aparat kepolisian tersebut melakukan tembak ditempat dalam keadaan terpaksa dan sesuai prosedur penggunaan senjata api, seperti tercantum dalam pasal 48
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, maka aparat kepolisian tersebut tidak dapat dihukum sesuai dengan Pasal 49 dan Pasal 50 KUHP.
Pada Pasal 49 KUHP dinyatakan bahwa : 1 tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang
lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat ituyang
melawan hukum. 2 pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana. Pasal 50 menyatakan bahwa : barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan undang-undang, tidak dipidana. Berangkat dari kedua pasal tersebutlah maka aparat kepolisian yang melakukan
tindakan tembak ditempat terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang sesuai prosedur, maka tidak dapat dihukum.
1. Propam Polri
Propam adalah singkatan dari Profesi dan Pengamanan yang dipakai oleh organisasi Polri pada salah satu struktur organisasinya sejak 27 Oktober 2002
Kep Kapolri Nomor : Kep54X2002, sebelumnya dikenal Dinas Provost atau Satuan Provost Polri yang organisasinya masih bersatu dengan ABRI, dimana
Provost Polri merupakan satuan fungsi pembinaan dari Polisi Organisasi Militer 99 POM atau istilah Polisi Militer PM. Propam adalah salah satu wadah
Universitas Sumatera Utara
organisasi Polri berbentuk Divisi yang bertanggung-jawab kepada masalah pembinaan profesi dan pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri
disingkat Divisi Propam Polri sebagai salah satu unsur pelaksana staf khusus Polri di tingkat Markas Besar yang berada di bawah Kapolri.
Tugas Propam secara umum adalah membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggung jawaban profesi dan pengamanan internal termasuk
penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggotaPNS Polri, yang
dalam struktur organisasi dan tata cara kerjanya Propam terdiri dari 3 tiga bidangwadah fungsi dalam bentuk sub organisasi disebut PusatPus Pus Paminal,
Pus Bin Prof dan Pus Provost : a
Fungsi Pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri dipertanggungjawabkan kepada Pus Paminal
b Fungsi pertanggung-jawaban profesi diwadahidipertanggungjawabkan kepada
Pus Bin Provost c
Fungsi Provost dalam penegakan disiplin dan ketertiban dilingkungan Polri dipertanggungjawabkan kepada Pus Provost
Divisi Propam Polri dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai kewajiban melaksanakan menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagai berikut :
a Pembinaan fungsi PROPAM bagi seluruh jajaran POLRI, meliputi :
1 Perumusanpengembangan sistem dan metode termasuk petunjuk-petunjuk
pelaksanaan fungsi PROPAM.
Universitas Sumatera Utara
2 Pemantauan dan supervisi staf termasuk pemberian arahan guna menjamin
terlaksananya fungsi PROPAM. 3
Pemberian dukungan back-up dalam bentuk baik bimbingan teknis maupun bantuan kekuatan dalam pelaksanaan fungsi PROPAM.
4 Perencanaan kebutuhan personil dan anggaran termasuk pengajuan
saranpertimbangan penempatanpembinaan karier personil pengemban fungsi PROPAM.
5 Pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta statistik yang berkenaan
dengan sumber daya maupun hasil pelaksanaan tugas satuan-satuan organisasi PROPAM.
6 Penyelenggaraan fungsi pelayanan berkenaan dengan pengaduan laporan
masyarakat tentang sikap dan perilaku anggotaPNS POLRI, termasuk pemusatan data secara nasional dan pemantauanpengendalian terhadap
penanganan pengaduanlaporan masyarakat oleh seluruh jajaran POLRI. b
Pelaksanaan registrasi penelitian terhadap proses penanganan kasus dan menyiapkan proses keputusan rehabilitasi bagi anggotaPNS POLRI yang
tidak terbukti melakukan pelanggaran,atau pengampunanpengurangan hukuman disiplinadministrasi serta memantau, membantu proses
pelaksanaan hukuman dan menyiapkan keputusan pengakhiran hukuman bagi personil yang sedangtelah melaksanakan hukuman terpidana.
c Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pertanggungjawaban profesi yang
meliputi perumusanpengembangan standar dan kode etik profesi,
Universitas Sumatera Utara
penilaianakreditasi penerapan standar profesi, serta pembinaan dan penegakan etika profesi termasuk audit investigasi.
d Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pengamanan internal, yang meliputi :
pengamanan personil, materil, kegiatan dan bahan keterangan, termasuk penyelidikan terhadap kasus pelanggarandugaan pelanggaranpenyimpangan
dalam pelaksanaan tugas Polri pada tingkat pusat dalam batas kewenangan yang ditetapkan.
e Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi provost yang meliputi
pembinaanpemeliharaan disiplintata tertib, serta penegakan hukum dan penyelesaian perkara pelanggaran disiplin pada tingkat pusat dalam batas
kewenangan yang ditetapkan. Kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia itu dapat menyebabkan banyak terjadinya penyimpangan maupun penyalahgunaan tugas dan wewenang oleh anggota polri dalam pelaksanaan
tugasnya sebagai aparat penegak hokum di tengah masyarakat. Oleh karena itu harus ada sebuah kontrol baik dari internal Polri maupun dari eksternal Polri
sebagai upaya pengawasan terhadap perilaku anggota Polri dilapangan. Maka dari itu, Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal Div Propam .
Fungsi dan Peran Divpropam Polri tersebut diatas, diselenggarakan secara terkoordinasi, terintegrasi dan efektif selaras dengan kewenangan yang telah
ditetapkan baik oleh Unsur Staff Pimpinan dan Unsur Pelaksana Utama Divpropam Polri. Selain itu, penyimpangan perilaku polisi bisa mendatangkan
malapetaka. Seorang polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang bukan
Universitas Sumatera Utara
hanya melanggar hukum pidana serta menodai wewenangnya tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan merusak hubungan
antara masyarakat dan seluruh sistem peradilan pidana.
66
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Prosedur.
Seorang aparat kepolisian adalah manusia penting dalam pergaulan modern saat ini, karena ia mempunyai kekuasaan yang besar dan bisa
menggunakan kekuasaannya itu, ia dapat menangkap orang, menggeledah, dan berbicara di hadapan orang banyak untuk memberikan petunjuk-petunjuk agar
orang-orang tersebut mentaati hukum maupun peraturan-peraturan yang ada, dan hal tersebut berlainan dengan pola kehidupan orang sipil pada umumnya.
67
Pekerjaan polisi memberi banyak kesempatan kepada aparat kepolisian untuk melakukan kekejaman. Instrumen kekuasaan dan kekejaman merupakan
bagian penting dari peralatan kerja polisi. Aaparat kepolisian membutuhkan instrument tersebut untuk mendukung penangkapan atau membela diri, dan
masyarakat mengetahui bahwa penggunaan kekuasaan merupakan bagian dari mandate hukum pada polisi. Sayangnya, sebagian petugas bertindak melebihi
mandate hukum mereka dan menggunakan kekuatan yang tidak beralasan dan tidak perlu untuk mencapai akhir yang sah maupun tidak sah.
68
Pada dasarnya setiap tindakan petugas Kepolisian yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu sangatlah perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan agar
66
Ibid, hal.10
67
DPM. Sitompul. Op.Cit., hal.130
68
Thomas Barker. Op.Cit., hal. 191
Universitas Sumatera Utara
khususnya dalam pelaksanaan tindakan keras Kepolisian berupa tembak ditempat tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Diantaranya ada beberapa upaya-
upaya yang harus dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak ditempat diantaranya dalam hal aturan hukum, fasilitas , dan budaya hukum.
