“Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana
denda tidak lebih dari Rp.5.000.000,00 lima juta rupiah dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
A. 10. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana terdapat pada Pasal 46 ayat 1, yang berbunyi :
“Jika tindak pidana sebagaimana diatur dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan terhadap perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-keduanya”.
Pada rumusan ketentuan di atas terlihat bahwa penyebutan korporasi menggunakan istilah badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup di tengah-tengah
perkembangan pembangunan negara yang begitu pesat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam bagian konsideran undang-undang ini, dimana dalam huruf c
dinyatakan : “bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang
serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup”.
Berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban
kejahatan korporasi, dalam Pasal 45 diatur mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi yaitu berupa pidana denda, yang rumusan lengkapnya
sebagai berikut : “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”. Selain pidana denda, terhadap korporasi juga dapat dikenakan tindakan tata tertib. Tindakan tata
tertib tesebut diatur dalam Pasal 47 undang-undang ini, dimana ditentukan bahwa : “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; danatau b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; danatau
c. perbaikan akibat tindak pidana; danatau d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; danatau
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; danatau f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga
tahun. Ketentuan berupa tindakan tata tertib tersebut merupakan bentuk
pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup. Korporasi yang melakukan kejahatan dibidang lingkungan
hidup dapat dibebani pertanggungjawaban kepada korban, misalnya berupa perbaikan akibat tindak pidana dibidang lingkungan hidup. Perbaikan tersebut
dapat berupa perbaikan atau rehabilitasi lingkungan hidup yang telah rusak atau tercemar, atau pemberian ganti rugi kepada masyarakat yang menjadi korban
kejahatan korporasi di bidang lingkungan.
Mengenai korban di bidang lingkungan hidup itu sendiri dapat muncul dari beberapa pihak, manusia atau masyarakat umum misalnya. Manusia dapat menjadi
korban sebagai akibat dari pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup, karena manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 angka 1, yang berbunyi : “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Dengan demikian, selain sebagai penyebab
pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup, manusia itu sendiri juga dapat menjadi korban dari pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.
Walaupun sudah ada tindakan tata tertib yang dapat dikenakan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, namun sangat
disayangkan karena belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai implementasi tindakan tata tertib. Selaian itu juga, belum ada aturan mengenai
alternatif apabila pidana denda danatau tindakan tata tertib yang dijatuhkan kepada korporasi tidak dilaksanakan.
A. 11. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dasar pertimbangan pembuatan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat secara garis
besar adalah :
1. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat.
2. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses
produksi dan pemasaran barang dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efesien sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. 3. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka dibuatlah suatu undang-undang dalam mengantisipasi praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat erat kaitannya dengan pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang berupa perjanjian yang
dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pelanggaran terhadap larangan tersebut akan mendapatkan sanksi sebagiamana yang diatur dalam Pasal 48 undang-undang ini.
Penyebutan korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak secara tegas, tetapi hanya dengan menggunakan istilah “pelaku usaha”. Definisi pelaku usaha itu
sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 5, yang berbunyi : “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi”. Dari ketentuan-ketentuan tersebut telah jelas bahwa Undang-Undang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah menentukan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Namun demikian, undang-undang ini belum
menentukan persyaratan suatu tindak pidana dapat dikategorikan tindak pidana korporasi.
Terlepas dari permasalahan tersebut di atas, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jelas-jelas dapat mengakibatkan kerugian atau
menimbulkan korban dalam dunia usaha. Korban disini dapat timbul dari kalangan pengusaha kecil yang tidak mampu bersaing dengan korporasi-korporasi besar.
Korporasi yang besar yang tumbuh dengan pesat memiliki kecenderungan untuk memonopoli dan menghilangkan persaingan sehat. Dengan modal dan kekuasaan
yang dimiliki korporasi besar bukan tidak mugkin dapat mengakibatkan pengusaha kecil tidak dapat berkembang bahkan sampai pada akibat paling buruk yaitu
kebangkrutan. Keadaan inilah yang ingin dicegah oleh Undang-Undang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi, apabila akibat praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukannya mengakibatkan terjadinya korban dalam dunia usaha. Dalam Pasal 48 diatur mengenai pidana
pokok, yang rumusan lengkapnya sebagai berikut :
1 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16, sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.25.000.000.000,00 dua puluh lima milyar rupiah dan setinggi-tingginya
Rp.100.000.000.000,00 seratus milyar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 enam bulan.
2 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal , Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 undang-undang ini
diancam dengan pidana denda serendah rendahnya Rp.5.000.000.000,00 lima milyar rupiah dan setinggi-tingginya
Rp.25.000.000.000,00 dua puluh lima milyar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 lima bulan.
3 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 satu milyar
rupiah dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,- lima milyar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
tiga bulan.
Ketentuan pidana dalam Pasal 48 undang-undang ini hanya sebatas memberikan ancaman pidana denda atau kurungan pengganti denda bagi pelaku usaha. Namun
demikian, belum ada ketentuan yang mengatur apabila pidana denda tidak dilaksanakan. Alternatif berupa pidana kurungan pengganti denda jelas tidak dapat
diterapkan kepada pelaku usaha berupa korporasi, mengingat korporasi merupakan subjek hukum bukan orang.
Pidana denda yang dikenakan kepada korporasi tentu bukan menjadi masalah bagi korporasi besar yang secara finansial berada dalam posisi kuat. Oleh
karena itu, diperlukan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 49, dimana ditentukan bahwa :
“Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 dua tahun dan selama- lamanya 5 lima tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain”.
Pidana tambahan di atas tidak mengatur mengenai pidana tambahan pembayaran ganti kerugian. Sanksi berupa pembayaran ganti kerugian diatur dalam Pasal 47
ayat 2 tentang Tindakan Administratif yang dijatuhkan oleh KPPU. Hal ini pada dasarnya sama dengan pengaturan pembayaran ganti kerugian dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang tidak aplikatif apabila korporasi diajukan ke pengadilan.
Berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban
nyata atau langsung dari kejahatan berupa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, belum ada aturan yang secara tegas mengatur bentuk-bentuk
pertanggungjawaban pidana korporasi kepada korban nyata atau langsung tersebut. Walaupun ada pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada korporasi, pidana
tambahan tersebut hanya berorientasi pada pencegahan timbulnya korban atau korban potensial akibat kejahatan korporasi berupa praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
A. 12. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen