Pengaruh Pengurangan Konsentrasi Trace Metal (Nikel Dan Kobal) Pada Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Secara Anaerobik Termofilik Terhadap Produksi Biogas
PENGARUH PENGURANGAN KONSENTRASI
TRACE METAL
(NIKEL DAN KOBAL) PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
PABRIK KELAPA SAWIT SECARA ANAEROBIK
TERMOFILIK TERHADAP PRODUKSI BIOGAS
TESIS Oleh:
NOVITA FARA FATIMAH 097022002
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PENGARUH PENGURANGAN KONSENTRASI
TRACE METAL
(NIKEL DAN KOBAL) PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
PABRIK KELAPA SAWIT SECARA ANAEROBIK
TERMOFILIK TERHADAP PRODUKSI BIOGAS
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Magister Teknik Kimia Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVITA FARA FATIMAH
097022002
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Rencana Penelitian : PENGARUH PENGURANGAN KONSENTRASI
TRACE METAL (NIKEL DAN KOBAL) PADA
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT SECARA ANAEROBIK TERMOFILIK TERHADAP PRODUKSI BIOGAS Nama Mahasiswa : NOVITA FARA FATIMAH
Nomor Induk Mahasiswa : 097022002
Program Studi : MAGISTER TEKNIK KIMIA
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
(Dr.Eng. Ir. Irvan, M.Si)
Ketua Anggota
(Dr. Ir. Fatimah, MT.)
Ketua Program Studi Dekan FT – USU
(4)
ABSTRAK
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang memiliki nilai COD tinggi, sehingga perlu diolah sebelum dapat dibuang ke perairan. Salah satu metode pengolahan LCPKS adalah secara anaerobik termofilik dan hasil akhir dari proses ini adalah biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Untuk mengoptimalkan pembentukan biogas secara anaerobik termofilik diperlukan mikronutrien, salah satunya adalah trace metal yang dapat menstimulasi aktivitas metanogen pada proses pembentukan metan. Namun karena pada konsentrasi tinggi trace metal dapat berbahaya bagi makhluk hidup, maka pada penelitian ini dilakukan pengurangan penggunaan trace metal (nikel dan kobal) pada pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit secara anaerobik termofilik untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produksi biogas. Konsentrasi trace metal awal yang digunakan pada penelitian ini 0,49 mg/l untuk nikel dan 0,42 mg/l untuk kobal, lalu dilakukan pengurangan hingga 90% dan 97% dari konsentrasi awal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan continuous stirred tank reactor (CSTR) berkapasitas 2 liter, dengan suhu 55oC, pH 6,5 – 7,8 dan HRT 6 hari. Bahan baku yang digunakan adalah LCPKS segar yang berasal dari fat pit pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dengan pengurangan trace metal (nikel dan kobal) 90% diperoleh volume rata-rata biogas sebanyak 7,10 liter/ hari dengan laju dekomposisi VS 53% dan dengan pengurangan trace metal hingga 97% diperoleh volume rata-rata biogas sebanyak 7,06 liter/ hari dengan laju dekomposisi VS 51%.
(5)
ABSTRACT
Palm oil mill effluent (POME) is palm oil mills byproducts which has high COD concentration, and it is necessary to be processed before being discharged into the stream. Anaerobic thermophilic is one method of POME treatment and the final product of this process is biogas which can be used as fuel. To optimize the formation of biogas, micronutrients are required, trace metals are micronutrients that can stimulate the activity of microorganisms which can increase methane production in anaerobic processes. Because trace metals at high concentrations can be harmful for living things, this experiment intends to know the effect of reducing the concentration of trace metals (nickel and cobalt) in the processing of palm oil mill effluent to biogas production by thermophilic anaerobic. The initial concentrations of trace metals used in this experiment were 0.49 mg /l for nickel and 0.42 mg /l for cobalt, then reduced until 90% and 97% from the initial concentration. The experiment was conducted by using two liters of continuous stirred tank reactor (CSTR) with temperature 50o C, pH 6.5 - 7.8 and HRT 6 days. POME was taken from fat pit of Adolina mills belong to PTPN IV. The result of this experiment concluded that the 90% reduction of trace metal (nickel and cobalt) produced average volume of biogas 7.10 liter/day at the rate of VS decomposition 53% and the 97% reduction of trace metal, produced average volume of biogas 7.06 liter/day with VS decomposition rate 51%.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan tesis ini kami banyak mendapatkan bantuan, masukan dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Dr.Eng. Ir. Irvan, M.Si sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan ibu Dr. Ir. Fatimah, MT sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan dalam penelitian dan juga dalam penyusunan tesis ini.
Kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Taslim, M.Si selaku ketua Program Studi Magister Teknik Kimia, Mr. Tomiuchi Yoshimassa dari Metawater Co. Ltd dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP3M) USU yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk melakukan penelitian sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dan Bapak Ir. Bambang Trisakti, MT yang telah memberikan masukan dan saran selama penelitian dan dalam penyusunan tesis ini.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami tujukan kepada kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberi dukungan kepada kami. Tak lupa rekan-rekan di LP3M USU, teman-teman di Magister Teknik Kimia dan seluruh pihak yang turut membantu dalam penulisan tesis ini.
(7)
` Kami menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kami mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pengolahan LCPKS.
Medan, April 2012
Penulis
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan pada tanggal 11 Nopember 1982 yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan M. Pahlevi dan Werdiningsih.
Pendidikan Sekolah Dasar di tempuh SD Negeri Bakaran Batu Deli Serdang pada tahun 1988 – 1994 kemudian melanjutkan ke SMP Ampera Batang Kuis Deli Serdang tahun 1994 – 1997 dan SMU Negeri 2 Pematangsiantar pada tahun 1997 – 2000.
Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di FMIPA Universitas Sumatera Utara jurusan Kimia dan lulus sebagai Sarjana Sains pada tahun 2006. Kemudian pada tahun 2009 penulis mengambil program Magister Teknik Kimia di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……….. i
ABSRACT ……….. ii
KATA PENGANTAR………...……….. iii
RIWAYAT HIDUP ….……… v
DAFTAR ISI ………...…..……….. vi
DAFTAR GAMBAR ………...….…………... ix
DAFTAR TABEL ………...……….…..……. x
DAFTAR LAMPIRAN………..………….. xi
DAFTAR SINGKATAN ……… xii
BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1
1.1. Latar Belakang ……….. 1
1.2. Perumusan Masalah ……….……. 6
1.3. Tujuan Penelitian ………...……. 7
1.4. Manfaat Penelitian ……… 8
1.5. Lingkup Penelitian ……… 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 10
2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ……….. 10
2.2. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ……….. 12
2.3. Proses Pengolahan Limbah Secara Anaerobik ……….. 14
2.3.1. Hidrolisis ……….…… 15
2.3.2. Asidogenesis ……….. 16
2.3.3. Asetogenesis ………... 17
(10)
2.4. Biogas ……….…….…. 22
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas ……..……... 24
2.6. Trace Metal Sebagai Nutrisi Esensial Pada Mikroorganisme ...…... 28
2.7. Berbagai Penelitian Tentang Penggunaan Trace Metal Pada Pengolahan Limbah Secara Anaerobik ……… 31
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……….……….…………... 34
3.1. Bahan dan Peralatan ………... 35
3.2. Tahap Penelitian ………...………….. 37
3.2.1. Penelitian Pendahuluan ………. 37
3.2.2. Penelitian Lanjutan ……… 39
3.3. Prosedur Penelitian ………..………. 40
3.3.1. Loading Up Hingga Mencapai Target HRT ……….. 40
3.3.2. Pembuatan Umpan ………. 41
3.3.3. Pengujian Sampel ………...…….….. 41
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..………… 43
4.1. Karakteristik LCPKS Sebagai Bahan Baku ………….…..…………. 43
4.2. Hasil Dan Pembahasan ……….…….…...…… 44
4.2.1. Penelitian Pendahuluan ……….…….…..……… 44
4.2.1.1. Produksi Biogas Selama Proses Fermentasi Anaerobik Termofilik ……….……… 44
4.2.1.2. Pengaruh Penghentian Penambahan Nikel dan Kobalt Terhadap Jumlah Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) Dalam Fermentor …………..….…….. 50
4.2.1.3. Pengaruh Penghentian Penambahan Nikel Dan Kobal Terhadap Dekomposisi Volatile Solid (VS) .……… 53
(11)
4.2.2.1. Pengaruh Pengurangan Konsentrasi trace metal
Nikel dan Kobal Pada Produksi Biogas ……...……… 56
4.2.2.2. Pengaruh Pengurangan Konsentrasi Nikel dan Kobal Pada Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) ……… 60
4.2.2.3. Pengaruh Pengurangan Konsentrasi Nikel dan Kobal Terhadap Penguraian Volatile Solid (VS)…..……… 62
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………..……….…… 65
1.1. Kesimpulan ………...……… 65
1.2. Saran ……….……… 66
DAFTAR PUSTAKA ……….. 67 LAMPIRAN
(12)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Konversi Bahan Organik Menjadi Metana Secara Anaerobik …….. 14 2.2. Pembentukan Metana Dari Asetat dan Dari Karbon Dioksida ……. 20 2.3. Jalur Pembentukan Metana ……….……… 30 3.1. Skematik Rangkaian Peralatan Konversi LCPKS Menjadi Biogas … 36 3.2. Tahap Percobaan Pendahuluan ………. 38 4.1. Produksi Biogas Pada Percobaan Pendahuluan ……….……… 45 4.2. Grafik Konsentrasi Trace Metal Dengan Volume Biogas ………… 49 4.3. Jumlah TS Dan VS Dalam Fermentor ……….. 51 4.4. Persen Penguraian Volatile Solid (VS) Pada Fermentor ……….… 53 4.5. Produksi Biogas Pada F1 Dan F2 Untuk Percobaan Lanjutan ……. 57 4.6 Struktur Senyawa Koronoid dan Kofaktor F430 ……… 59 4.7. Jumlah TS pada Fermentor 1 dan 2 ……… 60 4.8. Jumlah VS Pada Fermentor 1 dan Fermentor 2 ………. 61 4.9 Persentase Dekomposisi Volatile Solid Dalam
(13)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1. Sifat dan Komponen LCPKS ………. 10
2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit ….………….. ……. 11
2.3. Degradasi Asetogenesis ……….. 17
2. 4. Keuntungan Dan Kerugian Fermentasi Anaerobik ……… 21
2.5. Komposisi Biogas Secara Umum ………..…………. 23
2.6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas ………..…. 24
2.7. Unsur yang Berperan Dalam Metabolisme Methanogenic Archaea………… 28
2.8. Penelitan yang Menggunakan Trace Metal dalam Proses Anaerobik……….. 32
4.1. Karakteristik LCPKS Dari PKS Adolina PTPN IV ………….……… 43
4.2. Konsentrasi Trace Metal Dan Biogas yang Dihasilkan ……….. 48
4.5. Konsentrasi Trace Metal Dan COD Pada F1 ………. 55
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A. DATA PERCOBAAN ………..………. xiii
B. PROSEDUR PENGUJIAN SAMPEL ……...……...….…….. ………… xiv
(15)
DAFTAR SINGKATAN COD = Chemical Oxygen Demand
CSTR = Continuous Stirred Tank Reactor HRT = Hydraulic Retention Time
LCPKS = Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit PKS = Pabrik Kelapa Sawit
POME = Palm Oil Mill Effluent
PTPN = Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara
TS = Total Solids
(16)
ABSTRAK
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang memiliki nilai COD tinggi, sehingga perlu diolah sebelum dapat dibuang ke perairan. Salah satu metode pengolahan LCPKS adalah secara anaerobik termofilik dan hasil akhir dari proses ini adalah biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Untuk mengoptimalkan pembentukan biogas secara anaerobik termofilik diperlukan mikronutrien, salah satunya adalah trace metal yang dapat menstimulasi aktivitas metanogen pada proses pembentukan metan. Namun karena pada konsentrasi tinggi trace metal dapat berbahaya bagi makhluk hidup, maka pada penelitian ini dilakukan pengurangan penggunaan trace metal (nikel dan kobal) pada pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit secara anaerobik termofilik untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produksi biogas. Konsentrasi trace metal awal yang digunakan pada penelitian ini 0,49 mg/l untuk nikel dan 0,42 mg/l untuk kobal, lalu dilakukan pengurangan hingga 90% dan 97% dari konsentrasi awal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan continuous stirred tank reactor (CSTR) berkapasitas 2 liter, dengan suhu 55oC, pH 6,5 – 7,8 dan HRT 6 hari. Bahan baku yang digunakan adalah LCPKS segar yang berasal dari fat pit pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dengan pengurangan trace metal (nikel dan kobal) 90% diperoleh volume rata-rata biogas sebanyak 7,10 liter/ hari dengan laju dekomposisi VS 53% dan dengan pengurangan trace metal hingga 97% diperoleh volume rata-rata biogas sebanyak 7,06 liter/ hari dengan laju dekomposisi VS 51%.
(17)
ABSTRACT
Palm oil mill effluent (POME) is palm oil mills byproducts which has high COD concentration, and it is necessary to be processed before being discharged into the stream. Anaerobic thermophilic is one method of POME treatment and the final product of this process is biogas which can be used as fuel. To optimize the formation of biogas, micronutrients are required, trace metals are micronutrients that can stimulate the activity of microorganisms which can increase methane production in anaerobic processes. Because trace metals at high concentrations can be harmful for living things, this experiment intends to know the effect of reducing the concentration of trace metals (nickel and cobalt) in the processing of palm oil mill effluent to biogas production by thermophilic anaerobic. The initial concentrations of trace metals used in this experiment were 0.49 mg /l for nickel and 0.42 mg /l for cobalt, then reduced until 90% and 97% from the initial concentration. The experiment was conducted by using two liters of continuous stirred tank reactor (CSTR) with temperature 50o C, pH 6.5 - 7.8 and HRT 6 days. POME was taken from fat pit of Adolina mills belong to PTPN IV. The result of this experiment concluded that the 90% reduction of trace metal (nickel and cobalt) produced average volume of biogas 7.10 liter/day at the rate of VS decomposition 53% and the 97% reduction of trace metal, produced average volume of biogas 7.06 liter/day with VS decomposition rate 51%.
(18)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk samping berupa buangan dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang berasal dari air kondensat pada proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian. LCPKS ini tidak dapat langsung dibuang ke perairan karena memiliki konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi mencapai 50.000 mg/l, kandungan lemaknya mencapai 4000 mg/l dan total solid (TS) 40.500 mg/l (Ngan, 2000). Maka perlu dilakukan pengolahan terhadap LCPKS tersebut sebelum dapat dibuang ke perairan.
Teknik pengolahan LCPKS pada umumnya menggunakan metode pengolahan limbah kombinasi yaitu dengan sistem proses anaerobik dan aerobik. Limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik dialirkan ke bak penampungan untuk dipisahkan antara minyak yang terikut dan limbah cair. Kemudian limbah cair dialirkan ke bak anaerobik untuk dilakukan proses pengolahan secara anaerobik. Pengolahan limbah secara anaerobik merupakan proses degradasi senyawa organik seperti karbohidrat, protein dan lemak yang terdapat dalam limbah cair oleh bakteri anaerobik tanpa kehadiran oksigen (Tchobanoglous et al, 2003). Waktu tinggal limbah cair di dalam kolam anaerobik adalah selama 30 hari di mana proses anaerobik yang terjadi di dalam kolam dapat menurunkan kadar BOD dan COD limbah cair hingga 70 %.
(19)
Setelah pengolahan limbah cair secara anaerobik, kemudian dilakukan pengolahan dengan proses aerobik selama 15 hari (Dept. Pertanian, 2006).
Teknik pengolahan limbah cair kelapa sawit dengan menggunakan kolam-kolam penampungan saat ini dirasakan tidak efektif dan tidak ramah lingkungan. Karena lahan yang dibutuhkan untuk kolam-kolam penampungan dan pengolahan limbah tersebut cukup besar, selain itu proses tersebut melepaskan gas metan yang merupakan gas rumah kaca. Sehingga saat ini telah banyak dilakukan penelitian dan pengembangan proses yang bertujuan selain untuk mengolah LCPKS juga untuk memanfaatkannya.
Novaviro Technology Sdn Bhd, suatu perusahaan Malaysia yang telah berpengalaman dalam perancangan pabrik biogas, telah mengembangkan proses pengolahan LCPKS dengan menggunakan tangki reaktor anaerobik. Pada proses ini, gas metan yang terbentuk dapat digunakan sebagai sumber energi bagi pabrik kelapa sawit. Proses pengolahan LCPKS yang dikembangkan oleh Novaviro Technology Sdn Bhd ini merupakan proses kontinu menggunakan Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR) dengan waktu tinggal (Hydraulic Retention Time, HRT) selama 18 hari dan menggunakan sistem pengembalian sludge dengan waktu tinggal 2 hari dalam tangki sedimentasi (Novaviro, 2008). Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) juga mengembangkan metode pengolahan LCPKS secara anaerobik dengan menggunakan Reaktor Anaerobik Unggun Tetap (RANUT). Metode yang dikembangkan oleh PPKS ini menggunakan dua buah tangki penyimpanan LCPKS
(20)
segar dan dua tangki digester yang berisi bahan pendukung berupa potongan pipa plastik yang beralur, sebagai tempat menempelnya bakteri dan pengoperasian reaktor dilakukan pada suhu 26 -28oC (Dept. Pertanian, 2006).
Saat ini Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP3M) USU bekerja sama dengan Metawater Jepang juga sedang mengembangkan metode pemanfaatan dan pengolahan LCPKS. Metode yang dikembangkan untuk pemanfaatan LCPKS ini adalah dengan pengolahan anaerobik secara termofilik untuk memperoleh biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi. Sistem ini menggunakan digester berpengaduk dengan temperatur operasional 55o C. Untuk menstabilkan alkalinitas dilakukan penambahan NaHCO3 sebanyak 2,5 g/l LCPKS dan penambahan larutan logam FeCl2 25 mg/l, NiCl2 0,49 mg/l dan CoCl2 0,42 mg/l LCPKS untuk meningkatkan produksi biogas. Dari pengolahan LCPKS yang dilakukan oleh LP3M USU ini biogas yang diperoleh pada HRT 6 adalah sebanyak 8,34 liter/ hari. (Irvan, 2009).
Fatimah et al. (2011) telah melakukan fermentasi LCPKS secara anaerobik termofilik dengan HRT 6 hari dan sistem recycle. Pada penelitian tersebut digunakan trace metal Ni 0,49 mg/l, Co 0,42 mg/l dan Fe 25 mg/ l dan diperoleh biogas sebanyak 7 - 9 l/hari dan dengan sistem recycle diperoleh laju dekomposisi COD mencapai 85%. Pada proses pengolahan LCPKS yang dikembangkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP3M) USU dan Metawater digunakan
(21)
beberapa larutan logam (trace metal) yaitu FeCl2, NiCl2, dan CoCl2
Trace metal diperlukan bagi mikroorganisme untuk pertumbuhannya, tetapi ketersediaannya secara alami di dalam limbah yang akan diolah sangat kecil sehingga tidak mencukupi untuk proses anaerobik yang optimal, maka perlu dilakukan penambahan agar proses fermentasi dapat berlangsung secara optimum. Walaupun trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi keberadaannya dapat menstimulasi aktivitas bakteri metanogenik sehingga dapat meningkatkan produksi metan (Krongthamchat et al, 2006).
yang berperan dalam proses pembentukan biogas. Menurut Zitomer dan Speece (2008) penambahan trace metal dapat meningkatkan produksi biogas dari 14% menjadi 50% pada pengolahan sampah kota, karena terjadi peningkatan penggunaan senyawa propionat dan asetat oleh mikroorganisme. Sedangkan penambahan trace metal Ni 15 mg/l dan Co 10 mg/l dapat meningkatkan efisiensi penurunan COD dari 44% menjadi 58% dan meningkatkan produksi biogas hingga diperoleh biogas 10 – 14,8 liter/ hari pada pengolahan molase (Espinosa et al, 1996). Mikronutrien seperti trace metal memang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses pengolahan limbah secara anerobik. Trace metal berperan sebagai kofaktor dalam enzim, misalnya seperti kobal dalam corronoid, nikel dalam F430, hidrogenase dan dehidrogenase karbon monoksida. Logam kobal dan nikel ini tidak dapat diganti dengan logam lain (Jiang, 2006).
Trace metal yang merupakan mikronutrien bagi mikroorganisme umumnya berupa logam-logam yang apabila keberadaanya pada konsentrasi yang tinggi dapat
(22)
berbahaya bagi makhluk hidup, sehingga walaupun keberadaanya dibutuhkan tapi penggunaanya tidak boleh berlebihan. Hal ini yang menjadi perhatian penulis untuk mengetahui bagaimana jika penggunaan trace metal dalam pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik dikurangi dan bagaimana pengaruhnya pada produksi biogas dari hasil pengolahan tersebut.
