Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis

(1)

KARAKTERISTIK MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS

PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

TESIS

Oleh

SYARIFAH ENITA SARI

127051010

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KARAKTERISTIK MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS

PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

TESIS

Oleh

SYARIFAH ENITA SARI

127051010

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Magister Ilmu Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis

Nama : Syarifah Enita Sari

NIM : 127051010

Program Studi : Magister Ilmu Pangan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App.Sc) (Dr.Ir. Herla Rusmarilin. MP) Ketua Anggota

Mengetahui :

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Ir. Elisa Julianti, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS)


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis dengan judul “Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennts) Secara

Enzimatis” adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri,

dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya.

Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program Studi sejenis di Perguruan Tinggi lain. Apabila di emudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku .

Medan, April 2015

Syarifah Enita Sari Nim : 1270010


(5)

KARAKTRISTIK MALTODEKSTRIN HASIL DARI

HIDROLISIS PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

ABSTRAK

Beberapa jenis Dioscorea yang tumbuh di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya umbi gadung. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) adalah jenis umbi yang tumbuh liar di hutan dan tidak begitu sulit mendapatkannya. Memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin. Maltodekstrin memiliki DE dari 3-20. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan waktu likuifikasi terhadap kualitas maltodesktrin dan hasil hidrolisis enzimatis pati umbi gadung.

Penelitian ini menggunakan metode enzimatis, dengan penambahan enzim amilase. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (2 faktor 3 ulangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH 5, 6 dan 7, waktu likuifikasi 60, 90 dan 120 menit dan interaksi pH dan waktu likuifikasi memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap gula reduksi, dekstrosa equivalen, daya larut, viskositas, daya serap dan rendemen maltodesktrin. pH yang paling optimal adalah 6, waktu likuifikasi yang paling optimal adalah 90 dan 120 menit.


(6)

CHARACTERISTIC MALTODEKSTRIN HYDROLYSIS OF STARCH YAM (

Dioscorea hispida

Dennst) ENZYMATICALLY

ABSTRACT

Some of types Dioscorea that grows in Indonesia have not been fully utilized, one yam tubers. Yam (Dioscorea hispida Dennst) is a type of bulb that grows wild in the woods and not so difficult to get. Has the potential to be used as a source of maltodextrin. Maltodextrin is a polymer of glucose with an average bond length of 5-10 units per molecule of glucose chains. Maltodextrin is a starch derivative resulting from the degradation of amylose and amylopectin chains chemically or enzymatically into dextrin. Maltodextrin has a DE of 3-20. This study aimed to determine the effect of pH and liquefaction time to maltodesktrin quality and enzymatic hydrolysis of starch yam tubers.

This study uses the enzymatic method, with the addition of enzyme. Analysis of the data using a completely randomized design (2 factor 3 replications). The results showed that pH 5, 6 and 7, liquefaction time 60, 90 and 120 minutes and the interaction of pH and time likuifikasi gave highly significant effect on reducing sugar, dextrose equivalent, solubility, viscosity, absorption and yield maltodesktrin. The most optimal pH was 6, the most optimal liquefaction time was 90 and 120 minutes.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Syarifah Enita Sari, dilahirkan di Aceh Barat, pada tanggal 27 Maret 1982 anak dari Bapak H. Said Razali dan Ibu Hj. Syarifah Rahmah.Penulis merupakan anak ke enam dari enam bersaudara. Syarifah Enita Sari telah menikah dengan Musriadi, ST, memiliki dua orang putra yakni Faisal Muntasir dan Rhaisan Rahman.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : 1. Tahun 1989 Madrasah Ibtidaiyah Negeri Drien Rampak

2. Tahun 1995 Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Meulaboh

3. Tahun 1998 masuk Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Meulaboh

4. Tahun 2001 diterima di Program Studi Ilmu Teknologi Ternak (S1) di Institut Pertanian Bogor

5. Tahun 2002 pindah ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh pada program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian.

6. Tahun 2012 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Magister Ilmu Pangan Universitas Sumatera Utara.

Saat ini penulis tercatat sebagai salah satu pengajar di Universitas Teuku Umar, Meulaboh_Aceh pada program studi Budidaya Tanaman Pangan, Fakultas Pertanian.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas segala karunia dan ridhaNya, sehingga tesis dengan judul “ Karakteristik

Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara

Enzimatis ” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Ilmu Pangan, Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MApp.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP selaku anggota komisi pembimbing serta Ibu Dr. Ir. Elisa Julianti, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku penguji yang telah membimbing dan membantu dalam penulisan tesis ini. 2. Teruntuk suami ku Musriadi, ST , kedua putra ku Faisal Muntasir dan Rhaisan

Rahman dan semua pihak yang telah membantu.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis, sehingga tesis ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Taksonomi ... 6

Morfologi ... 7

Komposisi Kimia Umbi Gadung ... 8

HCN dalam Gadung ... 9

Pati ... 11

Hidrolisis Pati Secara Enzimatis ... 14

Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Hidrolisis Pati Menjadi Glukosa ... 15

Enzim α-amilase dan Sifat-sifat Enzim α-amilase ... 16

Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung secara Enzimatis ... 17

Maltodekstrin ... 18

Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya ... 19

METODOLOGI PENELITIAN ... 22

Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 23

Pelaksanaan Penelitian ... 24

Analisis HCN dari Umbi Gadung ... 24

Pembuatan Maltodekstrin dari Umbi Gadung Liar dengan Hidrolisis Enzimatis ... 25

Pengamatan dan Analisa Data ... 25

Analisa Proximat Umbi Gadung ... 25

Analisa Kadar Asam Sianida ... 25

Kadar Air ... 26

Kadar Abu ... 26

Kadar Pati ... 26


(10)

Analisis Produk Maltodekstrin ... 28

Penentuan % Kadar Gula Pereduksi Metode Luff Schroll ... 28

Penentuan DE ... 30

Penentuan Rendemen ... 30

Penentuan Viskositas ... 31

Penentuan Daya Larut Air ... 31

Penentuan Daya Serap ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Karakteristik Pati Gadung ... 33

Hasil Analisis dan Pembahasan Maltodekstrin ... 35

Rendemen (%) ... 35

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Rendemen ... 35

Gula Reduksi ... 37

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Gula Reduksi ... 37

Dextrosa Equivalent ... 40

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Dextrosa Equivalent ... 40

Viskositas (%) ... 44

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Viskositas ... 44

Daya Serap (%) ... 46

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Daya Serap ... 46

Daya Larut ... 48

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Daya Larut ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi Kimia Gadung ... 8

2. Jenis Dekstrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE ... 19

3. Syarat Mutu Dekstrin SNI ... 20

4. Karakteristik Pati Gadung ... 33

5. Nilai Rendemen Maltodekstrin... 35

6. Nilai Gula Reduksi Maltodekstrin... 37

7. Nilai Dextrosa Equivalent... 40

8. Nilai Viskositas... 44

9. Nilai Daya Serap... 47


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Proses Hidrolisis Pati Oleh Enzim α-amilase ... 3

2 Gadung ... 7

3 α-amilase yang Memotong Rantai Pati Pada Ikatan Alfa-1,4 ... 17

4 Hubungan Antara pH Proses dan Waktu Terhadap Rendemen ... 36

5 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Gula Reduksi ... 38

6 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap DE ... 41

7 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Viskositas ... 44

8 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Daya Serap ... 47

9 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Daya Larut ... 48


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Proses Pembuatan Pati Gadung ... 57

2. Proses Pembuatan Maltodekstrin ... 58

3. Rendemen ... 59

4. Gula Reduksi... 60

5. Dekstrosa Ekuivalen... 61

6. Viskositas ... 62

7. Daya Serap ... 63

8. Daya Larut ... 64


(14)

KARAKTRISTIK MALTODEKSTRIN HASIL DARI

HIDROLISIS PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

ABSTRAK

Beberapa jenis Dioscorea yang tumbuh di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya umbi gadung. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) adalah jenis umbi yang tumbuh liar di hutan dan tidak begitu sulit mendapatkannya. Memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin. Maltodekstrin memiliki DE dari 3-20. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan waktu likuifikasi terhadap kualitas maltodesktrin dan hasil hidrolisis enzimatis pati umbi gadung.

Penelitian ini menggunakan metode enzimatis, dengan penambahan enzim amilase. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (2 faktor 3 ulangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH 5, 6 dan 7, waktu likuifikasi 60, 90 dan 120 menit dan interaksi pH dan waktu likuifikasi memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap gula reduksi, dekstrosa equivalen, daya larut, viskositas, daya serap dan rendemen maltodesktrin. pH yang paling optimal adalah 6, waktu likuifikasi yang paling optimal adalah 90 dan 120 menit.


(15)

CHARACTERISTIC MALTODEKSTRIN HYDROLYSIS OF STARCH YAM (

Dioscorea hispida

Dennst) ENZYMATICALLY

ABSTRACT

Some of types Dioscorea that grows in Indonesia have not been fully utilized, one yam tubers. Yam (Dioscorea hispida Dennst) is a type of bulb that grows wild in the woods and not so difficult to get. Has the potential to be used as a source of maltodextrin. Maltodextrin is a polymer of glucose with an average bond length of 5-10 units per molecule of glucose chains. Maltodextrin is a starch derivative resulting from the degradation of amylose and amylopectin chains chemically or enzymatically into dextrin. Maltodextrin has a DE of 3-20. This study aimed to determine the effect of pH and liquefaction time to maltodesktrin quality and enzymatic hydrolysis of starch yam tubers.

This study uses the enzymatic method, with the addition of enzyme. Analysis of the data using a completely randomized design (2 factor 3 replications). The results showed that pH 5, 6 and 7, liquefaction time 60, 90 and 120 minutes and the interaction of pH and time likuifikasi gave highly significant effect on reducing sugar, dextrose equivalent, solubility, viscosity, absorption and yield maltodesktrin. The most optimal pH was 6, the most optimal liquefaction time was 90 and 120 minutes.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gadung (Dioscorea hispida Dennst) merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang tergolong kedalam kelompok yam yang terdapat di Indonesia. Tanaman ini awalnya ditemukan di India bagian barat, penyebarannya meluas ke Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, serta kepulauan Karibia, Afrika Barat, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, dan seluruh daerah tropis. Di Indonesia sendiri gadung ini banyak diusahakan sebagai tanaman pelarangan, tumbuh liar di hutan-hutan dan berkembang secara luas di daerah tropis (Koswara, 2006).

Umbi gadung pada saat panen puncak dapat mencapai hingga 19,7 ton/ha. Melalui pengusahaan yang intensif, kemungkinan besar tanaman ini dapat menghasilkan umbi yang lebih banyak lagi, khususnya di Indonesia, karena tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di iklim tropis. Di Indonesia tanaman ini tumbuh liar, sedangkan pembudidayaan gadung banyak ditemukan di Jawa dan Madura (Deptan, 2005).

Menurut Webster et al., (1984), gadung merupakan umbi yang tergolong beracun, namun beberapa daerah di Indonesia gadung ini digunakan untuk makanan pokok setelah potongan umbi ini dicuci pada air yang mengalir selama 3-4 hari berturut-turut. Di beberapa daerah Indonesia bagian timur, pada musim paceklik umbi gadung dimanfaatkan untuk bahan pangan.

Di dunia ini terdapat sekitar 3000 spesies tanaman dari 110 famili yang dapat melepaskan hidrogen sianida memalui proses yang disebut cyanogenesis. Di dalam sel tanaman asam sianida dalam bentuk bebas maupun terikat. Pada konsentrasi tinggi, sianida bebas dapat menyebabkan kematian. Umbi segar dapat


(17)

dihasilkan sekitar 400mg sianida per kg, maka untuk dapat mengkosumsi gadung diperlukan proses penghilangan HCN sebelum gadung diolah (Fitchner dan Nasser, 1978).

Gadung merupakan golongan umbi yang kaya pati, sehingga dapat diolah seperti umbi-umbi lain, misalnya seperti menjadi maltodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi dan telah banyak digunakan dalam industri makanan, minuman, kimia dan farmasi. Di bidang industri pangan, maltodekstrin banyak digunakan sebagai pengganti lemak susu pada minuman yogurt, produk roti, es krim dan sebagai bahan tambahan pada produk margarine serta “cheese cakes filling” (Anonim, 2008). Di bidang industri farmasi/kesehatan, dekstrin diyakini dapat mengurangi kadar kolesterol, mencegah timbulnya racun dalam tubuh, melancarkan buang air besar, meningkatkan nafsu makan dan mengurangi resiko penyakit jantung koroner (Anonim, 2009).

Kebutuhan maltodekstrin di Indonesia cukup besar. Pada tahun 2002, Indonesia mengimport 44.000-52.000 ton maltodekstrin dari total import 80.000 ton produk pati termodifikasi (Triyono, 2007) dan pada tahun 2006, import produk pati termodifikasi meningkat hingga 283.046 ton (Deptan, 2005). Melihat besarnya kebutuhan dan banyaknya industri pengguna maltodekstrin serta ketersediaan bahan baku yang melimpah, maka usaha untuk menjadikan umbi gadung sebagai maltodekstrin sangatlah tepat.

Reaksi hidrolisa pati merupakan reaksi pemecahan pati menjadi struktur gula yang lebih sederhana. Maltodekstrin dapat dibuat dari hasil reaksi hidrolisis pati tidak sempurna. Pati mengalami proses pemutusan rantai oleh asam atau enzim selama pemanasan menjadi molekul dengan rantai lebih pendek yang


(18)

disebut maltodekstrin dengan dextrose equivalent, DE < 20, kemudian secara bertahap menjadi maltodekstrin dengan DE 20-60, tahap akhir menjadi glukosa dengan DE=100 (Othmer, 1984).

Reaksi pembentukan maltodekstrin berlangsung dalam fasa cair, bersifat irreversible endotermis. Maltodekstrin terbentuk melalui dua tahapan yaitu gelatinisasi dan liquifikasi. Proses gelatinisasi terjadi apabila pati mentah dimasukkan kedalam air, granula patinya akan menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula disebut gelatinisasi, suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno,2002).

Gelatinisasi merupakan faktor yang diharus diperhatikan terkait dengan proses likuifikasi, dimana larutan pati harus sempurna, bila larutan pati terlalu pekat maka akan sulit tersuspensi dengan baik selama proses gelatinisasi dan mengakibatkan likuifikasi juga akan sulit terjadi secara sempurna. Adapun secara ringkas hidrolisis pati dapat digambarkan sebagai berikut:

Pati Dekstrin + maltosa + maltotresa + glukosa

Gambar 1. Proses Hidrolisis Pati Oleh Enzim α-amilase (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Penelitian pembuatan maltodekstrin telah banyak dilakukan sebelumnya

dengan menggunakan enzim α-amilase, salah satunya dilakukan oleh Chafid, et al., (2010) terhadap pati sagu. Hidrolisis secara enzimatik dilakukan pada pH proses 7 dengan menggunakan waktu proses 60 menit, 90 dan 120 menit. Didapatkan DE berkisar 4,79 – 9,57. Pada penelitian ini enzim yang digunakan

juga α-amilase dengan menggunakan bahan pati gadung, dengan variabel berubah


(19)

nya adalah pH dan waktu proses yang berbeda, sehingga nantinya didapatkan nilai DE dan beberapa parameter lain dalam nilai yang bagus.

TujuanPenelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kharakteristik maltodekstrin hasil hidrolisis enzimatik dari pati umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst).

2. Untuk mengetahui kombinasi perlakuan terbaik antara pengaruh pH dan waktu proses yang berbeda untuk hasil maltodekstrin yang baik.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan pH dan waktu proses yang berbeda dan interaksinya pada hidrolisis pati umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) secara enzimatis berpengaruh terhadap nilai Dextrosa Equivalent maltodekstrin yang dihasilkan. 2. Maltodekstrin hasil hidrolisis pati umbi gadung secara enzimatis (Dioscorea

hispida Dennst) dengan pH dan waktu yang berbeda menghasilkan Dextrosa Equivalent dengan nilai di bawah 10.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Dapat memberikan informasi akan pengaruh penggunaan enzim dalam proses hidrolisis terhadap kualitas maltodekstrin dari pati ubi gadung (Dioscorea hispida Dennst).


(20)

2. Dapat memberikan informasi tentang komposisi maltodekstrin dari pati ubi gadung (Dioscorea hispida Dennst) dengan metode penambahan enzim dan kondisi pHdan waktu yang berbeda.

3. Dapat memberikan informasi tentang penggunaan umbi gadung sebagai bahan baku pembuat maltodekstrin, yang selama ini kurang dimanfaatkan secara baik. 4. Bagi perkembangan IPTEK, dapat mengetahui katalis biologi yang


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Gadung (Dioscerea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda), Iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis), sikapa (Makasar), (Anonim, 2014).

Taksonomi

Taksonomi umbi gadung sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Dioscoreales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea


(22)

Gambar 2. Umbi Gadung Hutan (Sibuea, 2002)

Gadung dapat menjadi sumber pangan alternatif selain sebagai sumber pangan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain-lain. Gadung memang tidak sulit untuk didapatkan, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan. Selama masa pertumbuhan gadung ini tidak memerlukan perawatan khusus atau penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkonsumsinya melakukan pengolahan terhadap umbi gadung ini pada saat musim kemarau panjang tiba. Ketika kemarau datang masyarakat pergi mencari umbi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan (Ode, 2007).

Morfologi

Gadung merupakan perdu memanjat yang tingginya dapat mencapai 5-10m. Batangnya bulat, berbentuk galah, berbulu, berduri yang tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah. Dapat dibedakan dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk terdiri dari 3 helai daun, warna hijau, panjang 20-25 cm, lebar 1-12 cm, helaian daun


(23)

tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar (Ndaru, 2012).

Untuk membedakan antar spesies dalam gadung dapat dibedakan berdasarkan arah lilitan batang, bentuk batang, ada atau tidaknya duri pada batang, bentuk dan jumlah helaian daun, ada tidaknya buah di atas (Anonim, 2014). Ada beberapa varietasnya, diantaranya yang berumbi putih (yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning antara lain gadung kuning, gadung kunyit atau gadung padi. Gadung kuning umumnya lebih besar umbinya bila dibandingkan gadung putih. Jumlah umbi dalam satu kelompok dapat mencapai 30 umbi (Anonim, 2014).

Komposisi Kimia Umbi Gadung

Umbi Gadung adalah jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat dan merupakan komoditi yang mempunyai prospek yang sangat baik. Kandungan gizi gadung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Gadung

Parameter Komposisi

Kadar Air (%) 61,5

Pati (%) 30,9

Serat (%) 1,3

Abu (%) 1,1

Serat kasar (%) 0,93

Total Gula (%) 2,45

Sianida (ppm) 362

Sumber : (Sibuea, 2002)

Umbi hutan nama lain dari gadung atau (Dioscorea hispida Dennst) dapat menjadi sumber bahan pangan alternatif selain sebagai sumber bahan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain- lain. Menurut pengakuan


(24)

beberapa masyarakat yang pernah mengkosumsi umbi hutan ini apabila diolah secara benar maka akan didapatkan makanan olahan yang enak dan bergizi, (Sibuea, 2002).

Beberapa jenis nutrisi yang ditemukan didalam gadung ini ternyata juga merupakan kandungan utama bahan pangan yang dijadikan masyarakat Indonesia sebagai pokok selama ini, yaitu padi (Oryza sativa Linn) dan jagung (Zea mays Linn). Disamping kandungan nutrisi tersebut, ternyata ubi hutan juga mengandung zat yang bersifat toksik atau anti nutrisi, yakni glikosida sianogenik, alkaloid dioscorin dan senyawa pahit yang terdiri dari saponin dan sapogenin (Webster et al., 1984).

HCN dalam Gadung

Glikosida sianogenik yang dikandung umbi hutan (Dioscorea hispida Dennst) dapat bersifat toksik karena dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida (HCN). Kandungan HCN dalam bahan makanan akan mengalami pengurangan bahkan penghilangan apabila bahan makanan tersebut mendapat perlakuan penghancuran atau pengirisan. Racun yang terdapat didalam umbi gadung antara lain dioskorin, diosgenin, serta asam sianida (HCN). Senyawa-senyawa ini memiliki efek hemolisis apabila masuk ke dalam tubuh manusia. Senyawa ini juga memiliki efek paralisis pada susunan saraf sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan (Pambayun, 2008). Penghilangan racun-racun pada umbi gadung yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum adalah dengan menggunakan cara tradisional yaitu perendaman irisan umbi gadung dalam air mengalir (Nok dan Ikediobi, 1990).


(25)

Keracunan karena HCN pernah dilaporkan terjadi dia Mauritius tahun 1844 setelah mengkosumsi jenis kacangan yang disebut Phaseolus lunatus, sedangkan keracunan karena mengkosumsi singkong ketela pohon dilaporkan terjadi di Nigeria tahun 1965 dan di India tahun 1973. Juga pernah dilaporkan keracunan karena mengkosumsi bambu muda (rebung), almond pahit, biji peach, apricot dan chezzy. Di Indonesia, laporan tentang keracunan setelah mengkosumsi umbi hutan terjadi di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara timur, november 2006, dan di Bengkulu tahun 2002.

Senyawa racun dalam gadung berupa senyawa glukosida sianogenik. Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam sianida apabila terhidrolisis oleh enzim atau berada pada pH asam. Pada sistem pencernaan yang bersuasana asam senyawa ini akan melepaskan HCN yang bisa meracuni tubuh. Oleh karena itu detoksifikasi harus difokuskan pada pengurangan senyawa kompleks tersebut. Menurut Damardjati dkk (1991), pengelompokan kadar sianida adalah < 50 ppm tidak beracun, 50-80 ppm agak beracun, 80-100 ppm beracun dan > 100 ppm sangat beracun.

Prinsip dasar metode detoksifikasi sianida pada umbi gadung adalah menghambat terjadinya reaksi antara subtrat linamarin dan metal linamarin dengan enzim linamarase. Perendaman irisan umbi dalam larutan 8 persen selama tiga hari mampu mengurangi racun sianida dengan residu yang terbentuk relatif rendah yaitu 7,32 ppm. Pemanasan irisan umbi gadung setebal 2 mm dalam air mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida bila dibandingkan dengan metode perendaman dalam garam, yakni 4,12 ppm. Penurunan kadar sianida dalam umbi gadung itu terjadi karena pemanasan dalam


(26)

air mendidih selama 30 menit bisa mengakibatkan enzim linamarase dan glukosidase tidak aktif dan pembentukan asam sianida pun menjadi terputus (Pambayun, 2000).

Pati

Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks, tidak larut dalam air dingin, berwujud bubuk, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda.

Pati (starch) alami memiliki keterbatasan dalam kegunaannya untuk aplikasi komersial. Sifat alami pati antara lain diantaranya tidak larut dalam air dingin dan tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Hay, 2002). Wurzburg (1989) telah memberikan pengetahuan yang mendalam tentang sifat fisika dari pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi. Modifikasi pati memberikan perubahan dari sifat fisika dan sifat kimia. Perubahan ini mempunyai sasaran utama untuk aplikasi produk makanan lebih spesifik yang dapat memperbaiki sifat fungsional produk terhadap viskositas, stabilitas, integritas, tekstur dan pengemulsi sebagaimana keterbatasan dalam bentuk alaminya.

Dalam referensi lain, pati adalah salah satu yang paling banyak dan luas terdapat dialam, sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar, umbi, akar, biji buah dan umbi lapis. Cadangan tersebut berada dalam bentuk granula lebih besar disebut dengan pati cadangan. Pati merupakan salah satu hidrokoloid yang di gunakan oleh industri pangan


(27)

sebagai pengental ataupun pembentukan gel hidrokoloid lainnya meliputi samping itu banyak pati digunakan untuk pengikat lemak dan pembantu pembentukan emulsi (Hawab, 2004). Perbedaan amilosa dengan amilopektin yaitu amilosa memberikan sifat keras, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat amilopektin tidak bereaksi. Secara struktur amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan. bahan penyusunan yang granula-granula berukuran gum, pektin, gelatin, selulosa agar, dan lainnya.

Pati merupakan cadangan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia seluruh dunia. Komposisi amilosa dan amilopektin pada setiap jenis berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkan mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati disamping menyebabkan terbentuknya gel juga dapat melunakkan dan memecahkan sel, sehingga mempermudah pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bantuk pati akan terhidrolisa sebagian besar menghasilkan glukosa (Afrianti, 2004).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya,


(28)

serta lurus atau bercabangkah rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dinamakan amilosa dan fraksi tidak terlarut dinamakan amilopektin. Amilosa menpunyai struktur lurus dangan

cabang ikatan α- (1,4) D-glukosa sebanyak 4,5 5 dari berat total (Winarno, 2004). Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat jelas pada serealia contohnya pada beras, semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektin semakin lekat nasi tersebut. Amilosa adalah molekul

berantai linier yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dari sejumlah 500-5000 unit glukosa. Amilosa bertindak sebagai pengisi amorf dalam granula, dalam perdagangan dikenal dua macam pati, yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi. Pati yang tidak dimodifikasi atau pati biasa adalah semua jenis pati yang dihasilkan di pabrik pengolahan dasar, misalnya tepung tapioka, (Abu Bakar, 1986). Kandungan pati di dalam bahan cukup penting, sehingga semakin tinggi kandungan pati semakin dikehendaki konsumen. Kandungan pati didalam bahan bakunya akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan lama penyimpanan setelah panen. Oleh karena itu pada pembuatan tepung umbi dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka umbi hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan (Antarlina dan Utomo, 1999).

Berbagai proses kimia yang dapat diterapkan pada modifikasi pati antaranya oksidasi, hidrolisa, cross linking atau cross bonding serta subsitusi (Fleche, 1985). Maltodekstrin merupakan salah satu produk dari hasil hidrolisa pati dengan menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa,oligosakarida, dan dekstrin, (Deman, 1993).


(29)

Hidrolisis Pati Secara Enzimatis

Reaksi hidrolisa berlangsung lambat, untuk dapat mempercepat digunakalah katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi tetapi dia tidak ikut bereaksi pada prosesnya secara keseluruhan. Pada hidrolisa pati katalisator yang digunakan adalah enzim. Enzim adalah zat organik yang dihasilkan oleh sel hidup baik tanawan, hewan maupun mikroorganisme (Sherman, 1962).

Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia organik. Molekul awal yang dihasilkan disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain disebut produk. Jenis produk yang dihasilkan bergantung pada suatu kondisi zat, yang disebut promoter. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, artinya setiap enzim hanya akan bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor (Februadi, 2011). Hidrolisis dengan enzim dapat menghasilkan beberapa produk hidrolisat pati dengan sifat-sifat tertentu yang didasarkan pada nilai DE (Ekuivalen dekstrosa). Beberapa jenis enzim yang sering digunakan dalam menghidrolisis pati yaitu α-amilase, β-amilase, pullunase dan amiloglukosidase yang memilki karakteristik yang berbeda-beda.


(30)

Faktor – faktor yang berpengaruh pada hidrolisis pati menjadi glukosa : Suhu

Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim. Sebaliknya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semain aktif enzim tersebut. Bila suhu naik terus laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalisis enzim (Winarno, 1984). Reaksi paling cepat terjadi pada suhu optimum, oleh karena penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim akan naik namun aktitivitas menurun, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim akan naik namun kestabilan menurun. Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu 55ºC-60ºC (Rabyt dan White, 1987).

Waktu

Semakin lama waktu reaksi, maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin besar. Lamanya waktu reaksi juga dipengaruhi atau bergantung oleh banyaknya substrat yang di hidrolisa dan jumlah enzim yang ditambahkan.

pH

Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Derajat keasaman optimal yang ditunjukan oleh enzim tertentu tidak selalu konstan. Masih ada berbagai faktor lain yang memberikan pengaruh atas aktivitas enzim tersebut.

Kadar Suspensi Pati

Pada penggunaan kadar rendah, keseimbangan akan bergeser kekanan dengan baik. Pada kadar suspensi tinggi mengakibatkan kekentalan campuran semakin meningkat, sehingga jumlah kandungan partikel pati tidak larut semakin


(31)

meningkat. Hal ini mengakibatkan proses hidrolisa tidak dapat berjalan dengan baik atau sempurna. Semakin tinggi kadar suspensi pati yang dihidrolisa, maka waktu proses yang diperlukan untuk menghidrolisa pati tersebut akan semakin lama. Jumlah enzim yang dibutuhkan juga semakin banyak.

Jumlah Penambahan Enzim

Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan menghasilkan kadar glukosa yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga

semakin mempercepat reaksi hidrolisa, untuk enzim α- amilase digunakan perbandingan 2kg enzim untuk setiap ton pati, sedangkan untuk enzim glukoamilase digunakan sebanyak 0,5-1,1 L untuk setiap ton pati.

Aktivator dan Inhibitor

Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk aktivitas enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn2+, Fe2+, Ca2+ atau dapat pula sebagai molekul organik komplek yang disebut koenzim. Pada umumnya ikatan senyawa organik dengan protein enzim itu lemah apabila iktannya kuat. Selain aktivator juga dipengaruhi oleh inhibitor, inhibitor adalah senyawa atau ion yang dapat menghambat aktivitas enzim pada saat enzim bekerja pada substrat (Lehninger, 1982).

Enzim α-amilase dan Sifat-Sifatnya

Hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi dalam dua tahap, pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti dengan menurunnya viskositas dengan


(32)

cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhirnya (Muchtadi dkk., 1992). Sebagian besar enzim bekerja khas yaitu artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.

Cara kerja α-amilase pada molekul amilosa akan menghasilkan glukosa,

maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya

mengandung ikatan α-1,6. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimersisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai yang lurus (Winarno,1995).

Gambar 3. α-amilase yang memotong rantai pati pada ikatan α-1,4 (Purba dan Elida, 2009).

Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung Secara Enzimatis

Proses hidrolisa pati secara enzimatis dilakukan melalui tahap liquifikasi. Tahap liquifikasi adalah proses pencairan gel pati menggunakan enzim α-amilase.


(33)

Liquifikasi merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi atau gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan-serangan hidrolitik, yang kedua yaitu dekstrinasi, sehingga dapat mencegah terjadinya retrogradasi untuk tahap selanjutnya (Muchtadi et al., 1992).

Maltodekstrin

Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri makanan sebagai pengisi, dan dalam industri farmasi sebagai pengisi tablet, (Anwar, 2002). Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin, memiliki DE dari 2-30. Beberapa DE yang rendah telah dipatenkan terbukti dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin 2-5 mempunyai sifat fungsional membentuk gel dalam air panas pada konsentarsi diatas 15%. Maltodekstrin dengan DE rendah sangat cocok sebagai bahan pengganti lemak (Ingglet dan Grismore, 1991).

Maltodekstrin sebagai komponen bahan dalam industri pangan telah banyak digunakan karena terbukti lebih aman dan terdaftar pada GRAS (Generaly Recognized As Safe). Dalam aplikasinya maltodekstrin dapat memberikan kekerasan dan tekstur dalam produk pangan, maltodekstrin yang mengandung sakarida tinggi 95% dan Dextrose Equivalent rendah mempunyai sifat gel yang dapat lumer dan bersifat thermoreversible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai pengganti lemak dalam produk pangan (Roper, 1996). Pada Tabel. 2 dapat dilihat jenis dekstrin dan penggunaannya berdasarkan nilai DE.


(34)

Tabel 2. Jenis Dextrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE

Nama Hasil Hidrolisis Pati Nilai DE Aplikasi Penggunaannya

Maltodekstrin 2-5

5 9-12

Pengganti lemak susu didalam makanan dan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan es krim.

Bahan tambahan margarine. Cheesecake filling.

Thin Boiling >20 Kembang gula, pastellis dan jeli

Oligosakarida >50 Pemanis

Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi, et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).

Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

Triyono (2007) telah melakukan penelitian “Peningkatan Fungsional Pati dari Ubi Jalar dengan Enzim α-Amilase Sebagai Bahan Subsitusi Pengolahan

Pangan”, diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi enzim sebesar 0,5% dan pH kondisi 6 dengan nilai DE sebesar 5-6 dan nilai kelarutan sebesar 98%.

Chafid et al (2010) membuktikan bahwa nilai DE terendah dari maltodekstrin tepung sagu didapat pada kondisi konsentrasi enzim 0,09% selama 60 menit sebesar 4,69% dan DE tertinggi diperoleh pada konsentrasi enzim 0,09% selama 120 menit sebesar 10,23%.


(35)

Anita et al (2009) telah melakukan penelitian berupa “Pembuatan Maltodekstrin Dengan Proses Hidrolisa Pati Singkong Menggunakan Enzim α

-Amilase” didapatkan bahwa harga DE dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya waktu dekstrinasi dan pH proses. Semakin lama waktu dekstrinasi maka semakin besar pula harga DE. Perlakuan terbaik didapatkan pada kondisi pH 6 dengan waktu 120 menit nilai DE 19,56 sedangkan pada pH 7 dengan waktu 60 menit didapatkan DE sebesar 11,79. Syarat mutu Maltodekstrin secara umum disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Dekstrin SNI 01 2593 1992

Komponen Persyaratan

Warna Putih sampai

Kekuningan

Warna dengan Lugol Ungu Kecoklatan

Kehalusan Mesh 80 % b/b Min 90 mesh Lolos

Air % b/b Maks 11

Abu % b/b Maks 0,5

Serat Kasar % b/b Maks 0,6

Bagian yang Larut Dalam Air Min 97 %

Kekentalan 3-4

Derajat Asam Max 5 ml NaOH

Cemaran Logam

- Timbal Maks 2 mg/kg

- Tembaga - Seng - Timah

Maks 30 mg/kg Maks 40 mg/kg Maks 40 mg.kg

Arsen 1 mg/kg

Cemaran Mikroba

- Kapang/Ragi

- Total Aerobik Plate Count - Bakteri Coliform

- Salmonella

Maks 102

Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak


(36)

berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).


(37)

Proses Pembuatan Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Bubur Umbi Gadung

 Umbi gadung di kupas lalu dibersihkan  Kemudian diiris tipis-tipis

 Irisan umbi gadung direndam pada air yang mengalir selama 3 hari berturut-turut untuk selanjutnya dikeringkan selama 3 hari sehingga umbi gadung kering.

 Kemudian irisan umbi gadung dihaluskan dan ditambah air dengan  Disaring dengan kain saring untuk

memisahkan ampasnya lalu

diendapkan.

 Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan penambahan air 1:2 (b/v)

 Diaduk, dan kembali diendapkan. Pencucian diulangi ±10 kali

 Setelah itu dilanjutkan dengan pengeringan dengan oven pada suhu

55˚C

Pati Gadung

Umbi Gadung

Analisis : Kadar HCN Kadar Air Kadar Abu Kadar Pati

Kadar Amilosa dan Amilopektin Gula Reduksi


(38)

Proses Pembuatan Maltodekstrin Suspensi Pati Pati Gadung

Ditimbang sebanyak 30 gr,kemudian

ditambahkan air

sebanyak 100 ml

Suspensi pati kemudian diatur pHnya dengan

cara menambahkan

NaOH 1%. pH proses :

P1 = 5

P2 = 6

P3 = 7

Suspensi pati sesuai perlakuan pH

Ditambahkan enzim α -amilase 0,5% dan CaCL2

20 ppm

Suspensi dilikuifikasi, dengan memanaskan pada suhu 85°C

Waktu : W1 = 60 menit

W2 = 90 menit

W3 = 120 menit

Analisis:

Kadar gula pereduksi Dekstrosa ekuivalen Rendemen

Daya larut air Daya serap air Viskositas Maltodekstrin


(39)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014 di Laboratorium Laboratorium Analisa Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian dan Laboratorium Biokimia Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang termasuk dalam varietas gadung putih, kulit umbinya berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih gading tau kuning serta memiliki ukuran umbi dengan panjang 20-25 cm serta lebar 1-12 cm), yang diperoleh dari Lhokseumawe, Aceh. NaOH 1%, enzim amylase (Merk Himedia), Na2HPO4 10 %, KI 30 %, H2SO4 25 %, Na2S2O3 0,1 N,

aquades, NaOH 30%, HCl 30%, karbon aktif, amilum 1%, larutan Luff Schrool. Pisau, kain saring, stoples bening, labu takar 100 ml dan 250 ml (pyrex), pipet tetes, magnetic stirrer, gelas ukur 10ml (pyrex), kertas saring, shaker incubator (vision), autoclave, termometer, tabung reaksi, corong, beker glass 250ml, 500ml, 1000ml (pyrex), pipet volume 10ml dan 50ml, batang pengaduk dan alat titrasi, neraca analitik, erlenmeyer 500 ml dan 250ml (pyrex), pH meter, oven (Gallencamp), hot plate (PMC), gelas arloji, desikator, mafel, alat tulis dan alat dokumentasi.


(40)

Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksprimen dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, yang terdiri dari 9 (sembilan) perlakuan dan 3 (tiga) kali ulangan sehingga diperoleh 27 unit. Perlakuan tersebut terdiri dari

Faktor I : pH pada proses Likuifikasi (P) yang terdiri dari 3 taraf :

P1 = 5

P2 = 6

P3 = 7

Faktor II: Lama proses Likuifikasi (W) yang terdiri dari 3 taraf : W1 = 60 menit

W2 = 90 menit

W3 = 120 menit

Model Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

dimana :

Yijk = Hasil pengamatan faktor A pada taraf ke-i, dan faktor B pada taraf

ke-j dengan ulangan ke-k

μ = Efek nilai tengah atau rataan

αi = Pengaruh dari faktor A pada taraf ke-i βj = Pengaruh dari faktor B pada taraf ke-j

(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B εijk = Pengaruh acak yang menyebarkan normal


(41)

Apabila diperoleh hasil berbeda nyata dan sangat nyata maka uji dilanjutkan dengan uji beda rataan dengan menggunakan uji Anova, program SPSS 20,00.

Pelaksanaan Penelitian

Analisis HCN dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Langkah-langkah penentuan kadar sianida dari umbi gadung adalah, bahan uji yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 10 g. Lalu dimasukkan kedalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 100 ml air suling, direndam selama 2 jam lalu dilakukan destilasi uap. Hasil destilat ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 20 ml larutan NaOH 2,5% telah mencapai 150 ml destilasi dihentikan. Distilat yang diperoleh dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02 N sampai timbul kekeruhan. Penentuan kadar sianida memenuhi perhitungan 1 ml AgNO3 = 1,08 mg HCN, (Anonim, 2014).

Pembuatan Pati dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Proses pembuatan pati umbi gadung dimulai dengan proses pengupasan dan membersihkan umbi, kemudian diiris tipis-tipis. Irisan umbi gadung direndam pada air mengalir selama 3 hari, selanjutnya dikeringkan selama 3 hari dibawah sinar matahari, selanjutnya umbi gadung yang telah kering tersebut dihaluskan dan ditambah air dengan rasio 1:1. Bubur gadung disaring dengan kain saring untuk memisahkan ampasnya lalu diendapkan.

Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan penambahan air 1:2 (b/v), diaduk, dan kembali diendapkan. Pencucian diulangi ±7 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan pengeringan dengan oven pada suhu 55˚C (Risnoyatiningsih, 2011).


(42)

Pembuatan Maltodekstrin dari Umbi Gadung Liar dengan Hidrolisis Enzimatis

Pati umbi gadung ditimbang sesuai dengan kebutuhan proses, kemudian dilarutkan menggunakan aquades dan diatur pHnya sesuai kebutuhan proses menggunakan HCL atau NaOH. Setelah itu baru ditambahkan CaCL2 sebanyak 40

ppm dan enzim alpha amilase sebanyak konsentrasi yang diinginkan. Pengadukan dilakukan pada suhu yang diinginkan dengan kecepatan putar 1080 rpm selama waktu tertentu. Setelah proses pengadukan berakhir maka proses inaktivasi enzim dihentikan dengan menambahkan HCL hingga pH nya mencapai 3,7-3,9. Setelah selang waktu 30 menit, larutan yang diperoleh dinetralkan menggunakan NaOH sampai pH 7. Kemudian larutan tersebut dikeringkan menggunakan oven, setelah kering dihaluskan dengan blender dan dilakukan pengayakan dan hasilnya adalah maltodekstrin yang halus, (Risnoyatiningsih, 2011).

Pengamatan dan Analisis Data

Analisis Proximat Umbi Gadung

Analisa Kadar Asam Sianida (Sudarmadji dkk., 1997)

Ditimbang sebanyak 20 g pati umbi gadung yang telah dihaluskan kemudian ditambahkan 100 ml aquadest dalam erlenmeyer dan didiamkan selama 2 jam. Ditambahkan lagi 100 ml aquadest dan didestilasi dengan uap. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan 20 ml NaOH 2,5%. Setelah didestilasi (ditampung dalam erlenmeyer) mencapai volume 150 ml maka proses destilasi dihentikan. Destilasi kemudian ditambahkan 5 ml KI 5% dan 8 ml


(43)

NH4OH. Campuran destilat tersebut dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02 N

sampai terjadi kekeruhan. Kemudian dihitung kadar asam sianida dengan rumus : HCN =

Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1989)

Ditimbang sampel sebanyak 2 g dalam cawan porselin yang tetah diketahui beratnya. Dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 4 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, didinginkan lagi dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi sehingga didapat berat yang konstan. Dihitung pengurangan berat yang merupakan banyaknya air dalam bahan dengan

% Kadar air = Berat awal – berat akhir x 100 % Berat awal

Kadar Abu (Sudarmadji dkk., 1989)

Ditimbang 2 g sampel dalam krus porselin yang kering dan telah diketahui beratnya. Dipijarkan dalam muffle sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Dimasukkan krus dan abu ke dalam desikator dan ditimbang berat abu setelah dingin.

% Kadar Abu = Berat abu x 100 % Berat contoh

Kadar Pati (SNI 01-2892-1992)

Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam 40 mL HCl 3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250˚C. Kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6, kemudian


(44)

ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20 mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih). Setelah mendidih, kemudian didinginkan dalam es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang telah dingin ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL larutan KI 20% lalu

segera dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandarisasi. Penambahan

indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh.

Kadar pati diukur dengan cara sebagai berikut :

Kadar Pati =

x 100%

Dimana :

G = mg glukosa dari tabel (Vol Na2S2O3 Blanko - Vol Na2S2O3 contoh)

Fp = Faktor pengenceran W = Bobot contoh (mg)

Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1989) dan Amilopektin

Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam waterbath (air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok. Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan,


(45)

kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan sampel diambil untuk dianalisa spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur dengan cara sebagai berikut :

Kadar amilosa (%) =

x 100%

Dimana:

A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) Fp = faktor pengenceran

V = volume awal (ml) W = bobot awal (mg)

Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa sampel.

Analisis Produk Maltodekstrin

1. Penentuan % kadar gula pereduksi metode Luff Schrool (SNI 01- 2891-1992 titrasi iodometri)

Sampel diambil sebanyak 5 g ditimbang dengan neraca analitik dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml serta ditambah air aquades hingga tanda batas. Kemudian disaring dan dipipet 10 ml, filtratnya dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml. Ditambahkan 10 ml Pb asetat 5% kemudian dikocok. Larutan yang didapat dites dengan tetesan larutan Na2HPO4 10 %, bila timbul endapan putih berarti sudah cukup. Selanjutnya ditambahkan air hingga tanda batas, dikocok dan


(46)

dibiarkan sekitar 30 menit dan kemudian disaring. Sebelum terjadi inversi filtrat sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu erlenmeyer 500 ml bertutup asah.

Kemudian ditambahkan 15 ml air, dan 25 ml larutan Luff Schoorll dipanaskan selama 2 menit sampai mendidih dan dididihkan terus selama 10 menit dengan nyala kecil diangkat dan didinginkan cepat. Setelah dingin ditambahkan 5 ml KI 20 % dan 5 ml H2SO4 25 % dengan pelan-pelan. Selanjutnya dititrasi dengan larutan Natrium thiosulfat 0,1 N dan larutan kanji 1 % sebagai indikator titrasi sampai warna biru tua hilang. Dari selisih kedua penitaran dapat dihitung jumlah glukosa fruktosa atau gula invert dengan menggunakan daftar tabel Lehman.

Penentuan pada tabel Lehman (mg kesetaraan).

Kadar gula reduksi =

x

100%

Dimana :

mg kesetaraan = volume blanko – volume sampel ( yang dikorelasikan dengan tabel Luff Schroorl )

fP = faktor pengenceran yaitu bagian dari keseluruhan suatu sampel yang diambil dari labu ukur

fN = faktor normalitas Na2S2O3 (0,1 N )

ml sampel total = volume sampel sebelum dianalisis

Ket : dari 100 ml larutan sampel diambil 10 ml untuk setiap kali titrasi, jadi factor fP adalah 10.


(47)

2. Penentuan DE (Dekstrosa Ekuivalen) (Shi dkk, 2000)

Nilai Dextrose Equivalen diawali dengan mencari nilai Fehling factor dengan cara 2,5g glukosa dilarutkan dengan aquades sampain 1000 ml lalu diambil 15 ml dan ditambahkan larutan Fehling A dan B masing-masing 5 ml. Campuran di didihkan kemudian dititrasi dengan larutan glukosa sampai warna cokelat kemerahan, kebutuhan titran dicatat lalu Fehling factor dihitung dengan cara:

FF =

Setelah itu membuat maltodekstrin 10 gr dalam 200 ml aquades, masukkan kedalam buret. Sedangkan kedalam elemeyer masukkan 50ml aquades, ditambahkan masing-masing 5 ml Fehling A dan Fehling B dan indicator metilen blue 3 tetes. Larutan di didihkan dan dititrasi dengan larutan sirup gula sampai berwarna cokelat kemerahan. Titran yang dibutuhkan dicatat kemudian hitung nilai DE.

DE = FF x

3. Penentuan Rendemen

Rendemen dihitung atas dasar rumus sebagai berikut :

% 100 x a b Rendemen 

Dimana :

a = Berat pati yang digunakan


(48)

4. Penentuan viskositas (Sukardjo, 2002)

Penentuan waktu alir zat pada viskosimeter oswald (t2) dilakukan dengan cara yaitu diambil 10 ml sampel dan dimasukkan kedalam viskosimeter oswald. Sampel diisap dengan bola bulb sampai batas tanda yang terdapat pada alat viskometer. Sampel dibiarkan mengalir kebawah sampai batas tanda yang terdapat pada alat. Dicatat waktu yang diperlukan dengan menggunakan stopwatch. Penentuan massa jenis zat (ρ2) dilakukan dengan cara yaitu diambil 10 ml sampel

kemudian diukur beratnya. Massa jenis adalah hasil pembagian antara berat zat dengan volum zat. Dilakukan penghitungan viskositas dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

η1/η2= ρ1 t1/ρ2 t2

5. Daya Larut Air (SNI 06-1451-1989)

Ditimbang teliti 2 g sampel, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 200 ml. Dibilas botol timbang dengan air aquadest sampai volume kira-kira 150 ml. Kemudian dikocok dan dibiarkan beberapa jam sambil sesekali digoyangkan. Ditambahkan air sampai tanda tera dan dibiarkan sampai 24 jam di dalam oven pada suhu 37oC. Disaring dalam pipet 10 ml filtrate dimasukkan ke dalam krus porselin 50 ml yang diketahui beratnya. Dipanas kan dalam oven selama 3 jam hingga bobot tetap.

Daya Larut dalam Air = ( ) x100% C

B A


(49)

B = Berat akhir C = Berat sampel

6. Daya Serap (SNI 06-1451-1989)

Ditimbang teliti 2 g sampel, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 200 ml. Dibilas botol timbang dengan air aquadest sampai volume kira-kira 150 ml. Kemudian dikocok dan dibiarkan beberapa jam sambil sesekali digoyangkan. Ditambahkan air sampai tanda tera dan dibiarkan sampai 24 jam di dalam oven pada suhu 37oC. Disaring dalam pipet 10 ml filtrate dimasukkan ke dalam krus porselin 50 ml yang diketahui beratnya. Dipanas kan dalam oven selama 3 jam hingga bobot tetap.

Daya Serap = ( ) x100% C

B A


(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pati Gadung

Pati gadung yang dihasilkan dalam penelitian pendahuluan mempunyai rendemen 20,09% terhadap umbi tanpa kulit, dengan komposisi kimia pati gadung seperti pada Tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Karakteristik pati gadung.

Parameter Komposisi (%)

Kadar air 8,3

Kadar abu 0,8

Kadar pati 70,63

 Amilosa 29,76

 Amilopektin 40,87

Gula reduksi 1,02

Keterangan : Analisis dilakukan dengan ulangan 3 kali, hasil rataan

Kadar air pati gadung adalah sebesar 8,3%. Menurut Syafi’i dkk. (2009)

kadar air pati rata-rata gadung berkisar antara 11,26% - 12,34%. Kadar air pati gadung akan semakin turun dengan semakin meningkatnya lama pemanasan. Winarno (2004) mengatakan bahwa semakin lama waktu pemanasan maka molekul-molekul air yang terdapat pada jaringan, membran, ataupun kapiler pada tanaman akan mudah keluar karena dinding jaringan akan mengalami perenggangan atau pengembangan sehingga kekuatan ikatan molekul air akan menurun.

Kadar abu pati gadung pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,8% menunjukkan bahwa tepung gadung telah melalui proses pengolahan yang baik. Kadar abu pati gadung lebih rendah dibandingkan kadar abu maksimum untuk terigu dan tepung beras berdasarkan SNI yaitu berturut-turut sebesar 0,70% dan 1%. Menurut Suismono (1998) penurunan kadar abu pati gadung disebabkan oleh beberapa perlakuan selama pengolahan seperti pencucian, pemerasan atau


(51)

pengepresan akan menyebabkan mineral keluar bersama dengan air. Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Kadar abu merupakan ukuran umum kualitas dan berguna bagi identifikasi bahan makanan. Bila diperoleh nilai abu yang lebih besar maka di dalam bahan makanan tersebut terkandung zat pengotor asing yang tinggi pula (Triyono, 2007).

Pati merupakan unsur dengan jumlah terbesar yang terkandung dalam tepung gadung. Pada hasil penelitian sebelumnya (Triyono, 2007) menunjukkan rendemen pati ubi kayu berkisar antara 46,66 – 59,92%. Rendemen pati gadung ditentukan dari pati gadung dengan kadar air 8,3% diperoleh hasilnya sekitar 70,63%.

Kadar HCN pada pati gadung didapatkan sebesar 14,95ppm. Hal ini dapat tolerir karena pada penelitian yang dilakukan oleh Harijono, dkk (2008) didapatkan kadar HCNnya yaitu 60,88ppm. Pati gadung telah mengalami beberapa tahapan proses berupa pemanasan, pencucian dan pembilasan kembali serta pengeringan pada saat pengolahan gadung menjadi pati gadung. Proses pengeringan juga mampu menurunkan kandungan HCN dalam pati gadung. Menurut Suryani dan Wesniati (2000) saat dikeringkan sianida yang terkandung dalam bahan akan menguap sehingga kadar sianida pada pati pun menurun.

Gula Reduksi yang terkandung pada pati gadung hasil penelitian adalah sebesar 1,02%. Mengindikasikan bahwa gula reduksi pati gadung cukup rendah dibanding umbi lainnya.


(52)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pH yang berbeda serta

waktu yang berbeda pada saat likuifikasi pati gadung menggunakan enzim α -amilase yang hasilnya adalah maltodekstrin ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P< 0,05) terhadap parameter yang diamati yaitu : Dextrosa equivalent, gula reduksi, viskositas, rendemen, daya serap dan daya larut.

Rendemen (%)

Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Rendemen

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan pH dan waktu memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap rendemen yang dihasilkan, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Rendemen Maltodekstrin pada pH dan Waktu yang Berbeda

pH Waktu (menit) Rendemen

pH 5 (P1)

(W1) 60 85,45d

(W2) 90 80,57e

(W3) 120 87,1c

pH 6 (P2)

(W1) 60 92,12b

(W2) 90 95,48a

(W3) 120 95,16a

pH 7 (P3)

(W1) 60 70,80g

(W2) 90 71,49f

(W3) 120 68,68h

Dari tabel 5. Dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan pH 6 dengan waktu likuifikasi 90 menit yaitu sebesar 95,48% Rendemen terendah terdapat pada pH 7 dengan waktu likuifikasi 60 menit yaitu sebesar 70,80%. Rendemen adalah persentase produk yang didapatkan dari perbandingan berat awal bahan dengan berat akhirnya. Sehingga diketahui kehilangan beratnya ketika mengalami proses pengolahan.


(53)

Gambar 4. Hubungan antara pH proses enzimatis dan waktu terhadap Rendemen maltodekstrin

Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai rendemen yang dihasilkan beberapa faktornya adalah susut bobot pada saat proses likuifikasi, pengeringan, penggilingan dan pengayakan ( Triyono, 2007). Pada pH 6 dan waktu likuifikasi 120 menit juga didapatkan nilai rendemen yang relatif baik, hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kerja enzim yang optimum cenderung terjadi pada waktu proses 90 menit dan 120 menit dengan pH 6.

pH yang optimal dan stabil meningkatkan efektifitas enzim mengubah pati menjadi glukosa, sehingga diperoleh rendemen sirup glukosa lebih banyak. pH yang tidak tepat akan memperlambat atau menghambat kerja enzim, sehingga enzim tidak dapat mengubah pati menjadi sirup glukosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bastian (2012), tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali.

d

e

c

b a a

g f

h 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

60 menit 90 menit 120 menit

pH 5 pH 6 pH 7 R endem en


(54)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Anita (2009) nilai rendemen maltodekstrin pada pH 6 paling optimum sebesar 77,49% sedangkan pada pH 7 paling optimum sebesar 76,80%. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH 6 lebih optimum dari pada pH 7 untuk mendapatkan nilai rendemen yang lebih tinggi.

Gula Reduksi

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 4) dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan pH dan waktu memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap gula reduksi yang dihasilkan, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Gula Reduksi Maltodekstrin pada pH dan Waktu yang Berbeda

pH Waktu (menit) Gula Reduksi

pH 5 (P1)

(W1) 60 2,613c

(W2) 90 3,500a

(W3) 120 2,376d

pH 6 (P2)

(W1) 60 2,866b

(W2) 90 3,333a

(W3) 120 3,333a

pH 7 (P3)

(W1) 60 1,613e

(W2) 90 2,613c

(W3) 120 1,613e

Nilai gula reduksi yang tertinggi terdapat pada pH 5 dengan waktu likuifikasi 90 menit yaitu 3,5% dan yang terendah terdapat pada pH 7 dengan waktu likuifikasi120 menit yaitu 1,6%.


(55)

Gambar 5. Hubungan antara pH proses enzimatis dan waktu terhadap Gula Reduksi maltodekstrin

Data awal pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar gula reduksi pati gadung adalah sekitar 1,02%. Secara kuantitatif lebih rendah dari nilai gula reduksi yang didapat setelah dilakukan hidrolisis dengan penambahan enzim. Hal ini disebabkan oleh granula pati gadung akan terhidrolisa secara sempurna saat hidrolisis berlangsung, jika suhu medium substrat melewati suhu 84ºC (suhu maksimum gelatinisasi pati gadung) maka seluruh bagian granula pati akan tergelatinisasi secara keseluruhan (Parwiyanti, et al., 2011).

Kadar gula reduksi meningkat pada menit 90 dan menit ke 120, diduga

bahwa penggunaan enzim α- amilase dapat menghidrolisa substrat pati secara sempurna pada pH 6 sehingga saat gelatinisasi terjadi menghasilkan amilosa dan amilopektin dengan rantai yang lebih pendek. Suhu gelatinisasi pati gadung berkisar antara 70ºC sampai dengan 84ºC (Satyatama, 2005). Hal ini juga disebabkan semakin lama waktu hidrolisa maka kesempatan enzim untuk menghidrolisa pati semakin besar.

c

a

d b

a a

e

c

e

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0

60 menit 90 menit 120 menit

pH 5 pH 6 pH 7


(56)

Enzim α- amilase ini umumnya stabil pada pH 5 – 7, enzim ini memiliki pH optimum tertentu yaitu pH dmana enzim mempunyai aktivitas maksimum. pH optimum pada tahap gelatinisasi dan liquifikasi menggunakan enzim α- amilase adalah 5,3 – 6,5 ( Chaplin, 2004). Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh waktu yang digunakan, aktivitas enzim meningkat 50 – 100% setiap kenaikan suhu 10ºC dan laju reaksi akan lebih besar pada penggunaan dosis enzim lebih tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa gula reduksi akan naik pada saat proses hidrolisis dilakukan pada pH dan waktu proses yang sesuai dengan keadaan yang

dibutuhkan oleh enzim α- amilase.

Gula reduksi erat kaitannya dengan viskositas maltodekstrin, pada penelitian ini hubungan tersebut dapat dilihat bahwa pada perlakuan yang sama didapatkan nilai gula reduksi yang tinggi begitu pula dengan nilai viskositas. Hal ini menggambarkan bahwa gula reduksi bernilai tinggi pada saat viskoitas pun tinggi.

Larutan pati sebelum dipanaskan bernilai 0, dengan adanya pemanasan granula pati sedikit demi sedkit mengalami pembengkakan sampai titik tertentu. Semakin lama waktu yang diberikan maka granula akan membengkak dan pecah. Proses pembengkakan menyebabkan viskositas meningkat. Hubungannya dengan gula reduksi adalah semakin tinggi gula reduksi maltodekstrin maka semakin tinggi pula nilai viskositasnya (Februadi, 2011).


(57)

Dextrosa Ekuivalent

Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Dekstrosa Equivalen

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan pH dan waktu memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P< 0,01) terhadap DE yang dihasilkan, dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai DE Maltodekstrin pada pH dan Waktu yang Berbeda

pH Waktu (menit) DE

pH 5 (P1)

(W1) 60 2,22d

(W2) 90 2,77c

(W3) 120 1,80f

pH 6 (P2)

(W1) 60 4,86b

(W2) 90 4,95a

(W3) 120 4,97a

pH 7 (P3)

(W1) 60 1,60h

(W2) 90 1,90e

(W3) 120 1,70g

Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa perlakuan pada pH 6 dengan waktu likuifikasi 120 menit dan pH 6 dengan waktu likuifikasi 60 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata antara keduanya namun memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua perlakuan lainnya. Nilai DE tertinggi ada pada perlakuan pH 6 dengan waktu likuifikasi 120 menit yaitu sebesar 4,976% dan yang terendah yaitu pada perlakuan pH 7 dengan waktu likuifikasi 60 menit yaitu sebesar 1,600.

DE adalah besaran yang menyatakan persentase gula pereduksi, dinyatakan sebagai dekstrose yang terdapat dalam produk hidrolisis karbohidrat ( pati ). DE adalah besaran yang menyatakan persentase gula pereduksi, dinyatakan sebagai dekstrose yang terdapat dalam produk hidrolisis karbohidrat ( pati ). Interaksi pH dengan waktu likuifikasi dapat dilihat pada Gambar 6.


(58)

Gambar 6. Interaksi antara pH Proses Enzimatis dan Waktu Terhadap DE Maltodekstrin

Dari Gambar 6, Nilai DE dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya waktu dekstrinasi dan pH larutan pati. Semakin lama waktu dekstrinasi maka semakin besar pula harga DE maltodekstrin yang dihasilkan (Anonim, 2006), pengaruh ini dapat kita lihat pada pH 6 dengan waktu likuifikasi 120 menit yang memberikan nilai DE tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu reaksi yang terjadai semakin tinggi nilai DE yang didapat.

Hasil penelitian sebelumnya oleh Chafid et al (2010) didapatkan nilai DE 4,69 pada waktu likuifikasi selama 60 menit, namun saat waktu likuifikasi ditingkatkan menjadi 120 menit nilai DE pun meningkat sebesar 10,23. Nilai DE pada penelitian ini berkisar 2-5. Menurut Subekti ( 2008) DE maltodekstrin berkisar antara 2 – 5 aplikasi penggunaanya cocok untuk pengganti lemak susu didalam makanan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan es krim.

Secara komersil penggunaan maltodekstrin dipengaruhi oleh harga DE. Semakin besar harga DE semakin besar pula persentase dekstrin yang berubah menjadi gula pereduksi. Enzim hanya akan mampu bekerja dengan baik pada

d

c

f

a a

g e g 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

60 menit 90 menit 120 menit

pH 5 pH 6 pH 7 Dekstr osa equival en


(59)

waktu dan Ph optimum, namun pada subtrat yang berbeda, enzim memiliki pH optimum yang berbeda ( Tranggono dan Sutardi, 1990).

Derajat keasaman pH berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Aktivitas

enzim α-amilase meningkat dari pH 5 dan aktif dengan optimal sampai dengan pH 6,0 (Sebayang, 2005). Ketika hidrolisis dilakukan pada suhu, jenis enzim, dosis enzim dan pH yang sama pada berbagai konsentrasi pati, laju pembentukan produk relatif tetap. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah penggunaan waktu serta suhu yang tepat. Suhu yang terlampau tinggi mengakibatkan terjadinya kerusakan enzim, tetapi apabila suhu terlalu rendah pun proses gelatinisasi belum terjadi secara sempurna ( Muchtadi, dkk., 1992 ).

Adanya kecenderungan terhadap nilai DE terjadi peningkatan dengan semakin lama reaksi yang terjadi hingga waktu tertentu dan selanjutnya tidak terjadi kenaikan nilai DE lebih lanjut disebabkan oleh karena substrat pati sudah terhidrolisis secara sempurna oleh enzim α-amilase thermamyl (substrat sudah habis) atau dengan kata lain waktu optimum enzim telah terlewati (Husniati, 2009).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Chafid (2010) diperoleh bahwa waktu terbaik peningkatan nilai DE adalah selama 90 menit. Proses liquifikasi 120 menit ternyata terjadi penurunan nilai DE, hal ini disebabkan oleh karena di 120 menit proses likuifikasi masih berjalan tetapi sangat lambat sehingga kenaikan DE pun tidak terlalu signifikan. (Udin Z.L., 2001).

Hal ini juga berkaitan dengan spesifitas enzim α-amilase dalam

menghidrolisa substrat pati gadung. Enzim α-amilase merupakan endoenzim yang


(1)

Lampiran 4. Gula Reduksi

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 201.610a 9 22.401 2302.357 .000 .999

PH 7.251 2 3.625 372.603 .000 .976

LIKUIFIKASI 3.367 2 1.683 173.005 .000 .951

PH * LIKUIFIKASI 1.173 4 .293 30.142 .000 .870

Error .175 18 .010

Total 201.785 27

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 201.610a 9 22.401 2302.357 .000 .999

INTERAKSI 201.610 9 22.401 2302.357 .000 .999

Error .175 18 .010

Total 201.785 27

a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,999)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3 4 5

P3W1 3 1.61333

P3W3 3 1.61333

P1W3 3 2.37667

P1W1 3 2.61333

P3W2 3 2.61333

P2W1 3 2.86667

P2W2 3 3.33333

P2W3 3 3.33333

P1W2 3 3.50000

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 .064

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,010. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.


(2)

Lampiran 5. Dextrosa Equivalent

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 292.418a 9 32.491 89515.612 .000 1.000

PH 53.174 2 26.587 73249.510 .000 1.000

LIKUIFIKASI .647 2 .324 891.500 .000 .990

PH * LIKUIFIKASI .729 4 .182 502.388 .000 .991

Error .007 18 .000

Total 292.424 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 292.418a 9 32.491 89515.612 .000 1.000

INTERAKSI 292.418 9 32.491 89515.612 .000 1.000

Error .007 18 .000

Total 292.424 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3 4 5 6 7 8

P3W1 3 1.60000

P3W3 3 1.70000

P1W3 3 1.80000

P3W2 3 1.90000

P1W1 3 2.22000

P1W2 3 2.70000

P2W1 3 4.86667

P2W2 3 4.95000

P2W3 3 4.97667

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 .104 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.


(3)

Lampiran 6. Viskositas

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 10620.010a 9 1180.001 1200.001 .000 .998

PH 213.476 2 106.738 108.547 .000 .923

LIKUIFIKASI 16.447 2 8.224 8.363 .003 .482

PH * LIKUIFIKASI 13.846 4 3.461 3.520 .027 .439

Error 17.700 18 .983

Total 10637.710 27

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,998)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 10620.010a 9 1180.001 1200.001 .000 .998

INTERAKSI 10620.010 9 1180.001 1200.001 .000 .998

Error 17.700 18 .983

Total 10637.710 27

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,998)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3

P3W1 3 16.53333

P3W3 3 17.50000

P2W1 3 17.63333

P3W2 3 17.70000

P2W2 3 18.20000

P2W3 3 18.20000

P1W1 3 22.06667

P1W3 3 22.60000

P1W2 3 26.00000

Sig. .083 .518 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,983. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.


(4)

Lampiran 7. Daya Serap

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 74802.972a 9 8311.441 43890.730 .000 1.000

PH 1462.414 2 731.207 3861.329 .000 .998

LIKUIFIKASI 189.587 2 94.794 500.582 .000 .982

PH * LIKUIFIKASI 462.939 4 115.735 611.168 .000 .993

Error 3.409 18 .189

Total 74806.380 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 74802.972a 9 8311.441 43890.730 .000 1.000

INTERAKSI 74802.972 9 8311.441 43890.730 .000 1.000

Error 3.409 18 .189

Total 74806.380 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3 4 5 6

P1W3 3 40.77667

P3W3 3 40.96000

P3W2 3 42.86000

P1W2 3 48.27333

P3W1 3 50.76000

P1W1 3 57.19667

P2W1 3 57.71333

P2W2 3 63.94667

P2W3 3 64.48667

Sig. .612 1.000 1.000 1.000 .163 .146

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,189. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.


(5)

Lampiran 8. Daya Larut

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 176777.908a 9 19641.990 67918.360 .000 1.000

PH 423.470 2 211.735 732.140 .000 .988

LIKUIFIKASI 47.897 2 23.949 82.810 .000 .902

PH * LIKUIFIKASI 25.181 4 6.295 21.768 .000 .829

Error 5.206 18 .289

Total 176783.114 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Model 176777.908a 9 19641.990 67918.360 .000 1.000 INTERAKSI 176777.909 9 19641.990 67918.360 .000 1.000

Error 5.206 18 .289

Total 176783.114 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3 4 5 6

P3W3 3 75.10333

P3W1 3 75.14333

P1W1 3 77.57667

P3W2 3 77.82000

P1W3 3 81.85333

P1W2 3 82.56000

P2W3 3 84.27333

P2W1 3 85.48667

P2W2 3 87.40000

Sig. .928 .586 .125 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,289. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.


(6)

Lampiran 3. Rendemen

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Model 188645.574a 9 20960.619 309069.260 .000 1.000

PH 2602.930 2 1301.465 19190.406 .000 1.000

LUKUIFIKASI 6.270 2 3.135 46.224 .000 .837

PH * LUKUIFIKASI 96.449 4 24.112 355.542 .000 .988

Error 1.221 18 .068

Total 188646.795 27

a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)

HASIL

Duncana,b

INTERAKSI N Subset

1 2 3 4 5 6 7 8

P3W3 3 68.68000

P3W1 3 70.80333

P3W2 3 71.49667

P1W2 3 80.57333

P1W1 3 85.45000

P1W3 3 87.10000

P2W1 3 92.1200

0

P2W3 3 95.16667

P2W2 3 95.48333

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 .154

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,068. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = .05.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL Source Type I Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Model 188645.574a 9 20960.619 309069.260 .000 1.000 INTERAKSI 188645.574 9 20960.619 309069.260 .000 1.000

Error 1.221 18 .068