Defenisi Nikah Misyar FENOMENA NIKAH MISYAR

31

BAB III FENOMENA NIKAH MISYAR

A. Defenisi Nikah Misyar

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab حاكن yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi حكن yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah. 1 Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab راس yang merupakan bentuk isim alat dari kata راس yang artinya perjalanan. 2 Pengertian misyar menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya. Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan misyar yaitu singgah atau melewati suatu wilayah atau negeri tertentu dan tidak menetap dalam waktu yang lama. 3 4 “Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki suami mendatangi kediaman wanita istri, dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahinya.” 1 Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943 2 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504 3 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005, hlm. 25 4 Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 21 32 Perkawinan misyar telah dipraktekan di Arab Saudi dan Mesir. Dan telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa yang telah dikeluarkan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dan diresmikan sementara di Mesir oleh Mufti Mesir Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi pada tahun 1999. 5 Perkawinan misyar adalah sebuah ijtihad yang unik. Perkawinan misyar dikategorikan sebagai hubungan perkawinan resmi terpenuhi syarat dan rukun nikah antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka tidak tinggal bersama, dan dimana pihak laki-laki tidak bertanggung jawab secara finansial terhadap pasangan misyarnya. Rukun pertama akad nikah adalah ijab dan qabul serah terima dari orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Kedua terpenuhi syiar dan pemberitahuan tentang pernikahan, sehingga bisa dibedakan dengan perbuatan zina dan hubungan dengan wanita simpanan gundik yang biasanya dilakukan secara tersembunyi. Adapun batas minimal dari pemberitaan yang dianjurkan syara’ menurut tiga madzhab terkemuka Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah terdapatnya saksi dan hadirnya seorang wali. Ketiga, perkawinan tersebut tidak dibatasi dengan waktu tertentu, namun laki-laki dan wanita harus menanamkan niat untuk terus melanjutkan ikatan perkawinan. Keempat, pemberian mahar mas kawin sang suami terhadap istri, banyak sedikit meski setelah itu istri memberi keringanan sebagian atau keseluruhan dari mas kawin suaminya, jika ia rela dengan hal itu. Sebagaimana Allah berfirman: 5 http: www. Myquran.orgforumachiveindex.phpt.9675.html 17 Juli 2011 33                “Berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya”. Q.S An-Nisa: 4 Bahkan seandainya seorang perempuan dinikahi dengan tanpa menyebutkan mahar, maka akad tersebut sah, dan perempuan tersebut berhak memperoleh mahar mitsli. 6 Jika telah terdapat emapat perkara tersebut, yaitu ijab dan qabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah itu sang istri memberi ke ringan. Maka secara syar’i sahlah pernikahan tersebut. Namun keringan hak tersebut tidak berlaku dalam hal hubungan biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad nikah itu sendiri. 7 Para ahli fiqh tidak mempunyai alasan untuk membatalkan akad ikatan perkawinan semacam ini kawin misyar yang telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan. Maka kedua suami istri harus menghormati syarat-syarat yang sudah disepakati itu semua adalah bagian dari janji yang harus ditepati sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 6 Mahar mitsil adalah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lain yang menyebabkan perbedaan maskawin. H.A.S Al-Hamdani, Risalah Nikah, ter. Agus Salim “Hukum Perkawinan” Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 138 7 Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 29 34 Namun sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa syarat-syarat semacam itu tidak mengikat, artinya, akad ikatan pernikahan tetap sah sekalipun syaratnya batal. Selain dikemukakan Imam Abu Hanifah dan disinggung dalam riwayat Imam Ahamd, pendapat itu pulalah yang terpilih dalam kitab al- Mugni’ dan lainnya. Disebutkan pula jenis syarat yang kedua, yaitu: masalah tidak adanya maskawin dan nafkah, atau berlaku tidak adil memberikan bagian yang telah banyak atau sedikit kepada salah satu istri. Maka syarat seperti itu bathil tidak sah, namun perkawinan tetap sah. Syeikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berkomentar “Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan sahnya ikatan perkawinan”. Syeikhul Islam berkata pula: “Lebih-lebih jika sang suami mengalami kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang menyatakan rusaknya tidak sah akad pernikahan, jika masyarakat untuk tidak memberikan maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh ulama salaf terdahulu. Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya ikatan perkawinan jika terdapat persyaratn untuk tidak berhubungan biologis, karena syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang mesti diperoleh dalam pernikahan. 8 8 Lihat al-inshaf Rajih Minal Khilaf, Jilid 8, hlm. 165-166 35

B. Seputar Nikah Misyar