Takashima et al, (2004) telah melakukan penelitian untuk menentukan kebutuhan minimum trace metal pada fermentasi glukosa secara termofilik. Berdasarkan penelitan yang mereka lakukan diketahui bahwa kebutuhan trace metal pada fermentasi tersebut adalah Fe 3,5 mg/l, Ni 0,40 mg/l, Co 0,45 mg/l dan Zn 2,0 mg/l. Qiang et al, (2011) juga telah meneliti kebutuhan minimum trace metal pada digester anaerobik dari limbah makanan secara mesofilik. Dari penelitian yang mereka lakukan diperoleh konsentrasi yang tepat untuk Fe/COD, Co/COD, dan Ni/COD yaitu 200 mg/kg.COD, 6,0 mg/kg.COD dan 5,7 mg/kg.COD.
Dari metode yang dikembangkan oleh LP3M USU bekerjasama dengan Metawater, penambahan trace metal nikel dan kobal merupakan salah satu pendorong untuk pembentukan biogas yang optimum. Namun apabila proses pengolahan LCPKS tersebut diterapkan pada pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas produksi 40 ton per jam maka kebutuhan trace metal yang digunakan untuk pengolahan limbah cairnya akan cukup besar. Bila suatu PKS mengolah 40 ton tandan buah segar per jam maka akan diperolah sekitar 30 ton LCPKS per jam. Jika diasumsikan waktu produksi selama 20 jam per hari maka jumlah LCPKS yang harus diolah sekitar 600
(23)
ton per hari. Sehingga berdasarkan metode yang dikembangkan oleh LP3M USU dan Metawater, untuk mengolah LCPKS tersebut dibutuhkan kurang lebih 294 g NiCl2, 252 g CoCl2, dan 5 kg FeCl2
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengetahui pengaruh pengurangan konsentrasi trace matal yang digunakan pada pengolahan LCPKS tersebut khususnya logam nikel dan kobal terhadap produksi biogas yang dihasilkan dari proses pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik karena kedua logam ini dapat menjadi racun bagi makhluk hidup jika terdapat dalam konsentrasi yang besar. Penulis mengadopsi metode yang dikembangkan oleh LP3M USU tersebut untuk melakukan penelitian ini.
per hari. Sedangkan bila berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Espinosa maka diperlukan kurang lebih 9 kg Ni dan 6 kg Co untuk mengolah 600 ton LCPKS. Jika dibandingkan hasil penelitian LP3M USU dengan penelitian Espinosa selisih produksi biogas yang diperoleh tidak terlalu besar hanya sekitar 4 – 7 liter/ hari meskipun konsentrasi trace metal yang digunakan Espinosa 7 kali lebih besar dibandingkan yang digunakan oleh LP3M USU.
1.2.Perumusan Masalah
Nikel dan kobal merupakan trace metals yang dibutuhkan dalam fermentasi anaerobik termofilik, keberadaannya dapat meningkatkan produktivitas mikroorganisme khususnya bakteri metanogen. Ketersediaan nikel dan kobal dalam bentuk bebas di alam sangat kecil sehingga pada pengolahan limbah secara anaerobik perlu penambahan sejumlah logam nikel dan kobal untuk meningkatkan efisiensi
(24)
penurunan COD dari limbah dan meningkatkan produksi biogas hingga diperoleh hasil yang optimum.
Tetapi penggunaan trace metal tersebut dalam konsentrasi yang besar dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan makhluk hidup, karena dapat menjadi racun bagi makhluk hidup termasuk manusia sehingga penggunaannya harus diminimalisasi.
Untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan trace metal yang berlebih maka pada penelitian ini dilakukan pengurangan nikel dan kobal dalam proses pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik dan ingin dilihat pengaruh pengurangan trace metal tersebut pada proses pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik terhadap nilai COD juga terhadap jumlah biogas yang dihasilkan dari proses tersebut.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh pengurangan trace metal nikel dan kobal pada proses pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik terhadap nilai COD pada LCPKS.
2. Mengetahui pengaruh pengurangan trace metal terhadap penguraian senyawa organik dalam proses pengolahan LCPKS.
(25)
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini bagi industri dan masyarakat adalah: 1. Memberikan informasi untuk pengembangan produksi biogas secara optimum
menggunakan metode fermentasi anaerobik termofilik.
2. Menyediakan informasi tentang penggunaan trace metal (nikel dan cobalt) dalam memproduksi biogas menggunakan fermentasi anaerobik termofilik.
1.5. Lingkup Penelitian
Bahan baku yang digunakan adalah limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang berasal dari pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV. Penelitian dilakukan dengan proses fermentasi anaerobik termofilik menggunakan fermentor jenis Continuous Strirred Tank Reactor (CSTR) dengan volume 2 liter dan temperatur fermentasi adalah 55o
Kondisi operasional pada penelitian ini adalah :
C dengan pengadukan 100 – 200 rpm.
- Temperatur : 55o - Volume substrat : 2 liter
C
- HRT : 6 hari
- pH : 6,5 – 7,8
- Konsentrasi nikel pada tahap loading up : 0,49 mg/l - Konsentrasi kobal pada tahap loading up : 0,42 mg/l - Konsentrasi nikel pada HRT 6 : 0,049; 0,008 mg/l - Konsentrasi kobal pada HRT 6 : 0,042; 0,007 mg/l
(26)
Parameter yang diukur adalah: - Produksi biogas.
- M-Alkalinity. - pH
- Kadar Total Solid (TS).
- Kadar abu dan Volatile solid (VS).
- Konsentrasi COD (Chemical Oxigen Demand) pada slurry. - Konsentrasi logam nikel dan kobal dalam slurry.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel 2.1 menyajikan sifat dan komponen LCPKS secara umum.
Tabel 2.1. Sifat dan Komponen LCPKS
Parameter Rata-rata
pH Minyak BOD COD Total Solid Suspended Solid Total Volatile Solid Total Nitrogen
4,7 4000 25000 50000 40500 18000 34000 750
Mineral Rata-rata
Kalium Magnesium Kalsium Besi Tembaga
2270 615 439 46,5 0,89 Semua dalam mg/l, kecuali pH (Ngan, 2000).
Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 70-80oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa
(28)
koloid dan residu minyak dengan BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang tinggi. Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan dapat mencemari lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang ke perairan, maka sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah di tetapkan. Tabel 2.2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri minyak kelapa sawit berdasarkan Keputusam Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995.
Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit
Parameter Kadar Maksimum
(mg/l)
Beban Pencemaran Maksimum (Kg/ton) BOD
COD
5
TSS
Minyak dan lemak Nitrogen total (sebagai N)
100 350 250 25 50,0
0,25 0,88 0,63 0,063 0,125 Nikel (Ni)
Kobal (Co) pH
Debit limbah maksimum
0,5 mg/l 0,6 mg/ L
6,0 – 9,0
2,5 m3 per ton produk minyak sawit (CPO)
(Kep Men LH No.51, 1995)
Limbah cair kelapa sawit merupakan nutrien yang kaya akan senyawa organik dan karbon, dekomposisi dari senyawa-senyawa organik oleh bakteri anaerob dapat menghasilkan biogas (Deublein dan Steinhauster, 2008). Jika gas-gas tersebut tidak dikelola dan dibiarkan lepas ke udara bebas maka dapat menjadi salah satu penyebab pemanasan global karena gas metan dan karbon dioksida yang dilepaskan
(29)
adalah termasuk gas rumah kaca yang disebut-sebut sebagai sumber pemanasan global saat ini. Emisi gas metan 21 kali lebih berbahaya dari CO2 dan metan merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar (Sumirat dan Solehudin, 2009).
2.2. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan unit pengumpul (fat pit) yang kemudian dialirkan ke deoiling ponds (kolam pengutipan minyak) untuk diambil kembali minyaknya serta menurunkan suhunya, kemudian dialirkan ke kolam anaerobik atau aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai perombak BOD dan menetralisir keasaman limbah. Teknik pengolahan ini dilakukan karena cukup sederhana dan dianggap murah. Namun teknik ini dirasakan tidak efektif karena memerlukan lahan pengolahan limbah yang luas dan selain itu emisi metan yang dihasilkan dari kolam-kolam tersebut merupakan masalah yang saat ini harus ditangani.
Saat ini telah banyak dikembangkan penelitian dalam pengolahan LCPKS, seperti yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit dengan menggunakan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT). Prosesnya diawali dengan pemisahan lumpur atau padatan yang tersuspensi, kemudian limbah cair dipompakan ke dalam reaktor anaerobik untuk perombakan bahan organik menjadi biogas. Kemudian untuk memenuhi baku mutu lingkungan, limbah diolah lebih lanjut secara aerobik (activated sludge system) hingga memenuhi baku mutu lingkungan untuk dibuang ke
(30)
sungai (Departemen Pertanian, 2006). Selain itu ada juga pengolahan LCPKS yang dikembangkan oleh Novaviro Tech Sdn Bhd, prosesnya adalah dengan mengendapkan limbah cair pada kolam pengendapan selama 2 hari lalu dimasukkan ke dalam tangki anaerobik berpengaduk untuk diolah dengan waktu retensi 18 hari (Novaviro, 2008).
Proses anaerobik merupakan proses yang dapat terjadi secara alami yang melibatkan beberapa jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut. Proses yang terjadi pada pengolahan secara anaerobik ini adalah hidrolisis, asidogenik dan metanogenesis. Beberapa jenis bakteri bersama-sama secara bertahap mendegradasi bahan-bahan organik dari limbah cair (Deublein dan Steinhauster, 2008).
Pada pengolahan secara anaerobik ini bakteri yang berperan adalah bakteri fermentasi, bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik yang memiliki peranan masing-masing dalam mendegradasi senyawa organik menjadi produk akhir berupa gas metan. Tiap fase dari proses fermentasi metan melibatkan mikroorganisme yang spesifik dan memerlukan kondisi hidup yang berbeda-beda. Bakteri pembentuk gas metan merupakan bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas dalam metabolismenya, bahkan adanya oksigen bebas dapat menjadi racun atau mempengaruhi metabolisme bakteri tersebut (Deublein dan Steinhauster, 2008).
(31)
2.3.Proses Pengolahan Limbah Secara Anaerobik
Proses anerobik melibatkan penguraian senyawa organik dan anorganik oleh mikroorganisme tanpa adanya molekul oksigen bebas. Tahapan yang terjadi dalam proses perombakan senyawa organik menjadi gas metan ditunjukkan pada Gambar 2.1.
(Jiang, 2006)
Gambar 2.1. Konversi Bahan Organik Menjadi Metan Secara Anaerobik Senyawa Organik
Karbohidrat Protein Lemak
Metanogenesis
Asetogenesis
1. Bakteri Fermentasi
2. Bakteri Asetogenik penghasil hidrogen 3. Bakteri Asetogenik pengguna hidrogen
4. Bakteri Metanogenik pereduksi karbon dioksida 5. Bakteri Metanogenik asetoclastic
CO2/ H2
CH3COO
-As. Lemak alkohol
Gula Asam Amino Hidrolisis
Asidogenesis Volatile Fatty Acids Etanol
CH4
1 1 1
1
1
2
3
4 5
(32)
2.3.1. Hidrolisis
Hidrolisis merupakan langkah pertama pada proses anaerobik, di mana bahan organik yang kompleks (polimer) terdekomposisi menjadi unit yang lebih kecil (mono-dan oligomer). Selama proses hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lipid, asam nukleat dan protein diubah menjadi glukosa, gliserol, purin dan piridine. Mikroorganisme hidrolitik mengeskresi enzim hidrolitik, mengkonversi biopolimer menjadi senyawa sederhana dan mudah larut seperti yang ditunjukkan di bawah ini Lipid
: Lipase
asam lemak, gliserol (2.1) Polisakarida selulase,selubinase,xylanase,amilase monosakarida (2.2) Protein protease
Senyawa tidak larut, seperti selulosa, protein, dan lemak dipecah menjadi senyawa monomer (partikel yang larut dalam air) oleh exo-enzime (enzim ekstraselular) secara fakultatif oleh bakteri anaerob.
asam amino (2.3)
Seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.1 di mana lipid diurai oleh enzim lipase membentuk asam lemak dan gliserol sedangkan poliskarida diurai menjadi monosakarida seperti pada persamaan 2.2. Dan protein diurai oleh protease membentuk asam amino. Produk yang dihasilkan dari hidrolisis diuraikan lagi oleh mikroorganisme yang ada dan digunakan untuk proses metabolisme mereka sendiri (Seadi et al, 2008).
(33)
Hidrolisis karbohidrat dapat terjadi dalam beberapa jam sedangkan hidrolisis protein dan lipid terjadi dalam beberapa hari. Sedangkan lignoselulosa dan lignin terdegradasi secara perlahan-lahan dan tidak sempurna. Mikroorganisme anaerob fakultatif mengambil oksigen terlarut yang terdapat dalam air sehingga untuk mikroorganisme anaerobik diperlukan potensial redoks yang rendah. Solubilisasi melibatkan proses hidrolisis di mana senyawa-senyawa organik kompleks dihidrolisis menjadi monomer-monomer. Sebagai contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida. Protein dibagi menjadi peptida dan asam amino. Lemak dihidrolisis menjadi asam-asam lemak gliserol (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2.3.2. Asidogenesis
Selama proses asidogenesis, produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan dikonversi oleh bakteri acidogenic (fermentasi) menjadi substrat bagi bakteri methanogenic. Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen (70%) juga menjadi asam lemak volatil (VFA) dan alkohol (30%) (Seadi et al, 2008).
Asam amino terdegradasi melalui reaksi Stickland oleh Clostridium botulinum yaitu reaksi reduksi oksidasi yang melibatkan dua asam amino pada waktu yang sama, satu sebagai pendonor hidrogen dan yang satu lagi sebagai akseptor. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.3. memperlihatkan degradasi senyawa pada tahap asetogenesis
(34)
Tabel 2.3. Degradasi Asetogenesis
Substrat Reaksi
Asam Propionat CH3 (CH2)COOH + 2H2O CH3COOH + CO2 + 3H2
Asam Butirat CH3 (CH2)2 COO- + 2H2O 2CH3COO- + H+ + 2H
Asam Kapronik
2
CH3 (CH2)4 COOH + 4H2O 3CH3COO- + H+ + 5H
Karbon dioksida/
2
hidrogen
2 CO2 + 4H2 CH3COO- + H+ + 2H2
Gliserin
O
C3H8O3 + H2O CH3COOH + 3H2 + CO
Asam Laktat
2
CH3CHOHCOO- + 2H2O CH3COO- + HCO3- + H+ + 2H
Etanol
2
CH3(CH2)OH + H2O CH3COOH + 2H2
(Deublein dan Steinhauster, 2008)
Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya dan pada kondisi lingkungannya. Bakteri yang terlibat dalam asidifikasi ini merupakan bakteri yang bersifat anaerobik dan merupakan penghasil asam yang dapat tumbuh pada kondisi asam. Bakteri penghasil asam menciptakan suatu kondisi anaerobik yang penting bagi mikroorganisme penghasil metan (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2.3.3. Asetogenesis
Produk dari proses asidogenesis yang tidak dapat langsung diubah menjadi metan oleh bakteri methanogenic, akan dikonversi menjadi substrat bagi methanogenic pada proses asetogenesis. VFA yang memiliki rantai karbon lebih dari dua dan alkohol yang rantai karbonnya lebih dari satu akan teroksidasi menjadi asetat
(35)
dan hidrogen. Pada fase metanogenesis, hidrogen akan dikonversi menjadi metan (Seadi et al, 2008).
Bakteri asetogenic adalah penghasil H2. Pembentukan asetat melalui oksidasi asam lemak rantai panjang (seperti asam propionat atau butirat) akan berjalan sendiri dan hanya mungkin terjadi dengan tekanan hidrogen parsial yang sangat rendah. Bakteri asetogenic bisa mendapatkan energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan untuk pertumbuhan hanya pada konsentrasi H2 yang sangat rendah. Mikroorganisme asetogenic dan methanogenic hidup dalam simbiosis yang saling memerlukan. Organisme methanogenic dapat bertahan hidup dengan tekanan hidrogen parsial yang lebih tinggi. Maka harus terus-menerus mengeluarkan produk-produk dari metabolisme bakteri acetogenic dari substrat untuk menjaga tekanan parsial hidrogen pada tingkat yang rendah sehingga cocok untuk bakteri acetogenic (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2.3.4. Metanogenesis
Produksi metan dan karbon dioksida dilakukan oleh bakteri methanogenic. Sebanyak 70% dari metan yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya 30% dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO2), menurut persamaan berikut:
Asam asetat bakteri methanogenic metan + karbon dioksida (2.4) Hidrogen + karbon dioksida bakteri methanogenic metan + air (2.5)
(36)
Metanogenesis merupakan langkah penting dalam proses pengolahan anaerobik secara keseluruhan, karena proses ini adalah yang paling lambat pada proses reaksi biokimia. Metanogenesis sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi. Komposisi bahan baku, laju pengumpanan, suhu, dan pH adalah faktor yang mempengaruhi proses metanogenesis. Overloading pada digester, perubahan suhu atau masuknya oksigen dalam jumlah besar dapat mengakibatkan penghentian produksi metan (Seadi et al, 2008). Jalur untuk pembentukan metan dari asetat dan/ atau CO2 oleh mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 2.2. Rantai hidrokarbon panjang terlibat dalam proses ini seperti methanofuran (misalnya R – C24H26N4O8) dan H4TMP (tetrahydromethanopterin) sebagai Co-faktor. Corrinoids adalah molekul yang memiliki empat cincin pirol dalam cincin yang besar dengan rumus empiris C19H22N4. Ketika pembentukan metan bekerja, fase asetogenesis juga bekerja tanpa masalah. Masalah dapat terjadi ketika bakteri asetogenic hidup bersimbiosis bukan dengan spesies methanogenic tetapi dengan organisme lain dan menggunakan H2. Dalam teknologi pengolahan air limbah, simbiosis dapat terjadi dengan mikroorganisme pengurai sulfat menjadi hidrogen sulfide
Terdapat dua kelompok organisme metanogenik yang terlibat dalam pembentukan metan. Kelompok pertama merupakan aceticlastic methanogens yang memecah asetat menjadi metan dan karbon dioksida. Kelompok kedua antara lain
. Sehingga kadang terjadi persaingan dalam penggunaan hidrogen.
(37)
Methanobacterium yang menggunakan hidrogen dan karbon dioksida untuk membentuk metan (Deublein dan Steinhauster dan Steinhauster, 2008).
(CoA = Koenzim A, CoM = Koenzim M) (Jiang, 2006)
Gambar 2.2. Pembentukan Metan Dari Asetat dan Dari Karbon Dioksida Metanogen dan asidogen membentuk suatu hubungan yang saling menguntungkan di mana metanogen mengubah hasil dari proses asidogen seperti hidrogen, asam format dan asetat menjadi metan dan karbon dioksida. Mikroorganisme yang membentuk metan diklasifikasikan sebagai archaea yang bekerja tanpa adanya oksigen. Mikroorganisme non metanogenik yang berperan dalam hidrolisis dan fermentasi merupakan bakteri fakultatif (Deublein dan Steinhauster, 2008). Pengolahan secara anaerobik dalam reaktor dapat diaplikasikan untuk mengolah limbah cair dalam jumlah yang besar karena menggunakan reaktor
(38)
tertutup dan waktu tinggal cairan limbah saat ini bisa lebih singkat dengan menggunakan sistem termofilik, maka kebutuhan lahan yang luas untuk mengolah limbah cair dapat dikurangi. Selain itu pengolahan limbah cair secara anaerobik juga dapat memberikan sumber energi berupa gas metan yang merupakan produk akhir dari proses anaerobik ini. Gas metan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar yang relatif terhadap ramah lingkungan.
Pengolahan anaerobik untuk menghasilkan biogas ini sangat bermanfaat dalam mengurangi limbah biomassa organik namun tahap awal pembangunan reaktornya membutuhkan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan pengolahan secara aerobik. Beberapa kelebihan dan kekurangan proses anaerobik ditunjukkan pada tabel 2.4.
Tabel 2. 4. Keuntungan Dan Kerugian Fermentasi Anaerobik
Keuntungan Kerugian
- Energi yang dibutuhkan sedikit
- Produk samping yang dihasilkan sedikit
- Menghasilkan senyawa methana yang
merupakan sumber energi yang potensial
- Baik untuk operasi skala besar karena
menggunakan reaktor
- Sludge hasil buangannya dapat
digunakan sebagai pupuk
- Biaya konstruksi yang mahal
- Membutuhkan penambahan
senyawa alkalinity
- Sangat sensitif terhadap
perubahan temperatur
- Menghasilkan senyawa yang
beracun seperti H2S
- Penyimpanan pupuknya sulit
(39)
Pengolahan secara anerobik adalah metode yang paling sesuai untuk mengolah buangan industri yang mengandung karbon atau senyawa organik yang tinggi (Bocher dan Angler, 2008). Pengolahan LCPKS dengan menggunakan reaktor anaerobik dilakukan dengan mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem konvensional kedalam tangki digester.
Selain menghasilkan biogas, pengolahan limbah cair dengan proses anaerobik dapat dilakukan pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan berupa penurunan jumlah padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, serta kandungan racun dalam limbah (Speece, 1996). Disamping itu buangan dari proses fermentasi anaerobik dapat menjadi pupuk yang baik karena kandungan nitrogennya yang tinggi (Weiland. 2010).
2.4. Biogas
Biogas merupakan produk akhir dari degradasi anaerobik bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan dengan sedikit oksigen. Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah methana 55 – 70 % dan karbon dioksida 30 – 45 % serta sejumlah kecil, nitrogen dan hidrogen sulfida (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tapi metan (CH4) yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Apabila kandungan metan dalam biogs lebih dari 50% maka biogas tersebut telah layak digunakan sebagai bahan bakar. Tabel 2.5 menunjukan komposisi biogas secara umum.
(40)
Tabel 2.5. Komposisi Biogas Secara Umum
(Deublein dan Steinhauster, 2008)
Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat memperngaruhi sifat dan kualitas biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas merupakan hasil dari proses metabolisme milroorganisme. Biogas yang kandungan metannya lebih dari 45% bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO2 dalam biogas sebesar 25 – 50 % maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H2S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Sealin itu juga terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.6 menunjukkan beberapa komponen dalam biogas yang dapat mempengaruhi sifat biogas itu sendiri.
Komposisi Biogas Jumlah
Metan (CH4
Karbon dioksida (CO )
2 Nitrogen (N
) 2
Hidrogen Sulfida (H )
2
55 – 70 %
S)
30 – 45 % 0 – 0,3 % 1 – 5 %
(41)
Tabel 2.6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas
Komponen Jumlah Pengaruh Terhadap Biogas
CO2
H2S
NH3
Uap Air
N2
Siloxane
25 – 50 % per volume
0 – 0,5 % per volume
0 – 0,05 per volume
1 – 5% per
volume
0 – 5% per
volume 0 – 50 mg/ m
- Menurunkan nilai kalor bakar
3
Meningkatkan methane number Menyebabkan korosi
Menyebabkan kerusakan pada sel bahan bakar alkali
- Menyebabkan korosif pada peralatan dan sistem
perpipaan
Menyebabkan emisi SO2
- Merusak katalis yang digunakan pada reaksi
bila dibakar
Menyebabkan emisi NO2
Dapat merusak sel bahan bakar
setelah pembakaran
- Menyebabkan korosif pada peralatan
Kondensatnya dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan dan pembangkit
Terdapat resiko pembekuan pada sistem perpipaan
- Menurunkan nilai kalor bakar
Meningkatkan sifat anti-knocking pada mesin
- Menyebabkan kerusakan pada mesin
(Deublein dan Steinhauster, 2008)
2.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas
Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas berjalan dengan stabil adalah sebagai berikut:
(42)
a. pH
Nilai pH merupakan ukuran dari keasaman/ kebasaan suatu larutan (campuran dari substrat) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm). Nilai pH dari substrat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenic dan mempengaruhi disosiasi beberapa senyawa penting untuk proses anaerobik. Pembentukan metan terjadi pada interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 sampai 8,5, dengan interval optimal antara 7,0 - 8,0 untuk bakteri metanogen pada umumnya. Interval pH optimum untuk proses mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini akan terhambat jika nilai pH menurun hingga di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Nilai pH dalam reaktor anaerobik umumnya dikendalikan oleh sistem buffer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester tergantung pada konsentrasi komponen alkali dan asam dalam fase cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas buffer akan menetralkan perubahan pH, sampai tingkat tertentu (Seadi et al, 2008).
b. Temperatur
Proses anaerobik dapat berlangsung pada temperatur yang berbeda, rentang suhunya dapat dibagi menjadi tiga: psichrofilik (di bawah 25oC), mesofilik (25oC – 45oC), dan termofilik (45oC – 70o C). Stabilitas suhu sangat menentukan pada proses anaerobik. Banyak industri biogas modern beroperasi pada suhu termofilik karena proses termofilik memberikan banyak keuntungan, dibandingkan dengan proses
(43)
mesofilik dan psichrofilik diantaranya adalah sebagai berikut • Efektif untuk penghilangan patogen
:
• Tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih tinggi pada suhu yang lebih tinggi
• Waktu retensi berkurang, membuat proses lebih cepat dan lebih efisien
• Degradasi substrat padat menjadi lebih baik sehingga pemanfaatan substrat menjadi lebih baik (Seadi et al, 2008).
c. Organic Loading Rate (OLR)
OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam fermentor. Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan berjalan lambat sedangkan jika terlalu tinggi maka terjadi overlaod dan substrat yang ada dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme. (Speece, 1996).
d. Total Solid (TS), dan Volatile Solid (VS).
Total solid (TS) adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan volatile solid (VS) adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah dapat diketahui berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S Environmental Protection, 2001).
(44)
e. Makro dan Mikronutrien
Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium, molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1.
Kurangnya penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan fermentasi yang terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik (Seadi et al, 2008).
f. Hydraulic Retention Time (HRT)
HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh limbah cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece 1996). HRT berhubungan dengan volume digester dan volume substrat yang masuk per satuan waktu, meningkatnya organic loading rate akan mengurangi HRT, waktu retensi harus cukup lama untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar bersama dengan efluen tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi.
HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, namun hasil gas yang diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang ditargetkan,
(45)
jumlah input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat dibuat perhitungan untuk volume tangki digesternya (Seadi et al, 2008).
2.6. Trace Metal Sebagai Nutrisi Esensial Pada Mikroorganisme
Logam tertentu memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme mikroba, tetapi logam-logam tersebut dapat juga menjadi racun bila berada pada konsentrasi yang tinggi. Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung pada kinerjanya dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolism mikroba. Tabel 2.7. menunjukkan trace metal yang umum dan dibutuhkan pada pertumbuhan methanogenic arcaea.
Tabel 2.7. Unsur Yang Berperan Dalam Metabolisme Methanogenic Archaea
Enzim Logam Reaksi Methyltransferase
Methyl-CoM reductase
Formylmethanofuran dehydrogenase Carbon Monoxide dehydrogenase Hydrogenase
Co Ni
W,(Se, Fe) Mo,(Se, Fe)
Ni, Fe
Fe
Fe, Ni, Se
MeOH + CoM CH3 CH
-CoM 3-CoM + 2 H CH4 + CoM
CO2 + MFR CHO-MFR + H2O
CO + H2O CO2 + 2e- + 2H+
H2 2e- + 2H+
(Jiang, 2006)
Diantara logam-logam tersebut seperti cobalt, nikel, tungsten dan molybdenum merupakan logam yang berperan penting dalam metabolisme
(46)
metanogenik dan homoasetogenik. Logam-logam tersebut berperan sebagai co-faktor dalam enzim, misalnya seperti kobal dalam corronoid, nikel dalam F430, hidrogenase dan dehidrogenase karbon monoksida. Kedua logam ini tidak dapat diganti dengan logam lain (Jiang, 2006).
Trace metal diperlukan bagi hampir semua mikroorganisme, tetapi ketersediaannya secara alami bagi proses anaerobik tidak mencukupi sehingga perlu dilakukan penambahan agar proses fermentasi dapat berlangsung secara optimum. Kurangnya konsentrasi trace metal dalam proses anaerobik menyebabkan berkurangnya konversi propionate dan senyawa volatile fatty acid (VFA) lainnya menjadi metan sehingga menghambat proses anaerobik karena menumpuknya VFA dalam sistem (Osuna et al, 2003). Metan diproduksi oleh berbagai macam bakteri metanogen yang masing-masing membutuhkan trace metal dan kondisi yang berbeda-beda. Kurangnya konsentrasi salah satu trace metal dalam proses anaerobik dapat menghambat keseluruhan proses. Walaupun trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi keberadaannya dapat meningkatkan produksi metan (Speece, 1996). Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung pada kinerja dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolisme mikroba. Kofaktor 430 dan koenzim-M merupakan senyawa yang dibutuhkan dalam proses pembentukan metana, dan kedua senyawa tersebut perlu asupan trace metal dalam reaksinya. Gambar 2.3 merupakan siklus pembentukan metan yang dikatalisis oleh kofaktor F430 dan koenzim-M.
(47)
(Jones et al, 1985)
Gambar 2.3. Jalur Pembentukan Metan
Gambar 2.3 memperlihatkan jalur pembentukan metan di mana metanogen tumbuh pada substrat metanogenik yang berbeda dari jalur metanogenik. Jalurnya berbeda karena memiliki beberapa koenzim yang unik seperti koenzim-M (HS-CoM), faktor F420 dan F430, methanofuran, tetrahydromethanofuran and 7-mercaptoheptanonylthreonine phosphate, yang tidak terdapat pada kelompok mikroorganisme lain. Aktifasi methanol pada jalur ini dilakukan oleh dua corrinoid yang mengandung methyltransferases, menghasilkan methylated coenzyme-M. pembentukan metan dari methyl-CoM dikatalisa oleh methyl CoM reductase, yaitu enzim yang mengandung F430 (Jiang, 2006).
(48)
2.7. Berbagai Penelitian Tentang Penggunaan Trace Metal Pada Pengolahan Limbah Secara Anaerobik
Pengolahan limbah secara anarobik adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengolah limbah organik dan dapat menurunkan nilai COD yang tinggi dari limbah tertentu. Pengolahan limbah secara anorganik ini menghasilkan gas metan sebagai produk akhir reaksi. Proses anarobik dapat berlangsung secara alami di alam, tetapi gas metan yang dihasilkan dari proses ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang cukup berbahaya bagi lingkungan. Maka saat ini banyak dilakukan pemanfaatan gas metan dari proses pengolahan limbah secara anarobik. Selain dapat megurangi dampaknya terhadap lingkungan, metan yang diperolah juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang cukup ramah lingkungan.
Oleh karena itu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengoptimumkan pengolahan limbah secara anaorganik, beberapa diantaranya adalah dengan menambahkan sejumlah mikronutrien seperti trace metal. Berbagai penelitian tentang kebutuhan trace metal oleh metanogen telah banyak dilakukan, di antaranya oleh Zitomer dengan hasil penelitian bahwa penambahan trace metal meningkatkan biogas dari 14% menjadi 50%. Selain itu penggunaan trace metal juga dapat meningkatkan penurunan COD seperti hasil penelitian oleh Oleszkiewicz yang ditampilkan pada Tabel 2.8.
