BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. 1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai :
“Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan disuatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak tentang
pemerintahan, organisasi dan sebagainya, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
usaha mencapai sasaran; garis haluan”.
25
Pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tidak lepas dari kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan kebijakan formulasi merupakan bagian
dari kebijakan hukum pidana yang juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan usaha rasional yang dilakukan untuk
menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. Sudarto mengemukakan kebijakan kriminal dapat didefinisikan secara
sempit, lebih luas, dan paling luas. Secara sempit kebijakan kriminal dapat diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Arti yang lebih luas dari kebijakan kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 131
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Kebijakan kriminal dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat.
26
Tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan kebijakan kriminal selain dalam rangka perlindungan masyarakat sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, juga dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut maka, kebijakan kriminal tidak dapat dipisahkan atau
merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas lagi, yaitu kebijakan sosial.
27
Kebijakan sosial merupakan usaha rasional untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
kebijakan kriminal yang akan digunakan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan hendaknya harus benar-benar memperhatikan tujuan akhir dari kebijkan
kriminal itu sendiri yaitu perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan
dapat ditempuh melalui dua sarana. Sarana pertama yaitu kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal atau bisa juga disebut sebagai kebijakan hukum
pidana atau kebijakan penal penal policy. Sarana kedua yang dapat ditempuh adalah melalui kebijakan bukan dengan hukum pidana atau kebijakan non penal.
Kebijakan penal yang digunakan dalam menanggulangi kejahatan memang sudah lazim digunakan di Indonesia. Kondisi semacam ini tentu saja tidak
26
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006, hal. 113-114
27
Lihat bagan dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 3
mengenyampingkan kebijakan non penal dalam menanggulangi kejahatan. Tidak dapat dipungkiri kebijakan non penal juga mempunyai peranan penting dalam
mencegah dan menanggulangi kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief mengenai kebijakan non penal itu sendiri
yaitu : “Kebijakan non penal mempunyai tujuan utama memperbaiki kondisi-
kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut
kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci
yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha
penanggulangan kejahatan”.
28
Mengingat peran kebijakan non penal yang sangat strategis seperti yang dikemukakan di atas, integrasi dan keselarasan kebijakan non penal ke dalam
kebijakan kriminal sebagai usaha preventif adalah penting adanya. Kebijakan penal dan kebijakan non penal harus dapat dipadukan secara tepat dalam kebijakan
kriminal yang digunakan, sehingga dapat menanggulangi kejahatan sekaligus mencegah terjadinya kejahatan dengan menangkal atau meminimalisir faktor-
faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya kejahatan. Istilah “kebijakan hukum pidana” menurut Barda Nawawi Arief dapat pula
disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing, istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
“penal policy” , “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.
29
Lebih lanjut
28
Barda Nawawi Arief dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana
, Op.cit., hal. 159
29
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hal 24
lagi Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
30
Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan politik hukum adalah:
31
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Berdasarkan pengertian politik hukum diatas, menurut Barda Nawawi Arief : “...dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik”.
32
Pendapat lain mengenai definisi kebijakan hukum pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, dimana ia memberikan definisi penal policy sebagai :
“suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan “peraturan hukum positif” the positive rules dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum
pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
33
A. Mulder berpendapat bahwa “Strafrechtspolitiek” adalah: Garis kebijakan untuk menentukan:
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui; b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
34
30
Ibid.
31
Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, Ibid.
32
Ibid., hal. 25
33
Ibid.
34
A. Mulder dalam Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 26
Mengenai politik hukum pidana jika dilihat dari sudut politik kriminal, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
“usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
35
Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan tidak lepas dari proses penegakan hukum pidana itu sendiri. Berkaitan dengan penegakan hukum
pidana, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
36
“Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum Law
enforcement policy”. Pendapat tersebut menunjukkan hubungan antara kebijakan hukum pidana dengan
kebijakan penegakan hukum dalam rangka menanggulangi kejahatan. Dengan kata lain, perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat juga mempengaruhi
kebijakan hukum pidana yang akan digunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
Kebijakan penanggulangan kejahatan seperti yang dikemukakan di atas merupakan bagian dari politik kriminal sehingga kebijakan tersebut juga
35
Ibid.
36
Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 26
merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat social defence dan usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu,
kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan sosial social policy
yang merupakan usaha untuk memberikan perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Mempelajari kebijakan hukum pidana pada dasarnya mempelajari masalah bagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun, dan digunakan untuk
mengaturmengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka melindungi dan mensejahterakan masyarakat.
37
Walaupun suatu kebijakan hukum pidana telah dibuat sebaik mungkin, tetap saja ada masalah
dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan:
38
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. sanksi yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penganalisisan terhadap 2 dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara
kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk
37
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. cit
., hal. 125
38
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan.
39
Berkaitan dengan masalah sentral kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal, Nyoman Serikat Putra Jaya berpendapat bahwa:
“Pembahasan kedua masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari kebijakan integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan pembentukan negara Republik
Indonesia sesuai dengan Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian, abadi, dan keadilan sosial.
40
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan sarana yang hampir selalu digunakan dalam menghadapi kejahatan
yang terjadi di dalam masyarakat. Hampir setiap peraturan perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana di dalam formulasinya. Hukum pidana tidak
selalu dapat menjadi jalan keluar dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini disebabkan hukum pidana itu sendiri memiliki keterbatasan.
Barda Nawawi Arief mengidentifikasikan sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:
41
a. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil sub-sistem dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan
39
Ibid.
40
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 113.
41
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. cit
., hal. 74
sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-
ekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya; c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahahatan hanya
merupakan “kurieren am symptom”. Oleh karena itu, hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan merupakan
“pengobatan kausatif”; d. Sanksi pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat
kontradiktifparadoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individualpersonal, tidak bersifat strukturalfungsional;
f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
g. Bekerjanyaberfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.
Mengingat keterbatasan tersebut, maka penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan melalui pertimbangan yang
matang.
42
Dalam menggunakan sarana penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” the limiting principles yang sepatutnya
mendapat perhatian, antara lain:
43
a. jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
b. jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikanmembahayakan;
c. jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih
ringan; d. jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugianbahaya yang
timbul dari pidana lebih besar daripada kerugianbahaya dari perbuatantindak pidana itu sendiri;
e. larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
42
Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau intervensi “penal” seyogyanya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata
lain, sarana penal tidak selalu harus dipanggildigunakan dalam setiap produk legislatif. Barda
Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. cit
., hal. 75
43
Nigel Walker dalam Barda Nawawi Arief, Ibid., hal 76
f. hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
Lebih lanjut Jeremy Bentham pernah menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakandigunakan apabila “groundless, needless, unprofitable, or
inneficacious” .
44
Herbert L. Pecker juga pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangantidak pandang bulu menyamaratakan
“indiscriminately” dan digunakan secara paksa “coercively” akan
menyebabkan pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” “prime threatener”
.
45
Dari uraian di atas maka, penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan. Selain itu juga, perlu
dipertimbangkan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, kebijakan pembangunan nasional, bagian dari kebijakan kriminal yang juga
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum, karena menanggulangi kejahatan dengan sarana penal merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan.
A. 2. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana