25
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui”. Q.S Yasiin: 36 Pada kedua ayat di atas disebutkan “segala sesuatu berpasang-
pasangan”, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang
ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.
Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah
yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai
penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial
seseorang.
14
C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang
1. Nikah Syighar
Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-
14
Abbas, Ahamad Sudirman, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandinagn Antar Madzhab, Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006, cet. 1, h. 2-7
26
laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa mahar.
15
Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang
sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas
kawin mahar pada waktu menikahnya.
16
Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati
oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk
dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah bagi satu sama lain tanpa membayar mas kawin.
Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya
Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya sendiri.
17
Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah
berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari masing-
masing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak
15
Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah Bandung: Al- ma’arif, 1990, cet ke-7, h. 76
16
Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 h. 6
17
Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 61
27
perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam
perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan
memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.
18
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan
kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya,
padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar
tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya.
2. Nikah Misyar
Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan
misyar. Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya
gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... h. 77-78
28
hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri
harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal tempat yang disiapkan oleh suaminya dan dari hak nafkah, yaitu
pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama
keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu
hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan. Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi
pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan
perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab,
qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya
yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya. Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh
istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan
suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang
tuanya, perkawinan ini dilaksanakan di rumah orang tuanya yang
29
menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam
bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene
adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri
lain. 3.
Nikah Mut’ah Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-
laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad sampai pada batas waktu yang telah ditentukan
19
, nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai
jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya.
20
Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.
21
Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan
perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara
len gkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu
seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang
19
Ja’far Murthada Al-Amili, Nikah Mut‟ah Dalam Islam, Kajian Ilmiah Dari Berbagai Mazhab, alih bahasa Abu Muhammad Jawad, Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992, h. 17
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57
21
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003, cet ke-I, h. 52
30
bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari
Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya
nikah mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba
melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa
nafsunya.
22
Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mut ’ah pun
diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan
diharamkan untuk selama-lamanya.
22
Abdurrahman I, Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. h. 59
31
BAB III FENOMENA NIKAH MISYAR
A. Defenisi Nikah Misyar
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab
حاكن yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi حكن yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.
1
Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab راس yang merupakan
bentuk isim alat dari kata راس yang artinya perjalanan.
2
Pengertian misyar menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya.
Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan
misyar yaitu singgah atau melewati suatu wilayah atau negeri tertentu dan tidak menetap dalam waktu yang lama.
3
4
“Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki suami mendatangi kediaman wanita istri, dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut.
Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri
lain di rumah yang dinafkahinya.”
1
Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943
2
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504
3
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005, hlm. 25
4
Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 21