Tindakan yang beretika seperti dikehendaki filsafat, tindakan terkendali seperti dikehendaki profesionalisme dan tindakan yang bersifat perlindungan yang
diharapkan oleh masyarakat umum, sama-sama bertujuan untuk menghindakan kesewenangan dari kekerasan, pelanggaran hak azasi manuzia dan antipati
masyarakat. Tindakan itu haruslah menghiasi, menjiwai dan mengarahkan kekuasaan, posisi dan perlengkapan serta persenjataan yang diberikan kepadanya
itu untuk memaksimalkan pelayanan. Rasa tanggung jawabnya kepada hukum, moral dan kemanusiaan haruslah menjadi semangat pengabdiannya.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa, penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi kebijakan yang membuat keputusan hukum
secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat
diterapkan selektif dan masalah penanggulangan kejahatan. Dengan demikian dalam menerapkan diskresi harus mempertimbangkan beberapa faktor, apabila
penegak hukum bertindak, apakah ada pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan, adakah akan menghasilkan situasi yang lebih baik daripada
sebelumnya, apabila penegak hukum terpaksa melanggar perintah atasan untuk memperbaiki keadaan yang dapat menimbulkan akibat lain. Apalagi bila hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut dikaitkan dengan kekuasaan Polri yang menyangkut tugas, fungsi dan wewenang.
69
Setiap anggota Polri saat melaksanakan tugas senantiasa mengandung konflik antar peran. Personil Polri yang ditugaskan memerangi kejahatan
reserse dituntut sikap dan watak curiga waspada,teliti, cermat namun harus mudah bergaul dengan berbagai kelompok sosial, Watak tegas dan keras
dibutuhkan untuk dapat menghadapi pelaku kejahatan atau penjahat. Sementara itu personil Polri yang bertugas memelihara ketertiban dituntut watak sabar
namun konsisten, pemaaf, welas asih, serta ramah, karena yang dihadapi adalah warga yang patuh hukum dan sebagian lagi adalah masyarakat yang tidak sabaran
antri, sehingga mengganggu ketertiban. Selanjutnya , personil Polri yang ditugasi menindak pembangkang dituntut sikap dan watak ulet, tabah dan sabar
menghadapi perlawanan.
70
69
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama, hal.140
70
Jurnal Srigunting. Op.Cit.,
Tembak di tempat oleh aparat Kepolisian terhadap tersangka pelaku tindak pidana merupakan penerapan diskresi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas
represif dan penerapan asas kewajiban Kepolisian. Asas kewajiban Kepolisian ini memberikan keabsahan bagi tindakan kepolisian yang bersumber pada kekuasaan
atau kewenangan umum. Kewajiban aparat kepolisian untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum memungkinkan melakukan tindakan yang tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ditujukan demi hukum yang universal.
Universitas Sumatera Utara
Persoalan dapat timbul dilihat dari segi negatifnya bilamana pelaksanaan wewenang itu :
71
1. Melampaui batas wewenang abuse of power
2. Tidak mengindahkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Undang-
undang. 3.
Merugikan orang lain atau pihak-pihak 4.
Tidak sesuai dengan kebijaksanaan sosial, kriminal dan atau pimpinan 5.
Diskriminatif, kasar dan sewenang-wenang serta dilakukan dengan maksud untuk kepentingan diri atau kelompoknya
6. Tidak ada alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban itu.
Sesungguhnya penggunaan senjata api haruslah sangat sensitif dan selektif, tidak disetiap kondisi penangangan kejahatan Polisi harus menunjukkan,
menodongkan bahkan meletuskan senjata api miliknya. Dalam pasal 2 ayat 2 Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 menyatakan bahwa:
“Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah: mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang
sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum; mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan
tindakan yang membahayakan anggota Polri atau masyarakat; melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan; atau melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan
yang melawan hak danatau mengancam jiwa manusia.”
Jadi, hanya dalam keadaan tertentu sajalah senjata api dapat diperlihatkan, ditodongkan atau bahkan digunakan untuk menembak oleh aparat kepolisian.
71
DPM. Sitompul. Op.Cit, hal.121
Universitas Sumatera Utara
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa patokan yang dapat dipakai sebagai ukuran kriteria untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk kekerasan telah
terjadi digunakan secara tidak pada tempatnya, yaitu :
72
a. Apabila seorang aparat kepolisian menyerang seseorang secara fisik kemudian
gagal untuk melakukan penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan;
b. Apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan
perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata ; kekerasan hanya digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan;
c. Apabila seorang aparat kepolisian, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan
terhadap usaha penahanan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain;
d. Apabila sejumlah aparat kepolisian ada pada tempat kejadian dan bisa
membantu dengan cara menggiring warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi.
e. Apabila seseorang yang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk lari atau
melakukan perlawanan dengan kekerasan; f.
Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja berlangsung, sekalipun orang tersebut sudah ditundukkan.
Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang ImplementasiPrinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan
72
Muladi. Op.Cit., hal.139
Universitas Sumatera Utara
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengatur bagaimana prosedur penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian sebagai berikut;
“Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api
sebagai berikut: 1.
Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.
2. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang
jelas dengan cara : a
Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.
b Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada
sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. c
Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. 3.
Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain
disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.”
Pelanggaran akan pasal ini tentunya akan memberikan sanksi bagi aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai prosedur, seperti tertulis
pada Pasal 142 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentangPengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa; “Setiap Pegawai Negeri pada Polri, jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Peraturan Kapolri ini, diberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran menurut golongan jenis:
a.
hukum pidana; b.
peraturan disiplin Polri; dan c.
etika profesi kepolisian.” Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesiamenyatakan bahwa;
Universitas Sumatera Utara
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin danatau hukuman disiplin.” Pasal 8 dinyatakan bahwa;
“Tindakan disiplin yang dimaksud dapat berupa teguran lisan danatau tindakan fisik, namun tindakan disiplin ini tidak menghapus kewenangan Ankum untuk
menjatuhkan Hukuman Disiplin. Hukuman yang dimaksud pada Pasal 8 dinyatakan dalam Pasal 9 yang berbunyi :
“Hukuman disiplin yang dimaksud diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 dapat berupa :
a.
teguran tertulis; b.
penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 satu tahun; c.
penundaan kenaikan gaji berkala; d.
penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 satu tahun; e.
mutasi yang bersifat demosi; f.
pembebasan dari jabatan; g.
penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 dua puluh satu hari. Tindakan aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai
prosedur merupakan suatu pelanggaran kode etik kepolisian oleh aparat tersebut, sesuai dengan isi Pasal 1 ayat 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.14
Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI yang menyatakan; “pelanggaran adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh Anggota Polri yang
bertentangan dengan Kode Etik Profesi Polri.”
Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma- norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis
yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.Don L. Kooken menegaskan bahwa Kode Etik yang baik itu harus selalu memenuhi unsur:
Universitas Sumatera Utara
1. mengangkat kedudukan profesi Kepolisian dalam pandangan masyarakat dan
untuk membuat kepercayaan masyarakat pada kepolisiannya. 2.
Mendorong Polisi agar lebih bertanggungjawab. 3.
Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.
4. Menggalang suasana kebersamaan internal Kepolisian untuk menciptakan
pelayanan yang baik bagi masyarakat. 5.
Menciptakan kerjasama dan koordinasi yang harmonis dengan sesame aparat, pemerintah guna mencapai keuntungan bersama.
6. Menempatkan pelaksanaan tugas polisi sebagai profesi terhormat dan
memandangnya sebagai sarana berharga dan terbaikuntuk mengabdi pada masyarakat.
73
Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Aparat kepolisian
tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang menurut peraturan yang berlaku, untuk mengetahui letak kesalahan aparat kepolisian
tersebut sehingga hukuman yang dijatuhkan atas aparat kepolisian tersebut merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Ayat 1 : “Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.”
73
Kunarto. 1997. Tri Brata Catur Prasetya. Jakarta : Cipta Manunggal., hal.5
Universitas Sumatera Utara
ayat 2 : Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah:
a. Atasan yang berhak menghukum Ankum, b. Atasan langsung,
c. Atasan tidak langsung, d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum.
Proses disipliner Kepolisian melahirkan suatu tindakan administratif serius yang memiliki pengaruh penting terhadap keamanan dan karir seorang petugas.
Dikarenakan luasnya pengaruh tindakan disipliner, proses dan hasilnya menjadi sasaran penyelidikan yang cermat. Jika Kepolisian salah menjatuhkan tindakan
disipliner terhadap aparat kepolisian, kepercayaan masyarakat sipil akan instansi Kepolisian akan berkurang bahkan tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap
hukum dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu penting bagi instansi Kepolisian untuk memiliki sistem disipliner yang dirancang dengan baik,
obyektif, adil, dan disusun dengan cermat dan dinyatakan jelas dalam kebijakan dan prosedur formal.
74
Jika setelah melalui pemeriksaan suatu pengaduan diterima, maka kelompok atau individu yang ditugaskan akan menilai sanksi atas pelanggaran
peraturan tersebut. Sanksi disipliner biasanya bergantung pada keseriusan dan situasi sekitar pelanggaran peraturan tersebut, faktor-faktor yang mengganggu dan
merugikan, dan sejarah pribadi aparat kepolisian. Sanksi yang mungkin dijatuhkan mencakup pemecatan, penurunan pangkat, skors dari tugas, penempatan dalam
74
Thomas Barker., Op.Cit., hal. 523
Universitas Sumatera Utara
masa percobaan, pemindahan tugas, pelatihan, peringatan, atau bimbingan dan pengawasan.
75
1. Pemecatan
Pemecatan adalah pemutusan total dari dinas Kepolisian termasuk gaji, keuntungan dan tanggung jawab timbale balik antara petugas dan Kepolisian. Ini
merupakan keputusan yang terberat dalam proses pemeriksaan administratif dan dalam pemeriksaan selanjutnya. Meskipun demikian, terkadang tindakan ini
merupakan satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus serius tertentu. 2.
Penurunan pangkat Penurunan pangkat adalah penurunan dari posisi organisasi yang diakui
secara formal yang menentukan wewenang terhadap anggota organisasi lainnya. Sebagai hukuman, penurunan pangkat merupakan sanksi serius, karena
mengakibatkan berkurangnya penghasilan, turunnya status, dan pertanggungjawaban dalam perkembangan karir.
3. Hukuman Skors
Hukuman Skors adalah hukuman apabila seorang aparat kepolisian dibebaskan dari tugas tanpa gaji untuk periode waktu tertentu yang biasanya tidak
lebih dari empat minggu. Selama masa skors petugas tidak memiliki wewenang sebagai petugas polisi dan dalam banyak yuridiksi bahkan tidak ddapat bekerja
dalam suatu pekerjaan “di luar tugas” yang mungkin membutuhkan wewenang polisi. Sementara si petugas tidak memiliki wewenang atau gaji, biasanya
tunjangan personil masih diberikan.
75
Ibid., hal.542
Universitas Sumatera Utara
4. Hukuman Percobaan
Hukuman percobaan adalah hukuman dimana petugas tetap bertugas, menerima gaji dan tunjangan, tetapi statusnya berubah karena dugaan
penyelewengan yang kemudian diterima mungkin, akan mengakibatkan dijatuhkannya hukuman skors atau pemecatan. Hukuman ini paling sering
diberikan kepada petugas yang sudah mengikuti rehabilitasi pecandu alcohol, petugas yang terlalu sering mangkir dari kerja, aparat kepolisian yang banyak
terkena pengaduan ringan tidak professional ataupun tidak ramah dan keadaan- keadaan lain yang serupa.
5. Pemindahan tugas
Biasanya sanksi pemindahan tugas dijatuhkan dalam kasus dimana seorang aparat kepolisian terlibat dalam penyelewengan yang berhubungan
dengan penguasaannya yang sekarang. Pemindahan tugas dapat berupa penarikan seorang aparat kepolisian keluar dari posisi dari fungsi yang dijalankannya ke
fungsi lain, ataupun pemindahan lokasi tugas dari suatu kota ke kota lain. 6.
Pelatihan Jika pelanggaran peraturan atau prosedur yang dilakukan seorang aparat
kepolisian merupakan akibat dari penyalahgunaan jabatan, maka dijatuhkan sanksi pelatihan tambahan tentang subjek masalah yang berhubungan dengan
penyelewengan tersebut. Dalam hal ini instansi Kepolisian harus menanggung sebagian tanggung jawabdan memberikan serangkaian tindakan perbaikan.
7. Peringatan
Universitas Sumatera Utara
Suatu peringatan adalah hukuman ketika seorang petugas secara resmi mendapat peringatan karena perilakunya. Peringatan tersebut dalam bentuk
tertulis, biasanya dari seorang komandan kepala unit, dan salinan tersebut dimasukkan dalam arsip personalia aparat kepolisian yang mendapat peringatan
tersebut. Surat peringatan ini akan dijadikan pertimbangan dalam evaluasi kenaikan pangkat dan juga keputusan hukuman untuk kejadian penyelewengan di
masa datang. 8.
Bimbingan dan Pengawasan Sanksi berupa dialog dengan aparat kepolisian berkenaan dengan masalah
yang biasanya berhubungan dengan faktor-faktor penampilan dan prosedur. Bimbingan dan pengawasan bukan merupakan bagian dari catatan personalia
resmi pegawai, meskipun begitu, pengawas harus membuat catatan sebagai referensi yang mungkin penting dalam masalah disipliner di masa datang.
Meskipun demikian, sanksi ini merupakan sanksi disipliner yang sering digunakan. Bimbingan dan pengawasan adalah apa yang oleh orang sering
didengar sebagai teguran lisan. Dalam menentukan peraturan dan prosedur administratif sebagai dasar-
dasar tindakan disiplin, yang penting adalah bahwa Kepolisian meyakini adanya peraturan yang mematuhi standar peraturan yang sesungguhnya. Semua peraturan
harus jelas, spesifik, dan terkait dengan kebutuhan masyarakat yang sah. Peraturan tersebut secara mendasar harus adil dan tidak memberikan beban yang tidak
Universitas Sumatera Utara
realistis terhadap petugas sebagai hasil dari penugasan Kepolisiannya atau bahkan mungkin peraturan tersebut melanggar hak-hak petugas.
76
76
Ibid, hal. 531
Tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur oleh aparat kepolisian tidak hanya memberikan dampak sanksi administratif atau tindakan disiplin dari
institusi Kepolisian bagi aparat kepolisian tersebut tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini terjadi apabila aparat kepolisian tersebut salah sasaran dan
mengakibatkan orang tersebut terluka parah atau bahkan meninggal dunia akibat tindakan tembak ditempat tersebut.
Dalam KUHP tidak ada diatur mengenai tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, akan tetapi dalam KUHP telah diatur dengan tegas
batasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yaitu dalam pasal 49 ayat 1 yang menyatakan dengan tegas bahwa :
“barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau
harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”
Berdasarkan peraturan ini, maka suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yang
dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dikenai hukuman akan tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 ayat 1 dapat dijatuhi hukuman. Disamping pada Pasal 49 ayat 1 diatas, batasan untuk melakukan suatu
perbuatan berupa tindakan kekerasan juga diatur dalam Pasal 50 KUHP, yang dengan tegas menyatakan bahwa:
“barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang- undang tidak boleh dihukum.”
