi yang memerlukan tanah dan panitia. Dalam hal jumlah pemegang hak tidak
memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, dilakukan dengan perwakilan melalui kuasa. Penunjukkan kuasa dilakukan secara
tertulis, bermaterai dan diketahui Kepala Desapejabat yang berwenang. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat
dialihkandipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat lainlokasi lain, maka musyawarah dilakukan selama 120 seratus dua puluh hari kalender
sejak tanggal undangan pertama. Apabila setelah diadakan musyawarah
tidak tercapai kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Demikian halnya apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka
panitia menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri. Musyawarah yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan
instansi pemerintah yang memerlukan tanah, apabila tercapai kesepakatan maka panitia menerbitkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi sesuai kesepakatan.
4. Ganti Rugi