(49)
Tabel 2.8. Penelitan Yang Menggunakan Trace Metal dalam Proses Anaerobik
Peneliti Bahan Baku Hasil Penelitian
Streicher. C dan. Milande. B
Oleszkiewicz. J.A
Kida, Ikbal dan Sonods
Espinosa
Takashima
Zitomer
Irvan dan Lembaga Penelitan USU
Penulis
Whey
Limbah industri makanan beku
Limbah industri bir
Molase
Glukosa
Sampah kota
LCPKS
LCPKS
Laju penurunan COD meningkat dari 6
kg/m3d menjadi 40 kg/m3d dengan
penambahan Fe, Co dan Ni
Penurunan COD meningkat hingga 95% dengan menambahkan Co, Fe dan Ni VFA meningkat ketika penambahan Ni dan Co dihantikan, dan jumlah biogas menurun
Penurunan COD meningkat dari 44% menjadi 58%, dan biogas meningkat dengan penambahan trace metal
Konsentrasi minimum untuk Ni 0,40 mg/l dan Co 0,45 mg/l
Penambahan trace metal menigkatkan
produksi biogas dari 14% menjadi 50% Diperoleh biogas sebanyak 8,7 Liter/ hari dari fermentasi LCPKS secara anaerobik termofilik dengan menggunakan trace metal sebagai mikronutrien
Pengurangan trace metal berpengaruh
pada produksi biogas, tetapi pada konsentrasi Ni 0,08 mg/l dan Co 0,07 mg/l masih dapat diperoleh biogas yang optimum
(50)
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Irvan dan LP3M USU, di mana trace metal yang ditambahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Irvan tersebut adalah sebanyak Ni 0,49 mg/l dan Co 0,42 mg/l dan pada penelitian ini penulis mengurangi konsentrasi trace metal hingga 90% dan 97% dari penelitian terdahulu.
(51)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini dengan melakukan percobaan pada skala laboratorium menggunakan volume substrat sebanyak 2 liter yang dilakukan di Laboratorium Ekologi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Proses dan cara fermentasi yang dilakukan mengadopsi proses dan metode yang diterapkan pada pilot plan pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik yang sedang dikembangkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP3M) USU bekerja sama dengan Perusahaan Metawater Jepang yaitu pengolahan LCPKS pada suhu 55o
Dengan metode tersebut LP3M USU telah dapat memperoleh biogas yang dengan jumlah biogas yang mencapai 14.000 liter/ hari dengan menggunakan umpan masuk sebanyak 616 liter/ hari.
C dan menggunakan pemasukan umpan yang kontinu.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap percobaan. Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan di mana tujuan dari penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui pengaruh keberadaan trace metal khususnya nikel an kobal pada proses fermentasi dan pada produksi biogas.
(52)
Tahap kedua adalah penelitian lanjutan yang bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan trace metal nikel dan kobal dengan konsentrasi yang sangat kecil masih dapat menghasilkan biogas yang optimum serta untuk mengetahui pengaruh pengurangan trace metal terhadap degradasi senyawa organik dalam LCPKS.
3.1. Bahan dan Peralatan
Dalam penelitian ini bahan utama yang digunakan adalah limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang berasal dari pabrik kelapa sawit (PKS) Adolina PTPN IV. Sedangkan sebagai bahan pendukung yang digunakan antara lain natrium bikarbonat (NaHCO3), FeCl2 4H2O, NiCl2 6H2O, CoCl2 6H2
Peralatan yang digunakan adalah fermentor jenis Continous Strirred Tank (CSTR) bervolume 2 liter yang dilengkapi dengan jaket pemanas dan sensor temperatur, juga peralatan lain seperti tangki umpan dan pompa sludge. Sedangkan untuk proses analisa digunakan gas meter, neraca analitis, furnace, oven, pH elektroda dan pengaduk magnetik. Gambar 3.1 menunjukkan skematik peralatan yang dibunakan dalam penelitian.
O, asam klorida (HCl) 0,1 M dan akuades.
(53)
(54)
Percobaan dilaksanakan pada suatu rangkaian peralatan yang secara skematik disajikan pada Gambar 3.1. LCPKS segar dimasukkan ke dalam tangki umpan (2) kemudian ditambahkan NaHCO3 sebagai penstabil pH dan larutan logam FeCl2 4H2O, NiCl2 6H2O, CoCl2 6H2O sebagai nutrisi bagi mikroorganisme. Selanjutnya umpan yang telah dicampur dengan berbagai senyawa tadi dipompakan menggunakan pompa ulir (3) masuk ke dalam fermentor (4) untuk difermentasi kemudian gas yang terbentuk diukur menggunakan gas meter (10). Kemudian sludge dari fermentor dipompakan menggunakan pompa ulir yang lain (3) menuju wadah keluaran fermentor (9).
Percobaan dilakukan pada suhu 55o C, dengan pH pada kisaran 6,5 – 7,8 dan M-alkalinity dijaga ≥ 3000 mg/l dengan penambahan NaHCO3 sebanyak 2,5 g/l LCPKS.
3.2. Tahap Penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan di mana tujuan dari penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui pengaruh keberadaan trace metal dalam fermentor terhadap proses fermentasi dan pada produksi biogas. Kemudian dari hasil analisa konsentrasi trace metal nikel dan kobal pada penelitian pendahuluan ini dapat dibuat suatu perkiraan yaitu pada konsentrasi trace metal berapa masih dapat
(55)
diperoleh volume biogas yang optimum. Maka dari hasil analisa tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lanjutan.
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan proses fermentasi LCPKS secara anaerobik termofilik pada suhu 55o C dan dengan menggunakan CSTR berkapasitas 2 liter. Tahap yang dilakukan pada penelitian pendahuluan ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Tahap percobaan pendahuluan
1. Pada tahap A dilakukan prosedur loading up yaitu proses adaptasi mikroorganisme. Pada awal reaksi, HRT yang digunakan adalah HRT 20 dengan jumlah umpan 100 ml/ hari. Apabila pH dan M-alkalinity stabil dan terjadi kenaikan produksi biogas maka HRT diturunkan secara bertahap dengan meningkatkan jumlah umpan per harinya hingga dicapai target HRT 6. Selama proses loading up ini digunakan trace metal nikel dengan konsentrasi: 0,49 mg/l dan kobal: 0,42 mg/l.
(56)
2. Kemudian pada tahap B setelah dicapai HRT 6 hari, penambahan logam nikel dan kobal dihentikan dan reaksi dijalankan tanpa penambahan nikel dan kobal. Reaksi dihentikan ketika terjadi penurunan produksi biogas secara drastis.
3.2.2. Penelitian Lanjutan
Pada penelitian lanjutan dilakukan proses pengolahan LCPKS secara anaerobik termofilik dengan mengurangi konsentrasi trace metal nikel dan kobal yang ditambahkan ke dalam fermentor. Tahap kedua ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengurangan trace metal nikel dan kobal terhadap produksi biogas dan terhadap degradasi senyawa organik dalam LCPKS.
Pada penelitian lanjutan ini digunakan 2 unit alat fermentor (fermentor 1 dan 2) dengan spesifikasi dan kondisi yang sama. Untuk fermentor 1 pada awal reaksi fermentasi dilakukan penambahan nikel 0,49 mg/l dan kobal 0,42 mg/l kemudian setelah HRT 6 dicapai, konsentrasi trace metal dikurangi hingga 90% dari konsentrasi awal sehingga nikel menjadi 0,049 mg/l dan kobal 0,042 mg/l. Dan untuk fermentor 2 setelah dicapai HRT 6 dilakukan pengurangan trace metal hingga 97 % dari konsentrasi awal sehingga nikel menjadi 0,008 mg/l dan kobal menjadi 0,007 mg/l.
Tahap pertama dilakukan prosedur loading up yaitu proses adaptasi mikroorganisme. Pada tahap ini HRT awal yang digunakan adalah HRT 10 dengan jumlah umpan 200 ml/ hari. Apabila pH dan M-alkalinity stabil dan terjadi kenaikan produksi biogas maka HRT diturunkan secara bertahap dengan meningkatkan jumlah
(57)
umpan per harinya hingga dicapai target HRT 6. Selama proses loading up ini dilakukan penambahan trace metal nikel dengan konsentrasi nikel: 0,49 mg/l dan kobal: 0,42 mg/l ke dalam tangki umpan.
Kemudian pada tahap kedua setelah dicapai HRT 6, penggunaan logam nikel dan kobal dikurangi dengan variasi konsentrasi nikel: 0,049 mg/l; 0,008 mg/l dan kobal: 0,042 mg/l; 0,007 mg/l.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Loading Up Hingga Mencapai Target HRT
Pada awal reaksi fermentasi dilakukan proses loading up sebagai proses adaptasi mikroorganisme hingga dicapai HRT 6 hari, dan prosesnya adalah sebagai berikut:
1. LCPKS yang telah difermentasikan dimasukkan ke dalam tangki fermentor dan suhu di dalam fermentor diatur hingga mencapai 55o
2. Kecepatan pengaduk di dalam fermentor diatur antara 100 rpm- 200 rpm. C.
3. HRT awal dimulai dengan HRT 20 hari yaitu dengan memasukkan umpan sebanyak 100 ml/ hari untuk adaptasi mikroorganisme dan umpan dimasukkan secara bertahap yaitu 4 kali sehari.
4. Apabila pada hari berikutnya pH pada fermentor sudah stabil dan nilai M-alkalinity tidak turun juga diperoleh kenaikan produksi biogas maka HRT diturunkan secara bertahap hingga mencapai target HRT 6 dengan meningkatkan jumlah umpan yang dimasukkan ke dalam fermentor.
(58)
3.3.2. Pembuatan Umpan
LCPKS yang dimasukkan ke dalam fermentor terlebih dahulu di campur dengan trace metal dan NaHCO3
1. 1500 ml LCPKS segar dimasukkan ke dalam tangki umpan kemudian ditambahkan NaHCO
di dalam tangki umpan, langkahnya adalah sebagai berikut:
3
2. Trace metal yang telah dilarutkan dimasukkan ke dalam tangki umpan sebanyak 350 μl.
sebanyak 2,5 gram/l LCPKS.
3. Campuran di dalam tangki umpan diaduk hingga homogen dengan kecepatan pengaduk 100 rpm sehingga larutan tercampur dengan baik. 4. Umpan ini yang akan dipompakan ke dalam tangki fermentor.
3.3.3. Pengujian Sampel
Dilakukan beberapa pengujian sampel dari fermentor untuk mengetahui kondisi reaksi yang terjadi dan pengujian yang dilakukan adalah:
1. Analisa M-Alkalinity
Analisa alkalinitas ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak karbonat yang diperlukan untuk menetralkan asam yang terbentuk selama proses fermentasi. Karena selama proses fermentasi pH dalam fermentor harus dijaga agar tetap netral sehingga bakteri dapat bekerja dengan baik.
(59)
2. Analisa Total Solid(TS)
Total Solid merupakan gabungan antara padatan tersuspensi (suspended solid) dan padatan yang terlarut (dissolved solid). Analisa ini perlu dilakukan agar dapat diketahui parameter yang dibutuhkan dalam proses fermentasi sehingga diperoleh efisiensi proses.
3. Analisa Abu dan Volatile Solid (VS)
Volatile solid (VS) merupakan materi organik atau padatan organik yang menguap pada proses pembakaran diatas 500o
4. Analisa COD
C. Analisa VS ini perlu dilakukan untuk mengetahui banyaknya materi organik dalam limbah. Materi organik inilah yang akan dikonversikan menjadi biogas oleh metano bakteri.
Nilai COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi materi organik yang ada dalam 1 liter sampel, angka COD juga merupakan ukuran bagi pencemaran air dan mengakibatkan berkurangnya O2 dalam air.
(60)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik LCPKS Sebagai Bahan Baku
LCPKS yang digunakan berasal dari pabrik kelapa sawit Adolina PTPN IV, Sumatera Utara. PKS Adolina mengolah 30 ton tandan buah segar (TBS)/ jam yang berasal dari perkebunan sendiri yang berada di Kabupaten Serdang Bedagei, Sumatera Utara. Tabel 4.1 merupakan karakteristik LCPKS dari PKS Adolina yang dilakukan oleh Metawater.
Tabel 4.1. Karakteristik LCPKS Dari PKS Adolina PTPN IV
Parameter Jumlah (mg/l)
Total Solid (TS) Volatile Solid (VS) COD
Volatile Fatty Acid (VFA) cr
Asam Asetat Asam Propionat Kj- N
NH4 Fe
- N Ni Co
41.800 36.200 62.000 4.510 3.570 200 740 21 81 0,04 < 0,03 (Yoshimasa, 2008)
Dari tabel 4.1 di atas terlihat bahwa nilai COD dari LCPKS yang digunakan sebagai bahan baku cukup besar yaitu mencapai 62.000 mg/l dan kandungan TS di dalam LCPKS mencapai 41.800 mg/l sedangkan VS mencapai 36.200 mg/l.
(61)
Besarnya kandungan COD dalam suatu limbah dapat diturunkan melalui proses anaerobik di mana pada proses ini mikroorganisme akan merubah senyawa organik yang ada menjadi biogas, namun proses anaerobik juga perlu didukung dengan proses secara aerobik untuk mengoptimalkan penurunan COD (Bocher dan Angler, 2008). Lemak dan minyak yang terdapat dalam LCPKS dapat terhidrolisis oleh mikroorganisme menjadi asam lemak dan sebagian besar dari asam lemak yang terbentuk merupakan substrat yang potensial sebagai penghasil metan (Angelidaki et al. 1990).
4.2. Hasil Dan Pembahasan 4.2.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh trace metal terhadap proses fermentasi dan terhadap produksi biogas. Data yang diperoleh pada penelitian pendahuluan ini dapat di lihat pada tabel L.A.1 di lampiran A.
4.2.1.1. Produksi Biogas Selama Proses Fermentasi Anaerobik Termofilik
Pengukuran biogas yang dihasilkan selama proses fermentasi pada penelitian pendahuluan ini dilakukan setiap hari dengan menggunakan gas meter. Gambar 4.1 berikut ini adalah grafik produksi biogas yang diperoleh selama reaksi fermentasi anaerobik pada penelitian pendahuluan berlangsung.
(62)
Gambar 4.1. Produksi Biogas Pada Percobaan Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan ini penggunaan trace metal selama tahap loading up atau saat mikroorganisme beradaptasi yang dimulai dari hari pertama hingga hari ke 51 adalah 0,49 mg/l untuk nikel dan 0,42 mg/l untuk kobal. Kemudian penggunaan nikel dan kobal dihentikan pada hari ke 52 ketika HRT 6 hari telah tercapai dan proses loading up selesai yang ditandai dengan produksi biogas yang meningkat dan mengindikasikan bahwa mikroorganisme dalam fermentor telah beradaptasi dengan cukup baik. Stephenson dan Lester melakukan evaluasi proses loading up pada pengolahan limbah daging dan diperoleh waktu loading up sekitar 50 hari dengan
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00
0 20 40 60 80 100 120 140
Hari Ke
P
ro
d
u
k
si Bio
g
as
(
L/
h
ari)
(63)
melihat peningkatan jumlah gas dan penurunan nilai COD dari limbah tersebut (Stephenson dan Lester, 1986)
Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa produksi biogas pada awal fermentasi cenderung rendah di mana pada tahap ini mikroorganisme sedang beradaptasi terhadap kondisi di dalam fermentor. Mulai dari hari pertama hingga hari ke 33 produksi biogas yang diperoleh hanya berada di antara 0,82 – 2,78 liter/ hari yang mengindikasikan mikroorganisme baru mulai beradaptasi. Pada hari ke 34 biogas yang diperoleh mulai meningkat dan hingga proses loading up selesai yaitu pada hari ke 51 produksi biogas mencapai volume yang cukup tinggi yaitu 6,18 l/hari. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroorganisme yang ada di dalam fermentor khususnya metanogen telah beradaptasi dengan baik hingga dapat menghasilkan biogas yang cukup tinggi. Seperti percobaan start-up fermentasi glukosa yang dilakukan oleh Alkarimiah et al (2011) yang menunjukkan bahwa komposisi metan selama 40 hari pertama reaksi hanya mencapai 15%, kemudian metan mulai meningkat hingga 36% setelah mencapai hari ke 45 yang menandakan bahwa keadaan mikroorganisme telah stabil setelah 45 hari masa adaptasi.
Setelah penggunaan nikel dan kobal dihentikan mulai pada hari ke 52, produksi biogas terlihat cenderung menurun walaupun hingga hari ke 89 volumenya masih cukup tinggi di atas 4,7 l/hari. Masih cukup tingginya biogas yang diperoleh dikarenakan kondisi mikroorganisme penghasil biogas masih cukup stabil karena kondisi lingkungan dan nutrien seperti trace metal yang ada di dalam fermentor
(64)
masih cukup memadai bagi aktivitas pembentukan biogas. Adanya nikel, kobal dan besi dalam proses pembentukan biogas dapat meningkatkan produksi biogas dengan signifikan (Raju et al. 1991). Pada hari ke 113 produksi biogas terus mengalami penurunan walaupun tidak terdapat masalah pada kondisi reaksi dan fermentor hingga hari ke 123 biogas yang diperoleh hanya mencapai 1 l/hari. Semakin kecilnya konsentrasi nikel dan kobal di dalam reaktor dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya biogas yang diperoleh karena konsentrasi trace metal yang tersisa tidak mencukupi kebutuhan bakteri metanogen untuk bekerja secara optimum. Terhambatnya pembentukan biogas menyebabkan terjadi penumpukan volatile fatty acid sehingga proses fermentasi dapat terganggu (Zitomer, 2006). Hingga hari ke 126 produksi biogas yang diperoleh hanya berkisar 1 l/hari dan tidak terjadi banyak peningkatan maka reaksi dihentikan.
Dari volume biogas yang diperolah selama reaksi dapat diketahui bahwa penghilangan trace metal nikel dan kobal berpengaruh pada jumlah biogas yang diperoleh. Ketika konsentrasi trace metal di dalam fermentor telah berkurang maka biogas yang diperoleh juga menurun, hal ini karena keberadaan trace metal dapat meningkatkan Acetate Utilization Rate (AUR) atau pemanfaatan asetat yang terbentuk pada proses fermentasi untuk diubah menjadi metan oleh bakteri metanogen (Speece, 1996).
Tabel 4.2 berikut ini menunjukkan konsentrasi trace metal yang dianalisa dari dalam fermentor setelah proses loading up selesai dan tidak lagi dilakukan penambahan trace metal ke dalam fermentor.
(65)
Tabel 4.2. Konsentrasi Trace Metal Dalam Fermentor Dan Biogas Yang Dihasilkan
Hari Biogas (l/hari) Nikel (mg/l) Kobal (mg/l)
52 54 100 126
5,85 6,07 3,88 0,25
0,53 0,5 0,18 0,14
0,45 0,39 0,08 0,04
Pada hari ke 52 konsentrasi nikel masih 0,53 mg/l dan kobal 0,45 mg/l konsentrasi tersebut merupakan akumulasi dari trace metal yang terdapat dalam LCPKS dan yang ditambahkan ke dalam fermentor. Pada hari ke 54 konsentrasi nikel dan kobal mulai menurun dan semakin hari konsentrasi trace metal semakin kecil yang menandakan bahwa bakteri metanogen tumbuh dengan cukup baik dan menggunakan nikel dan kobal yang terdapat di dalam fermentor untuk metabolismenya. Menurut Zhang et al. (2003) apabila pertumbuhan metanogen mencapai 4,8 g/l dan 30 g/l maka konsumsi nikel dan kobal akan cukup besar. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa ketika hari ke 100 saat konsentrasi trace metal telah berkurang sekitar 70 – 80% masih diperoleh biogas walaupun volumenya telah turun. Berdasarkan data tersebut maka pada penelitian lanjutan dilakukan percobaan dengan menggunakan konsentrasi trace metal yang lebih kecil dari 80% untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produksi biogas.
Gambar 4.2 adalah grafik antara volume biogas dengan konsentrasi trace metal hasil analisa pada penelitian pendahuluan.
(66)
Gambar 4.2. Grafik Konsentrasi Trace Metal Dengan Volume Biogas
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat penurunan jumlah biogas seiring dengan berkurangnya konsentrasi trace metal yang terdapat di dalam fermentor. Terlihat bahwa produksi biogas mulai mengalami penurunan drastis ketika konsentrasi trace metal 0,189 mg/l dan 0,082 mg/l yaitu hanya 10% dari konsentrasi awal. Tetapi pada titik tersebut masih diperoleh biogas yang signifikan. Selanjutnya dilakukan percobaan dengan melakukan pengurangan trace metal hingga 97% dari konsentrasi awal. Karena berdasarkan grafik di atas walaupun dengan pengurangan hingga 97% tetapi masih diperoleh biogas yang cukup optimal. Oleh sebab itu pengurangan konsentrasi trace metal sebanyak 90% dan 97% diperkirakan dapat dilakukan karena masih diperoleh biogas yang optimum.