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan untuk
menjalankan peratutan undang-undang tidak boleh dihukum akan tetapi apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk menjalankan peraturan undang-undang,
pelakunya dapat dikenai hukuman. Berdasarkan asas legalitas, telah terbentuk suatu peratutan internasional
yang mengatur tentang prosedur penggunaan senjata api bagi setiap penegak hukum yang berlaku secara khusus, yaitu Resolusi PP 34168 Dewan Umum PBB
tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang perlindungan
kejahatan dan perilaku terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba. Sebagai salah satu anggota PBB, maka Indonesia wajib mematuhi peraturan ini.
Dalam prinsip nomor 9 Resolusi PBB No.34168 tentang Prinsip-Prinsip Penggunaan Kekerasan dan Senjata api dinyatakan dengan tegas bahwa :
“anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika
menghadapai ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa.”
Jadi apabila hal-hal yang disebutkan pada prinsip nomor 9 diatas tidak
diperhatikan dan dipatuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, maka tindakan aparat kepolisian tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan
yang berlaku, dan harus mendapat sanksi atas perbuatannya tersebut sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas profesi yang dijalankannya.
Ditinjau dari prinsip nomor 9 Resolusi PP 34168 Dewan Umum PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat
Universitas Sumatera Utara
penegak hukum, dapat ditentukan unsurr-unsur dari tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, antara lain :
1. Bahwa telah ada suatu tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian yaitu
penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur pada saat berhadapan dengan seseorang yang disuga melakukan tindak pidana atau pada saat
berhadapan dengan masyarakat sipil ketika tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata apiyang dimiliki oleh aparat untuk mendukung
tugasnya 2.
Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dilakukan pada saat melaksanakan tugas atau pada saat
aparat sedang bertugas di lapangan. 3.
Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai prosedur bertentangan dengan ketentuan internasional yang telah ditetapkan
oleh Dewan Umum PBB. 4.
Bahwa perbuatan menggunakan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan sehingga
bertentangan dengan ketentuan mengenai batasan-batasan menggunakan kekerasan dan senjata api bagi aparat ketika melaksanakan tugasnya.
Penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur telah melanggar pasal 4 dan 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 4 menyatakan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
Universitas Sumatera Utara
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka tindakan kepolisian yang sewenang-
wenang berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan tindakan yang mengurangi hak hidup seseorang karena penembakan yang
mengakibatkan luka atau tewasnya seseorang jelas merupakan perampasan hak hidup dari seseorang.
Pasal 33 ayat 1 menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya.” Berdasarkan peraturan ini, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata
api tidak sesuai prosedur merupakan tindakan penyiksaan dan tidak manusiawi karena aparat kepolisian dalam tindakannya tidak memperhatikan dan
menghormati hak hidup seseorang. Hal ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sehingga merupakan tindak pidana.
Aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur dapat diberikan sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawabannya
atas tugas yang diembannya. Pasal pidana yang dapat dikenakan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai prosedur ialah pasal
yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa, antara lain:
77
1. Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
77
DPM. Sitompul Op.Cit., hal.135
Universitas Sumatera Utara
2. Pasal 359 KUHP
“barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
3. Pasal 360 KUHP
Ayat 1: “barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Ayat 2: “barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 KUHP, bagi seorang pegawai negeri yang melanggar kewajibannya dalam jabatannya karena
melakukan perbuatan yang boleh dihukum, maka hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman pokok. Ketentuan ini tentu berlaku bagi seorang aparat kepolisian
Indonesia karena polisi merupakan bagian dari pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 92 KUHP.
Dapat dilihat bahwa setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan
tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan
juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa
yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya. Sehingga dengan demikian
hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk memutuskan memberikan sanksi administratif atau tindakan disiplin yang bagaimana bterhadap aparat kepolisian tersebut, atau memberikan
sanksi administratif disertai sanksi pidana.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan