uang, akan tetapi pembayaran tersebut ditujukan kepada negara, dan bukan kepada korban kejahatan korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut dipertegas dalam Pasal 12, ditentukan bahwa putusan hakim menentukan bahwa uang jaminan seluruhnya atau
sebagian akan menjadi milik pemerintah, jika syarat-syarat umum berupa tersangka tidak akan melakukan suatu tindak pidana ekonomi atau syarat-syarat
khusus yang ditentukan hakim tidak dipenuhi oleh tersangka. Dengan demikian belum ada ketentuan yang mewajibkan kepada korporasi untuk membayar
sejumlah uang kepada korban kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
A. 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Penyebutan korporasi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian terdapat dalam Pasal 21 ayat 1, dimana ditentukan bahwa :
“Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya”. Penyebutan korporasi sebagai subjek tinda pidana tidak secara eksplisit,
melainkan dengan menggunakan istilah perusahaan industri. Definisi perusahaan industri sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 7, yaitu : “Perusahaan industri adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri”. Korporasi perusahaan industri dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian dinyatakan secara tegas sebagai subjek tindak pidana, dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukannya.
Kejahatan tersebut dapat menimbulkan korban dari kalangan masyarakat luas sebagai pengguna produk dari korporasi konsumen, korporasi lain, serta
lingkungan hidup juga dapat menjadi korban kejahatan korporasi. Kejahatan yang dilakukan korporasi terhadap konsumen adalah berupa
tindakan korporasi yang tidak memenuhi standar bahan baku dan barang hasil industri yang telah ditentukan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 19
dimana ditentukan bahwa : “Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk
mencapai daya guna produksi”. Ketentuan pidananya sendiri diatur dalam Pasal 26 yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja melakukan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara
selama-lamanya 5 lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.25.000.000,- dua puluh lima juta rupiah dengan hukuman tambahan
di cabut Ijin Usaha Industrinya”.
Korporasi lain juga dapat menjadi korban kejahatan korporasi berkaitan dengan desain produk industri dari korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 17.
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa : “Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah”. Pelanggaran terhadap desain produk industri dapat dijatuhi pidana, sebagaiman ditentukan dalam Pasal 25, yaitu : “Barang siapa dengan sengaja tanpa
hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama-lamanya 2 dua tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah”.
Korban lainnya yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan korporasi di bidang perindustrian adalah lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal
21 ayat 1 yang berbunyi : “Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya
kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya”.
Ketentuan pidana atas pencemaran lingkungan hidup tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat 1, ditentukan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dipidana penjara selama-lamanya 10 sepuluhtahun danatau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah”. Dari beberapa ketentuan-ketentuan di bidang perindustrian tersebut, belum
mencerminkan ketentuan atau aturan yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dibidang perindustrian. Selain itu
juga, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Walaupun
ada ketentuan pidana terhadap korporasi, namun belum ada aturan yang secara spesifik mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi atas kerugian yang
diderita korban.
A. 4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos