PENGARUH PENAMBAHAN FEED ADITIF DENGAN DOSIS BERBEDA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ADDITION FEED ADDITIVES WITH DIFFERENT DOSES ON FEED ON THE LAYER PERFORMANCES

By

Zaeni Hidayat Z P

This research was conducted in Juli-Agustus 2016 at layer farm in Sumber Sari, Taman Sari Village of Gedong Tataan District, Pesawaran Regency and Laboratory of Nutrition and Food Livestock, Animal Husbandry Departmen, Faculty of Agriculture, University of Lampung. This research aims to study 1) the effect using feed additive on feed for performances; 2) optimum doses of feed additive in feed layer.

This research used Completely Randomized Design with 4 treatments added feed additive with a dose of (0; 0,15; 0,25; and 0,35%) and 5 replications, and there were 20 experiment unit and each unit consists of 1 chicken. Material used in this research was 20 chickens strain of isa brown the age 48 weeks. The result can be conclude that addition of feed additive with a doses of 0; 0,15; 0,25; 0,35% on feed influence insignificantly (P>0.05) to the performances (feed consumption, feed convertion, egg weight, hen-day, and income over feed cost (IOFC)) layer and not found optimum doses.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHANFEEDADITIF DENGAN DOSIS BERBEDA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

Oleh

Zaeni Hidayat Z P

Penelitian ini dilaksanakan pada Juli – Agustus 2016 bertempat di peternakan ayam petelur Dusun Sumber Sari, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran serta Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan feed aditif terhadap performa serta mengetahui dosis optimum penggunaan feed aditif pada ransum ayam petelur.

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan penambahan feed aditif dengan dosis (0; 0,15; 0,25; 0,35%) dan 5 ulangan, sehingga tedapat 20 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 1 ekor ayam. Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 20 ekor ayam strain isa brown umur 48 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan feed aditif dengan dosis 0; 0,15; 0,25; 0,35% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap performa (konsumsi ransum, bobot telur, hen day, konversi ransum, dan income over feed cost(IOFC)) ayam petelur serta tidak terdapat dosis yang optimum.


(3)

PENGARUH PENAMBAHANFEEDADITIF DENGAN DOSIS BERBEDA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

(Skripsi)

Zaeni Hidayat Z P

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2017


(4)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ADDITION FEED ADDITIVES WITH DIFFERENT DOSES ON FEED ON THE LAYER PERFORMANCES

By

Zaeni Hidayat Z P

This research was conducted in Juli-Agustus 2016 at layer farm in Sumber Sari, Taman Sari Village of Gedong Tataan District, Pesawaran Regency and Laboratory of Nutrition and Food Livestock, Animal Husbandry Departmen, Faculty of Agriculture, University of Lampung. This research aims to study 1) the effect using feed additive on feed for performances; 2) optimum doses of feed additive in feed layer.

This research used Completely Randomized Design with 4 treatments added feed additive with a dose of (0; 0,15; 0,25; and 0,35%) and 5 replications, and there were 20 experiment unit and each unit consists of 1 chicken. Material used in this research was 20 chickens strain of isa brown the age 48 weeks. The result can be conclude that addition of feed additive with a doses of 0; 0,15; 0,25; 0,35% on feed influence insignificantly (P>0.05) to the performances (feed consumption, feed convertion, egg weight, hen-day, and income over feed cost (IOFC)) layer and not found optimum doses.


(5)

ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHANFEEDADITIF DENGAN DOSIS BERBEDA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

Oleh

Zaeni Hidayat Z P

Penelitian ini dilaksanakan pada Juli – Agustus 2016 bertempat di peternakan ayam petelur Dusun Sumber Sari, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran serta Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan feed aditif terhadap performa serta mengetahui dosis optimum penggunaan feed aditif pada ransum ayam petelur.

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan penambahan feed aditif dengan dosis (0; 0,15; 0,25; 0,35%) dan 5 ulangan, sehingga tedapat 20 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 1 ekor ayam. Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 20 ekor ayam strain isa brown umur 48 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan feed aditif dengan dosis 0; 0,15; 0,25; 0,35% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap performa (konsumsi ransum, bobot telur, hen day, konversi ransum, dan income over feed cost(IOFC)) ayam petelur serta tidak terdapat dosis yang optimum.


(6)

PENGARUH PENAMBAHANFEEDADITIF DENGAN DOSIS BERBEDA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

Oleh

Zaeni Hidayat Z P Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2017


(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 26 Oktober 1991 di Dusun Al-Muhajirun, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Bapak Muhammad Asyhari dan Ibu Taufiqoh.

Pendidikan yang ditempuh penulis adalah TK Al-Fatah Lampung (1997--1999), Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Fatah Lampung (1999--2005), Madrasah

Tsanawiyah (MTs) Mathlaul Anwar Tangerang (2006--2009), Madrasah Aliyah (MA) Al-Fatah Lampung (2009--2012). Pada 2012, penulis terdaftar sebagai salah satu mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Univeritas Lampung melalui Ujian Tertulis (SNMPTN Tertulis).

Penulis melaksanakan Praktek Umum di peternakan MulawarmanFarm, Kecamatan Gading Rejo, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bandar Aji Jaya, Kecamatan Gedong Aji, Kabupaten Tulang Bawang. Penulis pernah menjadi ketua OSIS di Mts Mathlaul Anwar Tangerang, anggota bidang

kedislipinan di MA Al-Fatah Lampung, saat di perguruan tinggi menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET).


(10)

i

SANWACANA

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikanpenyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh

PenambahanFeedAditif dengan Dosis Berbeda dalam Ransum terhadap Performa

Ayam Petelur” sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Peternakan (S.

Pt) pada Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Tintin Kurtini, M.S., -- selaku Pembimbing Utama atas -- saran, bimbingan, nasihat, serta segala bantuan selama penyusunan skripsi.

2. Ibu Dr. Farida Fathul, M.Sc., --selaku Pembimbing Anggota atas -- arahan, bimbingan serta motivasi yang diberikan selama penyusunan skripsi.

3. Ibu Ir. Khaira Nova, M.P., -- selaku Pembahas atas -- nasihat, saran, dan bimbingannya selama penyusunan skripsi;

4. Drh. Purnama Edy Santosa, M.Si., selaku Pembimbing Akademik atas --persetujuan dan arahan yang telah diberikan ;

5. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P., -- selaku Ketua Jurusan Peternakan atas -- izin yang diberikan;


(11)

ii

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., -- selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas -- izin yang diberikan;

7. Kedua orang tua tercinta atas segala kasih sayang, perhatian, kesabaran, dorongan semangat, pengertian, kritik dan saran serta doa-doanya yang tulus;

8. Keluarga tercinta (Rohmi, Afifi, Mala, Tika, Fuad, Yanah dan Robith) atas dukungan, motivasi, bantuannya selama studi;

9. Rekan- rekan seperjuangan ( Gusti, Riawan, Bayu, Indra, Destama, Miyan, Rony Fadil serta seluruh angkatan 2012 yang tak disebut satu per satu atas kerjasama, canda tawa, serta dukungan selama kuliah dan penyusunan skripsi;

10. Seluruh kanda dan yunda senior serta alumni yang telah membimbing selama menjalani pendidikan di bangku kuliah.

Semoga segala kebaikan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT serta tercatat sebagai amal sholeh di sisi-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amiin.

Bandar Lampung, September 2016


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Kegunaan Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 3

E. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

A. Ransum ... 6

B.FeedAditif (Asam Amino, Mineral, dan Vitamin) ... 8

C. Deskripsi Ayam Petelur ... 15

D. Performa Ayam Petelur ... 17

1. Konsumsi ransum ... 18

2. Hen-day... 19

3. Bobot telur ... 20

4. Konversi rasum... 22


(13)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 24

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 24

1. Bahan penelitian ... 24

a. Ayam... 24

b. Ransum ... 25

c. Feedaditif ... 27

2. Alat Penelitian ... 28

C. Metode Penelitian... 28

D. Prosedur Penelitian... 28

E. Peubah yang Diamati... 29

1. Konsumsi ransum ... 29

2. Hen-day... 29

3. Bobot telur... 30

4. Konversi ransum ... 30

5. Income over feed cost(IOFC) ... 30

F. Analisis data... 31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 32

B. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum... 33

C. Pengaruh Perlakuan terhadapHen-Day... 36

D. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur ... 39

E. Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum... 45


(14)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Simpulan ... 50

B. Saran ... 50

VI. DAFTAR PUSTAKA ... 51


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan nutrien pakan ... 25

2. Kandungan nutrien ransum perlakuan ... 26

3. Kandungan nutrien masamix kws ... 27

4. Rata-rata konsumsi ransum pada ayam petelur... 33

5. Rata-ratahen daypada ayam petelur ... 36

6. Rata-rata bobot telur pada ayam petelur ... 39

7. Rata-rata nilai konversi ransum pada ayam petelur ... 45

8. Rata-rata nilaiincome over feed cost(IOFC) pada ayam petelur ... 47

9. Analisis ragam pengaruh dosisfeedaditif terhadap konsumsi ransum... 56

10. Uji lanjut pengaruh dosisfeedaditif terhadap konsumsi ransum... 56

11. Rata-ratahen day(hasil transformasi arcsin)... 57

12. Analisis ragam pengaruh dosisfeedaditif terhadaphen day ... 57

13. Uji lanjut pengaruh dosisfeedaditif terhadaphen day... 58

14. Analisis ragam pengaruh dosisfeedaditif terhadap bobot telur ... 58

15. Uji lanjut pengaruh dosisfeedaditif terhadap bobot telur ... 59

16. Analisis ragam pengaruh dosisfeedaditif terhadap konversi ransum ... 59

17. Uji lanjut pengaruh dosisfeedaditif terhadap konversi ransum ... 60

18. Rata-rataincome over feed cost( IOFC) ... 60

19. Analisis ragam pengaruh dosisfeedaditif terhadap income over feed cost(IOFC) ... 61


(16)

20. Uji lanjut pengaruh dosisfeedaditif terhadap

income over feed cost(IOFC) ... 61 21. Data suhu dan kelembaban kandang percobaan ... 62


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Konsep suplementasi premiks (diadopsi dari konsep

suplementasi vitamin) ... 15 2. Tata letak ayam percobaan... 55


(18)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Meningkatnya kebutuhan protein telur merupakan tantangan bagi perusahaan ayam petelur untuk meningkatkan produktivitas ayam petelur. Salah satu yang dapat memengaruhi produktivitas ayam petelur adalah pemberian ransum yang berkualitas. Ransum berkualitas tentunya tersusun atas komposisi yang sesuai dengan kebutuhan ternak.

Ransum dalam usaha peternakan unggas memiliki peranan pokok yang perlu mendapat perhatian selain bibit dan manajemen. Menurut Wiharto ( 1997 ), ransum merupakan komponen terbesar dari biaya produksi yaitu mencapai 60--70%. Oleh karena itu, masalah ketersediaan bahan pakan ternak unggas sangat terkait dengan perkembangan usaha peternakan. Perkembangan usaha peternakan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi telur. Biaya tersebut dapat tertutupi jika performa ayam petelur baik.

Performa ayam petelur dapat dilihat dari konsumsi ransum, konversi ransum, bobot telur, hen-day, dan IOFC ( income over feed cost). Jika performa tersebut baik maka usaha peternakan ayam petelur dapat dikatakan bagus. Syarat untuk mendapatkan performa yang baik pada ternak maka harus diberikan ransum yang


(19)

2

berkualitas. Ransum berkualitas dapat diperoleh dengan formulasi pakan yang memiliki kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan ternak.

Nutrien dalam ransum yang dapat memengaruhi kualitas telur, antara lain protein, mineral, dan vitamin. Untuk dapat meningkatkan zat nutrien dan menyamai kualitas ransum komersial, biasanya pada ransum konvensional ditambahkan suatu zat ransum tambahan yang bersifat aditif. Menurut Fathul dkk.(2013), ransum aditif yaitu suatu substansi yang ditambahkan ke dalam ransum dalam jumlah yang relatif sedikit untuk meningkatkan nilai kandungan zat makanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan khusus. Macam-macam ransum aditif seperti aditif konsentrat, aditif bahan suplemen, dan premix (aditif mineral).

Peternak di Dusun Sumber Sari, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran belum mengetahui efektivitas penggunaan premix dalam ransum sehingga kualitas telur yang dihasilkan terutama pada fase 2 kurang baik. Hal ini diduga dapat disebabkan oleh nutrien dalam ransum belum

mencukupi kebutuhan ayam petelur, sehingga performa yang dihasilkan belum optimal.

Salah satu premix komersial adalah masamix kws yang diproduksi oleh PT. Mensana Aneka Satwa. Masamix kws merupakan jenis aditif mineral dan vitamin. Menurut PT. Mensana Aneka Satwa (2015), Masamix kws merupakan premix lengkap mengandung kombinasi multivitamin, asam amino dan trace mineral seimbang.


(20)

3

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap penggunaan masamix kws dalam ransum terhadap performa ayam petelur.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) mengetahui pengaruh penggunaan feed aditif terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, bobot telur, hen-day, dan IOFC;

2) mengetahui dosis optimum penggunaan feed aditif pada ransum ayam petelur.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak dan perusahaan mengenai dosis optimum dan efektivitas penggunaan masamix kws pada ransum ayam ras petelur.

D. Kerangka Pemikiran

Produktivitas ayam petelur ditentukan oleh banyak faktor termasuk genetik dan kualitas ransum. Kualitas ransum tergantung dari kandungan zat-zat nutrisi dan energi metabolisnya, serta keseimbangan antara energi metabolis dengan zat-zat nutrisi lainnya (Wahju, 2004). Performa sangat dipengaruhi oleh kualitas ransum yang diberikan. Ransum yang berkualitas ( komposisi bahan tepat, baik jumlah maupun konsumsinya) akan memengaruhi laju pertumbuhan dan kesehatan unggas, sehingga ayam dapat menghasikan telur yang berkualitas baik.


(21)

4

Secara umum, nutrisi penting yang wajib terkandung dalam ransum yang dibutuhkan oleh ayam saat bertelur yakni protein, energi, asam amino, kalsium, fosfor, vitamin, dan beberapa mineral penting lainnya (Amrullah, 2003).

Menurut PT. Mensana Aneka Satwa (2015), masamix kws merupakan premix lengkap mengandung kombinasi multivitamin, asam amino dan trace mineral seimbang. Komposisi per 2.5 kg mengandung ; vitamin A 5.000.000 IU,niacin 7.530 mg, vitamin D3 1.000.000 IU , asam folat 140 mg, vitamin E 7.500 IU , choline chloride 100.000 mg, vitamin K 1.530 mg , DL-methionine 100.000 mg, vitamin B1 800 mg , copper 2.200 mg, vitamin B2 3.000 mg , cobalt 240 mg, vitamin B6 800 mg , ferros 23.400 mg, vitamin B12 10.000 mg , iodium 1.200 mg, vitamin C 5.000 mg , mangan 40.800 mg, Ca-d-panthothenate 5.000 mg , dan zinc 30.000 mg.

Masamix memiliki indikasi dapat meningkatkan produksi telur dan

memperpanjang masa produksi telur, meningkatkan kualitas telur, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan reproduksi, mencegah kekurangan vitamin, mineral dan asam amino, serta memperbaiki mutu ransum dan konversi ransum. Dosis pemakaian masamix kws adalah 0,25% dalam ransum.

Hasil penelitian Busrowi (2006) menyatakan bahwa pemberian mineral plus yaitu premix no 1 sebanyak 2% dan supra mineral sebanyak 2% dalam ransum berbeda sangat nyata terhadap HDP (hen-day production) dan FCR (feed convertion ratio).


(22)

5

Hasil penelitian Angelia (2006) menyatakan bahwa pemberian mineral plus yaitu antara premix no.1 dengan supra mineral sebanyak 2% dalam ransum tidak berbeda nyata terhadap efisiensi ransum dan IOFC (tidak meningkatkan nilai IOFC).

Dosis penggunaan premix biasanya tergantung dari formulator ransumnya. Dosis yang dianjurkan dalam penggunaan masamix kws sebesar 0,25% dari per

kilogram ransum. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perbedaan dosis pemberian masamix kws dalam ransum terhadap performa ayam petelur dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang berujung pada meningkatnya pendapatan.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1) terdapat pengaruh perbedaan dosis pemberian feed aditif dalam ransum terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, bobot telur, hen-day, dan IOFC;

2) dosis 0,35% merupakan dosis yang optimum terhadap performa (konsumsi ransum, konversi ransum, bobot telur, hen-day, dan IOFC) ayam petelur.


(23)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ransum

Ransum adalah makanan dengan campuran beberapa bahan ransum yang

disediakan bagi hewan untuk memenuhi kebutuhan akan nutrien yang seimbang dan tepat selama 24 jam meliputi lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Anggorodi, 1995). Fungsi ransum yang diberikan kepada ayam pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan membentuk sel jaringan tubuh. Selain itu, ransum dapat menggantikan bagian-bagian zat nutrisi yang menjadi kebutuhan ayam seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang selanjutnya menghasilkan energi selama proses penguraiannya (Sudaryani dan Santoso,1995).

Ransum yang efisien bagi ayam adalah ransum yang seimbang antara tingkat energi dan kandungan protein, vitamin, mineral, serta zat-zat makanan lain yang diperlukan untuk pertumbuhan ayam (Siregar dan Sabrani, 1980). Rasio energi dan protein harus seimbang agar potensi genetik ayam dapat tercapai secara maksimal (Widyani dkk., 2001). Tingkat konsumsi ransum akan memengaruhi laju pertumbuhan dan bobot akhir. Hal ini karena pembentukan bobot, bentuk, dan komposisi tubuh merupakan akumulasi dari ransum yang dikonsumsi selama pemeliharaan (Blakely dan Blade, 1998).


(24)

7

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrisi yang lain. Konsumsi ransum yang relatif banyak akan menyebabkan konsumsi zat-zat makanan seperti asam amino,vitamin protein, dan mineral juga relatif banyak, sehingga kebutuhan ayam mencakup kebutuhan pokok, pertumbuhan maupun produksi telur bisa terpenuhi (Wahju, 2004).

Menurut Amrullah (2003), konsumsi ransum selama masa produksi dialokasikan untuk memenuhi beberapa macam kebutuhan seperti kebutuhan hidup pokok yang besarnya tergantung pada bobot tubuh dan suhu lingkungan serta aktifitas ayam, pertumbuhan tubuh, produksi bulu, dan produksi telur. Konsumsi ransum ayam petelur dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu lingkungan, bangsa, umur, jenis kelamin, imbangan zat-zat nutrisi dalam ransum, kecepatan pertumbuhan, tingkat produksi, bobot badan, palatabilitas, dan tingkat energi metabolis ransum. Semakin tinggi energi dalam ransum maka konsumsi ransum akan menurun begitupun sebaliknya (Wahju, 2004).

Pada umumnya pakan yang diberikan pada ternak harus sesuai kebutuhan ternak baik dari segi kualitas maupun kuantitas agar dapat dimanfaatkan ternak untuk berbagai fungsi tubuhnya, yaitu hidup pokok, produksi, dan reproduksi.

Penambahan premix ke dalam campuran konsentrat dapat meningkatkan kualitas nutrisi di dalam konsentrat yang bermanfaat dalam mengoptimalkan produktivitas dan membantu meningkatkan pertumbuhan ternak (Mariyono dan Romjali, 2007). Premix merupakan imbuhan pakan (feed additive) atau pelengkap pakan berupa vitamin, mineral, dan asam amino (feed supplement) yang pemberiannya


(25)

8

dicampurkan dalam pakan/ air minum. Premix sendiri mengandung arti campuran dari berbagai bahan sumber vitamin (premix vitamin) atau sumber mineral mikro (premix mineral) atau campuran kedua-duanya (premix vitamin-mineral) ( PT. Medion, 2010).

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3929-2006, standar ransum ayam petelur harus mengandung kadar air maksimal 14,00%, protein kasar minimal 16,00%, lemak kasar maksimal 7,00%, serat kasar maksimal 7,00%, abu maksimal 14,00%, kalsium 3,25--4,25%, fosfor 0,60--1,00%, dan energi metabolis minimal 2.650 kkal/kg.

B. Feed aditif (Asam Amino, Mineral, dan Vitamin)

Menurut Fathul dkk. (2013), pakan aditif yaitu suatu substansi yang ditambahkan ke dalam ransum dalam jumlah yang relatif sedikit untuk meningkatkan nilai kandungan zat makanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan khusus. Lebih lanjut Fathul dkk. (2013) menyatakan bahwa manfaat pemberian pakan aditif atau suplemen dari segi fisiologis adalah

1. ternak terhindar dari defisiensi vitamin (avitaminosis) dan defisiensi mineral, yang kemungkinan berupa kelumpuhan, otot kejang, milk fever (paresis

puerperalis, pertumbuhan jaringan epitel yang kurang baik, dan mudah terkena infeksi;

2. ternak terhindar malnutrisi misalkan kekurusan pada musim kemarau yang panjang karena kualitas ransum menurun;


(26)

9

Asam amino merupakan hasil akhir dari pencernaan protein, bahan pembangun untuk pembuatan protein tubuh dan merupakan hasil degradasi dalam

katabolisme protein (Anggorodi, 1995).

Asam amino ialah asam karboksilat yang mempunyai gugus amino.Asam amino yang terdapat sebagai komponen, protein mempunyai gugus −NH2 pada atom karbon α dari posisi gugus COOH. Rumus umum untuk asam amino ialah R−CH−COOH

NH2

(Anggorodi, 1995).

Widodo (2002) menyatakan bahwa umumnya ransum unggas yang berasal dari produk nabati mempunyai kekurangan asam amino lisin dan metionin, sehingga perlu disuplementasi ke dalam ransum dalam bentuk asam amino sintesis.

Sementara itu, ransum yang diberikan kepada ternak harus memenuhi persyaratan nutrisi seperti energi, protein (asam amino), lemak, vitamin, dan mineral. Ayam bukan membutuhkan protein kasar melainkan asam amino yang terkandung di dalamnya. Kandungan asam amino yang terbaik dan seimbang hanya ada pada bahan makanan sumber hewani. Asam amino - asam amino bahan makanan yang paling sulit untuk dilengkapi dalam jumlah seimbang adalah lisin, metionin, sistin, dan triptofan. Asam amino–asam amino tersebut dinamakan asam amino esensial, karena itu perhatian khusus perlu diberikan untuk memenuhi kebutuhan bila menyusun ransum (Anggorodi, 1985).


(27)

10

Penambahan trace mineral di dalam pakan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mineral Co, Mn, Fe, I, Cu, Zn, Dan Se. Kebutuhan trace mineral biasanya sangat sedikit dan umumnya ditambahkan dalam bentuk mix atau dicampur dengan vitamin yang disebut dengan premix. Premix mengandung trace mineral dan vitamin dalam konsentrasi tinggi sehingga penggunaannya dalam pakan maksimal 0,5% atau tergantung rekomendasi perusahaan (PT. Medion, 2013)

Anggorodi (1995) menyatakan bahwa metionin adalah asam amino yang mengandung sulfur dan essensial (undispensable) bagi manusia dan ternak monogastrik sehingga metionin harus tersedia di dalam ransum ternak. Menurut Cheeke (1987), asam amino dapat dibedakan menjadi dua yaitu asam amino esensial dan asam amino nonesensial. Asam amino esensial yaitu asam amino yang harus ada di dalam bahan ransum, karena tidak dapat disintesis dalam tubuh ternak, sedangkan asam amino nonesensial yaitu asam amino yang dapat disintesis guna mencukupi kebutuhan pertumbuhan normal.

Menurut PT. Mensana Aneka Satwa (2015), masamix kws merupakan premix lengkap mengandung kombinasi multivitamin, asam amino dan trace mineral seimbang. Komposisi per 2.5 kg mengandung; vitamin A 5.000.000 IU, niacin 7.530 mg, vitamin D3 1.000.000 IU, asam folat 140 mg, vitamin E 7.500 IU, choline chloride 100.000 mg, vitamin K 1.530 mg, DL-methionine 100.000 mg, vitamin B1 800 mg, copper 2.200 mg, vitamin B2 3.000 mg, cobalt 240 mg, vitamin B6 800 mg, ferros 23.400 mg, vitamin B12 10.000 mg, iodium 1.200 mg,


(28)

11

vitamin C 5.000 mg, mangan 40.800 mg, Ca-d-panthothenate 5.000 mg, dan zinc 30.000 mg.

Berdasarkan kandungan tersebut masamix memiliki indikasi dapat meningkatkan produksi telur dan memperpanjang masa produksi telur, meningkatkan kualitas telur, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan reproduksi, mencegah kekurangan vitamin, mineral dan asam amino, serta memperbaiki mutu ransum dan konversi ransum (PT. Mensana Aneka Satwa, 2015)

Hasil penelitian Dewansyah (2010) menunjukkan bahwa penambahan suplementasi vitamin A pada ransum burung puyuh hingga 4.500 IU tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot telur, tebal kerabang, dan nilai HU telur puyuh.

Secara umum vitamin dibagi menjadi dua golongan berdasarkan kelarutannya dalam lemak dan dalam air. Vitamin yang mudah larut dalam lemak terdiri dari vitamin A, D, E dan K. Sementara vitamin B komplek (B1, B2, B6, B12, Niacin, Asam pantotenat, Asam folat, dan Biotin) dan vitamin C digolongkan dalam vitamin yang mudah larut dalam air (PT. Medion, 2013).

Vitamin B dibutuhkan agar penyerapan nutrisi menjadi efisien. Bersama dengan vitamin A, vitamin B sangat penting untuk membantu ayam dalam aktivitas metabolismenya dan untuk mempertahankan serta meningkatkan kemampuan bertelur. Vitamin C dan E sama-sama dapat meningkatkan ketahanan ayam


(29)

12

terhadap stres dan membantu mempertahankan kesehatan ayam. Sementara itu, keuntungan spesifik yang berhubungan dengan kualitas telur yang superior dapat dicapai, jika vitamin E diberikan dalam jumlah optimal pada pakan ayam yang sedang bertelur. Akhirnya, vitamin D dibutuhkan untuk membantu proses

pembentukan tulang dan kerabang serta untuk menghindari masalah kelumpuhan. (PT. Medion, 2013).

Vitamin adalah senyawa organik yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan yang diperlukan hanya jumlah kecil untuk pertumbuhan normal dan memelihara kehidupan (Tillman, dkk., 1991). Vitamin yang dibutuhkan oleh unggas terdapat 13 jenis vitamin (North, 1984). Vitamin dibutuhkan oleh unggas untuk menjaga kesehatan secara umum, kesehatan mata dan untuk membantu pembekuan darah, untuk kesehatan otot, fertilitas dan daya tetas telur, untuk proses metabolisme, dan pembentukan tulang. Vitamin dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu (1) vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E dan vitamin K, dan (2) vitamin larut dalam air yaitu vitamin B kompleks, dan vitamin C.Vitamin-vitamin tersebut terdapat di dalam bahan ransum dan sebagian lagi diproduksi oleh mikroorganisme dalam tubuh unggas seperti vitamin K.

Unggas yang tidak makan cukup vitamin tidak dapat tumbuh normal, mata dan tulang terganggu (Scott,dkk., 1982; NRC, 1994). Sumber vitamin sebagian besar bahan ransum, minyak tanaman, lemak hewan, daun-daunan seperti tepung alfalfa (North, 1984). Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan

perbaikan kualitas ransum yang diformulasi sedemikian rupa agar kandungan nutrien, baik yang utama seperti protein kasar dan energi metabolis maupun


(30)

13

mineral dan penambahan substansi nutrien seperti vitamin sebagai antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menangkal radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak (Murray dkk., 1999).

Mineral dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu mineral makro dan mikro. Mineral makro yang dibutuhkan dalam jumlah relatif lebih banyak dari mineral lain adalah kalsium (Ca) dan fosfor (P) untuk pembentukan tulang; natrium (Na), kalium (K), magnesium (Mg), dan klorida (Cl) yang dibutuhkan untuk

keseimbangan asam-basa dalam proses osmosis tubuh. Mineral mikro adalah Cu, I, Mn, Se, dan Zn (dan Co yang dapat diperoleh dari vitamin B12) (NRC, 1994).

Lebih lanjut NRC (1994) menyatakan bahwa secara umum, mineral adalah gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit akan tetapi perannya sangat penting untuk pertumbuhan tulang, pembentukan kerabang telur, keseimbangan dalam sel tubuh, membantu pencernaan dan sistem transportasi gizi dalam tubuh, fertilitas, dan daya tetas telur.

Fungsi mineral pada ternak adalah sebagai pembentuk struktur fisiologis, sebagai katalisator sekaligus berfungsi sebagai regulator. Semua jaringan tubuh ternak mengandung zat mineral dalam jumlah dan proporsi yang sangat bervariasi. Beberapa jenis mineral merupakan elemen inorganik yang dibutuhkan oleh ternak untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Zn berperan penting pada sintesis DNA serta metabolisme protein sehingga sistem tubuh akan terganggu jika defisien Zn. Proses metabolisme karbohidrat, lemak dan pembentukan sistem


(31)

14

imunitas tubuh juga sangat membutuhkan salah satu jenis mineral ini. Zn merupakan mikromineral yang tersebar di dalam jaringan hewan, manusia, dan tumbuhan serta terlibat dalam fungsi metabolisme. Zn berperan juga dalam fungsi berbagai enzim, meningkatkan nafsu makan, produksi telur, daya tetas telur, dan pertumbuhan tulang dan bulu pada ayam petelur (PT. Medion, 2013).

Bahan pakan yang mengandung mineral akan dicerna di dalam saluran pencernaan unggas menjadi ion mineral yang dapat diserap ke dalam tubuh unggas. Unggas yang kekurangan mineral akan tumbuh tidak normal, tidak sehat dan tulang jadi keropos. Akan tetapi, secara umum mineral yang penting dihitung di dalam ransum adalah kandungan kalsium (Ca) dan fosfor (P). Mineral lain pada umumnya dipenuhi dari bahan ransum lain atau dapat ditambahkan dalam bentuk campuran berbagai mineral (premix). Kebutuhan Ca dan P untuk unggas dinyatakan dalam satuan persen (%)/kg ransum yang kemudian dapat dihitung menjadi mg/g/ekor/hari. Sumber mineral: tepung ikan, tepung daging dan tulang, tepung udang, tepung tulang, kulit keong, kulit kerang, kapur dan dikalsium fosfat (NRC, 1994).

Penambahan premiks harus disesuaikan dengan kondisi ayam baik tingkat produktivitas maupun kondisi lingkungannya. Setidaknya ada 4 level

suplementasi premiks yaitu 1) defisiensi, 2) suboptimum (standar), 3) optimum, dan 4) berlebihan. Suplementasi premiks hendaknya pada level optimum yaitu asupan premiks sedikit di atas level kebutuhan standar. Hal ini bermanfaat saat ayam berada dalam kondisi yang tidak nyaman seperti saat heat stress, ayam


(32)

15

masih memiliki cadangan nutrisi untuk menekan efek negatif dari stres tersebut sehingga produktivitas ayam tetap optimum (PT. Medion, 2010).

Suplementasi premiks yang standar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar ayam. Pada peternakan ayam komersial, suplementasi pada level standar kurang menguntungkan karena produktivitas ayam kurang optimal. Sama halnya saat suplementasi premiks dalam kondisi berlebihan karena tidak menguntungkan peternak akibat pengeluaran yang meningkat ( PT. Medion, 2010). Konsep suplementasi premix dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Konsep suplementasi premiks (diadopsi dari konsep suplementasi vitamin) (PT. Medion, 2010).

C. Deskripsi Ayam Petelur

Ayam petelur merupakan ayam – ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah dari ayam hutan yang telah didomestikasi dan diseleksi sehingga bertelur cukup banyak. Arah seleksi ayam hutan ditujukan pada produksi yang banyak. Namun, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari seleksi tadi mulai spesifik.


(33)

16

Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat (Rasyaf, 1997).

Ayam petelur adalah ayam yang sangat efisien untuk menghasilkan telur dan mulai bertelur umur ±5 bulan dengan jumlah telur sekitar 250--300 butir per ekor per tahun (Susilorini dkk., 2008). Bobot telur ayam ras rata–rata 57,9 g

dan rata–rata produksi telur hen-day 70% (Mc Donald, dkk., 2002).

Produktivitas ayam petelur ditentukan oleh banyak faktor termasuk genetik dan kualitas ransum. Kualitas ransum tergantung dari kandungan zat-zat nutrisi dan energi metabolisnya, serta keseimbangan antara energi metabolis dengan zat-zat nutrisi lainnya (Wahju, 2004). Scott dkk. (1982) menyatakan bahwa ayam ras tipe medium mulai bertelur pada umur 20--22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi terjadi pada umur sekitar 20--30 minggu dan setelah itu mengalami penurunan dengan perlahan sampai tiba saatnya untuk diafkir, lebih kurang pada umur 1,5 tahun.

Ayam tipe sedang memiliki ciri–ciri : 1) ukuran badan lebih besar dan lebih kokoh daripada ayam tipe ringan, serta berperilaku tenang, 2) timbangan badan lebih berat daripada ayam tipe ringan karena jumlah daging dan

lemaknya lebih banyak, 3) otot–otot kaki dan dada lebih tebal, dan 4) produksi telur cukup tinggi dengan kulit telur tebal dan berwarna cokelat.


(34)

17

Ayam petelur tipe medium disebut juga ayam tipe dwiguna atau ayam petelur cokelat yang memiliki berat badan antara ayam tipe ringan dan ayam tipe berat. Ayam dwiguna selain dimanfaatkan sebagai ayam petelur juga dimanfaatkan sebagai ayam pedaging bila sudah memasuki masa afkir (Rasyaf, 2001).

Strain CP 909 merupakan salah satu ayam petelur tipe medium. Bulu ayam strain CP 909 berwarna cokelat kemerahan. Berat tubuh saat awal produksi 5% hen-day sekitar 1,5 dan pada saat akhir produksi 1,9--2,0 kg. Produksi telurnya mencapai 300--305 butir per tahun. Bobot telur sekitar 60 g. Konsumsi ransum saat produksi 110--120 g/ekor/hari dengan konversi ransum 2,1--2,2 kg

ransum (Suprijatna dkk., 2005). Selanjutnya Mc Donald dkk .(2002) menyatakan bahwa ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250 butir per tahun dengan bobot telur rata–rata 57,9 g dan rata–rata produksi telur hen-day 70%.

D. Performa Ayam Petelur

Performa adalah prestasi atau segala aktivitas yang menimbulkan sebab akibat dan perilaku yang dapat dipelajari atau diamati (Sudarsono, 1997). Menurut Berhadin dan Russel (1993), performa didefinisikan sebagai catatan hasil-hasil yang

diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama tempo waktu tertentu. Lebih lanjut Sudono dkk. (1985) menyatakan bahwa performa adalah istilah yang diberikan kepada sifat-sifat ternak yang bernilai ekonomi (produksi telur, bobot badan, pertambahan berat tubuh, konsumsi ransum, konversi ransum, presentase karkas, dan lain-lain).


(35)

18

Menurut PT. Medion (2012), nilai standar produktivitas/performa ayam telah ditentukan oleh perusahaan pembibit ( breeder). Standar tersebut meliputi hen-day, bobot telur, lama produksi, konversi ransum, kekebalan, dan daya hidup serta pertumbuhan. Pencapaian performa tersebut tergantung dari manajemen

pemeliharaan yang diterapkan oleh masing-masing peternak. Untuk

meningkatkan performa, penyerapan nutrisi, kesehatan, kekebalan tubuh dan lain-lain perlu pemberian suplemen nutrisi untuk ternak unggas. Pemberian suplemen yang tepat akan dapat melengkapi kebutuhan unggas untuk mencapai

produktivitas yang maksimal.

1. Konsumsi ransum

Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dimakan dalam waktu tertentu (Wahju, 1992). Pencatatan konsumsi ransum oleh peternak unggas bertujuan untuk mengatur anggaran pembelian ransum serta menunjukkan perubahan kesehatan dan produktivitas ternak unggas (Williamson dan Payne, 1993). Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa. Data ini dibuat dalam satuan gram atau kilogram dan lakukan per minggu (Rasyaf, 1996). Tujuan ternak mengonsumsi ransum adalah untuk mempertahankan hidup, meningkatkan bobot badan, dan untuk berproduksi (Anggorodi, 1985).

Konsumsi ransum akan meningkat bila diberi ransum dengan kandungan energi yang rendah dan akan menurun bila diberi ransum dengan kandungan energi tinggi. Dengan demikian, dalam penyusunan ransum kandungan protein harus


(36)

19

disesuaikan dengan kandungan energinya. Unggas mengonsumsi ransum terutama untuk memenuhi kebutuhan energinya (Anggorodi, 1985). Energi berlebih dalam ransum terjadi bila perbandingan energi dan protein, vitamin serta mineral dalam keadaan berlebihan daripada yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal, produksi, aktivitas dan untuk memelihara fungsi-fungsi vital (Wahju, 1992). Hasil penelitian Angelia (2006) menyatakan bahwa pemberian mineral plus yaitu antara premix no.1 dengan supra mineral sebanyak 2% dalam ransum tidak berbeda nyata terhadap efisiensi ransum ayam petelur isa brown.

2. Hen-day

Produksi telur dapat diukur dalam satuan hen-day. Hen-day merupakan produksi telur dibagi dengan jumlah ternak petelur yang ada pada saat itu, dan biasanya diukur setiap hari. Masa bertelur dihitung setelah produksi telur mencapai 5% hen-day (Rasyaf, 1996). Kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidup itik dan mendukung produksi telur tergantung pada bahan yang digunakan untuk membentuk ransum tersebut. Penurunan produksi telur dapat disebabkan oleh pemberian asam amino yang rendah (Wahju, 1992). Selanjutnya Mc Donald dkk. (2002) menyatakan bahwa ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250 butir per tahun dengan bobot telur rata–rata 57,9 g dan rata–rata produksi telur hen-day 70%.

Hen-day ialah presentase produksi telur yang dihasilkan oleh ayam produktif per hari. Rata-rata produksi layer selama hidupnya ialah 80% dengan hen-day mencapai puncak produksi pada angka 95% dan persistensi produksi (lama


(37)

20

bertahan dipuncak hen-day > 90%) selama 23--24 minggu (rata-rata strain ayam petelur) (PT. Medion, 2015).

Hen-day adalah membandingkan produksi telur yang diperoleh hari itu dengan jumlah ayam yang hidup pada hari itu. Lebih lanjut di jelaskan bahwa pencatatan hen-day setiap hari dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, dalam menghitung produksi mingguan dapat dilakukan dengan membandingkan total produksi telur per minggu dengan rata-rata jumlah ayam per minggu dikali 7 (Nova dkk., 2014). Hasil penelitian tentang penambahan vitamin A atau E maupun kombinasinya terhadap produksi telur harian menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi telur harian (Sihaloho dkk., 2012).

3. Bobot telur

Faktor yang memengaruhi besarnya telur adalah tingkat dewasa kelamin, protein dan asam amino yang cukup dalam ransum (Anggorodi,1985). Lebih lanjut (Wahju, 2004) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi besarnya telur adalah genetik, tahap kedewasaan umur, obat-obatan, dan zat-zat nutrisi dalam ransum. Menurut North dan Bell (1990), ukuran telur terdiri dari ukuran kecil yaitu dengan bobot telur kurang dari 47,2g, ukuran medium dengan bobot telur 47,2--54,2g, ukuran besar dengan bobot telur 54,4--61,4g dan ukuran jumbo dengan bobot telur lebih dari 61,5g. Pada umur 25--30 minggu, ayam banyak menghasilkan telur dengan ukuran medium.


(38)

21

Anggorodi (1994) mengemukakan bahwa besarnya telur dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk sifat genetik, tingkat dewasa kelamin, umur, obat- obatan, dan makanan sehari-hari. Faktor makanan terpenting yang diketahui memengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa disamping ransum yang berkualitas baik juga air minum turut berpengaruh terhadap ukuran besar telur, pada ayam kekurangan air minum akan memengaruhi organ reproduksinya.

Hasil penelitian Amrullah (2003) menyatakan bahwa ayam yang diberi 0,1% methionine (asam amino essensial) dengan 14% dan 16% protein kasar dalam ransumnya ternyata memiliki kualitas telur yang lebih baik (bobot telur) dan produksi yang lebih tinggi (hen-day) dibandingkan dengan yang tidak diberi suplementasi.

Bobot telur dan ukuran telur berbeda-beda, akan tetapi antara berat dan ukuran telur saling berhubungan. Berdasarkan beratnya, telur ayam ras dapatdigolongkan menjadi beberapa kelompok yaitu : 1) jumbo, dengan berat 65g per butir, 2) ekstra besar, dengan berat 60--65g per butir, 3) besar, dengan berat 55--60g per butir, 4) sedang, dengan berat 50--55g per butir, 5) kecil, dengan berat 45--50g per butir, dan kecil sekali, dengan berat dibawah 45g per butir (Sarwono, 1994).

Hasil penelitian Alifa (2007) menunjukkan bahwa dengan pemberian Mineral Plus yaitu antara Premik No.1 sebanyak 2 % dengan Supra Mineral sebanyak 2 % dalam ransum tidak berbeda nyata terhadap rata-rata tebal kerabang telur pada


(39)

22

kedua perlakuan dan masih berada pada kisaran normal serta rata-rata berat telur pada penggunaan kedua Mineral Plus lebih tinggi dari berat telur standar.

4. Konversi Ransum

Konversi ransum erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan ransum selama proses produksi telur dan didefinisikan sebagai perbandingan antara konsumsi ransum dengan unit berat telur yang dihasilkan (Anggorodi, 1985). Menurut Rasyaf (1993), konversi ransum merupakan pembagian antara ransum yang dihabiskan untuk produksi telur dengan jumlah produksi telur yang diperoleh. Semakin kecil angka konversi ransum semakin baik tingkat

konversinya. Konversi ransum dipengaruhi oleh laju perjalanan digesta di dalam alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi ransum, dan pengaruh imbangan nutrien (Anggorodi, 1985).

Konversi ransum dipengaruhi oleh genetik, ukuran tubuh, suhu lingkungan, kesehatan, tercukupinya nutrien ransum (Rasyaf, 1987), jumlah dan bobot telur yang diproduksi (Rasyaf, 1991). Menurut Yunus (1991) tata laksana, kualitas ransum, dan penggunaan bibit yang baik juga dapat berpengaruh.

Hasil penelitian Busrowi (2006) menyatakan bahwa pemberian mineral plus yaitu premix no 1 sebanyak 2% dan supra mineral sebanyak 2% dalam ransum berbeda sangat nyata terhadap HDP (hen-day production) dan FCR(feed convertion ratio).


(40)

23

5. Income Over Feed Cost (IOFC)

Nilai IOFC merupakan indikator yang dapat memperlihatkan suatu usaha

peternakan mendapat keuntungan atau tidak. Besarnya nilai IOFC dapat diketahui dengan membandingkan pendapatan terhadap biaya ransum ( Rasyaf, 2005) IOFC (income over feed cost) merupakan perbandingan antara pendapatan usaha dan biaya ransum. Pendapatan usaha merupakan perkalian antara hasil produksi peternakan dengan harga produksi, sedangkan biaya ransum adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan kilogram produk ternak (PT. Medion, 2015).

Hasil penelitian Angelia (2006) menyatakan bahwa pemberian mineral tambahan yaitu antara premix no.1 dengan supra mineral sebanyak 2% dalam ransum terhadap IOFC tidak berbeda nyata ( tidak meningkatkan nilai IOFC). Lebih lanjut dijelaskan hasil penelitian Priastoto (2016) tentang pemberian probiotik dari mikroba lokal terhadap nilai IOFC menunjukkan hasil berturut-turut P0; P1; P2; P3 yaitu 1,13; 0,87; 0,75; dan 0,63.


(41)

24

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 4 minggu pada Juni-Juli 2016, bertempat di peternakan ayam petelur Dusun Sumber Sari, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Gedong Tataan, Pesawaran serta Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

a. Ayam

Ayam yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 20 ekor ayam ras petelur strain isa brown yang diperoleh dari PT. Charoen Phokpand, ayam petelur fase kedua berumur 48 minggu dengan rata-rata bobot tubuh 1,85±0,05 kg (koefisien keragaman: 2,95%).


(42)

25

b. Ransum

Ransum yang digunakan adalah

P0 : ransum kontrol (tanpa penambahan feed aditif )

P1 : ransum kontrol dengan penambahan feed aditif 0,15% P2 : ransum kontrol dengan penambahan feed aditif 0,25% P3 : ransum kontrol dengan penambahan feed aditif 0,35%

Komposisi nutrien ransum yang digunakan yaitu jagung kuning, dedak padi, MBM (meat bone meal), dan bungkil kedelai, seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrien pakan (berdasarkan bahan kering)

Nutrien

Bahan Pakan Jagung* Dedak* Bungkil**

Kedelai

Meat bone meal**

Grit Energi metabolis

(Kka/kg) 3.370 2.400 2.280 2.150 -

Kadar air (%) 12,59 11,18 11,63 7,49 2,00

Protein kasar (%) 10,71 11,98 41,28 46,61 - Serat kasar (%) 2,32 10,28 5,85 15,97 - Lemak kasar (%) 2,77 12,44 4,25 3,30 -

Abu(%) 1,34 6,32 7,47 27,38 98,00

Ca (%) 0,01 0,02 0,05 1,65 38,00

P (%) 0,13 0,21 0,11 0,31 0,02 Keterangan :

* Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Lampung, 2015

** Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Lampung, 2016.


(43)

26

Komposisi ransum yang digunakan harus memenuhi kebutuhan ayam petelur. Komposisi ransum kontrol pada penelitian ini yaitu jagung 55,5%, dedak 6,0%, bungkil kedelai 24,4%, meat bone meal 7,6%, dan grit 6,5%.

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3929-2006, standar ransum ayam petelur harus mengandung kadar air maksimal 14%, protein kasar minimal 16%, lemak kasar maksimal 7%, serat kasar maksimal 7%, abu maksimal 14%,

kalsium 3,25 -- 4,25%, fosfor 0,60 –1,00%, dan energi metabolis minimal 2.650 kkal/kg. Kandungan nutrien ransum perlakuan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan hasil analisis.

Nutrien Ransum

P0 P1 P2 P3

Kadar air (%KU)** 12,48 11,91 11,58 10,74

Protein kasar (%BK) ** 17,50 17,50 17,50 17,50

Serat kasar (%BK) ** 7,90 7,90 7,90 7,90

Lemak kasar (%BK) ** 6,80 6,80 6,80 6,80

Abu(%BK) ** 10,01 11,82 10,84 11,35

Ca (%BK) * 2,17 2,21 1,92 1,20

P (%BK) * 0,72 0,73 0,74 0,75

Keterangan : *) Hasil analisis Laboratorium Analisis Politeknik Negri Lampung, 2016.

**) Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Lampung, 2016.

KU : kering udara BK : bahan kering


(44)

27

Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan nutrien ransum perlakuan telah

memenuhi kebutuhan ayam petelur, kecuali kandungan kalsium ransum kurang dari standar SNI, yaitu berkisar antara 1,20--2,21%

c. Feed Aditif

Feed aditif yang digunakan adalah masamix kws dengan kandungan nutrien yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan nutrien masamix kws

Bahan Jumlah

(Dalam 1 Ton)

Vitamin A (IU) 5.000.000

Vitamin D3 (IU) 1.000.000

Vitamin E (IU) 7.500

Vitamin K (mg) 1.530

Vitamin B1 (mg) 800

Vitamin B2 (mg) 3.000

Vitamin B6 (mg) 800

Vitamin B12 (mg) 10.000

Vitamin C (mg) 5.000

Ca-d-Panthothenate (mg) 5.000

Niacin (mg) 7.530

Asam Folat (mg) 140

Choline chloride (mg) 100.000

DL –Methionine (mg) 100.000

Copper (mg) 2.200

Cobalt (mg) 240

Ferros (mg) 23.400

Iodium (mg) 1.200

Mangan (mg) 40.800

Zinc (mg) 30.000


(45)

28

2. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Kandang

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang jenis baterai berukuran 35x35 cm2. Tiap unit kandang berisi satu ekor ayam ras petelur, yang masing-masing unit dilengkapi tempat ransum dan minum. b. Egg tray digunakan sebagai tempat meletakkan telur saat pengambilan

telur;

c. Timbangan elektrik merk Bayco kapasitas 210 g dengan ketelitian 0,001 g yang digunakan untuk menimbang ransum dan telur.

d. Termohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan kandang;

e. Alat hitung untuk menghitung konsumsi ransum, konversi ransum, bobot telur, hen-day dan IOFC.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, sehingga tedapat 20 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 1 ekor ayam. Ayam-ayam tersebut berbobot badan 1,8--1,9 kg. Setiap ayam dimasukkan ke dalam kandang individu secara acak.

D. Prosedur Penelitian

1. Persiapan Kandang.


(46)

29

dibersihkan dan disuci hamakan (didesinfeksi) dengan desinfektan untuk membunuh kuman yang dapat mengganggu kesehatan ayam.

2. Memilih ayam.

Memilih 20 ekor ayam secara acak yang selanjutnya akan ditimbang untuk mendapatkan bobot tubuh ayam yang seragam kemudian dimasukkan ke dalam kandang serta memberikan kode pada masing-masing ayam sesuai pengacakan.

3. Memberi makan

Memberi makan serta minum ayam sesuai jadwal yang telah ditentukan. 4. Pengambilan data

Melakukan pengumpulan data (konsumsi ransum, hen-day, bobot telur, konversi ransum, dan IOFC).

E. Peubah yang Diamati

1. Konsumsi ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa (Rasyaf, 1996).

2. Hen-day

Hen-day adalah membandingkan produksi telur yang diperoleh hari itu dengan jumlah ayam yang hidup pada hari itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pencatatan hen-day setiap hari di anggap kurang efisien. Oleh karena itu, dalam menghitung produksi mingguan dapat dilakukan dengan membandingkan total produksi telur per minggu dengan rata-rata jumlah ayam per minggu dikali 7 (Nova dkk., 2014).


(47)

30

Rumus produksi telur mingguan yaitu

Total produksi telur per minggu

Produksi telur mingguan (%)= x 100% Rata-rata jumlah ayam per minggu x 7

3. Bobot telur (g/butir)

Mengumpulkan telur setiap hari, kemudian menimbang telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam. Timbangan yang digunakan dengan ketelitian 0,001 g.

4. Konversi ransum

Konversi ransum merupakan pembagian antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada minggu tertentu (g) dengan bobot telur (g) yang dihasilkan (Rasyaf, 2005). Rumus konversi ransum yaitu :

Ransum yang dikonsumsi (g) Konversi ransum =

Bobot telur (g)

5. Income over feed cost (IOFC)

Nilai IOFC merupakan indikator yang dapat memperlihatkan suatu usaha peternakan mendapatkan untung atau tidak. Nilai IOFC dapat dilihat dengan membandingkan pendapatan dari telur terhadap biaya ransum ( Rasyaf, 2005).

Rumus IOFC yaitu

Pendapatan (Rp) IOFC =


(48)

31

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisis Of Variance/ANOVA), kemudian uji polinomial ortogonal pada taraf 5% ( Steel dan Torrie, 1991).


(49)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Penambahanfeedaditif dalam ransum pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap performa (konsumsi ransum, bobot telur, hen-day, konversi ransum, dan IOFC) ayam petelur.

2. tidak terdapat dosis yang optimum dalam penggunaanfeedaditif pada penelitian.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menganjurkan perlu adanya penelitian lanjutan tentang penggunaan dosisfeedaditif dalam ransum terhadapstrainayam petelur dan fase produksi yang berbeda.


(50)

51

DAFTAR PUSTAKA

Alifa, Z. 2007. Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap Berat Telur dan Tebal Kerabang Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas

Muhammadiyah Malang. Malang.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu GunungBudi. Bogor. Angelia, R. (2006). Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap Efisiensi Ransum

dan IOFC (Income Over Feed Cost) Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Anggorodi, H. R. 1985. Ilmu Makanan ternak Unggas, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

. 1994. Ilmu Makanan ternak Umum, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Berhadin, H. J. dan J. E. A. Russel. 1993. Human Resource Management. Singapore. McGraw Hill Inc.

Blakely, J. dan D.H. Blade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Busrowi, I. 2006. Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap HDP (Hen Day Production) dan FCR (Feed Convertion Rate) Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Cheeke, P.R. 1987. Rabbit Feeding and Nutrition. Oregon State University. Corvallis, Oregon.

Dewansyah, A. 2010. Efek Suplementasi Vitamin A dalam Ransum terhadap Produksi dan Kualitas Telur Burung Puyuh. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.


(51)

52

Fathul, F .,S. Tantalo, Liman, dan N. Purwaningsih. 2013. Pengetahuan Pakan dan Formulasi Ransum. Buku Ajar. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Fernandez F., I., D.W. Cahen, N.C. Steele, R.G. Campbell, D.D. Hall, E. Virtanes And T.J. Capema. 2002. Effect of Dietary Betain on Nutrion Utilization and Pertitioning in the Young Growing Feed Restricted Pig. J. Animal. Sci. 80: 421-428.

Isa Brown Management Guide. 2015. A HendrixGenetics Company.

Kurtini, T., K. Nova, dan D. Septinova. 2014. Produksi Ternak Unggas. Buku Ajar. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Loestet, C. A., E. C. Titgemeyer., G. St-Jeans., D. C. Van Metre, And J. S. Smith. 2003. Methionin Asa Methyl Group donor Ingrowing Cattle. J. Sci.

80:219-2206.

Mariyono dan Romjali. E. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.

McDonald, P., R. A. Edwards , J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Scientific and Technical, New York.

Murray, R. K., D. K. Granner, P. A. Mayer, dan V. W. Rodwell. 1999. Biokimia Harper. 24th Ed. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta (Alih Bahasa: Andry Hartono).

Nasution, Zakiyah. 2007. Pengaruh Suplementasi Mineral (Ca, Na, P, Cl) dalam Ransum terhadap Performans dan IOFC Burung Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Umur 0-42 Hari. Skripsi. Departemen Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry Eighth. Revised Edition. National Academy of Sciences. Washington, DC. North, M. O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. 3rd Ed. The Avi

Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Prodution Manual. 4

th


(52)

53

Nova, K., T. Kurtini, dan Riyanti. 2014. Manajemen Usaha Ternak Unggas. Buku Ajar. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Oderkirk, A. 2001. The Role of Calcium Phosphorus And Vitamin D3 in Egg Shell and Bone Formation. Nova Scotia Departmen of Agriculture and Marketing

Priastoto, D. 2016. Pengaruh Pemberian Probiotik dari Mikroba Lokal terhadap Performa Ayam Petelur. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung

PT. Medion. 2010. All About Premix. Buletin Peternakan.

. 2012. Mengontrol Ukuran dan Berat Telur . Buletin Peternakan . 2013. Fungsi Mineral Dan Vitamin pada Ternak. Buletin Peternakan . 2015. Mengetahui Standar Produksi untuk Efisiensi Peternakan Ayam Petelur/Layer. Buletin Peternakan.

PT. Mensana Aneka Satwa. 2015. Daftar Produk–Produk Obat Hewan. Jakarta Rasyaf, M. 1987. Konversi Pakan. Majalah Ayam dan Telur. No. 15:82

, . 1996. Manajemen Peternakan Ayam Petelur. Kansius. Yogyakarta. , . 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius, Yogyakarta.

, . 1991. Pengelolaan produksi telur. Edisi kedua. Kansius. Yogyakarta. , . 2005. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saputra, D. R. 2016. Pengaruh Penambahan Feed Aditif dalam Ransum dengan Dosis yang Berbeda terhadap Bobot Telur, Tebal Kerabang, dan Nilai Haugh Unit (HU) Telur Ayam Ras. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatn Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Schutte, J. B., J. De Jong, W. Smink, And M. Pack. 1997. Replacement Value Of Betaine For Dl;Methionine In Male Broiler Chicks. J. Poultry Sci. 76:321-325.

Scott, M. L., M. C. Nesheinm, and R. J. Young. 1982. Nutrient of The Chicken. 3

rd


(53)

54

Sihaloho. P., N. Sutama, dan B. Sukamto. 2012. Kombinasi Pemberian Vitamin A dan E Dalam Ransum terhadap Kecernaan Lemak dan Indikator

Ketahanan Tubuh Pada ayam Kedu Petelur. Animal Agriculture Journal. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.

Siregar, A. P. dan M. Sabrani. 1980. Tehnik Modern Beternak Ayam. Penerbit PT. Yasaguna, Jakarta.

Steel, R.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistiska. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1995. Telur Ayam Konsumsi. SNI 01-3926-1995. Dewan Standarisasi Nasional-DSN. Jakarta.

. 2006. Pakan Ayam Ras Petelur, SNI 01–3929– 2006. Dewan Standarisasi Nasional Jakarta.

Sudaryani. T. dan Santoso. 1995. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susilorini, T. E., Sawitri, E. M., dan Muharlien. 2008. Budidaya Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tillman, D. A., H. Hartadi., S. Reksohadiprojo., S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

, .2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Widodo, W. 2002. Nutrisi Ransum Unggas Konstekstual. Fakultas Peternakan– Perikanan. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Widyani, R., S. Prawirokusumo, Nasroedin, dan Zuprizal. 2001. Pengaruh

Peningkatan Aras Energi dan Protein Terhadap Kinerja Ayam Pedaging. Buletin Peternakan. (25):109-119.

Wiharto, U. 1997. Petunjuk Beternak Ayam. Universitas Brawijaya, Malang. Wiliamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Edisi Ketiga. (Alih Bahasa: D. Darmadja). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(54)

55


(1)

day, konversi ransum, dan IOFC) ayam petelur.

2. tidak terdapat dosis yang optimum dalam penggunaanfeedaditif pada penelitian.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menganjurkan perlu adanya penelitian lanjutan tentang penggunaan dosisfeedaditif dalam ransum terhadapstrainayam petelur dan fase produksi yang berbeda.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alifa, Z. 2007. Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap Berat Telur dan Tebal Kerabang Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas

Muhammadiyah Malang. Malang.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu GunungBudi. Bogor. Angelia, R. (2006). Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap Efisiensi Ransum

dan IOFC (Income Over Feed Cost) Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Anggorodi, H. R. 1985. Ilmu Makanan ternak Unggas, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

. 1994. Ilmu Makanan ternak Umum, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Berhadin, H. J. dan J. E. A. Russel. 1993. Human Resource Management. Singapore. McGraw Hill Inc.

Blakely, J. dan D.H. Blade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Busrowi, I. 2006. Pengaruh Pemberian Mineral Plus terhadap HDP (Hen Day Production) dan FCR (Feed Convertion Rate) Ayam Petelur Strain Isa Brown. Tesis. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Cheeke, P.R. 1987. Rabbit Feeding and Nutrition. Oregon State University. Corvallis, Oregon.

Dewansyah, A. 2010. Efek Suplementasi Vitamin A dalam Ransum terhadap Produksi dan Kualitas Telur Burung Puyuh. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.


(3)

Fernandez F., I., D.W. Cahen, N.C. Steele, R.G. Campbell, D.D. Hall, E. Virtanes And T.J. Capema. 2002. Effect of Dietary Betain on Nutrion Utilization and Pertitioning in the Young Growing Feed Restricted Pig. J. Animal. Sci. 80: 421-428.

Isa Brown Management Guide. 2015. A HendrixGenetics Company.

Kurtini, T., K. Nova, dan D. Septinova. 2014. Produksi Ternak Unggas. Buku Ajar. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Loestet, C. A., E. C. Titgemeyer., G. St-Jeans., D. C. Van Metre, And J. S. Smith. 2003. Methionin Asa Methyl Group donor Ingrowing Cattle. J. Sci.

80:219-2206.

Mariyono dan Romjali. E. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan.

McDonald, P., R. A. Edwards , J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Scientific and Technical, New York.

Murray, R. K., D. K. Granner, P. A. Mayer, dan V. W. Rodwell. 1999. Biokimia Harper. 24th Ed. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta (Alih Bahasa: Andry Hartono).

Nasution, Zakiyah. 2007. Pengaruh Suplementasi Mineral (Ca, Na, P, Cl) dalam Ransum terhadap Performans dan IOFC Burung Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Umur 0-42 Hari. Skripsi. Departemen Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry Eighth. Revised Edition. National Academy of Sciences. Washington, DC. North, M. O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. 3rd Ed. The Avi

Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Prodution Manual. 4

th


(4)

Nova, K., T. Kurtini, dan Riyanti. 2014. Manajemen Usaha Ternak Unggas. Buku Ajar. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Oderkirk, A. 2001. The Role of Calcium Phosphorus And Vitamin D3 in Egg Shell and Bone Formation. Nova Scotia Departmen of Agriculture and Marketing

Priastoto, D. 2016. Pengaruh Pemberian Probiotik dari Mikroba Lokal terhadap Performa Ayam Petelur. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung

PT. Medion. 2010. All About Premix. Buletin Peternakan.

. 2012. Mengontrol Ukuran dan Berat Telur . Buletin Peternakan . 2013. Fungsi Mineral Dan Vitamin pada Ternak. Buletin Peternakan . 2015. Mengetahui Standar Produksi untuk Efisiensi Peternakan Ayam Petelur/Layer. Buletin Peternakan.

PT. Mensana Aneka Satwa. 2015. Daftar Produk–Produk Obat Hewan. Jakarta Rasyaf, M. 1987. Konversi Pakan. Majalah Ayam dan Telur. No. 15:82

, . 1996. Manajemen Peternakan Ayam Petelur. Kansius. Yogyakarta. , . 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius, Yogyakarta.

, . 1991. Pengelolaan produksi telur. Edisi kedua. Kansius. Yogyakarta. , . 2005. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saputra, D. R. 2016. Pengaruh Penambahan Feed Aditif dalam Ransum dengan Dosis yang Berbeda terhadap Bobot Telur, Tebal Kerabang, dan Nilai Haugh Unit (HU) Telur Ayam Ras. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatn Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Schutte, J. B., J. De Jong, W. Smink, And M. Pack. 1997. Replacement Value Of Betaine For Dl;Methionine In Male Broiler Chicks. J. Poultry Sci. 76:321-325.

Scott, M. L., M. C. Nesheinm, and R. J. Young. 1982. Nutrient of The Chicken. 3

rd


(5)

Siregar, A. P. dan M. Sabrani. 1980. Tehnik Modern Beternak Ayam. Penerbit PT. Yasaguna, Jakarta.

Steel, R.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistiska. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1995. Telur Ayam Konsumsi. SNI 01-3926-1995. Dewan Standarisasi Nasional-DSN. Jakarta.

. 2006. Pakan Ayam Ras Petelur, SNI 01–3929– 2006. Dewan Standarisasi Nasional Jakarta.

Sudaryani. T. dan Santoso. 1995. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susilorini, T. E., Sawitri, E. M., dan Muharlien. 2008. Budidaya Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tillman, D. A., H. Hartadi., S. Reksohadiprojo., S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

, .2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Widodo, W. 2002. Nutrisi Ransum Unggas Konstekstual. Fakultas Peternakan– Perikanan. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Widyani, R., S. Prawirokusumo, Nasroedin, dan Zuprizal. 2001. Pengaruh

Peningkatan Aras Energi dan Protein Terhadap Kinerja Ayam Pedaging. Buletin Peternakan. (25):109-119.

Wiharto, U. 1997. Petunjuk Beternak Ayam. Universitas Brawijaya, Malang. Wiliamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Edisi Ketiga. (Alih Bahasa: D. Darmadja). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(6)