0 1 2 3 4 5 6 7
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ni Co
KonsentrasiTrace Metal (mg/l)
B
io
gas (
L/
h
ar
i
)
0.047 0.082 0.148 0.189
97% 90%
(67)
Kemudian untuk tahap ke dua yaitu penelitian lanjutan, pada fermentor 1 dilakukan pengurangan trace metal sebanyak 90% dari konsentrasi awal menjadi 0,049 mg/l untuk nikel dan 0,042 mg/l untuk kobal. Sedangkan pada Fermentor 2 percobaan dilakukan dengan mengurangi trace metal hingga 97% dari konsentrasi awal menjadi 0,008mg/l dan 0,007 mg/l. Sehingga diketahui pengaruh pengurangan konsentrasi trace metal tersebut terhadap biogas yang diperoleh dan terhadap persen VS yang terdekomposisi.
4.2.1.2. Pengaruh Penghentian Penggunaan Nikel dan Kobal Terhadap Jumlah
Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) Dalam Fermentor
Total Solid (TS) adalah padatan tersuspensi dan yang terlarut baik senyawa organik maupun anorganik yang terdapat pada limbah cair sedangkan Volatile Solid (VS) adalah padatan organik yang dapat terkonversi menjadi biogas (Schnurer et al, 2010). Produksi biogas yang dihasilkan dipengaruhi oleh jumlah TS dan VS yang ada dalam fermentor dan berapa besar VS yang terdekomposisi selama reaksi berlangsung. Gambar 4.3 adalah grafik jumlah TS dan VS yang terdapat dalam fermentor selama reaksi.
(68)
Gambar 4.3. Jumlah TS Dan VS Dalam Fermentor
Dari Gambar 4.3. dapat terlihat bahwa kecendrungan penghilangan TS hampir sama dengan penghilangan VS. Konsentrsi TS dan VS dalam fermentor cukup besar yaitu mencapai 30.000 mg/l dan 25.000 mg/l LCPKS. Pada awal reaksi terlihat bahwa konsentrasi TS cukup besar berkisar antara 15.000 – 20.000 mg/l dan konsentrasi VS antara 12.000 – 16.000 mg/l, hal ini karena mikroorganisme masih dalam tahap adaptasi sehingga belum dapat mendegradasi senyawa organik dengan optimum. Kemudian konsentrasi TS dan VS terlihat cenderung menurun setelah hari ke 46 yang mengindikasikan bahwa mikoroorganisme telah beradaptasi dengan baik sehingga cukup banyak VS yang terdegradasi. Setelah penggunaan trace metal nikel dan kobal dihentikan yaitu pada hari ke 52, jumlah VS masih berada di bawah 15.000
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000
0 20 40 60 80 100 120 140 TS VS
T
S
d
a
n
VS
(
m
g
/l)
Hari Ke
Stop penambahan Ni dan Co
(69)
mg/l dan TS masih berada di bawah 20.000 mg/l hingga hari ke 97. Hal ini dikarenakan jumlah nikel dan kobal yang terdapat di dalam fermentor masih cukup besar karena terakumulasi dengan trace metal dari umpan. Menurut Rao dan Seenayya. (1994) keberadaan trace metal dalam proses anaerobik dapat meningkatkan metanogenesis hingga 42% juga meningkatkan laju perombakan volatile solid dan volatile fatty acid menjadi biogas. Pada hari ke 101 konsentrasi VS meningkat mencapai 19.100 mg/l dan TS mencapai 23.900 mg/l, walaupun masih terdapat penurunan konsentrasi VS dan TS pada hari berikutnya namun nilainya tetap cukup tinggi. Hingga pada hari ke 126 konsentrasi VS mencapai 24.700 mg/l dan TS mencapai 30.100 mg/l. Meningkatnya nilai TS dan VS tersebut diakibatkan kurang optimalnya proses degradasi yang dilakukan oleh mikroorganisme dan salah satu penyebabnya adalah karena jumlah trace metal yang ada dalam fermentor kurang mencukupi. Maka diketahui bahwa trace metal dapat mempengaruhi laju konversi VS menjadi biogas. Besarnya penurunan TS dan VS mengindikasikan bahwa proses metanogenesis berjalan dengan baik sehingga dapat diperoleh produksi biogas yang optimum.
Menurut Igoni et al. 2008 apabila % VS dalam suatu limbah tergolong besar maka volume biogas yang dapat dihasilkan juga akan semakin besar. Volatile solid merupakan banyaknya padatan organik, dan semakin besar nilai VS dalam suatu limbah maka juga dapat diperoleh produksi biogas yang besar jika limbah tersebut diolah secara anaerobik. Chiemchaisri et al. (2007) menyebutkan bahwa penurunan
(70)
konsentrasi VS dalam limbah mengindikasikan bahwa terjadi biodegradasi senyawa organik yang secara tidak langsung juga meningkatkan produksi biogas.
4.2.1.3. Pengaruh Penghentian Penambahan Nikel Dan Kobal Terhadap Dekomposisi Volatile Solid (VS)
Pengaruh penghentian penggunaan trace metal nikel dan kobal terhadap dekomposisi VS dalam reaksi pembentukan biogas diperlihatkan pada Gambar 4.4 berikut ini.
Gambar 4.4. Persen Dekomposisi Volatile Solid (VS) Pada Fermentor
Dari Gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa persen dekomposisi VS cukup tinggi di mana pada awal reaksi fermentasi, rata-rata dekomposisi VS berada di atas
0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0% 70,0%
0 20 40 60 80 100 120 140 Hari Ke
D
ek
omp
os
is
i V
S
(%
)
(1)
LAMPIRAN B
PROSEDUR PENGUJIAN SAMPEL
A. Prosedur analisa M-alkallinity
1. Dimasukkan 5 ml sampel ke dalam gelas Beaker kemudian diencerkan dengan aquadest hingga volume larutan menjadi 80 ml dan diaduk rata.
2. pH elektroda dicelupkan kedalam larutan sampel dan ditambahkan HCl 0,1 N setetes demi setetes sambil terus diaduk hingga homogen. Larutan HCl 0,1 N ditambahkan hingga pH mencapai 4,8± 0,02.
3. Analisa M-Alkalinity dilakukan untuk LCPKS dan cairan pada fermentor.
M-Alkalinity =
Sampel Vol
x x M x terpakai yang
HCl
Vol. HCl 1000 5
(APHA, AWWA, WEF, Standard Methods. 2005)
B. Prosedur Analisa TS
1. Cawan penguap dipanaskan selama 2 jam pada suhu 1300
2. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang sebelumnya kemudian ditimbang kembali.
C, kemudian setelah dingin cawan kosong ditimbang.
3. Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven kemudian dipanaskan selama 4 jam pada suhu 1300
4. Setelah cawan didinginkan, kemudian ditimbang kembali.
(2)
5. Analisa TS dilakukan untuk LCPKS dan cairan di dalam jar fermentor. Total Solid = a
x
�1000� �a = Selisih berat cawan setelah dipanaskan dengan sebelum dimasukkan sampel
v = volume sampel
(APHA, AWWA, WEF, Standard Methods. 2005)
C. Prosedur analisa abu dan VS
1. Cawan berisi sampel yang telah ditimbang TS-nya kemudian dipanaskan kembali di dalam muffle furnace pada suhu 7000
2. Setelah itu cawan penguap didinginkan hingga mencapai suhu kamar dan ditimbang kembali beratnya.
C selama 3 jam.
3. Analisa VS dilakukan untuk LCPKS dan cairan di dalam jar fermentor. Ash [mg/l] = a x �1000
� �
a = perbedaan berat dari cawan penguap setelah dipanaskan pada suhu 7000
v = volume sampel
C dengan berat cawan kosong
VS [mg/l] = TS [mg/l] - Ash [mg/l]
(3)
D. Analisa gas H2
1. Gas sampler (gastec) dihubungkan dengan detecting tube yang kedua ujung nya telah di patahkan.
O
2. Kemudian detecting tube dihubungkan dengan pipa keluaran gas dari fermentor.
3. Tarik gas sampler, hingga terbaca hasil konsentrasi gas yang ditunjukkan oleh
detecting tube.
4. Analisa gas dilakukan pada keluaran gas sebelum adsorben dan sesudah adsorben.
E. Analisa kandungan gas CO
1. Gas sampler dihubungkan dengan gas keluaran dari jar fermentor setelah adsorben
2
2. Gas sampel ditarik perlahan-lahan kemudian dihubungkan dengan detecting tube secara cepat.
3. Lalu gas sampler didorong secara perlahan-lahan, kemudian hasil yang ditunjukkan oleh detecting tube dapat dibaca (hasil yang ditunjukkan di dalam %).
(4)
F. Analisa COD
Analisa ini dilakukan di luar Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
1. Masukkan 10 ml atau 20 ml sampel kedalam labu erlenmeyer yang telah berisi batu didih.
2. Tambahkan 0,4 gr kristal Hg2SO4, kemudian masukkan 10 ml larutan standar
kalium bikromat. Tambahkan dengan hati-hati 30 ml asam sulfat yang telah mengandung Ag2SO4
3. Dinginkan, kemudian tambahkan aquadest sampai 100 ml sambil dikocok. Panaskan selama 2 jam.
4. Titrasi larutan tersebut dengan menggunakan larutan standar Ferro amonium sulfat 0,05 N dengan indikator ferroin
5. Catat pemakaian titran
6. Lakukan cara yang sama terhadap aquadest sebagai blanko
Kandungan COD dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : mg/l COD = (1000 x (A-B) x NFAS
ml sampel
x 8)
Keterangan A = ml ferro amonium sulfat untuk titrasi blanko B = ml ferro amonium sulfat untuk titrasi sampel N = Normalitas ferro amonium sulfat
8 = berat equivalen oksigen
(5)
LAMPIRAN C PERHITUNGAN
Perhitungan Kestabilan 3 x HRT 6 Volume Reaktor = 2000 ml Laju alir masuk = 333 ml
Volume didalam reaktor = (2000-333) ml = 1667 ml
HRT = 6 hari
Laju alir keluar pada HRT 6 =
6 6 reaktor didalam Volume masuk alir Laju + = 6 1667 6 333+
= 333 ml
Jumlah umpan didalam reaktor
=
(
)
× − + 6 5 n ke hari pada reaktor didalam umpan jumlah masuk alir Laju=
( )
610,5ml6 5 333
333 =
× +
Penggantian isi digester (%) =
reaktor Volume reaktor didalam umpan Jumlah = 2000 5 , 610 = 0,3052
= 30,52 %
(6)
HRT
Jumlah umpan didalam reaktor (ml)
Penggantian isi digester (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 333 610,5 841,75 1034,45 1195,04 1328,87 1440,39 1533,32 1610,77 1675,31 1729,09 1773,91 1811,25 1842,38 1868,31 1889,93 1907,94 1922,95 16,5 30,52 42,08 51,72 59,75 66,44 72,01 76,66 80,53 83,76 86,45 88,69 90,56 92,11 93,41 94,49 95,39 96,14