HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA

(1)

HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGANPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh : Vina Witri Astuti

G0106095

Pembimbing:

1. Dra. Salmah Lilik, M. Si 2. Rin Widya Agustin, M. Psi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Pebruari 2011


(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan

Psychological Well Being pada Pasangan Muda

Nama Peneliti : Vina Witri Astuti

NIM/Semester : G0106095

Tahun : 2011

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

Pada Hari : Rabu, 9 Pebruari 2011

Pembimbing I

Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP 19490415 198101 2 001

Pembimbing II

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 19760817 200501 2 002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 19760817 200501 2 002


(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being

pada Pasangan Muda

Vina Witri Astuti, G0106095, Tahun 2011

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Senin

Tanggal : 28 Pebruari 2011

1. Pembimbing I

Dra. Salmah Lilik, M.Si. ( )

2. Pembimbing II

Rin Widya Agustin, M.Psi. ( )

3. Penguji I

Dra. Makmuroch, M.S. ( )

4. Penguji II

Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. ( )

Surakarta, __________________

Ketua Program Studi Psikologi

Drs. Hardjono, M.Si. NIP 19590119 198903 1 002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 19760817 200501 2 002


(5)

MOTTO

Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan makna

dan tujuan hidupnya

(Viktor E. Frankl)

Tidak ingin menyesali yang sudah terjadi kemarin, banyak bersyukur untuk hari ini dan tidak perlu khawatir menghadapi hari esok


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

Papah Mamahku tercinta dan kakak-kakakku tersayang Berbagai rintangan dan keputusasaan memudar karena limpahan perhatian dan dukungan mereka


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala karunia-Nya yang

dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being pada Pasangan Muda”.

Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bimbingan, bantuan, dorongan, dan doa dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, kepercayaan, kesabaran, serta perhatiannya yang sangat besar.

4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II atas bimbingan, kesabaran, perhatian serta saran-sarannya yang membangun selama ini.

5. Ibu Dra. Machmuroh, M.S. dan Bapak Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si. selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan pemikiran kritis serta masukan-masukan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.


(8)

6. Seluruh staf Program Studi Psikologi yang telah membantu penulis dalam mengurus administrasi dan memberikan semangat dan saran-sarannya.

7. Bapak Drs. Tamso, MM., selaku Kepala kelurahan Jebres Surakarta beserta staf, Bapak Karjono selaku ketua RW XX (Kaplingan) dan seluruh ketua RT serta responden di Kaplingan yang bersedia memberikan ijin serta membantu penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Papah mamahku tercinta yang telah memberikan cinta kasihnya, bimbingan, nasihat, kesabaran, pengertian dan perhatian serta tak henti mendo’akan penulis selama mengikuti tugas belajar di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakak-kakakku tersayang, Kak Eka, Kak Eska, Ko Joni, Mas Bondan yang telah memberikan semangat dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Abang Faris yang selalu memberikan dukungan, perhatian, semangat serta kasih sayang kepada penulis.

11. Sahabat-sahabatku tercinta (Yenie, Rengga, Febi, Lina, Nisa, Siti, Putri, Ayu, Tanti, Nuzul, Ulva) dan semua teman-teman Psikologi UNS tercinta, khususnya Psikologi ’06 yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan mengajarkan penulis arti kekompakan dan kebersamaan.

Surakarta, Pebruari 2011


(9)

THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL STABILITY WITH PSYCHOLOGICAL WELL BEING

IN YOUNG COUPLE Vina Witri Astuti

G0106095 ABSTRACT

Everyone wants happy and prosperous marriage life, but it is not easy to achieved, needs hard effort. Marriage acquaints two different people, either in their needs, their wishes and their expectations that enable a more complicated conflict occurs among them. Young couple in this study were young adults who have been married for less than 10 years. Many things that are not expected to occure within marriage is caused by psychological factors. If someone has a good psychological condition, then they are able to control their emotions in various situations. Emotional stability will effect how individuals solve their problems that occure in their life. When the young couple have emotional stability, they will show appropriate emotional reactions, and it will lead to the achievement of psychological well being in them.

This research aims to determine the relationship between emotional stability with psychological well being in young couple. The subjects of the research were young couples in Kaplingan, Jebres, Surakarta. This research use purposive cluster random sampling technique. This research used an emotional stability scale and a psychological well being scale to collect data. Data analysis used product moment correlation analysis techniques by Pearson.

This research result correlation coefficient ( r ) = 0,406; p = 0,001 (p < 0,05), it means that there are a significant positive correlation between emotional stability with psychological well being in young couple. Emotional stability contribute 16,5% factor of young couple’s psychological well being. That result is low, this is because there are many other things that affect the psychological well being, especially young couples, in marital life, for example, related to the expectations of both partners, how to cooperate in marital life, how to balance the wants and needs between them and the problem of their communication. In addition, to see different levels of psychological well being of the subject, performed additional analysis by calculating the average score of psychological well being of highly educated subjects with subjects with low education. The results show that highly educated subjects had higher psychological well being, though with a small difference score, which is only 2.77.


(10)

HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA

Vina Witri Astuti G0106095 ABSTRAK

Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan. Perkawinan menyatukan dua orang yang berbeda, baik dalam kebutuhan, keinginan dan pengharapan di antara keduanya yang dimungkinkan dapat menimbulkan permasalahan yang semakin rumit. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang mencapai dewasa muda dan usia perkawinan kurang dari 10 tahun. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainyapsychological well being pada pasangan muda tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda. Subjek penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami atau istri) yang ada di Kaplingan, kelurahan Jebres Surakarta. Teknik pengambilan sampel denganpurposive cluster random sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala kestabilan emosi dan skala psychological well being. Analisis data menggunakan teknik korelasiproduct moment Pearson.

Berdasarkan hasil analisis teknik korelasiproduct moment Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi ( r ) sebesar 0,406; p = 0,001 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan

psychological well being pada pasangan muda. Artinya, semakin tinggi kestabilan emosi subjek, maka akan semakin tinggipsychological well being pada pasangan muda. Peran kestabilan emosi terhadappsychological well being pada pasangan muda sebesar 16,5%. Hasil tersebut termasuk kecil, hal ini dikarenakan banyak hal lain yang mempengaruhipsychological well being pasangan muda khususnya dalam kehidupan perkawinan misalnya terkait dengan harapan-harapan di antara kedua pasangan, bagaimana kerjasama dalam kehidupan perkawinan, bagaimana menyeimbangkan keinginan dan kebutuhan di antara keduanya dan masalah komunikasi keduanya. Selain itu, untuk melihat perbedaan tingkatpsychological well being subjek, dilakukan analisis tambahan dengan menghitung rata-rata skor

psychological well being subjek yang berpendidikan tinggi dengan subjek yang berpendidikan rendah. Hasilnya menunjukkan subjek yang berpendidikan tinggi memilikipsychological well being lebih tinggi, walaupun dengan selisih skor yang tidak begitu jauh, yaitu hanya 2,77.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRACT ... ix

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. LANDASAN TEORI... 8

A. Psychological Well Being ... 8

1. PengertianPsychological Well Being ... 8

2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being ... 10

3. Faktor-faktor yang mempengaruhiPsychological Well Being ... 15

B. Kestabilan Emosi ... 22

1. Pengertian Kestabilan Emosi ... 22


(12)

C. Pasangan Muda ... 26

D. Hubungan Antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Beingpada Pasangan Muda... 30

E. Kerangka Pemikiran ... 33

F. Hipotesis... 34

BAB III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 35

C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 36

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

1. Sumber Data ... 38

2. Alat Pengumpul Data ... 39

E. Validitas dan Reliabilitas ... 42

1. Validitas ... 42

2. Reliabilitas ... 43

F. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan Penelitian ... 45

1. Orientasi Kancah Penelitian ... 45

2. Persiapan Penelitian ... 46

3. Pelaksanaan Uji Coba (try out) ... 48

4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 48

5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 51

B. Pelaksanaan Penelitian ... 53

1. Penentuan Subjek Penelitian ... 53

2. Pengumpulan Data ... 53

3. Pelaksanaan Skoring ... 54

C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 55


(13)

2. Uji Hipotesis ... 57

3. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 59

4. Deskripsi Statistik ... 60

5. Deskripsi Data Sekunder Subjek Penelitian ... 63

D. Pembahasan ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran... ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian PernyataanFavorable dan PernyataanUnfavorable ... 39

Tabel 2.Blue Print Skala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba) ... 41

Tabel 3.Blue Print SkalaPsychological Well Being (Sebelum Uji Coba) ... 42

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Coklit Kaplingan Tahun 2009 ... 45

Tabel 5. Hasil Pendataan Pasangan Muda di Kaplingan ... 46

Tabel 6. Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Kestabilan Emosi ... 50

Tabel 7. Distribusi Aitem Valid dan Gugur SkalaPsychological Well Being ... 51

Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi Setelah Uji Coba ... 52

Tabel 9. Distribusi Aitem SkalaPsychological Well BeingSetelah Uji Coba ... 52

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 56

Tabel 11. Hasil Uji Linieritas antara Variabel Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being ... 57

Tabel 12. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 58

Tabel 13. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 60

Tabel 14. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 60

Tabel 15. Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi ... 61

Tabel 16. Kriteria Kategori SkalaPsychological Well Being ... 63


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara kestabilan emosi dengan


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Alat Ukur Penelitian ... 80

1. Alat Ukur Penelitian Sebelum Uji Coba ... 81

Skala 1 : Skala Kestabilan Emosi ... 82

Skala 2 : Skala Psychological Well Being ... 89

2. Alat Ukur Penelitian Setelah Uji Coba ... 93

Skala 1 : Skala Kestabilan Emosi ... 94

Skala 2 : Skala Psychological Well Being ... 100

B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian ... 103

1. Data Hasil Uji Coba Skala Kestabila Emosi... 104

2. Data Hasil Uji Coba SkalaPsychological Well Being ... 107

3. Data Penelitian Skala Kestabilan Emosi ... 110

4. Data Penelitian SkalaPsychological Well Being ... 114

C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 118

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ... 119

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well Being……... ... 121

D. Hasil Analisis Data Penelitian ... 123

1. Hasil Uji Normalitas... 124

2. Hasil Uji Linierias ... 124

3. Hasil Deskripsi Statistik ... 125

4. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 125

5. Hasil Analisis Koefisien Determinan (R Square) ... 125

E. Data Sekunder Subjek Penelitian (Data Tingkat Pendidikan Subjek) ... 126

F. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian ... 129

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian Prodi Psikologi FK UNS ... 130

2. Surat Pengantar Kepada RT 01, 04 dan 06 di Kaplingan (RW XX) ... 131

3. Surat Tanda Bukti Penelitian dari Kelurahan Jebres Surakarta ... 132


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang. Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar. Menurut Susilowati (2008), perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Hauck (1993) bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan. Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara berkala.

Perkawinan menciptakan pasangan suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah dan dengan usia yang mencapai dewasa dini atau dewasa muda. Menurut Hurlock (1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua,


(18)

2

pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini. Periode ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan. Fenomena perceraian suami istri dalam masyarakat kita terjadi semakin meningkat dari waktu ke waktu (Barus, 2005). Tulisan yang dibuat oleh Pengadilan Agama Surakarta pada 25 Mei 2010 (http://pa-surakarta.go.id) menjelaskan bahwa, berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.

Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini sungguh menimbulkan keprihatinan, karena ikatan perkawinan tidak lagi membawa kebahagiaan dalam hidup pasangan suami istri, akan tetapi justru membawa ke dalam perselisihan yang semakin rumit. Wahyuningsih (2005) menyebutkan bahwa perselisihan yang sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami istri. Menurut Anjani dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan


(19)

periode awal dalam perkawinan, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda.

Kesulitan penyesuaian perkawinan hampir tidak terelakkan bila suami dan istri berasal dari pola keluarga yang berbeda. Hal ini akan menjadi sulit ketika pasangan muda mengahadapi tekanan ataupun kondisi yang negatif namun hal tersebut tidak diungkapkan (Hurlock, 1994). Meskipun demikian, menurut Wahyuningsih (2005), mengakhiri perkawinan karena ketidakbahagiaan tidak selalu menjadi pilihan, banyak pasangan muda yang dapat mempertahankan perkawinannya, berusaha berpikiran positif terhadap pasangannya dan tetap menjalankan kehidupan rumah tangga sehingga dapat mencapai kondisi yang diharapkan setiap pasangan. Hasil penelitian Wilson, dkk. (dalam Wahyuningsih, 2005) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesehatan emosi akan merasakan hidup yang lebih optimis dan memuaskan dalam perkawinannya.

Sikap positif dari pasangan muda untuk tetap mempertahankan perkawinannya, berpikiran positif terhadap pasangannya dan menjalankan tanggung jawab terhadap pasangan meskipun dengan begitu banyak hal yang memicu permasalahan akan mengarah pada terbentuknya fungsi psikologis yang


(20)

4

positif (positive psychological functioning), yang membawa kepada terwujudnya kesejahteraan psikologis (psychological well being) dalam diri seseorang.

Ryff (1989) seorang pelopor penelitian mengenaipsychological well being

menjelaskan bahwa,psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup.

Psychological well being pada pasangan muda mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam perkawinannya, mampu melalui periode sulit dalam perkawinan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.

Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini menjadi penting, sebab akan mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk bertahan menghadapi tekanan akibat berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi


(21)

positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan dirinya. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.

Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara baik dan objektif. Pasangan yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi.

Irma (2003) menjelaskan bahwa kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan, sehingga emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Sementara itu, individu dengan kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan perubahan yang cepat dan tidak diduga dalam reaksi emosinya (Chaplin, 2000). Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada pasangan muda tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun


(22)

6

(2006), yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Untuk itu penulis mengambil judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Beingpada Pasangan Muda”.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Apakah ada Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being pada Pasangan Muda?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being pada Pasangan Muda.


(23)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian: 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah khususnya dalam bidang psikologi yang berkaitan dengan hubungan antara kestabilan emosi denganpsychological well beingpada pasangan muda 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pasangan Muda

Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, sehingga dapat menggunakan informasi ini sebagai pertimbangan dalam menghadapi masalah dalam kehidupan rumah tangganya

b. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, sehingga dapat menggunakan informasi ini sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penanganan masalah perkawinan bagi pasangan suami istri

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan dengan hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being.


(24)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Psychological Well Being

1. PengertianPsychological Well Being

Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff. Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengatakan bahwa, penelitian mengenai psychological well being mulai berkembang sejak para ahli menyadari bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989),

psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning).

Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well being yang kemudian disingkat PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang ada di sekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam kehidupannya.


(25)

Ryff dan Singer (1996) menyebutkan bahwa, tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannnya.

Menurut Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk., 2008), kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.

Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera (well being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan.

Dari beberapa pengertianpsychological well being yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan psychological well being

adalah mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam


(26)

10

dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.

2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being

Ryff (1989) menyebutkan bahwa, selama dua puluh tahun terakhir penelitian mengenaipsychological well being terpaku pada perbedaan antara efek positif dan negatif serta kepuasaan hidup (life satisfaction). Penelitian-penelitian mengenai psychological well being tidak didasari oleh tinjauan teori yang kuat, akibatnya pengukuran psychological well being melupakan satu aspek penting yaitu fungsi positif (positive fungtioning) dari manusia. Fungsi positif tersebut merupakan pemahaman bagaimana seseorang mempunyai kemampuan dan potensi dan mampu mengembangkannya.

Ryff (1989) mengembangkan pendekatan multidimensional untuk mengukur psychological well being. Pendekatan multidimensional tersebut berdasarkan pada tinjauan berbagai sudut pandang ahli psikologi yang tertarik dengan pertumbuhan dan perkembangan penuh potensi individual seperti teori aktualisasi diri Abraham Maslow (1968),fully functioning person Carl Rogers (1961), mature person Gordon Allport (1961) dan individuation Carl Jung (1933) (dalam Ryff, Keyes dan Shmotkin, 2002).

Ryff (1989) telah menyusun pendekatan multidimensional untuk menjelaskan mengenai psychological well being. Dimensi-dimensi tersebut antara lain kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup dan pertumbuhan


(27)

pribadi yang berkelanjutan. Berikut penjelasan mengenai keenam dimensi tersebut (Ryff, 1989):

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Dimensi penerimaan diri merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya, sehingga kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif ataupun negatif dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan masa lalu. Sebaliknya, individu dengan tingkat penerimaan diri yang rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya seperti saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (Possitive relations with others) Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain atau tinggi untuk dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya dengan orang lain. Individu tersebut juga


(28)

12

mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang rendah atau kurang baik untuk dimensi ini, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain.

c. Kemandirian (Autonomy)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu yang baik dalam dimensi ini, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sedangkan, individu yang rendah atau kurang baik untuk dimensi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis.

d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)

Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk memilih lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kematangan pada dimensi ini terlihat pada kemampuan individu dalam menghadapi kejadian di luar dirinya. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan baik mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu sendiri. Sebaliknya, apabila individu tersebut memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan kesulitan untuk mengatur lingkungannya, selalu mengalami kekhawatiran dalam kehidupannya, tidak peka terhadap


(29)

sebuah kesempatan dan kurang memiliki kontrol lingkungan di luar dirinya.

e. Tujuan hidup (Purpose of life)

Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan-kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai arah dalam hidup akan mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai makna, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam kehidupan. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan memiliki perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupannya dan tidak mempunyai kepercayaan yang membuat hidup lebih bermakna.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Pertumbuhan pribadi yang baik ditandai perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan


(30)

14

untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah pribadi yang stagnan dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

Hurlock (1994) menjelaskan bahwa, ada beberapa esensi mengenai kebahagiaan, atau keadaan sejahtera (well being), kenikmatan atau kepuasan, yaitu antara lain sebagai berikut:

a. Sikap menerima (acceptance)

Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik. Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1994) lebih lanjut menjelaskan bahwa, kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.

b. Kasih sayang (affection)

Cinta atau kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan cinta yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya cinta atau kasih sayang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan seseorang.

c. Prestasi (achievement)

Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak bahagia.


(31)

Dimensi-dimensi psychological well being yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yang meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

3. Faktor-Faktor yang MempengaruhiPsychological Well Being

Menurut Ryff dan Singer (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well being) antara lain:

a. Usia

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996), penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukkan peningkatan seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukkan penurunan seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia. b. Jenis kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada pria. Sementara dimensi


(32)

16

psychological well being yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan

Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang, ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan (Ryff dan Singer, 1996). Hal ini dapat terkait dengan kesulitan ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebakan sulitnya individu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well being).

d. Latar belakang budaya

Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri (seperti dimensi penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol pada budaya Timur.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997) menyebutkan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well being) antara lain:


(33)

a. Kepribadian

Apabila individu memiliki kepribadian yang mengarah pada sifat-sifat negatif seperti mudah marah, mudah stres, mudah terpengaruh dan cenderung labil akan menyebabkan terbentuknya keadaan psychological well being yang rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera karena mampu melewati tantangan dalam kehidupannya.

b. Pekerjaan

Pekerjaan yang sifatnya rentan terhadap korupsi, iklim organisasi yang tidak mendukung dan pekerjaan yang tidak disenangi akan menyebabkan terbentuknya keadaan psychological well being yang rendah, begitu pula sebaliknya.

c. Kesehatan dan fungsi fisik

Individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik yang tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan rendahnya

psychological well being individu tersebut. Sebaliknya, apabila individu memiliki kesehatan dan fungsi fisik yang baik, akan memiliki

psychological well being yang tinggi.

Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan (well being) seseorang, antara lain sebagai berikut:


(34)

18

a. Kesehatan

Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia dan sejahtera (well being)

b. Daya tarik fisik

Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih besar daripada apa yang mungkin dicapai individu jika kurang memiliki daya tarik.

c. Tingkat otonomi

Semakin besar otonomi yang dapat dicapai, semakin besar kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditentukan baik pada masa kanak-kanak maupun masa dewasa.

d. Kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga dan kondisi kehidupan Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka di tingkat usia apapun, orang akan merasa bahagia apabila mereka mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungannya daripada apabila hubungan sosial mereka terbatas pada anggota keluarga.

Apabila pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, baik di dalam keluarga maupun


(35)

teman-temandan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian akan memperbesar kepuasan hidup.

e. Jenis pekerjaan dan status kerja

Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan pekerjaan orang-orang dewasa.

Baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan prestise, maka semakin besar kepuasaan yang ditimbulkan.

f. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta pemilikan harta benda Apabila harapan-harapan itu realistis, seseorang akan puas dan bahagia apabila tujuannya tercapai. Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu akan mempengaruhi kebahagiaan seseorang, melainkan cara seseorang merasakan pemilikan itu. Seperti yang diungkapkan Clark (dalam Hurlock, 1994) yang menyebutkan bahwa, kebahagian bukan datang dari pemilikan harta, tetapi dari perasaaan seseorang terhadap pemilikan harta tersebut.

g. Penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode tertentu

Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan yang bahagia, jarang dan tidak terlampau intensif mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati daripada mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak bahagia.


(36)

20

Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain selama masa kanak-kanak dan sebagian oleh stereotip budaya.

h. Realisme dari konsep diri dan konsep peran

Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai. Ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti, diperlakukan kurang adil.

Orang-orang cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai dengan harapan mereka, mereka akan merasa tidak bahagia kecuali jika mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhipsychological well being

antara lain sebagi berikut: a. Religiusitas

Penelitian Ellison (dalam Taylor, 1995) menyebutkan bahwa agama mampu meningkatkan psychological well being dalam diri seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi, serta mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap


(37)

agama yang kuat. Penilitian yang dilakukan Amawidyati dan Utami (2007) mendukung penelitian Ellison, dimana hasil analisis menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara religiusitas danpsychological well being.

b. Dukungan sosial

Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella, 1990) menyebutkan bahwa, dukungan sosial dapat berkaitan erat dengan

psychological well being. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang yang berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber dukungan sosial. Bagaimana sumber dukungan sosial ini penting, karena akan mempengaruhipsychological well being seseorang.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being meliputi usia, jenis kelamin, kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan tingkat pendidikan), latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik, tingkat otonomi, daya tarik fisik, kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga dan kondisi kehidupan, keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta pemilikan harta benda, penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode tertentu, realisme dari konsep diri dan konsep peran, religiusitas serta dukungan sosial.


(38)

22

B. Kestabilan Emosi

1. Pengertian Kestabilan Emosi

Menurut Chaplin (2000), kestabilan emosi (emotional stability) ialah terbebas dari sejumlah besar variasi atau perselang-selingan dalam suasana hati, sifat karakteristik orang yang memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol emosi merupakan usaha di pihak individu untuk mengatur dan menguasai emosi sendiri atau emosi orang lain. Sedangkan ketidakstabilan emosi merupakan satu kecenderungan untuk menunjukkan perubahan yang cepat dan tidak dapat diduga-duga atau diramalkan dalam emosionalitas.

Morgan (1986) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi merupakan suatu keadaan emosi seseorang yang apabila mendapat rangsangan secara emosional dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional seperti depresi dan kecemasan. Sementara itu, Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi berarti kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau terganggu, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama.

Kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan sehingga emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Kestabilan emosi adalah keadaan dimana seseorang dapat menampilkan reaksi yang tidak


(39)

berlebihan atas rangsangan yang diterima, terutama dalam menghadapi masalah-masalah. Hal ini dapat dilihat dari keseimbangan antara emosi

pleasant dengan emosi unpleasant. Seseorang akan mampu mengatasi dan menerima gejolak naik turunnya emosi serta dapat mengarahkan emosi

unpleasant ke dalam suatu bentuk pemahaman yang lebih positif. Kestabilan emosi ini merupakan suatu tahapan yang harus dicapai oleh seseorang untuk lebih tenang dalam menghadapi segala permasalahan, mencakup kemampuan untuk mengungkapkan emosi dengan melakukan kendali yang tidak berlebihan terhadap gejala-gejala yang muncul baik dalam kondisi pleasant

maupununpleasant(Irma, 2003).

Dari beberapa pengertian kestabilan emosi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan kestabilan emosi adalah suatu kondisi emosi yang tetap, tidak mudah berubah, tidak labil, tidak mudah mengalami gangguan emosional, memiliki kontrol emosi yang baik dan mampu mengendalikan emosi secara tepat ketika menghadapi kondisi yang menyenangkan ataupun ketika menghadapi masalah dalam hidup.

2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi yang dimiliki setiap orang akan berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi emosi yang dapat dilihat melalui aspek-aspek yang menyusun kestabilan emosi, antara lain sebagai berikut:


(40)

24

a. Kontrol Emosi

Aleem (2005) menjelaskan bahwa, kondisi emosi yang stabil akan ditunjukkan dengan adanya kendali atau kontrol emosi pada saat situasi yang ekstrim sekalipun. Lebih lanjut ia menjelaskan, individu memiliki kapasitas untuk menahan keterlambatan kepuasan kebutuhan, kemampuan untuk mentolerir frustrasi dalam jumlah yang wajar, kepercayaan dalam perencanaan jangka panjang dan mampu menunda atau merevisi harapan dalam hal tuntutan situasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Schneiders (1991) bahwa, kontrol emosi meliputi pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita, serta prinsip. Semiun (2006) menjelaskan bahwa kontrol emosi tidak berarti emosi ditekan atau tidak boleh diungkapkan, akan tetapi melatih emosi dan mengendalikan emosi tersebut sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

b. Respon Emosi

Li dan Hui (2005) menyebutkan bahwa, respon emosi yang ditunjukkan seseorang dapat menggambarkan stabilitas emosinya. Pada penelitian Li dan Hui (2005), seseorang yang memiliki kestabilan emosi cenderung memberikan respon emosi yang positif, walaupun individu tersebut dalam pengalaman emosi yang negatif. Witherington (1978) menjelaskan bahwa kestabilan emosi dapat dicapai oleh individu apabila individu tersebut di dalam menghadapi situasi bahaya dapat menemukan


(41)

suatu cara untuk mengatasinya, sehingga emosi yang tidak menyenangkan sebelumnya dapat menurun atau menjadi reda. Safaria dan Saputra (2009) menjelaskan bahwa, seseorang akan berusaha menyeimbangkan antara respon emosi positif dan respon emosi negatif. Seseorang yang gagal menyeimbangkan respon emosinya, misalnya saat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan hanya akan dimunculkan respon emosi yang negatif, maka individu tersebut gagal mencapai stabilitas emosi. Jadi, bentuk respon emosi yang dipilih dan ditampilkan seseorang saat menghadapi situasi tertentu dapat menunjukkan kestabilan emosi seseorang.

c. Kematangan Emosi

Menurut Schneiders (1991), kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat perkembangannya. Indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap stres, tidak mudah khawatir, tidak mudah cemas dan tidak mudah marah. Gerungan (2004) juga menyebutkan bahwa kestabilan emosi pada dasarnya harus ada kematangan emosi yang berdasarkan kesadaran yang mendalam daripada kebutuhan keinginan-keinginan, cita-cita dan alam perasaannya, serta pengintergrasian semuanya itu ke dalam kepribadian yang bulat dan harmonis.


(42)

26

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang menyusun kestabilan emosi adalah kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi.

C. Pasangan Muda

Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang. Soewondo (2001) menyebutkan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan dan keturunan. Untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan di dalam perkawinan tidaklah mudah, sebab di dalam perkawinan banyak hal yang dapat memicu berbagai permasalahan. Agar pasangan suami istri dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik dalam kehidupan perkawinannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.

1. Harapan-harapan dari masing-masing individu

Setiap individu akan memberi pengharapan-pengharapan kepada pasangannya. Terlebih ketika masa sebelum menikah, banyak karakter asli yang belum dimunculkan. Sadarjoen (2005) menyebutkan bahwa, konflik-konflik muncul pada bulan pertama perkawinan berasal dari harapan-harapan kedua pasangan tentang perkawinan tersebut dan apa yang seharusnya tidak terjadi pada perkawinan. Florence (dalam Bastaman, 2001) menambahkan bahwa, ketika di antara pasangan suami istri memiliki harapan yang berlebihan dan tidak realistis akan menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan di dalam kehidupan perkawinannya. Jika seseorang merasa


(43)

tidak puas dengan kehidupannya, tentunya akan sulit mencapai psychological well being dalam kehidupan perkawinannya.

2. Kerjasama di antara pasangan

Kerjasama merupakan hal yang penting di dalam perkawinan. Kerjasama di antara suami istri diperlukan dari hal-hal yang sederhana sampai dengan hal-hal yang kompleks. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa kebersamaan adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan dan merawat perkawinan. Lebih lanjut ia menjelaskan, bila kedua individu yang terlibat dalam suatu perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama dalam melaksanakan hal-hal kecil dalam kehidupan rumah tangganya, maka merekapun akan mendapat kesulitan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari. Mengingat masalah-masalah dalam kehidupan perkawinan selalu ada, maka kerjasama yang baik di antara pasangan suami istri menjadi sangat penting agar dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya.

3. Keinginan dan kebutuhan di antara pasangan

Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa, kebutuhan merupakan sesuatu yang selalu ada pada seseorang yang sehat. Meskipun kebutuhan-kebutuhan personal merupakan dasar yang sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan fisik dan psikologis, akan tetapi saat individu telah menikah, keinginan dan kebutuhan personal itu harus diseimbangkan dengan pasangan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila perbedaan keinginan masing-masing individu dalam kehidupan perkawinan tidak dapat diatasi, akan menimbulkan


(44)

28

masalah-masalah yang pada akhirnya dapat mempengaruhipsychological well beingpasangan suami istri tersebut.

4. Komunikasi

Untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan diperlukan komunikasi yang baik di antara pasangan (Sadarjoen, 2005). Lebih lanjut Bastaman (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan perkawinan, ada komunikasi di mana individu memiliki kesediaan dan keberhasilan untuk memberi dan menerima pendapat, tanggapan, ungkapan, saran, umpan balik dari satu pihak ke pihak lain secara baik yang dilakukan tanpa menyakiti hati salah satu pihak. Apabila komunikasi yang demikian digunakan dalam setiap menghadapi permasalahan, maka pasangan suami istri akan menemukan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan baik.

Perkawinan menciptakan pasangan dalam kehidupan rumah tangga, yaitu pasangan suami dan istri. Pasangan muda merupakan pasangan orang-orang muda. Hurlock (1994) menyebutkan orang dewasa muda sebagai orang muda. Menurut Hurlock (1994) masa dewasa muda dimulai dari umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Sementara itu, Rahmawati (2003) dalam penelitiannya, menyebutkan pasangan muda merupakan individu yang telah menikah dengan batas usia maksimal 35 tahun.

Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang muda memainkan


(45)

peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas baru ini (Hurlock, 1994).

Undang-undang perkawinan di negara kita menyebutkan bahwa, seseorang diperbolehkan menikah apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU Perkawinan Pasal 7 dalam Walgito, 1984). Walgito (1984) sendiri menyebutkan bahwa, seorang wanita sebaiknya menikah setelah usianya mencapai 23 tahun, sedangkan untuk pria setelah mencapai 27 tahun, karena pada usia tersebut individu dianggap telah dewasa. Hal ini berarti, seseorang sebaiknya menikah apabila ia telah dewasa, sehingga ia mampu menjalankan kehidupan perkawinannya dengan baik, karena menurut Maryati, dkk. (2007), dalam sebuah perkawinan pada umumnya banyak terjadi kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi.

Keluarga dimulai dengan suatu perkawinan dan selanjutnya berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa, perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hauck (1993) bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan damai. Anjani dan Suryanto (2006) menyebutkan masa perkawinan yang masih muda atau awal sebagai periode awal dalam perkawinan, yaitu kurang dari sepuluh tahun, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan.

Dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya,


(46)

30

pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda tersebut (Susilowati, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, pasangan muda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami dan istri), mencapai usia dewasa muda, usia minimal untuk istri 23 tahun dan suami 27 tahun dan usia tidak lebih dari 35 tahun serta usia perkawinan yang masih muda (periode awal) yaitu kurang dari sepuluh tahun.

D. Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being

pada Pasangan Muda

Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah dambaan setiap orang, akan tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar. Hauck (1993) menjelaskan bahwa, kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan. Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara berkala.

Pasangan muda yang merupakan orang-orang dewasa muda dan dengan usia perkawinan yang masih muda, juga akan mengalami berbagai permasalahan


(47)

dalam kehidupan perkawinannya. Hal ini dikarenakan masa dewasa muda merupakan periode yang khusus dan sulit dalam kehidupan seseorang. Menurut Hurlock (1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan, seperti terjadinya perbedaan pendapat, pemikiran, tujuan atau impian, ingin menguasai satu sama lain, kekecewaan, takut kehilangan dan perbedaan kebiasaan yang dipengaruhi perbedaan latar belakang. Menurut Anjani dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda.

Menurut Hurlock (1994), ketika pasangan suami istri menghadapai tekanan ataupun kondisi negatif, namun hal tersebut tidak diungkapkan, maka akan menimbulkan situasi yang sulit dalam kehidupan pekawinannya. Meskipun


(48)

32

demikian, tidak berarti pasangan muda tidak dapat mencapai kesejahteraan psikologis dalam kehidupannya. Kebahagiaan dapat diperoleh jika individu mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik (Hawthorne dalam Manz, 2007). Jadi, individu akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan jika ia mampu menjalankan fungsi psikologis positif sehingga dapat mencapai kondisi psikologis yang baik.

Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan dirinya. Menurut Safaria dan Saputra (2009), pemahaman akan suasana emosi, mengetahui secara jelas makna dari perasaan, mampu mengungkapkan perasaan secara konstruktif merupakan hal-hal yang mendorong tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being), kebahagiaan dan kesehatan jiwa individu. Orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya, orang yang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya, menjadi rentan terpenjara oleh emosinya sendiri. Hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan fungsi psikologisnya. Individu yang mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik, akan memiliki kondisi


(49)

psikologis yang baik pula. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.

Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara baik dan objektif. Individu yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada pasangan muda tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun (2006), yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

E. Kerangka Pemikiran

Hubungan antara kestabilan emosi denganpsychological well being pada pasangan muda dapat digambarkan dengan kerangka pikiran sebagai berikut:


(50)

34

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: ada hubungan positif antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda.


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung :Psychological well being

2. Variabel Bebas : Kestabilan Emosi

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi adalah suatu kondisi emosi yang tetap, tidak mudah berubah, tidak labil, memiliki kontrol emosi yang baik dan tidak mudah mengalami gangguan emosional dan mampu mengendalikan emosi secara tepat ketika menghadapi kondisi yang menyenangkan ataupun ketika menghadapi masalah dalam hidup. Tingkat kestabilan emosi akan diungkap melalui skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan pendapat beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li & Hui, 2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan, 2004), yaitu kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi kestabilan emosi, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kestabilan emosi dari subjek tersebut.


(52)

36

2. Psychological Well Being

Psychological well being adalah kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya. Untuk mengukur tingkat psychological well being pada subjek yang akan diteliti, digunakan skala psychological well being yang dibuat sendiri oleh peneliti yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi tingkat psychological well being, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat psychological well being dari subjek tersebut.

C. Populasi, Sampel dan Sampling

Populasi penelitian ini adalah pasangan muda yang ada di Kaplingan, kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Peneliti memilih daerah Kaplingan sebagai populasi penelitian dikarenakan beberapa alasan. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti dan data yang diperoleh dari kelurahan Jebres, daerah ini memiliki penduduk yang cukup banyak (terdiri dari 6 RT) di kelurahan Jebres dan


(53)

berdasarkan survei prapenelitian yang dilakukan peneliti, di sana terdapat cukup banyak pasangan muda yang sesuai dengan karakteristik pasangan muda yang diinginkan dalam penelitian ini, yaitu 105 pasangan (210 orang), serta wilayahnya yang tidak terlalu jauh mempermudah peneliti karena dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sebagian dari pasangan muda yang ada di Kaplingan, yaitu 47 pasangan (94 orang) yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subjek untuk uji coba dan kelompok subjek untuk penelitian. Perbandingan kedua kelompok tersebut adalah 1 : 2, sehingga diperoleh 17 pasangan (34 orang) dari RT 6 untuk uji coba dan 30 pasangan (60 orang) dari RT 1 dan RT 4 untuk penelitian.

Pemilihan sampel menggunakan purposive cluster random sampling. Purposive karena subjek pada penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan karakteristik yang diinginkan atau sesuai dengan tujuan penelitian. Karakteristik yang ditentukan untuk subjek penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Individu yang telah menikah (suami dan istri) 2. Mencapai usia dewasa muda (18-40 tahun)

3. Istri dengan kriteria usia 23-35 tahun dan suami denga kriteria usia 27-35 tahun, rentang usia demikian dipilih agar usia dapat menjadi kendali atau kontrol dalam pemilihan subjek penelitian


(54)

38

4. Usia perkawinan yang masih muda atau merupakan perisode awal di dalam perkawinan, yaitu kurang dari sepuluh tahun

Cluster dikarenakan randomisasi dilakukan pada RT yang ada di Kaplingan, kelurahan Jebres, kecamatan Jebres, dimana RT ini dianggap sebagai kelas. Pemilihan 47 pasangan (94 orang) didapatkan dengan cara mengundi RT yang ada di desa Kaplingan dengan menggunakan gulungan kertas yang ditulis nama-nama RT (RT 1-RT 6). Hasil randomisasi menghasilkan RT 1 (18 pasangan muda atau 36 orang pasangan muda), RT 4 (12 pasangan muda atau 24 orang pasangan muda) dan RT 6 (17 pasangan muda atau 34 orang pasangan muda) yang digunakan sebagai sampel penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden penelitian dan merupakan data utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari skala kestabilan emosi dan skala

psychological well being. b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari tempat penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berupa arsip yang diperoleh dari kelurahan tentang tingkat pendidikan subjek penelitian. Data penunjang ini digunakan untuk analisis deskriptif mengenai hasil


(55)

penelitian. Data mengenai tingkat pendidikan subjek penelitian dicatat kembali oleh peneliti dan dilampirkan dalam penelitian ini.

2. Alat Pengumpul Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis skala psikologi, yaitu skala psikologi tentang kestabilan emosi dan skala tentangpsychological well being. Selain itu, untuk mengetahui deskripsi lain mengenai responden, yaitu tingkat pendidikan, digunakan data atau arsip kelurahan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi skala Likert, dimana masing-masing skala memiliki ciri-ciri empat alternatif jawaban yang dipisahkan menjadi pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable, dengan cara penilaian dengan menggunakan empat kategori jawaban yaitu sebagai berikut:

Tabel 1

Penilaian PernyataanFavorabledan PernyataanUnfavorable

Pilihan Jawaban Bentuk Pernyataan

Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Penelitian ini menggunakan empat alternatif jawaban dengan menghilangkan alternatif jawaban “ragu-ragu”, hal tersebut dilakukan karena “ragu-ragu” mengindikasikan subjek tidak yakin dengan jawaban yang diberikan (Azwar, 2008). Penghilangan alternatif jawaban “ragu-ragu”


(56)

40

dilakukan peneliti sebagai upaya agar subjek hanya memberikan jawaban yang diyakini oleh subjek.

Penilaian skor bergerak mulai dari satu sampai empat, hal ini dilakukan peneliti dengan alasan ada beberapa pendapat bahwa nilai nol dapat diartikan bahwa subjek tidak memiliki hal yang disebutkan dalam suatu pernyataan dalam skala.

a. Skala Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan pendapat beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li & Hui, 2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan, 2004), yaitu kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi.

Skala kestabilan emosi dalam penelitian ini terdiri atas aitem

favorable dan aitem unfavorable yang masing-masing terdiri atas empat alternatif jawaban. Aitemfavorable adalah aitem yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan tertentu. Sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan tertentu.

Blueprint skala kestabilan emosi sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.


(57)

Tabel 2

BlueprintSkala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba)

No Aspek Indikator Aitem

Favorable Unfavorable 1. Kontrol

emosi

- Intensitas ledakkan emosi 5 33, 8 - Menahan kemarahan di

depan umum

21, 38 11, 14 - Mampu menghadapi situasi

ekstrim dengan tenang

18, 25 3, 24 - Frustrasi yang wajar atau

tidak berlebihan

7, 34, 43 29, 41 2. Respon

emosi

- Emosi yang ditunjukkan 1, 12, 20 22, 26, 31, 40 - Sedikit respon emosi negatif 4, 15, 28, 30 17, 36, 44 3. Kematangan

emosi

- Penyesuaian diri terhadap stress

2, 9 10, 16 - Tidak mudah cemas atau

khawatir serta marah

27, 35 13, 42 - Mampu melaksanakan

aktivitas dengan baik

6 37, 23

- Memiliki konsentrasi yang baik

39, 45 19, 32 Jumlah 22 23

Jumlah Total 45

b. SkalaPsychological Well Being

Psychological well being dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala psychological well being yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi psychological well being yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

Skala psychological well being dalam penelitian ini terdiri atas aitem favorable dan aitem unfavorable yang masing-masing terdiri atas empat alternatif jawaban. Aitemfavorable adalah aitem yang mengandung


(58)

42

nilai-nilai yang mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan tertentu. Sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang mengandung nilai-nilai yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan tertentu.

Blueprint skala psychological well being sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 3

BlueprintSkalaPsychological Well Being (Sebelum Uji Coba)

No. Dimensi Nomor Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

1. Penerimaan diri 2,11,20,30 4,25,29 7 2. Hubungan positif

dengan orang lain

1,17,31,39 9,13,21,33 8 3. Kemandirian 5,19,24,45 26,38,40,43 8 4. Penguasaan lingkungan 8,12,27,32 14,18,37 7 5. Tujuan hidup 3,15,28 7,23,35,42 7 6. Pertumbuhan pribadi 6,16,34,44 10,22,36,41 8

Jumlah total 23 22 45

E. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Vaditas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan review professional judgement, yaitu penilaian alat dengan dibimbing oleh orang-orang yang sudah berkompeten dan ahli di bidangnya. Dalam hal ini peneliti dibantu oleh dosen pembimbing. Uji validitas selanjutnya adalah prosedur seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini akan dilakukan seleksi item berdasarkan daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan


(59)

korelasi aitem total biasanya digunakan batasan 0,30. Namun dalam penelitian ini, batasan korelasi aitem total yang digunakan adalah 0,25. Hal ini menurut Crocker dan Algina (dalam Azwar, 2007) umumnya koefisien rix di atas 0,30 atau di atas 0,25 sudah dianggap mengindikasikan daya diskriminasi yang baik. Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution(SPSS) versi 17.0.

2. Reliabilitas

Teknik untuk mengetahui reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha. Pertimbangan memilih teknik ini karena data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh lewat penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok responden (single-trial administration), sehingga problem yang mungkin timbul pada pendekatan reliabilitas terulang dapat dihindari (Azwar, 2008). Untuk mempermudah perhitungan penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS 17.0for windows.

F. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu kestabilan emosi sebagai variabel bebas danpsychological well being sebagai variabel tergantung, sehingga menggunakan metode product moment dari Karl Pearson untuk melakukan pengujian dan pembuktian secara statistik hubungan antara kestabilan emosi


(60)

44

dengan psychological well being pada pasangan muda. Teknik korelasi product moment Pearson ini dipilih karena kedua variabel pada penelitian ini akan menghasilkan data yang berupa data interval. Untuk mempermudah perhitungan metode ini akan diolah dengan program Statistical Product and Service Solution


(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan

psychological well being pada pasangan muda dilaksanakan di Kaplingan, kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Daerah Kaplingan merupakan RW XX yang ada di kelurahan Jebres yang terdiri dari 6 RT. Berdasarkan data yang diperoleh dari bank data kelurahan Jebres Mei 2010 terdapat 548 jiwa yang merupakan penduduk tetap di daerah Kaplingan. Berikut rekapitulasi hasil coklit (pendataan yang dilakukan pihak kelurahan) tahun 2009 kelurahan Jebres.

Tabel 4

Rekapitulasi Hasil Coklit Desa Kaplingan Tahun 2009

RT Diterima Pindah Bukan

Penduduk

Meninggal Ganda

(double)

Tambahan Jumlah

I 85 - - - 1 2 86

II 100 - - 2 - 8 106

III 97 1 - - 2 6 100

IV 92 - 3 - 2 8 95

V 68 1 - - - 15 82

VI 75 - - - - 4 79

Jumlah 517 2 3 2 5 43 548


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, dimana semakin tinggi

kestabilan emosi subjek, maka akan semakin tinggi pula psychological well

being-nya.

2. Peran yang diberikan kestabilan emosi terhadappsychological well being pada

pasangan muda adalah sebesar 16,5%, sementara 83,5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

B. Saran

1. Bagi Pasangan Muda

Kepada pasangan muda diharapkan dapat menjadikan bahan pertimbangan

untuk meningkatkan kestabilan emosi dalam upaya mencapai psychological

well being dalam kehidupan perkawinannya di samping faktor-faktor lainnya. 2. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait

Psikolog, konselor perkawinan dan praktisi terkait diharapkan dapat memberikan masukan, saran dan penanganan yang efektif kepada pasangan


(2)

peningkatan kestabilan emosi agar tercapai psychological well being dengan tetap mempertimbangkan berbagai faktor lain yang mempengaruhi

psychological well beingindividu tersebut.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama, disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan mempertimbangkan


(3)

Aleem, S. 2005. Emotional Stability among College Youth. Journal of Indian Academy of Applied Psychology, 31, 100-102.

Amawidyati, A. G. dan Utami, M, S. 2007. Religiusitas dan Psychological Well

Being pada Korba Gempa.Jurnal Psikologi, 34, 164-174.

Anjani, C. dan Suryanto. 2006. Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal. Jurnal Psikologi, 8, 198-210.

Azwar, S. 1999. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi Kedua.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

________. 2007. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi

Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. 2008.Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. 2008.Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barus, G. 2005. Komunikasi Interpersonal Suami-Istri Menuju Keluarga

Harmonis.Jurnal Intelektual, 3, 137-152.

Bastaman, H. D. 2001. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi

Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Calhoun, J. F. dan Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and Human

Relationship 3rd Edition. USA: McGraw Hill.

Chaplin, J. P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Gerungan, W. A. 2004.Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Hauck, P. 1993.Membina Perkawinan Bahagia. Jakarta: Arcan.


(4)

Irma, A. 2003. Perbedaan Kestabilan Emosi Remaja yang Shalatnya Teratur

dengan Kestabilan Emosi Remaja yang Shalatnya Tidak Teratur. Jurnal

Psikologi Islam, 3, 83-93.

Li, Y. dan Hui, C. 2005. Multilevel Model of Emotional Stability on Emergent

Group Leadership When Group Level Conflict Concerned. Tesis. Tidak

Diterbitkan.Chinese University of Hong Kong.

Manz, C. 2007. Emotional Discipline: 5 Langkah Menata Emosi untuk Merasa

Lebih Baik Setiap Hari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Maryati, H., Alsa, A. dan Rohmatun. 2007. Kaitan Kematangan Emosi dengan Kesiapan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal di Kecamatan Semarang

Barat.Jurnal Psikologi Proyeksi, 2, 25-35.

Morgan, C. T. 1986.Introduction to Psychology 7th Edition. New York: McGraw

Hill Book Company Inc.

Pengadilan Agama Surakarta. 2010.Melonjaknya Angka Perceraian Jadi Sorotan

Lagi. http://pa-surakarta.go.id (Diakses 1 Juni 2010, 08.42 pm).

Priyatno, Duwi. 2009.Mandiri Belajar SPSS untuk Analisis Data & Uji Statistik.

Yogyakarta: MediaKom.

Putri, A. G. dan Suryadi, D. 2007. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Selebriti Menjelang Masa Lanjut Usia: Studi pada Penyanyi Wanita Era 60-an. Arkhe, 12, 91-100.

Rahmawati. 2003. Analisis Permintaan Anak pada Wanita Pasangan Usia Muda di

Kota Makasar. Tesis. Tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana

Universitas Hasanuddin Makasar.

Ryff, C. D. dan Singer, B. H. 1996. Psychological Well Being: Meaning,

Measurement and Implications for Psychotherapy Research. Journal of

Psychotheraphy Psychosomatics, 65, 14-23.

Ryff, C. D. dan Keyes, C. L. M. 1995. The Structure of Psychological Well Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology. 69, 719-727.


(5)

Empirical Encounter of Two Traditions.Journal of Personality and Social Psychology, 82, 1007-1022.

Ryff, C. D. 1989. Happines Is Everything, or Is It? Exploration on the Meaning of

Psychological Well Being.Journal of Personality and Social Psychology,

57, 1069-1081.

Sadarjoen, S. S. 2005. Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan

Alternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama.

Safaria, T. dan Saputra, N. E. 2009.Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas

Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara.

Schmutte, P. S. dan Ryff, C. D. 1997. Personality and Well Being: Reexamining

Methodes and Meaning. Journal of Personality and Social Psychology,

73,549-559.

Schneiders, A. 1991. Personal Adjustment and Mental Health. New York:

Rinehart and Winston.

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-Teori Terkait. Yogyakarta: Kanisius.

Sharma, S. 2006. Emotional Stability of Visually Disabled in Relation to Their

Study Habits.Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 32,

30-32.

Smith, S. J. 2003.Before Saying Yes to Marriage. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Soewondo, S. 2001. Bunga Rampai: Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi

sampai Lanjut Usia. Jakarta: UI Press.

Sugianto, I. R. 2000. Status Lajang dan Psychological Well Being pada Pria dan

Wanita Lajang Usia 30-40 Tahun di Jakarta,Phronesis, 2, 67-77.


(6)

Taylor, S. E. 1995.Health Psychology 3rd Edition. Singapore: McGraw Hill.

Tenggara, H., Zamralita dan Suyasa, P. T. Y. S. 2008. Kepuasaan Kerja dan

Kesejahteraan Psikologis Karyawan.Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan

Organisasi, 10, 96-115.

Wahyuningsih, H. 2005. Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami-Istri Dewasa Muda Ditinjau dari Kecerdasan Emosional dan Umur Perkawinan. Indonesian Psychological Journal, 20, 330-341.

Walgito, B. 1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan

Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

________. 1994.Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Witherington, H. C. 1978.Psikologi Pendidikan (Terjemahan: Muchtar Buchori).