Korban lainnya yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan korporasi di bidang perindustrian adalah lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal
21 ayat 1 yang berbunyi : “Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya
kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya”.
Ketentuan pidana atas pencemaran lingkungan hidup tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat 1, ditentukan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dipidana penjara selama-lamanya 10 sepuluhtahun danatau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah”. Dari beberapa ketentuan-ketentuan di bidang perindustrian tersebut, belum
mencerminkan ketentuan atau aturan yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dibidang perindustrian. Selain itu
juga, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Walaupun
ada ketentuan pidana terhadap korporasi, namun belum ada aturan yang secara spesifik mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi atas kerugian yang
diderita korban.
A. 4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos
Penyebutan korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak diatur secara tegas, namun pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos yang berbunyi :
“Jika tindak pidana yang disebut dalam ayat 1 dan ayat 2 dilakukan oleh, atau atas nama, suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang
lain, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, atau yayasan tersebut, maupun terhadap orang yang memberi perintah melakukan tindak pidana sebagai pimpinan atau penanggung
jawab dalam perbuatan atau kelalaian yang bersangkutan, ataupun terhadap kedua-duanya”.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi pidana dan tindakan tata tertib. Selain itu juga, sanksi dapat dijatuhkan kepada
korporasi badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan dan atau pimpinan yang memberi perintah atau penangunggjawabnya.
Pasal 19 ayat 3 juga menentukan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi, yaitu apabila tindak pidana dilakukan
oleh atau atas nama korporasi. Ketentuan semacam ini masih bersifat luas, dalam arti belum memberikan gambaran yang jelas mengenai kapan suatu tindak pidana
dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 diatas adalah tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 10, dan Pasal 13 undang-undang ini, yang rumusan lengkapnya sebagai berikut :
Pasal 4 1 Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 3 adalah satu-
satunya badan yang bertugas menerima, membawa danatau menyampaikan surat, warkatpos, serta kartupos dengan memungut
biaya. 2 Setiap perusahaan angkutan dan media telekomunikasi untuk umum,
termasuk perwakilan atau pegawainya, yang menerima, membawa
danatau menyampaikan surat, warkatpos, dan kartupos untuk pihak ketiga, dianggap telah melakukannya dengan memungut biaya.
3 Ketentuan ayat 2 tidak berlaku, apabila pengiriman surat tersebut dilakukan untuk keperluan perusahaan yang bersangkutan.
4 Perusahaan yang melakukan usaha pengiriman surat pos jenis tertentu, paket, dan uang harus mendapat izin berdasarkan persyaratan yang
diatur oleh Menteri. 5 Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 10
1 Setiap perusahaan angkutan darat, laut, udara, dan media
telekomunikasi untuk umum, wajib mengangkut kiriman pos yang diserahkan kepadanya oleh badan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 3 ayat 3.
2 Untuk keperluan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 setiap perusahaan angkutan umum wajib menyampaikan jadwal
perjalanannya dan media telekomunikasi untuk umum wajib menyampaikan jadwal hubungannya kepada Menteri atau badan yang
ditunjuknya.
3 Kewajiban mengangkut kiriman pos sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 dapat berlaku juga bagi semua pihak yang menyelenggarakan
angkutan darat, laut, udara, dan telekomunikasi bukan untuk umum dengan menerima imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4 Pengangkut bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kiriman-pos yang diserahkan kepadanya untuk diangkut.
Pasal 13 Pengiriman benda yang dapat membahayakan kiriman, kiriman pos, atau
keselamatan orang, dilarang. Korban yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah korban dari
masyarakat luas yang menggunakan jasa atau layanan pos. Selain itu, korban juga dapat timbul dari pihak negara apabila dikaitkan dengan perizinan dan
pengangkutan atau pengiriman barang pos oleh korporasi yang bergerak di bidang layanan pos. Belum ada ketentuan pidana dalam undang-undang ini yang secara
tegas mengatur pertanggungjawaban pidana kepada masyarakat yang jadi korban kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap negara yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan korporasi adalah berupa denda yang dibayarkan
kepada negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 dimana ditentukan bahwa :
1 Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat 2, dan ayat 4, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 dua tahun atau denda setinggi-
tingginya Rp20.000.000,- dua puluh juta rupiah. 2 Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 13 dipidana
dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 satu tahun atau denda setinggi- tingginya Rp1.000.000,-satu juta rupiah.
Selain denda, pertanggungjawaban pidana tersebut juga diwujudkan dalam bentuk ganti rugi kepada badan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 20 yang
berbunyi : “Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 13, selain dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 ayat 2, diwajibkan pula
membayar ganti rugi kepada badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 3”. Lebih lanjut mengenai pengaturan dalam Pasal 3 ayat 3 rumusan
lengkapnya adalah sebagai berikut : “Menteri melimpahkan tugas dan wewenang pengusahaan pos kepada badan yang oleh negara ditugasi mengelola pos dan giro
yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pertanggungajawaban pidana
korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos hanya sebatas pertanggungjawaban kepada negara yang
menjadi korban dan belum mengakomodasi kepentingan masyarakat yang jadi korban, karena belum ada ketentuan yang mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap masyarakat yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan korporasi.
A. 5. Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan