Pengaruh Penambahan Larutan Zat Kapur Terhadap Kenaikan pH Pada Air Pengolahan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ZAT KAPUR

TERHADAP KENAIKAN pH PADA AIR PENGOLAHAN

PDAM TIRTANADI IPA SUNGGAL

TUGAS AKHIR

OLEH:

DITA TRISYA SEPTIANI

NIM 122410006

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul

“Pengaruh Penambahan Larutan Zat Kapur Terhadap Kenaikan pH Pada Air Pengolahan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal”.

Pada dasarnya Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada Praktek Lapangan Kerja (PKL) di PDAM Tirtanadi Pusat di Medan.

Selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan 1 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU. 4. Bapak Iwan Setiawan, selaku Kepala Laboratorium PDAM Tirtanadi IPA


(4)

5. Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing Akademik selama melaksanakan pendidikan pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.

6. Seluruh staf dan karyawan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal di Medan yang telah membantu selama melaksanakan PKL

7. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh staf di Fakultas Farmasi USU.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Capt. Sutrisno dan Ibunda Nursahro Harahap, kedua adik Donna Trisya Adewani dan Primayoga Andesti, serta rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Medan, April 2015 Penulis,

DITA TRISYA SEPTIANI NIM 122410006


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Air ... 3

2.1.1 Pembagian Air Berdasarkan Analisis ... 5

2.1.2Pencemaran Air ... 6

2.1.3 Dampak dari Pencemaran Air ... 8

2.2 Derajat Keasaman (pH) ... 9

2.2.1 Pengaruh pH ... 12

2.3 Kapur ... 13

2.4 Kalsium ... 15


(6)

2.5 Turbiditas (Kekeruhan) ... 17

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 19

3.1 Tempat Pengujian ... 19

3.2 Alat ... 19

3.3 Bahan ... 19

3.4 Sampel ... 19

3.5 Prosedur ... 20

3.6 Persyaratan ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil ... 23

4.2 Pembahasan ... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

5.1 Kesimpulan ... 26

5.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.6 Data Larutan Zat Kapur ... 21

Tabel 4.1 Perubahan Nilai pH Pukul 10.00 ... 23

Tabel 4.2 Perubahan Nilai pH Pukul 13.00 ... 23


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran I PerMenKes RI no. 492/MENKES/PER/IV/2010... 26 Lampiran II Gambar ... 30


(9)

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN ZAT KAPUR TERHADAP KENAIKAN pH PADA AIR PENGOLAHAN PDAM TIRTANADI IPA

SUNGGAL Abstrak

Air merupakan sumber kehidupan dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Air yang tersedia tidak terlepas dari pengaruh pencemaran karena fenomena alam ataupun yang diakibatkan oleh ulah manusia. Salah satu parameter penilaian kualitas air adalah dari nilai pH nya. pH adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa suatu larutan. Dalam penyediaan air, pH merupakan suatu faktor yang harus dipertimbangkan mengingat bahwa derajat keasaman dari air akan sangat mempengaruhi aktivitas pengolahan yang akan dilakukan. Jika nilai pH suatu larutan tidak sesuai persyaratan yaitu 6,5 – 8,5 (PERMENKES NO 492/PER/IV/2010), maka akan menyebabkan korosi pada pipa. Kapur merupakan bahan kimia yang paling dikenal dan digunakan untuk penetapan pH.Kebanyakan tersedia dalam bentuk CaO, biasanya tersedia dalam bentuk gumpalan, serbuk atau tepung.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Dalam jaringan hidup, air merupakan medium untuk berbagai reaksi dan proses ekskresi. Air merupakan komponen utama baik dalam tanaman maupun hewan termasuk manusia. Tubuh manusia terdiri dari 60-70% air. Transportasi zat-zat makanan dalam tubuh semuanya dalam bentuk larutan dengan pelarut air. Juga hara-hara dalam tanah hanya dapat diserap oleh akar dalam bentuk larutannya. Sebagaian besar keperluan air seharai-hari berasal dari sumber air tanah dan sungai, air yang berasal dari PDAM (air ledeng) juga bahan bakunya berasal dari sungai.

Air yang tersedia tidak terlepas dari pengaruh pencemaran karena fenomena alam (seperti debu vulkanik dari letusan gunung berapi) ataupun yang diakibatkan oleh ulah manusia.Beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologi (bakteri, virus, parasit), bahan organik (pestisida, deterjen), dan beberapa bahan anorganik (garam, asam, logam), serta beberapa bahan kimia lainnya sudah banyak ditemukan dalam air yang kita pergunakan.Air yang sudah tercemar tersebut disamping terasa tidak enak kalau diminum juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan terhadap orang yang meminumnya (Darmono, 2001).

Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber


(11)

daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Seperti nilai pH air yang tidak sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan pemerintah.Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air.Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara seksama (Effendi, 2003).

Berdasarkan hal ini, penulis melakukan pengujian terhadap pengaruh penambahan zat kapur pada air pengolahan di PDAM Tirtanadi Sunggal.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan zat kapur terhadap kenaikan pH pada air pengolahan di PDAM Tirtanadi Sunggal

2. Untuk mengetahui apakah nilai pH air pengolahan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi masyarakat apakah air yang mereka konsumsi nilai pH nya sudah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air

Air adalah zat atau unsur penting bagi semua bentuk kehidupan. Manusia dan semua makhluk hidup butuh air. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi. Menurut dokter dan ahli kesehatan manusia wajib minum air putih 8 gelas per hari. Tumbuhan dan binatang juga membutuhkan air sehingga dapat dikatakan air merupakan salah satu sumber kehidupan. Semua organisme hidup terdiri dari sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktivitas metaboliknya mengambil tempat di larutan air (Kodoatie, 2012).

Air sangat penting bagi kehidupan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Seluruh proses metabolisme dalam tubuh makhluk hidup berlangsung dalam media air. air dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk berbagai keperluan seperti keperluan rumah tangga, pertanian, transportasi bahkan sampai industri (Darmono, 2001).

Air sebagai pelarut universal, memiliki kemampuan untuk melarutkan berbagai zat, mulai fasa gas dari udara, fasa cair dari berbagai larutan, fasa padat dan juga mikroorganisme. Oleh karena itu air banyak sekali mengandung berbagai zat terlarut maupun tidal terlarut, sehingga air sangat sukar diperoleh dalam keadaan murni. Apabila kandungan berbagai zat tersebut tidak menggangu kesehatan manusia, maka air dianggap bersih. Air dikatakan tercemar apabila terdapat gangguan terhadap kualitas air, dimana kandungan berbagai zat sudah melebihi ambang batas. Ambang batas kadar zat dalam air berbeda-beda untuk


(13)

jenis air sesuai perutukkannya. Misalnya kadar zat untuk air minum berbeda ambang batasnya dengan kadar suatu zat untuk industri. Hal ini telah diputuskan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Melalui penyediaan air bersih baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya di suatu daerah, maka penyebaran penyakit menular dalam hal ini adalah penyakit perut diharapkan bisa ditekan seminimal mungkin.Penurunan penyakit perut ini didasarkan atas pertimbangan bahwa air merupakan salah satu mata rantai penularan penyakit perut.Agar seseorang menjadi tetap sehat sangat dipengaruhi oleh adanya kontak manusia tersebut dengan makanan dan minuman.Air adalah salah satu di antara pembawa penyakit yang berasal dari tinja untuk sampai kepada manusia.Supaya air yang masuk kedalam baik berupa minuman maupun makanan tidak menyebabkan atau merupakan pembawa bibit penyakit, maka pengolahan air baik berasal dari sumber, jaringan transmisi atau distribusi adalah mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya kontak antara kotoran sebagai sumber penyakit dengan air yang sangat diperlukan (Sutrisno, 2002).

Analisis penentuan kualitas air sangat penting. Analisis kualitas yang sebenarnya harus melalui analisis laboratorium agar semua komponen yang terdapat di dalam air dapat diketahui dengan jelas. Untuk mengetahui kualitas air dengan tepat maka analisis dapat dilakukan melalui analisis kimia dan analisis toksisitas yang bertujuan untuk mengetahui tingkat ketercemaran air saja. Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui zat kimia atau jenis zat kimia di dalam air secara umum untuk mengetahui kehadiran senyawa spesifik yang menyebabkan bahaya di dalam air (Situmorang, 2007).


(14)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 Tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, menyatakan bahwa suhu air yang layak untuk dikonsumsi adalah suhu udara ± 3ºC, maksudnya adalah suhu air harus lebih besar dari suhu udara sekitar 1-3 ºC. Suhu udara air sampel yang diuji sekitar 27-28 ºC, sedangkan suhu udara saat pengukuran sekitar 25-26 ºC. Nilai suhu tersebut, sesuai dengan standar baku mutu Menteri Kesehatan.

Berdasarkan Keputuasan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 492/MENKES/PER/IV/2010. Tentang syart-syarat dan pengawasan kualitas air minum, menyatakan bahwa pH air yang layak untuk dikonsumsi adalah sekitar pH 6,5-8,5. Nilai pH yang sedikit asam ini bisa disebabkan jenis tanah dan batuan di lokasi batuan banyak mengandung kapur dan batuan karbonat, sehingga akan menyebabkan terbentuknya asam karbonat sehingga pH tanah dan air sumber bersifat asam

2.1.1 Pembagian Air Berdasarkan Analisis

Berdasarkan analisis air maka air digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Air kotor/air tercemar

Air yang bercampur dengan satu atau berbagai campuran hasil buangan disebut air kotor/tercemar.


(15)

2. Air bersih

Air yang sudah terpenuhi syarat fisik, kimia, namun bakteriologinya belum terpenuhi. Air bersih ini diperoleh dari sumur gali, sumur bor, air hujan, air

sumber yang dari mata air. 3. Air minum

Air minum ialah air yang sudah terpenuhi sifat fisik, kimia, maupun bakteriologi serta level kontaminasi maksimum (LKM). Level kontaminasi maksimum meliputi kekeruhan, kandungan zat kimia organik/anorganik, dan jumlah bakteri koliform.

2.1.2 Pencemaran Air

Definisi pencemaran air menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-02/MENKLH/I/98 tentang penetapan baku mutu lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (pasal 1).Dalam pasal 2 air pada sumber air menurut kegunaan dan peruntukkannya digolongkan menjadi: 1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara

langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.

2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.


(16)

3. Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.

4. Golongan D, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, dan listrik negara. Menurut definisi pencemaran air tersebut diatas bila suatu sumber air yang termasuk dalam kategori golongan A, misalnya sebuah sumur penduduk yang kemudian mengalami pencemaran dalam bentuk rembesan limbah cair dari suatu industri maka kategori sumur tadi bukan golongan A lagi, tapi sudah turun menjadi golongan B, karena air sudah tidak dapat digunakan langsung sebagai air minum tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian air sumur tersebut menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.

Sumber air kotor atau air tercemar menurut lokasi pencemaran maka air tercemar ini digolongkan dalam 2 lokasi yaitu air tercemar di pedesaan. Sumber pencemar adalah hasil sampah rumah tangga, hasil kotoran hewan, hasil industri kecil dan air tercemar perkotaan bersumber dari hasil sampah rumah tangga, pusat perbelanjaan, industri kecil,industri besar, hotel, dan restaurant (Gabriel, 2001).

Air yang telah tercemar, baik oleh senyawa organik maupun anorganik akan mudah sekali menjadi media berkembangnya berbagai macam penyakit. Air yang tercemar oleh limbah organik, terutama limbah yang berasal dari industri olahan bahan makanan, merupakan tempat yang subur untuk berkembang biaknya mikroorganisme, termasuk mikroba patogen. Mikroba patogen yang berkembang biak dalam air tercemar yang menyebabkan timbulnya berbagai penyakit (Wardhana, 1999).


(17)

Pencemaran air juga dapat merupakan masalah, regional maupun lingkungan global, dan sangat berhubungan dengan udara serta penggunaan lahan tanah dan daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka air tersebut sudah tercemar. Beberapa jenis bahan kimia untuk pupuk dan pestisida pada lahan pertanian akan terbawa air ke daerah sekitarnya sehingga mencemari air pada permukaan lokasi yang bersangkutan. Pengolahan tanah yang kurang baik akan dapat menyebabkan erosi sehingga air permukaan tercemar dengan tanah endapan. Banyak sekali penyebab terjadinya pencemaran air, yang akhirnya bermuara ke lautan yang menyebabkan pencemaran pantai dan air laut sekitarnya (Darmono, 2001).

2.1.3 Dampak dari Pencemaran Air

Menurut Gabriel (2001) akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air adalah;

a) Terganggunya kehidupan organisme air. b) Pendangkalan dasar perairan.

c) Punahnya biota air seperti ikan.

d) Menjalarnya wabah penyakit seperti muntaber. e) Banjir akibat tersumbatnya saluran air.

Maka air yang sudah tercemar dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia.


(18)

Berdasarkan garis besarnya pencemaran air dapat mengakibatkan dua hal yaitu:

1. Air menjadi tidak bermanfaat lagi

Air yang sudah tercemar tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk berbagai keperluan seperti keperluan rumah tangga, keperluan industri, dan untuk keperluan pertanian. Hal ini dikarenakan air tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan, tentu saja hal ini juga menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat.

2. Air menjadi penyebab penyakit

Air lingkungan yang kotor karena tercemar oleh berbagai macam komponen dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih jauh lagi yaitu kematian. Kematian dapat terjadi akibat pencemaran yang terlalu parah sehingga air menjadi penyebab berbagai macam penyakit (Wardhana, 1999).

Pengaruh langsung terhadap kesehatan tergantung sekali pada kualitas air dan terjadi karena air berfungsi sebagai penyalur atau penyebar penyebab penyakit ataupun sebagai sarang insekta penyebar penyakit. Kualitas air berubah karena kapasitas air untuk membersihkan dirinya telah terlampaui. Hal ini disebabkan bertambahnya jumlah intensitas aktifitas penduduk yang tidak hanya meningkatkan kebutuhan air tetapi juga meningkatkan jumlah air buangan.Air buangan inilah yang merupakan sumber pengotor perairan (Slamet, 2002).

2.2 Derajat Keasaman (pH)

pH merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa suatu larutan. Ia merupakan juga suatu cara untuk


(19)

menyatakan konsentrasi ion H+. Dalam penyediaan air, pH merupakan suatu faktor yang harus dipertimbangkan mengingat bahwa derajat keasaman dari air akan sangat mempengaruhi aktivitas pengolahan yang akan dilakukan, misalnya dalam melakukan koagulasi kimiawi, densinfeksi, pelunakan air dan dalam pencegahan korosi. Yang sangat penting untuk diketahui yakni bahwa konsentrasi OH- suatu larutan tak akan dapat diturunkan sampai 0, bagaimanapun asamnya larutan, dan bahwa konsentrasi H+ tak akan dapat diturunkan sampai 0, bagaimanapun basanya larutan (Sutrisno, 1987).

Organisme sangat sensitif terhadap ion hidrogen. Pada proses penjernihan air dan air limbah. pH menjadi indikator untuk meningkatkan efesiensi proses penjernihan. Air limbah pertambangan atau pertanian akan mengakibatkan tingginya konsentrasi ion hidrogen sehingga membahayakan kehidupan air. Tingginya konsentrasi ion hidrogen,menunjukkan perairan bersifat asam. Sebaliknya cairan basa menunjukkan konsentrasi ion hidroksil (OH) lebih tinggi dari pada konsetrasi ion hidrogen (Sutrisno, 1987).

Molekul air memiliki kemampuan terurai sangat lambat. Air yang netral memiliki konsentarsi ion hidrogen dan hidroksil yang sama. Apabila konsentrasi ion di ukur dalam satuan molekul/liter, maka hasil perkalian kedua konsentrasi ion selalu tetap, dan disebut produk konstan yang ada di air (Sutrisno, 1987).

Sebagai salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau kehidupan mikroorganisme dalam air, secara empirik pH yang optimum untuk tiap spesies harus ditentukan. Kebanyakan mikroorganisme


(20)

tumbuh terbaik pada pH 6,0-8,0 meskipun beberapa bentuk mempunyai pH optimum rendah 2 dan lainnya punya pH optimum 8,5 (Sutrisno, 1987).

Pengaruh yang menyakut aspek kesehatan dari penyimpangan standard kualitas air minum dalam hal pH ini adalah pH air normal berkisar 6,5 – 8,5 (PERMENKES NO 492/MENKES/PER/IV/2010). Apabila pH kurang dari 6,5 atau lebih besar dari 8,5 akan mengakibatkan pipa air yang terbuat dari logam mengalami korosi pada pipa-pipa air sehingga pada akhirnya air tesebut akan menjadi racun bagi tubuh manusia (Sutrisno, 1987).

Perlu ditekankan disini bahwa defenisi pH, skala pH, dan harga yang ditunjukkan oleh larutan dapar untuk pembakuan ditujukan untuk memproleh sistem operasional yang praktis, sehingga hasil dapat dibandingkan antar laboratorium. Harga pH yang diukur disini tidak persis sama dengan yang diproleh dengan defenisi klasik, bahwa pH= -log [H+ ] dalam air. Jika pH larutan yang diukur mempunyai komposisi yang cukup mirip dengan larutan dapar yang digunakan untuk pembakuan, pH yang diukur mendekati pH teoritis. Meskipun tidak ditegaskan hubungan pengukuran kesesuaian sistem untuk aktivitas atau kadar ion hidrogen , harga yang diproleh mendekati aktivitas ion hidrogen dalam air (Dirjen POM, 1995).

Jika pH meter dibakukan menggunakan larutan dapar dalam air, kemudian digunakan untuk mengukur ”pH” larutan atau suspensi dalam pelarut bukan air, maka tetapan pengionan dari asam atau basa, tetapan dielektrik dari medium, potensial sambungan cairan (yang dapat memberikan kesalahan lebih kurang 1 unit pH), dan respons ion hidrogen dari elektrode kaca, semua akan berubah. Oleh


(21)

karena itu, harga yang diproleh dengan larutan yang sifatnya hanya mengandung sebagian air, dapat dianggap hanya sebagai harga pH. Keasaman dapat diukur seksama menggunakan elektrode dan instrumen yang dibakukan (Dirjen POM, 1995).

2.2.1 Pengaruh pH

Kelarutan garam dari asam lemah tergantung pada pH larutan. Beberapa contoh yang lebih penting dari garam-garam demikian dalam kimia analitik ialah oksalat sulfida, hidroksida, karbonat dan fosfat. Ion hidroksi bereaksi dengan anion garam untuk membentuk asam lemah, dengan demikian meningkatkan kelarutan garam (Underwood, 1980).

Larutan Dapar Untuk Pembakuan pH Meter

Larutan dapar untuk pembakuan buat menurut petunjuk sesuai tabel. Simpan dalam wadah tahan bahan kimia, tertutup rapat, sebaiknya dibuat dengan interval tidak lebih dari 3 bulan. pH dari larutan dapar sebagai fungsi dari suhu. Untuk memudahkan, petunjuk diberikan dengan pengenceran hingga volume 1000 mL, bukan dengan menyebutkan penggunaan 1000 g pelarut yang merupakan dasar sistem molalitas dari kadar larutan. Jumlah yang disebutkan tidak dapat secara sederhana diperhitungkan tanpa informasi tambahan (Dirjen POM, 1995).

Untuk pembakuan pH meter, pilih 2 larutan dapar untuk pembakuan yang mempunyai perbedaan pH tidak lebih dari 4 unit dan sedemikian rupa sehingga pH larutan uji diharapkan terletak diantaranya. Isi sel dengan salah satu larutan dapar untuk pembakuan pada suhu yang larutan ujinya akan diukur. Pasang kendali suhu pada suhu larutan, dan atur kontrol kalibrasi untuk membuat pH


(22)

larutan dapar untuk pembakuan yang kedua, kemudian isi sel dengan larutan tersebut pada suhu yang sama dengan larutan uji. Atur ”kemiringan” atau ”suhu” hingga pH sesuai. Ulangi pembakuan hingga kedua larutan dapar untuk pembakuan memberikan harga pH tidak lebih dari 0,02 unit pH dari harga yang tertera dalam tabel, tanpa pengaturan lebih lanjut dari pengendali. Jika sistem telah berfungsi dengan baik, bilas elektrode dan sel beberapa kali dengan larutan uji, isi sel dengan sedikit larutan uji dan baca harga pH. Gunakan air bebas karbon dioksida P untuk pelarutan atau pengenceran larutan uji. Jika hanya diperlukan harga pH perkiraan dapat digunakan indikator dan kertas indikator (Dirjen POM, 1995).

Distribusi Macam Zat Sebagai Fungsi pH

Adalah serasi bagi berbagai keperluan untuk dapat melihat sekilas pandang keadaan disosiasi dari zat asam-basa sebagai fungsi pH. Grafik yang menunjukkan hal ini, memingkinkan kita untuk menentukan mana dari beberapa zat yang mungkin, merupakan yang unggul pada suaru ph tertentu, dan memebantu dalam memilih jangkau kefektifan buffer untuk campuran asam atau basa dan garamnya. Misalnya pH plasma darah dipertahankan pada sekitar 7; mungkin menarik untuk mengetahui apakah fosfat plasma terdiri sebagai H3PO4, H2PO4-, HPO42-, PO43-, atau sesuatu campuran dari zat-zat ini pada pH fisiologik (Underwood, 1980).

2.3 Kapur

Kapur adalah bahan kimia yang paling dikenal dan digunakan untuk penetapan pH. Kebanyakan tersedia dipasaran dalam bentuk CaO, biasanya tersedia dalam bentuk gumpalan, serbuk atau tepung..karena pada umumnya


(23)

kapur tersedia dengan mudah, harganya lebih relative murah, dan mudah untuk digunakan. Walaupun demikian system pemakaian kapur dapat menimbulkan masalah dalam pemeliharaan jika operasinya tidak memadai (Buletin Tirtanadi No.4, 2006)..

Penambahan larutan kapur bertujuan untuk menetralisasi pH. Karena dengan adanya kandungan alum (tawas) dalam air akan membuat pH air bersifat asam. Penambahan larutan kapur ini dilakukan pada bak kumpulan sebelum air menuju reservoir, sedangkan pengendapan larutan kapur dilakukan di bak dan saturator, keseluruhan proses ini mengandalkan proses gravitasi agar getaran dan riak dapat diminimlaisir. Saturator adalah sebuah tabung besar yang merupakan terminal larutan kapur ke air olahan. Air kapur dari saturator inijuga masih membawa partikel kapur yang luput mengendap, walaupun demikian reservoir juga dapat berperan sebagai bak pengendap akhir dari hasil olahan (Buletin Tirtanadi No.4, 2006)..

Penambahan larutan kapur ke dalam air olahan untuk menatasi keasaman air. Di laboratorium, dosis larutan air yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan 2 alat yaitu magnetic stir dan jar-test. Jumlah larutan kapur yang dibutuhkan untuk mentralkan pH air tergantung pada mutu kimiawi air. Dalam air larutan kapur akan menghasilkan reaksi sebagai berikut:

Al2(SO4)3 2Al3+ + 3SO4 2-Ion Aluminium (2Al3+) berasal dari proses koagulasi (tawas);


(24)

Ion Hidroksida (OH-) kemudian bereaksi dengan Ion Aluminium (2Al3+)

2Al3+ + OH- 2Al(OH)3

Terbentuknya endapan (flok) dan dihasilkan asam yang berasal dari ion Untuk menetralkan ditambahkan larutan kapur (Ca(OH)2)

Ca(OH)2 Ca2+ + 2OH-

Ion hidroksida (OH-) berasal dari larutan kapur bereaksi dengan ion H+

H+ + 2OH H2O

Semakin banyak jumlah alum (tawas) yang ditambahkan dalam air maka akan meningkatkan keasaman air, dan hal ini menyebabkan pH semakin turun. Semakin tinggi tingkat keasaman air maka semakin besar dosis larutan kapur yang dibutuhkan untuk menetralkan iar hasil olahan.dengan demikian, perlu dicari dosis larutan kapur yang optimum untuk menetralkan air hasil olahan agar berada dalam range pH 6,5 – 8,5 yang merupkan standar pH oleh Menteri Kesehatan.

2.4 Kalsium

Kalsium adalah zat yang terkandung dalam kapur.Kalsium merupakan zat gizi esensial dengan berbagai fungsi penting dalam tubuh manusia, mineral yang terdapat paling banyak terdapat dalam tubuh manusia sebagai senyawa dengan fosfor di dalam tulang dan gigi.1% terdapat pada jaringan dan cairan ekstraseluler.kalsium memberi kekokohan pada tubuh (Soehardi, 2004).

Mineral kalsium dibutuhkan dalam ekstra oleh anak-anak untuk pertumbuhan tulang dan gigi yang sehat dan kuat, perlu bagi orang dewasa/lansia


(25)

untuk mencegah keropos tulang (osteoporosis) serta memperlambat tanggalnya gigi geligi, dan juga oleh ibu hamil dan menyusui (Soehardi, 2004).

2.4.1 Fungsi Kalsium

Kalsium mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh.Pembentukan tulang dan gigi.Kalsium dan mineral lain memberi kekuatan dan bentuk pada tulang dan gigi.Pembentukan tulang. Kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi:

1. Sebagai bagian integral dari struktur tulang 2. Sebagai tempat menyimpan kalsium.

Pada tahap pertumbuhan janin dibentuk matriks sebagai cikal bakal tulang tubuh. Bentuknya sama dengan tulang tetapi masih lunak dan lentur hingga telah lahir. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Segera setelah lahir, matriks mulai menguat melalui proses kalsifikasi, yaitu terbentuk Kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan hidroksiapatir [Ca3(PO4)2.Ca(OH)2]. Karena kalsium dan fosfor merupakan mineral utama dalam ikatan dan keduanya harus berada dalam jumlah yang cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang.Batang tulang yang merupakan bagian keras matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng, natrium karbonat dan fluor di samping hidroksiapatir (Almatsier, 2004).


(26)

2.4.2 Absorpsi dan Ekskresi Kalsium

Dalam keadaan normal sebanyak 30-50 % kalsium yang dikomsumsi diabsorpsi tubuh. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses menua. Kemampuan absorpsi pada laki-laki lenih tinggi daripada perempuan pada semua golongan manusia.Absorpsi kalsium terutama terjadi di bagian atas usu halus yaitu duodenum.Kalsium membutuhkan pH 6 agar dapat berada dalam keadaan terlarut.Absorpsi kalsium terutama dilakukan secara aktif dengan menggunakan alat angkut protein-pengikat kalsium.Absorpsi terjadi pada permukaan saluran cerna.Banyak factor mempengaruhi absorpsi kalsium.Kalsium hanya bisa diabsorsi bila terdapat dalam bentuk larut-air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain (Almatsier, 2004).

2.5 Turbiditas (Kekeruhan)

Turbiditas merupakan suatu ukuran yang menyatakan sampai seberapa jauh cahaya mampu menembus air , dimana cahaya yang menembus air akan mengalami pemantulan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloidal. Satuannya adalah Jackson Turbidity Unit (JTU), dimana 1 JTU sama dengan turbiditas yang disebabkan oleh 1 mg/l SiO2 dalam air. Dalam danau atau perairan lainnya yang relatif tenang, turbiditas terutama disebabkan oleh bahan koloidan dan bahan-bahan hakus yang terdispersi dalam air. Dalam sungai yang mengalir , turbiditas terutama disebabkan oleh bahan-bahan kasar yang terdispersi (Nainggolan, 2011).


(27)

Kekeruhan di dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi, seperti lumpur, zat organic, plankton dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan merupakan sifat optis dari suatu larutan, yaitu hamburan dan absorpsi cahaya yang melaluinya. Kekeruhan dengan kadar semua jenis zat tidak dapat dihubungkan secara langsung, karena tergantung juga kepada ukuran dan bentuk butiran. Ada tiga (3) metode pengukuran kekeruhan:

a. Metode nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU b. Metode Hellige Turbidity (unit kekeruhan silica)

c. Metode Visuil (unit kekeruhan Jackson)

Metode visual adalah cara kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 20 unit. Sedangkan metode nefelometrik lebih sensitive dan dapat dipergunakan untuk segala tingkat kekeruhan. Prinsip metode nefelometrik adalah perbandingan antara intensiti cahaya yang dihamburkan dari suatu sampel air dengan intensiti cahaya yang dihamburkan oleh sesuatu larutan keruh standar pada kondisi yang sama. Maka intensitas cahaya yang dihamburkan, makin tinggi pula kekeruhannya.Sebagai standar kekeruhan dipergunakan suspensi polimer formazin (Nainggolan, 2011).


(28)

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Tempat Pengujian

Pengujian pengaruh penambahan larutan zat kapur pada air pengolahan dilakukan di Laboratorium PDAM Tirtanadi IPASunggal yang berada di Jalan Sunggal Pekan No. 1, Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah buret 25 ml, beaker glass 1000 ml, beaker glass 100 ml, Disc Komparator, Erlenmeyer 100 ml, hana digital titrator, kuvet, magnetic stir, magnetic bar, pipet volumetric 20 ml, pipet volume 10 ml, statif, turbidimeter.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah sampel air konsentrator (air pengolahan), larutan zat kapur jenuh, HCl 0,1064 N, larutan indikator PP, akuades.

3.4 Sampel

Nama Perusahaan : PDAM Tirtanadi IPA Sungga

Alamat : Jl. Sunggal Pekan No. 1, Medan

Nama Contoh Uji : Air Kumpulan yang nilai pH nya paling rendah

Cuaca : Cerah

Keterangan Contoh: Tidak disegel, jernih dalam ember plastic (6000 ml) Tgl. Terima/Jam : 13 Maret 2015 / 10.00 WIB


(29)

Tgl. Pengujian : 13 Maret 2015

3.5 Prosedur

3.5.1 Titrasi Zat kapur

1. Pipet 20 ml larutan zat kapur dengan pipet volume ke dalam Erlenmeyer 2. Tambahkan 3 tetes indikator PP hingga berwarna ungu

3. Titrasi dengan larutan baku HCl 0,1064 N sampai warna ungu hilang 4. Catat volume larutan baku HSl 0.1064 N yang digunakan

3.5.2 Turbiditas Zat Kapur

1. Masukkan larutan zat kapur ke dalam kuvet sampai garis tanda 2. Keringkan seluruh bagian kuvet dengan tissue

3. Masukkan kuvet yang sudah berisi larutan zat kapur ke dalam alat turbidimeter

4. Lihat angka yang tertera pada layar turbidimeter. Angka yang paling stabil itulah nilai turbiditasnnya

3.5.3 Nilai pH dan Temperatur Zat Kapur

1. Masukkan larutan zat kapur ke dalam beaker glass 100 ml 2. Letakkan hana digital titrator ke dalam larutan

3. Diamkan sampai angka yang tertera menunjukkan angka yang stabil yang ditandai dengan hilangnya tanda jam pada layar

4. Catat nilai pH dan temperature yang tertera pada layar

3.5.4 Injeksi Larutan Kapur


(30)

2. Injekksikan larutan zat kapur ke dalam masing-masing beaker glass dengan konsentrasi yang berbeda-beda

3. Masukkan magnetic bar ke dalam beaker glass

4. Letakkan beaker glass diatas magnetic stir selama 5 menit 5. Cek nilai pH sampel air setelah diinjeksikan larutan zat kapur

3.6 Perhitungan

Tabel 3.6 Data Larutan Zat Kapur

pH Turbiditas Temperatur (0C) Volume HCl (ml) 12,64 2,67 27,2 2,50

Perhitungan % zat kapur: ml HCl x N HCl x 37

20

= 2,50 x 0,1064 x 37

20 = 0,5 %

Perhitungan volume larutan kapur yang digunakan:

Konsentrasi larutan kapur (ppm) = 0,5 x 1.000.000 100

= 5.000 mg/L

Volume larutan kapur yang digunakan = (ppm) x 1000 5.000


(31)

3.7 Persyaratan

Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 nilai pH air antara 6,5-8,5.


(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Data PerubahanNilai pH Hari/tanggal: Jumat/13 Maret 2015

Tabel 4.1Perubahan Nilai pH Pukul: 10.00 pH awal Konsentrasi

larutan kapur

Volume (ml)

pH akhir

6,6 5 ppm 1 6,9

6,6 10 ppm 2 6,9

6,6 15 ppm 3 7,1

6,6 20 ppm 4 7,1

6,6 25 ppm 5 7,3

6,6 30 ppm 6 7,3

Tabel 4.2 Perubahan Nilai pH Pukul: 13.00 pH awal Konsentrasi

larutan kapur

Volume (ml)

pH akhir

6,6 2,5 ppm 0,5 6,9

6,6 5 ppm 1 7,1

6,6 7,5 ppm 1,5 7,1

6,6 10 ppm 2 7,1

6,6 12,5 ppm 2,5 7,2


(33)

Table 4.3 Perubahan Nilai pH Pukul: 16.00 pH awal Konsentrasi

larutan kapur

Volume (ml)

pH akhir

6,5 5 ppm 1 6,9 6,5 10 ppm 2 6,9 6,5 15 ppm 3 6,9 6,5 20 ppm 4 7,0 6,5 25 ppm 5 7,0 6,5 30 ppm 6 7,1

4.2 Pembahasan

Kapur merupakan zat yang sering digunakan untuk menetralkan nilai pH suatu larutan.Penambahan larutan kapur ini dilakukan pada bak kumpulan sebelum air menuju reservoir, sedangkan pengendapan larutan kapur dilakukan di bak dan saturator, keseluruhan proses ini mengandalkan proses gravitasi agar getaran dan riak dapat diminimalisir.

Di laboratorium, dosis larutan air yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan 2 alat yaitu magnetic stir dan jar test.Dalam analisis ini menggunakan alat magnetic stir. Jumlah larutan kapur yang dibutuhkan untuk mentralkan pH air tergantung pada mutu kimiawi air.Dimana pada setiap larutan air berbeda-beda volume larutan zat kapur yang diinjeksi.

Dari hasil analis yang telah dilakukan, diperoleh bahwa volume larutan kapur yang dinjeksi sangat berpengaruh terhadap kenaikan pH air. Seperti


(34)

setelah diinjeksi larutan kapur sebanyak 2 ml, dan dari 6,6 menjadi 7,1 setelah dinjeksi larutan kapur sebanyak 3 ml. Namun terkadang perubahan nilai pH tidak terlalu drastis, seperti pada pH air pukul 13.00, dimana nilai pH tetap konstan yaitu dari 6,6 menjadi 7,1 walaupun sudah diinjeksi larutan kapur dengan volume masing-masing 1 ml, 1,5 ml, dan 2,5 ml. Hal ini mungkin bisa disebabkan saat penginjeksian volume larutan kapur tidak kuantitatif sehingga larutan kapur yang diinjeksi belum mempengaruhi kenaikan nilai pH air.


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Kenaikan pH pada sampel sangat dipengaruhi oleh volume larutan kaput yang diinjeksi. Semakin banyak volume larutan zat kapur yang diinjeksi, semakin cepat dan besar pula kenaikan pH larutan tersebut.

2. Nilai pH sampel air sebelum dan sesudah sebenarnya sudah sesuai

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

492/MENKES/PER/IV/2010. Dimana nilai pH standar untuk air minum yaitu (6,5 – 8,5). Hanya saja kita ingin mengetahui volume yang baik untuk menaikkan pH menjadi netral

5.2 Saran

1. Sebaiknya penulis menggunakan metode lain juga dalam menginjeksi kapur, misalnya Jar Test.

2. Sebaiknya pada saat memipet larutan kapur dengan pipet volume harus benar-benar teliti agar volume larutan yang dipipet kuantitatif.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2004).Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 235-236.

Darmono.(2001). Logam dan Sisitem Biologi Makhluk Hidup.Jakarta: Universitas Indonesia.Halaman 28, 53.

Dirjen, POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 1039, 1043.

Effendy, H.( 2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.

Gabriel, J. (2001). Fisika Lingkungan.Jakarta: Hipokrates. Halaman 50-51

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 492/MenKes/PER/IV/2010.

Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Kodoatie,R.J. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halaman 35.

Situmorang, M. (2007). Kesehatan Lingkungan. Medan: Universitas Negeri Medan. Halaman 45, 115

Slamet, J. (2002). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Halaman 50

Soehardi, S. (2004).Memelihara Kesehatan Jasmani Melalui Makanan. Bandung: Institute Teknologi Bandung. Halaman 107.

Sutrisno, T. (2002). Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Halaman 22

Sutrisno, C.T. (1987). Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: PT Bina Aksara. Halaman 9-10;15;30-32;37-38;43;48;53-55.

Underwood, A.L. (1980). Analisa Kimia Kuantitatif. Surabaya: PT. Gelora Aksara Pratama. Halaman 181, 231.

Wardhana. W.A. (1999). Dampak Pencemaran Lingkungan. Cetakan ke-2. Edisi ke-2. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halaman 71

Nainggolan, H dan Susilawati.(2011). Pengolahan Limbah Cair Industri

Perkebunan dan Air Gambut Menjadi Air Bersih. Medan: USU Press. Halaman 52.


(37)

(38)

(39)

LAMPIRAN II

Gambar 1.Magnetic Stir Gambar 2. Disc Komparator

Gambar 3. Turbidimeter


(1)

setelah diinjeksi larutan kapur sebanyak 2 ml, dan dari 6,6 menjadi 7,1 setelah dinjeksi larutan kapur sebanyak 3 ml. Namun terkadang perubahan nilai pH tidak terlalu drastis, seperti pada pH air pukul 13.00, dimana nilai pH tetap konstan yaitu dari 6,6 menjadi 7,1 walaupun sudah diinjeksi larutan kapur dengan volume masing-masing 1 ml, 1,5 ml, dan 2,5 ml. Hal ini mungkin bisa disebabkan saat penginjeksian volume larutan kapur tidak kuantitatif sehingga larutan kapur yang diinjeksi belum mempengaruhi kenaikan nilai pH air.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Kenaikan pH pada sampel sangat dipengaruhi oleh volume larutan kaput yang diinjeksi. Semakin banyak volume larutan zat kapur yang diinjeksi, semakin cepat dan besar pula kenaikan pH larutan tersebut.

2. Nilai pH sampel air sebelum dan sesudah sebenarnya sudah sesuai berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Dimana nilai pH standar untuk air minum yaitu (6,5 – 8,5). Hanya saja kita ingin mengetahui volume yang baik untuk menaikkan pH menjadi netral

5.2 Saran

1. Sebaiknya penulis menggunakan metode lain juga dalam menginjeksi kapur, misalnya Jar Test.

2. Sebaiknya pada saat memipet larutan kapur dengan pipet volume harus benar-benar teliti agar volume larutan yang dipipet kuantitatif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2004).Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 235-236.

Darmono.(2001). Logam dan Sisitem Biologi Makhluk Hidup.Jakarta: Universitas Indonesia.Halaman 28, 53.

Dirjen, POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 1039, 1043.

Effendy, H.( 2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.

Gabriel, J. (2001). Fisika Lingkungan.Jakarta: Hipokrates. Halaman 50-51

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 492/MenKes/PER/IV/2010. Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Kodoatie,R.J. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halaman 35.

Situmorang, M. (2007). Kesehatan Lingkungan. Medan: Universitas Negeri Medan. Halaman 45, 115

Slamet, J. (2002). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Halaman 50

Soehardi, S. (2004).Memelihara Kesehatan Jasmani Melalui Makanan. Bandung: Institute Teknologi Bandung. Halaman 107.

Sutrisno, T. (2002). Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Halaman 22

Sutrisno, C.T. (1987). Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: PT Bina Aksara. Halaman 9-10;15;30-32;37-38;43;48;53-55.

Underwood, A.L. (1980). Analisa Kimia Kuantitatif. Surabaya: PT. Gelora Aksara Pratama. Halaman 181, 231.

Wardhana. W.A. (1999). Dampak Pencemaran Lingkungan. Cetakan ke-2. Edisi ke-2. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halaman 71

Nainggolan, H dan Susilawati.(2011). Pengolahan Limbah Cair Industri Perkebunan dan Air Gambut Menjadi Air Bersih. Medan: USU Press. Halaman 52.


(4)

(5)

(6)

LAMPIRAN II

Gambar 1.Magnetic Stir Gambar 2. Disc Komparator

Gambar 3. Turbidimeter