Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennts) Secara Enzimatis Pada Pembuatan Sirup Glukosa

  

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

  Tanaman berumbi adalah salah satu kekayaan nabati di alam kita, diantaranya adalah gadung. Gadung merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang tergolong dalam famili Dioscoreaceae. Tanaman gadung berasal dari India bagian barat, kemudian menyebar luas ke Asia Tenggara (Ndaru, 2011).

  Taksonomi umbi gadung sebagai berikut (Anonim, 2014). Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Dioscoreales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea Spesies : Dioscore hispida Dennts

  Gambar 1. Gadung (Anonim, 2013) Jenis umbi ini di Indonesia dikenal dengan beberapa nama daerah yaitu gadung, sekapa, ubi hutan, bitule, bati, kasimun, janeng dan lain-lainnya.

  Tanaman Gadung merupakan perdu yang tumbuh menjalar, tingginya dapat mencapai 5-10 m. Batangnya bulat, berbentuk galah, berbulu, dan berduri yang tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah. Dapat dibedakan dari jenis-jenis Dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk (Kasno dkk., 2002).

  Berdasarkan warna daging umbinya, gadung dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu gadung putih dan kuning. Gadung kuning umumnya lebih besar dan padat umbinya bila dibandingkan gadung putih. Umbi gadung merupakan salah satu jenis tanamanan umbi-umbian yang tumbuh liar dihutan, pekarangan maupun perkebunan. Pada umumnya umbi gadung dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, namun karena tanaman ini mengandung racun seperti dioscorin dan HCN maka gadung masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat (Rosmeri dan Monica, 2013).

  Gadung adalah umbi jenis yang dapat tumbuh baik pada disemua tempat yang mempunyai suhu tropis. Berat umbi antara 5-10 kg/umbi, dapat mencapai 60 kg. Gadung dipanen usia 6-12 bulan, ditandai pertumbuhan daun berkurang, warna daun mulai menguning, dan banyak daun rontok (Kasno dkk., 2002).

  Komposisi Kimia Umbi Gadung

  Indonesia merupakan daerah tropis, sehingga banyak tumbuh tanaman berumbi yang merupakan sumber karbohidrat (pati). Umbi-umbian dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat dan merupakan komoditi yang mempunyai prospek yang sangat baik, salah satunya umbi jenis Dioscorea (Oesman dkk., 2009). Komposisi zat gizi umbi gadung dapat dilihat pada Tabel 2.

  Tabel 2. Komposisi Zat Gizi Umbi Gadung

  Zat Gizi Jumlah / 100 g Energi (kkal) Air

  100 74,4

  Karbohidrat 23,5 Lemak 0,3 Protein 0,9 Serat 2,1 Kadar abu 0,9 Kalsium

  79 Fosfor

  66 Besi 0,9

  Tiamin 0,23 Vitamin C 1,9

  Sumber : Tabel komposisi pangan Indonesia, 2008

  Dari tabel dapat diketahui bahwa karbohidrat memiliki kandungan 23,5 g, lemak 0,3 g, protein 0,9 g, serat 2,1 g dan beberapa kandungan lainnya.

  Sedangkan menuurut Chung dkkl., (2008) umbi gadung memiliki kandungan karbohidrat sekitar 18% (bb), pati (75-84 bk), protein, lipid, sebagian besar vitamin, dan kaya dengan mineral. Melihat komposisi kimianya, gadung layak untuk dimanfaatkan menjadi berbagai produk olahan sebagaimana jenis umbi lainnya. Akan tetapi, keterbatasan pemanfaatan gadung adalah kandungan racun yang berupa sianida. Umbi gadung mengandung asam sianida (HCN) yang sangat tinggi, yaitu 36,49 mg/kg berat umbi, sehingga diperlukan beberapa proses untuk menghilangkan racunnya (Ekowati, 2007).

  Salah satu alternatif pengolahan umbi gadung adalah mengolahnya menjadi tepung atau pati sehingga kadar sianida aman dikonsumsi. Hal ini karena adanya kandungan racun dalam gadung yang disebut dioscorine (Ahmad dkk.,

  2012). Racun ini bila terkonsumsi dalam kadar rendah dapat menyebabkan pusing (Rukmana, 2001). Tubuh manusia dapat menerima HCN jika mengkonsumsi dalam batas yang dianjurkan. FAO dalam Harijono dkk., (2009) menyatakan untuk umbi-umbian dengan kadar maksimal 50mg/kg. Tepung umbi gadung memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tepung dari umbi-umbi lainnya, yaitu memiliki kandungan amilosa yang tinggi dan teksturnya yang lembut (Guranatne dan Hoover, 2002).

  Prinsip dasar metode detoksifikasi sianida pada umbi gadung adalah menghambat terjadinya reaksi antara subtrat linamarin dan metillinamarin dengan enzim linamarase. Perendaman irisan umbi dalam larutan 8 persen selama tiga hari mampu mengurangi racun sianida dengan residu yang terbentuk relatif rendah yaitu 7,32 ppm. Pemanasan irisan umbi gadung setebal 2 mm dalam air mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida bila dibandingkan dengan metode perendaman dalam garam, yakni 4,12 ppm. Penurunan kadar sianida dalam umbi gadung itu terjadi karena pemanasan dalam air mendidih selama 30 menit bisa mengakibatkan enzim linamarase dan glukosidase tidak aktif dan pembentukan asam sianida pun menjadi terputus (Pambayun dkk., 2000).

  Gadung digunakan sebagai obat nyeri haid dan obat rematik. Gadung mengandung alkaloid, saponin, flavonoid dan tannin (Riset dan Teknologi Indonesia, 2002). Menurut Sautour dkk (2007) sebagian besar spesies yam mengandung saponin steroidal (± 2%) dan sapogenin seperti diosgenin yang merupakan bahan industri untuk sintesis berbagai jenis steroid. Steroid digunakan sebagai anti peradangan, andorgenik, estrogenik, dan kontraseptif. Steroid dari yam juga bersifat sitotoksik. Famili dioscorea juga mengandung senyawa bioaktif dioscorin yang merupakan protein yang berfungsi sebagai antioksidan (Shewry, 2003) dan antihipertensi (Myoda dkk., 2006).

  Pati

  Pati merupakan gabungan dari ratusan bahkan ribuan molekul glukosa yang terangkai menjadi satu membentuk suatu rantai panjang yang bercabang maupun tidak bercabang. Manusia memanfaatkan pati dengan cara menghidrolisinya menjadi polisakarida dan maltosa yang kemudian dapat digunakan sebagai sumber energi (Richana dan Suarni, 2011). Sumber karbohidrat yang diperlukan oleh tubuh banyak terdapat dari berbagai makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Pati dari sumber yang berbeda mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang berbeda yang akan menentukan kesesuaian penggunaannya bila diolah menjadi produk (Chaplin, 2004).

  Pati tersusun dari dua makromolekul polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin, yang keduanya tersimpan dalam bentuk butiran yang disebut granula pati. Amilosa tersusun dari molekul- molekul glukosa yang terikat glikosidik α-1,4 yang membentuk struktur linier, dimana ujung rantai yang satu bersifat pereduksi dan ujung yang lain bersifat non pereduksi. Amilopektin disamping disusun oleh struktur utama linier juga memiliki struktur bercabang, dimana percabangannya diikat dengan ikatan glikosisik α-1,6. Amilopektin memiliki struktur molekul yang lebih besar dibanding amilosa dan umumnya kandungannya di dalam granula pati lebih banyak dibandingkan amilosa (Benion, 1989).

  Kandungannya amilosa dan amilopektin dan struktur granula pati berbeda- beda pada berbagai jenis sumber pati menyebabkan perbedaan sifat fungsional pati seperti kemampuan membentuk gel dan kekentalannya (Whistler dkk, 1984). Perbedaan amilosa dengan amilopektin yaitu amilosa memberikan sifat keras, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat amilopektin tidak bereaksi (Hawab, 2004).

  Amilosa dan amilopektin dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya ke dalam air panas dibawah suhu gelatinisasi pati. Fraksi terlarut air panas adalah amilosa dan fraksi yang tidak terlarut adalah amilopektin (Muchtadi dkk., 1992). Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda antar pati, tetapi untuk pati yang normal terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Semakin banyak kandungan amilopektin maka pati tersebut akan mudah larut dalam air. Dengan demikian akan mudah untuk memutus polisakarida tersebut menjadi glukosa (Bailey, 1986).

  Kandungan pati di dalam bahan cukup penting, sehingga semakin tinggi kandungan pati semakin dikehendaki konsumen. Kandungan pati didalam bahan bakunya akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan lama penyimpanan setelah panen. Oleh karena itu pada pembuatan tepung umbi dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka umbi hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan (Antarlina dan Utomo, 1999). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, dan tidak berbau (Brautlecht, 1953).

  Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan non pangan, seperti pada industri kertas, lem, tekstil, permen, glukosa, dekstrosa, sirup fruktosa, dan lain-lain. Pada industri makanan, pati digunakan sebagai binding dan

  thickening agent . Oleh karena itu, karakteristik pati seperti swelling power,

solubility, freze-thaw stability, paste clarity, dan gel strength berperan penting untuk menghasilkan produk makanan berbasis pati yang berkualitas (Koswara, 2006).

  Hidrolisis Pati

  Reaksi hidrolisis berlangsung lambat, untuk mempercepatnya dapat digunakan katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi tetapi tidak ikut bereaksi pada prosesnya secara keseluruhan. Pada hidrolisa pati, katalisator yang dapat dipakai adalah HCl, H SO dan enzim (Sadikin, 2002).

  2

  4 Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi

  bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa. Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: enzim, ukuran partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan (Purba, 2009). Menurut Junk dan Pancoast (1973), hidrolisa pati dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

  Hidrolisa Asam Hidrolisa asam juga dapat dikenal hidrolisa secara non enzimatik.

  Hidrolisa ini menggunakan asam sebagai katalisnya, biasanya yang di pakai adalah asam kuat, misalnya HCl. Pada hidrolisa pati dengan asam, diperlukan suhu tinggi yaitu 140°C - 160°C. Pada pembuatan glukosa, hidrolisa asam menghasilkan konversi yang cukup rendah jika dibandingkan dengan hidrolisa enzim. Hidrolisa secara asam lebih mudah dilakukan, lebih murah biayanya namun memiliki kekurangan dibanding reaksi enzimatis. Di samping itu metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain diperlukan peralatan- peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena kuatalis asam menghidrolisa secara acak. Kelemahan hidrolisa asam juga dapat menyebabkan terjadinya degradasi karbohidrat yang dapat mempengaruhi warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis (Said, 1987).

  Hidrolisa Asam dan Enzim

  Menurut Junk dan Pancoast (1973), kombinasi asam dan enzim dalam hidrolisa terdiri dari dua tahap yaitu : tahap hidrolisa dengan asam mineral dan tahap hid rolisa dengan enzim. Enzim yang biasa digunakan adalah α-amilase, β- amilase, dan glukoamilase.

  Hidrolisa Enzim

  Sejak lama peneliti berusaha mengantikan hidrolisa system asam dengan system enzim. Karena hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara asam dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutuskan rantai secara acak sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutuskan rantai polimer pati secara spesifik pada percabangan tertentu (Norman, 1981).

Hidrolisa enzim dilakukan menggunakan bantuan enzim α-amilase dan enzim glukoamilase (amiloglukosidase). Enzim α-amilase digunakan pada proses

  likuifikasi, sedangkan glukoamilase digunakan pada proses sakarifikasi. Hidrolisa enzim lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan dengan hidrolisa asam. Hidrolisa enzim menghasilkan konversi yang lebih besar jika dibandingkan dengan hidrolisa asam. Hidrolisa enzim juga dapat mencegah adanya reaksi efek samping karena sifat katalis enzim sangat spesifik, sehingga dapat mempertahankan flavor dan aroma bahan dasar (Winarno, 1986). Pada Tabel 3, dapat dilihat enzim-enzim yang banyak digunakan di dalam industri pengolahan pati (Hidrolisis).

  Tabel 3. Enzim-Enzim yang Banyak Digunakan di dalam Industri Pengolahan Pati (Hidrolisis)

  Niger Rhisopus Delemar

  20

  sampai 10

  

12

  Menurut Winarno dan Fardiaz (1984), dengan adanya katalisator enzim suatu reaksi dapat dipercepat kira-kira 10

  Sumber: Tjokroadikoesomo, 1986 Enzim Amilase

  Hidrolisis pati menjadi maltodekstrin (siklomaltodekstrin)

  α-1,6 menghasilkan sirup maltosa Siklomaltodekstrin Glukanotransferase

  α-1,6 menghasilkan sirup maltosa Isoamilase

  Aerogenes

  Suhu 60˚C, pH 4-5 Pullulanase Aerobacter

  α-1,4 dan α-1,6 menghasilkan sirup dekstrosa

  β-amilase α-1,4 menghasilkan β- maltosa Glukoamilase Aspergillus

  Jenis Enim Diisolasi dari Mikroba

  55˚C, pH 5-7

  α-1,4 menghasilkan sirup maltosa Suhu 50-

  Aspergillus Orizae

  110˚C, pH 6-6,5 pada 30- 40% bahan kering

  α-1,4 menghasilkan sirup glukosa Suhu 105-

  B. Licheniformis

  87˚C pada 30-35% bahan kering, pH 5-7

  α-1,4 menghasilkan sirup glukosa Suhu 85-

  Bacillus Substilis

  α-amilase

  Fungsi Memotong Ikatan Kondisi-Kondisi Operasi Optimum

  kali jika dibandingkan dengan reaksi tanpa katalisator. Sebagaian besar reaksi kimia dalam sel-sel hidup akan terjadi dengan sangat lambat jika tidak katalis oleh enzim (Martin dkk., 1983). Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2) bekerja pada pH yang relative netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan selektif terhadap subtrat tertentu. Enzim telah banyak digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi dan industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya amilase, glukosa-isomerase, papain, dan bromelin, sedangkan dalam bidang kesehatan contohnya amilase, lipase, dan protease. Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (Azmi, 2006).

  Berdasarkan reaksi yang dikatalisisnya, enzim diklasifikasikan menjadi enam kelas utama yaitu oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase dan ligase. Amilase merupakan kelompok enzim hidrolase yaitu enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat dengan bantuan molekul air (Montgomery dkk., 1993).

  Amilase (α, β dan glukoamilase) merupakan enzim yang dapat mengubah pati menjadi gula. Amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan enzim.

  Pertama adalah α-amilase yang memecah ikatan dibagian dalam substrat sehingga disebut juga endoamilase yang biasa digunakan dalam tahap likuifikasi untuk memproduksi larutan dekstrin. Kedua, β-amilase yang menghidrolisis unit paling ujung dari substrat dan biasa digunakan untuk produksi high maltose syrup.

  Ketiga, glukoamilase yang menghidrolis dekstrin lebih lanjut menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi (Wong, 1995 dalam Sulistyo 2006).

  Penggunaan α-amilase yang diperoleh dari mikroba umumnya stabil pada pH 5,5-8,0 dan suhu optimumnya bervariasi bergantung pada sumber enzim tersebut. Penggunaan α-amilase dalam proses hidrolisa pati sering disebut likuifikasi, karena adanya penurunan viskositas dengan cepat, dan kecepatannya dapat bervariasi untuk berbagai substrat (Risnoyatiningsih, 2011).

  Enzim β-amilase (β-1,4 glukan maltohidrolase) dapat diisolasi dari kecambah barley, dan kacang kedelai. Enzim β-amilase memecah ikatan glukosida β-1,4 pada pati dan glikogen dengan membalikkan konfigurasi karbon anomeri (C1) glukosa dari α menjadi β, maka disebut β-amilase (Winarno 1995). Cara hidrolisis ikatan α-1,4 oleh β-amilase terjadi dengan memotong 2 unit glukosa dan secara bertahap pemotongan dari ujung rantai gula yang bukan pereduksi, disebut eksiamilase. Enzim β-amilase aktif pada pH 5-6 (Tjokrodiakusoemo, 1986).

  Enzim glukoamilase diproduksi dari Aspergillus dan Rhizopus. Tergantung pada organism asalnya, enzim-enzim tersebut memiliki sifat-sifat kimia enzim yang berbeda-beda, namun pada kondisi yang tepat semua enzim tersebut dapat menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian tidak mereduksi dari molekul tersebut, memecah ikatan α-1,4 dan α-1,6. Enzim glukoamilase memecah pati dari luar dengan mengeluarkan unit-unit glukosa dari ujung bukan pereduksi polimer pati. Hasil reaksinya hanya glukosa, sehingga dapat dibedakan dengan α-amilase dan β-amilase. Enzim tersebut dapat menghidrolisi pati sampai mencapai DE 95-98 (dextrosa ekuivalen yaitu kenaikan derajat konversi) dan dengan dextrosa 93-95% (Tjokroadikoesomo, 1986). Pengaruh enzim glukoamilase posisi glukosa α dapat diubah menjadi β dengan pH optimalnya 4-5 dan suhu optimalnya 50-60°C (Winarno,1995).

  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hidrolisa Pati menjadi Glukosa

  Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisa pati menjadi glukosa adalah suhu, waktu, pH, kadar suspensi, dan jumlah penambahan enzim. Pada umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimi. Tetapi perlu di ingat bahwa semakin tinggi suhu reaksi, inaktivasi enzim juga semakin meningkat. Suhu mempengaruhi aktivitas dan stabilitas operasi, makin besar aktivitas enzim, akan menurunkan stabilitasnya. Sebaliknya suhu yang makin rendah dapat meningkatkan stabilitas, namun produktifitasnya dan aktivitas enzim menurun.

Hidrolisa dengan enzim glukoimailase hanya dapat dilakukan pada suhu 60˚C (Tjokrodiakusoemo, 1986)

  Semakin lama waktu reaksi, maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin besar. Lamanya waktu reaksi juga dipengaruhi atau tergantung oleh banyaknya substrat yang di hidrolisa dan jumlah enzim yang ditambahkan (Soesanto, 1983).

  Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Derajat keasaman optimal yang ditunjukan oleh enzim tertentu tidak selalu konstan. Masih ada berbagai faktor lain yang memberikan pengaruh atas aktivitas enzim tersebut (Risnoyatiningsih, 2011).

  Pada kadar suspensi tinggi mengakibatkan kekentalan campuran semakin meningkat, sehingga jumlah kandungan partikel pati tidak larut semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan proses hidrolisa tidak dapat berjalan dengan baik atau sempurna. Semakin banyak kadar suspensi pati yang dihidrolisa, maka waktu proses yang diperlukan untuk menghidrolisa pati tersebut akan semakin lama. Jumlah enzim yang dibutuhkan juga semakin banyak. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi subtrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1997). Hal ini disebabkan semua molekul enzim telah membentuk ikatan kompleks dengan substrat yang selanjutnya dengan kenaikan konsentrasi substrat tidak berpengaruh terhadap kecepatan reaksinya (Tranggono dan Sutardi, 1990).

  Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan menghasilkan kadar glukosa yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga semakin mempercepat reaksi hidrolisa, untuk enzim α- amilase digunakan perbandingan 2 kg enzim untuk setiap ton pati, sedangkan untuk enzim glukomaliase digunakan sebanyak 0,5-1,1 L untuk setiap ton pati (Risnoyatiningsih, 2011).

  Mekanisme Kerja Enzim

  Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dengan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara asam memutus rantai pati secara acak, sedangkan hidrolisis secara enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan hidrolisis asam, karena prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Virlandia, 2008).

  Enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, pullulanase, dan isoamilase. Enzim yang biasa digunakan untuk proses pembuatan sirup glukosa secara sinergis adalah enzim α-amilase dan enzim glukoamilase. Enzim α-amilase akan memotong ikatan amilosa dengan cepat pada pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Kemudian enzim glukoamilase akan menguraikan pati secara sempurna menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi. Reaksi pembuatan glukosa dengan hidrolisa pati dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Reaksi Pembuatan Glukosa dari Hidrolisis Pati (Anonim, 2013)

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim

  Faktor

  • – faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah suhu, pH, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan aktivator atau inhibitor. Enzim mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel hidup. Dalam batas-batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim akan naik bila suhunya naik. Reaksi yang paling cepat terjadi pada suhu optimum (Rodwell,1987). Oleh karena itu, penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim tinggi tetapi aktivitasnya rendah, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim tinggi tetapi kestabilannya rendah (Muchtadi dkk., 1992). Namun, kecepatannya akan menurun drastis pada suhu yang lebih tinggi. Hilangnya aktivitas pada suhu tinggi karena terjadinya
perubahan konformasi panas (denaturasi) enzim. Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu sekitar 55- 60˚C (Rabyt dan White, 1987).

  Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Menurut Tranggono dan Sutardi (1990), Enzim mempunyai aktivitas maksimum pada kisaran pH yang disebut pH optimum. Suasana yang terlalu asam atau alkali akan mengakibatkan denaturasi protein dan hilangnya secara total aktivitas enzim. pH optimum untuk beberapa enzim pada umumnya terletak diantara netral atau asam lemah yaitu 4,5- 8. pH optimum sangat penting untuk penentuan karakteristik enzim. Pada subtrat yang berbeda, enzim memiliki pH optimum yang berbeda. Menurut Winarno (1986), enzim yang sama seringkali mempunyai pH optimum yang berbeda, tergantung pada asal enzim tersebut. Pengaturan pH harus bertujuan untuk mendapatkan keaktifan enzim yang maksimal. pH optimum pada tahapan gelatinisasi dan liquifikasi menggunakan enzim α-amilase adalah 5,3-6,5 (Chalpin, 2004).

  Kecepatan reaksi dalam reaksi enzimatis sebanding dengan konsentrasi enzim (Martin dkk., 1983). Semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat hingga pada batas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan naiknya konsentrasi enzim yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif lagi (Reed, 1991).

  Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat meningkat. Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi subtract hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1997). Hal ini disebabkan semua molekul enzim telah membentuk ikatan kompleks dengan substrat yang selanjutnya dengan kenaikan konsentrasi substrat tidak berpengaruh terhadap kecepatan reaksinya (Tranggono dan Sutardi, 1990).

  Enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis.

  Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu, atau Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim (Martoharsono, 1984).

  Selain dipengaruhi oleh adanya aktivator. Aktivator enzim juga dipengaruhi oleh

adanya inhibitor. Inhibitor adalah senyawa atau ion yang dapat menghambat aktivitas

enzim (Lehninger, 1997).

  Pembuatan Sirup Glukosa

  Tahap hidrolisis pati terbagi dalam dua tahap, yaitu: tahapan pemecahan molekul-molekul pati menjadi dekstrin, disebut dekstrinisasi atau gelatinisasi.

  Dalam tahap ini yang berperan adalah enzim α-amilase. Enzim α-amilase ini hanya mampu memecah amilosa dan amilopektin pada ikatan α (1-4) sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah dekstrin. Tahap pemecahan lebih lanjut dari dekstrin menjadi glukosa, disebut sakarifikasi. Dalam tahap ini yang berperan adalah enzim amiglukoamilase, dimana enzim ini mampu memutuskan ikatan α (1-6) sehingga diperoleh hasil akhir glukosa (Melliawati, 2006).

  Likuifikasi

  Proses liquifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim α-amilase. Hasil hidrolisanya adalah dektrin. Proses ini berlangsung pada pH 5,5, suhu 85°C, waktu proses 40 menit, dan perbandingan pati dan enzim 1:0,002. Jika proses ini dilakukan pada pH dan suhu tidak optimal maka aktivitas enzim akan berkurang dan enzim akan rusak dan mati (Othmer, 1976). Enzim α- amilase adalah endoenzim yang bekerjanya memutus ikatan α-1,4 dibagian dalam molekul baik pada amilosa maupun amilopektin. Enzim α-amilase relatif tahan panas, tetapi tidak tahan terhadap pH yang rendah. Enzim α- amilase mempunyai suhu optimum 80˚C-110˚C dan pH optimum 5,0-7,0 (Risnoyatiningsih, 2011).

  Dalam tahap likuifikasi, proses hidrolisa pati dilakukan sampai derajat konversi sekitar 10-20% DE (Fleming, 1968), sedangkan menurut Inglett (1970) sampai mencapai 15-20% DE atau sampai cairan berwarna coklat kemerahan bila

  Beberapa faktor yang mempengaruhi proses direaksikan dengan larutan iod. likuifikasi yaitu konsentrasi substrat, konsentasi enzim, pengaturan suhu, pengaturan pH, dan lama likuifikasi (Jariyah dan Yunianta, 2001).

  Sakarifikasi

  Proses sakarifikasi adalah proses hidrolisis dextrin menjadi glukosa dengan bantuan enzim amiloglukosidase. Proses ini berlangsung pada pH 4,5, suhu 60°C, waktu reaksi 48-96 jam, dengan penambahan enzim 0,5-1,1%. Proses ini dilakukan pada suhu dan pH yang optimal sesuai dengan kereaktifan enzim glukoamilase, untuk waktu dan penambahan enzim juga harus sesuai dengan substrat yang di tambahkan sehingga didapatkan kadar glukosa yang maksimal (Coney, 1979). Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memotong ikatan α-1,4 pada pati. Disamping itu amiloglukosidase (glukoamilase) juga dapat memotong ikatan α-1,6, sehingga molekul-molekul pati dapat dikonversikan menjadi molekul-molekul glukosa bebas. Enzim glukoamilase (amiloglukosidase) mempunyai suhu optimum 50˚C-60˚C dan pH optimum 4,0-5,0 (Winarno, 1995). Pengaturan kondisi pada proses hidrolisis enzim sangat penting karena berpengaruh pada aktivitas enzim untuk merubah substrat menjadi produk yang diinginkan, yaitu glukosa.

  Hidrolisis dengan enzim dapat menghasilkan beberapa produk hidrolisis pati dengan sifat-sifat tertentu yang didasarkan nilai DE (Dekstrosa Ekuivalen).

  Nilai DE 100 adalah dekstrosa murni sedangkan nilai DE 0 adalah pati alami. Hidrolisis dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, dan hidrolisis dengan DE 20-100 adalah sirup glukosa (Februadi, 2011).

  Sirup Glukosa

  Sirup glukosa adalah salah satu produk bahan pemanis makanan dan minuman yang berbentuk cairan, tidak berbau dan tidak berwarna tetapi memiliki rasa manis yang tinggi. Perbedaannya dengan gula pasir yaitu, gula pasir merupakan disakarida, sedangkan sirup glukosa adalah monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis menggunakan asam atau enzim (Hidayat, 2006). Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim, sehingga hasilnya adalah campuran dekstrin, maltosa dan glukosa. Hasil hidrolisis enzim lebih dapat dikendalikan, sehingga dapat diatur kadar maltose atau glukosanya (Tjokroadikoesoemo, 1986).

  Pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara hidrolisis asam (Tjokroadikoesoemo, 1986). FAO (1969) menetapkan kadar padatan kering minimal 70%, DE minimal 20 dan kandungan sulfur dioksida minimal 40g/kg. Standar mutu sirup glukosa secara umum disajikan pada Tabel 4.

  Tabel 4. Standar Mutu Sirup Glukosa

  Komponen Kandungan Kadar air Max. 20% Abu Max. 1% Kadar gula reduksi D-glukosa Min. 30% Kadar pati Tidak ada Logam berat (Pb, As, Zn) Negatif Warna Tidak berwarna-Kekuningan Sulfur dioksida Untuk kembang gula max. 400ppm, yang lain 40ppm

  Sumber : Dhoni, 2002 dalam Mahartantri, 2005

  Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan ditentukan oleh tingkat konversi pati menjadi komponen-komponen glukosa yang dikenal sebagai

  Dextrose Equivalen (DE) (Mc Pherson dan Secb, 1997). Menurut de Man (1997),

  Sirup glukosa adalah larutan gula yang dipekatkan yang diperoleh dari pati dan mempunyai Dextrose Equivalent (DE) 20 atau lebih. Jika DE-nya kurang dari 20, produknya disebut maltodextrin, sedangkan dekstrosa monohidrat dan dekstrosa anhidrat adalah D-glukosa yang dimurnikan dan dikristalkan yang diperoleh dari pati. Menurut Martin dkk., (1983), tingkat mutu sirup glukosa ditentukan oleh kadar bahan kering sirup, kadar abu dan beberapa logam berat yang terkandung didalamnya. Tabel mutu sirup glukosa menurut SNI (1994), disajikan pada Tabel 5.

  Tabel 5. Syarat Mutu Sirup Glukosa

  8.5. Khamir Koloni/g

  49 Sirup glukosa DE= 42%

  30 Sirup glukosa DE= 64%

  68 Maltose

  150 Dekstrosa

  100 Fruktosa

  Bahan Nilai kemanisan (sukrosa= 100) Sukrosa

  Tabel 6. Nilai Kemanisan Relatif Sirup Glukosa dan Beberapa Pemanis Lainnya

  Nilai kemanisan relatif sirup glukosa lebih rendah dibandingkan sukrosa dan tergantung derajat konversinya. Makin tinggi derajat konversi makin tinggi pula kemanisannya. Nilai kemanisan relatif sirup glukosa dan beberapa pemanis lainnya dapat dilihat pada Tabel 6.

  Sumber : SNI, 1994

  < 3 Maks. 50 Maks. 50

  2 Maks. 20

  Tidak Berbau Manis Tidak Berwarna Maks. 20 Maks. 1 Min.30 Tidak ternyata Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 25,0 Maks. 0,5 Maks. 5 x 10

  Koloni/g Koloni/g

  APM/g APM/g

  8.4. Kapang

  No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1.

  8. Keadaan: 1.1 1.1. Bau 1.2 1.2. Rasa 1.3 1.3. Warna

  2.

  3.

  4.

  5.

  6.

  7.

  Air (% b/b) Abu,%,adbk Gula pereduksi dihitung sebagai

  8.3. E.coli

  D. Glukosa (% b/b) Pati Cemaran logam :

  6.1. Timbal (Pb), mg/kg

  6.2. Tembaga (Cu), mg/kg

  6.3. Seng (Zn), mg.kg Arsen (As), mg/kg Cemaran mikroba :

  8.1. Angka lempeng total

  8.2. Bakteri Coliform

  33 Sumber: Berghmas, 1981 Menurut Jacob (1994), nilai kemanisan sirup glukosa dapat digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu rendah jika nilai dekstrosa ekuivalennya 26-29%, tinggi jika nilai dekstrosa ekuivalennya 40- 45% dan disebut “sweetose” bila nilai dekstrosa ekuivalennya 56-64%.

  Kegunaan Sirup Glukosa

  Sirup glukosa adalah cairan gula kental yang diperoleh dari pati. Sirup glukosa digunakan dalam industri permen, selai, pengalengan buah-buahan, biskuit, es krim, bumbu masak, sirup, kecap dan sebagainya. Fungsi sirup glukosa dalam pembuatan permen agar dapat meningkatkan viskositas dari permen sehingga tidak lengket. Penggunaan sirup glukosa ternyata dapat mencegah kerusakan pada permen (Hidayat dan Ikarisztiana, 2004). Sirup glukosa berfungsi memperlunak hasil atau hasilnya halus sehingga kembang gula yang dihasilkan tidak terlalu keras, selain itu juga berfungsi mencegah pengkristalan sukrosa atau gula. Penambahan sirup glukosa dalam kadar tinggi akan menyerap dan mengikat air sehingga mikroba tidak bebas mengunakan air untuk tumbuh pada produk yang ditumbuhui (Minarni, 1996).

  Industri makanan dan minuman memiliki kecenderungan untuk menggunakan sirup glukosa. Hal ini didasari oleh beberapa kelebihan sirup glukosa dibandingkan sukrosa, diantaranya sirup glukosa tidak mengkristal seperti halnya sukrosa jika dilakukan pemanasan pada suhu tinggi seperti pada produk roti dan kue-kue. Glukosa juga digunakan sebagai substituen, karena produk ini mengandung karbohidrat atau gula pereduksi, misalnya dalam industri fermentasi (alkohol). Dalam industri farmasi, glukosa juga sangat dibutuhkan, khususnya dalam pembuatan larutan infus. Selain itu hidrogenasi dekstrosa di bawah pengaruh katalisator tertentu dapat menghasilkan sorbitol yang diperlukan sebagai formulasi makanan penderita kencing manis dan digunakan juga sebagai bahan campuran pasta gigi (Hidayat dan Ikarisztiana, 2004).