Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa

BAB II MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa

Tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya PKB banyak dipengaruhi oleh NU. Secara historis keterlibatan NU di dalam politik adalah ketika NU menggabungkan diri dalam partai politik Masyumi yang saat itu dipimpin K.H.A Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy’ari. Pada masa awal pemerintahan, NU sangat sulit mendapatkan posisi karena kadernya sedikit dan dukungan dari kaum muslim modernis juga tidak banyak, ketika beberapa muslim modernis radikal pada tahun 1952 mengkritik pengurus departemen yang dikelola oleh Mentri Wahid Hasyim, persatuan umat Islam yang terjalin sejak masa pendudukan Jepang dengan segera menjadi berantakan. Benih-benih pertikaian sebenarnya mulai ditebarkan sejak tahun 1949 ketika Masyumi yang berubah menjadi partai politik pada November 1945. Ketidakstabilan politik yang menimbulkan banyak masalah antagonisme yang mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial-politik dan sangat rentan terjadinya disintegrasi bangsa dan negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan menerapkan pola demokrasi liberal dan sistem Parlementer ini, terjadilah liberarilme politik yang menyeret para elit politk yang tergabung dalam partai-partai politik terlibat dalam gelombang rivalisme dan benturan arus antagonisme politik yang berkepanjangan. 9 Pada masa itu, ketidaksepahaman mengenai pencalonan Menteri Agama yang baru menjadi pemicu putusnya hubungan antara kaum tradisionalis dan kaum pembaru. Muslim tradisonalis menganggap pengangkatan Menteri Agama dari kaum modernis dianggap sebagai penghinaan bagi kaum tradisonalis. Namun, konflik yang kemudian meruncing diantara tokoh ulama NU dengan sayap “Modernis” di jajaran kepemimpinan Masyumi mendorong muktamar NU di Palembang 1952 memutuskan NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dengan asas dan tujuan partai ini menurutnya adalah untuk menegakkan Syari’at Islam, dengan haluan salah satu dari empat mazhab. Pertama, Syafi’i, kedua, Maliki, Ketiga, Hanafi, Keempat, Hambali, serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Pada bulan Juli 1953, NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, yang dipimpin PNI dan didukung oleh PKI, disitu NU menambah peran politiknya yang tidak hanya jabatan Menteri Agama saja yang diserahkan kepadanya, juga Menteri Pertanian dan bahkan jabatan Wakil Perdana Menteri. 10 Pada pemilu 1955, NU mendapatkan kesuksesan yang luar biasa dengan 8 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 9 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta: LESFIYogya, 2002, h. 42. 10 Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara, Yogyakarta: LkiS, 1999, h. 46. meraih 18,4 suara dan muncul sebagai partai politik ketiga terbesar setelah PNI 22,3 dan Masyumi 20,9 dan berada di depan PKI 16,4. Sedang partai- partai lain hanya mendapat kurang dari 3 suara. 11 Selanjutnya pemilu 1971, yang diikuti oleh 10 partai, NU berhasil menempatkan diri di urutan kedua terbesar setelah Golkar dengan mengantongi suara 18,7 persen. Perolehan suara ini terbilang cukup sukses, mengingat saat itu perjuangan politik NU berada di tengah kuatnya intimidasi dari penguasa terhadap warga NU untuk memilih Golkar. Sadar bahwa jalur politik adalah cara untuk dapat menguasai dan mengendalikan pemerintahan, maka penguasa Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik peserta pemilu. Fusi politik dari peserta pemilu 1971, kecuali Golkar dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973, Partai Persatuan Pembangunan PPP lalu terbentuk, sebagai fusi dari Partai Nahdlatul Ulama NU, Partai Muslim Indonesia Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti. Selain PPP, tanggal 10 Januari 1973 juga muncul nama PDI yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Fusi yang lebih tepat sebagai trik Orde Baru untuk menguasai politik, lambat laun meredam aktivitas NU di bidang politik. Pemilu 1977 diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Dari ketiga kontestan pemilu itu, hanya Golkar yang dapat dikatakan situasinya kondusif. Sementara PPP dan PDI yang politiknya hampir selalu diwarnai perbedaan, hingga seringkali muncul friksi diantara komponen parpol yang masuk dalam fusi. 11 Feillard, NU Vis-a-Vis Negara, h. 49. Keterlibatan NU dalam dunia politik secara tidak langsung telah membawa konflik internal di kalangan tokoh NU yang terlibat dalam partai politik. Menyikapi situasi seperti ini maka Muktamar Nahdlatul Ulama NU ke-27 di Situbondo Jawa Timur pada 8-12 Desember 1984 menetapkan, secara organisatoris NU tidak terkait dengan organisasi sosial politik manapun dan organisasi kemasyarakatan. Sejak saat itu NU tidak melakukan kegiatan politik praktis. Dengan kata lain, muktamar ingin menegaskan bahwa NU kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU akan terbebas dari politik praktis, kembali ke asal seperti halnya tempo dulu, dan tidak boleh lagi adanya rangkap jabatan fungsional antara NU dan PPP. 12 Praktis sepak terjang NU dalam peta perpolitikan republik ini sepertinya tenggelam. Hingga himpitan politik yang terus menerus dilakukan oleh penguasa Orde Baru pada akhirnya tercapai titik balik. Diawali dengan krisis Ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997, suhu politik nasional kian memanas dan kebencian terhadap sosok Soeharto kian memuncak. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur sebagai presiden, akibat demonstrasi dan desakan berbagai kalangan agar Soeharto mengundurkan diri. 13 Era reformasi yang diawali dengan pengunduran diri Soeharto tersebut telah membuka harapan baru bagi upaya pembaharuan politik di Indonesia. Selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, aspirasi dan partisipasi politik dihambat, baik 12 Setiawan, Partai-partai Politik Indonesia, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004, h. 252-253. 13 Setiawan, Partai-partai Politik Indonesia, h. 252-254. melalui pengkerdilan-pengkerdilan kekuatan politik masyarakat maupun melalui pemaksaan ideologi. Restrukturisasi partai politik tahun 1973 tidak hanya menyebabkan lenyapnya partai politik yang melalui kekuatan ideologis, tetapi juga tersumbatnya peluang partisipasi politik rakyat secara lebih luas khususnya karena tidak dimungkinkan munculnya partai politik baru dan karena adanya kebijakan massa mengambang floating mass yang membuat partai politik berjarak dengan masyarakat di lapisan bawah. 14 Munculnya berbagai macam partai politik, dengan bentuk dan corak yang beragam khususnya partai politik Islam, terjadi setelah pemerintahan transisi Habibie menghapus UU organisasi massa tahun 1985 yang mewajibkan semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideologi. Hal ini juga terjadi akibat dari adanya akumulasi berbagai persoalan ideologi politik bangsa yang selama hampir tiga puluh tahun, diperlakukan secara diskriminatif dalam pembentukan platform politik bangsa ini. 15 Tetapi yang menjadi persoalan adalah NU dihadapkan kepada pilihan yang sulit yaitu jika NU menjadikan dirinya sebagai sebuah partai politik maka hal ini berarti berakhirnya paradigma Khittah 1926. Sedangkan membiarkan warga NU yang berjumlah jutaan massa mereka bisa menjadi ajang rebutan partai politik. Bahkan 14 A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002, h. 168. 15 Bahrul Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi”?, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002, h. 132-133. warga NU akan terombang ambing dengan keadaan dan kehilangan arah, yang dikhawatirkan justru akan melahirkan sebuah disintegrasi internal. Gairah euforia politik yang terjadi dalam komunitas NU bahwa mereka juga ingin mendirikan partai, bukanlah sekedar ingin ikut-ikutan atau tanpa dasar. Secara internal, keinginan warga NU tersebut pada umumnya didasari oleh tiga hal. Pertama, bermotif berdakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar yang sangat populer dalam doktrin politik NU. Kedua, potensi sosiologis dan historis dimana solidaritas dan emosionalitas ke-NU-an yang sangat potensial untuk menjadi kekuatan politik, dan ketiga, dalam sejarah peran politiknya, NU selama hampir tiga dasawarsa termarjinalisasi dalam politik dan seolah tidak habis-habisnya mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari negara maupun dari kelompok Islam lainnya. 16 Oleh karena itu setelah tumbangnya rezim Orde Baru, para ulama, politisi dan aktivis NU dari berbagai daerah saling melempar gagasan yang intinya mereka menginginkan kembalinya NU untuk maju kepentas percaturan politik nasional.

B. Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa