pukul 12:45 WIB. Sejarah Etnis Tionghoa Di Sumatera Utara

Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 dari badan pusat statistik Medan jumlah penduduk masyarakat etnis tionghoa di Sumatera Utara mencapai 340.320 , dan berdasarkan data kependudukan catatan tahun 2005 dari dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Medan jumlah penduduk etnis Tionghoa di Medan mencapai 25 dari total keseluruhan penduduk Medan yang berjumlah 2.036.018. 24 jumlah ini lebih meningkat dibanfing sensus penduduk tahun 2001 yang hanya 10.6. Etnis Tionghoa merupakan etnis ketiga terbesar di Sumatera Utara setelah jawa, batak karo. Populasi Tionghoa di Indonesia berdasarkan Volkstelling sensus di masa Hindia Belanda, mencapai 1.233.000 2,03, dari penduduk Indonesia di tahun 1930 tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W.Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 2,5 pada tahun 1961. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1 dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah etnis Tionghoa- Indonesia saat ini ialah berada diantara kisaran 4-5 dari seluruh jumlah populasi Indonesia. 25 24 ibid 25 httpzonachinese.blogspot.com2010asal muasal orang Tionghoa. Diakses pada tanggal 14 april

2016, pukul 12:45 WIB.

25 Universitas Sumatera Utara Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di Sumatera Utara. Daerah-daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Bangka-Belitung, pulau Jawa, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan, Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur. 26 A.1. Masyarakat Tionghoa pada masa Orde Lama Konflik pribumi dengan etnis Tionghoa sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina datang ke Nusantara. Sikap anti Tionghoa semakin kuat pada zaman Orde Lama ORLA tahun 1959 dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Tionghoa. Kondisi ini membuat para pedangan Tionghoa mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu etnis Tionghoa mencoba lari daro Indonesia menuju negeri asalnya. 26 5 M.R. Lubis. 1995. Pribumi di mata orang Cina. Medan : Pustaka Widyasarana. 26 Universitas Sumatera Utara Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu PKI. Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung itu waktu belum ada RRT dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar one of the big five berdiri dibelakang Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya bintang film Tionghoa menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati cibaku- tai, kamikaze melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris gol. Menado, Trip pelajar dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tsb. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuan- kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi. Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30SPKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30SPKI menjadi 27 Universitas Sumatera Utara salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain kierusuhan Mei 98. 27 Pada masa Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indoensia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan dan Lain- lain. Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salahsatu “tangan kanan” Ir Soekarno pada masa kabinet Dwikora. 28 Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti peraturan pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadao distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. Kerusuhan anti Tionghoa pada masa Orde Lama, pada tahun 1963 terjadi di berbagai daerah, termasuk di kota Medan. Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan kemakmuran. Etnis Tionghoa terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok, frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Soekarno yang amburadul. Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan yang 27 https:kakarisah.wordpress.com20100309perkembangan-etnis-tionghoa-di-indonesia-dari-masa- ke-masa . diakses pada tanggal 14 april 2016. Pukul 1:30 WIB. 28 Ibid hal 44 28 Universitas Sumatera Utara termanifestasikan dalam kerusuhan anti-CinaTionghoa, dan ini adalah bagian dari pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan kanan. Adanya sentimen anti-Tionghoa yang bermuara pada kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Cina di Indonesia, khususnya di Medan, Sumatera Utara tidak terlepas dari sentimen sosial dan kesenjangan ekonomi. Di balik sentimen ini terdapat perasangka-perasangka yang terus menerus hidup dan bahkan sengaja dihidupkan dengan tujuan tertentu. Sebagai contoh pada jaman penjajahan Belanda, perasangka terkait dengan masalah politik. Etnis Tionghoa distigmatisasai sebagai antek Belanda, dan perasangka ini terus bertahan sampai masa awal kemerdekaan Indonesia. Terdapat penggeneralisasian sifat bagi semua warga Tionghoa, padahal terdapat juga kalangan Tionghoa yang bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Perasangka yang ada juga muncul akibat keunggulan kalangan etnis Tionghoa dalam memenangkan persaingan ekonomi. Keunggulan ekonomi warga etnis Cina memberikan dampak munculnya kecemburuan dan kebencian etnis lain yang pada akhirnya melahirkan perasangka-perasangka. Gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Tionghoa merupakan “binatang ekonomi” economic animal yang bersifat oportunitis, yang tidak memiliki loyalitas politik dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Hal ini terus terjadi dan terus dipupuk hingga runtuhnya Orde Lama dan berganti dengan Orde Baru. Lain halnya dengan etnis India yang juga tinggal dan 29 Universitas Sumatera Utara menetap di Indonesia, mereka juga bukan merupakan suku asli Indonesia, melainkan juga pendatang, sama seperti etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dan India merupakan dua etnis asing tertua yang berada di Indonesia. Sejak awal kedatangannya, terdapat perbedaan penerimaan masayarakat setempat terhadap kedua etnis ini. Etnis India cenderung lebih diterima dibandingkan dengan etnis Tionghoa. Akibatnya etnis Tionghoa relatif sulit menyesuaikan diri sehingga menutup diri dari relasi atau masyarakat dengan kelompok lain diluar etnisnya. Adanya perbedaan budaya yang signifikan antara masyarakat setempat dan etnis Tionghoa dianggap menjadi penyebab kurangnya penerimaan masyarakat terhadap etnis ini. Melihat bahwa etnis India lebih cenderung diterima oleh masyarakat setempat, maka diperkirakan terdapat kemungkinan perbedaan budaya antara etnis India dan Tionghoa sendiri. Perbedaan budaya menjadi dasar asumsi adanya perbedaan kepribadian diantara kedua etnis ini. Five-factor Theory mengatakan tingkah laku individu merupakan hasil interaksi kepribadian dan lingkungan luarkebudayaan. Oleh karena itu, selain dipengaruhi oleh kebudayaan, keputusan etnis Tionghoa dan India untuk membaur atau tidak dengan masyarakat setempat juga dipengaruhi oleh perbedaan kepribadian. Adanya perbedaan prioritas nilai dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab perbedaan antara etnis Tionghoa dan India. Etnis Tionghoa cenderung memprioritaskan nilai kekeluargaan di atas segalanya, dan menjadikan nilai ini sebagai sumber motivasi utama dalamm menjalankan kehidupannya, sebaliknya tidak terdapat prioritas nilai 30 Universitas Sumatera Utara pada etnis India. 29 Nilai-nilai yang dimiliki oleh etnis India cenderung mempunyai porsi yang cukup seimbang. A.2 Masyarakat Tionghoa Pada Masa Orde Baru Pada tahun 1956 terjadi pergolakan politik yang maha dahsyat di Indoensia, yaitu pergantian Orde, dari Orde Lama ke Orde Baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai komunis di Indonesia dan Orde Baru yang membasmi keberadaan komunisme di Indoensia. Bersamaan dengan perubahan politik itu reazim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Segala kegiatan keagamaan kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden Inpres No. 14 tahun 1967. Disamping itu masyarakat keturunan Tionghoa dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan masa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa baik dalam bidang poltik maupun sosial budaya. Disamping Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No. 06Preskab667 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa harus berubah nama Tionghoanya menjadi nama berbau Indoneasia. 29 Ibid hal.48 31 Universitas Sumatera Utara Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utama ditujukan kepada warga negara Indonesia WNI etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi oenerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang “masih dipertanyakan”. 30 Pada Orde Baru warga keturunan Tionghoa di Sumatera Utara juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada dibawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Segala yang berbau Tionghoa dilarang, seperti kesenian barongsai, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagai artikelnya ditulis dlam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh mliter Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa bekerja juga disana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh 30 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia, jakarta: LP3ES, hal 340. dikutip dari skripsi Mahdalena Lidya , Tingkah laku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala daerah 2010, Di kelurahan Pusat Pasar Medan Kota. hal 48 32 Universitas Sumatera Utara komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagan, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Pada masa akhir dari Orde Baru, terdaoat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan diantara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya. A.3. Masyarakat Tionghoa pada Masa Reformasi Melihat sisi positif dari gerakan reformasi 1998 merupakan momentum yang membuka peluang bagi berbagai kelompok warga Negara, termasuk juga etnis Tionghoa, untuk memperbaiki posisi kehidupannya didalam bangunan tubuh bangsa Indonesia. Masyarakat Tionghoa seperti diberi kesempatan untuk dapat menunjukkan kembali keberadaannya dan juga dapat menghapus pandangan umum masyarakat bahwasanya masyarakat Tionghoa adalah penggila ekonomi dan oportunis belaka. Hal ini dapat terwujud dengan aktif berpolitik dan tokoh-tokohnya tampil sebagai tokoh-tokoh politik yang berpengaruh didalam bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Reforamasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Sumatera Utara khususnya, dan di Indonesia 33 Universitas Sumatera Utara umumnya. Walau belum 100 perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan padnangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 261998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selain itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia SBKRI dan izin perayaan tahun baru imlek sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak konsisten dengan penjelasan UUD 1945 dan pernyataannya ketika menjadi tamu negara di RRT beberapa bulan sebelumnya. 31 Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, atuapun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara 31 4 Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Hal. 1074 34 Universitas Sumatera Utara Tionghoa dalam selebaran kampanye untuk menarik minat warga Tionghoa, yaitu Dr. Sofyan Tan maju sebagai calon Kepala Daerah Kota Medan. 32

B. Kecamatan Medan Petisah